Lapkas Bab I-Ii-Iii Gabungan
Lapkas Bab I-Ii-Iii Gabungan
PENDAHULUAN
Jejas hati imbas obat (drug induced liver injury, DILI) atau hepatotoksisitas imbas obat
merupakan jejas hati yang disebabkan oleh pajanan terhadap obat atau agen non infeksius. Jejas
yang ditimbulkan oleh obat bervariasi, mulai dari tidak bergejala, ringan, hingga gagal hati akut
yang mngencam nyawa.
Perkenbangan dunia kedokteran yang diwarnai dengan makin banyaknya jenis obat,
meningkatkan harapan kesembuhan dari berbagai penyakit. Akan tetapi perkembangan ini juga
membawa dampak tersendiri, seperti makin meningkatnya risiko dan angka kejadian efek
samping obat. Meskipun efek samping obat dapat terjadi pada semua system organ tubuh, hati
merupakan organ yang paling rentan karena sebagian besar obat menjalani metabolism parsial
maupun komplet serta eliminasi oleh hati.
Berbagai survey di dunia menunjukkan bahwa frekuensi DILI sebagai penyebab penyakit
hati akut maupun kronik relative rendah. Insiden hepatotoksisitas imbas obat di laporkan sebesar
1 : 10.000 sampai 1 : 100.000 pasien. Meskipun demikian insidensi DILI yang sebenarnya sulit
diketahui. Jumlah actual dapat jauh lebih besar karena system pelaporan yang belum memadai,
kesulitan mendeteksi atau mendiagnosis, dan kurangnya observasi terhadap pasien-pasien yang
mengalami DILI.
Kombinasi obat anti TB (OAT), efektif untuk mengatasi TB, namun penggunaannya
berhubungan dengan risiko jejas hati imbas obat yang merupakan salah satu masalah yang
memiliki tantangan diagnosis tersendiri. DILI dapat menyerupai hapir semua jenis penyakit hati.
Salah satu obat dari sekian banyak obat yang dapat dan sering menyebabkan DILI adalah
OAT. OAT lini pertama yang berhubungan dengan DILI seperti rifampisin dan pirazinamid,
DILI akibat OAT ini merupakan reaksi efek samping yang telh diketahui secara luas dan tejadi
sekitar 5-33% pasien.
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2
Fungsi hati dapat dilihat sebagai suatu kesatuan organ maupun fungsi dari sel-sel
penyusunnya, yaitu antara lain:7
a. Fungsi hati sebagai organ
1) Ikut mengatur keseimbangan cairan dan elekterolit karena semua cairan dan garam akan
melewati hati sebelum ke jaringan ekstraseluler lainnya,
2) Hati bersifat sebagai spons akan ikut mengatur volume darah, misalnya pada
dekompensasio kordis kanan maka hati akan membesar,
3) Sebagai alat saringan (filter) nutrien dan berbagai macam substansia yang telah diserap
oleh intestine akan dialirkan ke organ melalui sistema portal.
b. Fungsi dari sel-serl hati dapat dibagi
1) Fungsi Sel Epitel di antaranya ialah:
a) Sebagai pusat metabolisme di antaranya metabolisme hidrat, karbon, protein, lemak dan
empedu,
b) Sebagai alat penyimpan vitamin dan bahan makanan hasil metabolisme.
c) Sebagai alat sekresi glukosa, protein, faktor koagulasi, enzim dan empedu,
d) Proses detoksifikasi, dimana berbagai macam toksik baik eksogen maupun endogen
yang masuk ke badan akan mengalami detoksifikasi dengan cara oksidasi, reduksi,
hidrolisa atau konjugasi.
2) Fungsi sel kupfer sebagai sel endotel mempunyai fungsi sebagai sistem retikulo
endothelial, yaitu menguraikan Hb menjadi bilirubin, membentuk a-globulin dan immune
bodies dansebagai alat fagositosis terhadap bakteri dan elemen puskuler atau
makromolekuler.
