Anda di halaman 1dari 37

BAB 1

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Geomorfologi adalah salah satu cabang dari ilmu Geologi yang
berfokus pada studi mengenai proses-proses/morfogenesa dan kondisi
pembentukan dan bentuk-bentuk permukaan bumi, untuk itu dalam
meningkatkan pemahaman mahasiswa tentang materi-materi geomorfologi
(secara teori) yang telah diberikan dalam perkuliahan, yaitu tentang hubungan
batuan dan mineral dalam interpretasi geomorfologi, bentuk-bentuk dan ciri-
ciri bentang alam yang dapat diamati dilapangan dan lain-lain. Sehingga,
diharapkan mahasiswa dapat mengetahui bagaimana bentuk–bentuk fisik dari
permukaan bumi, bagaimana karakteristik suatu daerah serta bagaimana
proses terjadiannya bentang alam itu sendiri dalam proses pembentukannya di
alam.
Teori dasar yang diberikan di dalam perkuliahan pada umumnya bersifat
ideal sehingga lebih mudah dimengerti dan dibayangkan. Namun pada
kenyataan di lapangan, apa yang diamati tidaklah semudah yang penulis
bayangkan. Sehingga, diperlukan suatu penelitian lebih lanjut dan secara
langsung mengenai kenampakan objek-objek geomorfologi batuan dan
mineral serta bentang alam agar didapatkan suatu pemahaman yang
diharapkan. Penelitian secara langsung ini dapat dilakukan melalui pemetaan
geomorfologi. Selain itu, penelitian di lapangan merupakan penelitian yang
sesungguhnya. Karena pada dasarnya, sebuah teori terlahir karena adanya
penelitian dari alam. Sehingga untuk membuktikan serta membandingkan
kebenaran dari hasil teori yang telah ada, maka pemetaan geomorfologi ini
perlu dan mutlak untuk dilakukan. Sehingga, mahasiswa tidak hanya
memahami teori dengan menerima materi tersebut secara mentah saja.
Namun, mahasiswa dituntut untuk mampu menganalisa dengan baik apabila
dihadapkan secara langsung di lapangan.

1
1.2 Maksud dan Tujuan
Maksud dari pemetaan geomorfologi ini adalah, sebagai syarat
kelulusan mata kuliah geomorfologi. Yang merupakan mata kuliah wajib
pada Program Studi S1 Teknik Geologi, Jurusan Teknik Sipil, Fakultas
Teknik, Universitas Tadulako.
Tujuan dari pemetaan geomorfologi yaitu agar mahasiswa dapat lebih
memahami dan dapat mendeskripsikan atau menginterpretasikan keadaan
bentang alam serta mampu menjelaskan morfogenesanya atau asal mula
terjadinya suatu daerah di muka bumi ini dan dapat membuat peta
geomorfologi berdasarkan data-data lapangan dan kondisi geologi daerah
penelitian.
1.3 Waktu Letak dan Kesampaian Daerah
Waktu Pelaksanaan kegiatan Pemetaan dilakukan selama 3 hari (terhitung
dari tanggal 29-31 Desember 2017). Pemetaan ini dilakukan didaerah Batusuya
dan sekitarnya kecamatan Sindue Tobata, kabupaten Donggala, Sulawesi-
Tengah posisi geografis daerah penelitian yaitu : 00°23’00” LS - 00°28’00”
LS dan 119°45’00” BT - 119°50’00” BT, dengan luas daerah pemetaan yaitu
±85,884583 km2, ditempuh dengan jarak ± 35 km dari kota Palu. Kesampaian
daerah dapat ditempuh dengan kendaraan roda dua dan roda empat dengan
kondisi jalan beraspal. sedangkan untuk mencapai lokasi pengamatan, dapat di
tempuh dengan berjalan kaki, kendaraan roda dua dan juga roda empat.

LOKASI
PEMETAAN

Gambar 1. Peta Lokasi Pemetaan Geomorfologi.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Salah satu kunci pokok dalam mempelajari geomorfologi adalah “Evolusi
geomorfik yang kompleks lebih umum dibandingkan dengan evolusi yang
sederhana” Hal ini dapat diketahui bahwa proses yang bekerja pada suatu
kenampakan dibumi saat ini tidak hanya bekerja dalam satu proses, akan tetapi
telah mengalami proses yang banyak, bervariasi maupun berulang- ulang yang
pada akhirnya akan membentuk kenampakan yang komplek seiring dengan
berjalannya waktu. Dalam hal ini struktur geologi dan litologi memegang peranan
penting dalam analisis geomorfologi, karena dapat diketahui proses- proses yang
terjadi baik yang bersifat konstruksional maupun destruksional.
Pemetaan geomorfologi meliputi segala aspek yang berhubungan dengan
gambaran bentuklahan, proses bentuklahan, nilai - nilai bentuklahan dan material
penyusun bentuklahan. Aspek - aspek tersebut tidak hanya disampaikan dalam
bentuk kata (verbal), seperti ketepatan bentuk, ukuran dan posisi, tetapi sangat
beik dituangkan dalam bentuk peta. Secara umum peta dapat diklasifikasikan
menjadi peta tujuan umum dan peta tujuan khusus.
Penelitian dan pemetaan geomorfologi saat ini merupakan gabungan dari
dua sumber yang berbeda, yaitu penelitian yang mendalam tentang geomorfologi
dan hubungan geomorfologi dengan bidang ilmu lainnya. Penelitian sistematika
yang mendalam tentang geomorfologi akan menghasilkan peta geomorfologi
analitik, khususnya yang paling menonjol menghasilkan informasi monodisiplin
dan pada bagian lain menampilkan informasi bentuklahan, sebagian proses
eksogen, menekankan unsur - unsur morfogenesis (termasuk morfostruktural) dan
mungkin morfokronologi.
Penelitian terhadap hubungan antara geomorfologi dengan pengkajian
elemen - elemen lingkungan disebut sebagai ekologi bentanglahan (landscape
ecology) dan hasilnya berupa peta yang disebut sebagai peta sintetik (holistik).
Peta - peta sintetik (holistik) memiliki kandungan multidisiplin ilmu dan data

3
geomorfologi terpadu, sebagian memberikan informasi bentuklahan ditambah
dengan proses eksogen dan endogen, data litologi, sedimen, tanah
Pendekatan analitik dan sintetik memiliki hubungan yang erat, sehingga
penelitian yang bersifat analitik akan menghasilkan satuan - satuan pemetaan
geomorfologi yang rinci, sedangkan penelitian yang bersifat sintetik menghasilkan
informasi - informasi yang berhubungan dengan aspek - aspek terapan, seperti
informasi lingkungan dan hubungan lingkungan dengan bentanglahan (landscape).
Pada kasus tertentu peta geomorfologi terapan dibuat berdasarkan peta
geomorfologi analitik dan pada kasus lain peta geomorfologi sintetik
menampilkan informasi - informasi klasifikasi bentuklahan untuk tujuan tertentu.

2.1. Aspek Aspek Geomorfologi


Konsep pemetaan geomorfologi yang dikemukakan di bawah ini me -
ngacu kepada sistem yang dikembangkan oleh oleh Verstappen (1967,1968)
dan Van Zuidam (1968, 1975) yang dilandasi pengalaman di wilayah tropis
seperti di Indonesia dan Amerika Latin. Sistem pemetaan geomorfologi harus
memenuhi kriteria unsur - unsur geomorfologi, seperti gambaran bentuk
(morfografi), asal-usul / proses terjadinya bentuk (morfogenetik), penilaian
kuantitatif bentuk (morfometri) dan material penyusun.
A. Morfografi

Morfografi secara garis besar memiliki arti gambaran bentuk


permukaan bumi atau arsitektur permukaan bumi. Secara garis besar
morfografi dapat dibedakan menjadi bentuklahan perbukitan/punggungan,
pegunungan, atau gunungapi, lembah dan dataran. Beberapa pendekatan
lain untuk pemetaan geomorfologi selain morfografi adalah pola
punggungan, pola pengaliran dan bentuk lereng.
1. Dataran
Dataran adalah bentuklahan dengan kemiringan lereng 0% sampai
2%, biasanya digunakan untuk sebutan bentuklahan asal marin (laut),
fluvial (sungai), campuran marin dan fluvial (delta) dan plato.

