Anda di halaman 1dari 16

1.

TEORI BEHAVIORISTIK

Teori kaum behavoris mengenal adanya perubahan tingkah laku akibat


adanya interaksi antara stimulus dan respon lebih dikenal dengan nama teori
belajar, karena seluruh perilaku manusia adalah hasil belajar. Teori belajar
behavioristik menjelaskan belajar itu adalah perubahan perilaku yang dapat
diamati, diukur dan dinilai secara konkret.

Tokoh-Tokoh Teori Belajar Behaviorisme

A. Ivan Petrovich Pavlov (1849 -1936)


(Classical Conditioning)
Ia mengemukakan bahwa dengan menerapkan strategi ternyata
individu dapat dikendalikan melalui cara stimulus alami dengan stimulus
yang tepat untuk mendapatkan pengulangan respon yang diinginkan,
sementara individu tidak menyadari bahwa ia dikendalikan oleh stimulus
yang berasal dari luar dirinya.
Contoh :
Eksperimen Pavlov terhadap anjing setelah pengkondisian atau
pembiasaan dapat diketahui bahwa daging yang menjadi stimulus alami
dapat digantikan oleh bunyi lonceng sebagai stimulus yang dikondisikan.
Ketika lonceng dibunyikan ternyata air liur anjing keluar sebagai respon
yang dikondisikan.
Hubungan antara tanda dan respon digambarkan sebagai berikut :
Selama kondisi

CS diikuti oleh daging  CR (air liur)


Sesudah kondisi
CS  CR (air liur)

B. Thorndike (1874-1949)
Menurut Thorndike belajar merupakan peristiwa terbentuknya
asosiasi-asosiasi antara peristiwa yang disebut stimulus dan respon. Teori
belajar belajar ini disebut teori “Connectionism”. Apa yang
dipelajariterdahuluakanmempengaruhiapa yang dipelajarikemudian.Dalam
penyelidikannya tentang proses belajar, pelajar harus diberi persoalan.
Contoh :
Percobaan Thorndike yang terkenal dengan binatang coba kucing yang
telah dilaparkan dandiletakkan di dalam sangkar yang tertutup dan
pintunya dapat dibuka secara otomatis apabila kenop yang terletak di
dalam sangkar tersebut tersentuh.Percobaan tersebut menghasilkan teori
“trial and error” atau “selecting and conecting”, yaitu bahwa belajar itu
terjadi dengan cara mencoba-coba dan membuat salah. Dalam
melaksanakan coba-coba ini, kucing tersebut cenderung untuk
meninggalkan perbuatan-perbuatan yang tidak mempunyai hasil. Setiap
response menimbulkan stimulus yang baru, selanjutnya stimulus
baruiniakan menimbulkan response lagi, demikian selanjutnya.
C. Skinner (1904-1990)
(Operant Conditioning)
Skinner menganggap reward dan reinforcement merupakan faktor penting
dalam belajar. Bila akibatnya itu hadiah, perilaku itu akan terus
dipertahankan. Namun, bila akibatnya adalah hukuman, atau kurang
adanya penguatan, perilaku itu akan diperlemah atau pelan-pelan akan
disingkirkan.
Contoh :
Skinner memasukkan tikus yang telah dilaparkan dalam kotak yang
disebut “skinner box”, yang sudah dilengkapi dengan berbagai peralatan.
Tikus bergerak kesana kemari untuk keluar dari box, tidak sengaja ia
menekan tombol, makanan keluar. Secara terjadwal diberikan
makanansecara bertahap sesuai peningkatan perilaku yang ditunjukkan
sitikus, proses ini disebut shapping.

D. Albert Bandura (1925)


Teori belajar Bandura adalah teori belajar social atau kognitif sosial serta
efikasi diri yang menunjukkan pentingnya proses mengamati dan meniru
perilaku, sikap dan emosi orang lain.
Contoh :
a. Observational learning atau modelling adala faktor penting dalam
proses belajar manusia
b. Dalam proses modeling, konsep reinforcement yang dikenal adalah
vicarious reinforcement, reinforcement yang terjadi pada orang lain
dapat memperkuat perilaku individu. Self reinforcement, individu
dapat memperoleh reinforcement dari dalam dirinya sendiri, tanpa
selalu harus ada orang dariluar yang memberinya reinforcement.
c. Pemberian reward dan punishment akan membuat seorang berpikir dan
memutuskan perilaku sosial mana yang perlu dilakukan.

