Anda di halaman 1dari 19

Pterygium

Kelompok E4
Mohd Shafiq bin Shamsul Anuar (102009271)

Angelin Rittho Papayungan (102010154)

Tressy Padahana (102010233)

Billy Gerson (102010345)

Ira Frayanti Sarewa (102011060)

Togana Junisar Paniro Sinaga (102011184)

Lili Adriani (102011252)

Lakwari Agthaturi (102011331)

Imelda Suryadita (102011377)

Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana


2013 – 2014

1
PENDAHULUAN
Pterygium merupakan suatu kelainan pada bola mata yang disebabkan oleh iritasi kronis
akibat paparan sinar matahari, debu, dan udara yang panas. Pterygium adalah
pertumbuhan jaringan fibrovaskular konjungtiva yang degeneratif dan invasif. Jaringan ini
biasanya terletak pada celah kelopak bagian nasal ataupun temporal konjungtiva yang
meluas ke daerah kornea.

Pada sebagian orang, pterygium tidak menimbulkan keluhan yang berarti selain dari
orang tersebut merasa terganggu dengan pertumbuhan jaringan yang meluas ke kornea.
Pada beberapa orang, pterygium bisa menimbulkan gejala mata merah, iritasi, dan lain-
lain.

Berikut akan dibahas lebih lanjut tentang struktur bola mata yang terkena, penanganan
pterygium, dan juga beberapa penyakit lain yang menyerupai pterygium ini.

PEMBAHASAN
Anamnesis

Setiap pemeriksaan selalu diawali dengan anamnesis. Pada kasus ini anamnesis
dilakukan secara auto-anamnesis, karena pasien mampu menjawab secara baik
pertanyaan yang diberikan. Yang perlu ditanyakan selama anamnesis adalah:

 Identitas pasien
Menanyakan kepada pasien: Nama lengkap pasien, umur pasien, tanggal lahir,
jenis kelamin, agama, alamat, umur, pendidikan dan pekerjaan, suku bangsa.

 Keluhan utama
Alasan yang membuat pasien datang untuk memeriksakan dirinya.

 Riwayat penyakit sekarang


Ditanyakan sudah sejak kapan keluhannya dirasakan; apakah ada nyeri mata
yang dikeluhkan; apakah matanya merah; sudah pernah berobat; apa diobati
sendiri; ada perubahan atau tidak; pernah mengalami gejala serupa di waktu
lampau atau tidak.

2
 Riwayat penyakit dahulu
Menanyakan riwayat penyakit dahulu (penyakit sebelumnya). Apakah
sebelumnya pasien pernah mengalami penyakit yang sama, ataupun penyakit
lain yang pernah pasien derita dan atau masih diderita saat ini.

 Riwayat sosial-ekonomi

Menanyakan apa pekerjaan pasien. Apakah pasien lebih sering bekerja di luar
atau dalam gedung; apa hobi atau kebiasaan pasien, apakah pasien senang
melakukan kegiatan-kegiatan olahraga d luar rumah, dan sebagainya.

Pemeriksaan Fisik & Penunjang


 Pemeriksaan Fisik Mata
- Pemeriksaan visus: dilakukan ketika pasien mengeluhkan adanya penurunan
ketajaman penglihatan. Jika tidak ada, dilakukan pemeriksaan fisik standar
seperti inspeksi dan palpasi bola mata.
- Pemeriksaan gerak bola mata: untuk melihat pergerakan bola mata pasien.
- Pemeriksaan lapang pandang (tes konfrontasi): mengetahui luas jangkauan
penglihatan pasien tersebut.
- Pemeriksaan tekanan bola mata: dilakukan dengan cara meraba-rasakan/palpasi
bagian sklera superior ketika pasien menutup mata dan bola mata diarahkan ke
bawah. Kemudian pemeriksa membandingkan dengan tekanan bola matanya
sendiri. Pada pemeriksaan ini pemeriksa dianggap normal.

 Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang dalam menentukan diagnosis pterigium tidak harus
dilakukan, karena dari anamnesis dan pemeriksaan fisik sudah dapat
digunakan untuk menegakkan diagnosis pterygium.
Dapat juga dilakukan pemeriksaan histopatologi pada jaringan pterygium yang
telah diekstirpasi. Gambaran pterygium yang dapat dilihat berupa epitel yang
irreguler dan tampak adanya degenerasi hialin pada stromanya.
Dapat juga dilakukan topografi kornea untuk menilai seberapa besar
komplikasi yang ditimbulkan oleh pterygium, karena pada beberapa pasien
pterygium ini dapat menimbukan astigmatis.

