Anda di halaman 1dari 9

[kapita selekta(1), Harrison gastroenterrologi&hepatologi(2), patofisiologi Sylvia(3),

patologi anatomi robbins(4)]


ANATOMI
Posisi hepar bervariasi sesuai respirasi (lebih rendah saat inspirasi dan lebih tinggi saat
ekspirasi) karene terdapat bagian yang disebut area nuda (area telanjang hati/area
nonperitoneal) yang menempel pada diafragma. Oleh sebab itu posisinya juga bergantung
pada ukuran paru. Area nuda merupakan sebagian fascies diafragmatika yang menempel
pada diafragma dan tidak memiliki lapisan peritoneal. Selain area nuda yang tidak dilapisi
peritoneum yaitu porta hepatis, bantalan vesica biliaris dan sulcus vena cava inferior.
Hepar dibagi menjadi lobus kanan dan kiri dipisahkan oleh lig. Falciformlig.
Coronariumlig. Triangularis dex et sin yang menghubungkan diafragmaappendix fibrosa
hepatis
Tepi bebas lig falciform mengandung lig. Teres hepatis yang merupakan sisa v.umbilikalis
prenatal. Di kranial terdapat lig venosum yg merupakan sisa duktus venosus prenatal.

HISTOLOGI
Sinusoid hati adalah saluran berkelok yang melebar dan dilapisi dengan lapisan sel endotel
berpoti tidak kontinu yang juga memperlihatkan dikontinuitas lamina basal. Sinusoid hati ini
dipisahkan dengan hepatosit dibawahnya oleh ruang perisinusoid disse subendotel, ruang
ini terdapat mikrovilus yang meningatkan luas permukaaan untuk pertukaran metabolit yang
terdapat di darah dan hepatosit. Oleh karna itu bahan makanan yang ditelan dan dibawa di
dalam sinusoid memiliki akses langsung ke hepatosit melalui dinding endotel yang tidak
kontinu tersebut. Selain itu juga mengandung makrofag yang dinamai sel kupffer yang
membentuk bagian dari endotel pelapis. Sel lain yang ditemukan di ruang perisinusoid sub
endotel adalah sel stelata hatiyang juga disebut sel Ito yang merupakan tempat pentyimpanan
hati

