Anda di halaman 1dari 4

Kemanusiaan Itu Masih Ada: Sebuah Refleksi dari Perjalanan

Singkat ke Kopalnia Soli, Polandia

Oleh: Teguh Ilham


Ketua PPI Polandia Pertama, 2015-2016

Polandia tak habis-habis nya memberikan cerita yang sangat membekas


di hati. Dua tahun dua bulan tinggal di negara eksotis ini membutuhkan
kiranya bertahun-tahun lebih lama untuk menceritakan semua kisah
indah, dan hanya beberapa menit dibutuhkan untuk mengisahkan cerita
sedih yang hanya sekelumit dan sepintas lalu, sebagai penyela cerita-
cerita indah tersebut. Polandia, adalah negara dengan kondisi yang
berlainan dengan Indonesia, adat budaya, kebiasaan, dan bahasa,
bagaikan siang dan malam. Berkebalikan seperti bendera nya jika
bersanding dua dengan bendera kita.

Tak akan habis diceritakan jika kita duduk berhadapan dengan secangkir
kopi. Niscaya butuh untuk dilanjutkan pada pertemuan-pertemuan
berikutnya. Sungguh pun demikian, saya akan menceritakan satu cerita
terbaik dari sekian banyak kisah yang tak kalah menariknya, yang
masing-masing mempunyai refleksi tersendiri. Kisah yang akan saya
ceritakan saat ini adalah tentang bagaimana sekat-sekat pembeda tidak
menjadikan manusia berjarak, malah sebaliknya membuat kita saling
mengenal akan indahnya keberagaman yang telah diatur dengan
sempurna oleh Sang Pemilik Perbedaan. Kisah ini tidak akan banyak
menceritakan tentang tempat yang dikunjungi, melainkan mengisahkan
kemuliaan hati yang dibekalkan kepada hati seorang ibu, selama
perjalanan ke suatu tempat indah di Polandia.

Saat itu, jarum jam baru tergelincir dari angka 12 siang, dengan suhu
yang cukup panas di pinggir kota Wieliczka, sebuah kota kecil di bagian
selatan Polandia. Saya kala itu duduk di halte kecil menunggu bis jurusan
Kraków dengan salah seorang teman lokal yang selama dua hari
rumahnya saya kunjungi — sebagai sebuah short escape dari kesibukan
menulis Tesis di Warsawa (hanya berpindah tempat untuk menggarap
tesis).

Tujuan saya sebenarnya bukan langsung ke kota Kraków, melainkan ke


area Kopalnia Soli (tambang garam) di kota Wieliczka yang terbesar dan
sangat terkenal di Polandia, bahkan di Eropa. Betapa tidak, dalam nya
saja mencapai 327 meter dengan panjang terowongan 287 kilometer.
Tambang emas ini mulai beroperasi semenjak abad ke tiga belas hingga
akhirnya berhenti berproduksi pada tahun 1996 karena rendahnya harga
garam. Tambang emas ini termasuk salah satu yang tertua di dunia.

Sembari menunggu bis, teman saya menyapa salah seorang ibu paruh
baya dan mereka berbincang selama beberapa menit. Karena kendala
bahasa, saya hanya bisa sesekali tersenyum kepada ibu itu yang juga
sesekali melirik ke arah saya, mungkin merasa aneh dengan orang asing
yang berada di kota kecil tersebut. Senyuman dan lirikan merupakan
bahasa yang universal memang.

Orang-orang tua Polandia, terutama yang tinggal tidak di kota-kota besar,


memang jarang sekali yang bisa berbahasa Inggris, kecuali anak-anak
muda nya, yang paling tidak bisa diajak berbicara bahasa Inggris untuk
percakapan sehari-hari. Ini merupakan tantangan tersendiri bagi kita
yang melancong ke sana. Maka senjata terakhir untuk bisa survive yaitu
siap sedia paket internet untuk sewaktu-waktu bisa menggunakan google
translate.

Ternyata dalam percakapan mereka itu, teman saya ‘menitipkan’ saya


kepada ibu itu, untuk mengingatkan di halte mana nanti saya harus
turun bis, dan setelah turun, belokan mana saja yang harus tempuh
untuk menuju area tambang dari halte tersebut. Kata teman saya, beliau
akan pergi ke Kota Krakow yang searah dengan tujuan saya. Bertanya
arah jalan kepada orang memang pilihan saya ketimbang membuka
aplikasi pada gadget. Bis pun akhirnya datang, dan kami naik. Si ibu
kemudian mengajak saya duduk di samping nya. Bus berangkat, saya
pun melambaikan tangan kepada teman saya dari balik jendela, seiring
mulai menjauhnya bis dari halte.

Di dalam bis yang penuh dengan penumpang tersebut dengan duduk di


samping ibu yang kelihatan sangat ramah tersebut, saya pun berusaha
membuka obrolan dengan memperkenalkan diri dalam bahasa Polish ala
kadarnya —disebut ala kadar karena gerakan tangan saya jauh lebih
membantu dari pada kata-kata saya. Begitupun beliau, dengan bahasa
Inggris seadanya, tapi dengan usaha yang tidak bisa diutarakan dengan
kata-kata.

