Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat dan
limpahan rahmat-Nya kami dapat menyelesaikan makalah ini. Penyusunan makalah ini
merupakan proses yang panjang dan melibatkan berbagai pihak yang telah memberikan
kesempatan dan pengarahan dalam penulisan ini.
Makalah ini dibuat untuk membantu memahami Materi Kuliah Kimia Lingkungan
khususnya tentang Modifikasi Kimia Lingkungan. Makalah yang berjudul “Modifikasi Kimia
Lingkungan” ini membahas tentang daur materi, air, karbon, oksigen, nitrogen, belerang,
fosfor, dan kalsium serta modifikasi kimia dalam lingkungan.
Ungkapan terimakasih kami ucapkan kepada pihak-pihak yang telah membantu secara
langsung ataupun tidak langsung. Melalui kata pengantar ini kami meminta maaf jika
terdapat tulisan yang kurang tepat atau menyinggung perasaan.
Saran dan kritik yang konstruktif dari pembaca sangat diharapkan untuk peningkatan
pembuatan makalah yang lebih baik pada tugas yang lainnya di waktu mendatang. Semoga
makalah ini bermanfaat bagi penulis dan pembaca serta dapat menambah wawasan ilmu
pengetahuan khususnya tentang Modifikasi Kimia dalam Lingkungan yang dibahas dalam
Mata Kuliah Kimia Lingkungan.
Penulis
1
DAFTAR ISI
2
BAB I
PENDAHULUAN
3
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan pada latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan berbagai
permasalahan sebagai berikut.
1. Apa yang dimaksud modifikasi kimia lingkungan ?
2. Bagaimana proses terjadinya modifikasi kimia lingkungan secara alami ?
3. Bagaimana contoh penerapan modifikasi kimia lingkungan secara modern?
1.3 Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui definisi modifikasi kimia lingkungan
2. Untuk mengetahui proses terjadinya modifikasi kimia lingkungan secara alami
3. Untuk mengetahui contoh penerapan modifikasi kimia lingkungan secara
modern
1.4 Manfaat Penulisan
1. Dapat mengetahui definisi modifikasi kimia lingkungan
2. Dapat mengetahui proses terjadinya modifikasi kimia lingkungan secara alami
3. Dapat mengetahui contoh penerapan modifikasi kimia lingkungan secara
modern
4
BAB II
PEMBAHASAN
Modifikasi adalah cara merubah bentuk sebuah barang dari yang kurang
menarik menjadi lebih menarik tanpa menghilangkan fungsi aslinya, serta
menampilkan bentuk yang lebih bagus dari aslinya. Jadi, definisi modifikasi kimia
lingkungan adalah perubahan ilmu dari sumber, reaksi, transport, dampak, dan
materi yang berkaitan dengan kimia menuju ke arah yang lebih baik. Modifikasi
kimia lingkungan ini dapat terjadi secara alami dan buatan (interaksi manusia
dengan lingkungan). Adapun secara alami dikenal dengan istilah daur materi atau
siklus materi yang meliputi daur air, daur karbon, daur oksigen, daur nitrogen, daur
belerang, daur fosfor, dan daur kalsium.
5
2.2 Modifikasi Kimia Lingkungan Secara Alami
1. Daur Materi
Daur materi merupakan siklus perubahan dan perpindahan materi yang terjadi
dalam suatu rantai makanan. Sumber materi utama adalah planet bumi. Materi
(H2O / air dan CO2 / karbondioksida) yang diserap oleh tumbuhan akan diubah
menjadi karbohidrat melalui proses fotosintesis yang terjadi di daun dengan
bantuan klorofil dan energi dari matahari. Secara sederhana reaksinya adalah
sebagai berikut:
6 H2O + 6 CO2 -------> C6H12O6 + 6 O2
Secara berturut- turut materi tersebut akan berpindah dari makhluk hidup yang
satu ke makhluk yang lain dan suatu saat akan kembali ke bumi. Setelah
mengalami berbagai proses akan kembali menjadi air (H2O) dan CO2 yang dapat
dimanfaatkan kembali oleh tumbuhan hijau, selanjutnya akan memasuki tubuh
organisme lain. Jadi materi memiliki siklus, misalnya siklus Karbon atau daur
karbon. Ekosistem berfungsi karena adanya aliran energi dan daur materi. Saling
pengaruh mempengaruhi antara aliran energi dan daur materi di dalam ekosistem
akan menghasilkan keadaan homeostatis yang mantap.
2. Daur Fosfor
Daur fosfor adalah salah satu daur biogeokimia yang berlangsung paling lama
dibandingkan daur air, daur nitrogen, dan daur lainnya. Di alam ini, fosfor
bersenyawa dengan beberapa unsur lain, misalnya dengan oksigen untuk
membentuk ion-ion fosfat (PO4). Adapun tumbuhan menyerap fosfor hanya dalam
bentuk senyawa fosfat ini. Daur fosfor berlangsung melalui beberapa tahapan
panjang meliputi pelapukan batuan fosfor, penggunaan fosfor oleh tanaman dan
hewan, penguraian fosfor organik, dan sedimentasi fosfor. Berikut adalah
penjelasan dari masing-masing tahapan tersebut.
1) Pelapukan Batuan Fosfor
Sebagian besar ketersediaan fosfor di alam bersumber dari hasil
pelapukan batuan fosfat. Batuan fosfat melapuk karena pengaruh perubahan
cuaca, suhu, dan air hujan. Air hujan membawa ion-ion fosfor yang berasal
dari batuan ke tanah sehingga bisa dimanfaatkan oleh tanaman.
2) Daur Fosfor pada Tanaman dan Hewan
6
Ion-ion fosfat anorganik dari hasil pelapukan batuan yang dibawa
oleh air hujan akan terserap ke tanah. Ion-ion fosfor ini kemudian diserap
tumbuhan melalui perakaran dan digunakan untuk pertumbuhannya.
Beberapa hewan dan manusia yang memakan tumbuhan juga secara tidak
langsung telah memasukan fosfor ke dalam tubuhnya. Begitupun dengan
tahapan rantai makanan selanjutnya.
7
Sedimentasi ini dimanfaatkan oleh ganggang dan beberapa tumbuhan air
untuk pertumbuhannya. Ikan-ikan dan organisme tingkat tinggi yang
memakan hasil dari tumbuhan air dan ganggang juga telah mengambil
bagian dalam daur fosfor ini. Mereka memanfaatkan fosfor untuk
pertumbuhannya, tersimpan di dalam jaringan tubuhnya, dan akan terurai
saat mereka mati.
5) Pengangkutan Fosfor dari Laut ke Darat
Di tempat-tempat tertentu, burung guano yang memakan ikan-ikan
laut telah berhasil mengangkut fosfor dari lautan ke darat. Mereka
memangsa ikan di ekosistem laut yang mengandung banyak fosfor dan
mengubahnya menjadi feses yang sangat kaya akan fosfor. Feses guano ini
biasa ditemukan di goa-goa di daratan dan sangat baik digunakan sebagai
pupuk tanaman.
3. Daur Kalsium
Ca secara langsung dapat mempengaruhi kehidupan tanaman. Tanaman
menghisap Ca sebanyak 20 — 300 kg/Ha/tahun dengan bentuk CaO. Ca
membantu tumbuhnya dinding sel,perkecambahan, perakaran dan memberi
kekuatan pada Leguminose yang tidak berkayu. Cadapat menetralisasi asam-asam
organik dan mengatur penggunaan yang tepat dari K, Mg, S dan Cu.Partisipasi
mikroorganisme dalam siklus kalsium geokimia adalah faktor yang palingpenting
menjaga kondisi netral di Bumi.
Siklus ini memiliki pengaruh pada nasib anorganik karbon dan dengan
demokoan pada penghapusan CO2 dari atmosfer primitif. Sebagian besar deposit
kalsium dibentuk di Prakambium. Ketika biosfer prokaiotik didominasi. Setelah
itu, kalsium daur ulang berdasarkan endapan biogenik oleh kerangka organisme
menjadi prosesutama. Antara prokariota hanya beberapa perwakilan, misalnya
cyanobacteria memperlihatkan fungsi kalsium khusus. Siklus geokimia kalsium
yang dimungkinkan oleh fitur universal bakteri yang terlihat dalam reaksi yang
dimediasi biologis dan ditentukan oleh kegiatan masyarakat mikroba. Dalam
sistem prokariotik kalsium siklus dimulai dengan pencemaran batuan, terutama
melalui tindakan dari komunitas organotropik organisme.
Pelepasan karbon dioksida ke udara dengan tanah aerob organotropik
mengarah padapencucian dengan asam karbonat dan soda salinasi. Dibawah
kondisi anoxic, kepentingan utama adalah produksi asam organik oleh primer
8
anerob (fermentasi mikroorganisme). Kalsium karbonat ini dipicu anaerob
skunder (sulfat Reducers) dan untuk tingkat yang lebih kecil oleh metanogen.
4. Daur Karbon
Siklus karbon adalah siklus biogeokimia di manakarbon dipertukarkan antara
biosfer, geosfer, hidrosfer, dan atmosfer Bumi (objek astronomis lainnya bisa jadi
memiliki siklus karbon yang hampir sama meskipun hingga kini belum diketahui).
9
pengurai menguraikan karbon organik jasad mati menjadi karbon
anorganik. Karbon anorganik dikembalikan lagi ke alam.
5) Karbon anorganik yang terurai dari jasad mati tertimbun terus-menerus di
lapisan bumi membentuk bahan bakar fosil. Bahan bakar fosil digunakan
sebagai sumber energi. Aktivitas industri dan kendaraan bermotor yang
menggunakan bahan bakar fosil menghasilkan CO2 ke udara.
6) Daur karbon juga terjadi di dalam ekosistem air. Karbon di dalam air
diikat oleh tumbuhan dan ganggang. Berbeda dengan di darat, karbon
dalam air tersedia dalam bentuk ion-ion bikarbonat (HCO3-). Ion-ion
bikarbonat berasal dari penguraian asam karbonat (H2CO3) yaitu hasil
ikatan CO2 dan air (H2O). Tiap-tiap hewan air yang bernafas menghasilkan
bikarbonat. Ion-ion bikarbonat ini menjadi bahan baku fotosintesis
tumbuhan air dan alga.
