JOURNAL READING
Disusun oleh
030.12.047
Pembimbing
FAKULTAS KEDOKTERAN
1
UNIVERSITAS TRISAKTIKATA PENGANTAR
Puji dan syukur saya haturkan kepada Allah SWT karena atas berkat rahmat-Nya saya dapat
menyelesaikan Journal reading ini dengan judul : “PERBANDINGAN SENSIBILITAS KORNEA
SEBELUM DAN SESUDAH OPERASI FAKOEMULSIFIKASI PADA PASIEN KATARAK
SENILIS
.”
Journal reading ini disusun untuk memenuhi sebagai persyaratan dalam untuk menyelesaikan
kepaniteraan klinik departemen Ilmu Kesehatan Mata RSUD Kardinah Tegal. Dalam kesempatan ini, saya
mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak yang telah berkontribusi dalam penyusunan dan
penyelesaian Journal reading ini, terutama kepada:
1. dr. Liliek Istoyo Yahmo, Sp. M, selaku pembimbing dalam laporan kasus ini.
2. dr. Imamatul Ibaroh, Sp. M, selaku konsulen.
3. Rekan-rekan Kepaniteraan klinik departemen Ilmu Kesehatan Mata RSUD Kardinah
Tegal yang telah memberikan dukungan moril maupun materil.
Saya menyadari dalam penyelesaian journal reading ini masih banyak terdapat kekurangan. Oleh
karena itu, segala kritik dan saran guna penyempurnaan journal reading ini sangat saya harapkan.
Akhir kata, semoga laporan kasus ini dapat bermanfaat bagi kita semua, terutama dalam bidang
ilmu kesehatan mata.
2
DAFTAR ISI
HALAMAN
HALAMAN JUDUL............................................................................................... i
KATA PENGANTAR.............................................................................................. ii
DAFTAR ISI........................................................................................................... iv
BAB I. PENDAHULUAN................................................................................ 4
3
BAB I
PENDAHULUAN
Indonesia sebagai negara berkembang, tidak luput dari masalah kebutaan. Disebutkan, saat ini
terdapat 45 juta penderita kebutaan di dunia 60% diantaranya berada di negara miskin atau
berkembang. Indonesia, dalam catatan WHO berada diurutan ketiga dengan terdapat angka
kebutaan sebesar 1,47%.8
Di dunia ini 48% kebutaan yang terjadi disebabkan oleh katarak. Untuk Indonesia, survei pada
1995/1996 menunjukkan prevalensi kebutaan mencapai 1,5% dengan 0,78% di antaranya
disebabkan oleh katarak , dan yang terbesar karena katarak senilis.8
Katarak adalah perubahan lensa mata yang semula jernih dan tembus cahaya menjadi keruh,
sehingga cahaya sulit mencapai retina akibatnya penglihatan menjadi kabur. Katarak terjadi
secara perlahan-lahan sehingga penglihatan penderita terganggu secara berangsur. Perubahan
ini dapat terjadi karena proses degenerasi atau ketuaan trauma mata, komplikasi penyakit
tertentu, maupun bawaan lahir.3,8
4
BAB II
PEMBAHASAN
Sklera (bagian putih mata) : merupakan lapisan luar mata yang bewarna putih
dan relatif kuat.
Konjungtiva : selaput tipis yang melapisi bagian dalam kelopak mata dan
bagian sclera.
Kornea : struktur transparan yang menyerupai kubah, merupakan pembungkus
dari iris, pupil dan bilik anterior serta membantu memfokuskan cahaya.
Pupil : daerah hitam ditengah-tengah iris.
Iris : jaringan bewarna yag berbentuk cincin, menggantung di belakang kornea
dan di depan lensa, berfungsi mengatur jumlah cahaya yang masuk ke mata dengan
cara merubah ukuran pupil.
Lensa : struktur cembung ganda yang tergantung diantara humor aquos dan
vitreus, berfungsi membantu memfokuskan cahaya ke retina.
Retina : lapisan jaringan peka cahaya yang terletak dibagian belakang bola
mata, berfungsi mengirimkan pesan visual melalui saraf optikus ke otak.
Saraf optikus : kumpulan jutaan serat saraf yang membawa pesan visual ke
otak.
Humor aqueus : caian jernih dan encer yang mengalir diantara lensa dan
kornea (mengisi segmen anterior bola mata) serta merupakan sumber makanan
bagi lensa dan kornea, dihasilkan oleh processus ciliaris.
Humor vitreus : gel transparan yang terdapat di belakang lensa dan di depan
retina (mengisi segmen posterior mata)
5
Gambar 1. (http://doctorology.net/wp-content/uploads/2009/03/eye.jpg&imgrefurl)
A. ANATOMI LENSA
Pada manusia, lensa mata bikonveks, tidak mengandung pembuluh darah (avaskular),
tembus pandang, dengan diameter 9 mm dan tebal 5 mm yang memiliki fungsi untuk
mempertahankan kejernihan, refraksi cahaya, dan memberikan akomodasi.. Ke depan
berhubungan dengan cairan bilik mata, ke belakang berhubungan dengan badan kaca.
Digantung oleh Zunula zinii (Ligamentum suspensorium lentis), yang menghubungkannya
dengan korpus siliaris. Permukaan posterior lebih cembung daripada permukaan anterior.
Lensa diliputi oleh kapsula lentis, yang bekerja sebagai membran yang sempermiabel,
yang akan memperoleh air dan elektrolit untuk masuk.3,7,8
Disebelah depan terdapat selapis epitel subkapsular. Nukleus lensa lebih keras
daripada korteksnya. Sesuai dengan bertambahnya usia, serat-serat lamelar subepitel terus
diproduksi, sehingga lensa lama-kelamaan menjadi lebih besar dan kurang elastik.
