Anda di halaman 1dari 5

Dalam sebuah pelaksanaan Pilkada, pasti ada yang menang dan ada yang kalah.

Seringkali
pihak yang kalah tidak dapat menerima kekalahannya dengan lapang dada. Ketidakpuasan ini
kerap berujung pada hal-hal yang negatif dan destruktif. Lihat saja, kasus pembakaran kantor
KPUD di salah satu provinsi di Sumatra, misalnya. Ini membuktikan, sangat rendahnya
kesadaran politik masyarakat yang terlibat dalam sebuah pesta demokrasi.

Tidak saja masalah muncul dari para bakal calon. KPUD juga tidak sedikit menyumbang
persoalan. Di salah satu KPUD di Jakarta, para anggotanya terbukti mengemplang dana
Pilkada. Korupsi dana Pilkada itu sempat memperlambat proses Pilkada.

Dapatlah dilihat seperti apa rendahnya mental para penjabat publik ini. Bahkan yang paling
memalukan adalah, untuk sekadar meloloskan bakal calon yang tidak memunihi syarat,
anggota KPUD meminta dana puluhan juta rupiah dari para bakal calon.

Kecurangan juga terjadi pada Pilkada 2017 lalu yang berlangsung di beberapa Provinsi dan
Kabupaten. Provinsi DKI Jakarta banyak disorot karena merupakan ibukota dari Negara
Indonesia sehingga kecurangan sekecil apapun bisa diketahui dengan pasti.

Titi Anggraini, direktur eksekutif dari Perludem (Pegiat Perkumpulan untuk Pemilu dan
Demokrasi) mengatakan kemungkinan kecurangan di Pilkada DKI sebenarnya lebih kecil
dibandingkan di daerah lain.

"Pilkada DKI sekarang ini ada keuntungan juga. Dia menjadi pilkada yang paling disorot di
Indonesia. Kalau orang bekerja di bawah sorotan biasanya akan bekerja lebih optimal dalam
menjalankan kerjanya," kata Titi.

Meski begitu tidak dapat dipungkiri pilkada DKI Jakarta tahun ini adalah pilkada yang paling
'panas' di antara daerah-daerah lain dan juga dibandingkan pilkada sebelumnya.

"Sekarang di Pilkada DKI ada tiga pasangan calon yang kalau kita elaborasi latar
belakangnya mewakili tiga kepentingan politik besar yang berbeda. Bagaimana koalisi-
koalisi di dalamnya menjadi koalisi yang sangat kompetitif yang memiliki kekuatan dan
akarnya masing-masing", terang Titi.

Sehingga banyak pengamat mengatakan bahwa 'panas'nya Pilkada tahun ini dan tipisnya
selisih hasil polling elektabilitas antar kandidat berpotensi menyebabkan pelanggaran hak
pilih ataupun kecurangan lain dalam Pilkada DKI Jakarta kali ini.
Lantas, apa saja potensi pelanggaran yang dapat terjadi?

Menurut Titi, "dari dulu, dari 2012 problem DKI Jakarta itu adalah problem DPT (Daftar
Pemilih Tetap)." Berikut beberapa masalah DPT yang pernah atau dapat terjadi:

Pemilih yang tidak terdaftar di DPT

Pemilih yang tidak terdaftar di DPT biasanya menjadi enggan untuk datang ke TPS (Tempat
Pemungutan Suara) meski mereka tetap bisa datang ke TPS dengan menggunakan KTP
elektronik atau surat keterangan.

"Tapi karena mereka tidak terinformasi dengan baik, mereka lebih memilih untuk tidak
menggunakan hak pilih," kata Titi.

Dan akhirnya suara mereka rentan untuk disalahgunakan.

Formulir C6 tidak disebar

Formulir C6 adalah surat pemberitahuan untuk memilih yang biasanya akan diberikan kepada
warga untuk menginformasikan kepada warga tentang lokasi TPS mereka.

"Kalaupun tidak mendapatkan C6, bukan berarti kita tidak bisa memilih, sepanjang nama kita
ada di DPT," kata Titi.

Sama seperti pemilih yang tidak terdaftar di DPT, akhirnya banyak pemilih yang menjadi
enggan untuk memilih dan kemudian suara mereka rentan untuk disalahgunakan

Pemilih ganda

Pemilih ganda dapat memilih lebih dari satu kali karena terdaftar di DPT lebih dari satu kali.

Salah satu kasus pemilih ganda terjadi di Kabupaten Pasaman Barat, Sumatera Barat pada
pemilu legislatif 2014.

Menurut UU No. 12 Tahun 2008 Pasal 115, pemilih ganda atau orang yang menggunakan
identitas palsu terancam hukuman pidana penjara.

"Tahun 2004 ada yang dipidana penjara karena memilih lebih dari satu kali," kata Titi.
'Ghost voter'

Ada juga pemilih yang menggunakan hak pilih bukan atas nama dirinya atau menggunakan
identitas orang lain untuk menggunakan hak pilih.

