Anda di halaman 1dari 3

Perlukah Mempelajari Ushul Fiqh?

Ditulis oleh: Panji A. Prisdiminggo (20160730112)


panji.akbar.2016@fai.umy.ac.id

Tentu masih menjadi pertanyaan di sebagian benak orang awam: apakah perlu mempelajari
ushul fiqh? Dimana di sisi lain kita sudah mengetahui bersama tentang al-Qur’an dan as-Sunnah
yang sama-sama berisi mengenai ayat-ayat yang mengatur perbuatan manusia baik hubungan
horizontal maupun vertikal. Pertanyaanya: apakah tidak terjadi dualisme pemahaman yang kita
dapatkan bila kita mempelajari al-Qur’an dan as-Sunnah dengan ushul fiqh sekaligus secara
bersamaan? InsyaAllah penulis akan paparkan dalam beberapa paragraf berikut ini demi
menjelaskan: Perlukah mempelajari Ushul Fiqh? Dan beberapa poin yang mungkin bisa
memperkuat pendapat mengenai hal tersebut, bahkan bias sebaliknya.
Sebelum kita masuk lebih dalam ke pemahaman persoal ushul fiqh, kita harus tahu apa
sebenarnya yang dimaksud dengan ushul fiqh tersebut. Menurut bahasa fiqh berarti faham atau
mengerti. Menurut istilah, fiqh berarti ilmu yang menerangkan tentang hukum-hukum syara’
(syariah) yang berkenaan dengan amal perbuatan manusia (amaliyah) yang diperolehkan
(diistimbath) dari dalil-dalil yang tafshili (jelas). Kata fiqh pada zaman Rasul saw juga bermakna
pemahaman yang mendalam tentang kaidah, aturan, dan tujuan agama Islam.
Misalnya, sabda Rasul saw:
“Jika Allah menghendaki kebaikan bagi seseorang, maka Dia membuat orang itu
memiliki pemahaman agama yang mendalam.”1
Sedangkan menurut para fuqaha usul fiqh adalah ilmu yang membahas kaidah mendeduksi
hukum syariat Islam dari dalil-dalilnya.2 Ilmu usul fiqh adalah sekumpulan kaidah umum yang
digunakan dalam mendeduksi hukum-hukum furu syariat dari dalil-dalil terperincinya.3 usul fiqh
adalah kaidah-kaidah dan dalil-dalil umum yang mengantarkan kepada fiqh.4
Dari pengertian tersebut dapat kita ketahui bahwa jika pengetahuan manusia tentang
sesuatu tergolong dua macam, yaitu pengetahuan yang dangkal dan yang mendalam, maka kata
fiqh menunjuk pada pengetahuan yang mendalam. Ketika Islam menyuruh umatnya untuk
tafaqquh fi al-din, ini berarti umat Islam harus memahami Islam berdasarkan pemahaman yang