7) Saat fotosintesis dan respirasi membentuk dasar untuk siklus karbon,
mereka tidak mendapatkan gambaran lengkap segala sesuatu yang terjadi
selama proses tersebut. Dalam rangka untuk memahami siklus karbon,
penting untuk memahami apa yang terjadi ketika karbon dioksida
dilepaskan dan bagaimana bahan bakar fosil terbentuk
8) Ketika tanaman hijau mati, karbohidrat biasanya diuraikan oleh jamur atau
bakteri, sebagai pengurai. Jamur dan bakteri menjalani respirasi, yang
memungkinkan mereka untuk melepaskan karbon kembali ke atmosfer
sebagai karbon dioksida.
9) Bahan bakar fosil terbentuk pada tanaman hijau atau protista mirip-
tumbuhan (organisme bersel tunggal) yang menjalani fotosintesis dan
kemudian mati. Mereka tenggelam ke dasar laut. Beberapa protista
dimakan oleh dekomposer. Seiring waktu, mereka yang tidak dimakan
menjadi apa yang kita kenal sebagai bahan bakar fosil. Ketika lapisan kaya
bahan karbohidrat menumpuk di dasar laut, mereka tertutup oleh sedimen
yang jatuh ke bawah. Seiring waktu, tekanan lapisan membantu mengubah
karbohidrat menjadi minyak dan gas alam.
10) Batu bara juga merupakan bahan bakar fosil yang terjadi sebagai akibat
dari langkah-langkah siklus karbon, terbentuk saat tanaman mati dalam
rawa bukan di laut. Lingkungan air rawa sangat asam, hangat, dan miskin
oksigen, menciptakan kondisi di mana dekomposer tidak dapat bertahan
10
hidup. Dalam ekosistem ini, lapisan bahan tanaman undecomposed
dibangun, dan tekanan memaksa hidrokarbon kehilangan atom hidrogen
mereka. Hasil akhir dari tekanan ini dari waktu ke waktu adalah batubara
antrasit.
5. Daur Belerang
Daur belerang atau daur sulfur adalah salah satu bentukdaur biogeokimia.
Pengertian dan definisi lain dari daur belerang/sulfur yaitu perubahan sulfur dari
hidrogen sulfida menjadi sulfur dioksida lalu menjadi sulfat dan kembali menjadi
hidrogen sulfida lagi. Sulfur di alam ditemukan dalam berbagai bentuk. Belerang
atau sulfur adalah unsur kimia dalam tabel periodik yang memiliki lambang S dan
nomor atom 16. Bentuknya adalah non-metal yang tak berasa, tak berbau.
11
5) Dari mekanisme metabolism ditubuhnya dibentuklah sulfat organik entah
dalam protein atau yang lainnya yang kemudian bisa berpindah ke tingkat
tropi kehidupan lainnya
6) Tumbuhan yang mengandung sulfat organik itu jika dimakan hewan
sehingga sulfur berpindah ke hewan lewat rantai makanan begitu seterusnya
, jika masih berada di Tubuh mahkluk hidup maka sulfat masih dalam
kondisi Sulfate Organik OK
7) Jika manusia , hewan dan tumbuhan mati diuraikan menjadi gas H2S atau
menjadi sulfat an organnik lagi.
8) Sulfur direduksi oleh bakteri menjadi sulfida dan kadang-kadang terdapat
dalam bentuk sulfur dioksida atau hidrogen sulfida.
9) Hidrogen sulfida ini seringkali mematikan mahluk hidup di perairan dan
pada umumnya dihasilkan dari penguraian bahan organik yang mati.
10) Tumbuhan menyerap sulfur dalam bentuk sulfat (SO4).
11) Perpindahan sulfat terjadi melalui proses rantai makanan, lalu semua
mahluk hidup mati dan akan diuraikan komponen organiknya oleh bakteri.
12) Beberapa jenis bakteri terlibat dalam daur sulfur, antara lain
Desulfomaculum dan Desulfibrio yang akan mereduksi sulfat menjadi
sulfida dalam bentuk hidrogen sulfida (H2S).
13) Kemudian H2S digunakan bakteri fotoautotrof anaerob seperti Chromatium
dan melepaskan sulfur dan oksigen.
14) Sulfur di oksidasi menjadi sulfat oleh bakteri kemolitotrof seperti
Thiobacillus.
15) Secara alami, belerang terkandung dalam tanah dalam bentuk mineral
tanah. Ada juga yang gunung berapi dan sisa pembakaran minyak bumi dan
batubara.
16) Sulfur / belerang diudara karena adanya aktifitas gunung berapi juga karena
pembakaran bahan bakar fosil batu bara berupa gas SO2 dari udara Sulfur
oksida berada di awan terjadi hidrolisis air membentuk H2SO4, di awan
terjadi kondensasi kemudian turun hujan dikenal dengan hujan asam
17) Hujan itu akan dibawa ke daratan kembali untuk dirubah menjadi Sulfat
yang penting untuk tumbuhan .
12
18) Sulfur terdapat dalam bentuk sulfat anorganik (SO4), Sulfur dalam bentuk
sulfat an organik inilah nanti akan dipindahkan dari bumi / alam ke tubuh
tumbuhan lewat penyerapan sulphate oleh akar.
19) Sulfur direduksi oleh bakteri menjadi sulfida dan kadang-kadang terdapat
dalam bentuk sulfur dioksida atau hidrogen sulfida
6. Daur Oksigen
Oksigen atau yang dalam rumus kimia diwakili huruf “O” adalah unsur yang
paling penting dalam menunjang kehidupan di bumi. Molekul gas ini terdiri dari 2
unsur oksigen yang saling berikatan membentuk O2. Unsur oksigen dikatakan
penting karena ia memiliki fungsi yaitu digunakan sebagai bahan bakar makanan
(sari makanan) dalam metabolisme tubuh manusia dan hewan untuk menghasilkan
energi.
Sumber oksigen paling besar berasal dari proses fotosintesis yang dilakukan
tumbuhan. Tumbuhan dan manusia atau hewan adalah komponen penyusun
ekosistem yang mempengaruhi terjadinya proses atau daur oksigen di alam
semesta.
13
4) Metabolisme manusia dan hewan menghasilkan CO2 yang kemudian
dilepaskan ke atmosfer.
5) Aktivitas industri juga dapat bekerja saat oksigen tersedia dan membuang
CO2 ke atmosfer sebagai limbah industri.
6) Senyawa hasil respirasi makhluk hidup dan pembakaran industri adalah
CO2 dan H2O. Kedua senyawa ini kemudian digunakan kembali oleh
tumbuhan untuk melakukan proses fotosintesis.
7) Begitu seterusnya sehingga daur oksigen dapat terus berlanjut.
7. Daur Air
Daur air merupakan proses siklus yang terjadi secara terus menerus dan tidak
pernah berhenti mulai dari air yang ada di daratan berubah menjadi awan
kemudian menjadi hujan. Daur air akan terjadi terus menerus selama bumi masih
ada. Manusia sangat memerlukan air yang bersih, sehingga daur air dapat
membuat air kotor dapat dikonsumsi kembali. Daur air bermanfaat untuk
mengatur suhu lingkungan, menciptakan hujan, mengatur perubahan cuaca dan
menciptakan keseimbangan dalam biosfer bumi. Terjadi 7 tahapan proses dalam
daur air yang berjalan secara sistematis dan beraturan yaitu evaporasi, transpirasi,
sublimasi, kondensasi, pengendapan, limpasan (runoff) dan infiltrasi
1) Evaporasi
Awal mula proses daur air dimulai dari proses evaporasi. Evaporasi
yaitu proses penguapan air yang ada di permukaan akibat adanya energi
panas dari sinar matahari yang terpancar ke bumi. Air dalam bentuk cair
14
yang ada di laut, danau, sungai, tanah dan lain-lain akan berubah bentuk
menjadi uap air dan naik ke atas menuju lapisan atmosfer. Semakin besar
energi panas sinar matahari yang terpancar ke bumi, laju evaporasi akan
semakin besar pula.
2) Transpirasi
Selain berasal dari sumber airnya langsung, proses penguapan
dalam daur air di permukaan bumi juga dapat terjadi pada jaringan
tumbuhan, yang disebut dengan istilah transpirasi. Proses transpirasi ialah
akar tanaman akan menyerap air dan mengedarkannya ke daun untuk
proses fotosintesis. Kemudian air hasil proses fotosintesis dikeluarkan oleh
tanaman melalui stomata sebagai uap air.
3) Sublimasi
Yaitu proses dimana es berubah menjadi uap air tanpa mengalami
fase cair. Sublimasi juga memilki peran dalam pembentukan air uap di
udara. Yang menjadi sumber utama air dalam proses sublimasi yaitu
lapisan es dari kutub utara, kutub selatan dan es di pegunungan. Proses
sublimasi lebih lambat dari proses penguapan.
4) Kondensasi
Pada saat air di seluruh permukaan bumi berubah menjadi uap air,
ia kemudian naik ke tas menuju lapisan atas atmosfer. Pada ketinggian
tertentu, uap air berubah menjadi partikel es yang berukuran sangat kecil
akibat dari pengaruh suhu udara yang rendah. Proses inilah yang disebut
kondensasi.
5) Pengendapan (Presipitasi)
Awan yang merupakan uap air yang terkondensasi kemudian turun
ke permukaan bumi sebagai hujan karena pengaruh perubahan suhu atau
angin panas. Apabila suhu sangat rendah yaitu dibawah 0 derajat, tetesan
air jatuh sebagai hujan salju atau hujan es. Melalui proses presipitasi ini,
air kemudian masuk kembali ke lapisan litosfer bumi.