Nukleus dan korteks terbentuk dengan persambungan lamellae ini ujung ke ujung
berbentuk ( Y ) bila dilihat dengan slitlamp. Bentuk ( Y ) ini tegak di anterior dan terbalik
di posterior. Lensa ditahan ditempatnya oleh ligamen yang dikenal zonula zinii, yang
tersusun dari banyak fibril dari permukaan korpus siliaris dan menyisip ke dalam ekuator
lensa.3,7,8
Lensa terdiri atas 65% air dan 35% protein (kandungan tertinggi diantara jaringan-
jaringan tubuh), dan sedikit sekali mineral yang biasa berada di dalam jaringan tubuh
lainnya. Kandungan kalium lebih tinggi di lensa daripada dikebanyakan jaringan lain.
Asam askorbat dan glutation terdapat dalam bentuk teroksidasi maupun tereduksi. Tidak
ada serat nyeri, pembuluh darah atau saraf di lensa.3,7,8
6
Gambar 2. (http://duniamata.blogspot.com/2010/05/struktur-lainnya-lensa-
kristalina.html&usg)
B. FISIOLOGI LENSA
Fungsi utama lensa adalah memfokuskan berkas cahaya ke retina. UNtuk
memfokuskan cahaya datang dari jauh, otot-otot siliaris relaksasi, menegangkan serat
zonula zinii dan memperkecil diameter anteroposterior lensa sampai ukurannya yang
terkecil, dalam posisi ini daya refraksi lensa diperkecil sehingga berkas cahaya paralel
akan terfokus ke retina. Untuk memfokuskan cahaya dari benda dekat, otot siliaris
berkontraksi sehingga tegangan zonula berkurang. Kapsul lensa yang elastik kemudian
mempengaruhi lensa menjadi lebih sferis diiringi oleh peningkatan daya biasnya.
Kerjasama fisiologis antar zonula, korpus siliaris, dan lensa untuk memfokuskan benda
dekat ke retina dikenal sebagai akomodasi.2,7
Pada orang dewasa lensanya lebih padat dan bagaian posterior lebih konveks. Proses
sklerosis bagian sentral lensa, dimulai pada masa kanak-kanak dan terus berlangsung
perlahan-perlahan sampai dewasa dan setelah ini proses bertambah cepat, dimana nukleus
menjadi besar dan korteks bertambah tipis. Pada orang tua lensa lebih besar, lebih gepeng,
warnanya kekuningan, kurang jernih dan tampak seperti “ gray reflek “ atau “senil reflek”,
yang sering disangka katarak. Karna proses sklerosis ini lensa menjadi kurang elastis dan
daya akomodasinya berkurang. Keadaan ini disebut presbiopia, dimana pada orang
Indonesia dimulai pada usia 40 tahun.2,7
C. PEMERIKSAAN LENSA
Pemeriksaan yang dilakukan pada enyakit lensa adalah pemeriksaan tajam penglihatan
dan dengan melihat lensa melalui slit lamp, oftalmoskop, penlight, loop, sebaiknya dengan
pupil dilatasi.8
7
D. METABOLISME LENSA NORMAL
Transparansi lensa dipertahankan oleh keseimbangan air dan kation (sodium dan
kalium). Kedua kation berasal dari humor aqueus dan vitreus. Kadar kalium dibagian
anterior lensa lebih tinggi dibandingkan posterior, sedangkan kadar Natrium lebih tinggi
dibagian posterior lensa. Ion kalium bergerak ke bagian posterior dan keluar ke humor
aqueus, dari luar ion natrium masuk secara difusi bergerak ke bagian anterior untuk
menggantikan ion kalium dan keluar melalui pompa aktif Na-K ATPase, sedangkan kadar
kalsium tetap dipertahankan didalam oleh Ca-ATPase.7
Metabolisme lensa melalui glikolisis anaerob (95%) dan HMP-shunt (5%). Jalur
HMP-shunt menghasilkan NADPH untuk biosintesis asam lemak dan ribose, juga untuk
aktivitas glutation reduktase dan aldose reduktase. Aldose reduktase adalah enzim yang
merubah glukosa menjadi sorbitol, dan sorbitol dirubah menjadi fruktosa oleh enzim
sorbitol dehidrogenase.7
II. DEFINISI
Katarak merupakan abnormalitas pada lensa mata berupa kekeruhan lensa yang
menyebabkan tajam penglihatan penderita berkurang. Katarak lebih sering dijumpai pada
orang tua, dan merupakan penyebab kebutaan nomor 1 di seluruh dunia. Penuaan
merupakan penyebab katarak yang terbanyak, tetapi banyak juga factor lain yang mungkin
terlibat, antara lain : trauma, toksin, penyakit sistemik (mis; diabetes), merokok, dan
herediter. Kata katarak berasal dari Yunani “katarraktes” yang berarti air terjun. Dalam
bahasa Indonesia disebut bular dimana seperti tertutup air terjun akibat lensa yang keruh.
Katarak sendiri sebenarnya merupakan kekeruhan pada lensa akibat hidrasi, denaturasi
protein, dan proses penuaan.sehingga memberikan gambaran area berawan atau putih.3,8
8
Gambar 3. (http://medicastore.com/images/katarak2.jpg&imgrefurl)
Gangguan penglihatan yang dirasakan oleh penderita katarak tidak terjadi secara
instan, melainkan terjadi berangsur-angsur, sehingga penglihatan penderita terganggu
secara tetap atau penderita mengalami kebutaan. Katarak tidak menular dari satu mata
ke mata yang lain, namun dapat terjadi pada kedua mata secara bersamaan.3,8
Katarak biasanya berkembang lambat selama beberapa tahun dan pasen mungkin
meninggal sebelum diperlukan pembedahan. Apabila diperlukan pembedahan maka
pengangkatan lensa akan memperbaii ketajaman penglihtan pada > 90% kasus.sisanya
mungkin mengalami kerusakan retina atau mengalami penyulit pasca bedah serius
misalnya glaukoma, ablasio retina, atau infesi yang menghambat pemulihan daya
pandang.3,8
Gambar 4.(http://medicastore.com/images/katarak2.jpg&imgrefurl)
III. EPIDEMIOLOGI
Lebih dari 90% kejadian katarak merupakan katarak senilis. 20-40% orang usia 60
tahun ke atas mengalami penurunan ketajaman penglihatan akibat kekeruhan lensa.