3
ANATOMI & FISIOLOGI
A. Anatomi Konjungtiva
Konjungtiva merupakan membran yang menutupi sklera dan kelopak
mata bagian belakang. Berbagai macam obat mata dapat diserap melalui
konjungtiva. Konjungtiva ini mengandung sel musin yang dihasilkan oleh sel
goblet.2
Konjungtiva terdiri atas tiga bagian, yaitu:
- Konjungtiva tarsal yang menutupi tarsus, konjungtiva tarsal ini sukar
digerakkan dari tarsus.
- Konjungtiva bulbi, menutupi sclera dan mudah digerakan dari sclera
dibawahnya.
- Konjungtiva forniks, merupakan tempat peralihan konjungtiva tarsal
dengan konjungtiva bulbi 2
Konjungtiva bulbi dan forniks berhubungan sangat longgar dengan
jaringan di bawahnya sehingga bola mata mudah bergerak 2

4
Gb. 1. Konjungtiva
(Sumber: www.google.com)

B. Anatomi kornea
Kornea adalah selaput bening mata, bagian selaput mata yang tembus
cahaya, merupakan lapis jaringan yang menutup bola mata bagian depan. 2
Kornea terdiri dari lima lapis, yaitu :
1. Epitel
• Tebalnya 50 μm, terdiri atas 5 lapis sel epitel tidak bertanduk yang
saling tumpang tindih; satu lapis sel basal, sel poligonal dan sel
gepeng.
• Pada sel basal sering terlihat mitosis sel, dan sel muda ini terdorong ke
depan menjadi lapis sel sayap dan semakin maju ke depan menjadi sel
gepeng, sel basal berikatan erat dengan sel basal di sampingnya dan
sel poligonal di depanya melalui desmosom dan makula okluden;
ikatan ini menghambat pengaliran air, elektrolit, dan glukosa yang
merupakan barrier.

5
2. Membran Bowman
• Terletak dibawah membran basal epitel kornea yang merupakan
kolagen yang tersusun tidak teratur seperti stroma dan berasal dari
bagian depan stroma.
3. Stroma
• Terdiri atas lamel yang merupakan susunan kolagen yang sejajar satu
dengan lainnya, pada permukaan terlihat anyaman yang teratur
sedang di bagian perifer serat kolagen ini bercabang; terbentuknya
kembali serat kolagen memakan waktu yang lama yang kadang-
kadang sampai 15 bulan. Keratosit merupakan sel stroma kornea yang
merupakan fibroblas terletak di antara serat kolagen stroma. Diduga
keratosit membentuk bahan dasar dan serat kolagen dalam
perkembangan embrio atau sesudah trauma. 2
4. Membrane Descement
• merupakan membran aselular dan merupakan batas belakang stroma
kornea dihasilkan sel endotel dan merupakan membran basalnya.
• bersifat sangat elastik dan berkembang terus seumur hidup,
mempunyai tebal 40µm.2
5. Endotel
• berasal dari mesotellium, berlapis satu, bentuk heksagonal, besar 20-
40µm. endotel melekat pada membrane descement melalui
hemidesmosom dan zonula okluden. 2
Kornea dipersyarafi oleh banyak saraf sensoris terutama berasal dari
saraf siliar longus, saraf nasosiliar, saraf ke V saraf siliar longus berjalan
suprakoroid, masuk ke dalam stroma kornea, menembus membrane
bowman melepaskan selubung schwannya. Seluruh lapis epitel dipersarafi
sampai pada kedua lapis terdepan tanpa ada akhir saraf. Bulbus Krause
untuk sensasi dingin ditemukan di daerah limbus. Daya regenerasi saraf
sesudah dipotong di daerah limbus terjadi dalam waktu 3 bulan. 2

6
Trauma atau penyakit yang merusak endotel akan mengakibatkan
system pompa endotel terganggu sehingga dekompensasi endotel dan
terjadi edema kornea. Endotel tidak mempunyai daya regenarasi. 2
Kornea merupakan bagian mata yang tembus cahaya dan menutup
bola mata di sebelah depan. Pembiasan sinar terkuat dilakukan oleh kornea
dimana 40 dioptri dari 50 dioptri pembiasan sinar masuk kornea dilakukan
oleh kornea.2