3
Hati memetabolisme hampir setiap obat atau racun yang masuk ke dalam tubuh. Sebagian
besar obat bersifat lipofilik sehingga mampu menembus membran sel intestinal. Kemudian obat
di ubah menjadi hidrofilik melalui proses biokimiawi dalam hepatosit, sehingga lebih larut air
dan diekskresi dalam urin atau empedu. Biotransformasi hepatic ini melibatkan jalur oksidatif
terutama melalui system enzim sitokrom P-450.Metabolisme obat terjadi dalam 2 fase. Pada fase
pertama, terjadi reaksi oksidasi atau hidroksilasi. Semua obat tidak mungkin menjalani langkah
ini, dan beberapa dapat langsung menjalani fase kedua.
Sitokrom P-450 mengkatalisis reaksi pada fase pertama (terletak dalam retikulum
endoplasma halus hati). Sebagian besar produk bersifat sementara dan sangat reaktif. Reaksi ini
dapat mengakibatkan pembentukan metabolit yang jauh lebih beracun daripada substrat induk
dan dapat mengakibatkan luka pada hati. Sebagai contoh, metabolit acetaminophen, N-asetil-p-
benzoquinon-imina (NAPQI), bersifat toksik apalagi jika dikonsumsi dengan dosis tinggi.
NAPQI bertanggung jawab atas luka pada hati dalam kasus keracunan.
Setidaknya 50 enzim telah diidentifikasi, dan berdasarkan struktur, mereka dikategorikan ke
dalam 10 kelompok, dengan kelompok 1, 2, dan 3 menjadi yang paling penting dalam
metabolisme obat. Sitokrom P-450 dapat memetabolisme banyak obat. Obat dapat mengalami
biotransformasi kompetitif dan menghambat satu sama lain, sehingga terjadi interaksi obat.
Beberapa obat dapat menginduksi dan menghambat Sitokrom P-450 enzim.Fase kedua dapat
terjadi baik di dalam ataupun di luar hati. Terjadi reaksi konjugasi dengan bagian (yaitu, asetat,
asam amino, sulfat, glutathione, asam glukuronat) sehingga akan meningkatkan kelarutan obat.
Selanjutnya, obat dengan berat molekul tinggi akan dikeluarkan dalam empedu, sementara ginjal
mengeluarkan obat dengan molekul yang lebih kecil. Obat yang menginduksi dan menghambat
sitokrom P-450 enzim adalah sebagai berikut:
Inducers
o Phenobarbital
o Phenytoin
o Carbamazepine
o Primidone
o Ethanol
o Glucocorticoids
o Rifampin
4
o Griseofulvin
o Quinine
o Omeprazole - Induces P-450 1A2
Inhibitors
o Amiodarone
o Cimetidine
o Erythromycin
o Grape fruit
o Isoniazid
o Ketoconazole
Sebagian besar obat memasuki saluran cerna, dan hati sebagai organ diantara permukaan
absorptif dari saluran cerna dan organ target obat dimana hati berperan penting dalam
metabolisme obat. Sehingga hati rawan mengalami cedera akibat bahan kimia terapeutik.
Hepatotoksisitas imbas obat merupakan komplikasi potensial yang hampir selalu ada pada setiap
obat. Walaupun kejadian jejas hati jarang terjadi, tapi efek yang ditimbulkan bisa fatal. Reaksi
tersebut sebagian besar idiosinkratik pada dosis terapeutik yang dianjurkan, dari 1 tiap 1000
pasien sampai 1 tiap 100.000 pasien dengan pola yang konsisten untuk setiap obat dan untuk
setiap golongan obat. Sebagian lagi tergantung dosis obat. Hepatoksisitas imbas obat merupakan
alasan paling sering penarikan obat dari pasaran di Amerika Serikat dan di dalamnya termasuk
lebih dari 50 persen kasus gagal hati akut.
