Anda di halaman 1dari 13

PENDIDIKAN KARAKTER PADA KELUARGA JAWA

Muhammad Idrus
FAI Universitas Islam Indonesia Yogyakarta
email: idrus_ibnutarmidzi@yahoo.com

Abstrak: Fenomena yang terjadi saat ini secara eksplisit menunjukkan terjadinya penurunan etika,
moral, dan karakter bangsa. Situasi tersebut mengharuskan dilakukannya reformulasi pada proses
pendidikan karakter agar setiap individu dari masyarakat dan bangsa ini memiliki karakter yang
diharapkan sebagaimana diamanatkan Pancasila dan Pembukaan UUD 1945. Proses pendidikan dan
pembentukannya dapat dilakukan pada tiga institusi pendidikan sebagai tripusat pendidikan, yaitu
sekolah, masyarakat, dan keluarga. Dalam konteks masyarakat Jawa, model pendidikan dan pem-
bentukan karakter tercermin dari model pengasuhan yang dilakukan oleh orang tua. Berbagai model
pengasuhan Jawa yang sudah dilakukan ketika anak masih bayi, diyakini memiliki kontribusi positif
bagi pendidikan dan pembentukan karakter.

Kata Kunci: pendidikan karakter, identitas, pengasuhan Jawa

CHARACTER EDUCATION IN THE JAVANESE FAMILY

Abstract: The current phenomena explicitly show the degradation of the nation’s ethics, morals, and
character. This situation requires the reformulation on the process of character education so that every
individual of the community and the nation possesses the expected character as prescribed by
Pancasila (the Five Principles) and the Preamble of the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia.
The process of education and its formation can be conducted in three institutions as the three-
education centers – school, community, and family. In the context of the Javanese community,
education model and character building is reflected in the rearing model performed by the parents.
Various Javanese rearing models applied during the infant period are believed to have a positive
contribution to education and character building.

Keywords: character education, identity, Javanese rearing

PENDAHULUAN ukur dimensi ini justru yang diukur di-


Pada dasarnya, proses pendidikan mensi kognitif atau psikomotorik.
bukan sekadar meninggikan dimensi kog- Dampak dari fenomena di atas, per-
nisi dan psikomotor yang dimiliki anak. soalan afektif menjadi tersingkirkan se-
Namun, ada dimensi lain yang juga perlu hingga salah satu bagian dari bidang garap
mendapat perhatian lebih, yaitu dimensi dimensi afektif seperti kepribadian indi-
afeksi. Disadari atau tidak, dibandingkan vidu peserta didik juga terabaikan. Perma-
dengan dua dimensi lainnya, dimensi afek- salahan yang muncul kemudian adalah ter-
tif kerap terabaikan, dan alasan yang mun- jadinya penurunan (dekadensi) moral pada
cul karena kesulitan untuk mengukur di- masyarakat bangsa ini sebagai dampak ke-
mensi tersebut. Ketika hendak dilakukan tidakjelasan pembentukan kepribadian in-
pengukuran, para pendidik sering meng- dividu.
ukur dimensi ini atas dasar angka statistik Banyak bukti yang menjelaskan ter-
semata. Bahkan, tidak jarang untuk meng- jadinya penurunan moral yang ada di ma-
syarakat. Bangsa Indonesia yang pada

118
119

masa lalu dikenal sebagai bangsa yang guru, hingga preman yang ada di sekitar
santun, saat ini predikat tersebut semakin sekolah. Bentuk-bentuk bullying yang dite-
lama semakin memudar. Pada hampir se- mukan di sekolah mulai dari dipukul, di-
tiap struktur masyarakat, bangsa ini men- tonjok, ditampar, dihina, lirikan mengejek,
jadi bangsa pemaki. Fenomena ini begitu julukan negatif, dicolek, dicium paksa, hing-
jelas terlihat dari tayangan media elektro- ga alat kelamin diraba, sedangkan lokasi
nik. Misalnya, ungkapan-ungkapan di me- kejadian mulai dari toilet, kantin, halaman,
dia masa, berbagai coretan pada dinding- pintu gerbang sekolah, bahkan di dalam
dinding kota, spanduk yang dibawa para ruang kelas (http://keyanaku.blogspot.-
demonstran semua cenderung menghujat, com/2009/02/belajar-di-sekolah-tanpa-
memaki, tanpa sedikitpun memuji atas jasa rasa-takut.html).
baik yang pernah dilakukan. Hilangnya budaya santun, juga di-
Ungkapan masyarakat Jawa yang ikuti dengan hilangnya budaya malu. Ma-
berbunyi ”nyunggi duwur, mendhem jero”, raknya fenomena pornografi dan pornoaksi
saat ini tidak berlaku dalam kehidupan menjadi bukti betapa masyarakat bangsa
masyarakat Indonesia. Bangsa ini telah ke- ini telah kehilangan rasa malu. Bahkan,
hilangan rasa sopan dan santun. Kepriba- anggota DPR sebagai wakil rakyat pun
dian adiluhung yang pernah hadir pada tanpa rasa malu sedikitpun membuka situs
bangsa Indonesia telah sirna, tercabik-cabik porno pada saat sidang anggota dewan
dengan tuntutan keadilan, HAM dan se- berlangsung.
perangkat tata demokrasi lainnya. Apakah Di kalangan pelajar pun budaya malu
harus keadilan ditegakkan dengan meng- sudah mulai luntur. Tanpa malu, banyak
hina kelompok lain? Pada sisi lain, bangsa pelajar meng-upload (mengunggah) ke in-
ini juga pernah mengagungkan ungkapan ternet perilaku mereka saat bermesaraan
’ajining dhiri saka lathi lan budi”, bahwa har- dengan pacar mereka, tidak jarang dijum-
ga diri terletak pada mulut dan budi (Ruk- pai adegan yang hanya layak dilakukan
mana & Suharto, 1991). oleh suami istri yang sah (yang nota bene
Rasa santun yang biasanya ditunjuk- berstatus pelajar) di jejaring internet. Pada
kan bangsa ini dalam proses interaksi de- kalangan artis, banyak adegan sinetron di
ngan sesama, berubah menjadi perilaku layar kaca yang mengeksploitasi wilayah
kasar dan anarkis. Sepanjang sejarah sele- aurat yang seharusnya tidak dipertonton-
pas orde baru, selalu kita saksikan betapa kan. Saat mereka disomasi ataupun di-
pemilihan pemimpin daerah banyak yang gugat oleh masyarakat yang mencoba me-
diwarnai oleh aksi kekerasan, sulit untuk negakan sisi moral, spontan mereka men-
melakukannya dengan cara yang lebih san- jawab bahwa semua itu dilakukan demi
tun. Para pelajar juga turut mengambil pe- tuntutan peran dan seni. Apakah demi un-
ran dengan melakukan tindak kekerasan di tuk sebuah seni harus melepas etika moral
sekolah (bullying). Survei yang dilakukan yang telah mendarah daging dalam ke-
oleh LSM Plan Indonesia dan Yayasan Seji- hidupan kita?
wa pada 2008 di tiga kota besar, yakni Ja- Belum usai dengan persoalan porno-
karta, Surabaya, dan Yogyakarta menemu- grafi dan pornoaksi, lagi-lagi bangsa ini
kan sekitar 67% dari 1.500 pelajar pernah dikejutkan dengan perilaku anak bangsa
mengalami bullying di sekolah. Pelakunya yang jelas-jelas memporak-porandakan ben-
mulai dari teman, kakak kelas, adik kelas, teng budaya malu. Gayus Tambunan

