Anda di halaman 1dari 16

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


Kromatografi adalah proses pemisahan zat berdasarkan afinitas zat tersebut
terhadap fasa diam dan fasa gerak. Kromatografi lapis tipis (KLT) merupakan salah satu
jenis kromatografi yang memiliki fungsi kualitatif dan kuantitatif. Fungsi kualitatif
adalah untuk mengidentifikasi senyawa berdasarkan nilai Rf (retention factor), bentuk
dan warna noda . fungsi kuantitatif adalah untuk memisahkan, mengisolasi dan
menentukan kadar senyawa dalam campuran.
Dalam bidang penelitian obat tradisional bertujuan agar mengenal dan
mengidentifikasi suatu jenis atau spesies bahan alam yang berkhasiat obat berdasarkan
morfologi dan kegunaannya bagi masyarakat di suatu daerah.
Obat tradisional di dunia ini sedang marak digunakan dalam masyarakat.
Penggunaan obat tradisional bukan hanya dikembangkan di Indonesia tapi sudah
dikembangkan di negara-negara maju. Sehingga bahan alam merupakan salah satu
sumber bahan baku obat yang perlu digali, diteliti dan dikembangkan.
Perkembangan pemanfaatan tumbuh-tumbuhan sebagai obat dari tahun ke tahun
pun semakin berkembang pesat dan mengalami kemajuan. perkembangan mulai terarah
mulai dari cara atau metode pembuatannya sampai cara penggunaannya dibuat
sesederhana mungkin tanpa mengurangi ataupun menghilangakan kandungan obat
pada tanaman tersebut.
Tumbuhan obat mengandung banyak senyawa-senyawa metabolit sekunder yang
memiliki berbagai khasiat farmakologi. Profil KLT dari tumbuhan obat memberikan
informasi yang sangat beharga tentang senyawa jumlah senyawa, golongan senyawa dan
senyawa kimia utama dalam suatu campuran ekstrak.

1.2. TUJUAN PENELITIAN

Pratikum ini bertujuan untuk memperoleh profil KLT dari beberapa tumbuhan
obat tradisional sumatera barat.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Kromatografi lapis tipis (KLT) adalah salah satu metode pemisahan komponen
menggunakan fasa diam berupa plat dengan lapisan bahan adsorben inert. KLT
merupakan salah satu jenis kromatografi analitik. KLT sering digunakan untuk
identifikasi awal, karena banyak keuntungan menggunakan KLT, di antaranya adalah
sederhana dan murah. KLT termasuk dalam kategori kromatografi planar, selain
kromatografi kertas. Kromatografi juga merupakan analisis cepat yang memerlukan
bahan sangat sedikit, baik penyerap maupun cuplikannya. KLT dapat digunakan untuk
memisahkan senyawa – senyawa yang sifatnya hidrofobik seperti lipida – lipida dan
hidrokarbon yang sukar dikerjakan dengan kromatografi kertas. KLT juga dapat berguna
untuk mencari eluen untuk kromatografi kolom, analisis fraksi yang diperoleh dari
kromatografi kolom, identifikasi senyawa secara kromatografi, dan isolasi senyawa
murni skala kecil (Fessenden,2003).
Kromatografi Lapis Tipis (KLT) adalah suatu teknik yang sederhana yang
banyak digunakan, metode ini menggunakan empeng kaca atau lembaran plastik yang
ditutupi penyerap atau lapisan tipis dan kering. Untuk menotolkan karutan cuplikan pada
kempeng kaca, pada dasarnya menggunakan mikro pipet atau pipa kapiler. Setelah itu,
bagian bawah dari lempeng dicelup dalam larutan pengelusi di dalam wadah yang
tertutup (Soebagio,2002).
Kromatografi lapis tipis merupakan cara pemisahan campuran senyawa
menjadi senyawa murni dan mengetahui kuantitasnya yang menggunakan kromatografi
juga merupakan analisis cepat yang memerlukan bahan sangat sedikit, baik menyerap
maupun merupakan cuplikan KLT dapat digunakan untuk memisahkan senyawa-senyawa
yang sifatnya hidrofilik seperti lipid-lipid dan hidrokarbon yang sukar dikerjakan dengan
kromatografi kertas. KLT juga dapat digunakan untuk mencari kromatografi kolom,
identifikasi senyawa secara kromatografi dengan sifat kelarutan senyawa yang dianalisis.
Bahan lapis tipis seperti silika gel adalah senyawa yang tidak bereaksi dengan pereaksi-
pereaksi yang lebih reaktif seperti asam sulfat.( Fessenden, 2003 )
Pertimbangan untuk pemilihan pelarut pengembang (aluen) umumnya sama
dengan pemilihan eluen untuk kromatografi kolom. Dalam kromatografi adsorpsi,
pengelusi eluen naik sejalan dengan pelarut (misalnya dari heksana ke aseton, ke alkohol,
ke air). Eluen pengembang dapat berupa pelarut tunggal dan campuran pelarut dengan
susunan tertentu. Pelarut-pelarut pengembang harus mempunyai kemurnian yang tiggi.
Terdapatnya sejumlah air atau zat pengotor lainnya dapat menghasilkan kromatogram
yang tidak diharapkan.