Kejadian yang melibatkan pemilih ganda terjadi pada Pilkada 2015 lalu, di Kabupaten Muna,
Sulawesi Tenggara.

Ada anggota keluarga yang terdata menggunakan hak pilih bukan mengunakan data dan
identitas diri mereka. Hanya dua kasus yang tervalidasi tetapi karena itu, MK memutuskan
untuk memerintahkan dilakukan pemungutan suara ulang di tiga TPS di kabupaten itu.

"Karena waktu itu selisih suara sedikit sekali, hanya 34 suara," jelas Titi.

"Kasusnya masih diproses hukum karena ketika ketahuan, kejadiannya sudah lama sedangkan
di UU Pilkada kita, proses pidana atas suatu tindak kejahatan pilkada hanya bisa dilaporkan
ke Bawaslu tujuh hari setelah kejadian," tambahnya.

Kecurangan logistik

Menurut Titi, ketersediaan logistik harus dihitung benar.

"Sekarang kan logistik itu hanya 2,5% dari total DPT yang ada. Jangan sampai logistik
kurang," kata Titi.

Alasan logistik ini juga yang membuat penting untuk memiliki rekap pemilih yang akan
menggunakan suket (surat keterangan) di TPS.

Selain itu, pengiriman kembali logistik untuk penghitungan kembali juga rentan dicurangi.

Pada 2015 di Pilkada Halmahera Utara, Kecamatan Loloda Kepulauan, logistik hasil pilkada
hilang.

Pada 2016, surat suara di 20 TPS di Halmahera Selatan juga hilang.

Selain masalah diatas, ada juga masalah yang disebabkan oleh bakal calon yang merupakan
kecurangan dalam proses pilkada.
Sejumlah kecurangan yang dilakukan oleh para bakal calon, antara lain :

Politik Uang.
Politik uang ini selalu saja menyertai setiap pelaksanaan pilkada. Dengan memanfaatkan
kondisi ekonomi masyarakat yang cenderung masih rendah, para bakal calon membagi-
bagikan uang kepada masyarakat dengan syarat harus memilih bakal calon tertentu. Masih
rendahnya tingkat pendidikan masyarakat, memudahkan para pelaku politik ini memperalat
dan mengatur proses pemilihan di tingkat masyarakat pemilih. Barangkali, inilah sebabnya,
untuk menjadi seorang kapal daerah, keahlian politik dan kemampuan memimoin saja tidak
cukup. Mereka harus berbakal uang yang banyak.

Intimidasi.

Beberapa oknum pegawai pemerintah melakukan intimidasi terhadap warga agar mencoblos
salah satu calon. Ini jelas-jelas melanggar peraturan pemilihan umum.

Pendahuluan Start Kampanye.

Tindakan inilah yang paling sering terjadi. Modusnya beragam pula, seperti pemasangan
baliho, spanduk, pembagian selebaran. Motif kunjungan kerja pun sering dilakukan, khususnya
bagi calon incumbent. Intensitas kunjungan kerja ini akan makin tinggi saat mendekati pemilu.
Media lokal bahkan sering digunakan sebagai alat kampanye dini. Para balon
menyembunyikan visi-misi kampanyenya di balik berita-berita media. Ini juga disebabkan
kurangnya pemahaman jurnalis terhadap pemilihan umum.

Kampanye Negatif.

Ini dikarenakan, informasi masih dilihat sebagai sebuah hal yang tidak penting oleh
masyarakat. Masyarakat hanya “menurut” pada sosok tertentu yang selama ini dianggap tokoh
masyarakat. Kampanye negatif seperti ini dapat mengarah pada fitnah yang dapat merusak
integritas daerah tersebut.

Untuk menggulangi permasalah yang timbul karena pemilu antara lain :

Seluruh pihak yang ada di daerah sampai pusat, bersama-sama menjaga ketertiban dan
kelancaran pelaksanaan Pilkada. Tokoh-tokoh masyarakat yang merupakan panutan
diharapkan memberikan contoh yang baik bagi warganya. Ini akan menekan munculnya
konflik.
Saling menghargai pendapat. Perbedaan pendapat dalam demokrasi adalah hal wajar. Dengan
kesadaran menghargai pendapat orang lain, maka pelaksanaan pilkada dapat berjalan dengan
lancar.

Sosialisasi kepada warga ditingkatkan, agar masyarakat dapat memperoleh informasi yang
akurat.

Memilih dengan hati nurani tanpa paksaan dari orang lain. Sehingga prinsip-prinsip pemilu
dapat terlaksana dengan baik.

Sumber: Sitepu, Mehulika. 2017. Pelanggaran apa saja yang dapat terjadi dalam pilkada kali
ini?. Diambil dari : http://www.bbc.com/indonesia/indonesia-38972240

Anda mungkin juga menyukai