Anda di halaman 1dari 8

Pancasila sebagai Etika Politik:Ironi

Pedoman hidup bangsa yang Diagungkan


Oktober 19, 2008 in Ethic, politik

A. Pendahuluan

Adakah terdengar lagi gaung Pancasila dalam kancah kehidupan bangsa Indonesia dewasa ini?
Agaknya untuk melihat hal itu, perlu penelaahan yang cukup luas sudut pandangnya. Atau dapat
dikatakan bahwa jika Pancasila dilihat sebagai sebuah fenomena, maka perlu juga dilihat
noumena atau esensi dari fenomena itu, dengan begitu sudut pandangnya tidak hanya dibatasi
pada tataran luaran yang nampak, tetapi juga berupaya melihat apa yang sedang terjadi di dalam.
Dan sebagai generasi yang hadir hidup di tengah pergumulan “hidup-mati’ Pancasila, sepertinya
hal itu dapat dilakukan. Melihat apa yang sebenarnya terjadi pada Pancasila.

Akhir-akhir ini kita tahu bahwa, Pancasila sedang mengalami satu fase delegitimasi keberadaan,
di mana sebagai sebuah pandangan hidup sebuah bangsa ia tak lagi “diakui” sebagai pedoman
hidup bersama. Pancasila sekarang sudah tidak sakti lagi, meski kita masih sering mendengar
tiap tahunnya pada akhir bulan September dan awal Oktober selalu ada peringatan hari Kesaktian
Pancasila. Reformasi 1998-1999 telah mencabik-cabiknya, dan melabelinya sebagai kaki tangan
sebuah rezim kekuasaan, pada masa-masa Orba (orde baru). Pancasila menjadi korban. Korban
yang diperalat, dan korban untuk dijadikan kambing hitam. Begitulah nasib Pancasila.

Ada satu hal yang selama ini menghantui penulis, terkait dengan Pancasila ini. Apakah Pancasila
benar-benar ada dalam diri bangsa ini, sejak awal dirumuskan hingga sekarang ini, menjadi
pedoman dan cara pandang bersama sebagai sebuah bangsa yang beraneka ragam? Atau ia
hanyalah sebuah slogan yang didengungkan sebagai sebuah pilihan-pilihan politis para founding
father kita untuk melegitimasi atau mengukuhkan keberadaan bangsa Indonesia. Dengan
Pancasila adalah produk ide-ide yang sebenarnya tidak pernah diperlukan. Hanya sebagai
legitimator yang sekali-kali digunakan kala dibutuhkan. Tak pernah benar-benar menjadi
pedoman hidup bangsa ini.
Dengan cara lain kita dapat melihat hal itu. Pertama, Pancasila ada sebagai pedoman bangsa
setelah dirumuskan dan ditetapkan sebagai pedoman hidup bangsa ini. Kedua, Pancasila
sebenarnya telah hadir dalam kelokalan-kelokalan bangsa ini yang kemudian disintesiskan dan
dinyatakan sebagai sebuah pedoman hidup bersama oleh kelompok-kelompok lokal yang telah
menyatu. Jiwa dulu atau badannya yang ada?

A. Pintu Masuk Pembahasan

Dalam pembagian cabang-cabang ilmu pengetahuan, etika adalah anak cabang dari filsafat.
Masuk dalam kategori filsafat praktis. Pembahasannya langsung mengarah pada tindakan dan
bagaimana manusia harus berbuat. Filsafat praktis ini diupayakan untuk memberi pemahaman
pada manusia dalam mengarahkan tindakannya. Begitulah etika sebagai bagian dari filsafat
praktis bekerja. Kemudian pun etika masih dibagi lagi menjadi etika individual dan etika sosial.
Mengingat manusia memang memiliki kedua dimensi itu. Sebagai individu dan makhluk sosial.
Sebagai individu manusia memiliki kewajiban-kewajiban terhadap dirinya sendiri, terhadap
Tuhan, dan wilayah-wilayah hidup mereka yang berkenaan dengan sisi individual. Sedangkan
sebagai makhluk sosial, manusia diarahkan untuk mengatur hidup sesuai dengan garis kodrat
mereka sebagai makhluk sosial, berkenaan dengan nilai-nilai moral yang menentukan sikap dan
tindakan antarmanusia.

