Anda di halaman 1dari 5

TELEVISI

CERPEN EDWARD ANGIMOY


(PEGIAT KOMUNITAS KOPI SASTRA-AKHIR BULAN)

“Tuhan sudah lama meninggalkan negeri ini, Lalong”, Aku berujar sambil mematikan televisi.
Entah Ia paham maksud kata-kataku atau tidak, namun itu cara termudah bagiku untuk
sekaligus menutup pembicaraan kami. Seolah-olah sekali dayung, dua tiga pulau terlampaui.

“Sudah jam sepuluh. Saatnya tidur”, Aku kembali mengambil alih dengan nada cenderung tegas.

Sorot mataku memaksa. Aku menampilkan sosok ayah yang otoriter, sesuatu yang nyaris selalu
kuhindari. Tetapi apakah ada pilihan lain?

“Besok kita lanjutkan lagi”, kali ini Aku agak sedikit membuka tawar-menawar karena kulihat Ia
begitu enggan bergeser dari tempat duduknya.

Mungkin karena ia belum mendapatkan kesimpulan apapun dari pertanyaan-pertanyaannya.


Keingintahuan seperti tuhan baginya. Itu sifat khasnya. Perlu sedikit bujuk rayu untuk
membuatnya tergoda dan semacam menyerahkan diri pada perintahku.

“Selamat tidur, Bapa”, Lalong mengucapkannya dengan air muka sedikit kecewa.

Langkahnya berat. Seberat pertanyaan-pertanyaannya. Ia kemudian menghilang di balik pintu


kamarnya.

Aku lalu menoleh pada televisi. Seolah-olah ingin membuka dialog tentang pertanyaan-
pertanyaan Lalong. Namun televisi 29 inchi keluaran Jepang itu tak memberi respon sedikitpun.
Ia semacam mati. Tetapi bukankah ia memang mati? Ya, benar. Aku yang membuatnya mati dan
akhirnya ia memang mati. Ah, jika Aku yang membuatnya mati, maka berarti sebelumnya ia
hidup?

Tak ada dialog, hanya monolog pikiranku. Aku lalu memilih tidur tanpa membawa serta
monolog yang penuh labirin itu. Televisi dan segala monolog racau itu kutinggalkan begitu saja
di pinggir-pinggir alam bawah sadarku. Siapa tahu mereka berdua akan terperosok jatuh ke
dalamnya. Lalu kemudian benar-benar mati. Seperti mati sungguhan. Namun kemudian Aku
ingat, alam bawah sadar tak pernah bisa dipercaya. Ia memang menyimpan keduanya dalam
peti mati lalu menguburkannya, seolah-olah keduanya mati sungguhan. Tetapi siapa sangka,
suatu waktu, secara mengejutkan ia akan membangkitkan keduanya begitu saja. Entahlah.
Sebelum sampai ke kamarku, kuputuskan untuk menengok Lalong. Aku selalu begitu. Seperti
sebuah ritual, Aku akan selalu menyempatkan diri menengok putra semata wayangku itu
sebelum tidur. Bagiku, meski Ia masih tercatat sebagai siswa Sekolah Menengah Pertama,
namun caranya berpikir dan melihat sesuatu sangat berbeda. Seperti melampaui generasinya.
Mendapatkan gambaran ketika Ia sedang tertidur seperti memberiku pengalaman batin yang
begitu menyejukkan. Juga sekaligus membuatku mampu berdamai dengan segala kondisi hidup
yang runyam.

Namun malam ini sedikit berbeda. Aku terlanjur menangkap rupa televisi dan beberapa baris
monologku bergelantungan di sudut pertemuan antara mata dan hidung lancipnya. Ia
barangkali tak merasakan itu sebab tidur pulasnya begitu maksimal. Sesekali Ia seperti
tersenyum. Dan senyuman itu seperti menyungging sebuah pertanyaan:

“Apakah televisi memang cuma kotak mati?”

***

Lalong pernah begitu menggandrungi televisi. Itu berlangsung hingga Ia selesai Sekolah Dasar.
Persisnya, pada saat Ia belum jatuh cinta dan menyerahkan hampir segala waktunya pada buku.
Saat itu, seperti anak-anak lain seusianya, Ia semacam kecanduan televisi. Susah sekali baginya
untuk melewatkan waktu tanpa menonton. Ia seperti terkagum-kagum ketika berada di depan
televisi. Pikirannya takjub.

