Anda di halaman 1dari 10

Pengembangan Media Pembelajaran melalui pendekatan Analisi dengan

Memberdayakan Kemampuan Berfikir Kritis

A. Abstrak

Berpikir kritis adalah suatu aktifitas kognitif yang berkaitab dengan penggunaan nalar.
belajar untuk berpikir kritis berarti menggunakan proses-proses mental, seperti
memperhatikan, mengkategorikan, seleksi, dan menilai/memutuskan.

Kemampuan dalam berpikir kritis memberikan arahan yang tepat dalam berpikir dan
bekerja, dan membantu dalam menentukan keterkaitan sesuatu dengan yang lainnya dengan
lebih akurat. Oleh sebab itu kemampuan berpikir kritis sangat dibutuhkan dalam pemecahan
masalah / pencarian solusi, dan pengelolaan proyek.Pengembangan kemampuan berpikir
kritis merupakan integrasi beberapa bagian pengembangan kemampuan, seperti pengamatan
(observasi), analisis, penalaran, penilaian, pengambilan keputusan, dan persuasi. Semakin
baik pengembangan kemampuan-kemampuan ini, maka kita akan semakin dapat mengatasi
masalah-masalah/proyek komplek dan dengan hasil yang memuaskan.

B. Pengantar
Paradigma pembelajaran meliputi teacher centered dan student centered. Paradigma
teacher centered merupakan paradigma pembelajaran yang berpusat pada guru. Paradigma ini
dianggap sebagai pembelajaran deduktif tradisional, sedangkan paradigma student centered
merupakan paradigma pembelajaran ang berpusat pada siswa. Paradigma ini sering disebut
sebagai sebuah pembelajaran dengan pendekatan berorientasi pada proses (process oriented
approach). Pembelajaran yang umum digunakan di Asia Tenggara menggunakan paradigma
teacher centered. Pembelajaran student centered atau pembelajaran berorientasi proses masih
jarang digunakan (Bourke, 2004). Pembelajaran student centered membutuhkan proses
belajar dan pembelajaran yang kreatif, inovatif, dan kurikulum yang mendukung
pembelajaran. Untuk mengembangkan pebelajar yang mandiri (self-regulated learner) yang
mampu memberdayakan kemampuan berpikir kritis, paradigma student centered lebih tepat
digunakan (Noor, 2007). Kebanyakan penulis berpendapat bahwa berpikir kritis berkaitan
dengan aktivitas “tingkat tinggi” seperti kemampuan dalam memecahakan masalah,
menetapkan keputusan, berpikir reflektif, berpikir kreatif, dan mengambil kesimpulan secara
logis (Nickerson, 1998). Menurut Shukor (2001) ada dua macam keterampilan berpikir, yaitu
berpikir kritis dan berpikir kreatif. Sedangkan Cotton (2003) mengusulkan istilah lain untuk
kemampuan berpikir kritis, yaitu higher order thinking skills (keterampilan berpikir tingkat
tinggi).

C. Deskripsi Kemampuan Berpikir Kritis

Berpikir kritis adalah proses yang melibatkan operasi mental seperti induksi,
deduksi, klasifikasi, dan penalaran. Menurut Ennis (1985) serta Fogarty dan McTighe
(1993) berpikir kritis merupakan cara berpikir reflektif yang masuk akal atau berdasarkan
nalar untuk menentukan apa yang akan dikerjakan dan diyakini. Berpikir menggunakan
proses secara simbolik yang menyatakan objek-objek nyata, kejadian-kejadian dan
penggunaan pernyataan simbolik untuk menemukan prinsip-prinsip mendasar suatu objek
dan kejadian (Arends, 2000). Di dalam proses berpikir berlangsung kejadian
menganalisis, mengkritik, dan mencapai kesimpulan berdasar pada inferensi atau
pertimbangan yang seksama (Ibrahim dan Nur, 2000). Disampaikan oleh Diestler (1994)
bahwa dengan berpikir kritis, orang menjadi memahami argumentasi berdasarkan
perbedaan nilai, memahami adanya inferensi dan mampu menginterpretasi, mampu
mengenali kesalahan, mampu menggunakan bahasa dalam berargumen, menyadari dan
mengendalikan egosentris dan emosi, dan responsif terhadap pandangan yang berbeda.