6) Limpasan
Limpasan merupakan proses di mana air mengalir dan berpindah
tempat di atas permukaan bumi. Air bergerak dan berpindah dari tempat
yang lebih tinggi ke tempat yang lebih rendah melalui saluran-saluran
seperti sungai dan got hingga kemudian masuk ke danau, laut dan
15
samudera. Pada proses limpasan ini, air masuk kembali ke lapisan
hidrosfer.
7) Infiltrasi
Setelah turun hujan, tidak semua air mengikuti tahap limpasan di
atas. Beberapa diantaranya meresap ke dalam tanah. Air tersebut
merembes ke bawah dan menjadi air tanah. Air yang masuk ke dalam
tanah ini disebut air infiltrasi.
Melalui 7 tahapan atau proses itulah daur air berlangsung secara terus-
menerus. Tanpa adanya proses daur air, persebaran air menjadi tidak merata dan
keseimbangan ekosistem akan terganggu.
8. Daur Nitrogen
Daur Nitrogen adalah suatu proses konversi senyawa yang mengandung unsur
nitrogen menjadi berbagai macam bentuk kimiawi yang lain. Transformasi ini
dapat terjadi secara biologis maupun non-biologis. Siklus nitrogen secara khusus
sangat dibutuhkan dalam ekologi karena ketersediaan nitrogen dapat
mempengaruhi tingkat proses ekosistem kunci, termasuk produksi primer dan
dekomposisi. Aktivitas manusia seperti pembakaran bahan bakar fosil,
penggunaan pupuk nitrogen buatan, dan pelepasannitrogen dalam air limbah telah
secara dramatis mengubah siklus nitrogen global. Pembukaannya sudah cukup,
sekarang kita menginjak ke detail proses daur / siklus nitrogen.
16
Nitrogen hadir di lingkungan dalam berbagai bentuk kimia termasuk nitrogen
organik, amonium (NH4 +), nitrit (NO2-), nitrat (NO3-), dan gas nitrogen
(N2). Nitrogen organik dapat berupa organisme hidup, atau humus, dan dalam
produk antara dekomposisi bahan organik atau humus dibangun. Proses siklus
nitrogen mengubah nitrogen dari satu bentuk kimia lain. Banyak proses yang
dilakukan oleh mikroba baik untuk menghasilkan energi atau
menumpuk nitrogen dalam bentuk yang dibutuhkan untuk pertumbuhan. Diagram
di atas menunjukkan bagaimana proses-proses cocok bersama untuk
membentuk siklus nitrogen.
Berikut ini mekanisme dari daur nitrogen :
1) Fiksasi Nitrogen
Fiksasi nitrogen adalah proses alam, biologis atau abiotik yang
mengubah nitrogen di udara menjadi ammonia (NH3).
Mikroorganisme yang mem-fiksasi nitrogen disebut diazotrof.
Mikroorganisme ini memiliki enzim nitrogenaze yang dapat
menggabungkan hidrogen dan nitrogen. Reaksi untuk fiksasi nitrogen
biologis ini dapat ditulis sebagai berikut :
N2 + 8 H+ + 8 e− → 2 NH3 + H2
17
jamur, dan organisme heterotrof lain mendapatkan nitrogen sebagai
asam amino, nukleotida dan molekul organik kecil.
3) Amonifikasi
Jika tumbuhan atau hewan mati, nitrogen organik diubah
menjadi amonium (NH4+) oleh bakteri dan jamur.
4) Nitrifikasi
Konversi amonium menjadi nitrat dilakukan terutama oleh
bakteri yang hidup di dalam tanah dan bakteri nitrifikasi lainnya.
Tahap utama nitrifikasi, bakteri nitrifikasi seperti spesies Nitrosomonas
mengoksidasi amonium (NH4 +) dan mengubah amonia menjadi nitrit
(NO2-). Spesies bakteri lain, seperti Nitrobacter, bertanggung jawab
untuk oksidasi nitrit menjadi dari nitrat (NO3-). Proses
konversi nitrit menjadi nitrat sangat penting karena nitrit merupakan
racun bagi kehidupan tanaman.
Proses nitrifikasi dapat ditulis dengan reaksi berikut ini :
a. NH3 + CO2 + 1.5 O2 + Nitrosomonas → NO2- + H2O +
H+
b. NO2- + CO2 + 0.5 O2 + Nitrobacter → NO3-
5) Denitrifikasi
Denitrifikasi adalah proses reduksi nitrat untuk kembali
menjadi gas nitrogen (N2), untuk menyelesaikan siklus nitrogen.
Proses ini dilakukan oleh spesies bakteri
seperti Pseudomonas dan Clostridium dalam kondisi anaerobik.
Mereka menggunakan nitrat sebagai akseptor elektron di tempat
oksigen selama respirasi. Fakultatif anaerob bakteri ini juga dapat
hidup dalam kondisi aerobik.
Denitrifikasi umumnya berlangsung melalui beberapa
kombinasi dari bentuk peralihan sebagai berikut:
NO3− → NO2− → NO + N2O → N2 (g)
2 NO3− + 10 e− + 12 H+ → N2 + 6 H2O
18
Dalam proses biologis, nitrit dan amonium dikonversi langsung
ke elemen (N2) gas nitrogen. Proses ini membentuk sebagian besar
dari konversi nitrogen unsur di lautan. Reduksi dalam kondisi anoxic
juga dapat terjadi melalui proses yang disebut oksidasi amonia
anaerobik
NH4+ + NO2− → N2 + 2 H2O
1. Biodegradasi Sifat Toksik Logam Berat Krom Dalam Limbah Cair Industri
Krom merupakan salah satu bahan pencemar logam berat yang berbahaya
di alam. Ada 2 jenis krom yaitu krom (III) dan krom (VI). Beberapa literatur
menunjukkan bahwa sifat toksik logam berat krom (VI) jauh lebih toksik
dibandingkan krom (III). Dalam SK Menteri Negara LH yang bernomor
Kep.03/MENKLH/11/1991 disebutkan bahwa kadar maksimum krom total yang
diperbolehkan dalam perairan adalah 0,1 ppm sedang kadar krom (VI) 0,05 ppm.
Oleh karena itu dilakukan modifikasi kimia lingkungan melalui bantuan bakteri
secara biologis yaitu bakteri perairan air tawar khususnya Escherichia colli
yang dalam keadaan tertentu dapat melakukan reaksi enzimatik yang dapat
mengkatalisis terjadinya transformasi krom (VI) yang bersifat toksik menjadi
krom (III) yang kurang toksik.
Berdasarkan penelitian Nahadi et.al. (2005), metode penelitian dilakukan
dengan membuat kultur murni dari bakteri Escherichia colli yang ditanam dalam
media agar miring, diperbanyak dengan menanam dalam nutrient broth selama 48
jam. Selanjutnya disentrifugasi untuk mendapatkan ekstrak bakteri. Sebanyak 100
mg ekstrak steril dilarutkan dalam aquabides yang telah disterilkan untuk
memperoleh larutan ekstrak bakteri sebanyak 10 mL. Selanjutnya larutan ekstrak
bakteri diambil sebanyak jumlah yang divariasikan (0,5 ose, 1 ose, 1,5 ose, 2 ose)
dan di tanam dalam media nutrient broth yang mengandung spesies krom (VI)
sesuai dengan kondisi optimum. Perlakuan dibuat secara berulang-ulang dalam
erlenmeyer ukuran 250 mL. Selanjutnya ditutup dengan kapas dan plastik untuk
mencegah kontaminasi dari bakteri atau mikroorganisme yang lain kemudian
diinkubasikan dalam inkubator pada suhu yang sesuai. Selanjutnya sampel diambil
sebanyak masing-masing 10 mL pada setiap fase-fase pertumbuhan bakteri. Dari
setiap fase sampel yang diambil kemudian dikomplekskan dengan difenil
19
karbasid yang selanjutnya dilakukan analisis krom (VI) yang ada dengan
menggunakan alat spektrofotometer UV-Vis. Cara yang sama juga dilakukan di
dalam menentukan konsentrasi dan pH optimum.
20
Kondisi lingkungan yang toksik dapat mendorong bakteri untuk
menyesuaikan kecepatan dan arah rangkaian reaksi metaboliknya. Proses
pengendalian metabolik itu dapat berupa peningkatan atau penurunan jumlah
enzim, perubahan jenis enzim yang bekerja serta pengendalian fungsi enzim
normal yang bekerja. Dalam hal ini, mikroorganisme akan merubah pola
transkripsi gen dengan menurunkan sintesis protein normal dan mensintesis
protein spesifik yang disebut protein stres (heat shock protein). Sintesis
protein ini merupakan mekanisme yang dilakukan oleh mikroorganisme
untuk mempertahankan diri pada lingkungan di luar kondisi persyaratan
tumbuhnya. Sintesis protein stres ini diinduksi karena adanya logam-logam berat,
infeksi virus, alkohol, fenol dan senyawa toksik lain yang menyebabkan
kerusakan sel.
Bakteri dalam melakukan proses detoksifikasi lain dapat dengan
pembentukan ekstrapolimer yang dapat mengikat logam, mengendapkan logam
atau transformasi logam menjadi bentuk yang tidak toksik. Mekanisme
detoksifikasi bakteri terhadap ion-ion logam berat (terutama berkonsentrasi
tinggi) dengan cara pengikatan pada permukaan sel kemudian dilanjutkan
dengan transfer logam ke ruang periplasmik dan diteruskan ke sitoplasma
melalui transfer logam ke ruang periplasmik dan diteruskan ke sitoplasma
melalui transfer aktif nonspesifik. Pengikatan logam oleh bakteri ini melibatkan
ikatan elektrostatik dari ion-ion logam bermuatan positif yang terikat pada sisi
reaktif bermuatan negatif polimer ekstraseluler seperti RCOO- dan PO43- pada
permukaan sel.