Gb. 2. Susunan Lapisan Kornea


(Sumber: www.google.com)

2. PTERIGIUM
A. Definisi Pterigium
Pterygium merupakan suatu pertumbuhan fibrovaskular konjungtiva
yang bersifat degeneratif dan invasif. Pertumbuhan ini biasanya terletak
pada celah kelopak bagian nasal ataupun temporal konjungtiva yang meluas
ke daerah kornea.2

7
Gb. 3. Pterygium
(Sumber: www.google.com)

B. Etiologi Pterigium
Etiologi pterigium tidak diketahui dengan jelas. Diduga merupakan
suatu neoplasma, radang dan degenerasi yang disebabkan oleh iritasi
kronis akibat debu, pasir, cahaya matahari, lingkungan dengan angin yang
banyak dan udara yang panas selain itu faktor genetik dicurigai sebagai
faktor predisposisi.8,9
Faktor resiko yang mempengaruhi pterygium adalah lingkungan yakni
radiasi ultraviolet sinar matahari, iritasi kronik dari bahan tertentu di udara
dan faktor herediter.
1. Radiasi ultraviolet
Faktor resiko lingkungan yang utama sebagai penyebab timbulnya
pterygium adalah terpapar sinar matahari. Sinar ultraviolet diabsorbsi
kornea dan konjungtiva yang dapat mengakibatkan kerusakan sel dan
proliferasi sel.
2. Iritasi kronik atau inflamasi terjadi pada area limbus atau perifer
kornea merupakan pendukung terjadinya teori keratitis kronik dan
terjadinya limbal.

8
C. Patofisiologi Pterigium
Etiologi pterygium tidak diketahui dengan jelas. Tetapi penyakit ini
lebih sering pada orang yang tinggal di daerah iklim panas. Oleh karena itu
gambaran yang paling diterima tentang hal tersebut adalah respon
terhadap faktor-faktor lingkungan seperti paparan terhadap matahari
(ultraviolet), daerah kering, daerah angin kencang dan debu atau faktor
iritan lainnya. Pengeringan lokal dari kornea dan konjungtiva yang
disebabkan kelainan tear film menimbulkan pertumbuhan fibroplastik baru
merupakan salah satu teori. Tingginya insiden pterygium pada daerah
dingin, iklim kering mendukung teori ini.8,9
Ultraviolet adalah mutagen untuk p53 tumor supresor gene pada
limbal basal stem cell. Tanpa apoptosis, transforming growth factor-beta
diproduksi dalam jumlah berlebihan dan menimbulkan proses kolagenase
meningkat. Sel-sel bermigrasi dan angiogenesis. Akibatnya terjadi
perubahan degenerasi kolagen dan terlihat jaringan subepitelial
fibrovaskular. Jaringan subkonjungtiva terjadi degenerasi elastoik
proliferasi jaringan vaskular bawah epithelium dan kemudian menembus
kornea. Kerusakan pada kornea terdapat pada lapisan membran bowman
oleh pertumbuhan jaringan fibrovaskular, sering disertai dengan inflamasi
ringan. Epitel dapat normal, tebal atau tipis dan kadang terjadi displasia. 8,9
Limbal stem cell adalah sumber regenerasi epitel kornea. Pada keadaan
defisiensi limbal stem cell, terjadi pembentukan jaringan konjungtiva pada
permukaan kornea. Gejala dari defisiensi limbal adalah pertumbuhan
konjungtiva ke kornea, vaskularisasi, inflamasi kronis, kerusakan membran
basement dan pertumbuhan jaringan fibrotik. Tanda ini juga ditemukan
pada pterygium dan karena itu banyak penelitian menunjukkan bahwa
pterygium merupakan manifestasi dari defisiensi atau disfungsi limbal
stem cell. Kemungkinan akibat sinar ultraviolet terjadi kerusakan limbal
stem cell di daerah interpalpebra.4

