Anda di halaman 1dari 20

Geologi Kulonprogo dan Sejarah Geologi Kulonprogo

“Asosiasi Batugamping diatas Paleo Vulkanik yang menerobos Endapan


Transisi Pasir-Kuarsaan Sisipan Lignit”

Dalam Pemetaan Geologi 2016, Teknik Geologi Universitas Diponegoro


angkatan 2013 ini menuju Pegunungan Selatan, lebih tepatnya daerah Kulonprogo.

Gambar 1. Sketsa Fisografi Jawa (Van Bemmmelen, 1949) dan Citraan Landsat (SRTM
NASA, 2004), Zona Merah merupakan zona pegunungan Selatan daerah Kulonprogo

Pada proses pembentukan batuan vulkanoklastik pada Cekungan Jawa Timur,


material vulkanoklastik banyak tersingkap pada kawasan pegunungan selatan. Pada
daerah Jawa Timur tidak ditemukan adanya batuan Basement, batuan basement ini
ditemukan tersingkap pada bagian barat Jawa Timur yaitu di Kompleks Basement
Karangsambung dan Bukit Jiwo. Batuan yang tersingkap terdiri atas seri ofiolite
dan potongan busur kepulauan (Smyth dkk. (2005).
a. Sistem Pertama
Sedimentasi ini berasal pada saat umur Awal Kenozoikum, endapan ini
berstruktur angular unconformity dengan basement. sedimen pada sistem ini
terdiri atas konglomerat fluvial. Di atasnya terdapat sekuen trangresif dari
batubara, konglomerat, lempung, dan pasir kuarsa dari Formasi Nanggulan
yang berumur Eosen Tengah (Lelono 2000, dalam Smyth dkk. 2005). Pada
batupasir terdiri dari depu lapisan vulkanik, pumice, dan lapisan selang seling
tuff dan mudstone.
Semakin ke atas terjadi perubahan komposisi batupasir berupa
peningkatan mineral feldspar . Pada sistem ini material volkanik meningkat dan
sedimen berubah dari kaya akan kuarsa menjadi kaya mineral feldspar. sedimen
pada sistem ini diperkirakan setebal 1000 m yang tersingkap pada bagian barat
(Karangsambung, Nanggulan dan Jiwo). Pada bagian atas sistem ini terdapat
unconformity ini dapat diinterpretasi terjadi akibat dari penurunan muka air laut.
Sedimentasinya memiliki orientasi perlapisan yang hampir sama, dengan tidak
adanya kegiatan deformasi.

b. Sistem Ke-Dua
Pada sistem ini endapan yang ditemukan berupa hasil dari vulkanik primer
berumur Oligo - Miosen yang menutupi sebagian Zona Pegunungan Selatan.
Pada saat ini terjadi aktivitas vulkanik yang sangat intensif, eksplosif dan
bertipe plinian (Smyth dkk. 2005). Endapan berupa batuan Andesite - Riolit,
termasuk abu vulkanik, Tuff kristal, Pumice, Breksia litik, lava dome dan lava
flows. Tebal lapisan berkisar antara 250 m - 2000 m. Sistem ini dan vulkanik
aktifitas terekam sebagai vulkanisme dengan umur pendek dan mungkin terjadi
letusan besar (Smyth dkk. 2005).

c. Sistem Ke-Tiga
Sedimen sistem ini sekitar 500 m terekam sebagai pengerosian sistem kedua
dan peningkatan endapan karbonat. Terumbu berkembang sangat baik dan
terjadi penurunan aktifitas vulkanik secara besar, sehingga mengakibatkan
kematian aktifitas vulkanik.