Proses reduksi krom (VI) yang lebih toksik menjadi krom (III) yang kurang
toksik oleh bakteri merupakan sebuah proses detoksifikasi sebagai kemampuan
untuk dapat bertahan hidup. Reduksi krom (VI) oleh bakteri dapat terjadi
dalam dua kondisi berbeda yakni kondisi aerobik dan anaerobik. Reduksi krom
(VI) pada kondisi aerobik secara umum melibatkan adanya fraksi protein
terlarut yakni enzim Chromate reductase untuk mempertahankan diri bakteri
tersebut. Aktivitas enzim Chromate reductase selalu memerlukan NADH
(Nicotinamide adenine dinucleotide hydrogen) atau NADPH (Nicotinamide
adenine dinucleotide phosphate hydrogen) yang digunakan sebagai donor
elektron. NADH dan NADPH merupakan dua koenzim penting yang terdapat
dalam sel, karena muatan positif yang terdapat pada atom nitrogen pada cincin
21
piridin menjadikan NADH dan NADPH memberikan elektron dan teroksidasi
menjadi NAD+ dan NADP+. Reaksi oksidasi-reduksi tersebut ditulis sebagai
berikut :
CrO42- + 6,5 H+ + 1,5 NADH Cr3+ + 1,5 NAD+ + 4 H2O
Enzim Chromate Reductase
Fungsi fisiologis elektron yang menuju krom (VI) akan diteruskan oleh
aktivitas enzim Chromate reductase. Jika elektron tidak dapat diteruskan maka
akan dilakukan respirasi bakteri yang memanfaatkan senyawa anorganik seperti
O2, NO2, NO3-, SO42- , Fe (III) dan Mn (IV) sebagai terminal akseptor elektron.
Reduksi krom (VI) oleh bakteri Escherichia Colli mencapai aktivitas maksimum
dengan menambahkan NADH atau NADPH dari luar sel bakteri. Reduksi krom
(VI) pada kondisi ini tidak terhambat oleh aksi anion seperti SO42-, MnO42-, VO42-
dan NO3- serta ion logam krom(III). Aktivitas enzim Chromate reductase sangat
labil terhadap panas yakni dengan pemanasan pada suhu 50oC selama 10 menit
akan menurunkan aktivitas 40-50 % dari aktivitas semula. Sedangkan pH
optimum terjadi pada pH 6,5-7,5. Sedangkan reduksi krom (VI) pada kondisi
anaerobik terjadi karena adanya aktivitas dinding sel atau membran sel.
2. Pemanfaatan Rumput Laut Sargassum Sp. Sebagai Adsorben Limbah Cair
Industri Rumah Tangga Perikanan
Perkembangan industri perikanan saat ini menimbulkan permasalahan
berupa pencemaran limbah cair yang mengandung bahan organik dengan
konsentrasi yang sangat tinggi. Hal tersebut menyebabkan Eutrofikasi, yaitu
kematian organisme yang hidup didalam air tersebut, pendangkalan, penyuburan
ganggang dan menimbulkan bau yang tidak nyaman. Proses adsorbsi merupakan
salah satu metode yang efektif untuk menghilangkan komponen organik dari
limbah buangan. Tujuan penelitian ini adalah menentukan pengaruh penggunaan
Sargassum sebagai adsorben, pengaruh modifikasi kimia pada rumput laut
Sargassum dan bobot adsorben yang digunakan terhadap kemampuan
mengadsorbsi limbah cair perikanan.
Bahan-bahan yang digunakan adalah rumput laut coklat Sargassum sp.,
limbah cair industri rumah tangga perikanan, indikator Ferroin, dan larutan
Ferrous Amonium Sulfat (FAS). Penelitian meliputi beberapa tahapan, yaitu
preparasi adsorben, analisis limbah cair industri rumah tangga perikanan,
penentuan modifikasi adsorben, penentuan lama waktu pengadukan, penentuan
22
selang bobot adsorben optimum serta penentuan bobot adsorben optimum.
Perlakuan modifikasi adsorben yang dilakukan berupa modifikasi asam (HCl
0,1 M), kalsium (CaCl2 0,2 M) dan aldehid (CH2O 36% dan HCl 0,1 M).
Kadar air rata-rata dari Sargassum kering yang digunakan sebagai absorben
adalah 12,37%. Adsorben yang dihasilkan berwarna coklat dengan ukuran ± 80
mesh. Adsorben merupakan suatu bahan(padatan) yang dapat mengadsorbsi
adsorbat. Dari analisis data yang diperoleh, Limbah tersebut elebihi nilai baku
mutu limbah cair yang telah ditetapkan oleh keputusan Menteri Negara
Lingkungan Hidup Nomor KEP 51/MENLH/10/1995.
Hasil analisis limbah cair industri rumah tangga perikanan pada perlakuan
modifikasi adsorben menunujukkan Sebagian dari komponen tersebut akan larut
dalam air selama proses adsorbsi, hal tersebut terlihat dari perubahan warna yang
terjadi pada air setelah adsorbsi. Modifikasi permukaan merupakan salah satu
alternatif untuk mengatasi hal tersebut. Dalam penentuan lama waktu pengadukan
dapat disimpulkan semakin lama waktu pengadukan yang dilakukan maka
semakin banyak ion H+ yang dilepaskan sehingga pH limbah mengalami
penurunan. Semakin besar bobot adsorben yang ditambahkan, maka semakin
rendah nilai pH limbah cair industri rumah tangga perikanan tersebut, hal ini
disebabkan adanya pengaruh modifikasi asam yang digunakan pada adsorben
Dalam penentuan bobot adsorben optimum, terjadi beberapa reaksi,
diantaranya perubahan warna, nilai pH, nilai kekeruhan, Nilai total padatan
tersuspensi (TSS), dan nilai COD. Penambahan adsorben pada limbah cair
industri rumah tangga perikanan tersebut, menyebabkan terjadinya perubahan
warna yang nyata, limbah yang semula berwarna keruh menjadi berwarna agak
bening. Perubahan warna limbah perikanan dari yang berwarna keruh menjadi
agak bening pada semua perlakuan disebabkan adsorben mengikat partikel-
partikel koloid yang mengakibatkan warna keruh pada limbah cair perikanan.
Semakin besar bobot adsorben yang ditambahkan maka akan semakin rendah
nilai pH limbah cair industri rumah tangga perikanan, hal ini disebabkan adsorben
yang digunakan telah mengalami modifikasi kimia dengan asam, yaitu asam
klorida (HCl 0,1 M). Semua pelakuan bobot adsorben yang ditambahkan mampu
menurunkan nilai kekeruhan limbah cair industri rumah tangga perikanan.
Peningkatan bobot adsorben pada konsentrasi 1,0 ,1,5 dan 2,0 g dalam 100 mL
limbah cair memberikan pengaruh terhadap nilai TSS limbah cair industri rumah
23
tangga perikanan. Semakin besar bobot adsorben yang ditambahkan, maka
semakin lemah kemampuan adsorben dalam menyerap padatan tersuspensi.
Penambahan bobot 1,0 g dan 1,5 g dalam 100 mL limbah cair memberikan hasil
penurunan nilai COD yang berbeda nyata dibandingkan dengan penambahan 2,0 g
absorben. Chemical oxygen demand (COD) atau kebutuhan oksigen kimiawi
merupakan jumlah oksigen yang dibutuhkan oleh oksidator (misal kalium
dikhromat) untuk mengoksidasi seluruh material organik yang terdapat di dalam
air.
Dapat disimpulkan bahwa Modifikasi optimum yang mampu menurunkan
kadar COD limbah cair industri rumah tangga perikanan adalah modifikasi
dengan menggunakan asam. Secara umum bobot adsorben yang paling efektif
dalam menurunkan beban limbah cair industri rumah tangga perikanan adalah
pada bobot 1,0 g dalam 100 mL limbah cair.
3. Hidrolisis Pati Sukun dengan Katalisator H2SO4 untuk Pembuatan Perekat
Dekstrin merupakan senyawa glukosa yang dihasilkan dari hidrolisisis pati
dan tergantung pada pemecahan rantai polisakarida. Pati sukun tersusun dari
polimer rantai lurus dan tidak lurus. Kedua polimer ini sangat potensial sebagai
bahan perekat (starch gum) pada industry kertas, keramik, kosmetik, cat,
percetakan, dan plywood. Pembuatan perekat dari bahan baku buah sukun sangat
prospektif untuk dikembangkan, selain dari sisi harga yang murah juga sangat
mudah diperoleh di berbagai tempat di Aceh tanpa mengenal musim. Oleh sebab
itu, penelitian ini bertujuan untuk mengoptimalkan pemanfaatan buah sukun yang
tidak hanya dapat digunakan sebagai bahan makanan, tetapi juga bisa digunakan
untuk bahan baku pembuatan perekat dekstrin.
Penelitian ini mengolah buah sukun menjadi tepung yang digunakan sebagai
bahan baku pembuatan perekat. Perekat tersebut dapat dibuat dari hidrolisis buah
sukun dengan menggunakan katalis asam sulfat (H2SO4), kemudian dicampurkan
dengan air dingin, kasein, trietanolamin, dan air. Variabel yang digunakan untuk
pembuatan bahan perekat tersebut adalah konsentrasi HCl, dekstrin, dan
temperatur hidrolisis. Perekat yang diperoleh diukur kekuatan gesernya pada
lapisan kayu. Penelitian ini dilakukan untuk menentukan kekuatan geser yang
paling maksimum dan kondisi campuran perekat yang paling bagus. Penelitian ini
bertujuan untuk membuat bahan perekat dari buah sukun melalui proses hidrolisis
mengunakan katalis asam sulfat.
24
Perekat yang terbuat dari tepung umumnya berasal dari tumbuh-tumbuhan
seperti jagung, kentang, singkong, sagu, gandum, beras, dan kedelai. Di Ambon,
getah sukun (latek) digunakan sebagai bahan pembuat dempul (dicampur tepung
sagu, gula merah dan putih telur bebek) untuk tong kayu atau perahu, supaya
kedap air. Kayu pohon sukun tahan terhadap serangan rayap, dan biasa digunakan
untuk membuat perahu atau konstruksi rumah. Dekstrin putih dihasilkan dengan
pemanasan suhu sedang (79 - 121°C), menggunakan katalis asam seperti HCl atau
asam asetat dengan karakteristik produk berwarna putih hingga krem (Lubis,
2004). Dekstrin kuning dihasilkan dengan pemanasan suhu tinggi (149 - 190°C)
menggunakan katalis asam dengan karakteristik produk berwarna krem hingga
kuning kecoklatan. Pemanasan kering (tanpa air) seperti penyangraian dan
pemanggangan akan menyebabkan dekstrin terpolimerasi membentuk senyawa
coklat yang disebut piro-dekstrin Penelitian ini diharapkan dapat mengoptimalkan
pemanfaatan buah sukun yang selama ini hanya digunakan sebagai makanan
selingan. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi sebuah rujukan untuk
mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi produksi perekat yang lebih
ekonomis dan berkualitas bagus dengan bahan dasar buah sukun.