Pendidikan Karakter pada Keluarga Jawa


120

Tobing sebagai tokoh muda yang melaku- koba bagi kehidupan berbangsa. Lagi-lagi
kan korupsi milyaran rupiah, dan disusul persoalan tidak-adanya rasa malu menjadi-
dengan teman yang juga kakak kelasnya kan mereka dengan nyaman mengkonsum-
saat kuliah di salah satu perguruan tinggi si narkoba, demi kebahagiaan sesaat.
administasi milik negara, Dhana Widyat- Penjelasan di atas sudah cukup men-
mika beserta istrinya. Masalah korupsi juga jadi bukti bahwa rasa malu pada bangsa ini
membelit tokoh politisi seperti Nazarudin, sudah mulai pudar sedikit demi sedikit,
Angelina Sondakh, beserta kawan-kawan- yang pada akhirnya budaya malu pada
nya yang pada masa awal kampanye me- bangsa ini hilang. Oleh karena itu, harus
reka justru mengkampanyekan untuk mem- ada upaya membentengi, mendesain ulang
berantas korupsi. Litbang Kompas men- karakter bangsa ini menjadi bangsa seperti
catat 158 kepala daerah tersangkut korupsi yang dicita-citakan para pendahulu dan
sepanjang 2004-2011; 42 anggota DPR ter- pendiri bangsa ini.
seret korupsi pada kurun waktu 2008-2011; Tentunya kita tidak ingin kejadian se-
30 anggota DPR periode 1999-2004 terlibat bagaimana yang terjadi pada suku Indian
kasus suap pemilihan DGS BI; Kasus ko- Sioux dan Yurok. Hasil penelitian Erikson
rupsi terjadi diberbagai lembaga seperti (1963) terhadap suku Indian Sioux dan
KPU, KY, KPPU, Ditjen Pajak, BI, dan Yurok dinemukan bahwa kebanyakan kaum
BKPM. muda suku tersebut merasa sudah terputus
Korupsi ternyata telah berurat ber- dari kehidupan nenek moyang mereka.
akar bukan hanya pada masyarakat biasa Sementara itu, di lain sisi mereka belum
saja, pejabat, anggota DPR, kepolisian bah- sanggup memandang masa depan dengan
kan institusi kehakiman juga terlibat kasus menerima sistem nilai orang kulit putih.
ini. Beberapa jaksa penuntut umum yang Secara garis besar, hasil penelitian ini dapat
seharusnya menegakkan keadilan justru dimaknai bahwa terjadinya lost identity atau
dituntut karena masalah korupsi. ketidakjelasan karakter pada kaum muda-
Belum lengkap rasanya tanpa meng- nya. Kedua hasil penelitian Erikson juga
ungkap betapa generasi muda kita sudah secara tidak langsung mengisyaratkan ada-
mulai terhipnotis dengan narkoba. Virus nya ketidaksiapan generasi muda untuk
narkoba ternyata bukan hanya memasuki menerima kehadiran sistem nilai baru yang
gedung-gedung sekolah, tetapi juga mema- datang dari kaum pendatang, sementara di
suki benteng kepolisian, rumah tangga ar- lain sisi terjadi keterputusan pewarisan bu-
tis, tokoh masyarakat, politisi, kehakiman, daya dari generasi tua kepada mereka yang
dan banyak lagi sektor pemerintahan dan lebih muda.
struktur keluarga yang diserang virus ini. Berdasarkan pada hasil penelitian
Berita terkini justru menohok institusi ke- Erikson (1963) di atas, tampaknya bagi se-
polisian, Kapolsek Cibarusa Jawa Barat di- tiap individu lingkungan di sekitar dirinya
pergoki sedang pesta sabu dengan teman- menjadi penting untuk proses pewarisan
temannya. Sungguh ironis, institusi yang budaya dan pembentukan karakter. Arti-
ingin menegakkan aturan dan memberan- nya, identitas diri anak sebagai wujud
tas narkoba justru menjadi penikmat nar- pembentukan karakter anak dan perkem-
koba. Ironisnya, mereka yang terlibat kasus bangannya akan dipengaruhi lingkungan
narkoba tidak jarang justru yang meng- sekitarnya, sedangkan lingkungan sekitar
kampanyekan betapa berbahayanya nar- terdekat bagi anak adalah keluarganya.