5
2.2.4 Mekanisme Hepatotoksisitas
Mekanisme jejas hati imbas obat yang mempengaruhi protein-protein transport pada
membran kanalikuli dapat terjadi melalui mekanisme apoptosis hepatosit imbas empedu. Terjadi
penumpukan asam-asam empedu di dalam hati karena gangguan transport pada kanalikuli yang
meghasilkan translokasi fassitoplasmik ke membrane plasma, dimana reseptor ini mengalami
pengelompokan sendiri dan memicu kematian sel melalui apoptosis. Di samping itu banyak
reaksi hepatoseluler melibatkan system sitokrom P-450 yang mengandung heme dan
menghasilkan reaksi-reaksi energy tinggi yang dapat membuat ikatan kovalen obat dengan
enzim, sehingga menghasilkan ikatan baru yang tak punya peran. Kompleks obat-enzim ini
bermigrasi ke permukaan sel di dalam vesikel-vesikel untuk berperan sebagai imunogen-
imunogen sasaran serangan sitolitim ke sel T, merangsang respon imun multifaset yang
melibatkan sel-sel T sitotoksik dan bebagai sitokin. Obat-obat tertentu menghambat fungsi
mitokondria dengan efek ganda pada beta-oksidasi dan enzim-enzim rantai respirasi. Metabolit-
metabolit toksis yang dikeluarkan dalam empedu dapat merusak epitel saluran empedu. Cedera
pada hepatosit dapat terjadi akibat toksisitas langsung, terjadi melalui konversi xenobiotik
menjadi toksin aktif oleh hati, atau ditimbulkan oleh mekanisme imunologik (biasanya oleh obat
atau metabolitnya berlaku sebagai hapten untuk mengubah protein sel menjadi immunogen).
Reaksi obat diklasifikasikan sebagai reaksi yang dapat diduga (intrinsic) dan yang tidak
dapat diduga (idiosinkratik).Reaksi Intrinsik terjadi pada semua orang yang mengalami
akumulasi obat pada jumlah tertentu. Reaksi idiosinkratik tergantung pada idiosinkrasi pejamu
(terutama pasien yang menghasilkan respon imun terhadap antigen, dan kecepatan pejamu
memetabolisme penyebab).
7
Gambar 3.1 Metabolisme Isoniazid
Isoniazid sebagian kecil secara langsung dihidrolisis menjadi asam isokotinat dan
hidrazin Penelitian terbaru menyatakan bahwa hidrazin kemunkinan besar menjadi penyebab
hepatotoksisitas. Toksisitas hidrazin diketahui dapat menyebabkan kematian sel yang
irreversible. Kerusakan hati yang terjadi dapat menjadi progresif dan menyebabkan hepatitis
fatal pada beberapa pasien.
2. Rifampisin
Rifampisin adalah antbiotik derivate rifamisin dihasilkan oleh Steptomyces mediterranei
terutama digunakan sebagai obat antituberkulosis. Kadar puncak adalam plasma tercapai setelah
2-4 jam setelah pemberian rifamisin per oral. Rifampisin setelah diserap dari saluran cerna cepat
diekskresi melalui empedu dan kemudian mengalami sirkulasi enterohepatik. Obat ini cepat
mengalami deasetilasi sehingga dalam waktu 6 jam hampir semua obat yang berada dalam
empedu berbentuk diasetil rifampisin yng mempunyai aktiitas antibakteri penuh. Waktu paruh
eliminasi rifampisin bervariasi antara 1,5-5 jam dan memanjang bila ada kelainan fungsi hati.
Penderita tuberculosis mengalami efek toksik kurang dari 4% dengan pemberian dosis biasa.
Efek samping yang paling sering muncul adalah ruam kulit, demam, mual dan muntah.
8
Jalur utama metabolisme rifampisin adalah deasetilasi menjadi deasetil rifampisin dan
secra terpisah terhidrolisis menghasilkan rifampisin 3-formil. Rifampisin juga dapat
menyebabkan disfunngsi hepatoselular pada awal pengobatan yang sembuh tanpa penghentian
obat. Mekanisme rifampisin induced hepatotoxicity tidak diketahui secra jelas karena tidak ada
bukti pasti keberadaan metabolit toksik.
Rifampisin mengaktifkan hepatocyte pregnane X-receptors, menyebabkan induksi
sitokrom. Rifampicin juga menginduksi urine diphosphate-glucoronocyl-transferase dan
transport P-glycoprotein yang terlibat dalam metabolisme obat lain.rifmpisin adalah penginduksi
kuat sistem sitokrom P-450 hepatik pada hati dan usus sehingga meningkatkan metabolisme
banyak senyawa lain.