9
Pemisahan fibroblast dari jaringan pterygium menunjukkan perubahan
phenotype, pertumbuhan banyak lebih baik pada media mengandung
serum dengan konsentrasi rendah dibanding dengan fibroblast konjungtiva
normal. Lapisan fibroblast pada bagian pterygiun menunjukkan proliferasi
sel yang berlebihan. Pada fibroblast pterygium menunjukkan matrix
metalloproteinase, dimana matriks ekstraselluler berfungsi untuk jaringan
yang rusak, penyembuhan luka, mengubah bentuk. Hal ini menjelaskan
kenapa pterygium cenderung terus tumbuh, invasi ke stroma kornea dan
terjadi reaksi fibrovaskular dan inflamasi. 4

D. Gejala dan Tanda Pterigium


Gejala klinis pterigium pada tahap awal biasanya ringan bahkan sering
tanpa keluhan sama sekali (asimptomatik). Beberapa keluhan yang sering
dialami pasien antara lain rasa perih, terganjal, sensasi benda asing, silau,
berair, gangguan visus, serta masalah kosmetik.

Dari pemeriksaan didapatkan adanya penonjolan daging, berwarna


putih, tampak jaringan fibrovaskular yang berbentuk segitiga yang
terbentang dari konjungtiva interpalpebrae sampai kornea, jaringan
berbatas tegas sebagai suatu garis yang berwarna coklat kemerahan,
umumya tumbuh di daerah nasal (pada 90% kasus). Dibagian depan dari
apek pterigium terdapat infiltrate kecil-kecil yang disebut “islet of Fuch”.
Pterigium yang mengalami iritasi dapat menjadi merah dan menebal yang
kadang-kadang dikeluhkan kemeng oleh penderita.8,9

Klasifikasi Pterigium dibagi menjadi dua, yaitu:


1. Pterygium Simpleks; jika terjadi hanya di nasal/ temporal saja.
2. Pterygium Dupleks; jika terjadi di nasal dan temporal.
Pterigium berdasarkan perjalanan penyakitnya dibagi 2 tipe yaitu pterigium
progresif dan pterygium regresif:
 Pterigium progresif : tebal dan vascular dengan beberapa infiltrat
di kornea di depan kepala pterygium (disebut cap dari pterygium).

10
 Pterigium regresif : tipis, atrofi, sedikit vascular. Tipe ini akhirnya
akan membentuk membran yang tidak hilang.

Pterigium juga dapat dibagi ke dalam 4 derajat yaitu :


• Derajat 1: jika pterygium hanya terbatas pada limbus kornea.
• Derajat 2: jika sudah melewati limbus kornea tetapi tidak lebih dari
2 mm melewati kornea.
• Derajat 3: sudah melebihi derajat 2 tetapi tidak melebihi pinggiran
pupil mata dalam keadaan cahaya normal (pupil dalam keadaan
normal sekitar 3 – 4 mm)
• Derajat 4: pertumbuhan pterygium melewati pupil sehingga
mengganggu penglihatan.

Pterigium derajat 3

Pterigium derajat 4

Gb. 4. Derajat Pterygium


(Sumber: www.google.com)

F. Diagnosa Banding Pterigium


1. Pseudopterigium

11
Pseudopterigium merupakan perlekatan konjungtiva dengan kornea
yang cacat. Sering pseudopterigium ini terjadi pada proses penyembuhan
tukak kornea, sehingga konjungtiva menutupi kornea.5,6

Gb. 5. Pseudopterygium
(Sumber: www.google.com)

Perbedaan pseudopterigium dengan pterigium adalah 5


Tabel 1. Perbedaan Pterigium Dengan Pseudopterigium

PTERIGIUM PSEUDOPTERIGIUM
1.Lokasi Konjungtiva nasal atau temporal Semua sisi konjungtiva

2.Stadium Bisa progresif atau stasioner Selalu stasioner

3.Riwayat penyakit Ulkus kornea(-) Ulkus kornea (+)


mata
4.Usia Sering pada orang tua Dapat terjadi pada semua
umur
5.Etiologi Proses degenerasi Proses inflamasi

2 Pinguekula
Pinguekula merupakan penebalan pada konjungtiva bulbi berbentuk
segitiga dengan puncak di perifer dasar di limbus kornea, berwarna kuning
keabu-abuan dan terletak di celah kelopak mata. Timbul akibat iritasi oleh angin,
debu dan sinar matahari yang berlebihan. Biasanya pada orang dewasa yang
berumur kurang lebih 20 tahun.1

