Anda di halaman 1dari 20

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Keluarga

1. Pengertian Keluarga

Keluarga adalah dua orang atau lebih yang disatukan oleh

kebersamaan dan keadaan emosional serta mengidentifikasi dirinya sebagai

bagian dari keluarga (Friedman, 2010, p.03). Keluarga adalah sekumpulan

orang yang dihubungkan oleh ikatan perkawinan, odopsi dan kelahiran yang

bertujuan menciptakan dan mempertahankan budaya umum, meningkatkan

perkembangan fisik, mental dan emosional serta sosial individu yang ada

didalamnya, dilihat dari interaksi yang reguler dan ditandai dengan adanya

ketergantungan dan hubungan untuk mencapai tujuan umum (Zaidin, 2009,

p.17).

Keluarga merupakan unit pelayanan kesehatan yang utama dalam

meningkatkan derajat kesehatan. Apabila anggota keluarga sehat, maka

akan tercipta sebuah keluarga yang sehat. Masalah kesehatan yang dialami

oleh salah satu anggota keluarga dapat mempengaruhi anggota keluarga

yang lain (Sudiharto, 2007, p.22).

Secara tradisional keluarga dikelompokkan dalam 2 (dua) bagian

(Suprajitno, 2004, p.32), yaitu :

a) Keluarga inti (nuclear family) yaitu keluarga yang terdiri dari suami, istri,

dan anak (kandung atau angkat)

9
10

b) Keluarga besar (extended family) adalah keluarga inti yang ditambah

anggota keluarga lain yang masih mempunyai hubungan darah (kakek-

nenek, paman-bibi).

2. Fungsi Keluarga

Secara umum fungsi keluarga menurut Friedman (2010, p.09) adalah:

a) Fungsi Afektif, yaitu fungsi keluarga yang utama untuk pembentukan

segala sesuatu yang dibutuhkan untuk perkembangan individu dan

psikososial anggota keluarga.

b) Fungsi Sosialisasi, adalah fungsi mengembangkan dan melatih anak untuk

kehidupan sosial sebelum meninggalkan rumah dan berhubungan dengan

orang lain di luar rumah

c) Fungsi Reproduktif, adalah fungsi untuk mempertahankan generalisasi dan

menjaga kelangsungan hidup.

d) Fungsi Ekonomi, yaitu keluarga berfungsi untuk memenuhi kebutuhan

keluarga.

e) Fungsi Perawatan/ pemeliharaan kesehatan yaitu fungsi untuk

mempertahankan keadaan kesehatan keluarga agar tetap memiliki

produktifitas tinggi. Fungsi ini dikembangkan menjadi fungsi keluarga di

bidang kesehatan.

Sesuai dengan fungsi pemeliharaan kesehatan, keluarga mempunyai tugas

di bidang kesehatan yang perlu dipahami dan dilakukan oleh setiap anggota

keluarganya yaitu mengenal masalah kesehatan keluarga, memutuskan tindakan

kesehatan yang tepat bagi keluarga, merawat keluarga yang mengalami

gangguan kesehatan, memodifikasi lingkungan keluarga untuk menjamin


11

kesehatan keluarga dan memanfaatkan fasilitas kesehatan yang ada di sekitarnya

bagi keluarga (Suprajitno, 2004, p.27)

Keluarga mempunyai cara-cara tertentu untuk mengatasi masalah

kesehatan. Kegagalan dalam mengatasinya akan mengakibatkan penyakit atau

sakit terus menerus dan keberhasilan keluarga untuk berfungsi sebagai satu

kesatuan yang utuh akan berkurang. Dalam perawatan kesehatan, keluarga harus

mampu untuk melaksanakan tugas pemeliharaan kesehatannya sendiri,

mengatasi dengan baik setiap terjadi gangguan kesehatan. Fungsi kesehatan

keluarga menurut (Friedman, 2010, p.15) adalah :

a. Mengenal masalah kesehatan setiap anggota keluarga.

Mengenal diartikan sebagai pengingat sesuatu yang sudah dipelajari

atau diketahui sebelumnya. Sesuatu tersebut adalah sesuatu yang spesifik

dari seluruh bahan yang dipelajari atau rangsangan yang telah diterima.