Jurnal Pendidikan Karakter, Tahun II, Nomor 2, Juni 2012


121

Dalam tulisan Mussen, dkk (1984), dinyata- menjadikan identitas yang bersangkutan
kan bahwa pembentukan identitas salah pada masa yang akan datang.
satunya dipengaruhi hubungan orang tua- Membincang tentang pola asuh seti-
anak. Hal ini mengisyaratkan bahwa in- daknya perlu dipahami apa yang sebenar-
teraksi orang tua-anak yang diwujudkan nya dimaksud dengan pola asuh itu sen-
dalam pola-pola pengasuhan akan mem- diri. Dalam tulisannya Kohn (1971) memak-
pengaruhi kemampuan anak untuk menye- nai gaya pengasuhan sebagai sikap orang
lesaikan konflik yang dialami pada tahap tua dalam berhubungan dengan anaknya.
perkembangan psikososial tertentu. Terkait dengan hal ini Idrus (2004) menam-
Berbagai paparan di atas mengisya- bahkan bahwa dalam interaksi orang tua-
ratkan betapa pentingnya pola asuh orang anak tersebut juga muncul bagaimana cara
tua bagi pembentukan karakter anak. Hal orangtua memberikan perhatian, adanya
tersebut juga diungkap oleh Landry, dkk. rambu-rambu aturan normatif, disiplin, ha-
(2001) yang menyatakan bahwa peran pen- rapan-harapan orangtua, tanggapan orang
ting dalam perkembangan anak dipenga- tua terhadap keinginan anak, hadiah atau-
ruhi oleh pengalaman pengasuhan anak, pun hukuman yang diberikan, yang se-
yang kemudian akan mempengaruhi ke- muanya dimaksudkan untuk memberikan
hidupan anak kelak. Kuatnya pengaruh ke- bimbingan kepada anak agar dapat ber-
luarga terhadap pembentukan identitas di- kembang sesuai dengan yang seharusnya.
ungkap oleh Grotevant dan Cooper (Pa- Pendapat lain tentang pola asuh di-
pini, 1994), bahwa peran penting dan kua- kemukakan oleh Brooks (Hamner & Tur-
litas keluarga yang ikut mewarnai pemben- ner, 1996) yang memaknai pengasuhan se-
tukan identitas antara lain terletak pada in- bagai sebuah proses yang menyangkut pe-
teraksi orang tua dengan anak yang terang- meliharaan, perlindungan dan mengarah-
kum dalam gaya pengasuhan orang tua. kan anak pada perkembangannya. Lebih
Dengan begitu, salah satu institusi lanjut diungkap Brooks bahwa dalam pro-
penting dalam pembentukan karakter ada- ses tersebut pengasuhan merupakan inter-
lah keluarga. Masalahnya adalah, model aksi yang berkelanjutan antara orang tua
pengasuhan yang bagaimana yang dapat dan anak. Dengan kalimat yang sederhana,
membentuk karakter anak sebagaimana di- Nancy (1999) mendefinisikan pengasuhan
harapkan oleh institusi negara, masyarakat sebagai aktivitas kompleks yang terdiri
dan bangsa? Bagaimana budaya mempe- dari perilaku-perilaku yang khas yang se-
ngaruhi proses pembentukan karakter in- cara individu ataupun bersama-sama mem-
dividu? pengaruhi perkembangan anak.
Sementara itu, terkait dengan bagai-
KARAKTER KELUARGA JAWA mana keluarga menerapkan pola asuh ter-
Dalam paparan di atas, diungkap hadap anaknya akan terkait erat dengan
bahwa ada keterkaitan yang signifikan an- bagaimana budaya di sekitarnya. Hal ini
tara pembentukan karakter dengan peng- mengingat bahwa orientasi nilai budaya
asuhan orang tua. Artinya, bagaimana mo- akan mempengaruhi bagaimana kehidup-
del pengasuhan yang dilakukan orang tua an seseorang. Suryabrata (2000) mengung-
terhadap anak akan mempengaruhi bagai- kapkan bahwa corak hidup seseorang di-
mana karakter individu yang bersangkut- tentukan oleh nilai kebudayaan mana yang
an, dan pada akhirnya hal tersebut akan dominan, yaitu nilai kebudayaan mana

Pendidikan Karakter pada Keluarga Jawa


122

yang olehnya dipandang sebagai nilai yang sesuai dengan budaya dan agama. Durung
tertinggi (nilai yang paling bernilai). Bagi Jawa menggambarkan betapa anak tersebut
orang Jawa, maka budaya yang dominan memiliki perilaku buruk dan masyarakat
adalah budaya Jawa, budaya yang sejak sekitar tidak menyenangi. Setiap anak yang
kecil mereka kenal. memiliki atau diberi predikat durung Jawa
Dengan begitu, bagi orang Jawa ba- berarti individu yang bersangkutan tidak
gaimana mereka mendidik karakter anak mengerti tata krama, tidak memiliki sopan
tentunya akan disesuaikan dengan budaya santu, dan berkepribadian yang kurang baik.
yang mereka yakini, yaitu budaya Jawa. Berkebalikan dengan istilah durung
Bagi para orang tua Jawa, mereka tidak Jawa adalah njawani, yaitu perilaku yang
hanya memberikan konsep kepada anak- secara etik, moral, budaya dan agama se-
anaknya tentang karakter apa dan mana suai dengan lingkungan masyarakat. De-
yang dianggap sesuai oleh masyarakatnya, ngan begitu, setiap orang tua Jawa akan
tetapi juga berusaha untuk menjalankan- melakukan berbagai cara agar anak-anak-
nya. Bagi mereka, pituduh (wejangan) tidak nya tidak disebut sebagai durung Jawa, se-
akan berhasil jika hanya diucapkan saja, baliknya ingin anaknya njawani. Perilaku
tanpa dilaksanakan, dan ini sesuai dengan njawani adalah perilaku yang sesuai de-
adagium yang muncul dengan istilah ”ge- ngan karakter yang diharapkan oleh ma-
dhang awoh pakel, ngomong gampang ngela- syarakat sekitar. Tentunya setiap keluarga
kone angel” [ibarat pisang berbuah mangga, Jawa berharap anaknya dapat memiliki si-
bicara mudah tetapi menjalankannya su- kap dan perilaku serta karakter sebagai-
sah], atau istilah lainnya ”gajah diblangkoni, mana tuntutan masyarakat.
bisa kojah ora bisa nglakoni” [seperti gajah Merujuk pada hasil pembahasan dari
yang diberi blangkon, hanya bicara tidak Pusat Kurikulum (2009:9-10), ternyata telah
pernah melaksanakan apa yang diucapkan- diidentifikasi 18 nilai yang bersumber dari
nya]. Tentunya bagi para orang tua Jawa, agama, Pancasila, budaya, dan tujuan pen-
hal tersebut tidak mereka inginkan. didikan nasional, yang dianggap sebagai
Wujud keberhasilan pada orang tua karakter utama yang diharapkan ada pada
Jawa dalam membentuk karakter anak di- setiap individu. Karakter tersebut yaitu: (1)
tandai oleh kemampuan anak dalam ber- religius; (2) jujur; (3) toleransi; (4) disiplin;
interaksi dengan masyarakat sekitarnya. (5) kerja keras; (6) kreatif; (7) mandiri; (8)
Idrus (2004) mengungkap bahwa biasanya demokratis; (9) rasa ingin tahu; (10) sema-
anak Jawa yang berhasil dalam berinteraksi ngat kebangsaan; (11) cinta tanah air; (12)
dengan lingkungannya, masyarakat akan menghargai prestasi; (13) bersahabat/ko-
memberi label sebagai orang yang njawani, munikatif; (14) cinta damai; (15) gemar
sebaliknya mereka yang belum secara baik membaca; (16) peduli lingkungan; (17) pe-
mengamalkan nilai-nilai yang ada di ma- duli sosial; dan (18) tanggung jawab.
syarakat tersebut, kerap disebut sebagai Suyanto (Suparlan, 2010) juga menye-
orang yang durung Jawa. butkan sembilan pilar karakter yang ber-
Durung Jawa tidak sekadar bermakna asal dari nilai-nilai luhur universal manu-
bukan Jawa (arti harfiahnya) lebih jauh lagi sia, yaitu: (1) cinta Tuhan dan segenap cip-
hal tersebut mengindikasikan bahwa anak taan-Nya; (2) kemandirian dan tanggung
tersebut memiliki karakter yang buruk, jawab; (3) kejujuran/amanah, (4) hormat
karakter yang secara etika dan moral tidak dan santun; (5) dermawan, suka tolong-

