Anda di halaman 1dari 34

BAB I

PENDAHULUAN

Jejas hati imbas obat (drug induced liver injury, DILI) atau hepatotoksisitas imbas obat
merupakan jejas hati yang disebabkan oleh pajanan terhadap obat atau agen non infeksius. Jejas
yang ditimbulkan oleh obat bervariasi, mulai dari tidak bergejala, ringan, hingga gagal hati akut
yang mngencam nyawa.
Perkenbangan dunia kedokteran yang diwarnai dengan makin banyaknya jenis obat,
meningkatkan harapan kesembuhan dari berbagai penyakit. Akan tetapi perkembangan ini juga
membawa dampak tersendiri, seperti makin meningkatnya risiko dan angka kejadian efek
samping obat. Meskipun efek samping obat dapat terjadi pada semua system organ tubuh, hati
merupakan organ yang paling rentan karena sebagian besar obat menjalani metabolism parsial
maupun komplet serta eliminasi oleh hati.
Berbagai survey di dunia menunjukkan bahwa frekuensi DILI sebagai penyebab penyakit
hati akut maupun kronik relative rendah. Insiden hepatotoksisitas imbas obat di laporkan sebesar
1 : 10.000 sampai 1 : 100.000 pasien. Meskipun demikian insidensi DILI yang sebenarnya sulit
diketahui. Jumlah actual dapat jauh lebih besar karena system pelaporan yang belum memadai,
kesulitan mendeteksi atau mendiagnosis, dan kurangnya observasi terhadap pasien-pasien yang
mengalami DILI.
Kombinasi obat anti TB (OAT), efektif untuk mengatasi TB, namun penggunaannya
berhubungan dengan risiko jejas hati imbas obat yang merupakan salah satu masalah yang
memiliki tantangan diagnosis tersendiri. DILI dapat menyerupai hapir semua jenis penyakit hati.
Salah satu obat dari sekian banyak obat yang dapat dan sering menyebabkan DILI adalah
OAT. OAT lini pertama yang berhubungan dengan DILI seperti rifampisin dan pirazinamid,
DILI akibat OAT ini merupakan reaksi efek samping yang telh diketahui secara luas dan tejadi
sekitar 5-33% pasien.

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi dan Fungsi Hati


2.1.1 Anatomi Hati
Hati merupakan organ terbesar pada abdomen dengan berat 1.500 gr atau 2,5% dari berat
badan orang dewasa yang terletak di sebelah kanan atas cavum abdomen di bawah diafragma.
Pada kondisi hidup berwarna merah tua karena kaya akan persediaan darah.4Hati terbagi menjadi
lobus kiri dan lobus kanan yang dipisahkan oleh ligamentum falciforme, di inferior dinamakan
dengan ligamentum teres dan di posterior dinamakan dengan ligamentum venosum. Lobus kanan
hati enam kali lebih besar dari lobus kirinya dan mempunyai 3 bagian utama yaitu lobus kanan
5
atas, lobus caudatus dan lobus quadrates. Hati dikelilingi oleh kapsula fibrosa yang dinamakan
kapsul glisson dan dibungkus peritorium pada sebagian besar keseluruhan permukaannnya. Hati
disuplai oleh dua pembuluh darah yaitu vena porta hepatica yang berasal dari lambung dan usus
yang kaya akan nutrien seperti asam amino, monosakarida, vitamin yang larut dalam air dan
mineral dan Arteri hepatica, cabang dari arteri kuliaka yang kaya akan oksigen.5

Gambar 2.1 Anatomi Hati6

2.1.2 Fungsi Hati

2
Fungsi hati dapat dilihat sebagai suatu kesatuan organ maupun fungsi dari sel-sel
penyusunnya, yaitu antara lain:7
a. Fungsi hati sebagai organ
1) Ikut mengatur keseimbangan cairan dan elekterolit karena semua cairan dan garam akan
melewati hati sebelum ke jaringan ekstraseluler lainnya,
2) Hati bersifat sebagai spons akan ikut mengatur volume darah, misalnya pada
dekompensasio kordis kanan maka hati akan membesar,
3) Sebagai alat saringan (filter) nutrien dan berbagai macam substansia yang telah diserap
oleh intestine akan dialirkan ke organ melalui sistema portal.
b. Fungsi dari sel-serl hati dapat dibagi
1) Fungsi Sel Epitel di antaranya ialah:
a) Sebagai pusat metabolisme di antaranya metabolisme hidrat, karbon, protein, lemak dan
empedu,
b) Sebagai alat penyimpan vitamin dan bahan makanan hasil metabolisme.
c) Sebagai alat sekresi glukosa, protein, faktor koagulasi, enzim dan empedu,
d) Proses detoksifikasi, dimana berbagai macam toksik baik eksogen maupun endogen
yang masuk ke badan akan mengalami detoksifikasi dengan cara oksidasi, reduksi,
hidrolisa atau konjugasi.
2) Fungsi sel kupfer sebagai sel endotel mempunyai fungsi sebagai sistem retikulo
endothelial, yaitu menguraikan Hb menjadi bilirubin, membentuk a-globulin dan immune
bodies dansebagai alat fagositosis terhadap bakteri dan elemen puskuler atau
makromolekuler.

2.2 Hepatotoksis Imbas Obat (Drug Induce Liver Injury)


2.2.1 Definisi
Hepatitis imbas obat atau dikenal juga sebagai “drug-induced hepatotoxicity, drug
inducedliver injury, hepatic failure due to drugs, hepatic failure due to herb, drug hepatotoxicity
,drug toxicity, dan drug-related hepatitoxicity”,berarti keadaan inflamasiyang terjadi jika kita
mengkonsumsi bahan kimia beracun, obat, atau jamur beracun tertentu.