Menurut Geologi Regional, Kawasan Pegunungan Selatan memiliki


susunan Stratigrafi sebagai berikut :
Gambar 2. Susunan Stratigrafi Kulonprogo dalam beberapa publikasi

Gambar 3. Susunan Stratigrafi Kulonprogo dalam beberapa publikasi


Beberapa Formasi dan Singkapan Geologi yang akan dikunjungi adalah :
1. Formasi Nanggulan
Nanggulan merupakan formasi tertua di Kulonprogo, dimana Formasi ini
terletak di desa Nanggulan yang berada di kaki sebelah timur pegunungan
Kulonprogo. Litologi penyusun formasi ini terdiri dari Batupasir dengan sisipan
Lignit, Napal pasiran, Batulempung dengan konkresi Limonit, sisipan Napal
dan Batugamping, Batupasir dan Tuf serta kaya akan fosil foraminifera dan
Moluska, dengan ketebalan sekitar 30 meter. Singkapan batuan Eosen di
Nanggulan merupakan singkapan batuan Paleogen yang paling banyak diteliti
dibandingkan ditempat lain di Pulau Jawa terutama karena di Nanggulan
kandungan fosilnya sangat kaya. Pada masa lalu, Nanggulan dianggap sebagai
daerah di “Hindia Timur” (East Indies) dengan fosil fauna Paleogen yang paling
beragam dan paling baik terawetkan di Asia Tenggara. Sebab di daerah
Nanggulan dapat dikenali fauna moluska berumur Eosen yang terdiri atas 106
gastropoda, 23 lamellibranchiata, 3 scaphopoda, dan 4 foraminifera (Rutten,
1927; Martin, 1915).
Nanggulan juga merupakan lokasi-tipe bagi sejumlah spesies moluska dan
foramifera besar, antara lain Nummulites djokdjakartae (Martin), Nummulites
nanggoelina (Verbeek), Discocyclina papyracea var. javana (Verbeek).
Penelitian untuk disertasi oleh Eko Budi Lelono dari Lemigas (2000) tentang
palinologi (serbuk spora) di Nanggulan menetapkan umur Formasi Nanggulan
adalah Eosen Tengah sampai Eosen Akhir berdasarkan kehadiran spora-spora:
Longapertites vaneendenbergi, Proxapertites operculatus, Proxapertites
cursus dan Cicatricosisporites eocenicus dan bersama-sama dengan bentuk-
bentuk lain yang berasal dari tanaman seperti Beaupreadites matsuokae,
Palmaepollenites spp., Cupanieidites cf. C. flaccidiformis, Ixonanthes,
Lakiapollis ovatus, dan Polygalacidites clarus.
Menurut Marks (1957), Formasi Nanggulan dapat dibagi menjadi 3
Anggota yang secara statigrafi dari bawah ke atas adalah :
• Anggota Axinea (Axinea Beds)
Anggota axinea terletak paling bawah dengan ketebalan mencapai 40 meter,
dimana memiliki tipe penciri laut dangkal dengan litoogi penyusunnya
terdiri dari batupasir interkalasi Lignit, kemudian tertutup oleh batupasir
dengan kandungan fosil Pelcypoda yang cukup melimpah, dan Axinea
dunkeri Boetgetter yang dominan.
• Anggota Yogyakarta (Yogyakarta Beds)
dengan litologi penyusun berupa Napal pasiran, serta batuan dan lempung
dengan konkresi yang bersifat gampingan, formasi ini terendapkan secara
selaras di atas axinea beds dengan ketebalan sekitar 60 meter. Formasi ini
banyak terdapat fosil gastropoda dengan fosil penciri Nummulities
djogjakartae.
• Anggota Discocyclina (Discocyclina Beds)
Lapisan ini memiliki ketebalan 200 meter dengan menumpang selaras di
atas anggota yogyakarta yang tersusun batuan napal dan batugamping
berselingan dengan batupasir dan serpih. Semakin ke atas, kandungan
foraminifera planktonik yang melimpah dengan fosil penciri Discocyciina
omphalus. Formasi Nanggulan memiliki kisaran umur antara Eosen Tengah
sampai Oligosen Atas (Hartono, 1969, vide Wartono Raharjo dkk, 1977).