Jurnal Pendidikan Karakter, Tahun II, Nomor 2, Juni 2012


123

menolong dan gotong royong/kerjasama; kenikmatan yang diperoleh. Jika sikap ini
(6) percaya diri dan pekerja keras; (7) ke- terus dipupuk, maka tidak ada individu
pemimpinan dan keadilan; (8) baik dan yang akan melakukan korupsi karena me-
rendah hati, dan; (9) toleransi, kedamaian, reka memahami bahwa mereka harus sa-
dan kesatuan. ling berbagi dengan sesama, tidak menik-
Sementara itu, hasil penelitian Idrus mati sendiri dengan cara yang tidak benar.
(2004) menyebutkan beberapa nilai yang Kaidah kedua adalah prinsip hormat.
telah dikenalkan para orang tua kepada Prinsip ini mengajarkan agar setiap orang
anak-anak sejak mereka kecil. Nilai itu ada- dalam cara bicara dan membawa diri selalu
lah: (1) sabar, (2) jujur, (3) budi luhur, (4) harus dapat menunjukkan sikap hormat
pengendalian diri, (5) prehatin, (6) rukun, terhadap orang lain, sesuai dengan derajat
(7) hormat, (8) manut, (9) murah hati, (10) dan kedudukannya. Idrus (2004) menam-
menghindari konflik, (11) tepo seliro, (12) bahkan bahwa seperti juga prinsip keru-
empati, (13) sopan santun, (14) rela, (15) kunan, prinsip ini pada akhirnya meng-
narima, (16) pengabdian, dan (17) eling. inginkan satu tatanan sosial yang selaras.
Terkait dengan model interaksi antar- Untuk itu, setiap individu dalam masyara-
individu pada masyarakat Jawa, Geertz kat harus dapat membawa diri sesuai de-
(1983) menemukan adanya ada dua kaidah ngan tuntutan dan tuntunan tatanan sosial.
nilai, yaitu kaidah ke-rukun-an (avoidance of Suseno (1984) mengungkap lebih jauh, bah-
conflict), dan kaidah hormat. Prinsip per- wa jika setiap orang menerima kedudukan-
tama adalah kerukunan yang bertujuan un- nya, maka tatanan sosial terjamin, dan oleh
tuk mempertahankan masyarakat dalam karena itu orang jangan mengembangkan
keadaan yang harmonis. Mulder (1986) ambisi-ambisi, jangan mau bersaing satu
memaknai rukun sebagai “berada dalam sama lain, melainkan hendaknya setiap
keadaan selaras”, “tenang dan tentram”, orang puas dengan kedudukan yang telah
“tanpa perselisihan dan pertentangan”, ber- diperolehnya dan berusaha untuk menja-
satu dalam maksud untuk saling mem- lankan tugas masing-masing dengan se-
bantu”. Terkait dengan kerukunan ini, se- baik-baiknya.
lalu ada tuntutan agar terjadi kondisi sela- Dalam tulisannya Geertz (1983), di-
ras, tanpa perselisihan. Dalam hal ini, Su- ungkapkan bahwa anak mempelajari prin-
seno (1984) mengungkap bahwa untuk sip kehormatan dalam keluarga melalui
mencegah konflik orang harus bersedia tiga sikap yang dipelajarinya dalam rangka
untuk kompromi, harus seringkali rela un- menghormati orang lain, yaitu sikap takut
tuk tidak memperoleh haknya dengan se- (wedi), malu (isin), dan segan (sungkan).
penuhnya. Wedi, berarti takut, baik sebagai reaksi ter-
Secara tidak langsung, anak-anak Ja- hadap ancaman fisik maupun sebagai rasa
wa telah diajarkan bagaimana mereka ber- takut terhadap akibat kurang enak suatu
sikap rukun sejak kecil. Dalam keluarga, tindakan. Suseno (1984) menyatakan bah-
mereka harus biasa berbagi, jika ada ma- wa pertama kali anak belajar untuk merasa
kanan ataupun kenikmatan, mereka akan takut terhadap orang yang harus dihor-
saling berbagi ”sithik iding” (sedikit sama mati, dan anak dipuji apabila bersikap wedi
rata). Sikap ini akan menumbuhkan rasa terhadap orang asing.
toleransi, empati, dan simpati pada se- Sikap kedua yang dikembangkan da-
sama, serta tidak bersikap serakah atas lam keluarga Jawa adalah isin, yang secara