2.2.2 Metabolisme Obat

3
Hati memetabolisme hampir setiap obat atau racun yang masuk ke dalam tubuh. Sebagian
besar obat bersifat lipofilik sehingga mampu menembus membran sel intestinal. Kemudian obat
di ubah menjadi hidrofilik melalui proses biokimiawi dalam hepatosit, sehingga lebih larut air
dan diekskresi dalam urin atau empedu. Biotransformasi hepatic ini melibatkan jalur oksidatif
terutama melalui system enzim sitokrom P-450.Metabolisme obat terjadi dalam 2 fase. Pada fase
pertama, terjadi reaksi oksidasi atau hidroksilasi. Semua obat tidak mungkin menjalani langkah
ini, dan beberapa dapat langsung menjalani fase kedua.
Sitokrom P-450 mengkatalisis reaksi pada fase pertama (terletak dalam retikulum
endoplasma halus hati). Sebagian besar produk bersifat sementara dan sangat reaktif. Reaksi ini
dapat mengakibatkan pembentukan metabolit yang jauh lebih beracun daripada substrat induk
dan dapat mengakibatkan luka pada hati. Sebagai contoh, metabolit acetaminophen, N-asetil-p-
benzoquinon-imina (NAPQI), bersifat toksik apalagi jika dikonsumsi dengan dosis tinggi.
NAPQI bertanggung jawab atas luka pada hati dalam kasus keracunan.
Setidaknya 50 enzim telah diidentifikasi, dan berdasarkan struktur, mereka dikategorikan ke
dalam 10 kelompok, dengan kelompok 1, 2, dan 3 menjadi yang paling penting dalam
metabolisme obat. Sitokrom P-450 dapat memetabolisme banyak obat. Obat dapat mengalami
biotransformasi kompetitif dan menghambat satu sama lain, sehingga terjadi interaksi obat.
Beberapa obat dapat menginduksi dan menghambat Sitokrom P-450 enzim.Fase kedua dapat
terjadi baik di dalam ataupun di luar hati. Terjadi reaksi konjugasi dengan bagian (yaitu, asetat,
asam amino, sulfat, glutathione, asam glukuronat) sehingga akan meningkatkan kelarutan obat.
Selanjutnya, obat dengan berat molekul tinggi akan dikeluarkan dalam empedu, sementara ginjal
mengeluarkan obat dengan molekul yang lebih kecil. Obat yang menginduksi dan menghambat
sitokrom P-450 enzim adalah sebagai berikut:
 Inducers
o Phenobarbital
o Phenytoin
o Carbamazepine
o Primidone
o Ethanol
o Glucocorticoids
o Rifampin
4
o Griseofulvin
o Quinine
o Omeprazole - Induces P-450 1A2
 Inhibitors
o Amiodarone
o Cimetidine
o Erythromycin
o Grape fruit
o Isoniazid
o Ketoconazole

Sebagian besar obat memasuki saluran cerna, dan hati sebagai organ diantara permukaan
absorptif dari saluran cerna dan organ target obat dimana hati berperan penting dalam
metabolisme obat. Sehingga hati rawan mengalami cedera akibat bahan kimia terapeutik.
Hepatotoksisitas imbas obat merupakan komplikasi potensial yang hampir selalu ada pada setiap
obat. Walaupun kejadian jejas hati jarang terjadi, tapi efek yang ditimbulkan bisa fatal. Reaksi
tersebut sebagian besar idiosinkratik pada dosis terapeutik yang dianjurkan, dari 1 tiap 1000
pasien sampai 1 tiap 100.000 pasien dengan pola yang konsisten untuk setiap obat dan untuk
setiap golongan obat. Sebagian lagi tergantung dosis obat. Hepatoksisitas imbas obat merupakan
alasan paling sering penarikan obat dari pasaran di Amerika Serikat dan di dalamnya termasuk
lebih dari 50 persen kasus gagal hati akut.

2.2.3 Klasifikasi DILI


Hepatotoksisitas akibat obat secara umum dibagi menjadi dua kategori besar, yaitu
hepatotoksisitas intrinsik (disebut juga hepatotoksisitas direk atau dapat diprediksi) dan
hepatotoksisitas idiosinkratik (disebut juga hepatotoksisitas indirek atau tidak dapat diprediksi).
Contoh hepatotoksisitas intrinsik adalah hepatotoksisitas akibat pajanan terhadap zat kimia
industri maupun lingkungan atau toksin, seperti karbon tetraklorida, fosfor, atau beberapa jenis
jamur yang menyebabkan jejas hati. Sebaliknya, hepatotoksisitas idiosinkratik merupakan
hepatotoksisitas yang disebabkan oleh obat obat konvensional dan produk herbal yang
menyebabkan hepatotoksisitas hanya pada sejumlah kecil resipien .

5
2.2.4 Mekanisme Hepatotoksisitas
Mekanisme jejas hati imbas obat yang mempengaruhi protein-protein transport pada
membran kanalikuli dapat terjadi melalui mekanisme apoptosis hepatosit imbas empedu. Terjadi
penumpukan asam-asam empedu di dalam hati karena gangguan transport pada kanalikuli yang
meghasilkan translokasi fassitoplasmik ke membrane plasma, dimana reseptor ini mengalami
pengelompokan sendiri dan memicu kematian sel melalui apoptosis. Di samping itu banyak
reaksi hepatoseluler melibatkan system sitokrom P-450 yang mengandung heme dan
menghasilkan reaksi-reaksi energy tinggi yang dapat membuat ikatan kovalen obat dengan
enzim, sehingga menghasilkan ikatan baru yang tak punya peran. Kompleks obat-enzim ini
bermigrasi ke permukaan sel di dalam vesikel-vesikel untuk berperan sebagai imunogen-
imunogen sasaran serangan sitolitim ke sel T, merangsang respon imun multifaset yang
melibatkan sel-sel T sitotoksik dan bebagai sitokin. Obat-obat tertentu menghambat fungsi
mitokondria dengan efek ganda pada beta-oksidasi dan enzim-enzim rantai respirasi. Metabolit-
metabolit toksis yang dikeluarkan dalam empedu dapat merusak epitel saluran empedu. Cedera
pada hepatosit dapat terjadi akibat toksisitas langsung, terjadi melalui konversi xenobiotik
menjadi toksin aktif oleh hati, atau ditimbulkan oleh mekanisme imunologik (biasanya oleh obat
atau metabolitnya berlaku sebagai hapten untuk mengubah protein sel menjadi immunogen).
Reaksi obat diklasifikasikan sebagai reaksi yang dapat diduga (intrinsic) dan yang tidak
dapat diduga (idiosinkratik).Reaksi Intrinsik terjadi pada semua orang yang mengalami
akumulasi obat pada jumlah tertentu. Reaksi idiosinkratik tergantung pada idiosinkrasi pejamu
(terutama pasien yang menghasilkan respon imun terhadap antigen, dan kecepatan pejamu
memetabolisme penyebab).

2.2.5 Hepatotoksisitas Imbas Obat Anti Tuberkulosis


Obat antituberkulosis kebanyakan larut dalam lemak dan eliminasinya memerlukan
biotransformasi menjadi senyawa larut dalam air. Biotransformasi tersebut sebagian besar terjadi
pada fase hepatic I dan II yng memerluan enzim biotransformasi. Reaksi pada fase I terjadi
oksidasi atau demetilasi yang dilakukan oleh enzim cytochrome P-450 (CYP-450). Hasil oksidasi
obat tidak terlalu larut dalam air dan masih membutuhkan metabolisme lebih lanjut. Reaksi fase
I sering menghasilkan metabolit toksik. Sebagian besar senyawa larut dalam air diikat oleh
glukoronidasi atau yang menghasilkan metabolit non-toksik yang mudah dieliminasi pada reaksi
6
fase II. Tahap metabolic untuk detoksifikasi melibatkan glutathione, yang mengikat senyawa
beracun oleh enzim Glutathione S-transferase.