Prinsip KLT adalah adsorbsi dan partisi dimana adsorbsi adalah penyerapan pada
pemukaan, sedangkan partisi adalah penyebaran atau kemampuan suatu zat yang ada
dalam larutan untuk berpisah kedalam pelarut yang digunakan. Kecepatan gerak
senyawa-senyawa ke atas pada lempengan tergantung pada (Soebagil,2002):

Nilai Rf sangat karakterisitik untuk senyawa tertentu pada eluen tertentu. Hal
tersebut dapat digunakan untuk mengidentifikasi adanya perbedaan senyawa dalam
sampel. Senyawa yang mempunyai Rf lebih besar berarti mempunyai kepolaran yang
rendah, begitu juga sebaliknya. Hal tersebut dikarenakan fasa diam bersifat polar.
Senyawa yang lebih polar akan tertahan kuat pada fasa diam, sehingga menghasilkan
nilai Rf yang rendah. Rf KLT yang bagus berkisar antara 0,2 - 0,8. Jika Rf terlalu tinggi,
yang harus dilakukan adalah mengurangi kepolaran eluen, dan sebaliknya.
BAB III

METODE KERJA

3.1.ALAT
 Chamber
 Mistar
 Vial
 Gelas ukur
 Pipet mikrokapiler
 Pensil
 Erlenmeyer
 Pemanas
 Pipet tetes
 Penjepi

3.2.BAHAN
 Kloroform
 Metanol
 Heksan
 Etil asetat
 Aquades
 Alkohol 96%
 Kertas saring
 FeCl3
 H2SO4
3.3.CARA KERJA
1. Setiap kelompok menyiapkan 3 tumbuhan obat tradisional.
2. 50 gram tumbuhan obat dalam bentuk segar dirajang halus , masukkan ke dalam
Erlenmeyer, tambahkan alkohol 96% sebanyak 15 ml.
Jika digunakan sampel tumbuhan kering harus diserbukkan terlebih dahulu.
3. Panaskan Erlenmeyer berisi tumbuhan obat (suhu 70°C) selama 10 menit
4. Setelah proses ekstraksi selesai, saring larutan dan filtrate masing-masing tumbuhan
obat di pindahkan ke vial
5. Siapkan 4 plat KLT berukuran 7 cm x 2 cm. beri batas bawah dan batas atas masing-
masing 5 mm
6. Totolkan tiap filtrate (no 4) ke plat KLT dan beri kode masing-masing totolan ekstrak
tumbuhan obat
7. Siapkan chamber KLT, isi dengan eluen yang akan digunakan
8. Jenuhkan chamber KLT dengan menggunakan kertas saring
9. Setelah chamber dijenuhkan, keluarkan kertas saring dari dalam chamber dan
masukkan plat KLT (no 6) ke dalam chamber KLT
10. Lakukan elusi hingga eluen mencapai batas atas plat
11. Keluarkan plat KLT kering dinginkan
12. Amati noda pada plat KLT dengan menggunakan lampu UV254 nm, UV366nm, reagen
FeCl3, H2SO4 10%
13. Tandai noda yang terlihat

Keterangan :

1. Eluen yang digunakan ada 2 yaitu :


Eluen A = kloroform : methanol ( 9:1 )
Eluen B = heksan-etil asetat-metanol ( 5:5:1 )
2. Jumlah plat KLT yang digunakan 6 buah :
a. 3 buah untuk eluen A ( untuk penampak noda UV, FeCl3 dan H2SO4)
b. 3 buah untuk eluen B ( untuk penampak noda UV, FeCl3 dan H2SO4)
BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1.HASIL