Sedangkan pada usia 80 tahun ketas insidensinya mencapai 60-80%. Prevalensi katarak
kongenital pada negara maju berkisar 2-4 setiap 10000 kelahiran. Frekuensi katarak laki-
laki dan perempuan sama besar. Di seluruh dunia, 20 juta orang mengalami kebutaan
akibat katarak.5
9
Cedera pada mata seperti pukulan keras, tusukan benda, panas yang tinggi, dan trauma
kimia dapat merusak lensa sehingga menimbulkan gejala seperti katarak.8
Katarak juga dapat terjadi pada bayi dan anak-anak, disebut sebagai katarak
kongenital. Katarak kongenital terjadi akibat adanya peradangan/infeksi ketika hamil, atau
penyebab lainnya. Katarak juga dapat terjadi sebagai komplikasi penyakit infeksi dan
metabolik lainnya seperti diabetes mellitus.3
V. PATOFISIOLOGI
Perubahan fisik dan kimia dalam lensa mengakibatkan hilangnya transparansi.
Perubahan dalam serabut halus multipel (zonula) yang memanjang dari badan siliar ke
sekitar daerah di luar lensa. Perubahan kimia dalam protein lensa dapat menyebabkan
koagulasi, sehingga mengakibatkan pandangan dengan menghambat jalannya cahaya ke
retina. Salah satu teori menyebutkan terputusnya protein lensa normal disertai influks air
ke dalam lensa. Proses ini mematahkan serabut lensa yang tegang dan mengganggu
transmisi sinar. Teori lain mengatakan bahwa suatu enzim mempunyai peran dalam
melindungi lensa dari degenerasi. Jumlah enzim akan menurun dengan bertambahnya
usia dan tidak ada pada kebanyakan pasien yang menderita katarak.3,8
Terdapat 2 teori yang menyebabkan terjadinya katarak yaitu teori hidrasi dan sklerosis:
1. Teori hidrasi terjadi kegagalan mekanisme pompa aktif pada epitellensa yang
berada di subkapsular anterior, sehingga air tidak dapatdikeluarkan dari lensa. Air
yang banyak ini akan menimbulkan bertambahnya tekanan osmotik yangmenyebabkan
kekeruhan lensa.6
2. Teori sklerosis lebih banyak terjadi pada lensa manula dimana serabutkolagen
terus bertambah sehingga terjadi pemadatan serabut kolagendi tengah. Makin lama
serabut tersebut semakin bertambah banyak sehingga terjadilah sklerosis nukleus
lensa.6
b. Mulai presbiopiac
10
2. Epitel-makin tipis
a. Sel epitel (germinatif pada ekuator bertambah besar dan berat)
b. Bengkak dan vakuolisasi mitokondria yang nyata
3. Serat lensa
a. Serat irregular
b. Pada korteks jelas kerusakan serat sel
c. Brown sclerotic nucleus, sinar UV lama kelamaan merubah
proteinnukelus lensa, sedang warna coklat protein lensa
nucleusmengandung histidin dan triptofan disbanding normal
d. Korteks tidak berwarna karenai kadar asam askorbat tinggi dan
menghalangi foto oksidasi.
Sinar tidak banyak mengubah protein pada serat muda. Perubahan fisik dan kimia
dalam lensa mengakibatkan hilangnya transparasi, akibat perubahan pada serabut
halus multipel yang memanjang dari badan siliar ke sekitar daerah di luar lensa,
misalnya menyebabkan penglihatan mengalami distorsi. Pada protein lensa
menyebabkan koagulasi, sehingga mengakibatkan pandangan dengan penghambatan
jalannya cahaya ke retina.8
VI. KLASIFIKASI
11
Supranuklear Matur Presenile
Polar Morgagni
KATARAK SENILIS
Faktor-faktor yang mempengaruhi onset, tipe, dan maturasi katarak senilis antara lain:3
1. Herediter
2. Radiasi sinar UV
3. Faktor makanan
4. Krisis dehidrasional
5. Merokok
2. Patofisiologi
Komposisi lensa sebagian besar berupa air dan protein yaitu kristalin. Kristalin α dan β
adalah chaperon, yang merupakan heat shock protein. Heat shock protein berguna untuk
menjaga keadaan normal dan mempertahankan molekul protein agar tetap inaktif sehingga
lensa tetap jernih. Lensa orang dewasa tidak dapat lagi mensintesis kristalin untuk
menggantikan kristalin yang rusak, sehingga dapat menyebabkan terjadinya kekeruhan
lensa.6,8
12
Mekanisme terjadi kekeruhan lensa
pada katarak senilis yaitu:
- Katarak insipien
Merupakan tahap dimana kekeruhan lensa dapat terdeteksi
dengan adanya area yang jernih diantaranya. Kekeruhan dapat
dimulai dari ekuator ke arah sentral (kuneiform) atau dapat
dimulai dari sentral (kupuliform). 3,5 Gambar 6
- Katarak imatur
Kekeruhan pada katarak imatur belum mengenai seluruh bagian
lensa. Volume lensa dapat bertambah akibat meningkatnya
13
tekanan osmotik, bahan lensa yang degeneratif, dan dapat terjadi glaukoma
sekunder.3 ,5 Gambar 7
- Katarak matur
Kekeruhan pada katarak matur sudah mengenai seluruh bagian lensa. Deposisi ion
Ca dapat menyebabkan kekeruhan menyeluruh pada derajat maturasi ini. Bila terus
berlanjut, dapat menyebabkan kalsifikasi lensa.3,5
Gambar 8
- Katarak hipermatur
Pada stadium ini protein-protein di bagian korteks lensa sudah
mencair. Cairan keluar dari kapsul dan menyebabkan lensa
menjadi mengerut.3,5 Gambar
9
- Katarak Morgagni
Merupakan kelanjutan dari katarak hipermatur, di mana nukleus lensa menggenang
bebas di dalam kantung kapsul. Pengeretuan dapat berjalan terus dan menyebabkan
hubungan dengan zonula Zinii menjadi longgar.3,5
14
Iris Normal Terdorong Normal Tremulans
Terjadi proses sklerotik dari nukleus lensa. hal ini menyebabkan lensa menjadi keras
dan kehilangan daya akomodasi.