Dalam mengenal masalah kesehatan keluarga haruslah mampu mengetahui

tentang sakit yang dialami anggota keluarga (Notoatmodjo, 2003, p.42).

Kesehatan merupakan kebutuhan keluarga yang tidak boleh diabaikan

karena tanpa kesehatan sesuatu tidak bearti dan karena kesehatanlan seluruh

kekuatan sumber daya dan dana keluarga habis. Orang tua perlu mengenal

keadaan sehat dan perubahan-perubahan yang dialami keluarga. Perubahan

sekecil apapun yang dialami anggota keluarga secara tidak langsung akan

menjadi perhatian dari orang tua atau pengambilan keputusan dalam

keluarga (Dion, 2013, p.09).


12

b. Mengambil keputusan untuk tindakan kesehatan yang tepat

Peran ini merupakan upaya keluarga yang paling utama untuk mencari

ang tepat sesuai dengan keadaan keluarga, dengan pertimbangan siapa di

antara anggota keluarga yang mempunyai kemampuan memutuskan untuk

menentukan tindakan keluarga. Tindakan kesehatan yang dilakukan

keluarga diharapkan tepat agar masalah kesehatan dikurangi atau bahkan

dapat teratasi. Jika keluarga mempunyai keterbatasan dapat meminta

bantuan kepada orang di lingkungan tinggal keluarga agar memperoleh

bantuan (Suprajitno, 2004, p.27).

Dalam mengatasi masalah kesehatan yang terjadi pada keluarga, yang

mengambil keputusan dalam pemecahannya adalah tetap kepala keluarga

atau anggota keluarga yang dituakan. Dalam pengambilan keputusan

tersebut adalah hak dan tanggung jawabnya sebagai kepala keluarga,

kewenangan dan otoritas yang telah diakui oleh masing-masing anggota

keluarga, dan hak dalam menentukan masalah dan kebutuhan pelayanan

terhadap keluarga atau anggota keluarga yang bermasalah (Effendy, 1998,

p.16).

Menurut Friedman (1998, p.17), ada tiga tipe proses pembuatan

keputusan yaitu:

1) Mengambil keputusan dengan konsensus yaitu teknik pertama dalam

mengambil keputusan dimana tindakan tertentu yang diambil secara

bersama-sama yang disetujui oleh semua anggota keluarga.

2) Mengambil keputusan dengan cara akomodasi, disini perasaan awal

anggota keluarga tentang isu-isu yang berlawanan. Tetapi ada beberapa


13

anggota keluarga membuat kelonggaran, baik keputusan yang

diinginkan atau yang tidak inginkan.

3) Membuat keputusan De-facto, yaitu semua anggota keluarga dapat

mengambil keputusan tanpa adanya perencanaan terlebih dahulu.

Pengambilan keputusan dipaksakan oleh keadaan.

c. Memberikan perawatan kepada anggota keluarga yang sakit

Beberapa keluarga akan membebaskan orang yang sakit dari peran

dan tanggung jawabnya secara penuh. Pemberian perawatan secara fisik

merupakan beban yang paling berat yang dirasakan keluarga (Friedman,

2010, p.11). Ketika memberikan perawatan kepada anggota keluarganya

yang sakit, keluarga harus mengetahui keadaan penyakitnya, sifat dan

perkembangan perawatan yang dibutuhkan, keadaan fasilitas yang

dibutuhkan, sumber-sumber yang ada dalam keluarga, dan sikap keluarga

terhadap yang sakit (Dion, 2013, p.13).

Sering kali keluarga telah mengambil tindakan yang tepat dan benar,

tetapi keluarga memiliki keterbatasan-keterbatasan yang telah diketahui

keluarga itu sendiri. Jika demikian anggota keluarga dengan anak

thalasemia perlu memperoleh tindakan lebih lanjut atau perawatan agar

masalah yang lebih parah tidak terjadi. Perawatan dapat dilakukan di

institusi pelayanan kesehatan atau di rumah apabila keluarga telah memiliki

kemampuan melakukan tindakan untuk pertolongan pertama (Suprajitno,

2004, p.29).
14

d. Mempertahankan suasana rumah yang mendukung

Rumah adalah sebagai tempat berteduh dan berlindung serta

bersosialisasi bagi anggota keluarga, sehingga anggota keluarga lebih

banyak waktu berhubungan dengan lingkungan tempat tinggal. Oleh

karenanya kondisi rumah haruslah dapat menjadi lambang ketenangan,

keindahan dan ketentraman, dan yang lebih penting adalah dapat menunjang

derajat kesehatan bagi anggota keluarga (Mubarak, 2006, p.39).