Sedangkan dimensi politik dalam etika politik di sini adalah dimaksudkan ada dalam
pengertiannya yang lebih luas. Bukan hanya berkenaan dengan sistem kenegaraan atau hubungan
antar negara misal, yang mencangkup kehidupan kenegaraan, pemerintahan, penentuan dan
pelaksanaan kebijakan negara tentang berbagai hal menyangkut kepentingan publik, serta
kegiatan-kegiatan lain dari berbagai lembaga sosial, partai politik dan organisasi keagamaan
yang berkaitan langsung dengan kehidupan kemasyarakatan dan negara yang dibatasi oleh
konsep-konsep negara (state), kekuasaan (power), pengambilan keputusan (decission making),
pembagian (distribution), dan alokasi (alocation), tetapi di sini pengertian itu diperluas lagi ke
dalam tataran manusia sebagai makhluk yang berpolitik. Secara kasar dapat disebutkan bahwa
segala tindakan manusia atau bahkan manusia itu sendiri tidak akan lepas dari orientasi dan
moda-moda politik. Manusia hidup karena berpolitik. Secara kodrati sebagai makhluk individual
atau sosial manusia akan memerlukan aturan-aturan atau norma-norma untuk dapat menjalani
hidupnya. Kata kunci dari dimensi politik ini adalah kaitannya dengan hak dan kewajiban
manusia. Sebagai warga dunia, sebagai warga negara, sebagi anggota masyarakat, sebagai
individu, dan sebagai makhluk Tuhan.

Dengan melihat dua dimensi ini, etika dan politik, dalam Pancasila sebagai Etika Politik, maka
kita dapat memberi kesimpulan awal bahwa Pancasila adalah pedoman hidup bersama kita, yang
mengatur bagaimana kita bersikap dan bertindak antar satu dengan lain, yang disertai hak dan
kewajibannya. Dengan kata lain Pancasila adalah moral identity kita. Baik sebagai warga dunia,
sebagai warga negara, sebagai anggota masyarakat. Kita dikenali karena kita memiliki Pancasila
dalam diri kita sebagai pedoman hidup bersama.

A. Melihat Ulang Kesejarahan Pancasila

Awal bulan ketiga tahun 1945, adalah tonggak baru sejarah bangsa Indonesia dalam upaya
menjadi diri sebagai bangsa yang merdeka. Pada masa itu, secara resmi diumumkanlah BPUPKI
(Badan Penyelidik Usaha-usaha Kemerdekaan Indonesia) atau Dokuritzu Zyundai Tjosakai oleh
Panglima Tentara XVI Letjen Kumaici Harada. Badan ini memiliki tugas untuk menyelidiki dan
merumuskan dasar dan rancangan undang-undang dasar Indonesia.

Pancasila lahir dari sidang BPUPKI yang pertama, yang diselenggarakan tanggal 29 Mei-1 Juni
1945. Dalam tiga hari inilah, para founding father kita “bersitegang” mempersoalkan dasar atau
falsafah negara yang akan digunakan. Di antara beberapa orang yang mengusulkan draft dasar
negara adalah Prof. Mohammad Yamin, Dr. Soepomo, dan Ir. Soekarno. Tiga orang ini dalam
tiga hari berurutan berargumen di hadapan anggota sidang.

Tanggal 29 Mei, Prof. Moh. Yamin, terlebih dahulu membacakan dan menyerahkan usulannya.
Versi lisan yang diusulkan beliau adalah; peri kebangsaan, peri ketuhanan, peri kerakyatan, dan
kesejahteraan rakyat. Sedangkan versi tulisannya; ketuhanan yang Maha Esa, kebangsaan
persatuan Indonesia, rasa kemanusiaan yang adil dan beradab, kerakyatan yang dipimpin oleh
hidmat kebijaksanaan dalam permusyawatan/ perwakilan, dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia.
Dalam sidang hari berikutnya, Dr. Soepomo menyampaikan usulannya. Yang meliputi; negara
yang kita bentuk harus berdasarkan aliran pikiran kenegaraan kesatuan yang bersifat integralistis
atau negara nasional yang bersifat totaliter, setiap warga dianjurkan untuk hidup berketuhanan
tetapi urusan agama terpisah dari urusan negara, dibentuk Badan Musyawarah agar pemimpin
negara bersatu jiwa dengan wakil rakyat, sistem ekonomi diatur berdasarkan azas kekeluargaan,
tolong menolong dan sistem kooperasi, negara Indonesia yang besar atas semangat kebudayaan
Indonesia asli. Kemudian juga mengusulkan dasar negara yang meliputi; persatuan, kewargaan,
kesinambungan lahir batin, musyawarah dan keadilan sosial.

Hari berikutnya, Ir. Soekarno menyampaikan pidato filsafat dasar negaranya dengan rumusan;
kebangsaan Indonesia-nasionalisme, perikemanusiaan-Internasionalisme, mufakat atau
demokrasi, kesejahteraan sosial, dan ketuhanan yang berkebudayaan.