Penggunaan kombinasi rifampisin dan isoniazid dihubungkan dengan peningkatan resiko
hepatotoksisitas. Rifampisin menginduksi isoniazid hidrolase sehingga plasma half life acetyl
isoniazid diperpendek dan berubah cepat menjadi metabolit aktif. Produksi hidrazin akan lebih
banyak dan lebih cepat ketika rifampisisn dikombinasikan dengan isoniazid (terutama pada
asetilator lambat), maka toksisitas yang terjadi akan lebih tinggi. Pajanan hidrazin menyebabkan
pengurangan adenoside triphosphate (ATP), menghambat enzim mitokondrial succinate
dehydrogenase yang mengurangi fungsi mitokondria. Hidrazin akan menyebabkan toksisitas
dengan terlibat dalam sejumlah proses metabolic seperti glukoneogenesis dan gluthamine
synthetase. Metabolisme hidrazin diperkirakan meliputi produksi radikal bebas yang
menginduksi toksisitas elular baik oleh ikatan kovalen pada mkromolekul jaringan atau dengan
menginisiasi proses autooksidatif seperti peroksidasi lipid in vivo.
3. Pirazinamid
Pirazinamid merupakan turunan asam nikotinik, yang dideamidaasi menjadi pyrazonic
acid di dalam hati dan sebagian deimetabolisme menjadi 5-hidroxy-pyrazinoic acid oleh xantine
oxidase, aldehyde oxidase, dan xanthine dehydrogenase. 5-hidroxy-pyrazinoic acid mungkin
dibentuk selama metabolisme pirazinamid. Pirazinamid mudah diserap di usus dan tersebar luas
ke seluruh tubuh. Waktu paruh pirazinamid lebih panjang dibandingkan isoniazid dan rifampisin
yaitu mendekati 10 jam.pada pasien dengan penyakit hati, waktu paruh meningkat menjadi 15
jam. Ekskresi pirazinamid terutama melalui filtrasi glomelurus. Pyrazinoic acid aktif mengalami
hidroksilasi menjadi hidroxirazinoic acid yang sebagai metabolit utama. Ginjal akan
9
membersihkan metabolit pirazinamid, tetapi pada pasien insufisiensi renal dibutuhan intermittent
dosing.
Hepatotoksisitas yang terjadi akibat efek samping pirazinamid tergantung pada dosis dan
bisa terjadi setiap saat selama terapi. Mekanisme toksisitas karena pirazinamid belum jelas.
Pirazinamid menghambat aktivitas beberapa isoenzim sitokrom P-450. Penelitian pada tikus
menunjukkan Pirazinamid menurunkan kadar niocotinamide acetyl dehydrogenase pada hati
tikus, hal ini mungkin mengahsilkan radikal bebas yang diduga berperan dalam mekanisme
hepatotoksik pada isoniazid dan pirazinamid.
4. Etambutol
Etambutol diserap kedalam saluran pencernaan sebanyak 70-80% pada pemberian secara
per oral. Kadar puncak dalam plasma dicapai dalam waktu 2-4 jam setelah pemberian. Waktu
paruh eliminasi 3-4 jam. Lima puluh persen etambutol yang dikonsumsi, diekskresi dalam
bentuk awal memlaui urin, sepuluh persen sebagai metabolit, berupa derivate aldehid dan asam
karboksilat dalam waktu 244 jam.
Etambutol dilaporkan tidak memiliki efek hepatotoksik. Tes fungsi hati abnormal telah
dilaporkan pada beberapa pasien yang menggunakan etambutol dikommbinasikan denag OAT
lain. Kombinasi ini yang menyebabkan hepatotoksisitas.
Etambutol jarang menimbulkan efek samping. Dosis harian sebesar 15 mg/kg/BB/hari
menimbulkan efek toksik yang minimal. Dosis ini kurang dari 2% penderita akan mengalami
efek samping yaitu penurunan ketajaman penglihatan, ruam kulit dan demam.