12
Gb. 6. Pinguekula
(Sumber: www.google.com)

Secara histopatologik ditemukan epitel tipis dan gepeng, sering terdapat


hanya dua lapis sel. Lapisan subepitel tipis. Serat-serat kolagen stroma
berdegenerasi hialin yang amorf kadang-kadang terdapat penimbunan serat-serat
yang terputus-putus. Dapat terlihat penimbunan kalsium pada lapisan
permukaan. Pembuluh darah tidak masuk ke dalam Pinguekula akan tetapi bila
meradang atau terjadi iritasi, maka sekitar bercak degenerasi ini akan terlihat
pembuluh darah yang melebar. Tidak ada pengobatan yang khas, tetapi bila
terdapat gangguan kosmetik dapat dilakukan pembedahan pengangkatan. 1

G. Penatalaksanaan Pterigium
1. Non Farmakologi
Secara teoritis, memperkecil terpapar radiasi ultraviolet untuk
mengurangi resiko berkembangnya pterygia pada individu yang
mempunyai resiko lebih tinggi. Pasien di sarankan untuk menggunakan
topi yang memiliki pinggiran, sebagai tambahan terhadap radiasi
ultraviolet sebaiknya menggunakan kacamata pelindung dari cahaya
matahari. Tindakan pencegahan ini bahkan lebih penting untuk pasien
yang tinggal di daerah subtropis atau tropis, atau pada pasien yang
memiliki aktifitas di luar, dengan suatu resiko tinggi terhadap cahaya
ultraviolet (misalnya, memancing, ski, berkebun, pekerja bangunan).

13
Untuk mencegah berulangnya pterigium, sebaiknya para pekerja lapangan
menggunakan kacamata atau topi pelindung.
2. Farmakologi
Pada pterigium yang ringan tidak perlu di obati. Untuk pterigium
derajat 1-2 yang mengalami inflamasi, pasien dapat diberikan obat tetes
mata kombinasi antibiotik dan steroid 3 kali sehari selama 5-7 hari.
Diperhatikan juga bahwa penggunaan kortikosteroid tidak dibenarkan
pada penderita dengan tekanan intraokular tinggi atau mengalami
kelainan pada kornea.
3. Bedah
Pada pterigium derajat 3-4 dilakukan tindakan bedah berupa avulsi
pterigium. Sedapat mungkin setelah avulsi pterigium maka bagian
konjungtiva bekas pterigium tersebut ditutupi dengan cangkok
konjungtiva yang diambil dari konjugntiva bagian superior untuk
menurunkan angka kekambuhan. Tujuan utama pengangkatan pterigium
yaitu memberikan hasil yang baik secara kosmetik, mengupayakan
komplikasi seminimal mngkin, angka kekambuhan yang rendah.
Penggunaan Mitomycin C (MMC) sebaiknya hanya pada kasus pterigium
yang rekuren, mengingat komplikasi dari pemakaian MMC juga cukup
berat.
1. Indikasi Operasi
 Pterigium yang menjalar ke kornea sampai lebih 3 mm dari limbus
 Pterigium mencapai jarak lebih dari separuh antara limbus dan
tepi pupil
 Pterigium yang sering memberikan keluhan mata merah, berair
dan silau karena astigmatismus
 Kosmetik, terutama untuk penderita wanita.6

2. Teknik Pembedahan
Tantangan utama dari terapi pembedahan pterigium adalah
kekambuhan, dibuktikan dengan pertumbuhan fibrovascular di