Kita tidak hendak melihat pergumulan ide antara ketiga orang ini atau alotnya sidang perumusan
dasar negara ini. Konsep siapa yang digunakan dan siapa yang menang. Karena kita langsung
dapat menganalisanya sendiri dengan membandingkan tiga usulan di atas dengan Pancasila yang
ada sampai sekarang ini.

Dan kemudian pada tanggal 22 Juni, usulan-usulan ini disintesiskan oleh Panitia 9 yang dibentuk
oleh BPUPKI, dan menghasilkan sebuah dokumen dengan nama Piagam Jakarta. Yang isinya
adalah rumusan Pancasila berikut ini;

1. Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya


2. Kemanusiaan yang adil dan beradab
3. Persatuan Indonesia
4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusywaratan perwakilan
5. Keadilan sosial bagi seluruh Indonesia

Setelah Indonesia diprokamirkan merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945, timbul polemik yang
sangat tajam antara para elit tokoh Indonesia terkait dengan tujuh kata pada sila pertama.
Penduduk Indonesia yang mayoritas umat Islam tentu merasa senang hati dengan adanya tujuh
kata ini. Namun, karena kesadaran bahwa Indonesia merdeka dan terbentuk bukan hanya karena
umat Islam, dan demi menangkal perpecahan pada negeri yang baru lahir, atas usul Bung Hatta,
tujuh kata itu dihapus, menjadi Ketuhanan yang Maha Esa.

A. Mencermati Lima Sila

Abdul Hadi W.M. dalam makalahnya menyatakan bahwa Pancasila adalah landasan ideologis
berdirinya NKRI merupakan sekumpulan sistem nilai. Sebagai sistem nilai yang dijadikan
pedoman hidup sebuah bangsa Pancasila adalah jiwa yang menghidupi kehidupan bangsa ini.
Sila pertama, Ketuhanan yang Maha Esa ada pada puncak pedoman hidup bangsa Indonesia. Dan
seperti apa yang dikatakan Abdul Hadi W.M. sila ini menjadi pengayom bagi sila yang lain
dalam prakteknya. Semangat kemanusiaan, semangat persatuan, semangat kerakyatan, dan dan
semangat keadilan berjalan dengan berlandaskan pada Ketuhanan.

Sila kedua, Kemanusiaan yang adil dan beradab. Secara sempit atau ke dalam, sila ini dapat
diartikan bahwa setiap warga negara Indonesia memperoleh perlakuan yang adil dan beradab.
Dan secara luas, bangsa Indonesia menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusian. Bahwa setiap orang
memiliki hak dan kewajiban yang sama tanpa harus dibeda-bedakan.

Sila ketiga, Persatuan Indonesia. Sila ini paling tidak menggambarkan bahwa bangsa ini adalah
satu keluarga besar yang di dalamnya didasari adanya kesadaran perbedaan satu sama lain. Dari
perbedaan inilah sebenarnya bangsa ini ada. Bangsa ini adalah mozaik yang terdiri dari fragmen-
fragmen yang membentuknya.

Sila keempat, Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam


permusyawaratan/Perwakilan. Satu nilai yang menjadi ciri bangsa ini adalah kebersamaan dan
suka bermusyawarah dalam menentukan satu kebijakan demi kepentingan bersama. Di dasari
oleh tiga sila sebelumnya.

Sila kelima, Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Keadilan di sini seperti yang
dikatakan Abdul Hadi W.M., adalah Keadilan yang mencakup tiga bentuk keadilan: (1) Keadilan
distributif: menyangkut hubungan negara terhadap warganegara, berarti bahwa negaralah yang
wajib memenuhi keadilan dalam membagi kemakmuran, kesejahteraaan penghasilan negara,
yang terakhir ini dalam bentuk bantuan, subsidi dan kesempatan untuk hidup bersama yang
didasarkan atas hak dan kewajiban yang setara dan seimbang; (2) Keadilan legal, yaitu keadilan
dalam kaitannya dengan hak dan kewajiban warganegara terhadap negara, tercermin dalam
bentuk ketaatan terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam negara; (3)
Keadilan komutatif: yaitu suatu hubungan keadilan antara warga dengan warga lainnya secara
timbal balik.

