Anda di halaman 1dari 10

TEORI ARSITEKTUR

KONSEP DALAM KARYA ARSITEKTUR


AM. MARWAH (F22115084)
5/26/2016

[Type the abstract of the document here. The abstract is typically a short summary of the contents of
the document. Type the abstract of the document here. The abstract is typically a short summary of the
contents of the document.]
Y.B Mangunwijaya Pr (1929-1999)
Tersirat sendi-sendi filsafat yang tercitra seperti puisi dalam karya Romo Mangun. Desain-desain
bangunan (wastu) yang sederhana yang lebih memanusiakan manusia tetap berestetika (citra) dalam
sentuhan tangan Romo Mangun.

Romo Mangun adalah seorang arsitek, budayawan, rohaniawan, praktisi, dan juga pendidik.
Bernama asli Yusuf Bilyarta Mangunwijaya. Lahir di Ambarawa, Jawa Tengah, 1929. Sebagian besar
karya-karya beliau adalah bangunan religius.

Wastu diambil dari kata “ vasthuvidya “, berasal dari bahasa jawa kuno yang berarti pemahaman
hakikat, hal, perkara, kenyataan, norma, tolak ukur kesusilaan. Citra adalah keselarasan dengan kosmos,
spiritual, dan bersifat transformasi.

Wastucitra tersirat dalam prinsip Romo Mangun dalam berarsitektur, antara lain :

1. Arsitektur nusantara (vernakular)


2. Sikap arsitek yang berpihak pada yang lemah
3. Keindahan pada waktu yang tepat
Tidak jarang Romo Mangun lebih sering
melakukan perancangan di lapangan. Karena
itulah perubahan sangat sering terjadi. Alasan
beliau mengenai seringnya terjadi perubahan
desain adalah, “ dunia berubah dengan sangat
cepat”.

Yang membuat karya-karya Romo


Mangun menjadi lebih bermakna adalah
karena ada cerita di balik karya-karya itu…

Dari berbagai karya-karya romo mangun berikut yang dapat saya simpulkan adalah dari sebagian
besar karyanya menggunakan konsep hakekat dan konsep programatik, konsep hakekatnya yaitu dari
gereja-gereja dan sekolah-sekolah yang ia bangun, mencerminkan hakekat dari kedua jenis bangunan.
Sedangkan konsep programatiknya terdapat pada kawasan dan rumah tinggal karya arsitektur romo
mangun.

Berikut adalah sebagian dari karya-karya arsitektur Y.B Mangunwijaya :

Gereja
Bangunan gereja karyanya umumnya berdenah bujur sangkar, berbentuk pendopo terbuka tanpa
dinding, dengan atap limas.

Prinsip Romo Mangun dalam berarsitektur yaitu: membangun serendah mungkin, dengan bahan
bangunan seringan mungkin, memisahkan bangunan dengan fungsi berdikari yang bentuknya tidak
majemuk. Pada bangunan-bangunan gereja karya mangunwijaya ini mengunakan konsep hakekat.
Bangunan ini mencerminkan hakekat gereja yang religious

1. Gereja St. Maria Assumpta, Klaten


Sebagian orang memaknai bentuk bangunan
gereja ini sebagai “burung yang sedang
membentangkan sayap”. Sebagian lagi juga
melihat simbol-simbol pohon kehidupan pada
relief dinding luarnya. Lebih jauh lagi ternyata
kolom tengah adalah bagian dari saka guru (simbol
jawa). Di dalamnya sangat banyak komponen
bangunan dengan berbagai makna. Bangunan ini
sungguh kaya dari segi bentuk dan pemaknaannya.

Pembangunan ini diawali dengan


dibongkarnya gereja lama yang kemudian
digunakan untuk membangun gereja Jombor.

Gedung gereja ini pun menjadi fenomena


arsitektur sekaligus fenomena ekspressi rohani,
sebuah gedung gereja besar yang menampilkan
kesederhanaan, keakraban dan serba keterbukaan.

2. Gereja St. Maria Fatima, Sragen


Dibangun tahun 1965 oleh Y.B Mangunwijaya dengan inkulturasi jawa. Terlihat dari bentuk atap
rumah joglo dan tiang-tiang yang menyimbolkan soko guru menjadikan bangunan gereja ini tampak
kokoh. Tidak ada dinding masif pada bangunan ini, Romomangun berusaha menghadirkan suasana yang
menyatu dengan ruang luar. Dinding batu alam menjadi latar belakang mimbar.
Plafon kayu yang divernis mendominasi ruang dalam dengan pola garis lurus dan mengerucut di
puncak. Menyimbolkan kesatuan yang hakiki dalam peribadatan.

Kursi-kursi yang dirancang tanpa sandaran dimaksudkan agar orang-orang yang beribadah selalu
fokus dan tidak mengantuk saat beribadah.

Ruangan begitu luas. Tiang-tiang hanya tampak pada sisi-sisi pinggir gereja untuk menciptakan
kesatuan tanpa sekat.

Tidak perlu ada maintenance berkala


pada bangunan ini.
Kawasan
1. Peziarahan Sendangsono, Muntilan, Jateng

Bangunan yang mendapat penghargaaan dari IAI AWARD tahun 1991. Penataan kompleks
peziarahan sendangsono sangat menekankan aspek harmoni dengan alam. Bentuk bangunan yang tidak
mewah dan tidak pula sederhana. Dengan memanfaatkan kontur alam yang cukup curam Romo Mangun
menciptakan sebuah arsitektur yang menyatu dengan alam.
Pendidikan
Ketika merancang SD Mangunan, nalurinya sebagai pendidik yang prihatin pada pendidikan
dasar di Indonesia dan punya pemihakan pada kelompok yang terpinggirkan juga ikut melibat.