2.2.6 Efek Hepatotoksik Obat Anti Tuberkulosis


Obat anti tuberculosis yang menimbulkan efek hepatotoksik adalah sebagai berikut:
1. Isoniazid
Isoniazid merupakan hidrazid dari isonicitinic acid, yang bekerja sebagai penghambat
sintesis mycolic acid komponen penting dinding sel mikobakteri. Isoniazid mudah diabsorpsi
pada pemberin secara oral maupun parenteral. Kadar puncak dicapai dalm waktu 1-2 jam setelah
pemberian per oral. Isoniazid mengalami asetilasi di hati dan kecepatan metabolism isoniazid
dipengaruhi oleh faktor genetik yang secara bermakna mempengaruhi kadar obat dalam plasma
dan waktu paruh nya. Penelitian terbaru menunjukkan pada asetilator lambat, hepatotoksik obat
anti tuberculosis akan berkembang lebih cepat. Isoniazid memiliki asetilasi lambat yang akan
terhidrolisis langsung menjadi hidrazin dan asetilhidrazin yang dapat diubah menjadi hidrazin.
Penggunaan isoniazid pada penderita yang menunjukkan kelainan fungsi hati akan
menyebbkan bertambah parahnya kerusakan hati. Umur merupakan faktor yang sangat penting
untuk memperhitungkan resiko efek toksik isoniazid pada hati. Kerusakan hati jarang terjadi
pada penderita yang berumur dibawah 35 tahun. Kelainan terbanyak adalah enzim transaminase
yang meningkat. Hepatitis karena pemberian isoniazid terjadi pada minggu 4-8 setelah
pengobatan.
Hepatotoksisitas karena isoniazid dianggap idiosinkratik. Reaksi idiosinkratik dapat
mempengaruhi setiap sistem organ dengan dimediasi oleh Imnoglobulin E, yang akan
menimbulkan sindrom reaktif metabolit. Sindrom metabolit reaktif ini dapat pulih pada sebagian
besar penderita.
Jalur metabolic utama metabolisme INH adalah asetilasi oleh enzim hati N-Acetyl
transferase 2 (NAT2). Isoniazid terasetilasi menjadi asetilisoniazid dan kemudian terhidrolisis
menjadi asetilhidrazin dan asam isokotinat. Asetilhidrazin kemudian terasetilasi menjadi
hidrazin, atau menjadi diasetilhidrazin, seperti pada gambar berikut:

7
Gambar 3.1 Metabolisme Isoniazid

Isoniazid sebagian kecil secara langsung dihidrolisis menjadi asam isokotinat dan
hidrazin Penelitian terbaru menyatakan bahwa hidrazin kemunkinan besar menjadi penyebab
hepatotoksisitas. Toksisitas hidrazin diketahui dapat menyebabkan kematian sel yang
irreversible. Kerusakan hati yang terjadi dapat menjadi progresif dan menyebabkan hepatitis
fatal pada beberapa pasien.

2. Rifampisin
Rifampisin adalah antbiotik derivate rifamisin dihasilkan oleh Steptomyces mediterranei
terutama digunakan sebagai obat antituberkulosis. Kadar puncak adalam plasma tercapai setelah
2-4 jam setelah pemberian rifamisin per oral. Rifampisin setelah diserap dari saluran cerna cepat
diekskresi melalui empedu dan kemudian mengalami sirkulasi enterohepatik. Obat ini cepat
mengalami deasetilasi sehingga dalam waktu 6 jam hampir semua obat yang berada dalam
empedu berbentuk diasetil rifampisin yng mempunyai aktiitas antibakteri penuh. Waktu paruh
eliminasi rifampisin bervariasi antara 1,5-5 jam dan memanjang bila ada kelainan fungsi hati.
Penderita tuberculosis mengalami efek toksik kurang dari 4% dengan pemberian dosis biasa.
Efek samping yang paling sering muncul adalah ruam kulit, demam, mual dan muntah.

8
Jalur utama metabolisme rifampisin adalah deasetilasi menjadi deasetil rifampisin dan
secra terpisah terhidrolisis menghasilkan rifampisin 3-formil. Rifampisin juga dapat
menyebabkan disfunngsi hepatoselular pada awal pengobatan yang sembuh tanpa penghentian
obat. Mekanisme rifampisin induced hepatotoxicity tidak diketahui secra jelas karena tidak ada
bukti pasti keberadaan metabolit toksik.
Rifampisin mengaktifkan hepatocyte pregnane X-receptors, menyebabkan induksi
sitokrom. Rifampicin juga menginduksi urine diphosphate-glucoronocyl-transferase dan
transport P-glycoprotein yang terlibat dalam metabolisme obat lain.rifmpisin adalah penginduksi
kuat sistem sitokrom P-450 hepatik pada hati dan usus sehingga meningkatkan metabolisme
banyak senyawa lain.
Penggunaan kombinasi rifampisin dan isoniazid dihubungkan dengan peningkatan resiko
hepatotoksisitas. Rifampisin menginduksi isoniazid hidrolase sehingga plasma half life acetyl
isoniazid diperpendek dan berubah cepat menjadi metabolit aktif. Produksi hidrazin akan lebih
banyak dan lebih cepat ketika rifampisisn dikombinasikan dengan isoniazid (terutama pada
asetilator lambat), maka toksisitas yang terjadi akan lebih tinggi. Pajanan hidrazin menyebabkan
pengurangan adenoside triphosphate (ATP), menghambat enzim mitokondrial succinate
dehydrogenase yang mengurangi fungsi mitokondria. Hidrazin akan menyebabkan toksisitas
dengan terlibat dalam sejumlah proses metabolic seperti glukoneogenesis dan gluthamine
synthetase. Metabolisme hidrazin diperkirakan meliputi produksi radikal bebas yang
menginduksi toksisitas elular baik oleh ikatan kovalen pada mkromolekul jaringan atau dengan
menginisiasi proses autooksidatif seperti peroksidasi lipid in vivo.
3. Pirazinamid
Pirazinamid merupakan turunan asam nikotinik, yang dideamidaasi menjadi pyrazonic
acid di dalam hati dan sebagian deimetabolisme menjadi 5-hidroxy-pyrazinoic acid oleh xantine
oxidase, aldehyde oxidase, dan xanthine dehydrogenase. 5-hidroxy-pyrazinoic acid mungkin
dibentuk selama metabolisme pirazinamid. Pirazinamid mudah diserap di usus dan tersebar luas
ke seluruh tubuh. Waktu paruh pirazinamid lebih panjang dibandingkan isoniazid dan rifampisin
yaitu mendekati 10 jam.pada pasien dengan penyakit hati, waktu paruh meningkat menjadi 15
jam. Ekskresi pirazinamid terutama melalui filtrasi glomelurus. Pyrazinoic acid aktif mengalami
hidroksilasi menjadi hidroxirazinoic acid yang sebagai metabolit utama. Ginjal akan