Alat utama yang digunakan pada tahap ini adalah suatu bejana yang
dimasukkan ke dalam bejana yang berukuran lebih besar. Kekuatan geser
dianalisis dengan menggunakan shear stress testing machine setelah mengoleskan
campuran tersebut pada kayu meranti dengan luas olesan sebesar 2,5 × 2,5 cm2.
buah sukun dikupas kemudian dilakukan perajangan secara tipis agar irisan sukun
mudah mengering. Selanjutnya dilakukan penjemuran di panas matahari selama 4
hari. Penggilingan dan pengayakan dilakukan dengan ayakan 150 mesh. Proses
hidrolisis dilakukan pada 20 gram tepung sukun di dalam cawan porselin dengan
menggunakan katalis asam khlorida dengan variasi konsentrasi, waktu hidrolisis,
dan temperature hidrolisis. Tiap sampel dianalisis untuk mengetahui kandungan
glukosa bebas dan glukosa total untuk menentukan kandungan dekstrin yang
terkandung dalam setiap sampel. Menurut Agra dkk. (1979) metode Lane Eynon
menyatakan:
25
B = Kandungan gukosa total (g)
26
Kaolin merupakan polimer anorganik yang mengandung mineral seperti Ca,
Mg, Fe Si, Al dan beberapa mineral lainnya yang juga dapat berfungsi sebagai
penukar ion anorganik sehingga secara alami dapat melakukan proses pertukaran
ion yang berasal dari luar dengan bantuan air. Muatan positif yang ada akibat
adanya modifikasi dan sifat hidrofobik pada kaolin dapat meningkatkan efisiensi
kaolin dalam mengadsorbsi anion dan kation lain serta sebagai adsorben molekul
non polar. Modifikasi dengan senyawa organik seperti surfaktan dilakukan untuk
meningkatkan daya serap adsorben. Surfaktan dapat membentuk misel, monolayer
atau bilayer pada permukaan kaolin modifikasi tergantung dari konsentrasi
surfaktan yang digunakan. Kaolin sendiri telah banyak digunakan sebagai
adsorben seperti adsorbsi timbal, seng dan kadmium dengan memodifikasi kaolin
dan polipospat, penyerapan pada pengotor gas, pemodifikasian permukaan mineral
dengan surfaktan, zeolit-A. Kaolin juga digunakan sebagai penghilang logam
seperti Pb, Fe, Ca, Cd dan berpotensi dalam mengurangi warna dan bau dalam air
dan penyerapan gas SO2 dari gas Residu.
Aktivasi dilakukan dengan menggunakan kaolin ukuran 100 mesh. Kaolin
didispersikan ke dalam 1,25 L HNO3 0,1N dalam beker gelas selama 4 jam.
Pencucian dilakukan dengan akuades sampai pH netral. Pemanasan dilakukan
menggunakan oven pada suhu 200oC selama 4 jam. Sebelum dilakukan aktivasi
dengan KOH, kaolin didiamkan selama 1 jam. Selanjutnya kaolin kembali
didespersikan ke dalam KOH 0,1 N selama 4 jam dan dilanjutkan dengan
pencucian dengan akuades sampai pH nitrat netralPengeringan kembali dilakukan
pada suhu 250oC selama 4 jam. Kinerja adsorben kaolin diuji dengan
menggunakan FTIR.
Modifikasi dilakukan dengan mencampurkan kaolin dan surfaktan
(organokaolin). Berat total organokaolin adalah 5 g. Modifikasi dilakukan dengan
perbandingan persen berat antara kaolin dan surfaktan yaitu 0%, 30%, 50% dan
75% dari berat total organokaolin. Pencampuran dilakukan dengan shaker
inkubator dengan kecepatan 15 rpm selama 3 jam. Pengendapan dilakukan selama
4 jam sebelum disimpan dalam desikator sebelum digunakan.
Adsorbsi dilakukan menggunakan 2 g organokaolin dan dimasukkan ke dalam
erlenmeyer. Sebanyak 250 mL sampel (limbah artfisial Pb dan limbah kota)
ditutup dengan aluminium foil. Untuk pengadukan pada sampel digunakan shaker
27
incubator dengan kecepatan pengadukan 90 rpm dan dianalisa menggunakan AAS
dan adsorben diperiksa dengan FTIR.
Peningkatan efisiensi penurunan logam Pb2+ meningkat seiring dengan
penambahan waktu kontak untuk ke semua modifikasi dengan perbandingan yang
berbeda. Peningkatan paling signifikan terjadi pada waktu kontak 30 menit antara
adsorben kaolin yang belum dimodifikasi dengan kaolin yang telah dimodifikasi
dengan surfaktan. Pada adsorben yang dimodifikasi dengan surfaktan terlihat
penurunan logam timbal yang sangat signifikan pada adsorben organokaolin
dengan komposisi surfaktan 50% dengan kapasitas penurunan sampai 78,72%
dengan waktu pengontakan selama 90 menit. Hal ini menunjukkan bahwa
terjadinya peningkatan kinerja adsorben akibat adanya kaolin anionik yang
memberikan penambahan jumlah ion negatif (anion) pada adsorben sehingga lebih
banyak menangkap logam Pb2+ alam air.
Kemampuan kaolin yang dimodifikasi dengan surfaktan dalam mengadsorpsi
logam timbal diukur dengan satuan miligram logam timbal per gram kaolin
organokaolin. Kapasitas terbesar terdapat pada adsorben dengan rasio
perbandingan 1:2. Pada menit ke-30 kapasitas adsorpsinya adalah 7,5368 mg/g,
pada menit ke-60 kapasitas adsorpsinya adalah 7,5759 mg/g dan pada menit ke-90
kapasitas adsorpsinya adalah 7,8715 mg/g. Peningkatan yang paling signifikan
terjadi pada waktu kontak 30 menit dimana kaolin tanpa modifikasi, daya
serapnya masih rendah namun seiring dengan penambahan surfaktan daya
serapnya meningkat. Hal ini terjadi karena surfaktan pada permukaan kaolin
bersifat hidrofobik yang mengikutsertakan interaksi molekul dengan permukaan
antar molekul. Interaksi tersebut dapat mempengaruhi material surfaktan yang
terbentuk dan sangat ditentukan oleh kesetimbangan konsentrasi surfaktan.
Perbandingan yang terbaik terjadi pada rasio adsorben 1:2 (kaolin:surfaktan), hal
ini dimungkinkan penggunaan surfaktan dengan jumlah yang sesuai dengan kaolin
yang digunakan dalam mereduksi logam Pb2+ dalam air.
Analisis data NIR dapat dimanfaatkan dengan mempelajari hubungannya
dengan sifat bahan yang diukur dalam hal ini adalah logam dalam air. Absorbance
range yang digunakan adalah 600-2500 nm atau 4000 menjadi 400 cm-1 dengan
beberapa absorbance band yang diabaikan terutama beberapa bagian yang
spektrumnya sangat tidak bagus (noisy). Pada wilayah Near Infrared (400-2500
nm-1), banyak didapat senyawa organik dan tidak terdapat logam.
28
5. Chitosan Sebagai Bahan Koagulan Limbah Cair Industri Tekstil
Chitosan merupakan polimer dengan nama kimia 2-amino-2-deoksi-D-
glukosa, mengandung gugus amino bebas dalam rantai karbonnya dan bermuatan
positif sehingga menyebabkan molekul tersebut bersifat resisten terhadap stress
mekanik. Gugus amino bebas inilah yang banyak memberikan kegunaan bagi
chitosan
Chitosan diperoleh dari chitin melalui proses deasetilasi. Sedangkan chitin
merupakan bahan yang dapat diperoleh dari proses pengolahan limbah industri
perikanan, seperti kulit udang, kulit dan kepala kepiting dll.
1) Limbah Cair Industri (Tekstil).
Limbah cair tekstil umumnya bersifat asam atau alkali dengan bahan organik
tinggi. Hal ini dapat dilihat dari tingginya nilai BOD, COD, lemak dan minyak.
Limbah cair tekstil juga mengandung fenol dan logam berat seperti Cr, Br, Fe,
Mn dan kadang-kadang Cu dan Cd.
2) Koagulasi
Senyawa kimia yang dapat digunakan sebagai bahan kogulan biasanya adalah
senyawa yang mempunyai molekul berukuran besar dan mempunyai gugus
reaktif disepanjang rantainya, misalnya selulosa, protein dan senyawa polimer
lainnya. Faktor faktor yang mempengaruhi koagulasi adalah lamanya
pengadukan, dosis koagulan yang dipakai, temperatur proses, pH dan pengaruh
faktor fisik lainnya. Faktor-faktor tersebut sangat mempengaruhi efektifitas zat
yang dipakai sebagai koagulan
3) Proses Koagulasi Limbah Cair Industri Tekstil Menggunakan Chitosan
Kemampuan chitosan sebgai bahan koagulai limbah cair industri tekstil, diteliti
dengan mengikuti tahap-tahap penelitian sebagai berikut :
a. Chitosan yang dihasilkan dari proses pengolahan chitin, dijadikan bahan
koagulan dengan cara melarutkannya dalam asam asetat (CH3COOH)
2% sampai diperoleh larutan chitosan dengan kadar 1%.
b. Limbah cair dari industri tekstil diambil sebagai sampel, agar tidak
terlalu pekat limbah cair tersebut diencerkan terlebih dahulu sebelum
dilakukan proses koagulasi dengan koagulan chitosan. Sebagai
pembanding digunakan bahan koagulan FeSO4 400 ppm.
c. Optimalisasi proses koagulasi dipelajari dengan melakukan perubahan
variabel proses seperti konsentrasi chitosan dan pH larutan. Variabel
29
konsentrasi chitosan yang dipelajari adalah 30 ppm, 40 ppm, 50 ppm,
60 ppm dan 70 ppm dengan waktu pengadukan konstan (15 menit) dan
pH juga tetap (pH=8).