Maturasi pada katarak senilis nuklear terjadi melalui proses sklerotik, dimana lensa
kehilangan daya elastisitas dan keras, yang mengakibatkan menurunnya kemampuan
akomodasi lensa, dan terjadi obtruksi sinar cahaya yang melewati lensa mata. Maturasi
dimulai dari sentral menuju perifer. Perubahan warna terjadi akibat adanya deposit
pigmen. Sering terlihat gambaran nukleus berwarna coklat (katarak brunesens) atau
hitam (katarak nigra) akibat deposit pigmen dan jarang berwarna merah (katarak
rubra).5,6
Gambar 10. (a) katarak brunesens (b) katarak nigra (c) katarak rubra
15
3. Manifestasi Klinis
Manifestasi dari gejala yang dirasakan oleh pasien penderita katarak terjadi secara
progresif dan merupakan proses yang kronis. Gangguan penglihatan bervariasi, tergantung
pada jenis dari katarak yang diderita pasien.3,5
1. Penurunan visus
2. Silau
3. Perubahan miopik
4. Diplopia monocular
5. Halo bewarna
Derajat kekerasan nukleus dapat dilihat pada slit lamp sebagai berikut.
4. Diagnosa
16
Diagnosa katarak senilis dapat dibuat dari hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik.
Pemeriksaan laboratorium preoperasi dilakukan untuk mendeteksi adanya penyakit-
penyakit yang menyertai, seperti DM, hipertensi, dan kelainan jantung.6,8
Pada pasien katarak sebaiknya dilakukan pemeriksaan visus untuk mengetahui kemampuan
melihat pasien. Visus pasien dengan katarak subcapsuler posterior dapat membaik dengan dilatasi
pupil. Pemeriksaan adneksa okuler dan struktur intraokuler dapat memberikan petunjuk terhadap
penyakit pasien dan prognosis penglihatannya. 6
Pemeriksaan slit lamp tidak hanya difokuskan untuk evaluasi opasitas lensa tetapi dapat
juga struktur okuler lain, misalnya konjungtiva, kornea, iris, bilik mata depan. Ketebalan
kornea harus diperiksa dengan hati-hati, gambaran lensa harus dicatat dengan teliti sebelum
dan sesudah pemberian dilator pupil, posisi lensa dan intergritas dari serat zonular juga
dapat diperiksa sebab subluksasi lensa dapat mengidentifikasi adanya trauma mata
sebelumnya, kelainan metabolik, atau katarak hipermatur. Pemeriksaan shadow test
dilakukan untuk menentukan stadium pada katarak senilis. Selain itu, pemeriksaan
ofthalmoskopi direk dan indirek dalam evaluasi dari intergritas bagian belakang harus
dinilai.8
5. Diagnosis Banding
6. Tatalaksana
Penatalaksanaan definitif untuk katarak senilis adalah ekstraksi lensa. Bergantung pada
integritas kapsul lensa posterior, ada 2 tipe bedah lensa yaitu intra capsuler cataract
ekstraksi (ICCE) dan ekstra capsuler cataract ekstraksi (ECCE).8
Indikasi
Indikasi penatalaksanaan bedah pada kasus katarak mencakup indikasi visus,medis, dan
kosmetik.8
1. Indikasi visus; merupakan indikasi paling sering. Indikasi ini berbeda pada tiap
individu, tergantung dari gangguan yang ditimbulkan oleh katarak terhadap aktivitas
sehari-harinya.
17
2. Indikasi medis; pasien bisa saja merasa tidak terganggu dengan kekeruhan pada
lensa matanya, namun beberapa indikasi medis dilakukan operasi katarak seperti
glaukoma imbas lensa (lens-induced glaucoma), endoftalmitis fakoanafilaktik, dan
kelainan pada retina misalnya retiopati diabetik atau ablasio retina.
3. Indikasi kosmetik; kadang-kadang pasien dengan katarak matur meminta
ekstraksi katarak (meskipun kecil harapan untuk mengembalikan visus) untuk
memperoleh pupil yang hitam.
Persiapan Pre-Operasi6
1. Pasien sebaiknya dirawat di rumah sakit semalam sebelum operasi
2. Pemberian informed consent
3. Bulu mata dipotong dan mata dibersihkan dengan larutan Povidone-Iodine 5%
4. Pemberian tetes antibiotik tiap 6 jam
5. Pemberian sedatif ringan (Diazepam 5 mg) pada malam harinya bila pasien
cemas
6. Pada hari operasi, pasien dipuasakan.
7. Pupil dilebarkan dengan midriatika tetes sekitar 2 jam sebelum operasi. Tetesan
diberikan tiap 15 menit
8. Obat-obat yang diperlukan dapat diberikan, misalnya obat asma, antihipertensi,
atau anti glaukoma. Tetapi untuk pemberian obat antidiabetik sebaiknya tidak
diberikan pada hari operasi untuk mencegah hipoglikemia, dan obat antidiabetik
dapat diteruskan sehari setelah operasi.