9
membersihkan metabolit pirazinamid, tetapi pada pasien insufisiensi renal dibutuhan intermittent
dosing.
Hepatotoksisitas yang terjadi akibat efek samping pirazinamid tergantung pada dosis dan
bisa terjadi setiap saat selama terapi. Mekanisme toksisitas karena pirazinamid belum jelas.
Pirazinamid menghambat aktivitas beberapa isoenzim sitokrom P-450. Penelitian pada tikus
menunjukkan Pirazinamid menurunkan kadar niocotinamide acetyl dehydrogenase pada hati
tikus, hal ini mungkin mengahsilkan radikal bebas yang diduga berperan dalam mekanisme
hepatotoksik pada isoniazid dan pirazinamid.

4. Etambutol
Etambutol diserap kedalam saluran pencernaan sebanyak 70-80% pada pemberian secara
per oral. Kadar puncak dalam plasma dicapai dalam waktu 2-4 jam setelah pemberian. Waktu
paruh eliminasi 3-4 jam. Lima puluh persen etambutol yang dikonsumsi, diekskresi dalam
bentuk awal memlaui urin, sepuluh persen sebagai metabolit, berupa derivate aldehid dan asam
karboksilat dalam waktu 244 jam.
Etambutol dilaporkan tidak memiliki efek hepatotoksik. Tes fungsi hati abnormal telah
dilaporkan pada beberapa pasien yang menggunakan etambutol dikommbinasikan denag OAT
lain. Kombinasi ini yang menyebabkan hepatotoksisitas.
Etambutol jarang menimbulkan efek samping. Dosis harian sebesar 15 mg/kg/BB/hari
menimbulkan efek toksik yang minimal. Dosis ini kurang dari 2% penderita akan mengalami
efek samping yaitu penurunan ketajaman penglihatan, ruam kulit dan demam.

5. Streptomisin
Waktu paruh stretomisin pada orang dewasa normal selam 2-3 jam dan dapat memanjang
pada penderita gagal ginjal. Hampir semua streptomisin berada dalam plasma setelah diserap
dari tempat penyuntikan. Streptomisin diekskresi melalui filtrasi glomelurus. Sekitar 50-60%
dosis streptomisisn yang diberikan secara parenteral diekskresikan dalama bentuk utuh dalam
waktu 24 jam perrtama. Ototoksisitas lebih sering terjadi pada penderita yang mengkonsumsi
streptomisin dan jarang dilaporkan adanya efek hepatotoksisitas.

10
2.2.7 Gambaran Klinis
Gambaran klinis hepatoksisitas imbas obat sulit dibedakan secara klinis dengan penyakit
hepatitis atau kolesatsis dengan etiologi lain. Riwayat pemakaian obat-obat atau substansi-
substansi hepatotoksiklain harus dapat diungkap.
Cedera hati mungkin timbul atau memerlukan waktu beberapa minggu dan bulan, dan
dapat berupa nekrosis hepatosit, kolestasis, disfungsi hati. Gambaran klinis pada hepatitis kronis
akibat virus atau autoimun, tidak dapat dibedakan dengan hepatitis kronis akibat obat, baik
secara klinis maupun histologist, sehingga pemeriksaan serologis virus sering dipakai untuk
mengetahui perbedaannya.
Beberapa International Consensus Criteria, maka diagnosis hepatotoksisitas imbas obat
berdasarkan :
1. Waktu dari mulai minum obat dan penghentian obat sampai awitan reaksi nyata adalah
sugestif (5-90 hari dari awal minum obat) atau kompatibel (kurang dari 5 hari atau lebih
dari 90 hari sejak mulai minum obat dan tidak lebih dari 15 hari dari penghentian obat
untuk reaksi hepatoseluler dan tidak lebih dari 30 hari dari penghentian obat dan tidak
lebih dari 15 hari dari penghentian obat.
2. Perjalanan reaksi sesudah penghentian obat adalah sangat sugestif (penurunan enzim hati
paling tidak 50% dari konsentrasi di atas batas atas normal dalam 8 hari) atau sugestif
(pemurunan konsentrasi enzim hati paling tidak 50% dalam 30 hari untuk reaksi
hepatoseluler dan 180 hari untuk reaksi kolestatik) dari reaksi obat.
3. Alternatif sebab lain dari reaksi telah diekslusi dengan pemeriksaan teliti, termasuk
biopsy hati pada tiap kasus
4. Dijumpai respon positif pada pemeriksaan ulang dengan obat yang sama paling tidak
kenaikan dua kali lipat enzim hati
Dikatakan reaksi drug related jika semua tiga kriteria pertama terpenuhi atau jika dua
dari tiga kriteria pertama terpenuhi dengan respon positif pada pemaparan ulang obat.
Mengidentifikasikan reaksi obat dengan pasti adalah hal yang sulit, tetapi kemungkinan
sekecil apapun adanya reaksi terhadap obat harus dipertimbangkan pada setiap pasien dengan
disfungsi hati. Riwayat pemakaian obat harus diungkap dengan seksama termasuk di dalamnya
obat herbal atau obat alternative lainnya. Obat harus selalu menjadi diagnosis banding pada
setiap abnormalitas tes fungsi hati dan/atau histologi. Keterlambatan penghentian obat yang
11
menjadi penyebab berhubungan dengan risiko tinggi kerusakan hati persisten. Bukti bahwa
pasien tidak sakit sebelum minum obat, menjadi sakit selama minum obat tersebut dan membaik
secara nyata setelah penghentian obat merupakan hal essensial dalam diagnosis hepatotoksisitas
imbas obat.
Awitan umumnya cepat, gejalanya dapat berupa malaise, ikterus, gagal hati akut terutama
jika masih meminum obat setelah awitan hepatotoksisitas. Apabila jejas hepatosist lebih dominan
maka konsentrasi aminotransferas dapat meningkat hingga paling tidak lima kali batas atas
normal, sedangkan kenaikan alkali fosfatase dan bilirubin menonjol pada kolestasi. Mayoritas
reaksi obat idiosinkratik melibatkan kerusakan hepatosit seluruh lobul hepatic dengan derajat
nekrosis dan apoptosis bervariasi. Pada kasus ini gejala hepatitis biasanya muncul dalam
beberapa hari atau minggu sejak minum obat dan mungkin terus berkembang bahkan sesudah
obat penyebab dihentikan pemakaiannya.
Beberapa obat menunjukkan reaksi alergi yang menonjol, seperti fenitoin yang
berhubungan dengan demam, limfadenopati, rash, dan jejas hepatosit yang berat. Pemenuhan
reaksi imunoalergik umumnya lambat sehingga diduga allergen tetap bertahan di hepatosit
selama berminggu-minggu bahkan berbulan-bulan. Overdosis asetaminofen (lebih dari 4 gram
per 24 jam) merupakan contoh hepatoksisitas obat yang tergantung dosis (dose dependent) yang
dengan cepat menyebabkan jejas hepatosit terutama area sentrilobular. Konsentrasi
aminotransferase biaanya sangat tinggi, melebihi 3500 IU/L.