pembentukan batu didalam kandung empedukolelitiasis


radang kronis yang menyertaikolesistitis
pembentukan batu di saluran empedukoledokolitiasis
KOLESISTITIS
Radang kandjng empedu yang dapat terjadi akut, kronil atau akut menyertai kronik
dan hampir selalu berhubungan dengan batu empedu (4)
Peradangan biasanya terjadi setelah obstruksi duktus sistikus oleh batu.(2)
Etiologi batu empedu belum diketahui sepenuhnya tapi diduga kuat karna gangguan
metabolism yang menyebabkan terjadinya perubahan komposisi empedu, stasis empedu, dan
infeksi kandung empedu. (3)
Peradangan dipicu oleh 3 faktor:
1. Peradangan mekanis: akibat meningkatnya tekanan intralumen dan distensi yang
menyebabkan iskemia mukosa dan dinding kandung empedu
2. Peradangan kimiawi: pelepasan lisolesitin (karena kerja fosfolipase pada lesitin pada
empedu) dan factor jaringan local lainnya.
3. Peradangan bakteri: yang berperan 50-85% pada kolestitis akut. Yg paling sering
escheria coli, klebsiella spp, streptococcus spp, dan clostridium spp. (2)
Patofisiologi
Inflamasi pada kandung empedu umumnya diakibatkan oleh obstruksi duktus sistikus.
Kolesistititis tanpa disertai batu empedu disebut kolesistitis alkalkulus. Ketika duktus sistikus
tersumbat maka terjadi peningkatan tekanan intralumen kandung empedu. Hal tersebut
menyebabkan stasis vena yang diikuti stasis arteri sehingga menyebabkan iskemia dinding
dan mukosa kandung empedu.
Manifestasi klinis
Kolesistitis muncul dengan gejala nyeri bilier yang berlangsung lebih dari 60 menit
tanpa perbaikan, rasa sakit parah yang terus menerus dan sering menjalar ke bahu kanan.
Gejala klasik kolesistitis(4) yaitu: demam, mual, leukositosis, dan kelemahan. Trias(2) nyeri
tekan kuadran kanan atas yg timbul mendadak, demam, dan leukositosis yg biasanya berada
pada kisaran 10.000-15.000 sel per microliter dengan pergeseran ke kiri pada hitung jenis.
Icterus jarang ditemukan pada onset awal. Kurang separuh pasien yang mengalami sedikit
peningkatan bilirubin serum (85,5mikromol/L) sementara seperempat lainnya
memperlihatkan peningkatan ringan aminotransferase serum.
Pada pemeriksaan fisik dapat ditemui nyeri tekan pada abdomen kuadran kanan atas yang
dapat ditemui tanda murphy yaitu nyeri yang memberat atau inspirasi yang terhenti sejenak
pada saat inspirasi dalam atau batuk dengan penekanan pada daerah subkosta abdomen. 25-
50% pasien kandung empedu teraba membesar.
Diagnosis
Ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang dibuktikan dengan
temuan inflamasi kandung empedu secara radiologis dan laboratorium. Selain itu juga
pemeriksaan ultrasonografi yang biasanya ditandai dengan penebalan dinding kandung
empedu.
Diagnosis banding
Koledokolitiasis, kolangitis, kolelitiasis
Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan laboratorium
- Darah perifer lengkap leukositosis 70%
- Tes enzim hati peningkatan alkalin fosfatase, ALT,AST, dan bilirubin.
- Tes enzim pancreas peningkatan kadar serum amylase.
Pemeriksaan radiologis
- USG kandung empedu gambarannya berupa dilates kandung empedu disertai
penebalan dinding dan dikelilingi oleh edema (cairan perikolekistik) dengan/tanpa
temuan batu empedu
- ERCP/PTC/MRCP biasanya akan dapat memperlihatkan penekanan ekstrinsik khas
duktus biliaris komunis.
Tatalaksana
1. Penanganan awal
Pasien tirah baring total, pemberian cairan secara adekuat, tunda asupan peroral, dan
pemberian nutrisi secara parentral.
2. Terapi farmakologis
 Antibiotic (terapeutik dan profilaksis). Ampisilin-sulbaktam 3g/6 jam IV, atau
piperasilin tazobaktam 4,5 g/8jam IV. Pemberian antibiotic sejak dini sangat
penting dalam mencegah komplikasi peritonitis, kolangitis, dan septisemia.
 Medikamentosa simtomatis. Berikan analgesic, antipiretik atau antispasmodic bila
perlu.
3. kolesistitis akut direkomendasikan melakukan prosedur bedah(kolesistektomi
laparoskopik) dala 72 jam pertama. Bila tdak memungkinkan dilakukan pemasangan selang
drainase eksternal (kolesistotomi perkutaneus) dengan panduan pencitraan.
Epidemiologi
Pengobatan paliatif untuk pasien ini adalah menghindari makanan yang mengandung
lemak tinggi.