Anestesi8
1. Anestesi Umum
Digunakan pada orang dengan kecemasan yang tinggi, tuna rungu, atau retardasi
mental, juga diindikasikan pada pasien dengan penyakit Parkinson, dan reumatik
yang tidak mampu berbaring tanpa rasa nyeri.
2. Anestesi Lokal :
Peribulbar block
Paling sering digunakan. Diberikan melalui kulit atau konjungtiva dengan jarum
25 mm. Efek : analgesia, akinesia, midriasis, peningkatan TIO, hilangnya refleks
Oculo-cardiac (stimulasi pada n.vagus yang diakibatkan stimulus rasa sakit pada
bola mata, yang mengakibatkan bradikardia dan bisa menyebabkan cardiac
arrest)
Komplikasi :
o Perdarahan retrobulbar
o Rusaknya saraf optik
o Perforasi bola mata
o Injeksi nervus opticus
o Infeksi
Subtenon Block
18
Memasukkan kanula tumpul melalui insisi pada konjungtiva dan kapsul tenon 5
mm dari limbus dan sepanjang area subtenon. Anestesi diinjeksikan diantar
ekuator bola mata.
Topical-intracameral anesthesia
Anestesi permukaan dengan obat tetes atau gel (proxymetacaine 0.5%, lidocaine
2%) yang dapat ditambah dengan injeksi intrakamera atau infusa larutan lidokain
1%, biasanya selama hidrodiseksi.
Berikut ini akan dideskripsikan secara umum tentang tiga prosedur operasi pada ekstraksi
katarak yang sering digunakan yaitu ICCE, ECCE, dan phacoemulsifikasi, SICS.
19
Gambar 11. Teknik ICCE
Tindakan pembedahan pada lensa katarak dimana dilakukan pengeluaran isi lensa
dengan memecah atau merobek kapsul lensa anterior sehingga massa lensa dan kortek
lensa dapat keluar melalui robekan. Pembedahan ini dilakukan pada pasien katarak
muda, pasien dengan kelainan endotel, implantasi lensa intra ocular posterior,
perencanaan implantasi sekunder lensa intra ocular, kemungkinan akan dilakukan bedah
glukoma, mata dengan prediposisi untuk terjadinya prolaps badan kaca, mata
sebelahnya telah mengalami prolap badan kaca, ada riwayat mengalami ablasi retina,
mata dengan sitoid macular edema, pasca bedah ablasi, untuk mencegah penyulit pada
saat melakukan pembedahan katarak seperti prolaps badan kaca. Penyulit yang dapat
timbul pada pembedahan ini yaitu dapat terjadinya katarak sekunder.3,6,8
20
3. Phacoemulsification
KOMPLIKASI
A. Komplikasi preoperatif
a) Ansietas; beberapa pasien dapat mengalami kecemasan (ansietas) akibat
ketakutan akan operasi. Agen anxiolytic seperti diazepam 2-5 mg dapat
memperbaiki keadaan.
b) Nausea dan gastritis; akibat efek obat preoperasi seperti asetazolamid dan/atau
gliserol. Kasus ini dapat ditangani dengan pemberian antasida oral untuk
mengurangi gejala.
c) Konjungtivitis iritatif atau alergi; disebabkan oleh tetes antibiotik topical
preoperatif, ditangani dengan penundaan operasi selama 2 hari.
d) Abrasi kornea; akibat cedera saat pemeriksaan tekanan bola mata dengan
menggunakan tonometer Schiotz. Penanganannya berupa pemberian salep
antibiotik selama satu hari dan diperlukan penundaan operasi selama 2 hari.
B. Komplikasi intraoperatif
a) Laserasi m. rectus superior; dapat terjadi selama proses penjahitan.
b) Perdarahan hebat; dapat terjadi selama persiapan conjunctival flap atau selama
insisi ke bilik mata depan.
c) Cedera pada kornea (robekan membrane Descemet), iris, dan lensa; dapat
terjadi akibat instrumen operasi yang tajam seperti keratom.
d) Cedera iris dan iridodialisis (terlepasnya iris dari akarnya)
e) Lepas/ hilangnya vitreous; merupakan komplikasi serius yang dapat terjadi
akibat ruptur kapsul posterior (accidental rupture) selama teknik ECCE.
C. Komplikasi postoperatif awal
Komplikasi yang dapat terjadi segera setelah operasi termasuk hifema, prolaps iris,
keratopati striata, uveitis anterior postoperatif, dan endoftalmitis bakterial.
22
D. Komplikasi postoperatif lanjut
Cystoid Macular Edema (CME), delayed chronic postoperative endophtalmitis,
Pseudophakic Bullous Keratopathy (PBK), ablasio retina, dan katarak sekunder
merupakan komplikasi yang dapat terjadi setelah beberapa waktu post operasi.
Bagi perokok, diusahakan berhenti merokok, karena rokok memproduksi radikal bebas
yang meningkatkan risiko katarak. Selanjutnya, juga dapat mengkonsumsi makanan bergizi
yang seimbang. Memperbanyak porsi buah dan sayuran. Lindungilah mata dari sinar
ultraviolet. Selalu menggunakan kaca mata gelap ketika berada di bawah sinar matahari.