2.2.8 Faktor Risiko Kelainan Hapatotoksik Imbas Obat


1. Ras: Beberapa obat tampaknya memiliki toksisitas yang berbeda berdasarkan ras/suku
bangsa. Misalnya, orang kulit hitam dan Hispanik mungkin lebih rentan terhadap isoniazid
(INH). Tingkat metabolisme berada di bawah kendali sitokrom P-450 dan dapat bervariasi antar
individu.
2. Umur: Terlepas dari paparan disengaja, reaksi obat pada hati jarang terjadi pada anak-anak.
Orangtua mempunyai risiko lebih tinggi cedera hati karena clearance menurun, adanya interaksi
antar obat, berkurangnya aliran darah ke hati, dan menurunnya volume hati. Selain itu, pola
makan yang buruk, infeksi, dan rawat inap yang sering menjadi salah satu alasan penting
terjadinya hepatotoksisitas imbas obat.
3. Seks : Meskipun alasan tidak diketahui, reaksi obat hati lebih sering terjadi pada wanita.
12
4. Konsumsi alkohol: orang yang sering mengkonsumsi alkohol rentan terhadap keracunan obat
karena alkohol menyebabkan cedera pada hati yang mengubah metabolisme obat.
Alkoholmenyebabkan deplesi penyimpanan glutation (hepatoprotektif) yang membuat orang
lebih rentan terhadap toksisitas obat.
5. Penyakit hati: Secara umum, pasien dengan penyakit hati kronis mengalami peningkatan
risiko cedera hati. Meskipun total sitokrom P-450 berkurang, beberapa orang mungkin akan
terpengaruh lebih dari yang lain. Modifikasi dosis pada orang dengan penyakit hati harus
didasarkan pada pengetahuan enzim spesifik yang terlibat dalam metabolisme. Pasien dengan
infeksi HIV yang koinfeksi dengan virus hepatitis B atau C akan meningkatkan risiko untuk efek
hepatotoksikapabila diobati dengan terapi antiretroviral. Demikian pula, pasien dengan sirosis
beresiko mengalami peningkatan dekompensasi dengan obat beracun.
6. Faktor genetik: Sebuah gen yang unik pada pengkodean P-450 protein. Perbedaan genetik di
P-450 enzim dapat menyebabkan reaksi yang abnormal terhadap obat. Debrisoquine adalah obat
antiaritmiayang mengalami metabolisme yang tidak baik karena ekspresi abnormal P-450-II-D6.
Hal ini dapat diidentifikasi dengan amplifikasi polymerase chain reaction gen mutan. Hal ini
mengakibatkan kemungkinan deteksi masa depan orang-orang yang dapat memiliki reaksi
abnormal terhadap suatu obat.
7. Komorbiditas lain: penderita AIDS, orang-orang yang kekurangan gizi, dan orang-orang yang
berpuasa mungkin rentan terhadap reaksi obat karena penyimpanan glutation rendah.
8. Formulasi obat: obat long-acting dapat menyebabkan cedera lebih pendek dibandingkan
obatshort-acting
9. Faktor Host dapat meningkatkan kerentanan terhadap obat dan kemungkinan mendorong
terjadinya penyakit hati, yakni:
o Wanita - Halotan, nitrofurantoin, sulindac
o Pria - Asam Amoksisilin-klavulanat (Augmentin)
o Usia Dewasa- Asetaminofen, halotan, INH, asam amoksisilin-klavulanat
o Usia Muda - Salisilat, asam valproik
o Puasa atau malnutrisi - Asetaminofen
o Indeks massa tubuh Besar / obesitas - Halotan
o Diabetes mellitus - Methotrexate, niacin
o Gagal ginjal - Tetracycline, allopurinol
13
o AIDS - Dapson, trimetoprim-sulfametoksazol
o Hepatitis C - Ibuprofen, ritonavir, flutamide
o Penyakit Hati sebelumnya - Niasin, tetrasiklin, methotrexate

2.2.9 Tatalaksana

Tata laksana DILI yang paling penting adalah segera menghentikan obat yang dicurigai
sebagai penyebab. Pada sebagian besar kasus, jejas hati akan menyembuh sendiri setelah obat
dihentikan. Akan tetapi, apabila DILI bermanifestasi sebagai hepatitis autoimun dan
penyembuhan tidak terjadi dengan penghentian obat, kortikosteroid sering digunakan sebagai
terapi meskipun bukti ilmiahnya masih controversial.

2.2.10 Prognosis

Prognosis DILI sangat bervariasi tergantung keadaan klinik pasien ditentukan oleh dan
tingkat kerusakan hati.

14
BAB III
LAPORAN KASUS

1.1 IDENTITAS PASIEN


Nama : Tn. M. Syam Abd Rahman
Umur : 92 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
No. CM : 1-11-87-26
Alamat : Delima, Pidie J
Tanggal masuk : 3 Mei 2017
Tanggal Pemeriksaan : 4 Mei 2017

1.2 ANAMNESIS
Keluhan Utama
BAB berdarah

Riwayat Penyakit Sekarang:

Pasien datang dengan keluhan BAB berdarah dalam semingggu terakhir ini. BAB bewarna
kemerahan, Riwayat BAB hitam (+), riwayat minum obat anti nyeri (+) tetapi tidak sering.
Muntah hitam (+), riwayat tranfusi sebelumnya (+).
Pasien mengeluhkan cepat lelah dan mudah sesak nafas. Riwayat berobat jantung 4 bulan
yang lalu. Riwayat merokok 3 bungkus perhari. Paisen juga mengeluhkan batuk berdahak, ada
keringat malam, dan penurunan berat badan. Pasien sudah didiagnosis menderita TB Paru dan
dalam pengobatan OAT.
Perut kembung, dan mualmuntah juga dikeluhkan pasien. Muntah mengeluarkan apa yang
dimakan dengan frekuensi 3-4 kali volume ± 65 cc, muntah hitam (+).