5. Streptomisin
Waktu paruh stretomisin pada orang dewasa normal selam 2-3 jam dan dapat memanjang
pada penderita gagal ginjal. Hampir semua streptomisin berada dalam plasma setelah diserap
dari tempat penyuntikan. Streptomisin diekskresi melalui filtrasi glomelurus. Sekitar 50-60%
dosis streptomisisn yang diberikan secara parenteral diekskresikan dalama bentuk utuh dalam
waktu 24 jam perrtama. Ototoksisitas lebih sering terjadi pada penderita yang mengkonsumsi
streptomisin dan jarang dilaporkan adanya efek hepatotoksisitas.
10
2.2.7 Gambaran Klinis
Gambaran klinis hepatoksisitas imbas obat sulit dibedakan secara klinis dengan penyakit
hepatitis atau kolesatsis dengan etiologi lain. Riwayat pemakaian obat-obat atau substansi-
substansi hepatotoksiklain harus dapat diungkap.
Cedera hati mungkin timbul atau memerlukan waktu beberapa minggu dan bulan, dan
dapat berupa nekrosis hepatosit, kolestasis, disfungsi hati. Gambaran klinis pada hepatitis kronis
akibat virus atau autoimun, tidak dapat dibedakan dengan hepatitis kronis akibat obat, baik
secara klinis maupun histologist, sehingga pemeriksaan serologis virus sering dipakai untuk
mengetahui perbedaannya.
Beberapa International Consensus Criteria, maka diagnosis hepatotoksisitas imbas obat
berdasarkan :
1. Waktu dari mulai minum obat dan penghentian obat sampai awitan reaksi nyata adalah
sugestif (5-90 hari dari awal minum obat) atau kompatibel (kurang dari 5 hari atau lebih
dari 90 hari sejak mulai minum obat dan tidak lebih dari 15 hari dari penghentian obat
untuk reaksi hepatoseluler dan tidak lebih dari 30 hari dari penghentian obat dan tidak
lebih dari 15 hari dari penghentian obat.
2. Perjalanan reaksi sesudah penghentian obat adalah sangat sugestif (penurunan enzim hati
paling tidak 50% dari konsentrasi di atas batas atas normal dalam 8 hari) atau sugestif
(pemurunan konsentrasi enzim hati paling tidak 50% dalam 30 hari untuk reaksi
hepatoseluler dan 180 hari untuk reaksi kolestatik) dari reaksi obat.
3. Alternatif sebab lain dari reaksi telah diekslusi dengan pemeriksaan teliti, termasuk
biopsy hati pada tiap kasus
4. Dijumpai respon positif pada pemeriksaan ulang dengan obat yang sama paling tidak
kenaikan dua kali lipat enzim hati
Dikatakan reaksi drug related jika semua tiga kriteria pertama terpenuhi atau jika dua
dari tiga kriteria pertama terpenuhi dengan respon positif pada pemaparan ulang obat.
Mengidentifikasikan reaksi obat dengan pasti adalah hal yang sulit, tetapi kemungkinan
sekecil apapun adanya reaksi terhadap obat harus dipertimbangkan pada setiap pasien dengan
disfungsi hati. Riwayat pemakaian obat harus diungkap dengan seksama termasuk di dalamnya
obat herbal atau obat alternative lainnya. Obat harus selalu menjadi diagnosis banding pada
setiap abnormalitas tes fungsi hati dan/atau histologi. Keterlambatan penghentian obat yang
11
menjadi penyebab berhubungan dengan risiko tinggi kerusakan hati persisten. Bukti bahwa
pasien tidak sakit sebelum minum obat, menjadi sakit selama minum obat tersebut dan membaik
secara nyata setelah penghentian obat merupakan hal essensial dalam diagnosis hepatotoksisitas
imbas obat.
Awitan umumnya cepat, gejalanya dapat berupa malaise, ikterus, gagal hati akut terutama
jika masih meminum obat setelah awitan hepatotoksisitas. Apabila jejas hepatosist lebih dominan
maka konsentrasi aminotransferas dapat meningkat hingga paling tidak lima kali batas atas
normal, sedangkan kenaikan alkali fosfatase dan bilirubin menonjol pada kolestasi. Mayoritas
reaksi obat idiosinkratik melibatkan kerusakan hepatosit seluruh lobul hepatic dengan derajat
nekrosis dan apoptosis bervariasi. Pada kasus ini gejala hepatitis biasanya muncul dalam
beberapa hari atau minggu sejak minum obat dan mungkin terus berkembang bahkan sesudah
obat penyebab dihentikan pemakaiannya.