Dalam memelihara kesehatan hal-hal yang perlu dilakukan keluarga

diantaranya keluarga harus bisa memodifikasi lingkungan yang menjamin

kesehatan keluarga. Oleh sebab itu keluarga harus mengetahui tentang

pentingnya sanitasi lingkungan dan manfaatnya, memiliki kebersamaan

dalam meningkatkan dan memelihara lingkungan rumah yang menunjang

kesehatan. Keluarga perlu memodifikasi lingkungan rumah yang

mendukung bagi anak yang sakit karena sebagian besar waktu anak habis

dirumah sehingga kebersihan dan kondisi lingkungan yang mendukung

akan membuat anak nyaman saat dirumah dan menjamin kesehatan anak

(Friedman, 2010, p.18).

d. Menggunakan fasilitas pelayanan kesehatan

Untuk mengetahui kemampuan keluarga dalam memanfaatkan sarana

kesehatan perlu dikaji tentang pengetahuan keluarga tentang fasilitas

kesehatan yang dapat dijangkau keluarga, keuntungan dari adanya fasilitas

kesehatan, kepercayaan keluarga terhadap fasilitas kesehatan yang ada,

fasilitas kesehatan yang dapat terjangkau oleh keluarga (Zaidin, 2006, p.14).
15

Keluarga merupakan suatu sistem yang saling berhubungan antar sub

sistem yaitu anggota, fungsi, peran, aturan, budaya dan lainnya yang

dipelajari dan dipertahanankan dalam kehidupan keluarga. Bila salah satu sub

sistem (anggota keluarga) kehilangan fungsi maka peran anggota keluarga

akan berpengaruh dalam sebuah keluarga. Dalam sebuah unit keluarga,

disfungsi apa saja (penyakit, cidera, perpisahan) akan mempengaruhi satu

atau lebih anggota keluarga dalam hal tertentu. Keluarga mempunyai

hubngan yang erat serta bersifat mandiri, dan masalah seorang individu dapat

mempengaruhi anggota keluarga yang lain serta seluruh sistem keluarga.

Hubungan yang kuat antara keluarga dan status anggota keluargany, yang

berperan dari keluarga sangat penting bagi setiap aspek perawatan kesehatan

mulai dari strategi hingga fase rehabilitasi (Zaidin, 2006, p.21).

3. Peran Keluarga

Peran formal dalam keluarga menurut Nasrul Effendy (1998) dalam Dion

(2013, p.17) setiap anggota keluarga mempunyai peran masing-masing yaitu:

a) Peranan Ayah : sebagai suami dari istri dan ayah dari anak-anak berperan

sebagai pencari nafkah, pendidik, pelindung dan pemberi rasa aman. Juga

sebagai kepala keluarga, sebagai anggota dari kelompok sosialnya serta

sebagai anggota masyarakat dari lingkungan.

b) Peranan Ibu : sebagai istri dari suami dan ibu dari anak-anak berperan untuk

mengurus rumah tangga, sebagi pengasuh dan pendidik bagi anak-anaknya,

pelindung dan salah satu anggota kelompok sosial, serta sebagai anggota

masyarakat dan lingkungan di samping dapat berperan pula sebagai pencari

nafkah tambahan keluarga.


16

c) Peranan Anak : melaksanakan peranan psikososial sesuai dengan tingkat

perkembangannya baik fisik, mental, sosial dan spiritual.