HEPATITIS B
Merupakan infeksi virus hepatitis B (VHB) pada hati yang dapat bersifat akut maupun kronis.
Bersifat double-stranded DNA enveloped. Memiliki ukuran 40-42nm. Port entry parentral
dan menembus membrane mukosa, seksual, perinatal. Masa inkubasi rata2 sekitar 60-90hari.
Memiliki lapisan permukaan dan bagian inti.
Patofisiologi
Sel hati manusia merupakan target organ bagi virus Hepatitis B. Virus Hepatitis B
mula-mula melekat pada reseptor spesifik di membran sel hepar kemudian mengalami
penetrasi ke dalam sitoplasma sel hepar. Virus melepaskan mantelnya di sitoplasma, sehingga
melepaskan nukleokapsid. Selanjutnya nukleokapsid akan menembus sel dinding hati.
Asam nukleat VHB akan keluar dari nukleokapsid dan akan menempel pada DNA
hospes dan berintegrasi pada DNA tersebut. Proses selanjutnya adalah DNA VHB
memerintahkan sel hati untuk membentuk protein bagi virus baru. Virus Hepatitis B
dilepaskan ke peredaran darah, terjadi mekanisme kerusakan hati yang kronis disebabkan
karena respon imunologik penderita terhadap infeksi (Mustofa & Kurniawaty, 2013).
Proses replikasi virus tidak secara langsung bersifat toksik terhadap sel, terbukti
banyak carrier VHB asimtomatik dan hanya menyebabkan kerusakan hati ringan. Respon
imun host terhadap antigen virus merupakan faktor penting terhadap kerusakan hepatoseluler
dan proses klirens virus, makin lengkap respon imun, makin besar klirens virus dan semakin
berat kerusakan sel hati. Respon imun host dimediasi oleh respon seluler terhadap epitop
protein VHB, terutama HBsAg yang ditransfer ke permukaan sel hati. Human Leukocyte
Antigen (HLA) class I-restricted CD8+ cell mengenali fragmen peptida VHB setelah
mengalami proses intrasel dan dipresentasikan ke permukaan sel hati oleh molekul Major
Histocompability Complex (MHC) kelas I. Proses berakhir dengan penghancuran sel secara
langsung oleh Limfosit T sitotoksik CD8+ (Hardjoeno, 2007).
Uji serologis:
- Penanda serologis yang pertama untuk identifikasi HBV adalah antigen
surface(permukaan) yg disebut HBsAg yang positif kira kira 2 minggu sebelum
timbulnya gejala klinis. Adanya HBV menunjukkan bahwa penderita dapat
menularkan HBV ke oranglain dan menginfeksi mereka. Kemudian HBsAg menjadi
tidak terdekteksi 1-2 bulan setelah gejala klinis muncul(ikterik krn aktivitas
aminotransferase meningkat) dan jarang menetap sampai 6 bulan.
- Penanda berikutnya biasanya adalah antigen core(inti). Antigen inti itu sendiri
biasanya tidak terdeteksi secara rutin dalam serum penderita krn terletak didalam kulit
luar HBsAg. Sebaliknya, antibody HBc dapat terdeteksi segera setelah timbul
gambaran klinis hepatitis dan menetap untuk seterusnya. Antibody ini dimulai dalam
1-2minggu pertama setelah kemunculan HBsAg dan mendahulaui terdeteksinya anti-
HBs selama bbrp minggu sampai bulan.
Karena waktu kemunculan anti HBs setelah infeksi HBV bervariasi, kadang2 terdapat
jeda beberapa minggu atau lebih lama antara lenyapnya HBsAg dan munculnya anti-
HBs. Periode tersebut disebut “windows periode”.
Antibody anti HBc slanjutnya dibagi menjadi fragmen IgM dan IgG. IgM antibody
merupakan penanda untuk infeksi baru atau yang telah lewat(akut). Sedangkan
adanya dominansi IgG menunjukkan kesembuhan dari HBv di masa lampau atau
infeksi kronis.
- Antibodi yang mencul selanjutnya adalah antibody terhadap antigen permukaan(anti-
HBs) yang timbul setelah infeksi membaik dan berguna untuk memberikan kekebalan
jangka panjang.
- Kemudian ada antigen envelope (HBeAg) merupakan bagian HBV yang larut dan
timbul bersamaan atau segera setelah HBsAg dan menghilang beberapa minggu
sebelum HBsAg menghilang. HBeAg menunjukkan ada atau tidaknya replikasi virus
dan penderita dalam keadaan sangat menular. HBeAg menunjukkan infeksi replikatif
yang kronis sedangkan antibody terhadap HBeAg menunjukkan hilangnya replikasi
virus dan menurunnya daya tular.
Manifestasi Klinis
Gejala hepatitis akut terbagi dalam 4 tahap yaitu:
- Hepatitis B akut
 Fase preikterik(1-2 minggu sebelum fase ikterik)
Anoreksia, mual, muntah, malaise, keletihan, atralgia, myalgia, sakit kepala,
dan disertai demam yang tidak terlalu tinggi
 Fase ikterik
Gejala prodromal berkurang namun ditemukan sklera ikterik dan penurunan
BB. Pemeriksaan fisik ditemukan hepatomegaly yang disertai nyeri tekan di
area kuadran kanan atas abdomen.
 Fase perbaikan(konvalesens)
Gejala konstitusional menghilang namun masih ditemukan hepatomegaly dan
abnormalitas pemeriksaan kimia hati
- Hepatitis B kronis
 Memiliki gambaran klinis yang sangat bervariasi mulai dari asimtomatik,
gejala hepatitis akut, hingga tanda-gejala sirosis dan gagal hati.

