Anda di halaman 1dari 1

Orientasi Minat Belajar

Di sebuah desa bernama Dadapan, ujung barat dai kecamatan Solokuro Kabupaten Lamongan terdapat
sebuah lembaga pendidikan berlabel pesantren. Pesantren ini sudah berdiri lumayan lama, sekitar tahun 80-an.
Dari mulai bangunan kecil dengan jumlah santri seadanya, pesantren ini sedikit demi sedikit tumbuh bersamaan
dengan bertambahnya santri yang datang dari berbagai daerah. Akhirnya jadilah pesantren yang mulai di kenal
di daerah tersebut.

Budaya pesantren tersebut saat itu masih sangat kental. Gaya pendidikannya, aturan-aturannya, perilaku
santrinya, sangat bernuansa pesantren klasik. Kemauan dan tekad para santri untuk mengkaji kitab kuning dan
mengabdi kepada seorang kyai sangat nampak saat itu, hingga suatu periode tepatnya tahun 2010 para petinggi
lembaga melalui sebuah musyawarah memutuskan untuk mendirikan pendidikan formal berupa Madrasa
Aliyah yang saat itu masih belum berdiri sendiri, sebagian besar administrasinya diikutkan pada Madrasah
Aliyah yang berada di Desa Siman Kecamatan Sekaran Kabupaten Lamongan. Tidak lama sosialisasi
keberadaan sekolah itu pun mulai disebarluaskan ke masyarakat.

Di tahun berikutnya tentu saja banyak orang tua yang tertarik menyekolahkan anaknya di sekolah tersebut
dengan alasan berada di lingkungan pondok pesantren. Dan tentu saja banyak santri baru yang berdatangan
kesana, jika dibandingkan dengan santri yang lebih lama mereka jauh lebih muda, karena usia mereka adalah
usia-usia sekolah. Semua berjalan beriringan dan tidak ada permasalahan berarti di lembaga tersebut.

Hingga tiga tahun kemudian mulailah terasa dampak dari keberadaan pendidikan formal yang ada di
tengah-tengah pesantren tersebut. Saat itu Madrasah Aliyah tersebut sudah mulai memisahkan diri dan berjalan
mandiri tanpa tergantung pada lembaga lain. Bahkan ia bertransformasi menjadi Sekolah Menengah Atas
(SMA) yang tentunya lebih elit dibanding sebelumnya. Di saat yang hampir bersamaan berdiri pula tingkat
pendidikan di bawahnya yaitu Sekolah Menengah Pertama (SMP) yang menjadikan semakin terasa
berkurangnya suasana pesantren yang dulunya sangat kental.

Masalah yang paling banyak terasa yaitu sangat kurangnya generasi yang lebih tua, karena generasi
sebelumnya sudah mulai bermasyarakat hingga kepengurusan dilaksanakan oleh santri-santri mudah. Selain itu
masalah juga datang dari tujuan belajar mereka. Madrasah Diniyah yang sudah ada lebih lama juga merupakan
program yang wajib mereka ikuti, namun saat mereka lulus sekolah, Madrasah Diniyah yang harusnya
ditempuh lima tahun hanya ditempuh tiga tahun karena mereka memutuskan untuk pulang (boyong). Dari sana
tampak bahwa para siswa tidak memprioritaskan pendidikan agama yang diselenggarakan dalam program
madin, hal itu nampak pada saat mereka boyong, karena setidaknya mereka menuntaskan pendidikan madrasah
Diniyah hingga tamat.

Solusi yang penulis tawarkan yaitu dengan merubah sudut pandang santri tentang pendidikan mana yang
lebih penting, karena pada dasarnya baik pendidikan formal maupun Informal, keduanya sama-sama penting
dan harus berjalan beriringan. Hal itu bisa diupayakan dengan lebih memajukan pendidikan Diniyah dalam segi
Administrasi, Model pendidikan, Sarana-prasarana, kualitas guru, dan lain sebagainya sehingga pendidikan
Informal tidak lagi dipandang sebelah mata.

Moh. Adib Maimun

Anda mungkin juga menyukai