TEORI BEHAVIORISTIK
B. Thorndike (1874-1949)
Menurut Thorndike belajar merupakan peristiwa terbentuknya
asosiasi-asosiasi antara peristiwa yang disebut stimulus dan respon. Teori
belajar belajar ini disebut teori “Connectionism”. Apa yang
dipelajariterdahuluakanmempengaruhiapa yang dipelajarikemudian.Dalam
penyelidikannya tentang proses belajar, pelajar harus diberi persoalan.
Contoh :
Percobaan Thorndike yang terkenal dengan binatang coba kucing yang
telah dilaparkan dandiletakkan di dalam sangkar yang tertutup dan
pintunya dapat dibuka secara otomatis apabila kenop yang terletak di
dalam sangkar tersebut tersentuh.Percobaan tersebut menghasilkan teori
“trial and error” atau “selecting and conecting”, yaitu bahwa belajar itu
terjadi dengan cara mencoba-coba dan membuat salah. Dalam
melaksanakan coba-coba ini, kucing tersebut cenderung untuk
meninggalkan perbuatan-perbuatan yang tidak mempunyai hasil. Setiap
response menimbulkan stimulus yang baru, selanjutnya stimulus
baruiniakan menimbulkan response lagi, demikian selanjutnya.
C. Skinner (1904-1990)
(Operant Conditioning)
Skinner menganggap reward dan reinforcement merupakan faktor penting
dalam belajar. Bila akibatnya itu hadiah, perilaku itu akan terus
dipertahankan. Namun, bila akibatnya adalah hukuman, atau kurang
adanya penguatan, perilaku itu akan diperlemah atau pelan-pelan akan
disingkirkan.
Contoh :
Skinner memasukkan tikus yang telah dilaparkan dalam kotak yang
disebut “skinner box”, yang sudah dilengkapi dengan berbagai peralatan.
Tikus bergerak kesana kemari untuk keluar dari box, tidak sengaja ia
menekan tombol, makanan keluar. Secara terjadwal diberikan
makanansecara bertahap sesuai peningkatan perilaku yang ditunjukkan
sitikus, proses ini disebut shapping.
3. Bruner
Menurut Bruner proses belajar lebih ditentukan oleh cara kita
mengatur materi pelajaran dan bukan ditentukan oleh umur seseorang
seperti yang telah dikemukakan oleh piaget.
Adapun proses belajar terjadi melalui tahap-tahap :
Enaktif, berupa aktivitas siswa untuk memahami lingkungan
melalui pengalaman langsung suatu realitas.
Ikonik, berupa upaya siswa melihat dunia melalui gambar-gambar
dan visualisasi verbal.
Simbolik, berupa pemahaman siswa terhadap gagasan-agasan
abstrak berupa teori-teori, penafsiran, analisis, dan sebagainya
terhadap realitas yang telah diamati atau dialami.
Dalam aplikasi praktisnya teori belajar ini sangat membebaskan siswa
untuk belajar sendiri. Oleh karena itu teori belajar ini sering dianggap
bersifat discovery (belajar dengan cara menemukan). Di samping itu,
karena teori ini banyak menuntut pengulangan-pengulangan sehingga
desain yang berulang-ulang tersebut disebut sebagai kurikulum spiral
Bruner. Kurikulum spiral ini menuntut guru untuk memberi materi
perkuliahan setahap demi setahap dari yang sederhana sampai yang
kompleks di mana suatu materi yang sebelumnya sudah diberikan suatu
saat muncul kembali secara terintegrasi dalam suatu materi baru yang lebih
kompleks. Demikian seterusnya berulang-ulang sehingga tak terasa
mahasiswa telah mempelajari suatu ilmu pengetahuan secara utuh.
Secara umum, teori Bruner ini bila diaplikasikan biasanya mengikuti
pola sebagai berikut :
a. menentukan tujuan-tujuan instruksional
b. memilih materi pelajaran
c. menentukan topik-topik yang mungkin dipelajari secara induktif
oleh siswa.
d. Mencari contoh-contoh, tugas, ilustrasi, dan sebagainya yang
dapat digunakan mahasiswa untuk belajar.
e. Mengatur topik-topik pelajaran sedemikian rupa sehingga urutan
topik itu bergerak dari yang paling kongkrit ke yang abstrak, dari
yang sederhana ke kompleks, dari tahapan-tahapam enaktif,
ikonik, sampai ke tahap simbolik dan seterusnya.
f. Mengevaluasi proses dan hasil belajar.