4
a. asal marin (marine landforms origin) terdiri dari :
1. dataran pesisir (coastal plain)
2. dataran pesisir aluvial (alluvial coastal plain)
3. beting gisik (beach ridge)
4. lembah gisik (beach swale)
5. dataran pantai (beach)
b. Bentuklahan asal fluvial (fluvial landforms origin) terdiri dari :
1. dataran banjir (flood plain)
2. tanggul alam (natural levee)
3. undak sungai (teracce)
c. asal campuran (delta), terdiri dari :
1. delta kaki burung (birdfoot delta)
2. delta membulat (lobate delta 0 )
3. delta memanjang (cuspate delta)
4. delta kuala (estuarine delta0
Aspek-aspek geologi yang dapat tercermin dari morfografi
dataran asal marin, plato dan fluvial adalah :
1. Dataran marin : disusun oleh material berbutir halus sampai sedang
yaitu pasir yang terpilah baik dan kemasan terbuka karena lebih
banyak dipengaruhi oleh hempasan ombak, bercampur dengan
lempung dan lanau.
2. Dataran fluvial : disusun oleh material berbutir halus seperti lempung
dan lanau sampai bongkah-bongkah. Material penyusun dataran
fluvial biasa disebut endapan aluvium dan jika telah termampatkan
disebut konglomerat.
3. Dataran delta : disusun oleh material - material pasir berbutir halus
sampai sedang, lempung, dan lanau, disertai dengan sisa-sisa
tumbuhan atau endapan batubara.
4. Dataran plato disusun oleh mterial gunung api, seperti breksi dan tuf.

5
2. Perbukitan dan Pegunungan
perbukitan (hilly) memiliki ketinggian antara 50 meter sampai
500 meter di atas permukaan laut dan memiliki kemiringan lereng antara
7 % sampai 20 %, sedangkan pegunungan (mountaineous) memiliki
ketinggian lebih dari 500 meter dan kemiringan lereng lebih dari 20%.
Sebutan perbukitan digunakan terhadap bentuklahan kubah intrusi (dome
landforms of intrusion), bukit rempah gunungapi / gumuk tefra, koral
(karst) dan perbukitan yang dikontrol oleh struktural.
Sebutan pegunungan digunakan terhadap rangkaian yang
memiliki ketinggian lebih dari 500 meter dan kemiringan lereng lebih
dari 20%, biasanya merupakan satu rangkaian dengan bentuklahan
gunungapi atau akibat kegiatan tektonik yang cukup kuat, seperti
pegunungan Himalaya (di India), pegunungan Alpen (di Eropa) dan
Pegunungan Selatan (di Jawa Barat).
Aspek - aspek geologi yang berhubungan dengan perbukitan dan
pegunungan tersebut antara lain :
a. Perbukitan kubah intrusi, disusun oleh material batuan beku intrusi
yang memilik ciri khas membentuk pola aliran sentriptal, soliter
(terpisah), biasanya terbentuk pada daerah yang dipengaruhi oleh sesar
dan tersebar tidak beraturan
b. perbukitan rempah gunungapi (gumuk tefra) disusun oleh material -
material hasil erupsi gunungapi yang berbutir halus sampai bbongkah
dengan ciri khas tidak jauh dari gunungapi se - bagai sumber material.
Gumuk tefra terbentuk karena kegiatan erupsi gunungapai.
c. perbukitan karst (gamping) disusun oleh material sisa kehidupan
binatang laut (koral), bersifat karbonatan. Ciri khas perbukitan karst
membentuk perbukitan yang berkelompok, membentuk pola
pengaliran multi basinal (tiba - tiba menghilang), terdapat gua - gua
dengan stalagtit dan talagmit. Daerah perbukitan karst mencerminkan

6
jejak lingkungan laut dangkal (25 meter sampai 50 meter), sehingga
garis pantai lama tidak jauh dari kumpulan perbukitan karst tersebut.
d. perbukitan yang memanjang mencerminkan suatu perbukitan yang
terlipat, sehingga dapat diperkirakan material penyusun berupa batuan
sedimen, seperti batupasir, batulempung dan batulanau atau
perselingan batuan sedimen tersebut. Ciri khas bentuklahan perbukitan
terlipat memiliki pola pengaliran paralel atau rektangular yang
berbeda arah, mengikuti lereng sayap dari perbukitan tersebut,
sedangkan puncak dari perbukitan bertindak sebagai batas pemisah
aliran (water devided). Bentuklahan perbukitan memanjang terbentuk
akibat dari kegiatan tektonik lemah (pengangkatan), sehingga
membentuk perlipatan. Perbukitan yang berbelok atau terpisah,
kemungkinan diakibatkan oleh gerakan dari sesar geser.
e. pegunungan terdapat pada suatu rangkaian gunungapi, seperti
rangkaian gunungapi Tangkuban Parahu dengan Tampomas terdapat
rangkaian pegunungan Bukit Tunggul, Manglayang dan rangkaian
pegunungan di Utara Tanjungsari, kemudian menyambung dengan
Gunungapi Tampomas. Selain rangkaian pegunungan yang terdapat di
sekitar gunungapi, terdapat pula rangkaian pegunungan yang
diakibatkan oleh tektonik, seperti rangkaian Pegunungan Selatan Jawa
Barat yang membentang dari Barat di Teluk Palabuan Ratu
(Sukabumi) sampai ke Timur di Teluk Pangandaran (Ciamis).
3. Lembah
Permukaan bumi yang tertoreh oleh limpasan air permukaan akan
membentuk lembah. Pada awalnya torehan (erosi) limpasan air
permukaan berupa erosi permukaan (sheet erosion) kemudian menjadi
erosi alur (riil erosion), erosi parit (gully erosion), lembah (valley) dan
selanjutnya lembah sebagai penampung aliran air menjadi sungai.
Limpasan air permukaan yang masuk ke lembah selalu membawa muatan
sedimen hasil dari pengikisan air tersebut dan selanjutnya sungai
membawa muatan sedimen untuk di endapkan pada daerah (cekungan)

7
tertentu menjadi suatu endapan (sedimen). Secara garis besar jenis - jenis
lembah dapat dibedakan menjadi :
a. Jenis lembah U tumpul
b. Jenis lembah U tajam
c. Jenis lembah V tumpul
d. Jenis lembah V tajam.
Jenis lembah U tumpul terjadi pada daerah - daerah yang relatif
datar, erosi yang berlangsung cenderung ke arah lateral (samping) dan
erosi ke arah vertikal (dasar sungai) relatif tidak berlangsung. Erosi ke
arah vertikal terhenti, karena telah mencapai batuan dasar sungai yang
relatif keras dibandingkan dengan batuan yang berada di tepi sungai.
Jenis lembah U tajam terjadi pada daerah - daerah yang memiliki
kemiringan lereng landai, erosi lateral (ke samping) lebih besar dari pada
erosi vertikal (ke arah dasar sungai), pengumpulan (akumulasi) sedimen
berlangsung dari lereng - lereng lembah.
Jenis lembah V tumpul terjadi pada daerah - daerah yang
memiliki lereng landai sampai agak curam, erosi vertikal (ke arah dasar
sungai) berlangsung lebih kuat daripada erosi lateral (ke arah samping)
yang disertai dengan erosi dari bagian atas lereng lembah tersebut dan
pengumpulan (akumulasi) endapan (sedimen) terjadi di dasar lembah.
Bentuk lembah V tumpul yang tidak simetris disebabkan oleh perbedaan
jenis batuan atau struktur pada salah satu sisi lembah
Jenis lembah V tajam terjadi pada daerah - daerah yang memiliki
lereng curam, erosi vertikal (ke arah dasar sungai) sangat kuat karena
dipe - ngaruhi oleh tektonik. Kondisi batuan dan iklim sangat
berpengaruh terhadap pembentukkan jenis lembah V tajam.
4. Bentuk Lereng
Bentuk lereng merupakan cerminan proses geomorfologi eksogen
atau endogen yang berkembang pada suatu daerah dan secara garis besar
dapat dibedakan menjadi :
a. Bentuk lereng cembung.