4) Analisa Kualitas Air Limbah.
a. Analisa BOD, dilakukan dengan menggunakan alat DO meter untuk
menghitung nilai oksigen yang terlarut dalam air limbah tersebut
b. Analisa COD, dilakukan dengan memasukkan 10 ml sampel air limbah
ditambahkan 5 ml larutan K2Cr2O7 dan 15 ml asam sulfat lalu
diencerkan dengan 7,5 ml aquades dan 3 tetes indikator Ferroin.
Pengukuran COD diperoleh dari hasil titrasi larutan tersebut dengan
FAS
c. Analisa padatan tersuspensi, dilakukan dengan jalan menyaring sampel
sebanyak 50 ml dengan kertas saring yang telah ditimbang sebelumnya.
Kertas saring tersebut kemudian dikeringkan pada suhu 103~105 ºC
selama 1 jam, lalu didinginkan dalam desikator selama 1 jam. Setelah
dingin kertas saring tersebut di timbang kembali.
d. Analisa kekeruhan, digunakan alat turbidimeter.
5) Hasil analisa parameter limbah tekstil setelah koagulasi
30
limbah sampai mendekati nilai yang diperoleh oleh koagulan FeSO4. Pada
konsentrasi 50 ppm, penggunaan chitosan.
Meskipun hasil dari koagulasi menggunakan chitosan ternyata masih
sedikit dibawah hasil dari koagulasi menggunakan FeSO4, namun
penggunaan chitosan sebagai bahan koagulan mempunyai beberapa
keunggulan karena mudah diperoleh dari bahan yang berlimpah (limbah kullit
udang), dan merupakan bahan tidak beracun (non-toxic) serta mudah terurai
sehingga tidak menghasilkan bahan pencemar baru setelah proses pengolahan
limbah. Dengan pertimbangan hal-hal tersebut, maka alternatif penggunaan
koagulan chitosan dipandang sebagai alternatif yang cukup menggembirakan
karena sifatnya yang ramah terhadap lingkungan.
6. Modifikasi Karbon Aktif Sebagai Adsorben Untuk Pemurnian Biogas
1) Penggunaan Biogas
Biogas merupakan salah satu sumber energi terbarukan yang mendapat
perhatian serius oleh banyak kalangan. Kenyataannya biogas dapat diproduksi
dengan sederhana dari kotoran hewan ternak, sampah perkotaan, limbah
pertanian dan limbah yang mengandung biomasa. Dengan demikian
penggunaan biogas berarti menjalankan konsep pembangunan berkelanjutan
yang menjadi ciri utama teknologi hijau (green technology).
Keuntungan penggunaan biogas meliputi: (i) mengurangi pemanasan
global dan perubahan iklim, (ii) menurunkan polusi yang disebabkan oleh
bahan bakar fosil, (iii) mengurangi ketergantungan terhadap bahan bakar fosil
dan (iv) biogas dapat diproduksi dengan mudah dan banyak masyarakat
Indonesia secara tradisional telah memproduksinya. Namun, sampai saat ini
penggunaan biogas belum maksimal dan secara umum hanya dapat
dimanfaatkan sebagai bahan bakar kompor. Keberadaan CO2 dan uap air
sebagai komponen impuritas menyebabkan biogas tidak dapat digunakan
secara luas. Oleh karena itu, proses pemurnian biogas dari CO2 dan uap air
merupakan langkah penting untuk memperluas penggunaan biogas.
Keberadaan gugus-gugus yang bersifat asam seperti fenol dan
karboksil membatasi kapasitas penyerapan karbon aktif terhadap CO2. Pada
penelitian ini, dilakukan modikasi karbon aktif secara kimia untuk mengurangi
gugus-gugus yang bersifat asam sehingga dapat meningkatkan kapasitas
penyerapan CO2. Modifikasi dilakukan dengan cara memasukkan gugus
31
fungsional berbasis nitrogen. Keberadaan gugus fungsional berbasis nitrogen
diharapkan dapat meningkatkan kapasitas penyerapan CO2 melalui
terbangunnya ikatan kovalen antara CO2 dan gugus amine hasil modifikasi.
2) Eksperimen
a. Modifikasi karbon aktif
Modifikasi karbon aktif dilakukan dengan menggunakan
ammonia dalam suatu reaktor kuarsa. Sejumlah karbon aktif (yang
sebelumnya dikeringkan di dalam oven pada suhu 100 oC selama 18
jam) dengan berat tertentu dimasukkan dalam suatu reaktor kuarsa.
Reaktor kemudian dipanaskan sampai temperatur 400oC dan gas
ammonia murni (NH3) dialirkan dengan laju alir 40 cm3/menit menuju
reaktor. Proses ini dilakukan selama 2 jam dan kemudian didinginkan
sampai temperatur 100 oC dan diikuti dengan pengaliran gas nitrogen
sampai temperatur mencapai temperature ruangan.
b. Karakterisasi
Karakterisasi karbonaktif dilakukan untuk mengetahui luas
permukaan spesifik, ukuran partikel dan sifat kimia permukaan
karbonaktif. Pengukuran luas permukaan spesifik dilakukan dengan
menggunakan metode BET. Scanning electron microscope (SEM)
digunakan untuk memvisualisasikan partikel karbonaktif sehingga
dapat diketahui ukuranpartikelnya. Permukaan kimia karbonaktif
dikarakterisasi dengan menggunakan Fourier Transform Infrared
Spectroscopy (FTIR).
c. Adsorpsi karbon dioksida
Pada tahap ini kemampauan karbonaktif sebelum dan setelah
modifikasi dalam menyerap karbondioksida diselidiki. Eksperimen
dilakukan dengan menggunakan
unit adsorpsi skala laboratorium .Gas CO2 dengan konsentrasi
40% (dicampur dengan N2) dimasukkan ke dalam kolom adsorber
yang telah berisi karbon aktif dengan kecepatan 50 cm3/menit.
Kapasitas adsorpsi CO2 karbon aktif dihitung dari selisih konsentrasi
32
gas CO2 sebelum dan setelah melewati kolom adsorber. Konsentrasi
gas CO2 diukur dengan menggunakan kromatografi gas.
33
Kapasitas adsorpsi karbon aktif dan karbon aktif yang dimodifikasi
mengalami peningkatan seiring dengan meningkatnya waktu adsorpsi
dan menunjukkan nilai maksimum berturut-turut adalah ~28 dan ~38
mg CO2/g adsorbent.
Karbon aktif setelah modifikasi mempunyai luas permukaan
spesifik yang lebih besar dibandingkan sebelum modifikasi. Hasil
penelitian ini menunjukkan bahwa adsorpsi CO2 menggunakan karbon
aktif terjadi baik secara fisika maupun kimia. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa kenaikan temperatur umpan dari 30 oC ke 60 oC
menurunkan kapasitas adsorpsi sebesar 28%. Hal ini dapat dijelaskan
oleh karakteristik adsorpsi fisik yang bersifat eksotermik baik
kecepatan difusi molekul dan energi adsorpsi permukaan meningkat
dengan naiknya temperatur (Shafeeyan dkk., 2011).
7. Adsorpsi Ion Logam Cu(II) Menggunakan Lignin dari Limbah Serbuk Kayu
Gergaji
1) Pendahuluan
Keberadaan logam-logam berat di lingkungan seperti tembaga,
kadmium dan timbal merupakan masalah lingkungan yang serius. Adanya ion-
ion logam berat dalam limbah industri dalam konsentrasi tertentu dapat
memberikan efek toksik yang berbahaya bagi kehidupan manusia dan
lingkungan di sekitarnya. Metode seperti pengendapan, evaporasi,
elektrokimia, dan dengan cara penyerapan bahan pencemar oleh adsorben baik
berupa resin sintetik. maupun karbon aktif dianggap kurang efektif karena
membutuhkan biaya yang relatif tinggi. Maka dari itu, perlu dicari metode
penyerapan dengan menggunakan bahan yang relatif murah, bisa didapat
dengan mudah dan mempunyai daya serap tinggi. Metode adsorpsi merupakan
salah satu metode yang sangat efisien untuk menurunkan kandungan logam
berat. Proses penyerapan ion logam oleh organisme hidup dipercayai terjadi
melalui proses metabolisme dalam proses penyerapan unsur hara untuk
tanaman. Sementara penyerapan ion logam oleh organisme mati dipercayai
terjadi melalui proses sorpsi yang melibatkan gugus fungsi yang berhubungan
dengan protein, polisakarida, karboksilat, hidroksil, gugus sulfhidril dan
biopolimer lain yang terdapat pada sel atau dinding sel.
34
Oleh karena itu, perlu dipelajari kemampuan lignin hasil modifikasi
dari limbah serbuk kayu gergaji sebagai material penyerap logam tembaga.
Optimasi penyerapan logam tembaga oleh lignin diuji dengan melakukan
variasi waktu kontak dan pH larutan serta konsentrasi larutan. Konsentrasi
tembaga ditentukan dengan menggunakan metode spektrofotometri serapan
atom (SSA) yang didasarkan pada absorpsi cahaya oleh atom logam. Atom
logam tersebut akan menyerap pada panjang gelombang tertentu, tergantung
pada sifat unsurnya dan atom tembaga menyerap pada panjang gelombang
324,7 nm.