E. John R. Watson (behaviorismeklasik)(1878-1958)


Konsep belajar menurut Watson adalah memperbanyak refleks
yang dibawa sejak lahir melalui kondisioning. Kondisioning merupakan
suatu upaya untuk memperkuatikatan S-R dan member perangsang
sehingga menimbulkan refleks (perilaku).
Contoh :
Watson mengadakan eksperimen terhadap Albert, seorang bayi berumur
sebelas bulan.
Albert adalah seorang bayi yang gembira dan tidak takut bahkan senag
bermain-main dengan tikus putih berbulu halus. Dalam ejperimennya
watson memulai proses pembiasaannya dengan cara memukul sebatang
besi dengan sebuah palu setiap kali Albert mendekati dan ingin memegang
tikus putih itu. Akibatnya, tidak lama kemudian Albert menjadi takut
terhadap tikus putih juga kelinci putih. Bahkan terhadap semua benda
putih, termasuk jaket dan topeng Sinterklas yang berjenggot putih.

2. TEORI BELAJAR KOGNITIF

A. Konsep teori belajar kognitif


Teori belajar kognitif mengatakan bahwa belajar tidak sekedar melibatkan
hubungan antara stimulus dan respon, melainkan tingkah laku seseorang
ditentukan oleh persepsi serta pemahamannya tentang situasi yang berhubungan
dengan tujuan belajarnya. Sehingga dapat dikatakan bahwa teori ini lebih
mementingkan proses belajar dibandingkan dengan hasil belajar itu sendiri.

B. Sejarah munculnya teori belajar kognitif


Teori kognitif mulai berkembang dengan lahirnya teori belajar gestalt.
Peletak dasar teori gestalt adalah Merx Wertheimer (1880-1943) yang meneliti
tentang pengamatan dan problem solving. Sumbangannya diikuti oleh Kurt
Koffka (1886-1941) yang menguraikan secara terperinci tentang hukum-hukum
pengamatan, kemudian Wolfgang Kohler (1887-1959) yang meneliti tentang
insight pada simpase. Kaum gestaltis berpendapat bahwa pengalaman itu
berstuktur yang terbentuk dalam suatu keseluruhan. Menurut pandangan gestaltis,
tingkat kejelasan dan keberartian dari apa yang diamati dalam situasi belajar
adalah lebih meningkatkan kemampuan belajar seseorang dari pada dengan
hukuman dan ganjaran.
Teori Belajar Gestalt meneliti tentang pengamatan dan problem solving,
dari pengamatanya ia menyesalkan penggunaan metode menghafal di sekolah, dan
menghendaki agar murid belajar dengan pengertian bukan hafalan akademis.
Suatu konsep yang penting dalam psikologis Gestalt adalah tentang insight yaitu
pengamatan dan pemahaman mendadak terhadap hubungan-hubungan antar
bagian-bagian dalam suatu situasi permasalahan. Dalam pelaksanaan
pembelajaran dengan teori Gestalt, guru tidak memberikan potongan-potongan
atau bagian-bagian bahan ajaran, tetapi selalu satu kesatuan yang utuh.
Pengamatan adalah pintu pengembangan kognitif.
Eksperimen tokoh Gestalt terhadap Simpanse
Wolfgang Kohler menjelaskan teori gestalt ini melalui percobaan dengan
seekor Simpense yang diberi nama Sulton. Dalam eksperimenmnya, kohler ingin
mengetahui bagaimana fungsi insight dapat membantu memecahkan masalah dan
membuktikan bahwa perilaku simpanse dalam memecahkan masalah yang
dihadapinya tidak dengan Stimulus dan respon atau trial and error saja, tapi juga
karena ada pemahaman terhadap masalah dan bagaimana memecahkan masalah
tersebut. Merikut eksperimen yang dilakukan oleh kohler terhadap Simpanse :
Eksperimen I
Simpanse dimasukkan dalam sangkar atau ruangan dan didalam sangkar tersebut