8
b. Bentuk lereng lurus
c. Bentuk lereng cekung
Bentuk lereng cembung biasanya terjadi pada daerah - daerah
yang disusun oleh material - material batuan yang relatif keras atau sisa -
sisa gawir sesar atau bidan longsoran (mass wasting) yang telah tererosi
pada bagian tepi atasnya Bentuk lereng lurus, biasanya terjadi pada
daerah - daerah lereng vulkanik yang disusun oleh material - material
vulkanik halus atau bidang longsoran (llandslide). Bentuk lereng cekung
biasanya terjadi pada daerah yang disusun oleh material - material batuan
lunak atau bidang longsoran (slump).
5. Pola Punggungan
Pada peta topografi, foto udara atau citra satelit akan tampak pola
- pola punggungan yang berbentuk paralel (sejajar), berbelok atau
melingkar. Pola - pola punggungan tersebut mencerminkan dipengaruhi
oleh kekuatan (tenaga) yang mengakibatkan terbentuknya pola
punggungan. Kekuatan (tenaga) tersebut berasal dari dalam bumi yang
dikenal sebagai tenaga endogen, dapat berupa kegiatan pengangkatan
atau pensesaran (tektonik).
Pola punggungan paralel dapat diinterpretasikan sebagai suatu
perbukitan yang terlipat, sedangkan pola punggungan berbelok,
melingkar atau terpisah dapat diinterpretasikan sebagai akibat dari suatu
pensesaran. Pola - pola punggungan yang terlipat menunjukkan kerapatan
garis kontur yang jarang, sedangkan jika pada salah satu sisi punggungan
tersebut memiliki kerapatn garis kontur yang cukup rapat
diinterpretasikan telah terjadi sesar naik.
6. Pola Aliran Sungai
Kegiatan erosi dan tektonik yang menghasilkan bentuk - bentuk
lembah sebagai tempat pengaliran air, selanjutnya akan membentuk pola
- pola tertentu yang disebut sebagai pola aliran. Pola aliran ini sangat
berhubungan dengan jenis batuan, struktur geologi kondisi erosi dan
sejarah bentuk bumi. Sistem pengaliran yang berkembang pada

9
permukaan bumi secara regional dikontrol oleh kemiringan lereng, jenis
dan ketebalan lapisan batuan, struktur geologi, dan kerapatan vegetasi
Pola pengaliran sangat mudah dikenal dari peta topografi atau
foto udara, terutama pada skala yang besar. Percabangan - percabangan
dab erosi yang kecil pada permukaan bumi akan tampak dengan jelas,
sedangkan pada skala menengah akan menunjukkan pola yang
menyeluruh sebagai cerminan jenis batuan, struktur geologi dan erosi.
Pola pengaliran pada batuan yang berlapis sangat tergantung pada jenis,
sebaran, ketebalan dan bidang perlapisan batuan serta geologi struktur
seperti sesar, kekar, arah dan bentuk perlipatan.
Howard (1967) membedakan pola pengaliran menjadi pola
pengaliran dasar dan pola pengaliran modifikasi. Definisi pola pengaliran
yang digunakan adalah sebagai berikut:
1. Pola pengaliran adalah kumpulan dari suatu jaringan pengaliran di
suatu daerah yang dipengaruhi atau tidak dipengaruhi oleh curah
hujan, alur pengaliran tetap pengali. Biasanya pola pengaliran yang
demikian disebut sebagai pola pengaliran permanen (tetap).
2. Pola dasar adalah salah satu sifat yang terbaca dan dapat dipisahkan
dari pola dasar lainnya.
3. Perubahan (modifikasi) pola dasar adalah salah satu perbedaan yang
dibuat dari pola dasar setempat.
Hubungan pola dasar dan pola perubahan (modifikasi) dengan
jenis batuan dan struktur geologi sangat erat, tetapi tidak menutup
kemungkinan dapat ditambah atau dikurangi. Van der Weg (1968)
membuat klasifikasi pola pengaliran menjadi pola erosional, pola
pengendapan dan pola khusus. Pola dendritik (sub dendritik), radial,
angular (sub angular), tralis dan rektangular termasuk pola erosional,
sedangkan pola - pola lurus (elongate) , menganyam (braided), berkelok
(meandering), yazoo, rektikular dan pola dikhotomik termasuk pola
pengendapan. Klasifikasi pola khusus dibagi menjadi pola pe-ngaliran
internal seperti pola "sinkhole" pada bentuklahan karst (gamping) dan

10
pola "palimpset" atau "berbed" untuk daerah yang dianggap khusus.

Tabel 2.1. Pola pengaliran dan karakteristiknya (van Zuidam, 1985)


Pola
Pengaliran Karakteristik Gambar
Dasar
Perlapisan batuan sedimen relatif
datar atau paket batuan kristalin yang
Dendritik tidak seragam dan memiliki ketahanan
terhadap pelapukan. Secara regional
daerah aliran memiliki kemiringan
landai, jenis pola pengaliran
membentuk percabangan menyebar
seperti pohon rindang
Paralel Pada umumnya menunjukkan daerah
yang berlereng sedang sampai agak
curam dan dapat ditemukan pula pada
daerah bentuklahan perbukitan yang
memanjang. Sering terjadi pola
peralihan antara pola dendritik
dengan pola paralel atau tralis.
Bentuklahan perbukitan yang
memanjang dengan pola
pengaliran parallel mencerminkan
perbukitan tersebut dipengaruhi oleh
perlipatan.
Trallis Baruan sedimen yang memiliki
kemiringan perlapisan (dip) atau
terlipat, batuan vulkanik atau
batuan metasedimen derajat rendah

11
dengan perbedaan pelapukan yang
jelas. Jenis pola pengaliran biasanya
berhadapan pada sisi sepanjang aliran
subsekuen.
Rektangular Kekar dan / atau sesar yang memiliki
sudut kemiringan, tidak memiliki
perulangan lapisan batuan dan
sering memperlihatkan pola
pengaliran yang tidak menerus.
Radial Daerah vulkanik, kerucut (kubah)
intrusi dan sisa-sisa erosi. Pola
pengaliran radial pada daerah
vulkanik disebut sebagai pola
pengaliran multi radial. Catatan : pola
pengaliran radial memiliki dua sistem
yaitu sistem sentrifugal (menyebar
ke luar dari titik pusat) berarti
bahwa daerah tersebut berbentuk
kubah atau kerucut, sedangkan sistem
sentripetal (menyebar kearah titik
pusat) memiliki arti bahwa
daerah tersebut berbentuk cekungan
Anular Struktur kubah/ kerucut, cekungan dan
kemungkinan retas (stocks)

Multibasinal Endapan berupa gumuk hasil


longsoran dengan perbedaan
penggerusan atau perataan batuan
dasar, merupakan daerah gerakan
tanah, vulkanisme, pelarutan
gamping dan lelehan salju

12
(permafrost)

Tabel 2.2. Pola Pengaliran Modifikasi.


Sub Dendritik Umumnya structural
Pinnate Tekstur batuan halus dan mudah tererosi
Anastomatik Dataran banjir, delta atau rawa
Menganyam (Dikhotomik) Kipas aluvium dan delta
Lereng memanjang atau dikontrol oleh bentuk
Sub Paralel
lahan perbukitan memanjang
Kelurusan bentuklahan bermaterial halus dan
Kolinier
beting pasir.
Sub Trallis Bentuklahan memanjang dan sejajar
Direksional Trallis Homoklin landai seperti beting gisik
Trallis Berbelok Perlipatan memanjang.
Percabangan menyatu atau berpencar , sesar
Trallis Sesar
parallel
Angulate Kekar dan / atau sesar pada daerah miring
Karst Batugamping

Tabel 2.3. Kerapatan aliran (rata - rata jarak percabangan


dengan Ordo pertama aliran, Van Zuidam, 1985)
JENIS PADA SKALA 1: 25.000
KARAKTERISTIK
KERAPATAN MEMILIKI KERAPATAN
Tingkat limpasan air
HALUS Kurang dari 0,5 cm permukaan tinggi, batuan
memiliki porositas buruk
Tingkat limpasan air
SEDANG 0,5 cm - 5 cm permukaan sedang, batuan
memiliki porositas sedang

13
Tingkat limpasan air
KASAR Lebih besar dari 5 cm permukaan rendah, batuan
dan tahan terhadap erosi.
7. Genetika Sungai
Sebagaimana diketahui bahwa klasifikasi genesa sungai
ditentukan oleh hubungan struktur perlapisan batuannya. Genetika sungai
dapat dibagi sebagai berikut:
a. Sungai Superposed atau sungai Superimposed adalah sungai yang
terbentuk diatas permukaan bidang struktur dan dalam
perkembangannya erosi vertikal sungai memotong ke bagian bawah
hingga mencapai permukaan bidang struktur agar supaya sungai dapat
mengalir ke bagian yang lebih rendah. Dengan kata lain sungai
superposed adalah sungai yang berkembang belakangan dibandingkan
pembentukan struktur batuannya.
b. Sungai Antecedent adalah sungai yang lebih dulu ada dibandingkan
dengan keberadaan struktur batuanya dan dalam perkembangannya air
sungai mengikis hingga ke bagian struktur yang ada dibawahnya.
Pengikisan ini dapat terjadi karena erosi arah vertikal lebih intensif
dibandingkan arah lateral.
c. Sungai Konsekuen adalah sungai yang berkembang dan mengalir
searah lereng topografi aslinya. Sungai konsekuen sering
diasosiasikan dengan kemiringan asli dan struktur lapisan batuan yang
ada dibawahnya. Selama tidak dipakai sebagi pedoman, bahwa asal
dari pembentukan sungai konsekuen adalah didasarkan atas lereng
topografinya bukan pada kemiringan lapisan batuannya.
d. Sungai Subsekuen adalah sungai yang berkembang disepanjang suatu
garis atau zona yang resisten. sungai ini umumnya dijumpai mengalir
disepanjang jurus perlapisan batuan yang resisten terhadap erosi,
seperti lapisan batupasir. Mengenal dan memahami genetika sungai
subsekuen seringkali dapat membantu dalam penafsiran geomorfologi.

