Anda di halaman 1dari 4

Zakir Naik, Superstar Buatan Media

Minggu-minggu ini linimasa media sosial dipenuhi berita seputar sosok Zakir Naik di Indonesia.
Bagi para pendukungnya, Zakir Naik adalah seorang pembawa kebenaran yang tak terbantahkan,
dengan dalil-dalil Quran dan hadist yang hafal di luar kepala, serta retorikanya yang tajam dan
meyakinkan. Sementara bagi pihak yang berseberangan, Zakir Naik tak lebih seorang dai yang
menimbulkan suasana tidak harmonis di kalangan umat, dan bahkan seorang pewarta kebencian.
Kedua pendapat tersebut, baik pendukung maupun penentang, telah sama-sama berupa investasi
yang menaikkan tingkat popularitas pendakwah asal India ini. Bahkan, semakin pertentangan itu
dipelihara, semakin naik pula rating Pak Zakir sebagai trending dalam ruang obrolan, gosip dan
diskusi. Sampai di sini, Zakir Naik tekah berhasil sebagai tokoh yang diciptakan oleh media, dan
setelah menjadi tokoh ia juga ikut menaikkan rating media di hadapan pembaca, sampai-sampai
media Inggris menjuluki Zakir Naik sebagai “televangelist” (evangelis televisi, atau juru dakwah
di media).
Pertanyaannya adalah mengapa Zakir Naik bisa menjadi sepenting dan sebesar itu, sementara
tokoh-tokoh lain dengan kapasitas yang sama, dan bahkan mungkin lebih, tidak mendapat
popularitas seperti dia? Bukankah di Indonesia penghafal Quran dan hadits tidak sedikit
jumlahnya, bahkan ditambah penguasaan literatur klasik dan akademis modern sekali pun? Tapi
mengapa media dan publik pembaca lebih memilih sosok Zakir Naik daripada mereka?
Pertanyaan yang sama bisa diajukan untuk kepaada publik Islam internasional yang juga
menyambut Zakir Naik tak ubahnya seorang superstar. Bagi mereka, Zakir Naik lebih menarik
dibanding sosok Syed Hussein Nasr, seorang fisikawan, ahli sejarah, peradaban dan filsafat ilmu,
dengan penguasaan sekian bahasa kuno dan modern. Pula lebih menarik dibanding Ibrahim
Moussa, seorang penafsir Al-Ghazali asal India yang dikenal dengan pendekatan kreatif,
konteksual dan estetisnya?
Jika dilihat kemampuannya, Zakir Naik memang bukan “tandingan” pemikir seperti Nasr dan
Moussa. Zakir Naik tidak menulis buku dengan kualifikasi akademis seperti mereka, baik dalam
penguasaan materi, penjelajahan pemikiran, dan temuan-temuannya yang membuat para
pembacanya dibuat “mudeng” daripada “histeris”. Seandainya Zakir Naik disandingkan dengan
tokoh-tokoh semacam itu, atau dengan Kiai Maimun Zubair, barangkali akan ada koreksi di level
metodologi terlebih dahulu sebelum masuk ke pembahasan pemikiran keagamaan.
Sebaliknya, tokoh-tokoh kompeten seperti mereka bukan siapa-siapa di hadapan media dan
publik pemirsa hari ini jika dibandingkan Zakir Naik. Zakir adalah orang yang tahu betul apa itu
media, bagaimana menggunakannya, dan untuk kepentingan apa. Kita bisa melihat kanal Zakir
naik di youtube dan facebook yang diikuti puluhan juta orang, dengan konten berisi keunggulan-
keunggulan Islam dihadapan agama-agama lain yang membuat publik takjub dan dilanda
histeria. Padahal jika umat Islam mau sedikit tekun dan peduli dengan warisan tradisinya sendiri,
kajian serupa yang lebih baik dapat ditemukan pada kajian Syahrastani dalam Al-Milal wan
Nihal yang ditulis berabad-abad lalu.
Tapi, jika kita memeriksa kondisi kita saat ini, terkait lanskap kultural dan komunikasi publik,
kita tengah hidup dalam polarisasi antara suka dan tidak suka serta cinta dan benci mengenai
segala sesuatu, mulai dari Donald Trump, Vladimir Putin, Pilgub DKI, Petani Kendeng, hingga
Zakir Naik. Polarisasi berdasarkan kategori emosional-psikologis ini telah menggantikan
polarisasi berdasarkan kategori ideologis pada masa Perang Dingin. Sepertinya, ini adalah era
paling sentimental dalam sejarah manusia, lebih daripada masa Romantis dan Victoria…
Dalam situasi demikian, sosok seperti Zakir Naik, yang berdakwah dengan retorika yang tajam,