2) Metodologi
a. Bahan dan Alat
Bahan-bahan yang digunakan adalah serbuk Cu, asam sulfat, asam nitrat,
asam klorida, etanol, aquades dan limbah serbuk kayu gergaji. Alat-alat
yang digunakan dalam penelitian ini antara lain: spektrofotometer serapan
atom (Simadzu AA 6200), pH meter Oreon, oven listrik Memmert, kertas
saring, dan alat-alat gelas.
b. Langkah Kerja
1.) Penyiapan Adsorben
Sample serbuk kayu direndam dengan etanol teknis selama satu malam,
lalu disaring. Filtrat yang didapat dievaporasi sampai mengental. Hasil
yang diperoleh selanjutnya
dikeringkan di dalam oven padau 50oC selama satu malam dan lignin
yang diperoleh
digunakan sebagai sorben logam tembaga.
2.) Optimasi Penyerapan Logam Tembaga oleh Lignin
a. Waktu Kontak
Ditimbang sebanyak 0,5 gram lignin kemudian dimasukkan ke
dalam labu Erlenmeyer dan ditambahkan larutan tembaga 10 ppm.
Selanjutnya larutan diaduk di atas shaker dengan variasi waktu
kontak 15, 20, 30, 40, dan 50 menit. Larutan disaring dan filtratnya
didestruksi dengan HNO3 pekat, lalu larutan dianalisa dengan SSA
dan perlakuan diulang dua kali.
b. pH
35
Lignin sebanyak 0,5 gram dimasukkan ke dalam labu Erlenmeyer
50 ml. Selanjutnya ditambahkan larutan tembaga 10 ppm dan pH
larutan diatur pada pH 3, 4, 5, 7 dan 9 dengan menambahkan NaOH
atau HCl, lalu larutan diaduk di atas shaker hingga waktu serapan
optimum. Larutan disaring dan filtratnya didestruksi dengan HNO3
pekat, lalu larutan dianalisa dengan SSA. Perlakuan diulangi
sebanyak dua kali.
c. Konsentrasi Tembaga
Lignin sebanyak 0,5 gram dimasukkan ke dalam labu Erlenmeyer
50 ml. Selanjutnya ditambahkan larutan tembaga 10 ppm dengan
variasi konsentrasi 5, 10, 15, 20, 25 ppm dan pH larutan diatur pada
pH yang memberikan serapan optimum, lalu larutan diaduk di atas
shaker hingga waktu serapan optimum. Larutan disaring dan
filtratnya didestruksi dengan HNO3 pekat, lalu larutan dianalisa
dengan SSA. Perlakuan diulangi dua kali.
3) Hasil dan Pembahasan
Rendemen pada Lignin 10,38 gram atau 2,1% dari 500 gram sampel.
Rendemen lignin yang diperoleh pada penelitian ini masih rendah. Kandungan
lignin dalam selulosa kayu dapat mencapai 5-10%. Hal ini diduga bahwa
lignin tidak terekstrak semua ke dalam pelarut. Lignin yang didapat digunakan
sebagai adsorben penyerap ion logam Cu dalam larutan. Kondisi optimum
penyerapan diuji dengan mengukur absorbansi larutan standar Cu hasil variasi
waktu kontak, nilai pH dan konsentrasi larutan standar Cu.
a. Pengaruh variasi waktu kontak (10, 15, 20, 30, 40 dan 50 menit) terhadap
efisiensi penyerapan íon logam Cu oleh lignin. Pengamatan jumlah íon
logam yang teradsorpsi terhadap perubahan waktu interaksi dilakukan
untuk mengetahui laju adsorpsi logam Cu pada lignin. Waktu kontak
antara ion logam dengan adsorben sangat mempengaruhi daya serap.
Semakin lama waktu kontak maka penyerapan juga akan meningkat
sampai pada waktu tertentu akan mencapai maksimum dan setelah itu akan
turun kembali. Waktu kontak optimum diperoleh pada 30 menit
penyerapan dengan efisiensi 98,52 %. Efisiensi penyerapan menurun
setelah 30 menit diduga karena terjadi proses desorpsi. Hal ini merupakan
36
salah satu fenomena dalam adsorpsi fisika yang menyatakan bahwa proses
adsorpsi bersifat reversible. (Gambar.1.)
b. Efisiensi proses adsorpsi ion Cu(II) oleh lignin juga diamati pada variasi
pH 3, 4, 5, 6 dan 7 menggunakan kondisi waktu kontak optimum yang
diperoleh. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa terjadi peningkatan
efisiensi penyerapan dengan meningkatnya nilai pH dan mencapai
maksimum pada pH 6 dengan efisiensi penyerapan sebesar 98,7%. Pada
pH yang lebih tinggi terjadi penurunan efisiensi penyerapan, hal ini diduga
disebabkan oleh terbentuknya endapan Cu(OH)2. Kondisi pH maksimum
yang diperoleh berbeda dari nilai pH maksimum yang didapat untuk
adsorpsi ion Cu menggunakan lignin dari limbah pulp yaitu pada pH 5.
(Gambar.2.)
c. Dari hasil optimasi parameter waktu kontak dan pH, dilakukan variasi
konsentrasi íon logam Cu(II) untuk memperoleh kurva linearitas
Langmuir. Dari kurva linearitas (Gambar.3.) diperoleh persamaan
isotermal Langmuir dan selanjutnya digunakan untuk menentukan
kapasitas penyerapan maksimum (Qm) dan tetapan kesetimbangan.
Isoterm adsorpsi menunjukkan bahwa kenaikan konsentrasi awal diikuti
dengan meningkatnya jumlah zat yang teradsorpsi sehingga mencapai
kesetimbangan. Adsorpsi Langmuir berasumsi bahwa pada permukaan
adsorben terdapat sisi aktif yang sebanding dengan luas adsorben. Pada
keadaan sisi aktif belum jenuh dengan adsorbat maka peningkatan
konsentrasi adsorbat yang dipaparkan akan meningkat secara linear dengan
jumlah adsorbat yang teradsorpsi. Berdasarkan kurva isotermal Langmuir,
diperoleh kapasitas penyerapan Qm ion Cu (II) sebesar 15,43 mg/gram dan
konstanta kesetimbangan (Kd) 754,96. Nilai Qm menunjukkan bahwa
setiap satu gram lignin dapat mengadsorpsi ion Cu(II) sebesar 15,43 mg.
Nilai Qm yang diperoleh pada penelitian lebih besar dari yang diperoleh
menggunakan lignin dari limbah pabrik gula dengan Qmaks 0,606 mg/g.
Namun demikian kapasitas penyerapan oleh lignin dari limbah serbuk
kayu gergaji yang didapat ini masih sedikit lebih rendah dari Qm yang
diperoleh sebesar 20 mg/g dengan menggunakan lignin hasil modifiksi
dari limbah pulp.
37
8. Adsorben Dari Koran Bekas Dengan Modifikasi Asam Sitrat
38
lignoselulosa. Sampah kertas seperti koran bekas yang mudah ditemukan dalam
lingkungan perkotaan, masih mengandung selulosa yang dapat digunakan sebagai
adsorben logam berat. Pulp kertas koran adalah bahan selulosa kompleks yang
terdiri dari bubur termo-mekanik, dimana memiliki kemampuan penyerapan
logam (Chakravarty dkk, 2008). Modifikasi kimia dengan asam sitrat
menunjukkan peningkatan penyerapan Cu dan Pb (Lehrfeld 1997). Karbon aktif
komersial tersedia juga dengan modifikasi asam sitrat untuk meningkatkan
adsorpsi ion tembaga.
Penelitian ini dilakukan dalam tiga tahap, yang pertama untuk menghasilkan
adsorben dari koran bekas. Tahap kedua, adsorben yang diperoleh dari tahap
pertama dimodifikasi dengan larutan asam sitrat 10%. Pada tahap ketiga, yaitu
tahap adsorbsi dengan larutan CuSO4.5H2Odengan berbagai variabel. Pada tahap
ini, parameter yang diuji adalah dosis adsorben dan konsentrasi larutan.
Kemudian setelah proses adsorbsi, larutan disaring dan dianalisis menggunakan
Spektrofotometer Serapan Atom.
39
Konsentrasi akhir dari ketiga variabel yaitu dosis, serta konsentrasi larutan
telah ditunjukkan pada grafik diatas. Pada variabel dosis, digunakan sampel dosis
sebanyak 0,05; 0,1; 0,25; 0,5; dan 1 gram. Berdasarkan grafik pada gambar 2.11,
semakin besar dosis yang ditambahkan pada suatu sampel maka konsentrasi akhir
akan semakin kecil. Hal ini dikarenakan logam Cu yang terkandung dalam larutan
akan teradsorbi lebih banyak oleh adsorben yang mengandung selulosa serta
mengandung asam sitrat, dimana asam sitrat sendiri akan memperkuat daya
adsorb dari suatu adsorben.
Pada gambar 2.13 dapat dilihat bahwa penambahan dosis adsorben akan
memperbesar persen removal, sehingga akan semakin besar pula logam Cu yang
terserap oleh adsorben. Hal ini karena semakin besar dosis adsorben maka
semakin banyak selulosa yang mampu menyerap logam sehingga nilai persen
removal akan semakin tinggi. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, hasil
persen removal tertinggi yaitu 55,293 %.
40
Gambar 2.14 Pengaruh dosis adsorben terhadap % removal Cu
41
Barat Nangapada, Kabupaten Ende NTT, Kabupaten Malang, dan Kabupaten
Gunung Kidul (Widayat 2008). Zeolit alam, khususnya zeolit lokal Gunungkidul –
Yogyakarta mempunyai potensi untuk dipergunakan sebagai salah satu adsorben
untuk mengoptimalkan performa biogas melalui pemurnian. Zeolit alam memiliki
struktur rangka, mengandung ruang kosong yang ditempati oleh kation dan
molekul air yang bebas sehingga memungkinkan pertukaran ion dan penyerapan
senyawa kimia (Anggoro, 2005). Zeolit alam yang telah diaktivasi dan
dimodifikasi dapat dipergunakan sebagai adsorben bagi biogas. Zeolit alam lebih
mempunyai daya adsorbsi air dari udara dari pada silika gel (Anggoro,2005),
sehingga uap air dalam biogas dapat terserap. Struktur zeolit juga dapat
melakukan adsorpsi dan absorbs terhadap senyawa H2O, CO2, SO2, H2S
(Weitkamp dan Puppe, 1999), dengan kemampuan penyerapan zeolite terhadap
gas – gas tersebut sampai 25 % (Sutarti dan Rachmawati, 1994). Zeolit dapat
mengontrol gas – gas penyebab utama efek rumah kaca yaitu CO2 dan N2O,
kecuali CH4 yang tidak terserap (Delahay dan Coq, 2002).