Beberapa obat menunjukkan reaksi alergi yang menonjol, seperti fenitoin yang
berhubungan dengan demam, limfadenopati, rash, dan jejas hepatosit yang berat. Pemenuhan
reaksi imunoalergik umumnya lambat sehingga diduga allergen tetap bertahan di hepatosit
selama berminggu-minggu bahkan berbulan-bulan. Overdosis asetaminofen (lebih dari 4 gram
per 24 jam) merupakan contoh hepatoksisitas obat yang tergantung dosis (dose dependent) yang
dengan cepat menyebabkan jejas hepatosit terutama area sentrilobular. Konsentrasi
aminotransferase biaanya sangat tinggi, melebihi 3500 IU/L.
2.2.9 Tatalaksana
Tata laksana DILI yang paling penting adalah segera menghentikan obat yang dicurigai
sebagai penyebab. Pada sebagian besar kasus, jejas hati akan menyembuh sendiri setelah obat
dihentikan. Akan tetapi, apabila DILI bermanifestasi sebagai hepatitis autoimun dan
penyembuhan tidak terjadi dengan penghentian obat, kortikosteroid sering digunakan sebagai
terapi meskipun bukti ilmiahnya masih controversial.
2.2.10 Prognosis
Prognosis DILI sangat bervariasi tergantung keadaan klinik pasien ditentukan oleh dan
tingkat kerusakan hati.
14
BAB III
LAPORAN KASUS
1.2 ANAMNESIS
Keluhan Utama
BAB berdarah
Pasien datang dengan keluhan BAB berdarah dalam semingggu terakhir ini. BAB bewarna
kemerahan, Riwayat BAB hitam (+), riwayat minum obat anti nyeri (+) tetapi tidak sering.
Muntah hitam (+), riwayat tranfusi sebelumnya (+).
Pasien mengeluhkan cepat lelah dan mudah sesak nafas. Riwayat berobat jantung 4 bulan
yang lalu. Riwayat merokok 3 bungkus perhari. Paisen juga mengeluhkan batuk berdahak, ada
keringat malam, dan penurunan berat badan. Pasien sudah didiagnosis menderita TB Paru dan
dalam pengobatan OAT.
Perut kembung, dan mualmuntah juga dikeluhkan pasien. Muntah mengeluarkan apa yang
dimakan dengan frekuensi 3-4 kali volume ± 65 cc, muntah hitam (+).
15
Riwayat Penyakit Keluarga:
Tidak ada
Cor :
Batas-batas jantung :
Atas : ICS III linea midklavikula kiri
Perkusi Kanan : ICS IV linea parasternalis kanan
Kiri : ICS V linea aksilaris anterior kiri
17
Abdomen :
Ekstremitas :
1. EkstremitasAtas
Warna : sawo matang Jaritabuh : (-)
Edema : (-/-) Tremor : (-)
Sendi : nyeri (-/-) Deformitas : (-/-)
Suhu raba :N/N Kekuatan : 5/5
Pucat : (+/+) atrofi hipotenar : -
Eritemapalmar : - Atrofi tenar :-
2. Ekstremitas bawah
Warna : sawo matang Jaritabuh : (-)
Edema : (-/-) Tremor : (-)
Sendi : nyeri (-/-) Deformitas : (-/-)
Suhu raba :N/N Kekuatan : 5/5
Pucat : (+/+)
18
1.4. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Laboratorium (5 Mei 2017)
DarahRutin
Hb 11,5 gr/dl 14-17 gr/dl
Ht 34 % 45-55 %
Leukosit 9,8 /mm3 4.500-10.500/mm3
Eritrosit 3,9 x 106 /µL 4,7-6,1 jt/ µL
Trombosit 106.000 / mm3 150.000-450.000/mm3
MCV 86fL 80-100 fL
MCH 29pg 27-31 pg
MCHC 34 % 32-36 %
RDW 15,2 % 11,5-14,5 %
PDW 9,4fL
MPV 10,0fL 7,2-11,1 fL
HitungJenis