A. Penutup, Titik Awal Menghidupkan Kembali Pancasila Sebagai Etika Politik


Bangsa

Dari pencermatan pada lima sila ini, kembali pada pertanyaan di atas bahwa apakah Pancasila
hadir sebagai jiwa dahulu ataukah badannya terlebih dahulu? Jika Pancasila hadir dalam diri
bangsa ini sebelum badan Pancasila itu dirumuskan, berarti bangsa Indonesia secara khas
memang memiliki nilai-nilai atau pedoman yang berkesuaian dengan Pancasila setelah
dirumuskan. Tetapi jika badannya terlebih dahulu yang hadir, kemudian bangsa ini menghayati
nilai-nilainya, berarti ada kesepakat berikutnya tentang nilai-nilai baru yang terbentuk yang harus
dipatuhi dan jadikan pedoman besama. Pertanyaan ini muncul karena terkait dengan fenomena
sekarang ini, fenomena akan ketidakpercayaan bangsa Indonesia pada Pancasila. Atau pe-
marginal-an Pancasila dari kehidupan bangsa ini.

Sebenarnya tidaklah begitu penting apakah Pancasila hadir menjiwai terlebih dahulu sebelum
badannya dirumuskan, atau sebaliknya. Hanya saja ada implikasi yang dapat digunakan untuk
menganalisa masalah delegitimasi Pancasila akhir-akhir ini dengan melihat itu mana yang hadir
terlebih dahulu. Ketika melihat Pancasila sebagai jiwa yang hadir terlebih dahulu, dengan
melihat kondisi saat ini, berarti bukan Pancasilanya yang bermasalah. Bahwa Pancasila tidak lagi
relevan adalah omong kosong belaka. Pancasila adalah tetap Pancasila yang tetap terbuka bagi
semua golongan dan nilai-nilainya akan terus termutakhirkan sesuai dengan perkembangan
zaman, seperti yang dikatakan oleh Prof. Dr. Nurcholish Madjid, “Pancasila adalah sebuah
ideologi, maka itu berarti terbuka lebar adanya kesempatan untuk semua kelompok sosial guna
mengambil bagian secara positif dalam pengisian dan pelaksanaannya. Maka para pemuka
Islam pun harus tanggap kepada masalah ini.” Jadi manusia-manusianya yang kepribadiannya
tergerus.
Dan jika kemudian, jika yang hadir terlebih dahulu adalah badannya, maka kita memang perlu
melihat kembali sila-sila Pancasila. Sudahkan hal itu sesuai dengan watak dan pribadi bangsa ini.
Atau paling tidak sudah cukup dapat menampung watak dan kepribadian itu.

Terakhir, yang bermasalah apakah Pancasila ataukah manusia-manusianya, masih menjadi


pekerjaan rumah, yang bukan hanya diteliti dalam tataran teoritis atau sekedar wacana saja.
Namun, juga dalam tataran praktisnya. Atau bahkan kita melepaskan itu semua, didasari
ketakberdayaan kita dalam menghadapi gerusan arus globalisasi, dengan nilai-nilai positif dan
negatifnya.

Bahan Bacaan dan Rujukan

Rahman, Budhi Munawar, Ensiklopedia Cak Nur, Jakarta; Paramadina, 2007

Abdul Hadi W.M,“Pancasila sebagi Etika Politik dan Dasar Negara,” makalah ini disampaikan
pada mata kuliah Pancasila di ICAS Jakarta, 06 November 2006

Suseno, Franz-Magniz, Etika Politik; Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern, Jakarta:
Gramedia, 2003

Ideologi politik

Dalam ilmu sosial, ideologi politik adalah sebuah himpunan ide dan prinsip yang menjelaskan
bagaimana seharusnya masyarakat bekereja, dan menawarkan ringkasan order masyarakat
tertentu. Ideologi politik biasanya mengenai dirinya dengan bagaimana mengatur kekuasaan dan
bagaimana seharusnya dilaksanakan.

Teori komunis Karl Marx, Friedrich Engels dan pengikut mereka, sering dikenal dengan
marxisme, dianggap sebagai ideologi politik paling berpengaruh dan dijelaskan lengkap pada
abad 20.

Contoh ideologi lainnya termasuk: anarkisme, kapitalisme, komunisme, komunitarianisme,


konservatisme, neoliberalisme, demokrasi kristen, fasisme, monarkisme, nasionalisme, nazisme,
liberalisme, libertarianisme, sosialisme, dan demokrat sosial.
Kepopuleran ideologi berkat pengaruh dari "moral entrepreneurs", yang kadangkala bertindak
dengan tujuan mereka sendiri. Ideologi politik adalah badan dari ideal, prinsip, doktrin, mitologi
atau simbol dari gerakan sosial, institusi, kelas, atau grup besar yang memiliki tujuan politik dan
budaya yang sama. Merupakan dasar dari pemikiran politik yang menggambarkan suatu partai
politik dan kebijakannya.

Ada juga yang memakai agama sebagai ideologi politik. Hal ini disebabkan agama tersebut
mempunyai pandangan yang menyeluruh tentang kehidupan. Islam, contohnya adalah agama
yang holistik.

Anda mungkin juga menyukai