14
limbus ke kornea. Banyak teknik bedah telah digunakan, meskipun
tidak ada yang diterima secara universal karena tingkat
kekambuhan yang variabel. Terlepas dari teknik yang digunakan,
eksisi pterigium adalah langkah pertama untuk perbaikan. Banyak
dokter mata lebih memilih untuk memisahkan ujung pterigium
dari kornea yang mendasarinya. Keuntungan termasuk epithelisasi
yang lebih cepat, jaringan parut yang minimal dan halus dari
permukaan kornea.1
 Teknik Bare Sclera
Melibatkan eksisi kepala dan tubuh pterygium, sementara
memungkinkan sclera untuk epitelisasi. Tingkat kekambuhan
tinggi, antara 24 persen dan 89 persen, telah didokumentasikan
dalam berbagai laporan.1
 Teknik Autograft Konjungtiva
Memiliki tingkat kekambuhan dilaporkan serendah 2 persen
dan setinggi 40 persen pada beberapa studi prospektif. Prosedur
ini melibatkan pengambilan autograft, biasanya dari konjungtiva
bulbar superotemporal, dan dijahit di atas sclera yang telah di
eksisi pterygium tersebut. Komplikasi jarang terjadi, dan untuk
hasil yang optimal ditekankan pentingnya pembedahan secara
hati-hati jaringan Tenon's dari graft konjungtiva dan penerima,
manipulasi minimal jaringan dan orientasi akurat dari graft
tersebut. Lawrence W. Hirst, MBBS, dari Australia mereko-
mendasikan menggunakan sayatan besar untuk eksisi pterygium
dan telah dilaporkan angka kekambuhan sangat rendah dengan
teknik ini.1

15
(a) Pterygium
(b) Pterygium diangkat
(c) daerah yang diangkat
(d) Konjungtiva di daerah
yang tidak terkena sinar UV
(misal dibawah palpebra
superior) diangkat
(e) konjungtiva tersebut
ditransplant

Gb. 7. Teknik Autograft Konjungtiva


(Sumber: www.google.com)

 Cangkok Membran Amnion


Mencangkok membran amnion juga telah digunakan untuk
mencegah kekambuhan pterigium. Meskipun keuntungkan dari
penggunaan membran amnion ini belum teridentifikasi, sebagian
besar peneliti telah menyatakan bahwa itu adalah membran
amnion berisi faktor penting untuk menghambat peradangan dan
fibrosis dan epithelialisai. Sayangnya, tingkat kekambuhan sangat
beragam pada studi yang ada, diantara 2,6 persen dan 10,7 persen
untuk pterygia primer dan setinggi 37,5 persen untuk kekambuhan
pterygium. Sebuah keuntungan dari teknik ini selama autograft
konjungtiva adalah pelestarian bulbar konjungtiva.
Membran Amnion biasanya ditempatkan di atas sklera, dengan
membran basal menghadap ke atas dan stroma menghadap ke
bawah. Beberapa studi terbaru telah menganjurkan penggunaan
lem fibrin untuk membantu cangkok membran amnion menempel
jaringan episcleral dibawahnya. Lem fibrin juga telah digunakan
dalam autografts konjungtiva.1
4. Terapi Tambahan

16
Tingkat kekambuhan tinggi yang terkait dengan operasi terus menjadi
masalah, dan terapi medis demikian terapi tambahan telah dimasukkan
ke dalam pengelolaan pterigium. Studi telah menunjukkan bahwa tingkat
rekurensi telah jatuh cukup dengan penambahan terapi ini, namun ada
komplikasi dari terapi tersebut.1
MMC telah digunakan sebagai pengobatan tambahan karena
kemampuannya untuk menghambat fibroblas. Efeknya mirip dengan
iradiasi beta. Namun, dosis minimal yang aman dan efektif belum
ditentukan. Dua bentuk MMC saat ini digunakan: aplikasi intraoperative
MMC langsung ke sclera setelah eksisi pterygium, dan penggunaan obat
tetes mata MMC topikal setelah operasi. Beberapa penelitian sekarang
menganjurkan penggunaan MMC hanya intraoperatif untuk mengurangi
toksisitas.1
Beta iradiasi juga telah digunakan untuk mencegah kekambuhan,
karena menghambat mitosis pada sel-sel dengan cepat dari pterygium,
meskipun tidak ada data yang jelas dari angka kekambuhan yang
tersedia. Namun, efek buruk dari radiasi termasuk nekrosis scleral,
endophthalmitis dan pembentukan katarak, dan ini telah mendorong
dokter untuk tidak merekomendasikan terhadap penggunaannya.1
Untuk mencegah terjadi kekambuhan setelah operasi,
dikombinasikan dengan pemberian:
1. Mitomycin C 0,02% tetes mata (sitostatika) 2x1 tetes/hari selama 5
hari, bersamaan dengan pemberian dexamethasone 0,1% : 4x1
tetes/hari kemudian tappering off sampai 6 minggu.
2. Mitomycin C 0,04% (o,4 mg/ml) : 4x1 tetes/hari selama 14 hari,
diberikan bersamaan dengan salep mata dexamethasone.
3. Sinar Beta
4. Topikal Thiotepa (triethylene thiophosphasmide) tetes mata: 1
tetes/ 3 jam selama 6 minggu, diberikan bersamaan dengan salep
antibiotik Chloramphenicol, dan steroid selama 1 minggu. 6

