E. Teori Koneksionisme
Teori koneksionisme (connectionism) adalah teori yang ditemukan dan
dikembangkan oleh Edward L.Thorndike (1874-1949) berdasarkan eksperimen yang
ia lakukan pada tahun 1890-an. Eksperimen Thorndike ini menggunakan hewan-
hewan terutama kucing untuk mengetahui fenomena belajar.
Seekor kucing yang lapar ditempatkan dalam sangkar berbentuk kotak berjeruji yang
dilengkapi dengan peralatan,seperti pengungkit, gerendel, pintu,,dan tali yang
menghubungkan pengungkit dengan gerendel terdebut.
Keadaan bagian dalam sangkar yang disebut puzzle box (peti teka-teki) itu
merupakan situasi stimulus yang merangsang kucing untuk bereaksi melepaskan diri
dan memperoleh makanan yang ada dimuka pintu. Mula-mula kucing tersebut
mengeong, mencakar, melompat dan berlari-larian, namun gagal membuka pintu
untuk memperoleh makanan yang ada didepannya. Akhirnya,entah
bagaimana,secara kebetulan kucing itu berhasil menekan pengungkit dan
terbbukalah pintu sangkar tersebut.
Thorndike berkesimpulan bahwa belajar adalah hubungan antara stimulus dan
respon.Itulah sebabnya,teori koneksionisme juga disebut “S-R Bond Theory” dan “S-
R Psychology of Learning” selain itu,teori ini juga terkenal dengan sebutan “Trial
and Error Learning”.Istilah ini menunjuk pada panjangnya waktu atau banyaknya
jumlah kekeliruan dalam mencapai suatu tujuan.
F. Teori Kognitif
Teori psikologis kognitif adalah bagian terpenting dari sains kognitif yang telah
memberi konstribusi yang sangat berarti dalam perkembangan psikologis
belajar. Sains kignitif merupakan himpunan disiplin yang terdiri atas: psikologis
kognitif, ilmu-ilmu computer, linguistic, intelegensi
buatan, matematika, epistemologi, dan neuropsychology (psikologis saraf).
Pendekatan psikologis kognitif lebih menekankan arti penting proses
internal, mental manusia. Dalam pandangan para ahli kognitif,tingkah llaku manusia
yang tampak tak dapat diukur dan diterangkan tanpa melibatkan proses
mental, yakni: motivasi, kesengajaan, keyakinan, dan sebagainya.
Dalam perspektif psikologis kognitif,belajar pada asasnya adalah peristiwa
mental,bukan peristiwa behavioral (yang bersifat jasmaniah) meskipun hal-hal yang
bersifat behavioral tampak lebih nyata dalam hampir setiap peristiwa belajar
siswa. Secara lahiriah,seorang anak yang sedang belajar membaca dan
menulis, misalnya, tentu menggunakan perangkat jasmaniah (dalam hal ini mulut
dan tangan) untuk mengucapkan kata dan menggoreskan pena. Akan tetapi,perilaku
mengucapkan kata-kata dan menggoreskan pena yang dilakukan anak tersebut
bukan semata-mata respons atau stimulus yang ada,melainkan yang lebih penting
karena dorongan mental yang diatur oleh otaknya.
Sehubungan dengan hal ini,Piaget,seorang pakar psikologi kognitif
tekemuka,menyimpulkan : …children have a built-in desire to
learn (Barlow,1985). Ungkapan ini bermakna bahwa semenjak kelahirannya,setiap
anak manusia memiliki kebutuhan yang melekat dalam dirinya sendiri untuk belajar.