Pendidikan Karakter pada Keluarga Jawa


124

harafiah berarti malu. Isin dapat juga ber- Jawa, yaitu manut (obedience to superiors),
arti malu-malu, merasa bersalah. Suseno kemurahan hati (generosity), menghindari
(1984) mengungkapkan bahwa belajar un- konflik (avoidance of conflict), tepa seliro (un-
tuk merasa malu (ngerti isin) adalah lang- derstanding of others), empati, tenggang rasa,
kah pertama ke arah kepribadian Jawa yang sopan santun, sabar, eling dan prehatin
matang. Sebaliknya, penilaian ora ngerti isin, (Geertz, 1983; Koentjaraningrat, 1984; Suse-
merupakan suatu kritik yang amat tajam. no, 1984; Mastoni, 2002).
Pada paparan di di atas, diungkap- Individu Jawa adalah individu yang
kan bahwa salah satu budaya yang telah akrab dengan banyaknya aliran kebatinan.
hilang pada masyarakat bangsa Indonesia Setiap aliran kebatinan juga memberikan
saat ini adalah budaya malu. Saat ini se- arahan tentang sikap yang harus dan yang
perti sudah menjadi kelaziman orang ma- tidak boleh dilakukan setiap penganutnya.
suk penjara karena melakukan korupsi. Se- Misalnya, Paguyuban Ngesti Tunggal (Pa-
lepas dari penjara –karena kasus korupsi ngestu) sebagaimana tertulis dalam Pustaka
misalnya- orang pun tidak merasa malu se- Sasangka Djati yang ditulis oleh Raden Su-
dikitpun. Berbeda kondisinya dengan pada narta Mertawardaya (1983) mengajarkan
masa awal tahun 1970-an, jika ada orang lima pokok sikap hidup yang harus dila-
yang masuk penjara, maka seluruh keluar- kukan penganutnya, yaitu rela, tawakal (na-
ganya akan merasa malu, terhina, dan ten- rima), jujur (temen), sabar, dan budi luhur.
tu saja saat yang bersangkutan keluar dari Aliran kebatinan lain, Paguyuban Sa-
penjara masyarakat sulit untuk menerima pta Darma mengajarkan kepada pengikut-
yang bersangkutan secara utuh, sebagai- nya untuk mengamalkan wewarah Sapta
mana sebelumnya. Darma yang berbunyi:
Sikap ketiga adalah sungkan, merupa-  Setya tuhu lan sucining ati kudu setya nin-
kan satu perasaan yang dekat dengan isin, dakake angger-anggering negarane (dengan
tetapi berbeda dengan cara seorang anak jujur dan sucinya hati harus setia men-
merasa malu terhadap orang asing. Sung- jalankan Undang-Undang Negaranya);
kan adalah malu dalam arti yang lebih po-  Setya tuhu marang anane Pancasila (setia
sitif. Sikap ini muncul dalam diri individu taat terhadap adanya Pancasila);
karena adanya perasaan lebih rendah dari  Melu cawe-cawe cancut taliwondo njaga
orang atau individu yang akan dihadapi- adage nusa lan bangsane (ikut berperan
nya, entah terkait kedudukan di masyara- serta menyingsingkan lengan baju men-
kat, ilmu, status sosial, atau wibawa. Bagi jaga tegaknya negara dan bangsanya);
individu yang memiliki rasa ini terhadap  Tetulung marang sapa bahe yen perlu kan-
orang lain, baginya yang terbaik adalah ti- thi ora nduweni pamrih apabehe, kajaba
dak berhadapan secara langsung, dan jika mung rasa welas lan asih (memberi per-
karena suatu hal dirinya harus berhadapan tolongan terhadap siapa saja, bila perlu
atau bertemu dengan orang yang dimak- dengan tidak mempunyai pamrih apa
sud, akan muncul perasaan sungkan (peke- saja, selain hanya atas dasar belas kasih-
wet). an dan cinta kasih);
Selain nilai-nilai di atas, yang kemu-  Wani urip kanthi kapitayan saka kekuwa-
dian menjadi sikap dan membentuk karak- tane dhewe (berani hidup dengan per-
ter individu Jawa, ada beberapa nilai keba- caya dari kekuatannya sendiri);
jikan yang harus dijunjung setiap individu

Jurnal Pendidikan Karakter, Tahun II, Nomor 2, Juni 2012


125

 Tanduke marang warga bebrayan kudu su- nya, antara lain dengan jalan nata swara
sila kanthi alusing budi pekerti, tansah aga- (selalu berbicara dengan baik dan benar
we papadang lan mareming liyan (sikapnya –bener tur pener- ), prasaja, yakni bersa-
terhadap warga masyarakat harus susila haja, jujur apa adanya. Selain itu, tidak
dengan halusnya budi pekerti, senan- menyumpahi diri sendiri maupun orang
tiasa membuat penerangan dan kepuas- lain, mandine manungsa saka swarane (Su-
an orang lain); santo, dkk., 1992).
 Yakin yen kahanan donya ora langgeng, tan- Jika seseorang menganut aliran ter-
sah owah gingsir/nyakramanggilingan (per- sebut, maka menjadi kewajiban bagi me-
caya atau yakin bahwa keadaan dunia reka untuk menjalankan apa yang diajar-
tidak tetap, senantiasa berubah bagai- kan. Tetapi. jika mereka bukan penganut
kan roda berputar) (Susanto, dkk., 1992). aliran tersebut, maka sikap yang diambil
Paguyuban Ilmu Sangkan Paraning Du- individu Jawa adalah dengan diam, tidak
madi mengajarkan kepada para pengikut- ingin campur tangan, dan seandainya ada
nya dalam berkehidupan untuk meng- hal positif mereka akan ikut mengamalkan
amalkan ajaran dan penghayatan terhadap perilaku tersebut karena menganggap bah-
Sangkan Paraning Dumadi dan tekat wani mati wa itu adalah perilaku orang Jawa pada
sajroning urip sehingga mendorong manu- umumnya. Meski dengan bahasa yang va-
sia untuk semakin bertakwa pada Tuhan riatif, nampak betapa pada masyarakat
Yang Maha Esa. Dalam berperilaku, manu- Jawa sudah dikenalkan tentang karakter
sia diharuskan bersikap tekun, sabar dan ber- manusia sempurna sejak mereka kecil.
budi luhur, serta rasa narima ing pandum, ju- Pada kehidupan keseharian nilai-
jur tidak serakah dan berusaha dengan ja- nilai tersebut diajarkan orang tua kepada
lan yang sah (Susanto, dkk., 1992). anak-anaknya secara langsung ataupun ti-
Paguyuban Paham Jiwa Diri Pribadi dak langsung. Nilai-nilai tersebut kemudi-
mengajarkan kepada pengikutnya untuk an oleh anak akan dijadikan sebagai pe-
berperilaku luhur seperti mawas diri, was- gangan untuk berinteraksi dengan orang-
pada dan pengendalian diri. orang di dalam ataupun di luar lingkungan
 Mawas diri yaitu mengarahkan manusia keluarganya, dan bahkan tidak tertutup ke-
agar senantiasa mengenal dan meng- mungkinan nilai-nilai tersebut menjadi pe-
ingat hakikat dirinya, tidak membicara- gangan bagi seorang individu untuk masa
kan orang lain yang akan membuat se- kehidupan berikutnya.
mua tebalnya kekotoran jiwa.
 Waspada adalah manusia harus selalu PROSES PENDIDIKAN KARAKTER
meningkatkan kewaspadaan diri priba- DALAM KELUARGA JAWA
dinya, baik lahir maupun batin. Untuk Pembangunan karakter merupakan
meningkatkan kewaspadaan diri priba- upaya perwujudan amanat Pancasila dan
dinya, perlu menjalankan laku melek, ya- Pembukaan UUD 1945, dilatarbelakangi
itu dengan cara mengurangi tidur. De- realita permasalahan kebangsaan yang ber-
ngan demikian, panas tubuh ditingkat- kembang saat ini, seperti disorientasi dan
kan, akibatnya kotoran jiwa akan lebih belum dihayatinya nilai-nilai Pancasila; ke-
mudah terlepaskan. terbatasan perangkat kebijakan terpadu da-
 Pengendalian diri, bahwa seorang ma- lam mewujudkan nilai-nilai Pancasila; ber-
nusia harus selalu mengendalikan diri- gesernya nilai etika dalam kehidupan ber-