14
e. Sungai Resekuen. Lobeck (1939) mendefinisikan sungai resekuen
sebagai sungai yang mengalir searah dengan arah kemiringan lapisan
batuan sama seperti tipe sungai konsekuen. Perbedaanya adalah
sungai resekuen berkembang belakangan.

Gambar 2.1. Pola Aliran Sungai Trellis


f. Sungai Obsekuen. Lobeck juga mendefinisikan sungai obsekuen
sebagai sungai yang mengalir berlawanan arah terhadap arah
kemiringan lapisan dan berlawanan terhadap sungai konsekuen.
Definisi ini juga mengatakan bahwa sungai konsekuen mengalir searah
dengan arah lapisan batuan.
g. Sunggai Insekuen adalah aliran sungai yang mengikuti suatu aliran
dimana lereng tidak dikontrol oleh faktor kemiringan asli, struktur atau
jenis batuan.

Gambar 2.2. Blok diagram di daerah yang berstruktur komplek yang


telah mengalami erosi yang cukup intensif. Percabangan sungai yang
berkembang di daerah ini secara genetik dapat diklasifikasikan
berdasarkan struktur geologi yang mengontrolnya (r=resekuen; o =
obsekuen; s = subsekuen)

15
Beberapa aspek dari pola pengaliran sungai menjadi sangat penting
untuk pertimbangan dalam interpretasi geomorfologi, terutama:

1. Klasifikasi genetik sungai, hubungan sungai dengan kemiringan asli,


batuan yang berada dibawah aliran sungai, dan struktur geologi.
2. Tahapan perkembangan suatu sungai
3. Pola pengaliran sungai
4. Anomali pengaliran dalam suatu pola aliran
5. Karakteristik detail seperti gradien sungai, kerapatan sungai, bentuk
cekungan dan ukuran/dimensi, kemiringan cekungan dan kemiringan
bagian hulu suatu lembah.
6. Jentera geomorfik.
Kombinasi dari aspek-aspek tersebut diatas sangat mungkin
membantu dalam mengidentifikasi litologi, korelasi stratigrafi, pemetaan
struktur geologi, menetukan sejarah tektonik dan sejarah geomorfologi.
Berkut ini adalah uraian mengenai kombinasi antara struktur, litologi dan
aktivitas sungai.
Perbedaan ketinggian (elevasi) biasanya diukur dari permukaan
laut, karena permukaan laut dianggap sebagai bidang yang memilki angka
ke-tinggian (elevasi) nol. Pentingnya pengenalan perbedaan ketinggian
adalah untuk menyatakan keadaan morfografi dan morfogenetik suatu
bentuklahan, seperti perbukitan, pegunungan atau dataran. Hubungan
perbedaan ketinggian dengan unsur morfografi adalah sebagai berikut :
Tabel 2.4. Hubungan ketinggian absolut dengan morfografi (sumber :
Van Zuidam, 1985)
KETINGGIAN ABSOLUT UNSUR MORFOGRAFI
< 50 meter Dataran rendah
50 meter - 100 meter Dataran rendah pedalaman
100 meter - 200 meter Perbukitan rendah
200 meter - 500 meter Perbukitan

16
500 meter - 1.500 meter Perbukitan tinggi
1.500 meter - 3.000 meter Pegunungan
> 3.000 meter Pegunungan tinggi
B. Morfogenetik/Morfogenesa
Morfogenetik adalah proses / asal - usul terbentuknya permukaan
bumi, seperti bentuklahan perbukitan / pegunungan, bentuklahan lembah
atau bentuklahan pedataran. Proses yang berkembang terhadap
pembentukkan permukaan bumi tersebut yaitu proses eksogen dan proses
endogen.
1. Proses Eksogen
Proses eksogen adalah proses yang dipengaruhi oleh faktor -
faktor dari luar bumi, seperti iklim, biologi dan artifisial. Proses yang
dipengaruhi oleh iklim dikenal sebagai proses fisika dan proses kimia,
sedangkan ptoses yang dipengaruhi oleh biologi biasanya terjadi akibat
dari lebatnya vegetasi, seperti hutan atau semak belukar dan kegiatan
binatang. Proses artifisial lebih banyak disebabkan oleh aktifitas manusia
merubah bentuk permukaan bumi untuk kepentingan kehidupannya.
Tahap perubahan permukaan bumi yang disebabkan oleh proses
eksogen diawali dengan permukaan bumi yang dipengaruhi oleh iklim,
seperti hujan, perubahan temperatur dan angin, sehingga merubah
mineral - mineral penyusun batuan secara fisika atau kimia, sehingga
batuan menjadi lapuk dan selanjutnya menjadi tanah. Lapisan permukaan
tanah kemudian dikikis oleh hujan selanjutnya material permukaan tanah
yang lepas terhanyutkan dan diendapkan pada suatu cekungan
pengendapan, seperti lembah / sungai atau laut. Secara garis besar proses
eksogen diawali dengan pelapukan batuan, kemudian hasil pelapukan
batuan menjadi tanah dan tanah terkikis (degradasional), terhanyutkan
dan pada akhirnya diendapkan (agradasional).
Kenampakkan proses erosi pada peta topografi atau foto udara
ditunjukkan oleh kerapatan pola aliran, sehingga semakin rapat pola
aliran menunjukkan bahwa daerah tersebut memiliki tingkat erosi yang

17
cukup tinggi atau dapat pula diinterpretasikan bahwa daerah tersebut
disusun oleh batuan yang relatif lunak dengan porositas yang buruk.
Sebaliknya jika kerapatan pola pengaliran renggang, maka dapat
diartikan bahwa daerah tersebut memiliki tingkat erosi yang reltif kecil
atau dapat pula diinterpretasikan bahwa daerah tersebut disusun oleh
batuan yang relatif keras dan memiliki porositas yang cukup baik serta
memiliki ketahanan terhadap erosi
2. Proses Endogen
Proses endogen adalah proses yang dipengaruhi oleh kekuatan /
tenaga dari dalam kerak bumi, sehingga merubah bentuk permukaan
bumi. Proses dari dalam kerak bumi tersebut antara lain kegiatan tektonik
yang menghasilkan patahan (sesar), pengangkatan (lipatan) dan kekar.
Selain kegiatan tektonik, proses kegiatan magma dan gunungapi
(vulkanik) sangat berperan merubah bentuk permukaan bumi, sehingga
membentuk perbukitan intrusi dan gunungapi. Ciri - ciri proses endogen
yang berlangsung di suatu daerah pada peta topografi atau foto udara
adalah sebagai berikut :
a. Bentuklahan perbukitan intrusi :
1. Bentuk perbukitan menyerupai kubah dan berpola terpisah
(soliter).
2. Pola aliran radial sentripetal (menyebar keluar dari titik pusat).
3. Bentuk lereng relatif cembung.
4. Garis kontur pada peta topografi relatif rapat.
b. Bentuklahan perbukitan struktural :
1. Perlipatan :
a. Bentuk perbukitan memanjang.
b. Pola aliran paralel dan rektangular.
c. Bentuk lereng hampir lurus dan simetris pada sisi yang
berlawanan.
d. Garis kontur pada peta topografi relatif renggang.
2. Patahan (sesar normal dan sesar naik serta sesar geser ) :

18
a. Bentuk perbukitan tidak menerus dan tidak simetris.
b. Pola aliran paralel atau rektangular.

c. Bentuk lereng relatif cekung dan tidak simetris pada kedua


lereng yang berlawanan.
d. Garis kontur pada peta topografi pada bagian patahan sangat
rapat.
e. Bentuk perbukitan berbelok atau tergeser (tidak menerus).
f. Pola aliran rektangular.
g. Bentuk lereng lurus dan tidak beraturan.
h. Garis kontur pada peta topografi renggang sampai rapat.
c. Bentuklahan gunungapi (vulkanik) :
1. Bentuk pegunungan kerucut.
2. Pola aliran radial pada bagian puncak dan pola aliran pada lereng
tengah sampai lereng bawah lurus (elongate).
3. Memiliki kawah dan lubang kepundan.
4. Garis kontur pada peta topografi pada bagian puncak relatif rapat,
dan pada bagian lereng tengah sampai lereng bawah agak renggang
sampai renggang
Morisawa (1985) menyebutkan pengaruh geologi terhadap bentuk
sungai dan jaringannya adalah dinamika struktur geologi, yaitu tektonik
aktif dan pasif serta lithologi (batuan). Kontrol dinamika struktur
diantaranya pensesaran, pengangkatan (perlipatan) dan kegiatan vulkanik
yang dapat menyebabkan erosi sungai. Kontrol struktur pasif
mempengaruhi arah dari sistem sungai karena kegiatan tektonik aktif.
Sedangkan batuan dapat mempengaruhi morfologi sungai dan jaringan
topologi yang memudahkan terjadinya pelapukan dan ketahanan batuan
terhadap erosi.