terdapat sebatang tongkat. Diluar sangkar diletakkan sebuah pisang. Problem yang
dihadapi oleh simpanse adalah bagaimana simpanse dapat mengambil pisang
untuk dimakan. Pada awalnya simpanse berusaha mengambil pisang tersebut,
tetapi selalu gagal karena tangannya tidak sampai untuk mengambil pisang
tersebut. Kemudian simpanse melihat sebatang tongkat dan timbulah pengrtian
untuk meraih pisang dengan menggunakan tongkat tersebut. Begitu juga ketika
ada dua tongkat, karena tidak dapat dirahnya pisang tersebut dengan tongkat satu.
Tiba-tina muncul insight dalam diri simpanse dan menyambung dan akhirnya
berhasil
Eksperimen II
Problem yang dihadapi sekarang diubah, yakni pisang digantung diatas sangkar
sehingga simpanse tidak dapat meraih pisang tersebut. Disudut sangkar tersebut
diletakkan subuah kotak yang kuat untuk dinaiki simpanse. Pada awalnya
simpanse mau mengambil pisang, akan tetapi berkali-kali gagal, ketika simpanse
melihat Kotak disudut sangkar, munculah insight simpanse untuk bergegas
mengambil kotak dan dinaikinya dan akhirnya ia dapat mengambil pisang. Begitu
juga ketika dalam sangkar terdapat dua kotak kuat, dan ketika simpanse tidak bias
mengambil dengan satu kotak, maka simpanse mengambil kotak tersebut untuk
ditumpuk kemudian dinaiki dan akhirnya simpanse dapat mengambil pisang
tersebut.
Dari Eksperimen-eksperimen tersebut, kohler menjelaskan bahwa
simpanse yang dipakai untuk percobaan harus dapat membentuk persepsi tentang
situasi total dan saling menghubungkan antara semua hal yang relevan dengan
Problem yang dihadapinya sebelum muncul insight. Dari percobaan tersebut
menunjukkan simpanse dapat memecahkan insightnya, dan ia akan mentransfer
insight tersebut untuk memecahkan problem lain yang dihadapinya Gestalt
berasumsi, bila seseorang atu suatu organisasi dihadapkan pada suatu problem,
tetapi kedudukan kognitif tidak seimbang sampai problem itu dipecahkan.
Menurut gestalt problem tersebut merupakan stimulus sampai didapat suatu
pemecahannya. Organisme atau individu akan selalu berfikir tentang suatu bahan
agar dapat memecahkan masalah yang dihadapinya sebagai bentuk respon atas
masalah tersebut.
Belajar dalam pandangan teori Gestalt
Belajar pada hakikatnya adalah melakukan perubahan struktur kognitif.
Selain pengamatan, kaum gestalt menekankan bahwa belajar pemahaman
merupakan bentuk utama aliran ini. Kondisi pemahaman tergantung pada :
a) Kemampuan dasar seseorang
b) Pengalaman masa lampau yang relevan
c) Pengaturan situasi yang dihadapi
d) Pemahaman didahului oleh periode mencari atau coba-coba
e) Adanya pemahaman dalam diri individu menyebabkan pemecahan
masalah dapat diulang dengan mudah.
f) Adanya pemahaman dalam diri individu dapat dipakai menghadapi
situasi lain atau transfer dalam belajar.
Menurut teori Gestalt perbuatan belajar itu tidak berlangsung seketika,
tetapi berlangsung berproses kepada hal-hal yang esensial, sehingga aktivitas
belajar itu akan menimbulkan makna yang berarti. Sebab itu dalam proses belajar,
makin lama akan timbul suatu pemahaman yang mendalam terhadap materi
pelajaran yang dipelajari, manakala perhatian makin ditujukan kepada objek yang
dipelajari itu telah mengerti dan dapat apa yang dicari. Penerapan teori gestalt
tampak pada kurikulum yang sekarang ini digunakan didunia pendidikan.