Pendidikan Karakter pada Keluarga Jawa


126

bangsa dan bernegara; memudarnya kesa- inginkan. Gaya pengasuhan dikelompok-


daran terhadap nilai-nilai budaya bangsa; kan pada model pengasuhan yang meng-
ancaman disintegrasi bangsa; dan mele- abaikan, yaitu menggunakan pengalihan
mahnya kemandirian bangsa (Buku Induk perhatian. Model pengasuhan ini dilaku-
Kebijakan Nasional Karakter Bangsa 2010- kan para orang tua dengan cara meng-
2025). alihkan perhatian atau menunda keinginan
Tentunya, nilai-nilai luhur yang su- anak dengan pengalihan-pengalihan ter-
dah menjadi karakter bangsa di masa lalu tentu. Tentunya pengalihan ini lebih di-
perlu diwarisikan oleh generasi tua (para maksudkan untuk membentuk karakter
orang tua) kepada generasi muda (anak- pada diri anak agar tidak selalu berpikir
anaknya). Para orang tua Jawa memiliki bahwa apapun keinginannya harus serta
model pengasuhan yang berbeda dengan merta dipenuhi seketika pada saat itu.
yang biasa dikenal dalam masyarakat Ba- Secara tidak langsung, model pengasuhan
rat. Geertz (1983) mengindikasikan bebe- ini membentuk karakter sabar pada anak.
rapa model pengasuhan pada orang tua Dalam hal pemenuhan kebutuhan
Jawa yang dimaksudkan untuk memben- anak, ada satu pola yang tampaknya tidak
tuk karakter pada anak-anak mereka. Mo- ada pada budaya lain, yaitu ngelulu. Nge-
del tersebut adalah (1) membelokkan dari lulu yaitu memenuhi permintaan anak se-
tujuan yang tak diinginkan; (2) memberi pe- cara berlebihan, atau justru menyuruh anak
rintah terperinci dan tidak emosional tanpa untuk berbuat hal yang dilarang. Model
ancaman hukuman; (3) menakut-nakuti pengasuhan ini sebenarnya tidak bermak-
anak dengan ancaman tentang nasibnya sudkan untuk menjerumuskan anak pada
yang mengerikan di tangan orang lain atau hal-hal buruk, tetapi lebih dimaksudkan
makhluk halus; (4) jarang memberi hukum- untuk membentuk kesadaran pada diri
an yang akan menghilangkan kasih sayang; anak bahwa permintaan atau perbuatan
(5) mengajarkan kepatuhan dan kesopan- tersebut tidak baik.
an. Saat anak dilulu, biasanya dia tidak
Koentjaraningrat (1984) menambah- begitu saja akan menuruti kata hatinya,
kan model pengasuhan yang biasa dilaku- tetapi membentuk proses berpikir yang
kan para orang tua Jawa pada anak-anak- pada akhirnya menumbuhkan kesadaran
nya, yaitu: (1) “menyuap” anak dengan pada dirinya tentang baik buruknya per-
menjanjikannya hadiah-hadiah serta ma- buatan ataupun permintaannya. Orang tua
kanan-makanan yang enak-enak, apabila sepertinya membiarkan anak, namun se-
anak tersebut berjanji tidak nakal; (2) meng- benarnya menghalangi untuk bersabar me-
hukum anak; (3) memenuhi harapan-ha- nunda keinginannya.
rapan si anak secara berlebihan, atau me- Model pengasuhan kedua yang dite-
nyuruh anak untuk berbuat yang dilarang rapkan orang tua Jawa adalah dengan
(dipunlulu) yang sebenarnya dimaksudkan memberi perintah terperinci, dan tidak
sebagai anti perangsang; (4) menyisihkan emosional serta tanpa ancaman hukuman.
anak dengan cara tidak diajak bermain dan Model pengasuhan ini menekankan bahwa
berbicara (dipunsatru; dipunjothak). pada dasarnya orang tua Jawa selalu ber-
Model pengasuhan pertama yang usaha untuk mengkomunikasikan apa yang
biasa dilakukan para orang tua Jawa ada- mereka pikirkan kepada anak-anaknya de-
lah membelokkan dari tujuan yang tak di- ngan bahasa yang dipahami oleh anak.