3. TEORI KONTRUKTIVISTIK
Konstruktivisme adalah salah satu filsafat pengetahuan yang menekankan
bahwa pengetahuan adalah bentukan (konstruksi) kita sendiri. Pengetahuan bukan
tiruan dari realitas, bukan juga gambaran dari dunia kenyataan yang ada.
Pengetahuan merupakan hasil dari konstruksi kognitif melalui kegiatan seseorang
dengan membuat struktur, kategori, konsep, dan skema yang diperlukan untuk
membentuk pengetahuan tersebut.
teori Konstruktivisme adalah sebuah teori yang memberikan kebebasan
terhadap manusia yang ingin belajar atau mencari kebutuhannya dengan
kemampuan untuk menemukan keinginan atau kebutuhannya tersebut denga
bantuan Fasilitasi orang lain.
Karli (2003:2) menyatakan konstruktivisme adalah salah satu pandangan
tentang proses pembelajaran yang menyatakan bahwa dalam proses belajar
(perolehan pengetahuan) diawali dengan terjadinya konflik kognitif yang hanya
dapat diatasi melalui pengetahuan diri dan pada akhir proses belajar pengetahuan
akan dibangun oleh anak melalui pengalamannya dari hasil interkasi dengan
lingkungannya.
Menurut Suparno (1997:49) secara garis besar prinsip-prinsip
konstruktivisme yang diambil adalah (1) pengetahuan dibangun oleh siswa
sendiri, baik secara personal maupun secara sosial; (2) pengetahuan tidak
dipindahkan dari guru ke siswa, kecuali dengan keaktifan siswa sendiri untuk
bernalar; (3) siswa aktif mengkonstruksi secara terus menerus, sehingga terjadi
perubahan konsep menuju ke konsep yang lebih rinci, lengkap, serta sesuai
dengan konsep ilmiah; (4) guru berperan membantu menyediakan sarana dan
situasi agar proses konstruksi siswa berjalan mulus.
Berikut ini akan dikemukakan ciri-ciri pembelajaran yang konstruktivis
menurut beberapa literatur yaitu :
1. Pengetahuan dibangun berdasarkan pengalaman atau pengetahuan yang
telah ada sebelumnya
2. Belajar adalah merupakan penafsiran personal tentang dunia
3. Belajar merupakan proses yang aktif dimana makna dikembangkan
berdasarkan pengalaman
4. Pengetahuan tumbuh karena adanya perundingan (negosiasi) makna
melalui berbagai informasi atau menyepakati suatu pandangan dalam
berinteraksi atau bekerja sama dengan orang lain
5. Belajar harus disituasikan dalam latar (setting) yang realistik, penilaian
harus terintegrasi dengan tugas dan bukan merupakan kegiatan yang
terpisah. (Yuleilawati, 2004 :54)
Konstruktivisme dibedakan dalam dua tradisi besar yaitu konstruktivisme
psikologis (personal) dan sosial. Konstruktivisme psikologis bercabang dua, yaitu
yang lebih personal (Piaget,1981:43) dan yang lebih sosial (Vygotsky); sedangkan
konstruktivisme sosial berdiri sendiri (Kukla, 2003: 11-14) .
1. Kontruktivisme personal Piaget (Fosnot (ed), 1996: 13-14) menyoroti
bagaimana anak-anak pelan-pelan membentuk skema pengetahuan,
pengembangan skema dan mengubah skema. Ia menekankan bagaimana
anak secara individual mengkonstruksi pengetahuan dari berinteraksi
dengan pengalaman dan objek yang dihadapinya. Ia menekankan
bagaimana seorang anak mengadakan abstraksi, baik secara sederhana
maupun secara refleksif, dalam membentuk pengetahuannya. Tampak
bahwa tekanan perhatian Piaget lebih keaktifan individu dalam
membentuk pengetahuan. Bagi Piaget, pengetahuan lebih dibentuk oleh si
anak itu sendiri yang sedang belajar daripada diajarkan oleh orang tua.