Namun kini situasi agak berbeda, Ia menonton televisi hanya agar bisa menghabiskan waktu
bersamaku setelah seharian tak bertemu. Barangkali. Aku hanya menduga-duga.

Awalnya Aku berasumsi bahwa Lalong takjub pada apapun yang ditampilkan di film-film kartun
dan acara-acara anak lainnya. Ia sama seperti anak-anak lain seusianya, menurutku. Aku lalu
memberinya label “normal”. Tetapi lamat-lamat, Aku menyadari bahwa Aku telah membuat
kekeliruan. Ketakjuban yang muncul di permukaan tatapannya itu pada akhirnya tidak
ditujukan pada kelucuan atau apapun yang berhasil dibingkai televisi. Namun ketakjuban-
ketakjuban itu sesungguhnya Ia alamatkan pada cara kerja televisi. Lebih tepatnya, bagaimana
nalar di belakang televisi bekerja. Aku baru menyadari hal itu dari pertanyaan-pertanyaan yang
ia todongkan kepadaku.

“Kenapa itu semua ada di dalam tv, Bapa?”, Lalong memulai dari situ.
“Mereka datang dari mana, Bapa? Bagaimana mereka bisa masuk?”, kali ini Ia datang dengan
dua pertanyaan. Persis tokoh kartun favoritnya yang datang dengan dua pedang berlumuran
pertanyaan, satu di tangan kiri dan satu lagi di tangan kanan. Aku terpojok.

“Siapa yang memasukkan mereka ke dalam sana dan untuk tujuan apa mereka ada di dalam
sana?”, tanya Lalong sambil mengarahkan telunjuk ke televisi.

“Bagaimana kalau saya bergabung dengan mereka di dalam sana, Bapa?”, kali ini Ia setengah
berbisik, lalu kemudian tertawa lebar sambil menghilang begitu saja.

Ia dan Aku tahu bahwa pertanyaan terakhir itu adalah sekaligus ide yang buruk. Namun Aku tak
lantas berhenti pada kesimpulan itu. Aku menangkap cara nalarnya bekerja yang menurutku
brilian untuk anak seusianya. Mungkin ini hasil percampuran kecerdasanku dan istriku, Aku
mencoba berargumentasi. Ada sedikit nada sombong terselip di situ. Tetapi sesungguhnya Aku
tak pernah paham.

***

Lalong adalah tipikal arkeolog-politis. Aku baru menyadarinya kemudian. Sebagaimana


arkeolog, Ia selalu menggali detail demi detail untuk memperoleh pengetahuan. Atas nama
keingintahuan yang semacam tuhan baginya, Ia terus menggali. Menggali apa saja. Pertanyaan
jadi semacam sekop baginya. Dan sekop itu berupa pertanyaan-pertanyaan seputar nalar di
balik “adanya” sesuatu dan kondisi-kondisi yang memungkinkan sesuatu itu “ada”; tentang
bagaimana sesuatu bisa ada, terjadi, bekerja, dan dibahasakan. Seperti ketika para arkeolog
melakukan penggalian candi Borobudur, mereka kemudian bisa memeriksa segala sesuatu
tentang masyarakat seputar candi pada abad ke-9: cara hidup masyarakat, tingkat
intelektualitas, pola kekuasaan, pola relasi sosial-ekonomi-politik, teknologi, seni dan budaya,
agama dan kepercayaan, dan sebagainya. Lepas dari situ, pertanyaan berikutnya adalah
bagaimana itu semua bisa “ada” atau terjadi demikian. Lalu terakhir, ketika semua sudah
ditemukan dan dijawab, pertanyaan pamungkas yang tidak boleh dilewatkan sedikitpun adalah
semua itu kemudian akan digambar-bahasakan untuk kepentingan apa dan siapa. Tentu, itu
pertanyaan politis. Maka lengkaplah label arkeolog-politis tadi.

Begitulah Lalong kini. Ia memeriksa nalar tentang televisi dengan pertanyaan-pertanyaan


mengunci. Dan itulah yang terjadi malam kemarin ketika Aku akhirnya dengan terpaksa
memaksanya tidur. Aku masih ingat betul rekaman pembicaraan kami saat itu. Termasuk saat
Aku meniru sebuah baris dialog dalam film Blood Diamond1 bahwa Tuhan sudah lama
meninggalkan negeri ini. Itu salah satu film kesukaanku dan Lalong.
***

“Bapa, kenapa Bapa suka sekali nonton berita?”, Ia kembali menggali isi kepalaku.