Kemampuan berpikir kritis merupakan proses kognitif untuk memperoleh


pengetahuan. Liliasari (2000) dan Krulik dan Rudnick (1999) menyatakan bahwa
kemampuan berpikir kritis merupakan aktivitas berpikir tingkat tinggi. Berpikir kritis ini
mengaktifkan kemampuan melakukan analisis dan evaluasi bukti, identifikasi pertanyaan,
kesimpulan logis, memahami implikasi argumen (Friedrichsen, 2001). Lebih lanjut
McMurarry et al (1991) menyampaikan bahwa berpikir kritis merupakan kegiatan yang
sangat penting untuk dikembangkan di sekolah, guru diharapkan mampu merealisasikan
pembelajaran yang mengaktifkan dan mengembangkan kemampuan berpikir kritis pada
siswa. Bahkan Schaferman (1999) menyatakan bahwa perencanaan pembelajaran IPA
oleh guru untuk pengembangan kemampuan berpikir kritis siswa adalah keharusan. Hal
ini didukung oleh penyataan Friedrichsen (2001) dan King (1994) bahwa kemampuan
berpikir kritis seyogyanya dikembangkan sejak usia dini.

Dinyatakan oleh Presseisen (1985) bahwa agar siswa memiliki keterampilan


intelektual tingkat tinggi harus dilatih keterampilan kritis, kreatif, pemecahan masalah,
dan membuat keputusan. Selanjutnya, disampaikan oleh Ennis (1993) bahwa evaluasi
terhadap kemampuan berpikir kritis antara lain bertujuan untuk mendiagnosis tingkat
kemampuan siswa, memberi umpan balik keberanian berpikir siswa, dan memberi
motivasi agar siswa mengembangkan kemampuan berpikir kritisnya. Arends (2004),
Ibrahim dan Nur (2000) menjelaskan mengenai berpikir tinggi sebagai berikut: 1) Tidak
algoritmik, alur tindakan tidak dapat ditetapkan sebelumnya, 2) cenderung ke arah yang
kompleks, sehingga keseluruhan alurnya tidak dapat diamati dari satu sudut pandang, 3)
seringkali menghasilkan banyak solusi, masing-masing dengan keuntungan dan kerugian
dibandingkan hanya dengan solusi tunggal, 4) melibatkan pertimbangan dan interpretasi,
5) melibatkan pengaturan diri tentang proses berpikir, 6) merupakan sebuah kerja keras,
ada pergerakan mental yang besar saat melakukan berbagai jenis elaborasi dan
pertimbangan yang dibutuhkan. Sudut pandang berpikir kritis disampaikan oleh Eggen
dan Kauchak (1996) bahwa berpikir kritis adalah: 1) sebuah keinginan untuk
mendapatkan informasi, 2) sebuah kecenderungan untuk mencari bukti, 3) keinginan
untuk mengetahui kedua sisi dari seluruh permasalahan, 4) sikap dari keterbukaan
pikiran, 5) kecenderungan untuk tidak mengeluarkan pendapat (menyatakan penilaian),
7) menghargai pendapat orang lain, 8) toleran terhadap keambiguan. Disampaikan oleh
Lewis dan Smith (1993) bahwa kemampuan berpikir kritis merupakan bagian dari
kemampuan berpikit tingkat tinggi, setidaknya ada tiga makna berpikir kritis, yaitu: 1)
berpikir kritis sebagai suatu pemecahan masalah, 2) berpikir sebagai evaluasi dan
pertimbangan, dan 3) berpikir kritis sebagai kombinasi pemecahan masalah, evaluasi dan
pertimbangan.
1. Perlunya Budaya Berpikir Kritis
Ada beberapa alasan perlunya membentuk budaya berpikir kritis di
masyarakat. Salah satunya adalah untuk menghadapi perubahan dunia yang begitu
pesat yang selalu muncul pengetahuan baru tiap harinya, sementara pengetahuan yang
lama ditata dan dijelaskan ulang. Di zaman perubahan yang pesat ini, prioritas utama
dari sebuah sistem pendidikan adalah mendidik anak-anak tentang bagaimana cara
belajar dan berpikir kritis (Shukor, 2001). Beberapa karakteristik dari era
pengetahuan (knowledge age) adalah:
1. Kehidupan, masyarakat, dan ekonomi menjadi lebih kompleks.
2. Lapangan kerja menipis, dibanding era sebelumnya,
3. Ilmu pengetahuan dan informasi, tanah, buruh dan modal sebagai masukan paling
utama dalam sistem produksi modern.