C. Tokoh-tokoh Teori Belajar Kognitif


1. Piaget
Menurut Jean Piaget, proses belajar sesungguhnya terdiri atas 3
tahapan, yaitu asimilasi , akomodasi, dan equilibrasi (penyeimbangan).
 Proses asimilasi, yaitu proses penyatuan atau pengintegrasian
informasi baru ke struktur kognitif yang telah ada ke dalam benak
siswa.
 Akomodasi, penyesuaian struktur kognitif pada situasi yang baru
 Equilibrasi, penyesuaian yang berkesinambungan antara asimilasi
dan akomodasi.
Adapun tahap perkembangan kognitif yang dilalui siswa dalam proses
belajar menurut pandangan Piaget, yaitu:
1) Tahap sensori motor (0-1,5 tahun), anak belum mempunyai konsep
tentang objek secara tetap, namun hanya mengetahui hal-hal yang
ditangkap melalui inderanya.
2) Tahap praoperasional (1,5-6 tahun), pada tahap ini reaksi anak
terhadap stimulus sudah berupa aktivitas internal. Anak telah
memiliki penguasaan bahasa yang sistematis, serta sudah mampu
menirukan tingkah laku yang dilihatnya.
3) Stadium operasional konkrit (6-12 tahun), cara berfikir egosentris
sudah semakin berkurang, dan anak sudah mampu berfikir multi
dimensi dalam waktu seketika dan mampu menghubungkan
beberapa dimensi itu. Anak mulai memperhatikan aspek dinamis
dalam berfikir.
4) Stadium operasional formal (12 tahun keatas), cara berfikir
seseorang tidak terikat, sudah terlepas dari tempat dan waktu.
Langkah-langkah pembelajaran dalam merancang pembelajaran
menurut Piaget, antara lain:
1) menentukan tujuan pembelajaran
2) memilih materi pembelajaran
3) menentukan topik-topik yang dapat dipelajari oleh peserta didik
4) menentukan dan merancang kegiatan pembelajaran sesuai topic
5) mengembangkan metode pembelajaran
6) melakukan penilaian proses dan hasil peserta didik.
2. Ausubel
Menurut Ausubel, siswa akan belajar dengan baik jika advance
organizer (pengatur kemajuan belajar) didefinisikan dan dipresentasikan
dengan baik dan tepat kepada siswa. Pengatur kemajuan belajar adalah
konsep atau informasi umum yang mewadahi dan mencakup semua inti
pelajaran yang akan diajarkan kepada siswa.
Secara umum, teori Ausubel dalam praktek adalah sebagai berikut :
a. menentukan tujuan-tujuan instruksional
b. mengukur kesiapan mahasiswa (minat, kemampuan, struktur
kognitif) baik melalui tes awal,interview, review, pertanyaan, dan
lain-lain.
c. memilih materi pelajaran dan mengaturnya dalam bentuk penyajian
konsep-konsep kunci
d. mengidentifikasi prinsip-prinsip yang harus dikuasai siswa dari
materi tersebut.
e. menyajikan suatu pandangan secara menyeluruh tentang apa yang
harus dipelajari
f. membuat dan menggunakan advance organizer, paling tidak dengan
cara membuat rangkuman terhadap materi yang baru saja diberikan,
dilengkapi dengan uraian singkat yang menunjukkan keterkaitan
antara materi yang sudah diberikan dengan materi baru yang akan
diberikan.
g. mengajar kepada siswa untuk memahami konsep dan prinsip-prinsip
yang sudah ditentukan dengan memfokuskan pada hubungan yang
terjalin antara konsep-konsep yang ada mengevaluasi proses dan
hasil belajar.