Riwayat Penyakit Dahulu :


- Riwayat hipertensi sejak 10 tahun yang lalu.
- Riwayat DM (-), malaria (-), penyakit kuning (-)

15
Riwayat Penyakit Keluarga:
Tidak ada

Riwayat Penggunaan Obat :


OAT 1 bulan.

Riwayat Kebiasaan Sosial :


Pasien merupakan seorang pensiunan PNS

1.3 PEMERIKSAAN FISIK


1.3.1 Keadaan Umum
Pasien tampak sakit sedang, dan tampak lemas saat dilakukan anamnesis, pasien sedang
berbaring di tempat tidur. Pasien cukup kooperatif dan komunikatif dalam menjawab pertanyaan.

1.3.2 Tanda Vital


Kesadaran : compos mentis
Tekanan Darah : 110/70 mmhg
Nadi : 104x/menit, regular, kuat angkat
Laju Pernapasan : 22 x/ menit
Suhu : 36,8oC

1.3.3 Status Generalis


Kepala : Normochepali
Mata : Konjungtiva palpebra inferior pucat (-/-), sclera ikterik (-/-), pupil isokor (3
mm/ 3mm), refleks cahaya langsung (+/+), refleks cahaya tidak langsung
(+/+)
Telinga : Tanda radang (-/-), pengeluaran sekret (-/-), fungsi pendengaran dalam batas
normal
Hidung : Napas cuping hidung (-/-), rinorrhea (-/-), nyeri tekan sinus (-/-) deformitas
septum nasi (-)
Mulut : candidiasis (+) Stomatitis (-), leukoplakia (-), atrofil papil lidah (-)
Leher :Tidak teraba pembesaran kelenjar getah bening, tidak teraba pembesaran
kelenjar tiroid, tidak terdapat peningkatan JVP.
16
Thorax:

Pemeriksaan Kanan Kiri

Inspeksi Simetris, penggunaan alat bantu napas (-), barrel


chest (-), jejas (-) spider nevi (-), gnekomastia (-)

Palpasi Stem fremitus kanan (menurun) Stem fremitus kiri


(normal)

Perkusi Sonor Sonor

Auskultasi Vesikuler (+/+), Vesikuler (+/+)


wheezing (+/+) wheezing (+/+)
Ronkhi(-/-) Ronkhi(-/-)

Cor :

Inspeksi Ictus cordis tidak terlihat

Ictus cordis teraba di ICS V linea aksilaris anterior


Palpasi kiri

Batas-batas jantung :
Atas : ICS III linea midklavikula kiri
Perkusi Kanan : ICS IV linea parasternalis kanan
Kiri : ICS V linea aksilaris anterior kiri

Auskultasi BJ I > BJ II, reguler, tidak ada bising atau gallop S3

17
Abdomen :

soepel, collateral vein (-), darm steifung (-), darm contour (-


Inspeksi ), caput medusa (-)

Nyeri (+), soepel(+), Heparteraba 2cm BAC, 3cm BPX

Palpasi kosnsistensi keras, berdungkul-dungkul, sudut tumpul,


splenomegaly (-)

Perkusi Shifting dullness (+)

Auskultasi Peristaltik usus (+) menurun 2-3 kali/menit

Ekstremitas :
1. EkstremitasAtas
Warna : sawo matang Jaritabuh : (-)
Edema : (-/-) Tremor : (-)
Sendi : nyeri (-/-) Deformitas : (-/-)
Suhu raba :N/N Kekuatan : 5/5
Pucat : (+/+) atrofi hipotenar : -
Eritemapalmar : - Atrofi tenar :-

2. Ekstremitas bawah
Warna : sawo matang Jaritabuh : (-)
Edema : (-/-) Tremor : (-)
Sendi : nyeri (-/-) Deformitas : (-/-)
Suhu raba :N/N Kekuatan : 5/5

Pucat : (+/+)

Genitalia dan anus


RT: spingter ani ketat, massa(-), nyeri (-), mukosa licin, feses (+), darah (+)

18
1.4. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Laboratorium (5 Mei 2017)

PemeriksaanLaboratorium Hasil Nilai Normal

DarahRutin
Hb 11,5 gr/dl 14-17 gr/dl
Ht 34 % 45-55 %
Leukosit 9,8 /mm3 4.500-10.500/mm3
Eritrosit 3,9 x 106 /µL 4,7-6,1 jt/ µL
Trombosit 106.000 / mm3 150.000-450.000/mm3
MCV 86fL 80-100 fL
MCH 29pg 27-31 pg
MCHC 34 % 32-36 %
RDW 15,2 % 11,5-14,5 %
PDW 9,4fL
MPV 10,0fL 7,2-11,1 fL
HitungJenis
Eosinofil 1% 0-6 %
Basofil 0% 0-2 %
NetrofilBatang 0% 2-6%
Netrofilsegmen 61 % 50-70 %
Limfosit 24 % 20-40 %
Monosit 14 % 2-8 %
Kimia Klinik

Hati&Empedu

Biliribun Total 0,54 mg/dL 0,3-1,2 mg/dL

Biliribun Direct 0,14 mg/dL <0,52 mg/dL

19
Bilirubin Indirect 5,3 mg/dL

Protein Total 5,3 g/dL 6,4-8,3 g/dL

Albumin 2,66 g/dL 3,5-5,2 g/Dl

Globulin 2,64 g/dL

Elektrolit

Natrium (Na) 135 mmol/L 132-146 mmol/L

Kalium (K) 5,7 mmol/L 3,7-5,4 mmol/L

Klorida (Cl) 107 mmol/L 98-106 mmol/L

Ginjal-Hipertensi

Ureum 172 mg/dL 13-43 mg/dL

Kreatinin 2,88 mg/dL 0,67-1,17 mg/dL

2. Laboratorium (8 Mei 2017)

PemeriksaanLaboratorium Hasil Nilai Normal

Kimia klinik
AST/SGOT 43 U/L <35
ALT/SGPT 21 U/L <45
7Ginjal-Hipertensi

Ureum 42 mg/dl 13-43 mg/dL

Kreatinin 1 mg/dl 0,67-1,17 mg/dL

20
3. EKG (5 Mei 2017)

4. Colonoscopy (9 Mei 2017)

1.5 ASSESSMENT

21
Ass/

1. Penurunan kesadaran ec dd/


1.Sepsis berat
2.HE
3.Meningitis TB
2. dd/ 1.TB paru dengan DILI
2.HAP
3.Bronkitis akut
3. akut abdomen ecdd/
1. IBD
2. Ileus paralitik
3. Ileus obstruksi
4. icterus ec dd/
1. DILI
2. Hepatitis fulminan
3. Acute on liver injury
5. AKI stage II dd/ hepatorenalsyndrome