Wilson (2000) mengemukakan beberapa alasan tentang perlunya keterampilan


berpikir kritis, yaitu:
1. Pengetahuan yang didasarkan pada hafalan telah didiskreditkan; individu tidak akan
dapat menyimpan ilmu pengetahuan dalam ingatan mereka untuk penggunaan yang akan
datang.
2. Informasi menyebar luas begitu pesat sehingga tiap individu membutuhkan
kemampuan yang dapat disalurkan agar mereka dapat mengenali macam-macam
permasalahan dalam konteks yang berbeda pada waktu yang berbeda pula selama hidup
mereka.
3. Kompleksitas pekerjaan modern menuntut adanya staf pemikir yang mampu
menunjukkan pemahaman dan membuat keputusan dalam dunia kerja.
4. Masyarakat modern membutuhkan individu-individu untuk menggabungkan informasi
yang berasal dari berbagai sumber dan membuat keputusan.

Dengan kata lain, pekerja yang memasuki tempat kerja di masa mendatang harus benar-
benar memiliki berbagai kemampuan yang akan menjadikan mereka pemikir sistem dan
orang yang tak pernah henti belajar sepanjang hidup mereka (Shukor, 2001). Alasan lain
perlunya budaya berpikir adalah bahwa dunia yang mengekspresikan ketertarikan dan
kepedulian mereka pada kemampuan pembelajaran berpikir karena mereka mendapati
ketidakmampuan lulusan universitas dalam membuat keputusan sendiri dengan mandiri
(Phillips, 2001). Karena kesejahteraan suatu negara bergantung pada masyaratnya, maka
dipandang perlu dan masuk akal jika akal pikiran menjadi fokus dari perkembangan
pendidikan (Shukor, 2001).
Menurut Tishman et al (1995), budaya berpikir adalah transformasi budaya dari
suatu kelas menjadi budaya berpikir. Pembelajaran berpikir tersebut bertujuan untuk
mempersiapkan masa depan diri siswa dalam pemecahan masalah, pengambilan
keputusan yang dipikirkan secara matang, dan pembelajaran tanpa henti sepanjang hayat
(life long education). Kelas berpikir ditujukan untuk belajar dan mengajar di lingkungan
dengan budaya berpikir. Di lingkungan kelas, ada beberapa hal yang berkolaborasi,
seperti bahasa, nilai-nilai, harapan, dan kebiasaan, untuk mengekspresikan dan
memperkuat pemikiran yang kuat (Tishman et al, 1995). Budaya berpikir meliputi bahasa
berpikir, watak berpikir, manajemen mental, semangat berstrategi, tingkat pengetahuan
yang tinggi, dan pembelajaran untuk menyalurkan ilmu. Satu dekade terakhir, banyak
negara Asia Tenggara yang berusaha merancang ulang sistem pendidikan mereka dalam
rangka menghasilkan siswa-siswa pemikir untuk masa depan meraka. Misalnya, di tahun
1990, Singapura memulai “Thinking School, Learning Nation”, Malaysia dengan “Smart
Schools”, dan Brunei Darussalam “Thoughtful Schools” (Sim, 2001; Chang, 2001; dan
Shukor, 2001).