Jurnal Pendidikan Karakter, Tahun II, Nomor 2, Juni 2012


127

Proses ini merupakan upaya menjalin ko- ngan orang lain, dan ini menunjukkan
munikasi antara orang tua dengan anak- kesopanan individu.
nya. Proses komunikasi menjadi penting Pengasuhan berikutnya yang dike-
tatkala banyak situasi yang kadang men- mukakan Geertz (1983) adalah bahwa
jadikan hubungan orang tua anak menjadi orang tua Jawa jarang memberi hukuman
tidak harmonis. yang akan menghilangkan kasih sayang.
Pada sisi tersebut, orang tua Jawa se- Bagi orang tua Jawa, mereka tidak akan
bagaimana juga kaidah yang mereka ba- serta merta marah pada anaknya jika anak
ngun selalu mengedepankan harmoni da- tidak mematuhi perintah-perintah. Biasa-
lam kehidupan mereka. Membangun ko- nya, orang menunggu sampai datang ke-
munikasi merupakan jalan menuju suatu sempatan, baru dikemudian hari untuk
persahabatan. Pengasuhan ini mengajarkan mengajar nilai-nilai apa yang seharusnya
pada anak bahwa perlunya menjalin silatu- pada anak. Meski demikian pada dasarnya,
rahmi sebagai sebuah karakter pada setiap jarang memberi hukuman bukan berarti
individu Jawa. tidak pernah, hal tersebut sebagaimana
Model pengasuhan berikutnya yang diungkap Koentjaraningrat (1984) bahwa
biasa diterapkan pada keluarga Jawa ada- orangtua di desa tidak hanya mengancam
lah dengan cara menakut-nakuti anak me- anak-anaknya dengan sangsi hukuman,
lalui ancaman tentang nasibnya yang me- tetapi kadang-kadang juga benar-benar
ngerikan di tangan orang lain atau makh- menghukum apabila mereka benar-benar
luk halus. Menurut Geertz (1983), salah marah.
satu ajaran penting yang ditanamkan ke- Bagi masyarakat Jawa, hukuman
pada anak kecil ialah orang-orang asing tidak selamanya berupa fisik, ataupun ung-
yang tak akrab dikenalnya akan dipukul kapan verbal kasar lainnya. Bahkan, Geertz
rata sebagai wong liya (orang lain) yang (1983) mengungkap bahwa caci maki da-
tidak dapat dipercaya. lam pandangan masyarakat Jawa merup-
Wong liya adalah konsep untuk orang akan hal yang sangat buruk. Hukuman
asing yang belum dikenal sama sekali, yang paling ditakuti pada anak-anak Jawa
bukan orang lain di luar keluarga. Orang adalah disisihkan secara emosional, tidak
Jawa akan menganggap orang-orang di se- diajak bermain oleh teman sebaya atau
kitarnya yang sudah dikenalnya sebagai saudara, atau juga tidak bicara –diabaikan-
sedulur, tetanggi, sedangkan konsep wong oleh orang tua mereka. Hukuman ini oleh
liya adalah orang asing di luar itu. Model masyarakat Jawa dikenal dengan istilah
pengasuhan ini sebenarnya mengisyarat- dipunsatru; dipunjothak.
kan pentingnya sikap waspada dan selalu Model pengasuhan ini mengajarkan
hati-hati. pada anak untuk tidak emosional, bersabar
Selain itu, model pengasuhan ini akan atas situasi yang dihadapi. Karakter ini
membentuk karakter sopan dan santun penting mengingat saat ini banyak masya-
pada siapa saja yang mereka temui. Anak rakat kita yang kesulitan untuk mengelola
akan terbiasa untuk bersikap tidak semba- marah, dan pada akhirnya melampiaskan
rangan (Jawa : nranyak; njangkar) pada rasa amarah itu dengan perbuatan anarkis.
orang lain yang belum dikenal. Unggah- Model pengasuhan terakhir yang ada
ungguh dalam bercakap dan bersikap harus pada masyarakat Jawa adalah mengajar-
ditunjukkan sejak awal anak bertemu de- kan kepatuhan dan kesopanan. Proses pe-

Pendidikan Karakter pada Keluarga Jawa


128

ngajaran ini dimulai sejak bayi sampai me- orang lain. Perilaku tersebut juga diajarkan
reka dewasa. Saat anak-anak masih bayi, pada anak mereka yang masih bayi, saat
mereka sudah dikenalkan dengan nilai- ada orang lain yang menyapa mereka. Si
nilai kesopanan. Ketika bayi sudah dapat orang tua akan berbicara dengan bahasa
memegang sesuatu dengan tangan sendiri, kromo (bahasa halus) untuk berbicara de-
maka orang tua akan mengajarkan bahwa ngan lawan bicaranya saat membahasakan
tangan kananlah yang dianggap sopan jika untuk anaknya –meski yang bicara dengan
menerima atau memegang sesuatu. dirinya saat itu masih lebih muda dari diri-
Saat masih bayi dalam gendongan nya, yang mungkin pada keseharian biasa-
ibunya –atau orang yang mengasuhnya- nya justru lawan bicaranyalah yang ber-
biasanya tangan kanan bayi akan terjepit di bicara dengan bahasa halus pada dirinya-.
antara tubuh bayi dengan tubuh yang Pengasuhan ini dimaksudkan agar
menggendongnya. Hanya saja saat ada anak memiliki karakter sopan dan santun
orang yang akan memberi sesuatu, maka dalam bertutur kata. Untuk itu, para orang
orang yang menggendong akan segera me- tua akan sebisa mungkin mengajarkan
narik tangan kanan bayi yang terjepit dan anak berbahasa dengan memperhatikan
memegang tangan kirinya, sehingga anak unggah-ungguh yang ada. Pembiasaan peng-
akan menerima pemberian dari orang lain gunaan bahasa Jawa krama inggil akan me-
dengan menggunakan tangan kanan. Atau, miliki dampak yang positif bagi perkem-
jika karena terpaksa yang menggendong bangan anak. Terkait dengan model pem-
terlambat menarik tangan kanan si bayi, biasaan ini, Wimbarti (2002) mengungkap-
dan si bayi harus menerima dengan tangan kan bahwa menggunakan bahasa krama
kiri, maka akan ada peringatan dari si inggil menuntut mereka untuk menyesuai-
penggendong untuk tidak melakukannya kan sikap batin dan perilaku luarnya de-
dengan tangan kiri dan seharus dilakukan ngan bahasa halus tersebut sehingga meng-
dengan tangan kanan. Hingga individu gunakan bahasa krama inggil tetapi perila-
Jawa berusia dewasa, mereka akan selalu kunya berangasan akan tidak tepat.
terbiasa menggunakan tangan kanan da- Paparan di atas mengisyaratkan bah-
lam berbagai aktivitas, terutama saat ber- wa sebenarnya proses pendidikan dan pem-
interaksi dengan orang lain. Penggunaan bentukan karakter dalam keluarga Jawa
tangan kiri akan dimaklumi jika situasinya telah terjadi sejak anak berusia balita, dan
tidak memungkinkan dan itupun biasanya terus berproses hingga yang bersangkutan
dengan terlebih dahulu dengan ungkapan dewasa. Proses tersebut berlangsung da-
maaf, nuwun sewu. Pengecualian tentunya lam situasi pengasuhan khas Jawa yang di-
juga ada, bagi orang Jawa penggunaan ta- lakukan oleh para orang tua Jawa.
ngan kiri untuk hal-hal yang terkait de-
ngan pembersihan diri saja, untuk aktivitas PENUTUP
lainnya mutlak menggunakan tangan ka- Keluarga merupakan wahana stra-
nan. tegis pendidikan karakter karena paling
Dalam hal kesopanan bertutur, orang banyak anak berinteraksi sehari-hari di
tua dalam masyarakat Jawa akan meng- dalam keluarga. Agar dapat terinternalisasi
ajarkan anak untuk berbicara dengan pe- karakter luhur, keluarga harus dapat men-
nuh kesopanan, baik terhadap orang tua, jadi contoh seperti pepatah satu contoh le-
orang yang lebih tua, ataupun dengan bih baik dari seribu nasihat.