Eosinofil 1% 0-6 %
Basofil 0% 0-2 %
NetrofilBatang 0% 2-6%
Netrofilsegmen 61 % 50-70 %
Limfosit 24 % 20-40 %
Monosit 14 % 2-8 %
Kimia Klinik
Hati&Empedu
19
Bilirubin Indirect 5,3 mg/dL
Elektrolit
Ginjal-Hipertensi
Kimia klinik
AST/SGOT 43 U/L <35
ALT/SGPT 21 U/L <45
7Ginjal-Hipertensi
20
3. EKG (5 Mei 2017)
1.5 ASSESSMENT
21
Ass/
1.6 TERAPI
Bed rest
Diet hati III
IVFD RL 20 gtt/menit
IV Ceftriaxon 2gr/24jam
Combiven 1 fls/8jam
Fuluicyl 3x1cth
Valsartan 1x80 mg
1.7 PLANNING
Foto thorax
22
HbSAg
CT-BT
urinalisa
1.8 PROGNOSIS
Quo ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad fuctionam : dubia ad malam
Quo ad sanactionam : dubia ad malam
04/05/2017 S/ Th/
- muntahdarah - Bedrest
- riwayat BAB berdarah 1 hari - Diet Hati II
yang lalu - IVFD RL 20 gtt/i
- nafsu makanberkurang - IVMeropenenm 1 gr/8jam
- IV Omeprazole 40 mg/12
jam
- IV Asamtranexamat
O/ 500mg/8jam
- IV Vit K/8 jam
Kes : apatis
- Curcuma 3x1
TD : 110/80 mmHg
N : 104x/i
RR : 22x/i P/
23
- PT/APTT
- Ro thorax
Ass/
- BNO 3 posisi
1. Penurunan kesadaran ec dd/ - Konsul GEH
1.Sepsis berat - Konsul geriatric
2.HE - SGOT/SGPT/bilirubin
3.Meningitis TB total/bilirubin
2. dd/ 1.TB paru dengan DILI direct/bilirubin indirect
2.HAP
3.Bronkitis akut
3. akut abdomen ecdd/
1. DILI
2. Hepatitis fulminant
3. Acute on injury liver
4. icterus ec dd/
1. DILI
2. Hepatitis fulminan
3. Acute on liver injury
5. AKI stage II dd/ hepatorenal
syndrome
05/05/2017 S/ Th/
24
RR : 22x/i - Curcuma 3x1
T : 37oC
P/
Ass/
- BNO 3 posisi
4. Penurunan kesadaran ec dd/
- Bilirubin total/bilirubin
1.Sepsis berat
direct/bilirubin indirect
2.HE
3.Meningitis TB
5. dd/ 1.TB paru dengan DILI
2.HAP
3.Bronkitis akut
6. akut abdomen ecdd/
6. IBD
7. Ileus paralitik
8. Ileus obstruksi
9. icterus ec dd/
4. DILI
5. Hepatitis flminan
6. Acute on liver injury
10. AKI stage II dd/
hepatorenalsyndrome
25
06/05/2017 S/ Th/
Ass/
26
syndrome
07/05/2017 S/ Th/
Ass/
27
4. ileus obstruktif dd/ileus paralitik
5. AKI stage II dd/ hepatorenal
syndrome
08/05/2017 S/ Th/
Ass/
1. Ikterus ec dd/
1.DILI
2.Hepatitis fulminan
2. dd/ 1.TB paru denganDILI
2.HAP P/
3. ileus obstruktif dd/ileus paralitik
- Colonoscopy dengan
4. AKI stage II dd/ hepatorenal
GA
syndrome
- LFT/3 hari
5. Hematoscheziaecdd/
28
1.colitis TB
2.crhone disease
09/05/2017 S/ Th/
Ass/
29
2.crhone disease
3.colitis infeksi
10/05/2017 S/ Th/
Ass/
P/
1. Ikterusec DILI (perbaikan)
PBJ
2. TB paru lama
3. ileus obstruktif (perbaikan)
4. AKI stage II dd/ hepatorenal
syndrome (perbaikan)
5. Hematoschezia ec dd/
1.colitis TB
2.crhone disease
30
3.colitis infeksi
31
BAB IV
PEMBAHASAN
Studi kasus pada pasien Tn. SYA umur 92 tahun berdasarkan keluhan utama dan keluhan
penyerta lainnya ditetapkan 5 diagnosa kerja yang dihasilkan pada gambaran klinis yang
didapatkan pada anamnesis, yang ditemukan pada pemeriksaan fisik, serta pemeriksaan
penunjang.