2. Pentingnya Berpikir Kritis dalam Pembelajaran


Keterkaitan berpikir kritis dalam pembelajaran adalah perlunya mempersiapkan
siswa agar menjadi pemecah masalah yang tangguh, pembuat keputusan yang
matang, dan orang yang tak pernah berhenti belajar. Penting bagi siswa untuk
menjadi seorang pemikir mandiri sejalan dengan meningkatnya jenis pekerjaan di
masa yang akan datang yang membutuhkan para pekerja handal yang memiliki
kemampuan berpikir kritis. Selama ini, kemampuan berpikir masih belum merasuk ke
jiwa siswa sehingga belum dapat berfungsi maksimal di masyarakat yang serba
praktis saat ini. Sebuah laporan di Malaysia menyebutkan bahwa pembelajaran
kognisi tingkat tinggi membantu siswa untuk menjadi pebelajar mandiri,
mengembangkan keterampilan berpikir siswa lebih umum dinyatakan sebagai tujuan
pendidikan saja.

Rajendran (2002) menemukan kurangnya kemampuan siswa dalam menerapkan


ilmu pengetahuan yang mereka dapatkan di sekolah dan kelas ke permasalahan yang
mereka temui dalam kehidupan sehari-hari. Dia menegaskan bahwa banyak siswa tidak
mampu memberikan bukti tak lebih dari pemahaman yang dangkal tentang konsep dan
hubungan yang mendasar bagi mata pelajaran yang telah mereka pelajari, atau
ketidakmampuan untuk menerapkan ilmu pengetahuan yang telah mereka peroleh ke
dalam permasalahan dunia nyata (Rajendran, 2002).
Menurut kajian ini kebutuhan untuk mengajarkan kemampuan berpikir sebagai
bagian yang menyatu dengan kurikulum sekolah merupakan hal yang sangat penting.
Sebagian besar negara mempedulikan kenaikan standar pendidikan melalui wajib
belajar pada pendidikan formal. Menurut Cotton (2003), pada tatanan masyarakat yang
serba praktis ini, pendidikan anak-anak menjadi tujuan utama pendidikan. Hal ini akan
membekali anak-anak dengan pembelajaran sepanjang hayat dan kemampuan berpikir
kritis yang dibutuhkan untuk menangkap fakta dan memproses informasi di era dunia
yang makin berkembang ini.

Salah satu dari fungsi sekolah adalah menyediakan tenaga kerja yang mumpuni dan
siap dengan berbagai masalah yang ada di masyarakat, maka penting pembelajaran
berpikir dimasukkan ke dalam proses pembelajaran. Selain perhatian terhadap
penguasaan hal-hal dasar seperti membaca, menulis, sains dan matematika, perhatian
yang sama juga terletak pada kemampuan berpikir kritis. Pengetahuan dasar atau
penguasaannya saja tidak cukup untuk memenuhi tuntutan perkembangan dunia masa
yang akan datang. Beberapa kajian pedagogi yang memiliki kontribusi terhadap antara
lain Bourke (2004), See (1998), See dan Lim (2003), Dhinsa dan Shanmuganathan
(2002). Penelitian mengenai pentingnya kemampuan berpikir kritis mata pelajaran sains
telah dilakukan oleh See (1998), Dhinsa (2002), dan Yong (2003).

See dan Lim (2003) juga menyarankan penggunakan analogi dalam pengajaran
matematika dan sains. Skolnik (1999) dalam Creative Problem Solving menyebutkan
bahwa ada empat analogi dalam pemikiran kreatif, yaitu analogi personal, langsung,
simbolik, dan fantasi. Sehubungan dengan hafalan, Taylor (2001) menjelaskan bahwa
dalam pembelajaran yang berbasis hafalan menjadikan siswa jarang dituntut untuk
bertanya dan berpikir, sehingga kemampuan berpikir kritis kurang terpacu. Berpikir dapat
dipacu dengan mengajukan pertanyaan yang ditingkatkan kompleksitasnya. Taksonomi
Bloom yang telah direvisi oleh Anderson dan Krathwhol (2001) sangat berguna dalam
meningkatkan level berpikir kritis siswa dalam pembelajaran.
Peneliti Chai dan Tan (2003) mengusulkan sebuah pendekatan yang disebut
dengan knowledge building community untuk mengembangkan keterampilan berpikir
kritis siswa. Mereka menyatakan bahwa pendekatan ini mampu mengubah struktur
wacana tradisional penyampaian ilmu pengetahuan di kelas untuk mengembangkan ide-
ide dan keterampilan berpikir kritis. Rangkaian guru mengajukan pertanyaan, siswa
menjawab dan kemudian guru mengevaluasi dan menjelaskan kembali secara rinci
jawaban dari siswa, adalah tipikal kelas tradisional (Chai dan Tan 2003). Apa yang
dibutuhkan sekarang adalah suatu konteks ramah sosial bagi peserta didik untuk
membawa ide mereka ke dalam kelas. Lee (1999) mengatakan bahwa memberikan materi
yang tepat, arahan yang benar dan suasana pembelajaran yang kondusif, anak-anak dari
usia berapapun akan mampu berkembang kemampuan berpikir kritisnya. Lagipula, setiap
orang termasuk anak-anak memiliki kemampuan untuk berpikir dan kita semua berpikir.