19
Tabel 2.5. Kontrol Struktur Terhadap Bentuk Sungai(Sumber:Morisawa, 1985)
KONTROL STRUKTUR BENTUK SUNGAI
A. DINAMIK
Teras, Lembah memanjang,Saluran
"OFFSET" Sungai subsekuen, Lembah
1 SESAR AKTIF terjal, Lembah gelas anggur,sungai
terputus, saluran menyebar dan
membentuk genangan
Sungai anteseden, sungai konsekuen,
2 PERLIPATAN AKTIF
pembelokan sungai secara tajam
3 KEGIATAN VULKANIK Pola aliran radial, dasar sungai curam
B. PASIF.
Teras, Lembah memanjang,Saluran
"OFFSET" Sungai subsekuen, Lembah
1 TERAS SESAR terjal, Lembah gelas anggur,sungai
terputus, saluran menyebar dan
membentuk genangan
Aliran parallel, aliran sepanjang
kemiringan lereng,aliran konsekuen sungai
2 KEMIRINGAN
subsekuen,pola trellis, aliran pada tebing
pendek
Pola radial, sungai konsekuen, pola
3 KUBAH
annular, sungai subsekuen
Pola trails, pembelokan sungai, sungai
4 ANTIKLIN-SINKLIN
subsekuen
Lembah asimetri, kelurusan saluran, sungai
5 KELURUSAN SUNGAI
subsekuen
6 KEKAR Pola rectangular

20
3. Tata nama satuan geomorfologi
Penentuan tata nama satuan harus memiliki kesamaan unsusr -
unsur geomorfologi yaiitu kesamaan gambaran bentuk (morfografi),
seperti perbukitan, pegunungan atau pedatara dan asal - usul / proses
(morfogenetik) terjadinya suatu bentuk seperti proses asal fluvial, marin,
denudasional, aeolian, karst, glasial / preglasial (proses eksogen),
struktural dan vulkanik (proses endogen), sedangkan unsur - unsur lain,
seperti morfometri dan material penyusun merupakan unsur penegasan
dari pernyataan unsur morfografi dan morfogenetik, sehingga penamaan
satuan bentuk lahan geomorfologi terdiri dari gambaran bentuk
(morfografi) dan asal-usul/proses terjadinya bentuk (morfogenetik).
Contoh tata cara penamaan satuan geomorfologi adalah sebagai berikut :
Satuan bentuklahan Perbukitan Struktural
Pernyataan PERBUKITAN mencerminkan gambaran bentuk
(morfografi) dan STRUKTURAL menyatakan proses terbentuknya
perbukitan tersebut. Sebagai pelengkap agar tata nama satuan tersebut
lebih rinci dan dapat dipetakan, maka unsur morfogenetik dapat
diuraikan menjadi struktur perlipatan, sesar atau kekar. Unsur - unsur
pendukung seperti morfometri dan material penyusun diperlukan untuk
lebih menegaskan panamaan satuan tersebut, seperti pola aliran,
kerapatan pola aliran, pola punggungan, bentuk lereng, kemiringan
lereng, kerapatan kontur dan perkiraan batuan penyusun bentuklahan,
sehingga penamaan satuan bentuklahan secara lengkap menjadi : Satuan
bentuklahan PERBUKITAN STRUKTURAL (TERLIPAT) - pola aliran
rektangular - kerapatan aliran 50/Km - pola punggungan paralel - bentuk
lereng lurus dan simetris - kemiringan lereng 5 % - kerapatan kontur
cukup renggang - perkiraan batuan penyusun terdiri dari jenis batuan
sedimen. Tata nama satuan geomorfologi tersebut sangat membantu
untuk pemetaan geologi, karena analisis morofografi dapat dilakukan
terhadap peta topografi atau foto udara, sehingga pemetaan geologi dapat
direncanakan dengan baik dan terarah.

21
C. Morfometri
Morfometri merupakan penilaian kuantitatif dari suatu bentuklahan
dan merupakan unsur geomorfologi pendukung yang sangat berarti terhadap
morfografi dan morfogenetik. Penilaian kuantitatif terhadap bentuklahan
memberikan penajaman tata nama bentuklahan dan akan sangat membantu
terhadap analisis lahan untuk tujuan tertentu, seperti tingkat erosi, kestabilan
lereng dan menentukan nilai dari kemiringan lereng tersebut.
1. Lereng.
Lereng merupakan bagian dari bentuklahan yang dapat
memberikan informasi kondisi - kondisi proses yang berpengaruh
terhadap bentuklahan, sehingga dengan memberikan penilaian terhadap
lereng tersebut dapat ditarik kesimpulan dengan tegas tata nama satuan
geomorfologi secara rinci. Ukuran penilaian lereng dapat dilakukan
terhadap kemiringan lereng dan panjang lereng, sehingga tata nama
satuan geomorfologi dapat lebih dirinci dan tujuan - tujuan tertentu,
seperti perhitungan tingkat erosi, kestabilan lereng dan perencanaan
wilayah dapat dikaji lebih lanjut.
Ukuran kemiringan lereng yang telah disepakati untuk menilai
suatu bentuklahan adalah sebagai berikut :

Tabel 2.6. Ukuran kemiringan lereng (sumber : Van Zuidam,1985)


KEMIRINGAN KLASIFIKASI KLASIFIKASI
KETERANGAN
LERENG USSSM* (%) USLE** (%)
0-2 Datar - Hampir datar 0-2 1–2
3–7 Lereng sangat landai 2-6 2-7
7 – 13 Lereng landai 6 – 13 7 – 12
14 - 20 Lereng agak curam 13 - 25 12 - 18
21 - 55 Lereng curam 25 - 55 18 - 24
56 - 140 Lereng sangat curam > 55 > 24
* USSSM = United state soil System Management
**USLE = Universal Soil Loss Equation (Wischmeir,1967).

22
Tabel 2.7. Ukuran panjang lereng
PANJANG LERENG (M) KLASIFIKASI
< 15 Lereng sangat pendek
15-50 Lereng pendek
50-250 Lereng sedang
250-500 Lereng panjang
Lereng sangat
> 500
panjang

2. Perbedaan ketinggian
Perbedaan ketinggian (elevasi) biasanya diukur dari permukaan
laut, karena permukaan laut dianggap sebagai bidang yang memilki
angka ke-tinggian (elevasi) nol. Pentingnya pengenalan perbedaan
ketinggian adalah untuk menyatakan keadaan morfografi dan
morfogenetik suatu bentuklahan, seperti perbukitan, pegunungan atau
dataran. Hubungan perbedaan ketinggian dengan unsur morfografi adalah
sebagai berikut :
Tabel 2.8. Hubungan kelas relief - kemiringan lereng dan perbedaan
ketinggian. (sumber: Van Zuidam,1985)
KEMIRINGAN PERBEDAAN
KELAS RELIEF
LERENG (%) KETINGGIAN (m)
Datar - Hampir datar 0-2 <5
Berombak 3-7 5 - 50
Berombak - Bergelombang 8 - 13 25 - 75
Bergelombang - Berbukit 14-20 75 - 200
Berbukit - Pegunungan 21-55 200 - 500
Pegunungan curam 55 - 140 500 - 1.000
pegunungan sangat curam > 140 > 1.000

23
Tabel 2.9. Kelas Lereng dengan sifat-sifat proses dan kondisi alamiah
yang mungkin terjadi dan ususlan warna untuk peta relief secara umum
(Van Zuidam, 1985)
Kelas Lereng Sifat-Sifat, Proses dan Kondisi Alamiah Warna
0o – 2o Datar hingga hampir datar, tidak ada proses Hijau
(0 – 2 %) denudasi yang berarti
2o – 4o Agak miring, gerakan tanah kecapatan rendah, Hijau
(2 – 7 %) erosi lembar dan erosi alur (sheet & rill erosion), Muda
rawa erosi
4o – 8o Miring sama dengan diatas, tetapi dengan besaran Kuning
(7 – 15 %) yang lebih tinggi
8o – 16o Agak Curam, banyak terjadi gerakan tanah dan Jingga
(15 – 30 %) erosi, terutama longsoranyang bersifat mendatar

16o – 35o Curam proses denudasi intensif dan gerakan tanah Merah
(30 – 70 %) sering terjadi Muda
35o – 55o Sangat curam, batuan umumnya mulai tersingkap, Merah
(70 –140 %) proses denudasional sangat intensif, sudah mulai
menghasilkan bahan rombakan
> 55o Sangat curam, batuan tersingkap, proses Ungu
> 140 % denudasional sangat kuat dan rawan jatuhan batu,
tanaman jarang tumbuh

BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Alat Dan Bahan

24
Alat dan bahan yang digunakan untuk mengambil data-data dilapangan,
antara lain :
a. Peta dasar skala 1:50.000, lembar Alindau (2015-62) daearah Batusuya
dan sekitarnya digunakan untuk penentuan lokasi pengamatan.
b. GPS, untuk mengetahui koordinat ditiap stasiun pengamatan.
c. Rol meter/mistar, untuk mengukur tebal soil dan dimensi sungai
d. Lup, lup pembesar yang digunaka untuk memperbesar objek yang diamati
pada batuan agar mempermudah dalam pendeskripsian litologi daerah
penelitian
e. Buku Catatan lapangan, untuk mempermudah dalam penulisan data
lapangan
f. Aplikasi ArcMap 10.2.2, global mapper, peta astgtm, microsoft office exel
dan word serta corel draw X7, dalam membantu dalam pengolahan data-
data lapangan dan pembuatan peta geomorfologi.
g. Alat Tulis menulis untuk menulis dan membuat sketsa lapangan.
h. Kamera, digunakan untuk mendokumentasi lokasi pengamatan, batuan,
bentang alam ataupun lainnya yang terdapat di lokasi peemetaan.