B. Konsep Thalasemia

1. Pengertian Thalasemia

Thalasemia merupakan penyakit anemia hemolitik herediter yang

diturunkan secara resesif. Secara molukuler thalasemia dibedakan atas

thalasemia alfa dan beta, sedangkan secara klinis dibedakan atas

thalasemia mayor dan minor (Mansjoer, 2003, p.327). Thalasemia

dikatakan sebagai kelainan darah bawaan yang ditandai dengan defisiensi

pada kecepatan produksi rantai globin yang spesifik dalam Hb. Penyakit

beta thalasemia paling sering dijumpai diantara semua jenis penyakit

thalasemia. Thalasemia mayor atau anemia cooley yang menimbulkan

anemia berat kemudian di ikuti dengan gagal jantung dan kematian dalam

awal masa kanak-kanak jika tidak mendapat transfusi. Sebagian anak yang

mendapatkan transfusi dan terapi kelasi dini akan hidup dengan baik

sampai usia dewasa (Wong, 2008, p.1161).

2. Klasifikasi thalasemia

Jenis-jenis thalasemia menurut Hoffbrand (2005, p.66-74) antara

lain sebagai berikut:

a. Thalasemia α

Sindrom thalasemia α biasanya disebabkan oleh delegasi gen

yang secara normal terdapat 4 buah gen globin α, oleh sebab itu

beratnya penyakit secara klinis dapat digolongkan menurut jumlah gen

yang tidak ada atau tidak aktif. Tidak ada keempat gen α akan menekan
17

sintesis rantai α seluruhnya sehingga menyebabkan kematian inutero.

Delegasi tiga gen α menyebabkan anemia mikrositik hipokrom yang

cukup berat (hemoglobin 7-11 gr/dl) disertai splenomegali.

Terjadinya sifat thalasemia α (thalasemia trait) disebabkan oleh

hilangnya satu atau dua gen dan biasanya tidak disertai anemia.

Thalasemia α merupakan anemia mikrositik yang disebabkan oleh

defisiensi sistesis globin α yang banyak ditemukan di Afrika, negara di

daerah Mediterania dan sebagian besar Asia (Behrman, Kliegman, dan

Arvin (2000, p.1711).

b. Thalasemia β

1) Thalasemia β mayor

Keadaan ini rata-rat terjadi pada 1 dari 4 anak bila kedua

orang tuanya merupakan pembawa sifat thalasemia β dimana tidak

ada rantai β atau sedikit rantai β yang disintesis. Thalasemia β

(thalasemia mayor) dimanifestasikan dengan adanya anemia

hemolitik kronis yang progresif selama 6 bulan (Behrman,

Kliegman, dan Arvin, 2000. p.1709). Gambaran klinis thalasemia

β yaitu:

a) Anemia berat menjadi nyata pada usia 3-6 bulan setelah

kelahiran

b) Pembesaran hati dan limpaterjadi akibat destruksi eritrosit

berlebihan. Limpa yang besar meningkatkan kebutuhan darah

dengan meningkatkan volume plasma dan meningkatkan

destruksi eritrosit dan cadangan eritrosit.


18

c) Pelebaran tulang disebabkan oleh hiperplasia sumsum tulang

yang hebat menyebabkan terjadinya fasies thalasemia dan

penipisan korteks dibanyak tulang dengan suatu

kecenderungan terjadinya fraktur dan penonjolan tengkorak.

d) Usia pasien dapat diperpanjang dengan pemberian transfusi

darah tetapi penimbunan zat besi yang disebabkan oleh

transfusi berulang tidak terhindar kecuali diberikan terapi

kelasi. Tiap 500 ml darah mengandung sekitar 250 mg besi,

dimana zat besi dapat merusak hati dan organ endokrin dan

miokardium. Tanpa kelasi besi yang intensif kematian dapat

terjadi akibat gagal jantung kongestif atau arimia jantung.

e) Infeksi dapat terjadi karena berbagai alasan. Pada masa bayi

tanpa transfusi yang mencukupi anak yang menderita anemia

rentan terhadap infeksi bakteri.

2) Thalasemia β minor

Keadaan ini adalah kelainan yang umum biasanya tanpa

gejala ditandai oleh gambaran darah mikrositik hipokrom anemia

ringan (hemoglobin 10-15 g/dl) yang dikelirukan dengan defisiensi

Fe.