3. Bruner
Menurut Bruner proses belajar lebih ditentukan oleh cara kita
mengatur materi pelajaran dan bukan ditentukan oleh umur seseorang
seperti yang telah dikemukakan oleh piaget.
Adapun proses belajar terjadi melalui tahap-tahap :
 Enaktif, berupa aktivitas siswa untuk memahami lingkungan
melalui pengalaman langsung suatu realitas.
 Ikonik, berupa upaya siswa melihat dunia melalui gambar-gambar
dan visualisasi verbal.
 Simbolik, berupa pemahaman siswa terhadap gagasan-agasan
abstrak berupa teori-teori, penafsiran, analisis, dan sebagainya
terhadap realitas yang telah diamati atau dialami.
Dalam aplikasi praktisnya teori belajar ini sangat membebaskan siswa
untuk belajar sendiri. Oleh karena itu teori belajar ini sering dianggap
bersifat discovery (belajar dengan cara menemukan). Di samping itu,
karena teori ini banyak menuntut pengulangan-pengulangan sehingga
desain yang berulang-ulang tersebut disebut sebagai kurikulum spiral
Bruner. Kurikulum spiral ini menuntut guru untuk memberi materi
perkuliahan setahap demi setahap dari yang sederhana sampai yang
kompleks di mana suatu materi yang sebelumnya sudah diberikan suatu
saat muncul kembali secara terintegrasi dalam suatu materi baru yang lebih
kompleks. Demikian seterusnya berulang-ulang sehingga tak terasa
mahasiswa telah mempelajari suatu ilmu pengetahuan secara utuh.
Secara umum, teori Bruner ini bila diaplikasikan biasanya mengikuti
pola sebagai berikut :
a. menentukan tujuan-tujuan instruksional
b. memilih materi pelajaran
c. menentukan topik-topik yang mungkin dipelajari secara induktif
oleh siswa.
d. Mencari contoh-contoh, tugas, ilustrasi, dan sebagainya yang
dapat digunakan mahasiswa untuk belajar.
e. Mengatur topik-topik pelajaran sedemikian rupa sehingga urutan
topik itu bergerak dari yang paling kongkrit ke yang abstrak, dari
yang sederhana ke kompleks, dari tahapan-tahapam enaktif,
ikonik, sampai ke tahap simbolik dan seterusnya.
f. Mengevaluasi proses dan hasil belajar.
3. TEORI KONTRUKTIVISTIK
Konstruktivisme adalah salah satu filsafat pengetahuan yang menekankan
bahwa pengetahuan adalah bentukan (konstruksi) kita sendiri. Pengetahuan bukan
tiruan dari realitas, bukan juga gambaran dari dunia kenyataan yang ada.
Pengetahuan merupakan hasil dari konstruksi kognitif melalui kegiatan seseorang
dengan membuat struktur, kategori, konsep, dan skema yang diperlukan untuk
membentuk pengetahuan tersebut.
teori Konstruktivisme adalah sebuah teori yang memberikan kebebasan
terhadap manusia yang ingin belajar atau mencari kebutuhannya dengan
kemampuan untuk menemukan keinginan atau kebutuhannya tersebut denga
bantuan Fasilitasi orang lain.
Karli (2003:2) menyatakan konstruktivisme adalah salah satu pandangan
tentang proses pembelajaran yang menyatakan bahwa dalam proses belajar
(perolehan pengetahuan) diawali dengan terjadinya konflik kognitif yang hanya
dapat diatasi melalui pengetahuan diri dan pada akhir proses belajar pengetahuan
akan dibangun oleh anak melalui pengalamannya dari hasil interkasi dengan
lingkungannya.
Menurut Suparno (1997:49) secara garis besar prinsip-prinsip
konstruktivisme yang diambil adalah (1) pengetahuan dibangun oleh siswa
sendiri, baik secara personal maupun secara sosial; (2) pengetahuan tidak
dipindahkan dari guru ke siswa, kecuali dengan keaktifan siswa sendiri untuk
bernalar; (3) siswa aktif mengkonstruksi secara terus menerus, sehingga terjadi
perubahan konsep menuju ke konsep yang lebih rinci, lengkap, serta sesuai
dengan konsep ilmiah; (4) guru berperan membantu menyediakan sarana dan
situasi agar proses konstruksi siswa berjalan mulus.
Berikut ini akan dikemukakan ciri-ciri pembelajaran yang konstruktivis
menurut beberapa literatur yaitu :
1. Pengetahuan dibangun berdasarkan pengalaman atau pengetahuan yang
telah ada sebelumnya
2. Belajar adalah merupakan penafsiran personal tentang dunia
3. Belajar merupakan proses yang aktif dimana makna dikembangkan
berdasarkan pengalaman
4. Pengetahuan tumbuh karena adanya perundingan (negosiasi) makna
melalui berbagai informasi atau menyepakati suatu pandangan dalam
berinteraksi atau bekerja sama dengan orang lain
5. Belajar harus disituasikan dalam latar (setting) yang realistik, penilaian
harus terintegrasi dengan tugas dan bukan merupakan kegiatan yang
terpisah. (Yuleilawati, 2004 :54)
Konstruktivisme dibedakan dalam dua tradisi besar yaitu konstruktivisme
psikologis (personal) dan sosial. Konstruktivisme psikologis bercabang dua, yaitu
yang lebih personal (Piaget,1981:43) dan yang lebih sosial (Vygotsky); sedangkan
konstruktivisme sosial berdiri sendiri (Kukla, 2003: 11-14) .
1. Kontruktivisme personal Piaget (Fosnot (ed), 1996: 13-14) menyoroti
bagaimana anak-anak pelan-pelan membentuk skema pengetahuan,
pengembangan skema dan mengubah skema. Ia menekankan bagaimana
anak secara individual mengkonstruksi pengetahuan dari berinteraksi
dengan pengalaman dan objek yang dihadapinya. Ia menekankan
bagaimana seorang anak mengadakan abstraksi, baik secara sederhana
maupun secara refleksif, dalam membentuk pengetahuannya. Tampak
bahwa tekanan perhatian Piaget lebih keaktifan individu dalam