Zeolite sendiri memiliki kemampuan sebagai salah satu metode untuk
meningkatkan performa biogas dapat dilakukan melalui proses adsorpsi. Adsorpsi
adalah peristiwa dimana terjadi kontak antara padatan dengan suatu campuran
fluida, sehingga sebagian zat terlarut dalam fluida tersebut atau teradsorpsi yang
menyebabkan terjadinya perubahan komposisi fluida tersebut (Brown, 1950).
Biogas dapat dimanfaatkan untuk pembangkitan panas dan listrik, bahan bakar
kendaraan bermotor, injeksi ke dalam system perpipaan gas dan dikonversi
menjadi bahan kimia yang lain (Kangmin dan Wan Ho, 2006).Proses konversi
energi biogas menjadi energi listrik dilakukan karena metana sebagai komponen
utama biogas merupakan gas yang tidak dapat dimampatkan dalam bentuk cair
pada suhu ruangan ke dalam tangki (Wahono dan Pudjiono,2007), sehingga energi
biogas lebih mudah didistribusikan dan dimanfaatkan apabila telah dikonversi
menjadi listrik. Biogas dengan metana kadar tinggi hasil dari sistem pemurnian
dengan alat filter biogas berbasis zeolite lokal Gunungkidul yang telah
dikembangkan, dapat diaplikasikan untuk meningkatkan performa generator
gas/LPG yang sudah ada di pasaran dan mampu memelihara keawetan mesin
karena mengurangi kemungkinan terjadinya korosi pada mesin.
Modifikasi material penyerap dilakukan terhadap material utama berupa zeolit
lokal gunungkidul yang telah diaktivasi. Aktivasi zeolit dilakukan dengan cara
42
dealuminasi dan kalsinasi. Modifikasi zeolit dilakukan dengan mencampur zeolit
lokal Gunungkidul yang teraktivasi dengan material lain yaitu basa kuat (NaOH 5
N), bentonit lokal Boyolali, kaolin lokal Semin - Gunungkidul, gamping,
tapioka/kanji dan kitosan cair (konsentrasi 1%). Untuk modifikasi basa kuat; zeolit
bentuk kerikil 5-10 mesh direndam selama 20 jam dalam NaOH pada
perbandingan zeolit : larutan NaOH = 1 : 1. Untuk modifikasi bentonit, kaolin,
gamping dan tapioka; zeolite serbuk teraktivasi ukuran 100 mesh dicampur
dengan aquadest pada perbandingan material modifikasi : aquadest : zeolit = 1 : 3 :
6. Untuk modifikasi kitosan cair; zeolit serbuk teraktivasi ukuran 100 mesh
dicampur dengan kitosan cair 1% pada perbandingan material modifikasi : zeolit =
1 : 3. Kemudian material termodifikasi tersebut dikeringkan dengan mengubah
bentuk zeolit serbuk menjadi pelet terlebih dahulu, sedangkan zeolit kerikil
langsung dikeringkan.
Modifikasi material penyerap berbasis zeolit lokal berbentuk serbuk dengan
merubah bentuknya menjadi pelet dengan menambahkan beberapa material lain
yaitu bentonit lokal Boyolali, kaolin lokal Semin - Gunungkidul, gamping,
tapioka/kanji dan kitosan cair (konsentrasi 1%) dilakukan secara manual.
Sedangkan penambahan basa kuat (NaOH 5 N), dilakukan untuk zeolit lokal
berbentuk kerikil (5 – 10 mesh) sebagai pembanding dengan cara perendaman.
Biogas dialirkan melalui alat filter biogas menuju generator biogas sehingga
menghasilkan energi listrik, kemudian energi listrik yang dihasilkan dipergunakan
untuk menghidupkan alat gerinda listrik.
43
Material penyerap hasil modifikasi seperti pada gambar 1, diisikan ke dalam
alat filter biogas secara bergantian selama 30 menit. Masing – masing material
filter tersebut diujicobakan untuk menyalakan generator biogas 700 W dengan
beban alat gerinda listrik 670 W, kemudian diambil data tegangan dan arus listrik.
Data tegangan dan arus listrik rata – rata yang dihasilkan oleh generator biogas
tersebut dari masing – masing material filter seperti pada tabel 2.1
Tabel 2.1 Ujicoba material modifikasi absorben zeolit (uji generator untuk gerinda
670 watt)
Berdasarkan hasil pada tabel 2.1, dapat dipilih material yang lebih
baik/optimal untuk material penyerap biogas/material isian alat filter biogas
berdasarkan kemudahan pembuatan/modifikasi, kekuatan material dan daya listrik
yang dihasilkan. Berdasarkan kemudahan pembuatan, material berbentuk pelet
lebih mudah dibuat dan menghasilkan hasil modifikasi material yang relatif
seragam. Material yang memiliki hasil modifikasi terbaik berdasarkan kekuatan
material adalah zeolit bentuk kerikil dengan modifikasi larutan basa dan zeolit
bentuk pelet dengan modifikasi bentonit Boyolali atau kaolin Semin –
Gunungkidul. Daya listrik yang tinggi merupakan tujuan dari hasil konversi listrik
dari biogas, sehingga dipilih hasil ujicoba yang menghasilkan daya listrik tinggi (>
200 watt) sebagai salah satu parameter penentuan material penyerap biogas yang
baik/optimal. Daya listrik yang tinggi tersebut memiliki korelasi dengan kadar
metana biogas yang dipergunakan sebagai bahan bakar, karena variabel selain
kadar metana biogas dapat diasumsikan sama dalam aplikasi masing – masing
modifikasi zeolit sebagai material penyerap. Perbedaan kadar metana dalam
biogas tersebut dapat terjadi karena perbedaan kemampuan material penyerap
dalam menyerap gas-gas pengotor. Oleh karena pertimbangan tersebut yaitu
mudah dalam pembuatan material modifikasi (bentuk pelet), material yang
44
dihasilkan kuat (tidak berubah menjadi debu/serbuk) dan daya listrik yang
dihasilkan tinggi (> 200 watt), maka dipilih material modifikasi zeolit dengan
kaolin lokal Semin – Gunungkidul berbentuk pelet sebagai material yang optimal
dalam menyerap biogas. Sedangkan pada material modifikasi tapioka/kanji
walaupun menghasilkan daya listrik yang lebih baik, namun materialnya rapuh
sehingga dapat terjadi penumpukan debu/serbuk material penyerap dan
mengganggu kinerja mesin selanjutnya.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
45
8) Adsorben dari koran bekas dengan modifikasi asam sitrat
9) Modifikasi zeolit lokal gunungkidul sebagai upaya peningkatan
performa biogas untuk pembangkit listrik
3.2 Saran
46
DAFTAR PUSTAKA
Agra, I. B., Warnijati, S., Indriyani, K. (1987) Hydrolysis of Dry Cassava Powder,
CHEMECA 87, The 15th Australasian Chemical Engineering Conference. pp. 99. 1 –
96, Melbourne, Australia.
Chakravarty, S.; Pimple, S.; Chaturvedi, H.T.; Singh, S.; Gupta, K.K., Removal of copper
from aqueous solution using newspaper pulp as an adsorbent: Journal of Hazardous
hulls modified with citric acid: a comparative study, 2009.
Ibrahim, B., D. R. Sukarsa, L. Aryanti. 2012. PEMANFAATAN RUMPUT LAUT
Sargassum sp. SEBAGAI ADSORBEN LIMBAH CAIR INDUSTRI RUMAH
TANGGA PERIKANAN. JPHPI, 15(1) : 52-58.
Lehrfeld, J., Cation exchange resins prepared from phytic acid, J. Appl. Polym. Sci. 1997, 66,
491–497.
Lelifajri. 2010. Adsorpsi Ion Logam Cu(II) Menggunakan Lignin dari Limbah Serbuk Kayu
Gergaji. Jurnal Rekayasa Kimia dan Lingkungan, 7(3):126-130.
Lubis, M. R. (2004) Pembuatan Perekat dari Biji Durian, Jurnal Reaksi, 28-34.
Marshall, W.E.; Wartelle, L.H.; Boler, D.E.; Toles, C.A., Metal ion absorption by soybean
Materials, 2008, 159, 396– 403.
Nahadi, M., Hernani, M. and Khoirunnisa, F., 2005. Biodegradasi Sifat Toksik Logam Berat
Krom Dalam Limbah Cair Industri. Jurnal Pengajaran MIPA, 6(2), pp.63-71.
Pitsari, S.; Tsoufakis, E.; Loizidou, M., Enhanced lead adsorption by unbleached newspaper
pulp modified with citric acid, Chemical Engineering Journal, 2013.02.105.
Putra, A., Lestari, N., Meilina, H. 2015. PENYERAPAN ION TIMBAL DALAM AIR
DENGAN MENGGUNAKAN MODIFIKASI KAOLIN-SURFAKTAN SEBAGAI
MEDIA PENYERAP. BIOPROPAL INDUSTRI 6(2): 81-87.
Susanto, H ., Wijaya, W., Widiasa, I, N. 2013. Modifikasi Karbon Aktif Sebagai Adsorben
Untuk Pemurnian Biogas. Jurnal Teknik,. 34(1) : 4-8.
Vaugan, T.; Seo, C.W.; Marshall, W.E., Removal of selected metal ions from aqueous
solution using modified corncobs, Bioresour. Technol, 2001, 78 133‐139.
47
Wahono, S. K., Maryana, R., Kismurtono, M., Kismurtono, M., & KNisa, K. (2010).
Modifikasi Zeolit Lokal Gunungkidul Sebagai Upaya Peningkatan Performa Biogas
Untuk Pembangkit Listrik.
48