3) Thalasemia Intermedia

Thalasemia dengan derajat keparahan sedang (hemoglobin

7,0-10,0 g/dl) yang tidak memerlukan transfusiteratur. Thalasemia

ini merupakan sindrom klinis yang dapat disebabkan oleh berbagai

cacat genetik. Penderita thalasemia intermedia dapat


19

memperlihatkan adanya deformitas tulang, pembesaran hati, dan

limpa, eritropoiesis eksramedular dan gambaran kelebihan besi

disebabkan oleh absorsi besi yang meningkat.

Menurut Suriadi & Rita (2006. p.28), adapun klasifikasi thalasemia antara lain:

a) Thalasemia α merupakan defisiensi pada rantai α

b) Thalasemia β merupakan defesiensi pada rantai β dan kasus yang

terbanyak, terdiri dari 3 bentuk:

(1) Thalasemia minor/thalasemia trait yaitu ditandai oleh anemia.

Mikrositik dan bentuk heterozigot.

(2) Thalasemia intermedia yaitu ditandai oleh splenomegali, anemia

berat dan bentuk homozigot.

(3) Thalasemia mayor yaitu anemia berat dan tidak dapat hidup tanpa

transfusi.

3. Patofisiologi

Penyebab anemia pada thalasemia bersifat primer dan sekunder. Primer

adalah berkurangnya sintesis HbA dan eritropoesis yang tidak efektif disertai

penghancuran sel-sel eritrosit intramedular. Sedangkan yang sekunder karena

defisiensi asam folat, bertambahnya volume plasma intravaskular yang

mengakibatkan hemodilus, dan destruksi eritrosit oleh sistem retikuloendotelial

dalam limpa dan hati (Mansjoer, 2003). Penelitian biomolekular menunjukkan

adanya mutasi DNA pada gen sehingga produksi rantai alfa dan beta dari

hemoglobin berkurang. Terjadinya hemosiderosis merupakan hasil kombinasi

antara tranfusi berulang, peningkatan absorbsi besi dalam usus karena


20

eritropoesis yang tidak efektif, anemia kronis, serta proses hemolisis (Mansjoer,

2003, p.212).

4. Manifestasi Klinis

a. Thalasemia α

Menurut Hoffbrand (2005, p.66), pada thalasemia α memiliki gejala klinis

yang dapat ditimbulkan sebagai berikut :

1) Terjadi delesi gen α menyebabkan anemia mikrositik hipokrom

dengan morfologi eritrosit yang abnormal. Selain itu pada temuan lab

menunjukkan Hb (7-10 g/dl) yang disertai dengan splenomegali.

2) Jika terkena pada bayi baru lahir, umumnya disertai dengan jantung

kongestif, edema anasarka berat, retardasi mental, dan mikrosefali.

3) Umumnya bayi dengan thalasemia α yang dapat hidup dengan

manajemen neonatus agresif bergantung dengan transfusi.

b. Thalasemia β

1) Thalasemia mayor

Menurut Behrman, Kliegman, dan Arvin (2000, p.1709),

beberapa gejala klinis yang terjadi pada thalasemia mayor adalah

sebagai berikut :

a) Mengalami perubahan anatomik yang sering dan mengalami

anemia hemolitik dengan derajat ekstrim.

b) Kombinasi eritropoiesis yang kurang efektif dan hemolisis

menyebabkan terjadinya hiplasia hebat.

c) Sumsum tulang eritropoietik yang terus mengalami pertumbuhan

dapat mengisi seluruh ruang intermedula tulang sehingga


21

menggangu proses pertumbuhan tulang dan menyebabkan

deformitas tulang.

d) Adanya splenomegali, hepatomegali dan limfadenopati yang

mencolok.

e) Masa jaringan eritropoetik yang membesar menyebabkan terjadinya

retardasi pertumbuhan dan cachexia seperti yang terjadi pada

penderita kanker kecuali diambil langkah untuk mencegah kelebihan

beban zat besi dalam tubuh.

f) Transfusi darah regular diperlukan untuk mencegah kelemahan

tubuh dan gagal jantung yang disebabkan oleh anemia.

g) Pada temuan lab didapatkan kelainan morfologi eritrosit. Sejumlah

besar eritrosit yang berinti berada di darah tepi. Kadar hemoglobin

turun cepat menjadi <5 g/dl, kecuali jika diberikan transfusi. Kadar

bilirubin serum tidak terkonjugasi meningkat, serta kadar serum besi

tinggi dengan saturasi kapasitas pengikat besi.