3. Aktivitas Berpikir Kritis Akademik

Kunci berpikir kritis adalah mengembangkan pendekatan impersonal yang


memperhatikan argumentasi dan fakta sejalan dengan pandangan, pendapat dan perasaan
personal. Wacana akademik didasarkan pada prinsip-prinsip berpikir kritis yang
dijelaskan oleh Northedge (2005) sebagai berikut: Debat: membantah poin-poin yang
memiliki pandangan berbeda. Keilmuan: kesadaran akan hal lain apa yang telah ditulis,
dan mengutipnya dengan tepat. Argumen: mengembangkan poin-poin dalam urutan logis
yang akan mengarah pada kesimpulan. Kritis: mengetahui/memperhatikan kekuatan dan
kelemahan. Analisis: menguraikan argumen yang dikemukakan. Bukti: meyakinkan
orang bahwa argumen yang dibawa didukung oleh bukti yang valid. Objektif: tidak
memihak dan emosional serta tanpa menimbulkan daya tarik langsung pada orang lain.
Presisi: menuju ketepatan, hal-hal apapun yang tidak terkait dengan argumen harus
dihilangkan. Pemikiran kritis dan analitis harus diaplikasikan pada semua aspek kegiatan
akademik, misalnya aktivitas memilih informasi, membaca, menulis, berbicara, dan
menyimak. Belajar membaca dan mengevaluasi informasi secara kritis merupakan
keahlian yang paling penting, apabila telah dikuasai dapat diaplikasikan di bidang-bidang
lainnya.

Pada prakteknya penerapan proses belajar mengajar kurang mendorong pada


pencapaian kemampuan berpikir kritis. Dua faktor penyebab berpikir kritis tidak berkembang
selama pendidikan adalah kurikulum yang umumnya dirancang dengan target materi yang
luas sehingga dosen lebih terfokus pada penyelesaian materi dan kurangnya pemahaman
dosen tentang metode pengajaran yang dapat meningkatkan kemampuan berpikir
kritis (Anderson et al., 1997; Bloomer, 1998; Kember, 1997 Cit in Pithers RT, Soden R.,
2000). Setelah kita mengenal proses tahapan berpikir kritis dalam penerapan metode
berpikir kritis,selanjutnya kita harus menguasai ketrampilan untuk berpikir kritis,masih
terkait dengan tahapan berpikir kritis yang telah kita pelajari sebelumnya.dibawah ini
ketrampilan yang harus dikuasai dalam penggunaan metode berpikir kritis, yaitu :