Tak terasa sudah hampir 20 menit bis melaju, hingga ibu itu memberi
saya aba-aba untuk bersiap turun di halte selanjutnya. Bis pun berhenti
di halte dimaksud, dan saya pun mulai turun setelah sebelum nya
pamitan sama ibu yang baik hati itu dan mengucapkan ribuan terima
kasih. Saya pun siap-siap berpisah dengan sang ibu dan mulai
melanjutkan perjalanan dengan jalan kaki berdasarkan arahan beliau
sejak di dalam bis.

Saya mulai agak heran, kenapa ibu itu mengikuti saya turun, “bukankah
seharusnya dia terus lanjut ke kota Kraków yang masih jauh?,” gumam
saya. Saya pun bertanya, “kenapa ibu ikut turun?, bukan kah Kraków
masih jauh?.” Entah mengerti atau tidak, beliau menjawab saya dengan
bahasa Polandia, ditutup dengan tersenyum. Entah apa yang
disampaikan oleh beliau. Apakah ibu itu ingin memastikan saya sampai
di lokasi tambang tanpa harus tersesat? Ibu yang sangat baik, batin saya
sambil tersenyum. Layaknya seorang ibu yang memastikan anak nya
baik-baik saja. Tapi, bukankah kita baru saja kenalan beberapa waktu
yang lalu?
Ternyata jalan ke tambang garam tersebut memang berliku, dan rute yang
turun naik, ditambah suhu musim panas yg kurang ramah, terutama
terhadap kulit orang Asia.

Sambil berjalan, saya mencoba mengajak ibu itu ngobrol, mencoba


mengeluarkan semua stok kosakata bahasa Polandia yang saya punya.
Kami pun tertawa sepanjang jalan. Entahlah, mungkin beliau tertawa
karena mendengar saya berbicara dalam bahasa nya dengan tidak lurus,
sama seperti saya menertawakan bahasa saya dan tertawa melihat beliau
tertawa. Kami tertawa sepanjang jalan, sambil menikmati lingkungan
sekitar yang permai. Sekitar 30 menit lebih berjalan, akhirnya kami
sampai di tempat tujuan, Kopalnia Soli yang begitu menarik dari luar
dengan pengunjung berbaris rapi yang menunggu antrian masuk. Setelah
menunjukkan saya dimana tempat beli tiket, ibu itupun pamit kepada
saya.

Saya agak sedih sebenarnya berpisah dengan ibu yang baru saya kenal
itu. Tak terbayarkan kiranya dengan berkali-kali ucapan terima kasih
yang saya ucapkan. Ibu yang baik hati, orang yang baru saya kenal sesaat
sebelum naik bis. Ibu yang membantu orang asing berlainan bahasa dan
dengan nya, orang yang boleh jadi tidak akan pernah berjumpa lagi
dengan nya. Sungguh ibu yang ikhlas, tahu tidak akan mendapatkan apa-
apa dari orang yang ditolongnya melainkan kepuasan jiwa karena telah
berbuat baik hari itu. Seorang ibu yang boleh jadi tidak berpendidikan
tinggi, tapi tahu bagimana cara memanuasiakan sesama.

Saya melambaikan tangan, beliau pun membalasnya dengan


melambaikan tangan sambil tersenyum dan terus berlalu. Sayang sekali,
sepertinya pertemuan itu sepertinya adalah pertemuan pertama dan
terakhir kami, saya lupa memintak kontak nya, bahkan untuk sekedar
foto selfie sebagai pengingat.

Kisah tersebut sungguh menjadi pengalaman berharga bagi saya. Sejenak


saya berfikir bahwa kemanusiaan itu ternyata masih ada dan banyak
bertebaran dimana-mana. Bahwa perbedaan tidak menjadi penghalang
bagi seorang manusia untuk berbuat baik kepada manusia lain nya.
Perbedaan tampilan fisik, bahasa, agama, dan adat istiadat adalah jalan
bagi kita untuk saling mengenal. Saya kemudian terungat dengan kata-
kata Jane Elliot:

“ tidak ada empat atau lima ras manusia yang berbeda, melainkan hanya
ada satu ras di dunia ini, yaitu human race.”

Kemanusiaan adalah titik singgung yang mendekatkan kita sebagai umat


manusia. Perjalanan, kemanapun itu, akan memperkaya pengalaman dan
mengasah sensitivitas kita terhadap persamaan kita sebagai umat
manusia dan lingkungan dimana kita berada, asalkan kita mampu untuk
menempatkan diri, seperti pepatah Minang klasik, dimana bumi dipijak,
di situ langit dijunjung.
Andai saja saya punya kontak ibu itu, saya akan siap menjadi tamu yang
baik jika beliau suatu waktu berkunjung ke Indonesia, suatu negara di
tenggara Asia yang juga punya banyak orang-orang yang berhati mulia
dan peduli terhadap sesama.
Lalu, bagaimana dengan cerita di Kopalnia Soli ataupun tempat-tempat
lain di Polandia? Saya sengaja untuk tidak khusus mengisahkan nya di
sini, karena suatu saat nanti saya yakin semua pembaca tulisan ini akan
menginjak kan kaki nya sendiri di negara Robert Lewandowski ini untuk
mengalami dan mempunyai cerita sendiri yang akan menjadi kenangan
nan tak terlupakan.

Anda mungkin juga menyukai