1.6 TERAPI

 Bed rest
 Diet hati III
 IVFD RL 20 gtt/menit
 IV Ceftriaxon 2gr/24jam
 Combiven 1 fls/8jam
 Fuluicyl 3x1cth
 Valsartan 1x80 mg

1.7 PLANNING

 Foto thorax

22
 HbSAg
 CT-BT
 urinalisa

1.8 PROGNOSIS
Quo ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad fuctionam : dubia ad malam
Quo ad sanactionam : dubia ad malam

1.9 FOLLOW UP HARIAN

Tanggal Catatan Instruksi

04/05/2017 S/ Th/

- muntahdarah - Bedrest
- riwayat BAB berdarah 1 hari - Diet Hati II
yang lalu - IVFD RL 20 gtt/i
- nafsu makanberkurang - IVMeropenenm 1 gr/8jam
- IV Omeprazole 40 mg/12
jam
- IV Asamtranexamat
O/ 500mg/8jam
- IV Vit K/8 jam
Kes : apatis
- Curcuma 3x1
TD : 110/80 mmHg

N : 104x/i

RR : 22x/i P/

T : 36,8oC - Kulturdarah + STAB


- DR,elektrolit/3 hari

23
- PT/APTT
- Ro thorax
Ass/
- BNO 3 posisi
1. Penurunan kesadaran ec dd/ - Konsul GEH
1.Sepsis berat - Konsul geriatric
2.HE - SGOT/SGPT/bilirubin
3.Meningitis TB total/bilirubin
2. dd/ 1.TB paru dengan DILI direct/bilirubin indirect
2.HAP
3.Bronkitis akut
3. akut abdomen ecdd/
1. DILI
2. Hepatitis fulminant
3. Acute on injury liver
4. icterus ec dd/
1. DILI
2. Hepatitis fulminan
3. Acute on liver injury
5. AKI stage II dd/ hepatorenal
syndrome
05/05/2017 S/ Th/

- Penurunan kesadaran (-) - Bedrest


- Nyeri perut (+) - Diet Hati II
- IVFD RL 20 gtt/i
- IV Meropenenm 1 gr/8jam
O/
- IV Omeprazole 40 mg/12
Kes : CM jam
- IV Asamtranexamat
TD : 110/80 mmHg
500mg/8jam
N : 88x/i - IV Vit K/8 jam

24
RR : 22x/i - Curcuma 3x1

T : 37oC

P/
Ass/
- BNO 3 posisi
4. Penurunan kesadaran ec dd/
- Bilirubin total/bilirubin
1.Sepsis berat
direct/bilirubin indirect
2.HE
3.Meningitis TB
5. dd/ 1.TB paru dengan DILI
2.HAP
3.Bronkitis akut
6. akut abdomen ecdd/
6. IBD
7. Ileus paralitik
8. Ileus obstruksi
9. icterus ec dd/
4. DILI
5. Hepatitis flminan
6. Acute on liver injury
10. AKI stage II dd/
hepatorenalsyndrome

25
06/05/2017 S/ Th/

- BAB berdarah (-) - Bedrest


- Nyeri perut (+) - Diet Hati II
- IVFD Dextrose 5% 20
gtt/i
- IV Meropenenm 1 gr/8jam
O/ - IV Omeprazole 40 mg/12
jam
Kes : CM
- IV Asamtranexamat
TD : 160/80 mmHg 500mg/8jam
- IV Vit K/8 jam
N : 100x/i
- Curcuma 3x1
RR : 22x/i - Sistenol 3x1
- Amlodipine 1x10mg
T : 36,9oC
- Balance cairan

Ass/

1. Penurunan kesadaran ec dd/ P/


1.Sepsis berat
- LFT/3 hari
2.HE
- Follow up ketat
3.Meningitis TB
- Colonoscopy dengan GA
2. dd/ 1.TB paru dengan DILI
2.HAP
3. ikterus ec dd/
1.DILI
2.Hepatitis flminan
3.Acute on liver injury
4. ileus obstruktifdd/ileus paralitik
5. AKI stage II dd/ hepatorenal

26
syndrome
07/05/2017 S/ Th/

- BAB berdarah (-) - Bedrest


- Nyeri perut (-) - Diet Hati II
- IVFD Dextrose 5%
20 gtt/i
- IV Meropenenm 1
gr/8jam
- IV Omeprazole 40
O/
mg/12 jam
Kes : CM - IV Asamtranexamat
500mg/8jam
TD : 160/80 mmHg
- IV Vit K/8 jam
N : 90x/i - Curcuma 3x1
- Sistenol 3x1
RR : 20x/i
- Amlodipine 1x10mg
o
T : 37 C - Balance cairan

Ass/

1. Penurunan kesadaran ec dd/


(perbaikan)
1.Sepsis berat
P/
2.HE
3.Meningitis TB - Colonoscopy dengan
2. dd/ 1.TB paru dengan DILI GA
2.HAP
3. ikterus ec dd/
- LFT/3 hari
1.DILI
2.Hepatitis fulminan

27
4. ileus obstruktif dd/ileus paralitik
5. AKI stage II dd/ hepatorenal
syndrome
08/05/2017 S/ Th/

- BAB berdarah (-) - Bedrest


- Mual muntah (-) - Diet Hati II
- IVFD Dextrose 5%
20 gtt/i
- IV Meropenenm 1
O/ gr/8jam
- IV Omeprazole 40
Kes : CM
mg/12 jam
TD : 140/80 mmHg - IV Asamtranexamat
500mg/8jam
N : 86x/i
- IV Vit K/8 jam
RR : 22x/i - Curcuma 3x1
- Sistenol 3x1
T : 36,8oC
- Amlodipine 1x10mg
- Balance cairan

Ass/

1. Ikterus ec dd/
1.DILI
2.Hepatitis fulminan
2. dd/ 1.TB paru denganDILI
2.HAP P/
3. ileus obstruktif dd/ileus paralitik
- Colonoscopy dengan
4. AKI stage II dd/ hepatorenal
GA
syndrome
- LFT/3 hari
5. Hematoscheziaecdd/

28
1.colitis TB
2.crhone disease

09/05/2017 S/ Th/

- BAB berdarah (-) - Bedrest


- Diet Hati II
- IVFD Dextrose 5%
20 gtt/i
O/ - IV Meropenenm 1
gr/8jam
Kes : CM
- IV Omeprazole 40
TD : 110/80 mmHg mg/12 jam
- IV Asamtranexamat
N : 84x/i
500mg/8jam
RR : 20x/i - IV Vit K/8 jam
- Curcuma 3x1
T : 36,8oC
- Sistenol 3x1
- Amlodipine 1x10mg
- Balance cairan
- Salofalk 2x500 mg