Gambar 4. Batupasir kaya kuarsa pada Songo Beds, Formasi Nanggulan berusia
Eosen Tengah (Awang Satyana dkk , 2013)
Gambar 5. Channelised conglomeratic sandstone of basement origin from the Kali
Songo Member of the Nanggulan Formation, Central Java ( Smyth dkk , 2003)

Gambar 6. Serpih Karbonan pada Formasi Nanggulan berusia Eosen Tengah ( Awang
Satyana dkk , 2013)

Nanggulan memiliki karakteristik endapan transisi - laut dangkal, hal ini


terlihat dari karakteristik batuan sedimennya dimana dapat ditemui struktur
sedimen flaser dan lenticular, ripple, wavy, cross laminasi, serta Hummocky
Cross Stratification. Pada Zaman Paleosen terjadi susut laut yang berlangsung
hingga oligosen, menyebabkan sedikitnya terbentuknya endapan saat itu.
Sedangkan Formasi Nanggulan dianggap sebagai daerah rendahan dan terdapat
daerah lain yang menjadi tinggian yang kemudian terombakkan dan dapat
menjadi sumber sedimen. Hal ini karena pada Zaman Paleosen - Eosen belum
ditemui adanya vulkanisme yang umum menjadi sumber material sedimen.
Sedangkan bagian atas Formasi Nanggulan yang berumur Oligosen sudah
mendapatkan pengaruh Vulkanik pada material sedimennya, hal ini ditandai
dengan banyak ditemuinya komposisi pasir kuarsa-an. Dengan karakteristik
endapan yang ditunjukkannya, beberapa lingkungan yang dapat menjadi
lingkungan pengendapan Formasi Nanggulan antara lain:
Gambar 7. Beberapa Lingkungan Pengendapan yang Diinterpretasikan sebagai
Lingkungan Pengendapan Formasi Nanggulan, (a) Estuarin, (b) Delta, (c) Wave-
Dominated Delta, (d) Pantai, (e) Shelf.

2. Old Andesite Formation


Di atas Formasi Nanggulan diendapkan Formasi Andesit Tua (Bemmelen,
1949). Pringgoprawiro dan Riyanto (1987) merevisi penamaan Formasi Andesit
Tua menjadi dua Formasi yaitu Formasi Kaligesing dan Formasi Dukuh.
Formasi Kaligesing dicirikan oleh breksi monomik, dengan fragmen andesit,
sisipan batupasir dan lava andesit. Rahardjo, dkk,(1995) menamakan Formasi
ini sebagai Formasi Kebobutak. Sedangkan Formasi Dukuh terdiri dari breksi
polimik dengan fragmen andesit, batupasir, batugamping. Hal ini dapat terjadi
karena pada Zaman Oligosen Akhir pada skala global mulai terjadi kenaikan
muka air laut. Sehingga pada Formasi Kebobutak dan Dukuh diperkirakan
material piroklastik yang terbentuk banyak terendapkan pada lingkungan
transisi - laut akibat terjadinya sea level rise. Sehingga dapat terjadi
pencampuran dengan fragmen batupasir dan batugamping, terkhusus seperti
yang ditemui pada Formasi Dukuh. Material piroklastik yang ditemui dapat
berupa endapan aliran, surge, dan jatuhan. Umur Formasi tersebut adalah
Oligosen Akhir – Miosen Awal.
Selain Kedua Formasi tersebut, terdapat intrusi yang diperkirakan sebagai
tubuh utama magmatik yang mengontrol aktivitas vulkanik kompleks
pegunungan Kulonprogo, Magma ini pada awalnya bersifat Andesit, kemudian
aktivitas berikutnya yang menerobos tubuh batuan Andesit memiliki komposisi
yang sedikit bergeser ke arah asam, menjadi Dasit. Umur Intrusi ini
diperkirakan berumur Oligosen Akhir – Miosen Awal.