1. SD Kanisius, Kalitirto, Berbah, Jogjakarta

SD Kanisius Mangunan ini merupakan SD alternatif yang mengadopsi home-schooling, menghadirkan


sekolah sebagai rumah kedua. Bangunan sekolah beratap pelana memanjang berdampingan dengan
asrama arita yang mirip dengan bangunan pada kampung Code dan Sendangsono. Konstruksi dari kayu
dan bilik-bilik bambu, dengan atap seng pada bangunan sekolahnya. Sedangkan wisma atau asrama arita
beratap genteng. Ciri bangunan Mangunwijaya pada bangunan ini adalah terdapatnya 6 tiang kolom
dengan dimensi 2 x (3×3 m2). Pola desain sekolah yang bersahabat dengan lingkungan masyarakat
sekitarnya tidak menimbulkan kesan kontradiktif.

Pola belajar dengan kurikulum baru 75% Kanisius Mangunan dan 25% kurikulum nasional. Guru dan
murid saling komunikatif dan guru mengikuti pertumbuhan psikologis dari anak. Sehingga membuat pola
ruang yang terbentuk di sekolah ini berbeda dengan sekolah pada umumnya. Pola tempat duduk
merupakan pola diskusi kelompok berbentuk U, dimana guru berbaur sangat dekat dengan para murid.

Bangunan sekolah ini sangat sederhana sekali. Terdiri dari sekat-sekat ruang dari bilik dan papan kayu.
Kuda-kuda kayu terekspose karena tidak tertutup adanya plafond. Ventilasi cukup lebar dan panjang.
Ventilasi atau jendela terbuka keatas atau ke samping dengan engsel di tengah dan hampir membagi di
tengah-tengah kusen, menyerupai sirip. Lantai ubin dengan tekstur atau cetakan yang mirip anyaman bilik
bambu.
Rumah tinggal

1. Wisma Kuwera, Mrican, Yogyakarta

Karakteristik dinding pada wisma ini juga diwujudkan dengan adanya dualisme fungsi
sebuah elemen arsitektural yang berbeda-beda. Pondasi dapat menjadi dinding, atap dapat
menjadi dinding, langit-langit dapat menjadi dinding

Pada atap wisma ini tidak memakai kuda-kuda, hanya serangkaian usuk dan reng yang
diapit oleh anyaman bambu sebagai plafond dan ‘eternit’ yang terbuat dari lembaran kubus
berdimensi ±40×40 cm2. lembaran ‘eternit’ ini dipasang secara diagonal, menyerupai sisik ikan,
pada bagian ujungnya dijepit oleh lembaran seng yang dilipat keluar pada ujung-ujungnya.

Wisma Kuwera (1986-1999), Jogjakarta, dikenal sebagai rumah kediaman Mangunwijaya


yang cukup lama dihuni, dibangun secara bertahap atau lebih tepat disebut sebagai rumah
tumbuh.

Ornamen ciri dari romo Mangun, sering di sebut tektonika.

Karakteristik dinding pada wisma ini juga diwujudkan dengan adanya dualisme fungsi
sebuah elemen arsitektural yang berbeda-beda. Pondasi dapat menjadi dinding, atap dapat
menjadi dinding, langit-langit dapat menjadi dinding

Pada atap wisma ini tidak memakai kuda-kuda, hanya serangkaian usuk dan reng yang
diapit oleh anyaman bambu sebagai plafond dan ‘eternit’ yang terbuat dari lembaran kubus
berdimensi ±40×40 cm2. lembaran ‘eternit’ ini dipasang secara diagonal, menyerupai sisik ikan,
pada bagian ujungnya dijepit oleh lembaran seng yang dilipat keluar pada ujung-ujungnya.

Lantai ubin cetak dengan tekstur garis diagonal. Kasar dan terlihat sangat sederhana
Roaster dengan metode cetak beton, finishingnya masih terlihat karakter beton yang terkesan cair
dan bisa dibentuk secara dinamis. Kesan dinding lebih ringan.
Finishing lantai dapur dari mozaik pecahan keramik. Dari sisa menjadi bernilai seni.
Bentuk jendela bulat dari kaca bening tanpa kusen bertengger diantara expose anyaman bata dan
plesteran dinding. Kontras.

3. Rumah Arief Budiman, Salatiga

Lokalitas tampak pada fasad bangunan rumah ini. Atap limas yang terlihat curam
didesain untuk mengantisipasi curah hujan yang tinggi dan tempias. Dinding dari bilik bambu
yang tidak masif memungkinkan aliran udara yang lancar dari celah-celahnya.

Desain panggung tampak seperti bangunan rumah adat. Selain tidak merusak lahan dan
kondisi tanah, juga untuk menghindari kelembaban udara yang berlebihan.

Detail arsitektur yang sederhana justru menjadi keindahan tersendiri pada rumah ini.
Material yang digunakan oleh Y.B. Mangunwijaya adalah material yang mudah di dapat di
Indonesia. Seperti bambu, kayu, batu alam. Detail arsitektur ikut bersahabat lewat
karakteristiknya terhadap iklim di Indonesia.

Mangunwijaya mampu mengolah material alam menjadi satu kesatuan ke dalam desain
arsitekturnya.

Material pada detail-detail bangunan ini sebagian besar terekspos. Dinding bata dibiarkan
tanpa plesteran, balok dan plafon dibiarkan polos tanpa cat. Detail arsitektur dibuat sejujur
mungkin oleh Ramamangun.

Anda mungkin juga menyukai