2. Thalasemia Minor

Menurut Behrman, Kliegman, dan Arvin (2000, p.1711) thalasemia minor

memiliki gejala klinis yang dapat timbul, yaitu:

a) Adanya deformitas skelet dan hepatosplenomegali.

b) Dapat terjadi hemosiderosis karena absorpsi besi pada gastrointestinal yang

meningkat.

c) Pada temuan laboratorium didapatkan hemoglobin yang khas sekitar 2-3

g/dl.

d) Umunya sering didiagnosis sebagai anemia defisiensi besi.


22

e) Pada masa neonatus, defek ini ditandai dengan anemia hemolitik disertai

splenomegali dan transfusi suportif diperlukan.

Menurut Mansjoer (2003, p.247) Pada bayi baru lahir dengan thalasemia

mayor gejala awal pucat mulanya tidak jelas, biasanya menjadi lebih berat

dalam tahun pertama kehidupan dan pada kasus yang berat terjadi dalam

beberapa minggu setelah lahir. Bila penyakit ini tidak ditangani dengan baik,

tumbuh kembang masa kehidupan anak akan terhambat. Anak tidak nafsu

makan, diare, kehilangan lemak tubuh, dan dapat disertai demam berulang akibat

infeksi. Anemia berat dan lama biasanya menyebabkan pembesaran jantung,

tulang yang menetap, yaitu terjadinya bentuk muka mongoloid akibat sistem

eritropoesis yang hiperaktif. Adanya penipisan korteks tulang panjang, tangan,

dan kaki dapat minimbulkan fraktur patologis. Penyimpangan pertumbuhan

akibat anemia dan kekurangan gizi menyebabkan perawakan pendek. Kadang-

kadang ditemukan epistaksi, pigmentasi kulit, koreng pada tungkai, dan batu

empedu. Pasien menjadi peka terhadap infeksi terutama bila limfanya telah

diangkat sebelumusia 5 tahun dan mudah mengalami septisemia yang dapat

menyebabkan kematian.

5. Perawatan Thalasemia

Saat ini belum ada obat yang tepat untuk menyembuhkan pasien

thalasemia. Transfusi darah diberikan jika kadar hemoglobin telah rendah

(kurang dari 6 gr/dl) atau bila anak terlihat lemah dan tidak nafsu makan.

Penderita thalasemia membutuhkan donor darah yang sangat banyak, rasionya 1

orang pasien harus mempunyai 10 orang pendonor darah. Di samping itu

diberikan berbagai vitamin, terapi preparat yang mengandung zat besi tidak
23

boleh diberikan. Penderita thalasemia bisa mengalami anemia akibat rendahnya

kadar hemoglobin (Hb) sehingga oksigen dalam darah berkurang. Pada dasarnya

perawatan pasien thalasemia sama dengan pasien anemia lainnya, yaitu

memerlukan perawatan tersendiri dan perhatian lebih. Masalah lain anak dengan

thalasemia yang perlu diperhatikan adalah masalah nutrisi, yang menyebab

resiko terjadinya komplikasi akibat transfusi yang berulang (Ngastiyah, 2005,

p.72).

6. Pengobatan Thalasemia

Menurut Hoffbrand (2005, p.72-75), adapun pengobatan bagi penderita

thalasemia antara lain:

a. Transfusi darah yang teratur perlu dilakukan untuk mempertahankan

hemoglobin di atas 10 g/dl setiap saat dan hal ini biasanya membutuhkan 2-

3 unit tiap 4-6 minggu.

b. Asam folat diberikan secara teratur (misalnya: 5mg/hari) jika asupan diet

buruk.

c. Terapi khelasi bisa digunakan untuk mengatasi kelebihan besi dengan

menggunakan desferioksamin yang diberikan melalui kantong infus

sebanyak 1-2 g untuk tiap unit darah yang ditransfusikan dan melalui infus

subkutan 20-40 mg/kg dalam 8-12 jam, 5-7 hari seminggu. Jika pasien patuh

dengan regimen khelasi besi yang intensif maka harapan hidup penderita

thalasemia mayor terbaik.

d. Vitamin C (200 mg/hari) meningkatkan eksresi besi yang disebabkan oleh

desferioksamin.
24

e. Splenektomi mungkin perli dilakukan untuk mengurangikebutuhan darah.