Hepatitis B kronis didefinisikan sebagai peradangan hati yang berlanjut lebih dari enam
bulan sejak timbul keluhan dan gejala penyakit. Perjalanan hepatitis B kronik dibagi menjadi
tiga fase penting yaitu :
1. Fase Imunotoleransi
Sistem imun tubuh toleren terhadap VHB sehingga konsentrasi virus tinggi dalam darah,
tetapi tidak terjadi peradangan hati yang berarti. Virus Hepatitis B berada dalam fase
replikatif dengan titer HBsAg yang sangat tinggi.
2. Fase Imunoaktif (Clearance)
Sekitar 30% individu persisten dengan VHB akibat terjadinya replikasi virus yang
berkepanjangan, terjadi proses nekroinflamasi yang tampak dari kenaikan konsentrasi ALT.
Fase clearance menandakan pasien sudah mulai kehilangan toleransi imun terhadap VHB.
3. Fase Residual
Tubuh berusaha menghancurkan virus dan menimbulkan pecahnya sel-sel hati yang terinfeksi
VHB. Sekitar 70% dari individu tersebut akhirnya dapat menghilangkan sebagian besar
partikel virus tanpa ada kerusakan sel hati yang berarti. Fase residual ditandai dengan titer
HBsAg rendah, HBeAg yang menjadi negatif dan anti-HBe yang menjadi positif, serta
konsentrasi ALT normal (Sudoyo et al, 2009).
Patologi anatomi
Hepatosit (ground glass) pada hepatitis B kronik yang disebabkan oleh akumulasi HBsAg
dalam sitoplasma, memiliki inkulusi sitoplasma berwarna pink yang besar, pucat, dan
bergranular halus. Pewarnaan imun menegaskan bahwa reticulum endoplasma dipenuhi
dengan antigen permukaan (HBsAg) yang menunjukkan dari aktivitas virus.

SIROSIS HATI
Perubahan arsitektur jaringan hati yang ditandai dengan regenerasi nodular yang bersifat
difus dan dikelilingi oleh septa septa fibrosis. Perubahan struktur tersebut dapat
mengakibatkan peningkatan aliran darah portal, disfungsi sintesis hepatosit, serta
meningkatkan resiko karsinoma hepatoseluler.
Etiologi
Seluruh penyakit hati yang bersifat kronis dapat mengakibatkan sirosis hati. Yang tersering di
negara barat adalah konsumsi alcohol, sementara di Indonesia utamanya disebabkan oleh
hepatitis B dan atau C kronis.
Pathogenesis
Dikenal sebagai proses yang dinamis dan pada kondisi tertentu bersifat reversible. Transisi
penyakit kronis menjadi sirosis melibatkan proses yang kompleks antara reaksi inflamasi,
aktivitas sel stelata(penghasil kolagen), angiogenesis, dan oklusi PD yang berdampak pada
perluasan lesi parenkim hati.
Pathogenesis utama dari proses fibrosis dan sirosis hati ialah aktivasi sel stelata (sel ito) yang
normalnya bersifat “diam” dan berperan dalam penyimpanan retinoid(vitamin A). Namun,
adanya stimulus jejas dan reaksi inflamasi akan megaktivasi sel stelata sehingga sel tersebut
berproliferasi, memproduksi matriks ekstraseluler serta menjadi sel miofibroblas yang
mampu berkontraksi.
Manifestasi klinis
Yang pertama adanya kegagalan fungsi hati karna sudah menjadi jaringan parut.
- Ikterikkarna hati tidak bisa mengkonjugasi bilirubin
- Spider navyspt jaringan laba2
- Eritema palmaristelapak tangan teraba panas
- Ginekomastipembesaran payudara pada laki2
- White nailspt kena jamur di kuku
- Asiteskarna gagal mensintesis albumin
Hipertensi porta didefinisikan sebagai peningkatan gradien tekanan vena hepatic
>5mmHg. Hipertensi porta terjadi akibat peningkatan resistensi terhadap aliran darah
porta dan peningkatan aliran masuk ke vena porta. Peningkatan resistensi tsb disebabkan
oleh perubahan struktur parenkim hati serta vasokonstriksi PD sinusoid hati (utamanya
karna defisiensi nitrit oksida).
Vena porta adalah vena yg menampung dari system pencernaan sebelum ke jantung. Jika
hati mengalami sirosis, darahnya akan stasis tersumbat di vena porta menjadi tersumbat
dan terjadi peningkatan tekanan di vena porta. Vena porta menghubungan ke esofagus
juga Hipertensi porta berdampak komplikasi pada:
- Aktivitasi RAA system/gangguan hepato renal(hipertensi karena gangguan
hepar)karna hepar mengalami kerusakan, darah dari vena porta tersumbat. Darah
dari hati  vena hepatikadarah di vena cava inferior menurun jd sedikityang
masuk ke sistemik sedikit. Salah satu pengatur tekanan darah terdapat di ginjal
akhirnya menyebabkan ginjal mengaktifkan RAA system sedangkan akan menambah
penyulit karna terjadi gangguan di hepar