3.2 Metode Dan Tahapan Pemetaan


Metode yang dilakukan dalam kegiatan pemetaan ini adalah metode
pengambilan data secara langsung di lapangan dengan peta dasar RBI skala
1:50.000. Berdasarkan intepretasi awal daerah penelitian maka pengamatan
dilakukan dengan 12 lokasi titik pengamatan yang mencakup seluruh daerah
penelitian, pada setiap titik dilakukan pengambilan data koordinat geografis
guna membuat peta lintasan dan mengetahui titik pengamatan dipeta dasar
RBI. Untuk mendapatkan hasil interpretasi yang lebih akurat maka
diperlukan data-data yang berhubungan dengan kondisi daerah penelitian,
data-data yang diperlukan diantaranya peta geologi, peta astgtm dan peta
Rupa Bumi Indonesia daerah penelitian.
. Adapun Tahapan Kegiatan Field Trip ini, sebagai berikut :
1. Tahap Persiapan

25
Sebelum survey lapangan, terlebih dahlu mempersiapkan alat dan
bahan yang akan digunakan dilapangan dan peta lokasi daerah penelitian.
2. Tahap Kegiatan.
Hasil akhir dari kegiatan ini adalah untuk membuat laporan
Pemetaan geomorfologi yang dilakukan di Daerah Batusuya dan
sekitarnya, kecamatan Sindue tobata, kabupaten Donggala, provinsi
Sulawesi Tengah. Untuk mendapatkan hasil maka dilakukan kegiatan
survey lapangan sebagai berikut:
a. Sebelum turun lapangan melakukan interpretasi awal bentuk dan ciri-
ciri bentang alam didaerah penelitian dengan menggunakan peta Rupa
Bumi Indonesia (RBI), lembar maranata.
b. Melakukan pengamatan dan mencatat data-data lapangan sesuai
literatur dan kenampakkan lapangan, ciri-ciri bentang alam secara
langsung dilapangan sebagai dasar dalam menentukan bentang
alamnya.
c. Melakukan Pengambilan foto singkapan dan melakukan sketsa
lapangan didaerah penelitian dengan mencantumkan deskripsi dan
keterangan-keterangan yang diperoleh dalam pengamatan tersebut.
d. Jika memungkinkan dilakukan juga diskusi dengan rekan kelompok
dalam menginterpretasikan bentang alam didaerah penelitian.
3. Analisis Data.
Proses pengolahan data adalah sebagai berikut :
a. Membuat peta lintasan dan peta satuan morfometri menggunakan peta
dasar RBI daerah penelitian dengan mengunakan aplikasi microsoft
exel dan ArcMap 10.2.2 dalam pengolahan pembuatan peta.
b. Membuat peta satuan morfogenesa dan morfografi daerah penelitian
sesuai data-data lapangan, mengunakan aplikasi global mapper dan
ArcMap 10.2.2 serta Corel Draw X7, dalam pengolahan pembuatan
peta.

26
c. Membuat dan menentukan pola aliran sungai daerah penelitian dengan
mengunakan aplikasi ArcMap 10.2.2. dalam pengolahan pembuatan
peta.
d. Membuat peta satuan geomorfologi daerah penelitian dngan
mengunakan aplikasi ArcMap 10.2.2. dalam pengolahan pembuatan
peta.
e. Penyusunan draft laporan pemetaan geomorfologi.

27
BAB IV
PEMBAHASAN
4.1. Geomorfologi Regional
Pulau Sulawesi mempunyai luas sekitar 172.000 km2, dan bila
digabung dengan pulau-pulau kecil di sekitarnya kira-kira 188.000km2.
Bentuknya menyerupai huruf K dengan empat cabang atau lengan yang
sempit, dipisahkan oleh teluk-teluk yang dalam, dan menyatu dibagian tengah
pulau (Sukamto 1975)
Pulau Sulawesi mempunyai bentuk yang berbeda dengan pulau
lainnya. Apabila melihat busur-busur disekelilinya Benua Asia, maka bagian
concaxnya mengarah ke Asia tetapi Pulau Sulawesi memiliki bentuk yang
justru concaxnya yang menghadap ke Asia dan terbuka ke arah Pasifik, oleh
karena itu Pola Sulawesi sering disebut berpola terbalik/invertedarc. (Van
Bemmenlen, 1949).
Pulau Sulawesi terletak pada zone peralihan antara Dangkalan Sunda
dan dangkalan Sahul dan dikelilingi oleh laut yang dalam. Dibagi antara
dibatasi oleh Basin Sulawesi (5000–5500m). Di bagian Timur dan Tenggara
dibatasi oleh laut Banda utara dan Laut Banda Selatan dengan kedalaman
mencapai 4500–5000m. Sedangkan untuk bagian Barat dibatasi oleh Palung
Makasar (2000-2500m). Sebagian besar daerahnya terdiri dari pegunungan
dan dataran rendah yang terdapat secara sporadik, terutama terdapat
disepanjang pantai. Dataran rendah yang relatif lebar dan padat penduduknya
adalah dibagian lengan Selatan.
Berdasarkan orogenesenya dapat dibagi kedalam tiga daerah (Van
Bemmelen, 1949). Sebagai berikut:
A. Orogenesa dibagian Sulawesi Utara
Meliputi lengan Sulawesi Utara yang memanjang dari kepulauan Talaud
sampai ke Teluk Palu – Parigi. Daerah ini merupakan kelanjutan kearah
Selatan dari Samar Arc. Termasuk pada daerah ini adalah Kepulauan
Togian, yang secara geomorfologis dikatakan sebagai igir Togian (Tigian

28
Ridge). Daerah orogenese ini sebagain termasuk pada innerarc, kecuali
kepulauan Talaud sebagai Outer Arc.
B. Orogenesa dibagian Sulawesi Sentral Dibagian sentral ini terdapat tiga
struktur yang menjalur Utara – Selatan sebagai berikut:
1. Jalur Timur disebut Zone Kolonodale
Jalur Timur terdiri atas lengan timur dan sebagian yang nantinya
bersambung dengan lengan Tenggara. Sebagai batasnya adalah garis
dari Malili – Teluk Tomori. Daerah ini oleh singkapan-singkapan
batuan beku ultra basa.
2. Jalur Tengah atau disebut Zone Poso
Jalur Tengah atau Zone Poso, batas Barat jalur ini adalah Medianline.
Zona ini merupakan Graben yang memisahkan antara Zona Barat dan
Timur. Dibagian Utara Zone ini terdapat Ledok Tomini dan di
Selatannya terdapat Ledok Bone. Daerah ini ditandai oleh mayoritas
batuan Epi sampai Mesometamorfik crystal line schist yang kaya akan
muscovite.
3. Jalur Barat atau disebut Zona Palu
Jalur Barat atau Zona Palu, ditandai oleh terdapat banyaknya batuan
granodiorite, crystalline schist yang kaya akan biotite dan umumnya
banyak ditemui juga endapan pantai. Zona ini dibagian Utara dibatasi
oleh Teluk Palu–Parigi, di Selatan dibatasi garis dari Teluk Mandar–
Palopo. Dari Teluk Mandar–Palopo ke arah selatan sudah termasuk
lengan Selatan Sulawesi. Daerah jalur Barat ini merupakan
perangkaian antara lengan Utara Zone Palu dan lengan selatan
merupakan satuan sebagain InnerArc.
C. Orogenesa dibagian Sulawesi Selatan Secara garis besar tangan selatan
Sulawesi merupakan kelanjutan Zone Palu (Zone bagian barat Sulawesi
Tengah) dan Lengan tenggara merupakan kelanjutan dari Lengan Timur
Sulawesi (Zone Kolonodale). Secara Stratigrafi antara lengan selatan dan
lengan tenggara banyak memiliki kesamaan, begitu juga antara Zone Palu
Lengan Utara dengan Zone Kolonodale Lengan Timur dilain Pihak.