Lindungi juga diri dari penyakit seperti diabetes.6
PROGNOSIS
Tindakan pembedahan secara defenitif pada katarak senilis dapat memperbaiki ketajaman
penglihatan pada lebih dari 90% kasus. Sedangkan prognosis penglihatan untuk pasien anak-
anak yang memerlukan pembedahan tidak sebaik prognosis untuk pasien katarak senilis.
Adanya ambliopia dan kadang-kadang anomali saraf optikus atau retina membatasi tingkat
pencapaian pengelihatan pada kelompok pasien ini. Prognosis untuk perbaikan ketajaman
pengelihatan setelah operasi paling buruk pada katarak kongenital unilateral dan paling baik
pada katarak kongenital bilateral inkomplit yang proresif lambat.
23
DAFTAR PUSTAKA
1. Eva PR, Whitcher JP. Vaughan & Asbury’s General Ophthalmology. 17th ed. USA : Mc
Graw-Hill; 2007.
2. Guyton AC, Hall EH. Textbook of Medical Physiology. 11th ed. Philadelphia : W.B. Saunders
Company ; 2006.
3. Ilyas S. Ilmu Penyakit Mata. Edisi ke-3. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2010.
4. Kanski JJ, Bowling B. Clinical Ophthalmology : A Systemic Approach. 7 th ed. China:
Elsevier : 2011. (e-book)
5. Ocampo VVD. Cataract, Senile : Differential Diagnosis and Workup. 2009. Diakses dari
http://emedicine.medscape.com/article/1210914-overview, tanggal 08 Februari 2014.
6. Pascolini D, Mariotti SP. Global estimates of visual impairment:2010. BR J Ophthalmol.
2011.
7. Scanlon VC, Sanders T. Indra. In. : Komalasari R, Subekti NB, Hani A, editors. Buku Ajar
Anatomi dan Fisiologi. 3rd ed. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2007.
8. Vaughan DG, Asbury T, Riordan Eva P. Oftalmologi Umum. Edisi 14. Jakarta:
Widya Medika, 2000.
24
MEDIA MEDIKA MUDA
Volume 4, Nomor 4, Oktober 2015
Online : http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/medico
Putu Ayu Wulansari, Kentar Arimadyo,
Tuntas Shanardhono
ABSTRAK
Latar belakang: Tingginya tindakan operasi katarak berakibat terjadinya peningkatan
prevalensi komplikasi pasca operasi. Salah satu komplikasi yang sering luput dari perhatian
tenaga medis yaitu ocular surface disease akibat kerusakan epitel dan sel saraf kornea.
Sensibilitas kornea merupakan salah satu indikator representatif kondisi sel-sel tersebut.
Tujuan: Mengetahui perbandingan sensibilitas kornea sebelum dan sesudah operasi
fakoemulsifikasi
Metode: Penelitian ini merupakan penelitian analitik observasional. Data sensibilitas kornea
sebelum operasi diambil sesaat sebelum operasi, sedangkan data pasca operasi diambil pada
hari pertama dan ke-delapan. Sensibilitas kornea diukur menggunakan esthesiometer Cochet-
Bonnet. Uji statistik menggunakan uji-t berpasangan.
Hasil: Subjek penelitian adalah 15 pasien katarak senilis yang mengikuti operasi
fakoemulsifikasi. Sebanyak 60% pasien berjenis kelamin laki-laki dan berusia di atas 60
tahun. Rerata sensibilitas kornea sebelum operasi, sesudah operasi hari pertama dan hari ke-
delapan berturut-turut 4,89 cm, 4,29 cm, dan 4,71 cm. Terdapat penurunan sensibilitas kornea
secara signifikan (p= 0,000) pada hari pertama dibandingkan sebelum operasi. Pada hari
pertama dan ke-delapan ditemukan perbedaan bermakna akibat peningkatan kembali
sensibilitas kornea (p= 0,002). Data hari ke-delapan masih ditemukan penurunan
dibandingkan sebelum operasi meski tidak signifikan (p= 0,301) karena sudah mulai terjadi
pemulihan.
Kesimpulan: Terdapat penurunan sensibilitas kornea pasien katarak senilis secara signifikan
pada hari pertama pasca operasi dibandingkan sebelum operasi. Tidak terdapat penurunan
sensibilitas kornea pada pasien katarak senilis pada hari ke-delapan pasca operasi
dibandingkan sebelum operasi.
Kata kunci: sensibilitas kornea, katarak senilis, fakoemulsifikasi
ABSTRACT
CORNEAL SENSIBILITY BEFORE AND AFTER PHACOEMULSIFICATION
SURGERY IN SENILE CATARACT PATIENTS
Background: The increasing numbers of cataract surgery these days consequently resulted in
the increasing of post-operative complications. One of them which most medical doctors seem
likely to pay less attention to is the incidence of ocular surface disease due to prolonged
damaged corneal epithelial and nerve cells. Corneal sensibility is one of the representative
indicators to show the condition of inside cells.
25
Aim: To compare corneal sensibility before and after phacoemulsification surgery.
26
MEDIA MEDIKA MUDA
Volume 4, Nomor 4, Oktober 2015
Online : http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/medico
Putu Ayu Wulansari, Kentar Arimadyo,
Tuntas Shanardhono
Methods: This study is an analytic observational design. Corneal sensibility before the
surgery were obtained before the patients enter the operating room, while the data after
surgery were obtained at the first day and eighth day. Corneal sensibility was measured by
Cochet-Bonnet aesthesiometer. Paired t-test was chosen for statistical analysis.
Result: The study involved 15 senile cataract patients scheduled for phacoemulsification.