A. Lampu UV 366 nm
a. Eluen A
No Plat Jumlah noda Warna noda Gambar

Orange
1 12
kuning

Orange
2 9
kuning

Orange
3 12
kuning
b. Eluen B
No plat Jumlah noda Warna noda gambar

Orange
1 8
kuning

Orange
2 8
kuning

Orange
3 8
Kuning
B. Lampu UV 254 nm
a. Eluen A
No Plat Jumlah noda Warna noda Gambar

1 8 Tidak bewarna

2 8 Tidak bewarna

3 7 Tidak bewarna
b. Eluen B
No plat Jumlah noda Warna noda gambar

1 2 Tidak bewarna

2 2 Tidak bewarna

3 2 Tidak bewarna
4.2. PEMBAHASAN

Kromatografi lapis tipis merupakan salah satu analisis kualitatif dari suatu sampel
yang ingin dideteksi dengan memisahkan komponen-komponen sampel berdasarkan
perbedaan kepolaran.
Prinsip kerjanya adalah berdasarkan adsorpsi dan partisi, dimana sampel akan
berpisah berdasarkan perbedaan kepolaran antara sampel dengan pelarut yang digunakan.
Teknik ini biasanya menggunakan fase diam dari bentuk plat silika dan fase geraknya
disesuaikan dengan jenis sampel yang ingin dipisahkan. Semakin dekat kepolaran antara
sampel dengan eluen maka sampel akan semakin terbawa oleh fase gerak tersebut.
Fase diam (adsorben) contohnya silika gel (asam silikat), alumina (aluminium
oksida), kieslguhr (diatomeous earth), dan selulosa. Dari keempat jenis adsorben tersebut,
yang paling banyak dipakai ialah silika gel dan masing-masing terdiri dari beberapa jenis
yang mempunyai nama perdagangan bermacam-macam. Silika gel ini menghasilkan
perbedaan dalam efek pemisahan yang tergantung kepada cara pembuatannya. Selain itu
harus diingat bahwa penyerap yang berpengaruh nyata terhadap daya pemisahnya.
Fase gerak (mobile) meliputi beberapa variasi eluen. Eluen yang digunakan untuk
proses elusi terdapat dua jenis yaitu eluen yang lebih polar dan eluen yang kurang polar.
Penggunaan eluen yang kurang polar dimaksudkan untuk mengelusi ekstrak heksan dan
ekstrak metanol, sedangkan eluen yang lebih polar untuk mengelusi ekstrak n-butanol
jenuh air dan ekstrak metanol. Eluen yang digunakan merupakan kombinasi dari dua
macam pelarut, Hal ini dimaksudkan untuk mencapai semua tingkat kepolaran sehingga
eluen ini dapat mengangkat noda yang tingkat kepolarannya berbeda-beda. Perbandingan
jumlah eluen yang digunakan berdasarkan pengalaman dapat menarik komponen kimia
yang maksimal. Namun jika pada penampakan noda, belum diperoleh jumlah noda yang
maksimal atau posisi noda terlalu ke atas atau ke bawah maka perbandingan ini dapat
dikombinasikan kembali.
Prinsip eluen tersebut dalam melewati fase diam (terelusi naik ke atas) adalah
bergerak berdasarkan prinsip partisi dimana fase gerak akan teradsorpsi pada permukaan
dan mengisi ruang-ruang diantara sel penyerap, kemudian terpartisi
Prinsip pemisahan noda adalah berdasarkan kepolarannya sehingga
menghasilkan kecepatan yang berbeda-beda saat terpartisi dan terjadilah pemisahan.
Untuk memisahkan noda dengan sebaik-baiknya maka digunakan kombinasi eluen non
polar dengan polar. Apabila noda yang diperoleh terlalu tinggi, maka kecepatannya dapat
dikurangi dengan mengurangi kepolaran. Namun apabila nodanya lambat bergerak atau
hanya ditempat, maka kepolaran dapat ditambah.
Ekstrak tumbuhan yang kami gunakan adalah A=kapulaga, B=daun kelor,
C=batang dayak, D=daun sirsak.
Pemilihan sinar UV yang digunakan yaitu UV 254 nm dan UV 366 nm, karena
kedua UV ini telah mampu mewakili kedua jenis UV dekat. Dimana UV panjang diwakili
oleh UV 366 nm dan UV pendek diwakili oleh 254 nm.
Pada UV 254 nm, lempeng akan berflouresensi sedangkan sampel akan tampak berwarna
gelap.Penampakan noda pada lampu UV 254 nm adalah karena adanya daya interaksi
antara sinar UV dengan indikator fluoresensi yang terdapat pada lempeng. Fluoresensi
cahaya yang tampak merupakan emisi cahaya yang dipancarkan oleh komponen tersebut
ketika elektron yang tereksitasi dari tingkat energi dasar ke tingkat energi yang lebih
tinggi kemudian kembali ke keadaan semula sambil melepaskan energi
Pada UV 366 nm noda akan berflouresensi dan lempeng akan berwarna gelap.
Penampakan noda pada lampu UV 366 nm adalah karena adanya daya interaksi antara
sinar UV dengan gugus kromofor yang terikat oleh auksokrom yang ada pada noda
tersebut. Fluoresensi cahaya yang tampak merupakan emisi cahaya yang dipancarkan
oleh komponen tersebut ketika elektron yang tereksitasi dari tingkat energi dasar ke
tingkat energi yang lebih tinggi kemudian kembali ke keadaan semula sambil melepaskan
energi. Sehingga noda yang tampak pada lampu UV 366 terlihat terang karena silika gel
yang digunakan tidak berfluororesensi pada sinar UV 366 nm
Penampakan noda pada sinar UV 254 nm dan 366 nm disebabkan karena
adanya interaksi antara sinar UV dengan gugus kromofor yang terikat oleh ausokrom
yang terdapat pada noda tersebut. Gugus kromofor adalah gugus atom yang dapat
menyerap radiasi elektromagnetik (sinar UV) dan mempunyai ikatan rangkap tak jenuh
(terkonyugasi). Sedangkan gugus terkonyugasi adalah struktur molekul dengan ikatan
rangkap tak jenuh lebih dari satu yang berada berselang-seling dengan ikatan tunggal.
Flouresensi warna yang tampak tersebut merupakan emisi cahaya yang dipancarkan oleh
komponen tersebut ketika elektron yang tereksitasi dari tingkat energi dasar ke tingkat
energi tinggi. Perbedaan energi emisi yang dipancarkan pada saat kembali ke energi dasar
inilah yang menyebabkan perbedaan flouresensi warna yang dihasilkan oleh tiap noda
Kromatografi lapis tipis dalam pelaksanaannya lebih mudah dan lebih murah
dibandingkan dengan kromatografi kolom. Dalam kromatografi lapis tipis, peralatan yang
digunakan lebih sederhana dan dapat dikatakan hampir semua laboratorium dapat
melaksanakan setiap saat secara cepat.
Dari percobaan yang kami peroleh, pada penggunaan lampu UV 254 nm dan
366 nm jumlah noda yang di peroleh lebih banyak pada eluen A dibandingkan dengan
eluen B, pada eluen A berupa kloroform : metanol (9:1) , sedangkan eluen B heksan-etil
asetat-metanol (5:5:1)
BAB VII