Jurnal Pendidikan Karakter, Tahun II, Nomor 2, Juni 2012


129

UCAPAN TERIMA KASIH From the World Wide Web: http:-


Penulis mengucapkan terima kasih //www.mastoni.com/javanese.htm.
kepada Redaktur dan Staf Jurnal Pendidikan
Karakter Universitas Negeri Yogyakarta se- Mertawardaya, S. 1983. Pustaka Sasangka
hingga artikel ini dapat hadir di hadapan Jati. Raden Tumenggung Harjaprako-
pembaca. sa dan Raden Trihardana Sumadi-
harja (pencatat). Cetakan Kelima. Ja-
DAFTAR PUSTAKA karta: Badan Penerbitan dan Perpus-
Buku Induk Kebijakan Nasional Karakter takaan Pangestu Pusat.
Bangsa 2010-2025.
Mulder, N. 1986. Kepribadian Jawa dan Pem-
Erikson, E.H. 1963. Childhood and Society. bangunan Nasional. Yogyakarta: Ga-
(Second Edition. New York: W.W. djah Mada University Press.
Norton & Company. Inc.
Mussen, P.H., Conger, J.J., & Kagan, J. 1984.
Geertz, H. 1983. Keluarga Jawa. Penerjemah Child Development and Personality. New
Hersri. Jakarta: Grafiti Pers. York: Harper & Row Publishers, Inc.

Hamner, T.J., & Turner, P.H. 1996. Paren- Nancy, D. 1999. Parenting Style and Its Cor-
ting in Contemporary Society. (Third relates. Retrieved February, 8, 2003.
Edition). Boston: Allyn & Bacon. From: www.http://www.ericfacili-
ty.net/ericdigests/ed427896.html.
Idrus, M. 2004. “Kepercayaan Eksistensial
Remaja Jawa”. Disertasi. Yogyakarta: Papini, D.R. 1994. “Family Intervention”. In
Fakultas Psikologi Universitas Ga- Archer S.L. (Eds.). Interventions for
djah Mada. Adolescent Identity Development. Pp 47-
61. Thousand Oaks, California: Sage
Koentjaraningrat. 1984. Kebudayaan Jawa. Publications.
Jakarta: PN. Balai Pustaka.
Pusat Kurikulum. 2010. Pengembangan dan
Kohn, M.L. 1971. Social Class and Parent Pendidikan Budaya & Karakter Bangsa.
Child Relationship: an Interpretation Pedoman Sekolah.
Reading in Adolescent Psychology. Min-
neapolis Minnesota: Burges Publish- Rukmana, H dan Suharto. 1991. Butir-butir
ing Company. Budaya Jawa: Anggayuh Kasampurna-
ning Urip Ber Budi Bawa Leksana Ngudi
Landry, S.H., Smith, K. E., Swank, P. R., Sajatining Becik. Jakarta: Yayasan Pur-
Asel, M. A., & Vellet, S. 2001. “Does na Bhakti Pertiwi.
Early Responsive Parenting Have a
Special Importance for Children’s De- Suparlan. 2010. Pendidikan Karakter dan Ke-
velopment or is Consistency across cerdasan.http://www.suparlan.com/
Early Childhood Necessary?”. Deve- pages/posts/pendidikan-karakter-
lopmental Psychology. 37 (3) 387-403. dan-kecerdasan-319.php Posted on
Friday, 18th June, 2010.
Mastoni. 2002. Understanding The Javanese
Way of Life. Retrieved April, 14, 2002.

Pendidikan Karakter pada Keluarga Jawa


130

Suryabrata, S. 2000. Psikologi Kepribadian. Suseno, Frans Magnis. 1984. Etika Jawa: Se-
Jakarta: Rajawali Press. buah Analisa Falsafi tentang Kebijaksa-
naan Hidup Jawa: Jakarta: PT. Grame-
Susanto, E. AFT., Soekardji., dan Setiawan, dia.
H.I. 1992. Pengkajian Nilai-Nilai Luhur
Budaya Spiritual Bangsa Daerah Jawa Wimbarti, S. 2002. “Pola Asuh yang Men-
Timur. Pertiwintoro (Editor) Jakarta: cerdasakan Anak: Dari Sisi EQ”.
Departemen Pendidikan dan Ke- Makalah dalam Seminar Pola Asuh
budayaan. Yang Mencerdaskan Anak dalam
rangka Sewindu PSW LP UII, 20
April 2002.

Jurnal Pendidikan Karakter, Tahun II, Nomor 2, Juni 2012

Anda mungkin juga menyukai