Sixty percent of the patients were male and aged 60 years or above. Corneal sensibility before
surgery, first day, and eighth day after the surgery were 4,89 cm, 4,29 cm, and 4,71 cm
respectively. There was a significant decrease (p= 0,000) on the first day after surgery
compared to before surgery. There was also significant difference (p= 0,002) between first day
and eighth day. A decrease, however statistically insignificant (p= 0,301), was found between
those before surgery and eighth day after surgery due to recovery phase.
Conclusion: There was a significant decrease of corneal sensibility in senile cataract patients
on the first day after surgery compared to before surgery. There was no decrease in the eighth
day after surgery compared to before surgery.
Keywords: corneal sensibility, senile cataract, phacoemulsification
PENDAHULUAN
Sebanyak 246 juta penduduk dunia mengalami penurunan fungsi penglihatan dan 39
juta lainnya telah menderita kebutaan. Katarak yang tidak mendapatkan penanganan tepat
1
merupakan penyebab utama gangguan penglihatan yang dapat berakhir dengan kebutaan.
Dua puluh tahun mendatang, diperkirakan populasi dunia akan bertambah sebanyak sepertiga
2
populasi saat ini. Populasi penduduk berusia di atas 65 tahun akan menjadi dua kali lipat, di
2
mana dominannya pertumbuhan ini akan terjadi di negara berkembang. Sebagian besar
katarak terjadi sebagai konsekuensi proses degenerasi, sehingga besarnya jumlah penderita
2-6
katarak berbanding lurus dengan besarnya jumlah penduduk berusia lanjut. Di Indonesia,
tingginya angka kebutaan yang mencapai 1,5% merupakan angka tertinggi di regional Asia
5
Tenggara. Berdasarkan survei kesehatan indera 2004-2005 oleh Departemen Kesehatan RI,
5
katarak merupakan penyebab kebutaan paling utama yaitu sebesar 52%. Hal ini sejalan
dengan data yang juga dilaporkan dari Departemen Kesehatan RI, katarak menduduki
peringkat kedua dari distribusi penyakit mata dan adneksa pasien di rumah sakit.
3,4
Manajemen definitif penanganan kasus katarak yaitu dengan tindakan operasi.
Operasi katarak merupakan salah satu operasi yang paling sering dilaksanakan di berbagai
3,4,8
tipe rumah sakit dengan success rate sangat tinggi. Seiring dengan jumlah kasus yang
bertambah, pengetahuan akan teknik-teknik operasi juga terus berkembang. Dewasa ini,
teknik yang banyak digunakan adalah tindakan bedah insisi kecil manual (Manual Small
27
7,8
Incision Cataract Surgery / Manual SICS) dan fakoemulsifikasi.
1362
28
MEDIA MEDIKA MUDA
Volume 4, Nomor 4, Oktober 2015
Online : http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/medico
Putu Ayu Wulansari, Kentar Arimadyo,
Tuntas Shanardhono
Teknik SICS dan fakoemulsifikasi memiliki beberapa kelebihan seperti jangka waktu
operasi yang lebih pendek dan masa pemulihan pasien yang lebih cepat.7,8 Namun, pada
dasarnya semua tindakan insisi pada operasi katarak tetap dapat menimbulkan trauma pada
struktur kornea dan jaringan di sekitarnya. 9-12 Insisi pada pembedahan katarak dapat mengenai
7,9-12
serabut saraf innervasi kornea yaitu nervus trigeminalis yang apabila terganggu akan segera
9,12-
memberikan efek perubahan sensibilitas pada kornea saat diberikan suatu rangsang.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian observasional pada pasien katarak senilis yang
menjalani operasi fakoemulsifikasi di RSUP Dr. Kariadi dalam periode waktu April –Mei
2015. Penelitian ini menggunakan data pemeriksaan langsung sensibilitas kornea
menggunakan instrumen estesiometri Cochet-Bonnet, membandingkan data sebelum operasi
dan sesudah operasi hari pertama serta ke-delapan bertepatan jadwal pasien kembali kontrol
ke dokter. Pemilihan sampel dilakukan dengan consecutive sampling. Pasien yang bersedia
diikutsertakan dalam penelitian dan hadir pada waktu evaluasi sensibilitas kornea hari pertama
dan ke-delapan akan diberikan informed consent. Pasien dengan riwayat operasi intraokuler,
bedah refraktif, kelainan intraokuler, maupun trauma mata sebelumnya, juga yang saat
pemeriksaan sedang mengalami inflamasi segmen anterior mata akan dieksklusi dari sampel.
Kriteria eksklusi lainnya yaitu pasien dengan riwayat kelainan saraf dan konsumsi obat-obatan
yang mempengaruhi stabilitas air mata, pasien dengan Diabetes Melitus, dan pasien dengan
komplikasi pasca pembedahan.
29
pasien pada penelitian ini yaitu 15 orang. Pada penelitian ini ditetapkan variabel bebasnya
adalah operasi fakoemulsifikasi dan variabel terikat yaitu sensibilitas kornea yang diperiksa di
kuadran sentral dengan nilai normalnya 4 cm.
Untuk statistika pengolahan data dimulai dengan uji normalitas Sapphiro – Wilk dan
untuk uji hipotesisnya menggunakan uji-t untuk 2 kelompok berpasangan. Nilai p dianggap
bermakna apabila < 0,05.
HASIL
Berikut pada tabel 1 dan 2 disajikan data karakteristik dasar dari ke-limabelas pasien
katarak senilis yang telah diperiksa sensibilitas korneanya dengan bantuan dokter residen mata
yang sedang bertugas saat itu. Mayoritas pasien berjenis kelamin laki-laki dengan rerata usia
60,33 tahun. Tabel 2 menjabarkan nilai sensibilitas kornea sesaat sebelum operasi, yang
diulang 3 kali kemudian dihitung rata-ratanya. Nilai terkecil saat pemeriksaan tersebut adalah
30
Seluruh penilaian sensibilitas kornea sebelum dan sesudah operasi dipaparkan pada tabel 3.