langsung, dan membagi kategori berdasarkan benar dan salah serta unggul dan lemah, akan
dengan mudah diterima “secara emosional” oleh public. Ia tak ubahnya pop star, sedang para
penggemar dan pembencinya tak ubahnya masyarakat impresario di mana perkawanan dan
perselisihan di antara mereka adalah dinamika yang dibutuhkan untuk menghidupkan industri
tersebut.
Dalam lingkungan semacam itu, konten ditransformasi ke dalam format pertunjukan dan
dikemas sebagai sebuah festival. Semakin penuh drama, semakin menarik pertunjukan itu.
Semakin penuh kontroversi, semakin membuat rasa ingin tahu. Dan semakin menegangkan,
semakin menguras emosi dan sentimen publik, semakin ia menimbulkan kecanduan. Retorika
Zakir Naik yang tajam, kemampuannya menunjukkan “keunggulan Islam”, kaitannya dengan
fundamentalisme agama, adalah paralel dengan masyrakat media yang sentimental dan haus akan
melodrama. Dan itulah yang membuat Zakir Naik disambut dengan antusias.
Selain polarisasi sosial berdasarkan sentimen, kita tengah hidup dalam masyrakat dimana
segmentasi antar kelompok berdasarkan kategori budaya lebih menonjol daripada segmentasi
berdasarkan kategori politik, ekonomi, dan biologis. Secara politik dan ekonomi masyarkat
semakin terhubung dan tergantung sama lain, namun secara kultural justru semakin terjadi
pembelahan. Namun, segmentasi budaya tersebut, berbeda daripada di masa lalu yang
berdasarkan ikatan primordial yang solid, saat ini dibentuk dalam gaya khas masyrakat
konsumen, yaitu selera individu, yang cair, labil dan mudah berubah.
Orang-orang yang menyukai atau tidak menyukai Zakir Naik mungkin ada korelasinya dengan
kelas ekonomi, pekerjaan, afiliasi ideologi dan aliran keagamaan, tetapi korelasi itu tidak
signifikan. Dalam masyrakat media dan konsumen, segmentasi kelompok lebih ditentukan oleh
selera dan kebutuhan individu berdasarkan sebuah produk. Dalam hal ini, Zakir Naik tak jauh
beda dengan desain fashion, aliran musik dan genre film tertentu di mata penggemarnya.
Dalam konteks tersebut, retorika dan gaya teaterikal dari dakwah Zakir Naik merupakan strategi
untuk meyakinkan publik terkait komoditas yang tengah disampaikan. Semakin dramatis dalam
menunjukkan “kebenaran” dan “keunggulan” Islam, semakin memuaskan dan membuat publik
tertarik. Para pemikir-pemikir Islam yang lain boleh jadi lebih kompeten dibanding Zakir Naik,
namun mereka belum tentu memiliki “kecakapan mendongeng” dan “bermain drama” seperti
dokter Zakir, sehingga tidak menjadi pusat perhatian media.
Fenomena Zakir Naik tersebut, yang besar karena media, bukan hal baru bagi kita. Kita
mengenal sosok serupa seperti KH Zainuddin MZ dan KH Syukron Makmun di masa lalu, atau
tokoh seperti KH Abdullah Gymnastiar dan KH Yusuf Mansur di masa kini. Mereka adalah
orang-orang yang tahu betul bagaimana mengemas agama dalam kontestasi di hadapan massa,
baik di panggung real maupun virtual. Sebuah fenomena yang mentransformasi agama menjadi
lebih bersifat massal daripada sosial, lebih festival daripada ritual, lebih menimbulkan histeria
daripada peningkatan pemahaman yang sistematis bagi setiap pemeluknya.
Fenomena tersebut juga telah mengubah format solidaritas umat Islam. Secara sosial, seorang
ulama bukan semata seseorang yang mengajarkan agama kepada umatnya, tetapi juga memberi
teladan dalam kehidupan sehari-hari yang disaksikan secara langsung, dan ikut membantu
berbagai kesulitan yang dihadapi oleh umatnya. Ulama-ulama seperti itu tidak pandai beretorika
dan mengemas ajaran agama sebagai kontestasi dramatis seperti dokter Naik, tetapi telah berhasil
membentuk ikatan umat pada setiap komunitas, dan mengemabangkan pemahaman keagamaan
mereka dari masa kecil hingga dewasa dan bahkan tua. Mereka adalah guru ngaji kita di
kampung-kampung yang tidak membutuhkan sikap histeris kita atas segala sesuatu yang mereka
lakukan.

Anda mungkin juga menyukai