3. Formasi Jonggrangan
Tersusun oleh konglomerat, napal tufan, dan batupasir gampingan
dengan kandungan Moluska serta batulempung dan sisipan lignit di bagian
bawah. Di bagian atas komposisinya batu gamping berlapis dan batugamping
koral. Ketebalan lapisan ini antara 250-400. Formasi ini terbentuk akibat
pasifnya aktivitas Vulkanik Kompleks pegunungan Kulonprogo, dan akibat
kelanjutan proses kenaikan muka air laut sehingga lingkungan transisi menjadi
laut dangkal. Selain itu akibat lingkungan Kulonprogo saat itu yang berupa Laut
lepas ; Samudera Hindia, sehingga memiliki arus yang cukup kuat, dan sirkulasi
air yang baik untuk membawa supply makanan dan dapat mendukung
kehidupan lingkungan terumbu yang umum ditemui pada daerah bergaris
lintang rendah (0o-10o). Pada Formasi ini, lingkung terumbunya berada pada
puncak - puncak tinggian sehingga lebih dekat dengan permukaan laut agar
mendapatkan sinar matahari. Sedangkan pada daerah rendahannya dianggap
sebagai cekungan yang mendapatkan sumber sedimen berupa pecahan dan
rombakan terumbu serta fosil moluska, foraminifera dan alga.

Gambar 8. Pengaruh Kekuatan Arus dengan Variatif Terumbu yang Hidup (


James, -).

Gambar 9. Pengaruh Garis Lintang terhadap Organisme Penyusun Fragmen


Batugamping.

Formasi Jongrangan diperkirakan berumur Miosen Bawah-Tengah dan


terletak secara tidak selaras di atas Formasi Kebo Butak.
4. Formasi Sentolo
Litologi penyusun Formasi Sentolo ini pada bagian bawah, terdiri dari
Aglomerat dan Napal, semakin ke atas berubah menjadi Batugamping berlapis
dengan lingkungan pengendapan berada pada Fasies Neritik. Batugamping
terumbu dijumpai secara lokal, menunjukkan umur yang sama dengan formasi
Jonggrangan, tetapi di beberapa tempat umur Formasi Sentolo adalah lebih
muda (Harsono Pringgoprawiro, 1968, hal.9). Formasi Sentolo bagian bawah
dianggap merupakan lingkungan laut yang lebih dalam dibandingkan lautan
dangkal yang pada akhirnya terbentuk Formasi Jongrangan. Sehingga pada
Formasi Sentolo bagian bawah umum ditemui Aglomerat dan Napal hasil
rombakan material piroklastik Formasi Dukuh dan Kebobutak yang
terendapkan pada lingkungan karbonat.
Berdasarkan penelitian fosil Foraminifera yang dilakukan Darwin Kadar
(1975) dijumpai beberapa spesies yang khas, seperti : Globigerina insueta
Cushman & Stainforth, dijumpai pada bagian bawah dari Formasi Sentolo.
Fosil-fosil tersebut menurut Darwin Kadar (1975, vide Wartono Rahardjo, dkk,
1977) mewakili zona N8 (Blow, 1969) atau berumur Miosen bawah. Menurut
Harsono Pringgoprawiro (1968) umur Formasi Sentolo ini berdasarkan
penelitian terhadap fosil Foraminifera Plantonik, adalah berkisar antara Miosen
Awal sampai Pliosen (zona N7 hingga N21). Formasi Sentolo ini mempunyai
ketebalan sekitar 950 meter ( Wartono Rahardjo, dkk, 1977). Pada beberapa
daerah di Kulonprogo, Formasi Sentolo menunjukkan deformasi struktur yang
minim terutama Formasi Sentolo yang terbentuk pada Zaman Pliosen. Pada
beberapa bagiannya Formasi Sentolo menunjukkan Batuan yang berlapis.
Gambar 10. Model Sedimentasi Formasi Jongrangan dan Sentolo (C.Prasetyadi,2007 )

5. Kolovium
Endapan Kolovium pada daerah Kulonprogo terbentuk dari material
longsoran yang tertransportasi tanpa medium air, satuan endapan ini terbentuk
pada beberapa lembah dan menunjukkan ciri material berbutir kasar, berbentuk
menyudut dan endapan campuran batuan. Endapan Kolovium ini terbentuk
pada Umur Kuarter.