membentuk pengetahuan. Bagi Piaget, pengetahuan lebih dibentuk oleh si
anak itu sendiri yang sedang belajar daripada diajarkan oleh orang tua.
Piaget membagi skema Anak dalam menggunakan pemahamannya untuk
memahami dunia mealui empat tahapan utama, yang secara umum berkorelasi
dengan dan semakin bertambah canggih sejalan dengan bertambahnya usia:
a. Tahapan Sensorimotor (Usia 0-2 tahun)
Menurut Piaget, anak dalam tahapan sensorimotor lebih mengutamakan
mengeksplorasi dunia nyata dengan perasaan dibandingkan dengan melalui
operasi
mental. Bayi terlahir dengan seperangkat refleks yang sama, menurut Piaget,
sebagai
tambahan dorongan untuk melakukan eksplorasi terhadap dunia nyata. Skema
awalnya dibentuk melalui diferensiasi refleks-refleks yang sama tersebut (lihat
asimilasi dan akomodasi di bagian berikut).
Tahapan sensorimotor merupakan tahapan paling awal dari empat tahapan.
Menurut Piaget, tahapan ini ditandai dengan berkembangnya kemampuan spasial
esensial dan pemahaman dari dunia nyata
b. Tahapan Praoperational (Usia 2-7 tahun)
Menurut Piaget, tahapan Pre-Operasional dari perkembangan mengikuti
tahapan Sensorimotor dan terjadi antara usia 2-7 tahun. Tahapan ini meliputi
beberapa proses:
a) Symbolic functioning (pemfungsian simbol) – yang dicirikan oleh
penggunaan simbol-simbol mental berupa kata atau gambar yang
digunakan anak untuk merepresentasikan sesuatu yang secara fisik
tidak ada.
b) Centration (pemusatan) – dicirikan oleh fokus atau pemusatan
perhatian dari anak pada hanya satu aspek dari stimulus atau situasi.
c) Intuitive thought (pemikiran intuitif) – terjadi ketika anak dapat
mempercayai sesuatu tanpa memahami mengapa dia mempercayai itu.
d) Egocentrism – suatu jenis centration, yang berarti suatu tendensi dari
seorang anak untuk memikirkan hanya sudut pandangnya sendiri saja.
Juga, ketidakmampuan anak untuk memahami sudut pandang orang
lain.
e) Inability to Conserve (ketidak mampuan berbicara) – Melalui
eksperimen yang pernah dilakukan Piaget dalam percakapan
(pembicaaan tentang massa, volume dan angka) Piaget menyimpulkan
bahwa anak-anak pada tahapan preoperasional memiliki persepsi yang
kurang dalam pembicaraan tentang massa, volume, dan angka setelah
bentuk aslinya berubah.
c. Tahapan Operasional Konkret (Usia 7-11 tahun)
Tahapan Operasional Konkret merupakan tahapan ketiga dari empat
tahapan
dalam teori perkembangan kognitif Piaget. Proses penting yang terjadi selama
tahapan ini adalah:
1) Decentering (tidak memusat)-ketika anak memperhitungkan berbagai aspek
dari
suatu masalah untuk memecahkannya.
2) Reversibility (kemampuan membalik)-ketika seorang anak memahami bahwa
jumlah suatu objek dapat berubah, dan mengembalikannya pada keadaan semula.
Dalam kondisi demikian, anak dengan cepat dapat memutuskan bahwa 4+4 sama
dengan 8, 8-4 sama dengan 4, jumlah sebenarnya.
3) Conservation (pembicaraan)-memahami bahwa kuantitas, panjang atau jumlah
suatu item tidak berhubungan dengan penyusunan atau kenampakan objek atau
item tersebut.
4) Serialisation (serialisasi)-kemampuan merangkai kembali objek secara
berurutan
berdasarkan ukuran, bentuk, atau karakteristik lain. Sebagai contoh, jika mereka
diberi objek dengan gradiasi warna, mereka akan mengenal gradiasi warna
tersebut.
5) Classification (klasifikasi)-yaitu kemampuan untuk menyebutkan nama dan
mengidentifikasi seperangkat objek menurut kenampakannya, ukuran atau
karakteristik lainnya, termasuk gagasan bahwa seperangkat objek dapat mencakup
objek lainnya
6) Elimination of Egocentrism (pembatasan egosentrisme)-kemampuan
memandang
segala sesuatu dari perspektif orang lain (meskipun jika perpsektif itu tidak
benar).
d. Tahapan operasional formal (Usia 11 tahun-Dewasa)
Tahapan ini, yang mengikuti tahapan Operasional Konkret, pada
umumnya terjadi di sekitar usia 11 tahun (pubertas) dan berlanjut ke masa
kedewasaan. Karakteristik dari tahapan ini yaitu memiliki kemampuan untuk
berpikir abstrak dan menarik kesimpulan dari informasi yang berhasil
diperolehnya. Selama tahapan ini seorang muda memiliki fungsi sebagaimana
orang dewasa dan nilai-nilai, "rahasia orang dewasa", dan nilai-nilai. Hal ini
mudah dimengerti, karena faktor-faktor biologis kemungkinan dapat dilacak dari
tahapan ini sebagaimana apa yang terjadi selama masa pubertas dan ditandai
masuknya ke masa dewasa dalam Physiology, kognitif, dan penilaian moral
(Kohlberg), perkembangan Psychosexual (Freud), dan perkembangan sosial
(Erikson). Sekitar dua pertiga dari orang tidak sepenuhnya sukses dalam tahapan
ini, dan "terpaku" pada tahapan operasional konkret.
2. konstruktivisme sosial berpendapat bahwa di samping individu,
kelompok di mana individu berada, sangat menentukan proses
pembentukan pengetahuan pada diri seseorang. Melalui komunikasi
dengan komunitasnya, pengetahuan seseorang dinyatakan kepada orang
lain sehingga pengetahuan itu mengalami verifikasi, dan penyempurnaan.
Selain itu, melalui komunikasi seseorang memperoleh informasi atau
pengetahuan baru dari masyarakatnya. Vygotsky menandaskan bahwa
kematangan fungsi mental anak justru terjadi lewat proses kerjasama
dengan orang lain.