Ass/

1. Ikterus ec DILI (perbaikan)


2. TB paru lama
3. ileus obstruktif (perbaikan)
4. AKI stage II dd/ hepatorenal P/
syndrome (perbaikan)
- Colonoscopy dengan
5. Hematoschezia ec dd/
GA (puasa 6-8jam)
1.colitis TB

29
2.crhone disease
3.colitis infeksi

10/05/2017 S/ Th/

- BAB hitam (-) - Bedrest


- Diet Hati II
- IVFD Dextrose 5%
20 gtt/i
O/ - IV Meropenenm 1
gr/8jam
Kes : CM
- IV Omeprazole 40
TD : 110/70 mmHg mg/12 jam
- Curcuma 3x1
N : 88x/i
- Sistenol 3x1
RR : 20x/i - Amlodipine 1x10mg
- Salofalk 2x500 mg
T : 36,6oC

Ass/
P/
1. Ikterusec DILI (perbaikan)
PBJ
2. TB paru lama
3. ileus obstruktif (perbaikan)
4. AKI stage II dd/ hepatorenal
syndrome (perbaikan)
5. Hematoschezia ec dd/
1.colitis TB
2.crhone disease

30
3.colitis infeksi

31
BAB IV

PEMBAHASAN

Studi kasus pada pasien Tn. SYA umur 92 tahun berdasarkan keluhan utama dan keluhan
penyerta lainnya ditetapkan 5 diagnosa kerja yang dihasilkan pada gambaran klinis yang
didapatkan pada anamnesis, yang ditemukan pada pemeriksaan fisik, serta pemeriksaan
penunjang.

Diagnosis DILI akibat mengkonsumsi obat anti Tuberkulosis pada Tn. SYA dengan
keluhan BAB berdarah dalam seminggu terakhir ini. Pasien juga mengeluhkan lemas dan cepat
lelah serta mudah sesak nafas. Riwayat BAB hitam (+),konsistensi lunak, lengket. Riwayat
minum obat anti nyeri (+), tetapi tidak sering. Muntah hitam (+). Riwayat transfusi darah
sebelumnya (+), dan nyeri pada ulu hati (+). Pasien juga mengeluhkan BAB hitam , konsistensi
lunak, lengket. Demam tidak ada. Paisen juga mengeluhkan batuk berdahak, ada keringat
malam, dan penurunan berat badan. Pasien sudah didiagnosis menderita TB Paru dan dalam
pengobatan OAT. Riwayat hipertensi sejak 10 tahun yang lalu. Riwayat DM (-), malaria (-),
penyakit kuning (-). Riwayat OAT bulan (sedang berjalan). Pada pemeriksaan fisik mata
konjunctiva palpebra inferior kanan dan kiri pucat (-), ikterik kanan dan kiri (-), Pada mulut
candidiasis (+) Stomatitis (-), leukoplakia (-), atrofil papil lidah (-). Pada pemeriksaan telinga
hidung mata dalam batas normal. Pada pemeriksaan leher tidak ditemukan tekanan vena jugular
yang meningkat R2cmH2O, pada pemeriksaan KGB tidak ditemukan adanya pembesaraan.
Pemeriksaan thorax stem fremitus kanan (menurun) Stem fremitus kiri (normal) terdengar suara
vesikuler pada kedua lapangan paru, rhonki (-/-), Wheezing (+/+) dikedua lapangan paru .
Pemeriksaan jantung BJ 1 > BJ 2, terdengar suara regular, bising tidak ditemukan . Pada
pemeriksaan abdomen inspeksi soepel, collateral vein (-), darm steifung (-), darm contour (-),
caput medusa (-). Palpasi Nyeri (+), soepel(+), Hepar teraba 2 cm BAC, 3cm BPX, kosnsistensi
keras, berdungkul-dungkul, sudut tumpul, splenomegaly (-). Perkusi terdengar suara timpani dan
auskultasi terdengar Peristaltik usus (+) menurun 2-3 kali/menit. Ekstremitas ditemukan adanya
pucat (+), edema (-) dan sianosis (-).

32
Untuk menegakan dignosis DILI akibat OAT harus dilakukan anamnesis dan
pemeriksaan fisis yang teliti disertai pemeriksaan laboratorium yang tepat. Berdasarkan
International Consensus Criteria, maka diagnosis hepatotoksisitas imbas obat berdasarkan:
1. Onset dari mulai minum obat dan penghentian obat sampai onset reaksi nyata.
2. Perjalanan reaksi sesudah penghentian obat adalah perbaikan
3. Tindakan biopsy hati
4. Dijumpai respon positif pada pemparan ulang dengan obat yang sama (paling tidak kenaikan
dua kali lipat enzim hati)
Faktor yang menyebabkan seseorang lebih rentan mengalami hepatotoksisitas imbas obat
yaitu: seiring bertambahnya usia, sebab orang lanjut usia banyak yang mengonsumsi sejumlah
obat yang menyebabkan perubahan farmakokinetik. Pada seseorang dengan penyakit hati seperti
hepatitis viral kronik, dapat meningkatkan resiko terjadinya DILI.
Pasien ditatalaksana dengan penghentian obat anti tuberculosis yang dicurigai sebagai
penyebab. Kemudian diberikan diet hati III. Jika dijumpai reaksi alergi berat, diberikan
ortikosteroid.

33
BAB V
DAFTAR PUSTAKA

1. Loho IM, Hasan I. Drug-Induced Liver Injury – Tantangan dalam Diagnosis.


2014;41(3):167–70.
2. Satriawan R, Pendidikan P, Spesialis D, Dan P, Kedokteran I, Kedokteran F, et al.
Penelitian ini dilakukan di bagian Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi Fakultas
Kedokteran Universitas Sebelas Maret / Rumah Sakit Umum Daerah Dr . Moewardi
Surakarta. 2012;
3. Wang N, Huang Y, Lin M, Huang B, Perng C, Lin H. ScienceDirect Chronic hepatitis B
infection and risk of antituberculosis drug-induced liver injury : Systematic review and
meta-analysis. J Chinese Med Assoc [Internet]. the Chinese Medical Association.
Published by Elsevier Taiwan LLC.; 2016;79(7):368–74. Available from:
http://dx.doi.org/10.1016/j.jcma.2015.12.006
4. Holt MP, Ju C. Mechanisms of Drug-Induced Liver Injury. 2006;8(1).
5. Chen M, Suzuki A, Borlak J, Andrade RJ, Lucena MI. Review Drug-induced liver injury :
Interactions between drug properties and host factors. J Hepatol [Internet]. European
Association for the Study of the Liver; 2015;63(2):503–14. Available from:
http://dx.doi.org/10.1016/j.jhep.2015.04.016

34

Anda mungkin juga menyukai