Diagnosis DILI akibat mengkonsumsi obat anti Tuberkulosis pada Tn. SYA dengan
keluhan BAB berdarah dalam seminggu terakhir ini. Pasien juga mengeluhkan lemas dan cepat
lelah serta mudah sesak nafas. Riwayat BAB hitam (+),konsistensi lunak, lengket. Riwayat
minum obat anti nyeri (+), tetapi tidak sering. Muntah hitam (+). Riwayat transfusi darah
sebelumnya (+), dan nyeri pada ulu hati (+). Pasien juga mengeluhkan BAB hitam , konsistensi
lunak, lengket. Demam tidak ada. Paisen juga mengeluhkan batuk berdahak, ada keringat
malam, dan penurunan berat badan. Pasien sudah didiagnosis menderita TB Paru dan dalam
pengobatan OAT. Riwayat hipertensi sejak 10 tahun yang lalu. Riwayat DM (-), malaria (-),
penyakit kuning (-). Riwayat OAT bulan (sedang berjalan). Pada pemeriksaan fisik mata
konjunctiva palpebra inferior kanan dan kiri pucat (-), ikterik kanan dan kiri (-), Pada mulut
candidiasis (+) Stomatitis (-), leukoplakia (-), atrofil papil lidah (-). Pada pemeriksaan telinga
hidung mata dalam batas normal. Pada pemeriksaan leher tidak ditemukan tekanan vena jugular
yang meningkat R2cmH2O, pada pemeriksaan KGB tidak ditemukan adanya pembesaraan.
Pemeriksaan thorax stem fremitus kanan (menurun) Stem fremitus kiri (normal) terdengar suara
vesikuler pada kedua lapangan paru, rhonki (-/-), Wheezing (+/+) dikedua lapangan paru .
Pemeriksaan jantung BJ 1 > BJ 2, terdengar suara regular, bising tidak ditemukan . Pada
pemeriksaan abdomen inspeksi soepel, collateral vein (-), darm steifung (-), darm contour (-),
caput medusa (-). Palpasi Nyeri (+), soepel(+), Hepar teraba 2 cm BAC, 3cm BPX, kosnsistensi
keras, berdungkul-dungkul, sudut tumpul, splenomegaly (-). Perkusi terdengar suara timpani dan
auskultasi terdengar Peristaltik usus (+) menurun 2-3 kali/menit. Ekstremitas ditemukan adanya
pucat (+), edema (-) dan sianosis (-).
32
Untuk menegakan dignosis DILI akibat OAT harus dilakukan anamnesis dan
pemeriksaan fisis yang teliti disertai pemeriksaan laboratorium yang tepat. Berdasarkan
International Consensus Criteria, maka diagnosis hepatotoksisitas imbas obat berdasarkan:
1. Onset dari mulai minum obat dan penghentian obat sampai onset reaksi nyata.
2. Perjalanan reaksi sesudah penghentian obat adalah perbaikan
3. Tindakan biopsy hati
4. Dijumpai respon positif pada pemparan ulang dengan obat yang sama (paling tidak kenaikan
dua kali lipat enzim hati)
Faktor yang menyebabkan seseorang lebih rentan mengalami hepatotoksisitas imbas obat
yaitu: seiring bertambahnya usia, sebab orang lanjut usia banyak yang mengonsumsi sejumlah
obat yang menyebabkan perubahan farmakokinetik. Pada seseorang dengan penyakit hati seperti
hepatitis viral kronik, dapat meningkatkan resiko terjadinya DILI.
Pasien ditatalaksana dengan penghentian obat anti tuberculosis yang dicurigai sebagai
penyebab. Kemudian diberikan diet hati III. Jika dijumpai reaksi alergi berat, diberikan
ortikosteroid.
33
BAB V
DAFTAR PUSTAKA
34