4. TEORI HUMANISTIK

A. Konsep Teori belajar Humanistik


Konsep teori belajar Humanistik yaitu proses memanusiakan manusia,
dimana seorang individu diharapkan dapat mengaktualisasikan diri artinya
manusia dapat menggali kemampuannya sendiri untuk diterapkan dalam
lingkungan. Proses belajar Humanistik memusatkan perhatian kepada diri peserta
didik sehingga menitikberatkan kepada kebebasan individu. Teori Humanistik
menekankan kognitif dan afektif memengaruhi proses. Kognitif adalah aspek
penguasaan ilmu pengetahuan sedangkan afektif adalah aspek sikap yang
keduanya perlu dikembangkan dalam membangun individu. Belajar dianggap
berhasil jika si pelajar memahami lingkungannya dan dirinya sendiri. Hal yang
penting lagi pada proses pembelajaran Humanisme harus adanya motivasi yang
diberikan agar peserta didik dapat terus menjalani pembelajaran dengan baik.
Motivasi dapat berasal dari dalam yaitu berasal dari diri sendiri, maupun dari guru
sebagai fasilitator.
Dalam pengertian teori humanistik, proses pembelajaran cenderung lebih
abstrak. Bidang kajian yang mendekati teori ini adalah Filsafat, Teori
Kepribadian, dan Psikoterapi. Teori ini lebih condong untuk mementingkan
konten pembelajaran dibandingkan bagaimana proses belajar berjalan.
Keberhasilan suatu pembelajaran menurut teori ini adalah ketika ada keinginan
dari dalam diri seseorang untuk belajar, mengetahui informasi baru, sehingga
terjadi asimilasi dalam struktur kognitinya.
Teori ini juga mengungkapkan bahwa sejatinya semua teori belajar bisa
dimanfaatkan hanya jika tujuan dari pembelajaran tersebut adalah memanusiakan
individu yang belajar. Bagaimana memanusiakannya? Yaitu ketika mereka bisa
mencapai aktualisasi diri, bisa memahami dirinya sendiri, serta mampu
merealisasikan diri sebagai orang yang sedang belajar.

B. Tokoh-tokoh teori humanistic

1. David Kolb – Experiental Learning Theory


David Kolb yang berorientasi pada Teori Humanistik ini menelurkan satu
teori hasil pemikirannya, bahwa belajar merupakan sebuah proses saat
pengetahuan diciptakan melalui perubahan atau transformasi pengalaman.
Pengetahuan adalah kombinasi dari kemampuan untuk memahami dan
mentransformasikan pengalaman. Kolb terkenal dengan Teori Pembelajaran
Eksperiental atau Experiental Learning Theory, yaitu sebuah teori pembelajaran
yang ditekankan pada model holistik.
Gaya Pembelajaran oleh David Kolb:
Dari tahapan pembelajaran menurut pandangan Kolb, ia kemudian
berpikir bahwa gaya untuk menjalani setiap tahapan pembelajaran oleh satu orang
dengan orang lainnya akan berbeda. Kolb juga membagi beberapa gaya belajar
tersebut menjadi beberapa jenis, yaitu:
 Converger, yaitu tipe orang yang suka belajar dengan memiliki jawaban
tertentu atau sudah pasti. Mereka yang memiliki gaya belajar converger
biasanya ditandai dengan sifat tidak emosional dan lebih suka menghadapi
benda (mati) dibandingkan manusia.
 Diverger, yaitu tipe belajar seseorang yang hobi menelaah berbagai sisi
dan mencobanya menghubungkan semua sisi tersebut menjadi kesatuan
utuh. Orang dengan tipe diverger biasanya memiliki preferensi untuk
mendalami bahasa, sastra, sejarah, atau ilmu sosial.
 Assimilation,yiatu tipe belajar seseorang yang cenderung tertarik pada
konsep abstrak. Mereka tidak akan terlalu mermperhatikan penerapan atau
praktek dari ide-ide mereka. Biasanya, orang dengan gaya belajar ini
cenderung tertarik dengan hal-hal ilmiah dan matematika.
 Accomodator, yaitu tipe atau gaya belajar seseorang yang berusaha
mengembangkan berbagai konsep. Orang dengan gaya belajar ini
cenderung menyukai hal-hal yang konkrit dan bisa dipraktikkan.