Splenektomi harus ditunda sampai pasien berusia >6 tahun karena tingginya

resiko infeksi pasca splenektomi. Vaksinasi dan antibiotik harus diberikan.

f. Terapi endokrin diberikan sebagai terapi pengganti akibat kegagalan organ

akhir atau untuk merangsang hipofisis bila pubertas terlambat.

g. Imunisasi hepatitis B harus dilakukan pada semua pasien non-imun. Pada

hepatitis C yang ditularkan lewat transfusi diobati dengan interferon α dan

ribavirin apabila ditemukan genom virus dalam plasma.

h. Transplantasi sumsum tulang alogenik memberi prospek kesembuhan yang

permanen. Tingkat kesuksesannya (ketahanan hidup bebas thalasemia

mayor jagka panjang) adalah lebih dari 80% pada pasien muda yang

mendapatkan khelasi secara baik tanpa disertai fibrosis hati atau

hepatomegali.

Penatalaksanaan terapeutik untuk penderita thalasemia antara lain (Suriadi &

Rita , 2006. p. 29-30):

a. Pemberian transfusi hingga Hb mencapai 10g/dl. Komplikasi dari

pemberian transfusi darah yang berlebihan akan menyebabkan terjadinya

penumpukan zat besi yang disebut hemosiderosis dan dapat dicegah

dengan pemberian deferoxamine (desferal).

b. Splenectomy dilakukan untuk mengurangi penekanan pada abdomen dan

meningkatkan rentang hidup sel darah merah yang berasal dari suplemen

(transfusi).
25

C. Tugas Kesehatan Keluarga dengan Anak Thalasemia

Kesehatan keluarga adalah sejauh mana keluarga membantu anggota

keluarga mereka untuk mencapai tuntutan-tuntutan bagi perawatan diri, dan

sejauh mana keluarga memenuhi fungsi-fungsi keluarga dan menyelesaikan

tugas-tugas sesuai dengan tingkat perkembangan keluarga (Friedman, 2010,

p.09). Sedangkan tujuan perawatan kesehatan keluarga adalah memungkinkan

keluarga untuk mengelola masalah kesehatan dan mempertahankan fungsi

keluarga dan melindungi serta memperkuat pelayanan masyarakat tentang

perawatan kesehatan (Mubarak, 2006, p.38).

Tugas kesehatan keluarga merupakan kewajiban yang harus dilakukan

oleh keluarga dalam menjaga dan mempertahankan kesehatan anggota

keluarganya. Keluarga dituntut untuk mengefektifkan tugas-tugas yang harus

dilakukan dalam meningkatkan kekuatan dan keseimbangan keluarga

(Friedman, 2010, p.11). Tugas-tugas kesehatan keluarga pada dasarnya ada

delapan tugas pokok yaitu: pemeliharaan fisik keluarga dan para anggotanya,

pemeliharaan sumber daya yang ada dalam keluarga, pembagian tugas masing-

masing, sosialisasi antar anggota keluarga, pengaturan jumlah anggota

keluarga, pemeliharaan ketertiban anggota keluarga, penempatan anggota-

anggota keluarga dalam masyarakat yang lebih luas dan membangkitkan

dorongan dan semangat para anggota keluarga (Effendi, 1998, p.36).

Ada keluarga-keluarga yang dapat atau mampu mengatasi masalah-

masalahnya tanpa bantuan dari luar. Akan tetapi ada pula keluarga-keluarga

yang memerlukan bantuan dalam mengatasi masalah kesehatannya secara

waktu pendek maupun panjang (Depkes, 1983). Seperti individu keluargapun


26

mempunyai cara-cara tertentu untuk mengatasi masalah kesehatan. Kegagalan

dalam mengatasinya akan mengakibatkan penyakit atau sakit terus menerus.