Piaget membagi skema Anak dalam menggunakan pemahamannya untuk
memahami dunia mealui empat tahapan utama, yang secara umum berkorelasi
dengan dan semakin bertambah canggih sejalan dengan bertambahnya usia:
a. Tahapan Sensorimotor (Usia 0-2 tahun)
Menurut Piaget, anak dalam tahapan sensorimotor lebih mengutamakan
mengeksplorasi dunia nyata dengan perasaan dibandingkan dengan melalui
operasi
mental. Bayi terlahir dengan seperangkat refleks yang sama, menurut Piaget,
sebagai
tambahan dorongan untuk melakukan eksplorasi terhadap dunia nyata. Skema
awalnya dibentuk melalui diferensiasi refleks-refleks yang sama tersebut (lihat
asimilasi dan akomodasi di bagian berikut).
Tahapan sensorimotor merupakan tahapan paling awal dari empat tahapan.
Menurut Piaget, tahapan ini ditandai dengan berkembangnya kemampuan spasial
esensial dan pemahaman dari dunia nyata
b. Tahapan Praoperational (Usia 2-7 tahun)
Menurut Piaget, tahapan Pre-Operasional dari perkembangan mengikuti
tahapan Sensorimotor dan terjadi antara usia 2-7 tahun. Tahapan ini meliputi
beberapa proses:
a) Symbolic functioning (pemfungsian simbol) – yang dicirikan oleh
penggunaan simbol-simbol mental berupa kata atau gambar yang
digunakan anak untuk merepresentasikan sesuatu yang secara fisik
tidak ada.
b) Centration (pemusatan) – dicirikan oleh fokus atau pemusatan
perhatian dari anak pada hanya satu aspek dari stimulus atau situasi.
c) Intuitive thought (pemikiran intuitif) – terjadi ketika anak dapat
mempercayai sesuatu tanpa memahami mengapa dia mempercayai itu.
d) Egocentrism – suatu jenis centration, yang berarti suatu tendensi dari
seorang anak untuk memikirkan hanya sudut pandangnya sendiri saja.
Juga, ketidakmampuan anak untuk memahami sudut pandang orang
lain.
e) Inability to Conserve (ketidak mampuan berbicara) – Melalui
eksperimen yang pernah dilakukan Piaget dalam percakapan
(pembicaaan tentang massa, volume dan angka) Piaget menyimpulkan
bahwa anak-anak pada tahapan preoperasional memiliki persepsi yang
kurang dalam pembicaraan tentang massa, volume, dan angka setelah
bentuk aslinya berubah.
c. Tahapan Operasional Konkret (Usia 7-11 tahun)
Tahapan Operasional Konkret merupakan tahapan ketiga dari empat
tahapan
dalam teori perkembangan kognitif Piaget. Proses penting yang terjadi selama
tahapan ini adalah:
1) Decentering (tidak memusat)-ketika anak memperhitungkan berbagai aspek
dari
suatu masalah untuk memecahkannya.
2) Reversibility (kemampuan membalik)-ketika seorang anak memahami bahwa
jumlah suatu objek dapat berubah, dan mengembalikannya pada keadaan semula.
Dalam kondisi demikian, anak dengan cepat dapat memutuskan bahwa 4+4 sama
dengan 8, 8-4 sama dengan 4, jumlah sebenarnya.
3) Conservation (pembicaraan)-memahami bahwa kuantitas, panjang atau jumlah
suatu item tidak berhubungan dengan penyusunan atau kenampakan objek atau
item tersebut.
4) Serialisation (serialisasi)-kemampuan merangkai kembali objek secara
berurutan
berdasarkan ukuran, bentuk, atau karakteristik lain. Sebagai contoh, jika mereka
diberi objek dengan gradiasi warna, mereka akan mengenal gradiasi warna
tersebut.