Pada tabel 4 dilakukan uji t untuk kelompok pertama yaitu membandingkan data sebelum
operasi dan sesudah operasi hari pertama. Didapatkan penurunan bermakna (p=0,000) karena
rerata sensibilitas kornea turun hingga 4,29 cm dari 4,89 cm dengan beda rerata 0,60.
31
Selanjutnya pada hari ke-delapan tidak ditemukan lagi penurunan melainkan peningkatan
secara signifikan (p=0,002) dari 4,29 cm menjadi 4,89 cm. Tabel 5 menunjukkan hasil uji t
pada kelompok kedua yaitu membandingkan data sesudah operasi hari pertama dan hari ke-
delapan.
Sehingga, saat melakukan uji hipotesis untuk kelompok ketiga yaitu membandingkan data
sebelum operasi dengan sesudah operasi hari ke-delapan tidak ditemukan perbedaan yang
signifikan (p=0,301) pada tabel 6, dengan beda rerata hanya 0,18. Hal ini dikarenakan
sensibilitas kornea setelah hari pertama sudah mengalami peningkatan atau perbaikan hingga
mendekati nilai dasar seperti sebelum operasi fakoemulsifikasi dilakukan. Selanjutnya lebih
32
PEMBAHASAN
Penelitian ini dilakukan pada 15 mata dengan katarak senilis. Persentase subjek
penelitian yang berjenis kelamin laki-laki lebih besar dibandingkan dengan jenis kelamin
perempuan, yaitu berturut-turut sebesar 60% dan 40%. Saat ini penulis belum menemukan
teori relevan mengenai tendensi predileksi jenis kelamin pada kasus kejadian katarak.
Penelitian ini mendapatkan bahwa teknik fakoemulsifikasi untuk katarak ditemukan lebih
banyak pada usia di atas 60 tahun dengan persentase 60%. Rerata usia subjek penelitian 60,33
+-6,46 tahun. Hal ini sesuai dengan teori di mana insidensi kasus katarak meningkat dengan
33
usia, biasanya timbul di atas usia 50 tahun dan pada usia di atas 60 tahun terdapat 50%
Sensibilitas kornea sebelum operasi ditemukan 100% normal pada seluruh subjek
penelitian. Pada penelitian ini hanya dilakukan pengukuran sensibilitas kornea secara umum
di bagian sentral karena mengandung densitas persarafan tertinggi dan didapatkan rerata
sensibilitas kornea 4,89+-0,61 cm. Hasil ini ditemukan normal kemungkinan karena seluruh
subjek penelitian tidak memiliki faktor resiko lain penurunan sensibilitas kornea selain usia
Pada penelitian ini didapatkan perbedaan bermakna pada follow-up sensibilitas kornea
hari pertama, sedangkan pada hari ke-delapan masih ditemukan penurunan meski tidak
signifikan. Sensibilitas kornea menurun sejak hari pertama pasca operasi dan berubah
Pada hari pertama didapatkan penurunan sensibilitas kornea namun masih dalam batas
normal. Hal ini sesuai dengan penelitian di mana operasi fakoemulsifikasi menggunakan
teknik insisi minimal berukuran 2,75 mm di temporal. Ukuran insisi berhubungan dengan
tingkat penurunan sensibilitas kornea, seperti juga dipaparkan pada penelitian Grace dan
Anom ketika membandingkan 2 teknik operasi dengan 2 ukuran insisi yang berbeda.10,11
Sensibilitas kornea menurun di lokasi insisi pada hari pertama setelah pembedahan diikuti
dengan penurunan sensibilitas kornea di lokasi lain. Hal ini sesuai dengan ilustrasi penyebaran
saraf trigeminalis di area subbasal memasuki kornea dari bagian temporal ke arah sentral,
kemudian menyebar sehingga akan menyebabkan penurunan sensibilitas kornea juga di lokasi
lainnya dan akhirnya, sensibilitas kornea menurun secara umum. Selain itu, pada tingkat
seluler, proses inflamasi setelah pembedahan pada permukaan bola mata dapat mempengaruhi
inflamasi endogen seperti proton, ion K, sitokin, asam arakidonat, akan dilepaskan dan dapat
34
Selanjutnya pada hari ke-delapan, grafik sebelumnya menunjukkan bahwa terdapat
peningkatan kembali sensibilitas kornea mendekati nilai saat pengambilan data sebelum
operasi dilakukan. Perubahan ini signifikan dibandingkan nilai sebelumnya pada hari pertama
yang mengindikasikan terjadinya proses pemulihan sel saraf. Dalam mendorong proses
penyembuhan luka setelah adanya trauma mata dan mempertahankan struktur kornea yang
sehat, sebuah studi menemukan bahwa sel-sel epitel, stroma, dan sel saraf kornea menyokong
satu sama lain dengan jalan saling mensekresi substansi-substansi solubel neurotropik. Rozsa
et al menyebutkan dalam penelitiannya pemulihan luka di lapisan stroma kornea terjadi pada
hari ke-lima pasca operasi dan pembentukan sel-sel neurit mulai pada hari ke-25. Dengan
begitu dapat dikatakan proses pemulihan sel saraf kornea berjalan sangat perlahan dan
menghabiskan waktu yang cukup lama namun sudah dapat dilihat perubahannya sejak hari ke-
lima.16,17
SIMPULAN
Dari hasil penelitian didapatkan kesimpulan bahwa terdapat penurunan sensibilitas kornea
pasien katarak senilis secara signifikan pada hari pertama pasca operasi dibandingkan sebelum
operasi dan tidak terdapat penurunan sensibilitas kornea pasien katarak senilis secara
35
36