29
Walaupun demikian diantaranya terdapat perbedaan-perbedaan sebagai
contoh bagian ujung selatan (di Selatan D. Tempe) banyak kesamaannya
dengan Pulau Jawa dan Sumatera sedangkan ujung selatan lengan tenggara
lebih banyak kesamaannya dengan Boton Archipelago dan Group Tukang
Besi.
a. Geomorfologi Lokal
Dari kegiatan survey lapangan untuk melakukan pemetaan
geomorfologi di daerah Batusuya dan sekitarnya Kecamatan Sindue Tobata
Kabupaten Sigi Sulawesi Tengah. Berdasarkan pengamatan dalam
pembagian klasifikasi relief morfometri, morfografi, dan morfogenesa di
daerah penelitian terdapat 5 satuan geomorfologi yakni satuan geomorfologi
perbukitan bukit sisa karst, satuan geomorfologi perbukitan denudasional
bukit sisa, satuan geomorfologi perbukitan denudasional gawir lereng terjal,
satuan geomorfologi dataran banjir alluvial dan satuan geomorfologi dataran
banjir marine dengan ciri-ciri bentang alam sesuai dengan bentukan lahannya,
dapat di jelaskan sebagai berikut :
1. Satuan Geomorfologi Perbukitan Bukit Sisa Karst.
Satuan geomorfologi perbukitan Bukit Sisa Karst, di daerah Batusuya ini
dengan luas ± 5.657 km2 atau sekitar 10 % dari luas daerah penelitian, dengan
ketinggian tempat 100-200 mdpl. Dari kenampakan dilokasi penelitian daerah
ini mempunyai unsur morfografi perbukitan. Morfologi perbukitan bukit sisa
karst biasanya dicirikan oleh adanya sejumlah cekungan (depresi) dengan
bentuk dan ukuran yang bervariasi, cekungan tersebut di genangi air atau
tanpa air dengan kedalaman dan jarak yang berbeda- beda, terdapat bukit-
bukit kecil dalam jumlah banyak yang merupakan sisi-sisi erosi akibat
pelarutan kimia pada batu gamping, juga terdapat banyaknya stalaktit dan
stalakmit terbentuk akibat dari air yang masuk ke lubang-lubang (doline)
kemudian turun ke gua dan menetes dari atap gua ke dasar gua yang berubah
jadi batuan. Karakteristik dari perbukitan bukit sisa karst ini mempunyai sudut
lereng sebesar 40%-60% berdasarkan klasifikasi dari Cvijic (1914) daerah ini
termasuk dalam kelompok holokarst yaitu dengan perkembangan yang

30
sempurna baik dari sudut pandang bentuk lahannya maupun hidrologi bawah
permukaanya. Karst tipe ini dapat terjadi bila perkembangan karst secara
horizontal dan vertical tidak terbatas, batuan karbonat massif dan murni
dengan kekar vertical yang menerus dari permukaan hingga batuan dasarnya,
serta tidak terdapat batuan impermeable yang berarti. Adanya relief dan
drainase yang khas, terutama di sebabkan oleh larutnya batuan yang tinggi di
dalam air. Pada kawasan ini dapat diketahui yaitu relief pada bentang alam ini
berada pada daerah yang berbatuan yang mudah larut, juga dapat diketahui
dengan adanya aliran sungai yang secara tiba-tiba masuk tanah meninggalkan
lembah kering dan muncul sebagai mata air yang besar. Pada daerah ini pola
pengaliran tidak sempurna, kadang tampak, kadang hilang, yang biasanya
disebut sebagai sungai bawah tanah. Di daerah ini mempunyai tata guna lahan
Pemandian mata air, kebun kelapa dan hutan.

2. Satuan Geomorfologi Perbukitan Denudasional Bukit Sisa


Satuan geomorfologi Perbukitan Denudasional di daerah Batusuya
kecamatan Sindue Tobata, Kabupaten Donggala dengan luas penyebaran ±
23.435 km2 atau 35 % dari keseluruhan lokasi pemetaan. Aspek morfografi
daerah pemetaan berdasarkan kenampakan dilapangan termasuk kedalam
perbukitan. Aspek morfogenesa, daerah ini terbentuk diakibatkan oleh proses
pelapukan baik yang dipengaruhi oleh iklim, curah hujan, cuaca dan
organisme. Jenis pelapukan yang berperan dalam proses pembentukkan lahan
didaerah ini ialah pelapukan mekanik yaitu penghancuran masa batuan yang
disebabkan oleh tenaga fisik, sedang susunan kimanya tetap. pelapukan fisik
atau mekanik terutama disebabkan oleh perbedaan temperatur, arus air,
kekuatan angin, dan lain sebagainya, perubahan suhu antara siang dan malam
membuat batuan menjadi lapuk hingga pada akhirnya batuan tersebut pecah
dan menjadi bongkah hingga pasir.

31
Karakteristik dari Perbukitan Bukit sisa Denudasional mempunyai sudut
lereng sebesar 11-13% berdasarkan klasifikasi dari hasil hitungan daerah ini
mempunyai lereng landai dengan beda tinggi 50m, perbukitan ini
mempunyai bentuk puncak tumpul, bentuk lembah U tajam pola punggungan
berbelok dan bentuk lereng concave (cekung) serta stadia sungai dewasa awal
dan stadia daerah pada perbukitan tersebut yaitu dewasa awal, litologi
penyusun batuannya yaitu batuan Batulanau, Batupasir dan konglomerat.
pada perbukitan denudasional ini juga terdapat lembah sungai yang
menyerupai huruf U yang berbentuk lurus, pola aliran sungai jenis
rectangular. tata guna lahan daerah ini terdiri dari kebun coklat, kebun kelapa,
pemukiman, persawahan.

3. Satuan Geomorfologi Perbukitan Denudasional Gawir Lereng Terjal


Satuan geomorfologi Perbukitan Denudasional Gawir Lereng
Terjal. di daerah Batusuya ini dengan luas ± 33,946 km2 atau sekitar 45%
dari luas daerah penelitian, dengan ketinggian tempat 200-500 mdpl. Dari
kenampakan dilokasi penelitian daerah ini mempunyai unsur morfografi
perbukitan. Morfologi perbukitan lipatan biasanya dicirikan oleh bentuk
seperti lipatan. Karakteristik dari perbukitan denudasional ini mempunyai
sudut lereng sebesar 40%-92% berdasarkan klasifikasi dari hasil hitungan
daerah ini mempunyai lereng Agak Curam dengan beda tinggi lebih dari
300 mdpl, pegunungan ini mempunyai bentuk lereng cembung, bentuk
lembah V tajam, daerah ini dicirikan adanya air terjun, batuan metamorf
yang mencirikan pengaruh tektonik sangat erat kaitannya dengan
pembentukkan lahan ini dan stadia daerah pada pegunungan tersebut yaitu
muda. Adanya litologi batuan sedimen malihan didaerah ini terangkat dan
memungkinkan daerah ini terlipat. pada pegunungan gawir ini juga
terdapat lembah sungai yang menyerupai huruf V yang berbentuk lurus
dapat mencirikan stadia sungainya daerah ini yaitu stadia muda dan stadia
daerah muda serta pola aliran sungai tersebut yaitu parallel-subparallel

32
karena sungainya lurus. Di daerah ini mempunyai tata guna lahan kebun
kelapa dan hutan.