17
H. Komplikasi Pterigium
1. Komplikasi dari pterigium meliputi sebagai berikut:
- Gangguan penglihatan
- Mata kemerahan
- Iritasi
- Gangguan pergerakan bola mata.
- Timbul jaringan parut kronis dari konjungtiva dan kornea
- Dry Eye sindrom 3
2. Komplikasi post-operatif bisa sebagai berikut:
- Infeksi
- Ulkus kornea
- Graft konjungtiva yang terbuka
- Diplopia
- Adanya jaringan parut di kornea 3

I. Pencegahan dan Prognosa Pterigium


Pada penduduk di daerah tropik yang bekerja di luar rumah seperti
nelayan, petani yang banyak kontak dengan debu dan sinar ultraviolet
dianjurkan memakai kacamata pelindung sinar matahari.6
Penglihatan dan kosmetik pasien setelah dieksisi adalah baik, rasa tidak
nyaman pada hari pertama postoperasi dapat ditoleransi, kebanyakan
pasien setelah 48 jam post operasi dapat beraktivitas kembali.6
Rekurensi pterygium setelah operasi masih merupakan suatu masalah
sehingga untuk mengatasinya berbagai metode dilakukan termasuk
pengobatan dengan antimetabolit atau antineoplasia ataupun
transplantasi dengan konjungtiva. Pasien dengan rekuren pterygium dapat
dilakukan eksisi ulang dan graft dengan konjungtiva autograft atau
transplantasi membran amnion. Umumnya rekurensi terjadi pada 3 – 6
bulan pertama setelah operasi.6
Pasien dengan resiko tinggi timbulnya pterygium seperti riwayat
keluarga atau karena terpapar sinar matahari yang lama dianjurkan
memakai kacamata sunblock dan mengurangi terpapar sinar matahari.

18
PENUTUP
Kesimpulan

Pterygium merupakan gangguan pada bola mata yang diakibatkan oleh terlalu
lama atau sering terpapar matahari, debu, dan udara panas. Pterygium terkadang
dapat menimbulkan gejala seperti mata iritasi, merah, atau gangguan
penglihatan. Pterygium ditangani sesuai dengan derajat perkembangannya.
Dapat diobati ataupun dioperasi. Pencegahan pterygium dilakukan dengan
menghindari kontak langsung mata dengan faktor penyebab, seperti
menggunakan kacamata hitam untuk beraktivitas pada siang hari di luar rumah.


DAFTAR PUSTAKA

1. Ilyas S. Ilmu Penyakit Mata. Edisi 3. Jakarta : Balai Penerbit FKUI ; 2007.
2. Vaughan G, Daniel et al. Konjungtiva dalam Opthalmologi Umum ed 14.
Widya Medika. Jakarta. 2000.
3. Gazzard G, Pterygium in Indonesia : prevalence, severity and risk factors.
Br. J Ophtalmol. 2002. P 1341-46.
4. Mangindaan IAN, Bustani NM. Insiden pterigium di desa bahoi dan serei di
pesisir pantai minahasa utara, 2005.
5. American Academy Of Ophthalmology. 2005-2006. Base and Clinical
Science Course ,section 8, External Disease and Corne. P:344,403.
6. Khurana A.K. 2007. Community Ophthalmology in Comprehensive
Ophthalmology. Fourth Edition. Chapter 20. New Delhi. New Age
international Limited Publisher.P: 443-457.
7. T H Tan Donald et All. 2005. Pterigium.Clinical Ophthalmology. An Asian
Perspective Chapter 3.2. Saunder Elsevier.Singapore. P: 207-214.
8. Vaughan G, Daniel et al. Konjungtiva dalam Opthalmologi Umum ed 14.
Widya Medika. Jakarta. 2000.
9. D. Gondhowiardjo Tjahjono, Simanjuntak W.S Gilbert, 2006, Pterigium,
Panduan Management Klinis Perdani, CV Ondo, Jakarta, P: 56-58.

19

Anda mungkin juga menyukai