Matanya tak beranjak sedikitpun dari televisi sekalipun hanya untuk menegaskan
pertanyaannya tadi. Malam ini Aku, ditemani Lalong, sedang memperhatikan sebuah kanal
berita dalam negeri.

“Karena dari berita kita bisa tahu apa yang terjadi di luar sana”, Aku mencoba memberi
jawaban diplomatis.

Diam-diam, ini juga caraku merangsang nalarnya bekerja kritis.

“Berarti di luar sana banyak orang jahat kalau begitu, Bapa?!”, Ia menyimpulkan.

“Kenapa bilang begitu?”, Aku setengah menyelidik.

Sesungguhnya Aku sudah menebak arah pembicaraannya. Namun Aku penasaran dengan cara
nalarnya mengambil kesimpulan.

“Karena tiap kali kita nonton berita, yang ada hanya berita korupsi, suap, politik uang, rebut-
rebutan kekuasaan, penggusuran, curi haknya masyarakat, jual manusia, dan sebagainya, dan
sebagainya. Yang namanya kejahatanlah pokoknya, Bapa. Hanya orang dan sistem yang jahat
kan yang melakukan semua itu?!”, ia membuatku terkesan. Darimana semua itu didapatkannya.
Aku takjub bukan kepalang. Aku benar-benar tak menyangka amatannya begitu dalam.
Entahlah.

Belum sempat berhenti takjub, Ia kembali merapatkan pedang pertanyaannya tepat di ujung
leherku:

“Atau semua itu hanya mau bilang kalau kita ini seperti binatang kah, Bapa?”, Aku terperanjat
bukan main. Bagaimana anak ini bisa sedalam itu menggali pengetahuan tentang manusia dan
semua yang ada di baliknya.

Aku diam menatap televisi. Memikirkan jawaban. Lalong menunggu. Tatapannya penuh rasa
ingin tahu.

“Sebentar. Itu pertanyaan sulit, nana2. Itu pertanyaan untuk profesor. Bapa belum jadi profesor.
Jadi butuh waktu untuk berpikir”, Aku coba menghibur sekenanya. Mataku tetap menatap
televisi, berpura-pura menonton. Setidaknya itu pancingan agar matanya yang sejak tadi
menatapku dialihkan ke televisi. Dengan pengalihan itu, Aku dapat lebih leluasa berpikir
mencari jawaban.

Tiba-tiba Aku teringat animale ratio, manusia adalah binatang yang berpikir. Aku mencoba
mencernanya kembali, apakah manusia berpikir sedangkan binatang tidak? Atau keduanya
“berpikir” namun masing-masing “berpikir” dengan cara yang berbeda.

Tetapi apakah “berpikir” itu?, Aku berfilosofi.

Lalu apakah manusia sesungguhnya adalah binatang yang berpikir? Ah, jangan-jangan manusia
hanyalah manusia. Ia tidak berpikir. Atau tidak punya kesadaran bahwa ia bisa berpikir.

Atau bahkan yang paling ironis, manusia pura-pura berpikir namun sekaligus menolak disebut
binatang. Namun, alih-alih demikian, belum tentu juga binatang yang “berpikir” sudi disamakan
dengan manusia macam itu.

***

Lalong sudah terlelap begitu Aku menoleh. Ia menunggu terlalu lama sepertinya.

Televisi masih tetap tergeletak di depan kami dengan sebuah tatapan aneh. Seperti sedang
mengolok-olok. Sejurus kemudian, ada begitu banyak tanda tanya yang berjejalan dan
melompat keluar dari layarnya. Sontak Aku terperanjat, itu adalah tanda tanya yang sudah lama
hilang dari peradaban manusia. Tanda tanya, yang baru kusadari, selama ini menjadi selubung
pada selaput pada mata Lalong.***

1
Judul film ini merujuk pada terjemahan berlian berdarah yang ditambang di wilayah perang saudara di Sierra
Leone-Afrika dan keuntungan penjualannya dipakai untuk membiayai perang-konflik. Dan kondisi demikian
tentu saja memberi profit, baik bagi para “Komandan Perang” (warlord) maupun perusahaan berlian
multinasional yang bisa jadi berada di bawah satu kendali. Film ini dibintangi Leonardo di Caprio.
2
Panggilan untuk anak atau saudara laki-laki dalam Bahasa Manggarai.

Anda mungkin juga menyukai