4. Satuan Geomorfologi Dataran Banjir Fluvial.


Satuan Geomorfologi Dataran Fluvial yang terdapat di daerah Batusuya
kecamatan Sindue Tobata, Kabupaten Donggala memiliki luas sekitar ± 7.564
km2 dan tidak memiliki beda tinggi. proses yang terjadi di daerah ini
disebabkan oleh air permukaan, baik yang merupakan air yang mengalir
secara terpadu, maupun air yang tidak terkonsentrasi. Proses fluvial akan
menghasilkan suatu satuan geomorfologi yang khas sebagai akibat tingkah
laku air yang mengalir dipermukaan. Satuan geomorfologi yang dibentuk
dapat terjadi karena proses erosi maupun karena proses sedimentasi yang
dilakukan oleh air permukaan. Karakteristik pada daerah dataran fluvial ini
tidak memiliki sudut lereng (0%) atau sesuai klasifikasi daerah ini memiliki
lereng dataran, dengan ketinggian ±37mdpl, stadia daerah tua, litologi
penyusun batuannya yaitu sedimen merupakan endapan fluvial dan endapan
aluvial dan tidak terdapat struktur geologi yang mempengaruhi aliran ini.
Didaerah ini juga terdapat lembah sungai yang menyerupai huruf U lebar yang
bentuknya lurus, berkelok-kelok (meander), stadia pada sungai ini yaitu
dewasa, proses-proses eksogen yang terjadi pada daerah penelitian ini erosi
dan sedimentasi. pola aliran sungai pada daerah ini ialah rectangular. Tata
guna lahan berupa Pengaliran Air, ciri-ciri yang menunjukkan bentang alam
fluvial yang dapat diamati pada daerah ini yaitu Bentukan pada dataran banjir
sungai yang berbentuk kelokan karena pengikisan tebing sungai, daerah
alirannya disebut sebagai Meander Belt. Meander ini terbentuk apabila pada
suatu sungai yang berstadia dewasa/tua mempunyai dataran banjir yang cukup
luas, aliran sungai melintasinya dengan tidak teratur sebab adanya
pembelokan aliran Pembelokan ini terjadi karena ada batuan yang
menghalangi sehingga alirannya membelok dan terus melakukan penggerusan

33
ke batuan yang lebih lemah serta Erosi ke samping (lateral) menyebabkan
lembah bertambah lebar dan membentuk kelokan-kelokan. Bentuk kelokan
sungai yang khas dinamakan meander, yaitu kelokan sungai yang teratur
berbentuk setengah lingkaran, terdapat di tengah dan hilir aliran sungai. Bar
deposit adalah endapan sungai yang terdapat pada tepi atau tengah dari alur
sungai. Endapan pada tengah alur sungai disebut gosong tengah (channel bar)
dan endapan pada tepi disebut gosong tepi (point bar). Bar deposit ini bisa
berupa kerakal, berangkal, pasir, dll. Dataran banjir berupa dataran yang luas
yang berada pada kiri kanan sungai yang terbentuk oleh sedimen akibat
limpasan banjir sungai tersebut. Umumnya berupa pasir, lanau, dan lumpur.

5. Satuan Geomorfologi Dataran Banjir Marine


Satuan geomorfologi dataran Banjir Marine di daerah Batusuya
kecamatan Sindue Tobata, Kabupaten Donggala memiliki luas penyebaran ±
5,263 km2 atau 10% dari keseluruhan lokasi pemetaan. Aspek morfografi
daerah pemetaan berdasarkan kenampakan dilapangan termasuk kedalam
morfografi pantai. Aspek morfogenesa, daerah ini terbentuk Proses Fisika
yaitu proses-proses fisik yang mempengaruhi pembentukan pesisir seperti
gelombang, rombakan arus (rip current), arus pasang surut, pasang surut dan
sebagainya. Gelombang, Erosi dan abrasi Sedimentasi yang dibawa melalui
sungai, arus sepanjang tepi pantai (longshore drift), dan arus pasang surut.
Batuan Sedimen yang terbentuk terdiri dari lumpur, pasir, hingga kerikil.
litologi penyusun batuannya yaitu batuan Batulanau, Batupasir dan
konglomerat. Pada daerah ini tidak terdapat tata guna lahan

6. Pola Aliran Sungai


Pada pemetaan geomorfologi di wilayah Batusuya dan sekitarnya
kecamatan Sindue Tobata, kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah, dari hasil
pemetaan di lapangan serta interpretasi pola aliran berdasarkan peta RBI dapat

34
diketahui pola aliran sungai di daerah penelitian yaitu Rectangular dan
dendritik.

7. Stadia Sungai.
Tahapan perkembangan suatu sungai dapat dibagi menjadi 5 (tiga) stadia,
yaitu stadia sungai awal, stadia muda, stadia dewasa, stadia tua, dan stadia
remaja/rejuvination (Djauhari noor, 2012) Pada pemetaan geomorfologi di
wilayah Batusuya dan sekitarnya kecamatan Sindue Tobata, kabupaten
Donggala, Sulawesi Tengah, dari hasil pemetaan di lapangan serta interpretasi
stadia sungai berdasarkan peta RBI dan peta geologi penyusun mendapatkan 3
stadia sungai yaitu stadi sungai muda, muda menjelang dewasa dewasa dan
tua sungai di daerah penelitian. Stadia sungai muda adalah sungai-sungai yang
aktivitas aliran sungainya mengerosi kearah vertikal. Aliran sungai yang
menmpati seluruh lantai dasar suatu lembah. Tahap awal dari sungai dewasa
dicirikan oleh mulai adanya pembentukan dataran banjir secara setempat
setempat diliat dari litologi dan kenampakan daerah penelitian stadia sunga
daerah ini yaitu tahap muda sampai tahap awal sungai dewasa, stadia sungai
tua di cirikan dengan adanya kenampakan meander, rawa belakang, channel
bar dan point bar serta lembah membentuk huruf U. Erosi lateral lebih
dominan dibandingkan erosi lateral.

35
BAB V
PENUTUP
5.1. Kesimpulan.

Dari uraian di atas Berdasarkan pembagian klasifikasi relief


morfometri morfografi dan morfogenesa di penelitian, memiliki keunikan
masing – masing yang tentunya dikontrol oleh factor pengendali yang
berbeda – beda sehingga kenampakan yang terdapat memiliki cirri masing –
masing. Seperti pada rute pemetaan yang telah dilakukan yang telah
dilakukan, beberapa morfogenesa pada daerah penelitian yaitu berasal dari
tiga bentuk lahan yaitu bentuk lahan asal struktur, bentuk lahan asal
denudasional dan bentuk lahan asal fluvial. Berdasarkan morfogenesa yang di
dapatkan dan mengklasifikasikan berdasarkan aspek-aspek geomorfologi
didapatkan 5 satuan geomorfologi yaitu :
8. Satuan geomorfologi pegunungan struktural gawir sesar lereng curam ini
memiliki luas ± 33,946 km2 atau sekitar 33,91% dari seluruh lahan yang
dipetakan. Morfologi Escarpment (Gawir Sesar) biasanya dicirikan oleh
lereng yang memanjang dengan perbedaan tinggi yang cukup ekstrim
antara bagian yang datar dan bagian pegunungan. Pada umumnya bagian
lereng yang merupakan bidang sesar mengendapkan material dan bidang
bukit yang tererosi/bidang sesar membentuk triangular facet yang
merupakan gawir sesar.
9. Satuan geomorfologi perbukitan tinggi struktural gawir sesar lereng curam
ini memiliki luas ± 16,924 km2 atau selitar 19,85% dari lahan yang dipeta
kan dengan ketinggian tempat 100-925 mdpl. Dengan morfogenesa yang
dikontrol struktur yang dicirikan dengan adanya kenampakan triangular
facet, dan gawir sesar.
10. Satuan geomorfologi perbukitan rendah denudasional kaki lereng
bergelombang miring ini memiliki luas penyebaran ± 4,263 km2 atau
sekitar 5,01% dari luas lahan dengan ketinggian tempat 75-125 mdpl.
Dengan morfogenesa asal denudasional dengan Kenampakan dilapangan

36
berupa perbukitan kaki lereng sebagai akibat dari proses pelapukan
mekanik serta erosi.
11. Satuan geomorfologi dataran rendah aluvial ini memiliki luas
sekitar ± 26,894km2 atau sekitar 31,54 % dari seluruh daerah yang
dipetakan dan memiliki ketinggian 75-125m, Dengan morfogenesa asal
fluvial dengan sungai sebagai pengontrol utamanya didukung oleh
pelapukan dan sedimentasi, kenampakan yang dapat diamati dilapangan
yaitu dataran banjir serta dataran aluvial.
12. Satuan geomorfologi dataran fluvial memiliki luas penyebaran ±
3,235km2 dan memiliki ketinggian 37 mdpl. Dengan morfogenesa asal
fluvial dengan sungai sebagai pengontrol utamanya, dengan kenampakan
dilapangan seperti channel bar, point bar, dan mender serta rawa belakang.
13. Pola aliran didaerah penelitian menrupakan pola aliran paralel dan
sub paralel yang mengindikasikan bahwa morfogenesa sungai ini sangat
erat kaitannya dengan pengaruh struktur geologi berupa sesar.
14. Berdasarkan kenampakan dilapangan dan pengamatan dilokasi
penelitian didapatkan 3 stadia sungai yaitu stadia muda, stadia dewasa dan
stadia tua.
5.2. Saran.

Setelah selesai melakukan pemetaan geomorfologi, banyak ilmu yang


didapatkan dari pemetaan ini. Saran saya agar kedepannya dosen
mempersiapkan data citra atau foto udara dan diajarkan menggunakan metode
pengindraan jauh dalam menginterpretasikan morfologi daerah penelitian
menggunakan data-data tersebut. Sekian dan terima kasih.

37

Anda mungkin juga menyukai