Tak akan habis diceritakan jika kita duduk berhadapan dengan secangkir
kopi. Niscaya butuh untuk dilanjutkan pada pertemuan-pertemuan
berikutnya. Sungguh pun demikian, saya akan menceritakan satu cerita
terbaik dari sekian banyak kisah yang tak kalah menariknya, yang
masing-masing mempunyai refleksi tersendiri. Kisah yang akan saya
ceritakan saat ini adalah tentang bagaimana sekat-sekat pembeda tidak
menjadikan manusia berjarak, malah sebaliknya membuat kita saling
mengenal akan indahnya keberagaman yang telah diatur dengan
sempurna oleh Sang Pemilik Perbedaan. Kisah ini tidak akan banyak
menceritakan tentang tempat yang dikunjungi, melainkan mengisahkan
kemuliaan hati yang dibekalkan kepada hati seorang ibu, selama
perjalanan ke suatu tempat indah di Polandia.
Saat itu, jarum jam baru tergelincir dari angka 12 siang, dengan suhu
yang cukup panas di pinggir kota Wieliczka, sebuah kota kecil di bagian
selatan Polandia. Saya kala itu duduk di halte kecil menunggu bis jurusan
Kraków dengan salah seorang teman lokal yang selama dua hari
rumahnya saya kunjungi — sebagai sebuah short escape dari kesibukan
menulis Tesis di Warsawa (hanya berpindah tempat untuk menggarap
tesis).
Sembari menunggu bis, teman saya menyapa salah seorang ibu paruh
baya dan mereka berbincang selama beberapa menit. Karena kendala
bahasa, saya hanya bisa sesekali tersenyum kepada ibu itu yang juga
sesekali melirik ke arah saya, mungkin merasa aneh dengan orang asing
yang berada di kota kecil tersebut. Senyuman dan lirikan merupakan
bahasa yang universal memang.
Tak terasa sudah hampir 20 menit bis melaju, hingga ibu itu memberi
saya aba-aba untuk bersiap turun di halte selanjutnya. Bis pun berhenti
di halte dimaksud, dan saya pun mulai turun setelah sebelum nya
pamitan sama ibu yang baik hati itu dan mengucapkan ribuan terima
kasih. Saya pun siap-siap berpisah dengan sang ibu dan mulai
melanjutkan perjalanan dengan jalan kaki berdasarkan arahan beliau
sejak di dalam bis.
Saya mulai agak heran, kenapa ibu itu mengikuti saya turun, “bukankah
seharusnya dia terus lanjut ke kota Kraków yang masih jauh?,” gumam
saya. Saya pun bertanya, “kenapa ibu ikut turun?, bukan kah Kraków
masih jauh?.” Entah mengerti atau tidak, beliau menjawab saya dengan
bahasa Polandia, ditutup dengan tersenyum. Entah apa yang
disampaikan oleh beliau. Apakah ibu itu ingin memastikan saya sampai
di lokasi tambang tanpa harus tersesat? Ibu yang sangat baik, batin saya
sambil tersenyum. Layaknya seorang ibu yang memastikan anak nya
baik-baik saja. Tapi, bukankah kita baru saja kenalan beberapa waktu
yang lalu?
Ternyata jalan ke tambang garam tersebut memang berliku, dan rute yang
turun naik, ditambah suhu musim panas yg kurang ramah, terutama
terhadap kulit orang Asia.
Saya agak sedih sebenarnya berpisah dengan ibu yang baru saya kenal
itu. Tak terbayarkan kiranya dengan berkali-kali ucapan terima kasih
yang saya ucapkan. Ibu yang baik hati, orang yang baru saya kenal sesaat
sebelum naik bis. Ibu yang membantu orang asing berlainan bahasa dan
dengan nya, orang yang boleh jadi tidak akan pernah berjumpa lagi
dengan nya. Sungguh ibu yang ikhlas, tahu tidak akan mendapatkan apa-
apa dari orang yang ditolongnya melainkan kepuasan jiwa karena telah
berbuat baik hari itu. Seorang ibu yang boleh jadi tidak berpendidikan
tinggi, tapi tahu bagimana cara memanuasiakan sesama.
“ tidak ada empat atau lima ras manusia yang berbeda, melainkan hanya
ada satu ras di dunia ini, yaitu human race.”