a. Keterampilan Menganalisis
Keterampilan menganalisis merupakan suatu keterampilan menguraikan sebuah
struktur ke dalam komponen-komponen agar mengetahui pengorganisasian struktur tersebut
(http://www.uwsp/cognitif.htm.). Dalam keterampilan tersebut tujuan pokoknya adalah
memahami sebuah konsep global dengan cara menguraikan atau merinci globalitas tersebut
ke dalam bagian-bagian yang lebih kecil dan terperinci. Pertanyaan analisis, menghendaki
agar pembaca mengindentifikasi langkah-langkah logis yang digunakan dalam proses
berpikir hingga sampai pada sudut kesimpulan (Harjasujana, 1987: 44). Kata-kata
operasional yang mengindikasikan keterampilan berpikir analitis, diantaranya: menguraikan,
membuat diagram, mengidentifikasi, menggambarkan, menghubungkan, memerinci, dsb.
b. Keterampilan Mensintesis
Keterampilan mensintesis merupakan keterampilan yang berlawanan dengan
keteramplian menganallsis. Keterampilan mensintesis adalah keterampilan
menggabungkan bagian-bagian menjadi sebuah bentukan atau susunan yang baru.
Pertanyaan sintesis menuntut pembaca untuk menyatupadukan semua informasi yang
diperoleh dari materi bacaannya, sehingga dapat menciptakan ide-ide baru yang tidak
dinyatakan secara eksplisit di dalam bacaannya. Pertanyaan sintesis ini memberi
kesempatan untuk berpikir bebas terkontrol (Harjasujana, 1987: 44).

c. Keterampilan Mengenal dan Memecahkan Masalah


Keterampilan ini merupakan keterampilan aplikatif konsep kepada beberapa
pengertian baru. Keterampilan ini menuntut pembaca untuk memahami bacaan
dengan kritis sehinga setelah kegiatan membaca selesai siswa mampu menangkap
beberapa pikiran pokok bacaan, sehingga mampu mempola sebuah konsep. Tujuan
keterampilan ini bertujuan agar pembaca mampu memahami dan menerapkan
konsep-konsep ke dalam permasalahan atau ruang lingkup baru (Walker, 2001:15).

d. Keterampilan Menyimpulkan
Keterampilan menyimpulkan ialah kegiatan akal pikiran manusia berdasarkan
pengertian/pengetahuan (kebenaran) yang dimilikinya, dapat beranjak mencapai
pengertian/pengetahuan (kebenaran) yang baru yang lain (Salam, 1988: 68).
Berdasarkan pendapat tersebut dapat dipahami bahwa keterampilan ini menuntut
pembaca untuk mampu menguraikan dan memahami berbagai aspek secara bertahap
agar sampai kepada suatu formula baru yaitu sebuah simpulan. Proses pemikiran
manusia itu sendiri, dapat menempuh dua cara, yaitu : deduksi dan induksi. Jadi,
kesimpulan merupakan sebuah proses berpikir yang memberdayakan pengetahuannya
sedemikian rupa untuk menghasilkan sebuah pemikiran atau pengetahuan yang baru.
e. Keterampilan Mengevaluasi atau Menilai
Keterampilan ini menuntut pemikiran yang matang dalam menentukan nilai
sesuatu dengan berbagai kriteria yang ada. Keterampilan menilai menghendaki
pembaca agar memberikan penilaian tentang nilai yang diukur dengan
menggunakan standar tertentu (Harjasujana, 1987: 44).

D. Strategi dan Hal yang berkaitan dengan kemampuan berpikir kritis


1. Ketrampilan Intelektual dan Perkembangan Kognitif
Pendekatan belajar yang diperlukan dalam meningkatkan pemahaman terhadap materi
yang dipelajari dipengaruhi oleh perkembangan proses mental yang digunakan dalam
berpikir (perkembangan kognitif) dan konsep yang digunakan dalam belajar.
Perkembangan merupakan proses perubahan yang terjadi sepanjang waktu ke arah
positif. Jadi perkembangan kognitif dalam pendidikan merupakan proses yang harus
difasilitasi dan dievaluasi pada diri mahasiswa sepanjang waktu mereka menempuh
pendidikan termasuk kemampuan berpikir kritis. Rath et al (1966) menyatakan bahwa
salah satu faktor yang dapat mempengaruhi perkembangan kemampuan berpikir kritis
adalah interaksi antara pengajar dan siswa. Mahasiswa memerlukan suasana akademik
yang memberikan kebebasan dan rasa aman bagi siswa untuk mengekspresikan pendapat
dan keputusannya selama berpartisipasi dalam kegiatan pembelajaran.

Anda mungkin juga menyukai