Dalam perawatan kesehatan keluarga, kata-kata “mengatasi dengan baik”,

diartikan sebagai kesanggupan untuk melaksanakan tugas pemeliharaan

kesehatannya sendiri. Tugas kesehatan keluarga menurut Friedman (2010,

p.11) adalah:

1. Mengenal masalah kesehatan keluarga dengan anak thalasemia

Keluarga dengan anak thalasemia harus mampu mengetahui tanda

dan gejala yang muncul pada anak baik tanda langsung seperti muka pucat,

pertumbuhan anak terlambat maupun tanda tidak langsung seperti anak

tidak nafsu makan, anak lemas tidak bersemangat beraktivitas dan tanda-

tanda lainnya (Mubarak, 2002, p.42).

2. Mengambil keputusan untuk tindakan kesehatan yang tepat

Adapun kegiatan yang dapat dilakukan keluarga dengan anak

thalasemia dalam membuat keputusan yang menyakut pelayanan apa saja

yang hendak digunakan untuk perawatan anggota keluarga dengan

thalasemia atau pilihan alternative dalam proses pengobatan dan

perawatan, seperti menyediakan waktu untuk membawa pasien berobat ke

tempat pelayanan kesehatan, ketersediaan dan kemampuan akses

perawatan kesehatan keluarga dan melakukan konsultasi dengan tenaga

kesehatan (Friedman, 1998, p.39).

Setelah mengetahui tanda dan gejala pada anak thalasemia, keluarga

diharapkan mampu mengambil keputusan dengan tepat terhadap tindakan

selanjutnya pada anak dengan thalasemia. Keputusan yang diambil akan


27

menentukan anak mendapat perawatan selanjutnya (Markum, 2002,

p.371). Upaya keluarga untuk mencari pertolongan yang tepat sesuai

dengan keadaan keluarga, keputusan yang diambil oleh keluarga

diharapkan tepat agar masalah kesehatan dapat dikurangi atau bahkan

teratasi. Jika keluarga mempunyai keterbatasan dapat meminta bantuan

kepada orang lain di lingkungan tempat tinggal keluarga agar memperoleh

bantuan (Mubarak, 2006, p.45).

3. Memberikan perawatan kepada anggota keluarga yang sakit

Keluarga dengan anak thalasemia harus memiliki kemampuan

memberikan pertolongan pertama bagi anggota keluarga yang

membutuhkan perawatan. Anak dengan thalasemia membutuhkan

perawatan yang lebih dibandingkan anak normal lainnya. Kemampuan

keluarga dalam memberikan perawatan dirumah akan membantu

memperbaiki kondisi anak. Perawatan yang dapat diberikan berupa

pemenuhan nutrisi yang baik untuk anak thalasemia maupun tindakan

pertama jika anak memperlihatkan tanda gejala thalasemia (Markum,

2002, p.373-374).

4. Mempertahankan suasana rumah yang mendukung

Salah satu faktor penting yang harus diperhatikan dalam memelihara

dan menjaga kesehatan keluarga dengan anak thalasemia adalah menciptakan

suasana lingkungan yang mendukung baik internal maupun eksternal.

Dukungan keluarga dapat disampaikan di dalam berbagai bentuk, misalnya

menciptakan lingkungan yang kondusif untuk anak thalasemia, memotivasi

untuk terus berobat, menganjurkan makanan yang sehat dan bergizi, dan
28

menyediakan waktu untuk berkomunikasi. Dukungan keluarga yang

semacam ini dapat membangkitkan seseorang memperoleh kesehatan

emosional sehingga menimbulkan rasa aman dan nyaman. Tugas keluarga

dalam menciptakan lingkungan yang mendukung kesehatan dapat diperoleh

dari anggota keluarga, teman dekat, dan sanak saudara (Kuntjoro, 2002,

p.159).

5. Menggunakan fasilitas pelayanan kesehatan

Keluarga atau anggota keluarga dengan anak thalasemia harus dapat

memanfaatkan sumber fasilitas kesehatan yang ada untuk proses pengobatan

anggota keluarga dengan thalasemia seperti: berkonsultasi atau meminta

bantuan tenaga keperawatan, apabila anak telah menunjukkan tanda-tanda

anemia segera bawa anak ke pelayanan kesehatan terdekat untuk mendapat

perawatan secara intensif, mengambil surat rujukan ke Puskesmas, membawa

ke RS Provinsi, mengambil darah ke Palang Merah Indonesia (Mubarak,

2006, p.378)

Anda mungkin juga menyukai