2. Habermas
Habermas memiliki pendapat bahwa jika belajar baru akan terjadi ketika
seseorang melakukan interaksi dengan lingkungannya. Lingkungan belajar yang
dimaksud Haberman adalah lingkungan alam dan lingkungan sosial. Keduanya
merupakan lingkungan yang tidak bisa dipisahkan dalam kehidupan manusia.
Jika Honey dan Mumford menyatakan adanya kelompok-kelompok belajar dalam
teori pembelajaran mereka, lain halnya dengan pandangan teori belajar dari
Habermas yang menelurkan hasil pemikiran berupa klasifikasi tipe belajar
seseorang, yaitu:
1. Technical Learning —> adalah teknik belajar di mana seseorang
berinteraksi dengan sekitarnya, terutama lingkungan alam, secara benar.
Mereka belajar tentang pengetahuan dan keterampilan apa yang
dibutuhkan agar mereka bisa mengelola lingkungan alam secara baik dan
juga benar.
2. Practival Learning —> adalah teknik di mana seseorang mampu
berinteraksi dengan lingkungan sosial. Mereka belajar bagaimana caranya
berinteraksi dengan manusia lain secara harmonis. Interaksi yang terjadi
secara benar pada individu yang belajar dengan lingkungan alam akan
tampak dari relevansinya dengan kepentingan manusia.
3. Emancipatory Learning —>adalah teknik di mana seseorang mencapai
pemahaman dan kesadaran tinggi pada perubahan budaya sosial. Peserta
didik membutuhkan pengetahuan dan keterampilan yang benar guna
mendukung transformasi kultur yang terjadi. Ketika seorang peserta didik
sudah memiliki pemahaman serta kesadaran terhadap kondisi perubahan
kultural ini, maka peserta didik dianggap sudah mampu mencapai tahap
belajar yang paling tinggi.

3. Bloom dan Krathwohl


Pendapat hasil pemikiran mengenai aktivitas belajar juga ditelurkan oleh
Bloom dan Krathwohl yang menyatakan bahwa individu perlu menguasai suatu
hal setelah belajar melalui peristiwa-peristiwa belajar. Berorientasi pada tujuan
belajar, Bloom dan Krathwohl mengklasifikasikan beberapa tujuan belajar
tersebut, yaitu:
1. Domain Kognitif. Domain pertama ini terdiri dari beberapa level atau
tingkatan belajar, yaitu pengetahuan (mengingat), pemahaman
(intepretasi), aplikasi, analisis (mencoba memikirkan konsep-konsep
terkait), sintesis (penggabungan bagian-bagian konsep menjadi konsep
utuh), dan evaluasi (membandingkna nilai, ide, maupun metode).
2. Domain Psikomotorik. Pada domain ini, ada beberapa bagian yang
merupakan rangkaian dari psikomotorik, antara lain menirukan gerakan,
menggunakan konsep untuk bergerak, ketepatan melakukan gerakan,
melakukan beberapa gerakan dengan benar, sampai berhasil melakukan
gerakan tersebut secara wajar.
3. Domain Afektif. Pada akhirnya, Bloom dan Krathwohl meruncingkan
pemikiran bahwa hasil belajar pada domain sebelumnya dipraktikkan pada
domain afektif, yang terdiri dari pengenalan (sadar akan adanya sesuatu),
respon (berpartisipasi), penghargaan (menerima nilai tertentu),
mengorganisasikan (menghubungkan nilai yang diterima dan dipercaya),
dan pengamalan (menjadikan nilai sebagai pola hidup).

D. Implementasi terhadap Pembelajaran


Dalam teori Humanistik Guru bertindak sebagai Fasilitator, sehingga
disini guru mempunyai banyak tugas diantaranya :
1. memberi perhatian dan motivasi
2. membantu untuk memperoleh dan memperjelas tujuan-tujuan perorangan di
dalam kelas dan juga tujuan-tujuan kelompok yang bersifat umum
3. Memahami karakteristik siswa
4. mengatur dan menyediakan sumber-sumber untuk belajar
5. Dapat menyesuaikan dirinya bersama siswanya
6. Berbaur dengan siswanya, berkomunikasi dengan sangat baik bersama
siswanya
7. Dapat memahami dirinya dan tentunya agar dapat memahami siswanya
8. Dalam penerapan teori belajar humanistik proses lebih diutamakan daripada
hasil, dimana proses dari penerapan teori belajar humanistik antara lain :
9. Merumuskan tujuan belajar yang jelas
10. Mengusahakan partisipasi aktif siswa melalui kontrak belajar yang bersifat
jelas , jujur dan positif.
11. Mendorong siswa untuk mengembangkan kesanggupan siswa untuk belajar
atas inisiatif sendiri
12. Mendorong siswa untuk peka berpikir kritis, memaknai proses pembelajaran
secara mandiri.
Sumber:
Ibda. 2015. Perkembangan Kognitif. Jurnal Intelektualita. Vol 3 No 1

Tugas Mata Kuliah Belajar dan Pembelajaran Biologi

TEORI-TEORI BELAJAR

Oleh : Kelompok 8
1. Amin Rais Asrib
2. Husnaini Bahri
3. Musdalifa
4. Nur Asmila Nasrun
5. Zakiah Darajah S.

PRODI PENDIDIKAN BIOLOGI


JURUSAN BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS NEGERI MAKASSAR
2018

Anda mungkin juga menyukai