5) Classification (klasifikasi)-yaitu kemampuan untuk menyebutkan nama dan
mengidentifikasi seperangkat objek menurut kenampakannya, ukuran atau
karakteristik lainnya, termasuk gagasan bahwa seperangkat objek dapat mencakup
objek lainnya
6) Elimination of Egocentrism (pembatasan egosentrisme)-kemampuan
memandang
segala sesuatu dari perspektif orang lain (meskipun jika perpsektif itu tidak
benar).
d. Tahapan operasional formal (Usia 11 tahun-Dewasa)
Tahapan ini, yang mengikuti tahapan Operasional Konkret, pada
umumnya terjadi di sekitar usia 11 tahun (pubertas) dan berlanjut ke masa
kedewasaan. Karakteristik dari tahapan ini yaitu memiliki kemampuan untuk
berpikir abstrak dan menarik kesimpulan dari informasi yang berhasil
diperolehnya. Selama tahapan ini seorang muda memiliki fungsi sebagaimana
orang dewasa dan nilai-nilai, "rahasia orang dewasa", dan nilai-nilai. Hal ini
mudah dimengerti, karena faktor-faktor biologis kemungkinan dapat dilacak dari
tahapan ini sebagaimana apa yang terjadi selama masa pubertas dan ditandai
masuknya ke masa dewasa dalam Physiology, kognitif, dan penilaian moral
(Kohlberg), perkembangan Psychosexual (Freud), dan perkembangan sosial
(Erikson). Sekitar dua pertiga dari orang tidak sepenuhnya sukses dalam tahapan
ini, dan "terpaku" pada tahapan operasional konkret.
2. konstruktivisme sosial berpendapat bahwa di samping individu,
kelompok di mana individu berada, sangat menentukan proses
pembentukan pengetahuan pada diri seseorang. Melalui komunikasi
dengan komunitasnya, pengetahuan seseorang dinyatakan kepada orang
lain sehingga pengetahuan itu mengalami verifikasi, dan penyempurnaan.
Selain itu, melalui komunikasi seseorang memperoleh informasi atau
pengetahuan baru dari masyarakatnya. Vygotsky menandaskan bahwa
kematangan fungsi mental anak justru terjadi lewat proses kerjasama
dengan orang lain.
4. TEORI HUMANISTIK
2. Habermas
Habermas memiliki pendapat bahwa jika belajar baru akan terjadi ketika
seseorang melakukan interaksi dengan lingkungannya. Lingkungan belajar yang
dimaksud Haberman adalah lingkungan alam dan lingkungan sosial. Keduanya
merupakan lingkungan yang tidak bisa dipisahkan dalam kehidupan manusia.
Jika Honey dan Mumford menyatakan adanya kelompok-kelompok belajar dalam
teori pembelajaran mereka, lain halnya dengan pandangan teori belajar dari
Habermas yang menelurkan hasil pemikiran berupa klasifikasi tipe belajar
seseorang, yaitu:
1. Technical Learning —> adalah teknik belajar di mana seseorang
berinteraksi dengan sekitarnya, terutama lingkungan alam, secara benar.
Mereka belajar tentang pengetahuan dan keterampilan apa yang
dibutuhkan agar mereka bisa mengelola lingkungan alam secara baik dan
juga benar.
2. Practival Learning —> adalah teknik di mana seseorang mampu
berinteraksi dengan lingkungan sosial. Mereka belajar bagaimana caranya
berinteraksi dengan manusia lain secara harmonis. Interaksi yang terjadi
secara benar pada individu yang belajar dengan lingkungan alam akan
tampak dari relevansinya dengan kepentingan manusia.
3. Emancipatory Learning —>adalah teknik di mana seseorang mencapai
pemahaman dan kesadaran tinggi pada perubahan budaya sosial. Peserta
didik membutuhkan pengetahuan dan keterampilan yang benar guna
mendukung transformasi kultur yang terjadi. Ketika seorang peserta didik
sudah memiliki pemahaman serta kesadaran terhadap kondisi perubahan
kultural ini, maka peserta didik dianggap sudah mampu mencapai tahap
belajar yang paling tinggi.
TEORI-TEORI BELAJAR
Oleh : Kelompok 8
1. Amin Rais Asrib
2. Husnaini Bahri
3. Musdalifa
4. Nur Asmila Nasrun
5. Zakiah Darajah S.