6. Alluvium
Endapan Alluvial (Alluvium) pada daerah Kulonprogo terbentuk dari
material longsoran dan lapukkan yang kemudian tertransportasi dengan media
air, satuan endapan ini terbentuk pada beberapa lembah dan dataran, serta tepi
sungai. Menunjukkan ciri material berbutir agak kasar, berbentuk agak
membundar dan agak menyudut dan endapan campuran batuan, serta dominan
material berbutir kasar. Endapan Alluvial ini terbentuk pada Umur Kuarter.
Gambar 11. Peta Geologi Lembar Yogyakarta yang menunjukkan daerah Kulonprogo.
(PPP Geologi, 1995)
Vulkanoklastik dan Volkanogenik

Gambar 12. Diagram Produk dari Erupsi Vulkanik (McPhie dkk, 1993)

Material erupsi vulkanik menghasilkan berbagai macam karakteristik


endapan, hasil endapan material vulkanik langsung oleh Mcphie,1993, dibagi
menjadi 2 berdasarkan karakter letusannya, dimana karakter erupsi vulkanik
bersifat Efusif, cenderung menghasilkan aliran lava, dimana produknya adalah
lava koheren atau intrusi, dan endapan autoklastik. Sementara m erupsi
Eksplosif cenderung menghasilkan piroklastik yang pada produknya dibedakan
oleh mekanisme transportasinya. Proses resedimentasi material autoklastik dan
piroklastik oleh Mcphie disebut Endapan Vulkaniklastik, dimana mekanisme
transportasinya dapat berjenis aliran massa, traksi, ataupun suspensi.
Vulkaniklastik cenderung mengalami sangat sedikit pelapukan, erosi dan
rework, dan cenderung langsung mengalami proses resedimentasi.
Sementara proses lebih lanjut dari material endapan Erupsi Vulkanik
adalah Endapan Sedimen Vulkanogenik, Endapan Sedimen ini berasal
sepenuhnya dari material vulkanik yang mengalami pelapukan, erosi, dan
rework, dan telah ter-residementasi pasca erupsi. Secara mekanisme
pengendapan material vulkanogenik dapat berjenis aliran massa, traksi, dan
suspensi.
Perbedaan Vulkanogenik dan Vulkaniklastik secara singkapan dapat
dibedakan secara tekstur dan komposisinya. Vulkaniklastik resedimented syn-
eruptive menurut Mc Phie, et al., (1993) adalah endapan vulkaniklastik yang
berasal dari re-sedimentasi material vulkanik dengan ciri:
- Struktur dan hasil lapisan menunjukkan mekanisme sedimentasi yang
cepat
- Tidak mengalami perubahan drastis secara tekstural,
- Komposisi penyusun umumnya identik (andai menunjukkan
perubahan, bersifat sistematis).
Pada masing - masing asal muasal endapan vulkaniklastik memiliki
ciri lainnya yang lebih detail, yaitu :
a. Resedimentasi Endapan Autoklastik
- Laut Dangkal
 Terjadi pencampuran material autoklastik dan piroklastik
 Kombinasi mekanisme pengendapan aliran massa dan arus traksi
yang ditunjukkan pada singkapan dan lapisan batuan.
 Di dominasi oleh material kasar berkisar > 2mm.
- Laut Dalam
 Sedikit Vesikular, di dominasi klastika dari pendinginan lava.
 Dominasi mekanisme aliran masa pada pembentukan lapisan
 Memungkinkan memiliki dip hingga 25o
 Memiliki bentuk butir bulat dan cenderung halus
 Berasosiasi dengan Hyaloklastit insitu dan Lava koheren.
b. Resedimentasi Endapan Piroklastik
- Daratan dan Laut Dangkal
 Kombinasi massa aliran, aliran pekat berkonsentrasi tinggi dan arus
traksi pada mekanisme pembentukan lapisan.
 Bersih dari material ash.
- Laut Dalam
 Endapan sangat tebal yang terdiri dari aliran masa sedimen yang
masif, memiliki kristal, litik dan degradasi normal, dengan endapan
pumice dan glass pada bagian atas.
 Keberadaan Intraclast pada dekat dasar aliran massa.
 Pada endapan laminasi, memiliki komposisi kaya akan glass hasil
dari suspensi.