Enzim Aminotransferase (SGOT / SGPT)


Enzim Transaminase atau disebut juga enzim aminotransferase adalah enzim yang
mengkatalisis reaksi transaminasi. Terdapat dua jenis enzim serum transaminase yaitu serum
glutamat oksaloasetat transaminase dan serum glutamat piruvat transaminase (SGPT).
Pemeriksaan SGOT adalah indikator yang lebih sensitif terhadap kerusakan hati dibanding
SGPT. Hal ini dikarenakan enzim GOT sumber utamanya di hati, sedangkan enzim GPT
banyak terdapat pada jaringan terutama jantung, otot rangka, ginjal dan otak (Cahyono,
2009).
Enzim aspartat aminotransferase (AST) disebut juga serum glutamat oksaloasetat
transaminase (SGOT) merupakan enzim mitokondria yang berfungsi mengkatalisis
pemindahan bolak-balik gugus amino dari asam aspartat ke asam α- oksaloasetat membentuk
asam glutamat dan oksaloasetat (Price dan Wilson,1995).
Dalam kondisi normal enzim yang dihasilkan oleh sel hepar konsentrasinya rendah. Fungsi
dari enzim-enzim hepar tersebut hanya sedikit yang diketahui. Nilai normal kadar SGOT <
35 U/L dan SGPT < 41 U/L. (Daniel S. Pratt, 2010)
Enzim SGOT dan SGPT mencerminkan keutuhan atau intergrasi sel-sel hati. Adanya
peningkatan enzim hati tersebut dapat mencerminkan tingkat kerusakan sel-sel hati. Makin
tinggi peningkatan kadar enzim SGOT dan SGPT, semakin tinggi tingkat kerusakan sel-sel
hati (Cahyono 2009).
Kerusakan membran sel menyebabkan enzim Glutamat Oksaloasetat Transaminase
(GOT) keluar dari sitoplasma sel yang rusak, dan jumlahnya meningkat di dalam darah.
Sehingga dapat dijadikan indikator kerusakan hati (Ronald, et al., 2004; Ismail,et al.,2014).
Penelitian yang dilakukan oleh Lee, et al pada tahun 2010 di Turki menyatakan peningkatan
kadar enzim SGOT/SGPT secara bermakna pada trauma hepar. Nilai peningkatan enzim
SGOT yang bermakna adalah lebih dari 100 U/L dengan nilai p<0,001 dan kadar enzim
SGPT yang bermakna lebih dari 80 U/L dengan p<0,001.
Nilai normal SGPT dalam serum :
1. Laki-laki : 0 - 40 U/L (suhu inkubasi 37oC) dan 0-22 U/L (suhu inkubasi 25oC)
2. Perempuan : 0 - 31 U/L (suhu inkubasi 37oC) dan 0-17 U/L (suhu inkubasi 25oC).
Sedangkan nilai normal SGOT adalah 3-45 U/L.

• SGOT/AST dan SGPT/ALT merupakan enzim plasma nonfungsional. Kenapa


non-fungsional? Karena substrat enzim ini ada di sel. Jika jumlah SGOT dan
SGPT tinggi di plasma darah berarti kemungkinan terjadi peningkatan
kematian sel. Hal ini berbeda dengan enzim plasma fungsional yang subtratnya
memang ada di plasma, seperti : LPL dan enzim pembekuan darah
• SGOT itu letaknya ada di dalam mitokondria dan SGPT ada di sitoplasma sel.
SGOT ada di sel hepar dan jantung sedangkan SGPT ada di sel hepar
• Peningkatan AST dan ALT di plasma tadi kan menunjukan kematian sel yang
tinggi. Kematian sel ini biasanya terjadi karena penyakit yang diderita.
Misalnya hepatitis viral akut, fatty liver, sirosis hati, pankreatitis, tumor hati
dan infark miokard (biasanya dominan SGOT yang tinggi)

Anda mungkin juga menyukai