1
Mustafa Ahmad al-Zarqa, al-Fiqh al-Islami wa Madarisuh, hal. 9-10
2
‘Abd al-Hadi al-Fadli, Mabadi’ Usul al-Fiqh, hal. 7.
3
Muhammad Sulayman ‘Abd Allah al-Ashqar, al-Wadih fi Usul al-Fiqh li al-Mubtadi’in ma‘a As’ilah li al-
Munaqashah wa Tamrinat, hal. 7.
4
‘Abdullah bin Yusuf al-Juday‘, Taysir ‘Ilm Usul al-Fiqh, hal. 13.
komprehensif, yang mencakup berbagai bidang mulai dari pokok akidah, filsafat (ru‘yah
kawniyyah), etika, pendidikan, ibadah, hukum sosial, hingga tata krama perseorangan dan sosial.
Dari sini kita ketahui bersama bahwa yang telah dipaparkan di alinea pengertian ushul fiqh.
Ushul fiqh tidak bisa dipandang sebelah mata, karena pada cabang ilmu pengetahuan ini terdapat
sekumpulan ilmu pengetahuan yang lain. Bisa kita katakan ini begitu kompleks untuk orang
awam, tidak se mbarangan orang yang bisa berkutat mendalam pada ilmu ini. Saya jadi teringat
sebuah pribahasa lama Indonesia: Jangan menilai buku dari sampulnya.
Dan pada titik ini, kita bertanya urgensi untuk mendalami ushul fiqh sebenarnya didasari
apa? Kita sebagai makhluk social sesuai dengan sifatnya akan terus berinteraksi kepada sesama.
Interaksi ini tidak terbatas, dan akan terus kita lakukan berkali-kali kepada sesama manusia
lainnya. Tidak hanya berinteraksi dengan manusia saja, kita juga berinteraksi dengan makhluk
ciptaan Allah yang lainnya, pada umumnya bisa kita katakan alam. Interaksi manusia dengan alam,
misalnya merenung ‘berdua’ dengan alam (introspeksi diri) pemikiran itu akan mengantarkan kepada
alam spiritual sebagai kebutuhan rohaniah. Hal inilah yang kemudian membawa kita kepada Dzat yang
Maha Tunggal, sehingga disebut dengan hubungan manusia dengan Tuhan (hablum minallah). Manusia
sebagai makhluk taklif, maka Islam mengatur hubungan manusia seperti ini dengan ajaran akidah tauhid
yang diiringi dengan tata cara berinteraksi melalui ibadah (penghambaan diri manusia kepada Allah)
sebagai bentuk pengakuannya.
Inilah yang dimaksudkan tadi, bilapun al-Qur’an dan as-Sunnah yang sudah mengatur perbuatan
kita, ushul fiqh tidak bisa dikesampingkan. Karena adanya ushul fiqh bertujuan untuk memperjelas aturan
(ayat-ayat) yang ada pada sumber-sumber tersebut. Dengan kata lain ushul fiqh menjadi induktor dan
langsung mentransformasikannya ke kehidupan kita.
Sayangnya bila kita telaah lebih jauh ke dalam ruang lingkup perkuliahan, kurikulum pembelajaran
ushul fiqh yang disediakan mengalami kesenjangan antara materi ushul fiqih yang diajarkan dengan
isu-isu pemikiran kontemporer. Literatur ushul fiqih perkuliahan lebih didominasi contoh kasus-
kasus ibadah, jinayah, munakahat. Akibatnya, mata kuliah ushul fiqh yang diajarkan tidak bisa
menjawab dan merespon isu-isu pemikiran dan problem serta sejumlah kasus-kasus kontemporer
yang terus bermunculan.
Sugeng Aminudin S.Sos.I., M.P.I. menjelaskan menjelaskan permasalahan ini cukup detil
dalam jurnalnya:
Kesenjangan ini pada gilirannya tidak mampu mengantar seorang akademisi
kepada pemahaman metodologi istinbath yang benar terhadap problem kontemporer
khususnya isu-isu pemikiran yang terus berkembang dan semakin kompleks. Akibatnya
banyaknya kita temui produk produk pemikiran para akademisi kita yang aneh, asing
dan jauh dari kaidah-kaidah istinbath (penggalian) hukum yang benar.
Kesenjangan antara materi ushul fiqih yang diajarkan dengan isu-isu pemikiran
kontemporer tidak boleh dibiarkan berlangsung. Kemandulan pada ushul fiqh dalam
merespon isu pemikiran kontemporer akan membuka peluang pemikiran bahwa ushul
fiqh tidak fungsional, tidak aplikatif dan tidak mampu berbicara pada kasus kasus
tersebut, dan lebih jauh lagi muncul anggapan bahwa ushul fiqh hanya fasih berbicara
masalah ritual peribadahan saja tetapi mandul ketika harus merespon isu-isu pemikiran
kontemporer.
Ushul fiqih memuat prinsip-prinsip metodologi ilmu Islam, bisa diibaratkan ushul
fiqih adalah sebuah mesin produksi dan produknya adalah fiqih. Maka jika pemikiran
dalam fiqih tidak berkembang, bahkan cacat, ini di akibatkan kurangnya penguasaan
kita terhadap alat produksi tersebut, sehingga kita kesulitan dan bahkan gagal untuk
membuat produk fiqih yang benar. Atau sebaliknya keterbatasan pengetahuan kita
terhadap tuntutan inovasi produk, sehingga ushul fiqih menjadi mandul dan tidak up to
date, fungsional dan sekaligus aplikatif.
Ushul fiqih sebagai alat istinthoqunnash (alat untuk membuat nash-nash berbicara
terhadap setiap permasalahan) seharusnya fungsional, mampu berbicara dan menjawab
setiap isu-isu pemikiran kontemporer bukan terbatas pada masalah hukum saja tapi pada
semua kompetensi, disiplin ilmu dan semua aspek kehidupan manusia.

Dan dari pemaparan beliau diatas kita bisa ketahui bersama kita terpaku pada kurukulum
yang disediakan oleh pihak kampus dan pemangku tanggung jawab pendidikan tanah air, yang
hanya menghubungkan ushul fiqh dengan kasus-kasus yang kolot dan sudah banyak diketahui
oleh para mahasiswa. Dan sebaiknya dari pemangku kepentingan pendidikan tanah air ataupun
kampus dan dari pihak akademisi menghadirkan kasus-kasus kontemporer yang diintegrasikan
dengan mata kuliah ushul fiqh. Sehingga memuahkan akademisi iuntuk mengantarkan ilmu ini
dengan sarana yang telah disediakan.
Selanjutnya dari pemaparan penulis diatas dapat kita ketahui bersama bahwa peran dan
kedudukan ushul fiqh sangatlah begitu penting dalam persendian kehidupan kita ini. Bayangkan
saja bila tidak ada ushul fiqh, bagaimana jadinya para ulama mentranslasikan peraturan (ayat-
ayat) yang ada di al-Qur’an dan as-Sunnah untuk kehidupan kita saat ini. Dan mungkin tidak
adanya hubungan para ulama dengan banyaknya fuqaha yang berkutat dengan ilmu ini, bila
ushul fiqh dikesampingkan.

Anda mungkin juga menyukai