KESIMPULAN

Kesimpulan yang diperoleh pada percobaan ini, yaitu sebagai berikut:


1) Kromatografi lapis tipis dalam pelaksanaannya lebih mudah dan lebih murah
dibandingkan dengan kromatografi kolom. Dalam kromatografi lapis tipis, peralatan yang
digunakan lebih sederhana dan dapat dikatakan hampir semua laboratorium dapat
melaksanakan setiap saat secara cepat
2) Pemisahan dengan metode kromatografi lapis tipis dilakukan dengan cara menotolkan
sampel pada lempengan lapis tipis kemudian memasukkannya ke dalam chamber yang
berisi eluen dengan perbandingan pelarut tertentu.
3) Dari percobaan yang kami peroleh, pada penggunaan lampu UV 254 nm dan 366 nm
jumlah noda yang di peroleh lebih banyak pada eluen A dibandingkan dengan eluen B,
pada eluen A berupa kloroform : metanol (9:1) , sedangkan eluen B heksan-etil asetat-
metanol (5:5:1)
DAFTAR PUSTAKA

Anonim, 2013, Penuntun dan Buku Kerja Praktikum Fitokimia 1. Laboratorium Faramasi Bahan
Alam Fakultas Farmasi UMI : Makassar.

Adnan, M. 1997. Teknik Kromatografi Untuk Analisis Bahan Makanan, ANDI UGM, Yogyakarta.

David, C. 2001. Gas Cromatography. Kogan Page. London.

Ditjen POM, 1987. Farmakope Indonesia Ed. III. Departemen Kesehatan RI : Jakarta
LAMPIRAN

1. Lampu UV 366 nm
a) Eluen A

b) Eluen B
2. Lampu UV 254 nm
a) Eluen A

b) Eluen B

Anda mungkin juga menyukai