Gambar 13. Karakteristik Resedimentasi Endapan Syn-Eruptive Volcanoclastics ( McPhie


dkk, 1993)
Gambar 14. Contoh gambar beberapa singkapan Vulkaniklastik (McPhie dkk, 1993)

Sedangkan untuk material Vulkanogenik, Mcphie mendeskripsikan


bahwa material ini merupakan material Rework dan Resedimen lanjutan dari
Vulkanoklastik, sehingga memiliki ciri :
- Terjadi pencampuran antara material Non-Vulkanik dan Vulkanik
- Memiliki perbedaan komposisi material vulkanik baik jenis maupun
tekstur
- Ukuran butir cenderung membundar
- Tersortasi cukup baik - baik.
Sedangkan menurut lokasi lingkungan pengendapannya, karakteristik
yang akan ditunjukkan menurut Mcphie adalah
- Darat dan Laut Dangkal
 Di dominasi oleh endapan dengan mekanisme arus traksi.
- Laut Dalam
 Di dominasi oleh endapan dengan mekanisme aliran massa
 Lapisan sedang - tebal yang memiliki lapisan cenderung datar (
horizontality of strata law )

Gambar 15. Karakteristik Endapan Vulkanogenik pada Lingkungan Darat dan Laut
dangkal, serta Laut dalam (McPhie dkk , 1993)
Struktur Geologi Kawasan Kulonprogo

Struktur geologi kawasan Kulonprogo sendiri secara mayor


diinterpretasikan tidak terdapat sesar besar yang mengontrol. Namun pada beberapa
daerah menunjukkan struktur lokal. Pada Formasi Nanggulan, secara meso
menunjukkan struktur - struktur geologi seperti sesar naik, sesar turun, sesar
mendatar, lipatan dan kekar, serta beberapa struktur penyerta. Sedangkan pada
Formasi Kebobutak, Formasi Dukuh, dan Formasi Sentolo, pada beberapa daerah
menunjukkan sesar turun, bahkan pada Fasies Proksimal daerah Gunung Api Purba
Ijo, memiliki sesar turun dan mendatar bersifat radial menuju Fasies Sentral
Gunung Api Purba Ijo. Sementara struktur antilklin dan sinklin pada Formasi
Sentolo yang diperkirakan pada Fasies Distal dari Gunung Api Purba Ijo
diinterpretasikan terbentuk dari gaya isostasi material piroklastik dan sesar turun
pada Gunung Ijo.
Beberapa struktur geologi Kulonprogo mendapat pengaruh dari gaya
bersifat lokal dan regional (subduksi Indo-Australia di selatan). Selain itu aktivitas
Gunung Api Merapi juga menyebabkan terjadinya struktur - struktur geologi
bersifat lokal pada daerah Kulonprogo untuk struktur berusia Kuarter.
DAFTAR PUSTAKA

Tim Geologi. Ekskursi Paleontologi Sangiran. 1987. STT Nas: Yogyakarta.


Marwati Djoened Poesponegoro, dkk. 2008. Sejarah Nasional Indonesia I, Balai
pustaka: Jakarta.
S. Winardi, dkk. 2013. Potensi Serpih Eosen Formasi Nanggulan sebagai
Batuan Sumber Hidrokarbon. Indonesian Journal of Geology, Vol. 8.
Van Bemmelen, R.W..1970. The Geology of Indonesia, volume 1. A.Haque.
Netherlands.
H. Smyth, dkk. 2003. Volcanic Origin Of Quartz-Rich Sediments in East Java.
29th IPA Annual Convention & Exhibition.
Elvan dkk. 2015. Tugas Stratigrafi Analisis “Vulkaniklastik”. Universitas
Jenderal Soedirman. Indonesia.
J. McPhie dkk. 1993. Volcanic Textures : A guide to the interpretation of
textures in volcanic rocks. University of Tasmania. Australia.
https://geotrekindonesia.wordpress.com/2013/07/page/2/ (Diakses pada
Minggu, 10 Januari 2016, pukul 12.30 WIB)

Anda mungkin juga menyukai