Anda di halaman 1dari 34

MACAM-MACAM

TEORI BELAJAR

DISUSUN OLEH:

NAMA : DINA NURHALIZAH

NIM/SEMESTER : 19010110009/ II (DUA)

DOSEN PEMBIMBING : Dr. Hj. Hadi Machmud, M.Pd

PROGRAM STUDI TADRIS MATEMATIKA

FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)

KENDARI

2020
Dalam psikologi dan pendidikan , pembelajaran secara umum didefinisikan
sebagai suatu proses yang menyatukan kognitif, emosional, dan lingkungan pengaruh
dan pengalaman untuk memperoleh, meningkatkan, atau membuat perubahan‟s
pengetahuan satu, keterampilan, nilai, dan pandangan dunia.

Belajar sebagai suatu proses berfokus pada apa yang terjadi ketika belajar
berlangsung. Penjelasan tentang apa yang terjadi merupakan teori-teori belajar. Teori
belajar adalah upaya untuk menggambarkan bagaimana orang dan hewan belajar,
sehingga membantu kita memahami proses kompleks inheren pembelajaran.

Macam-Macam Teori Belajar

Ada tiga kategori utama atau kerangka filosofis mengenai teori-teori belajar,
yaitu: teori belajar behavioral, teori belajar kognitif, dan teori belajar
construktivism.

A. Teori Belajar Behavioral


Teori behavioristik merupakan teori belajar yang lebih menekankan pada
perubahan tingkah laku serta sebagai akibat dari interaksi antara stimulus dan
respon. Tokoh pelopor dari teori behavioristik adalah Thorndike, Watson, Clark
Hull, Edwin Guthrie dan Skinner.
Sebagaimana disebutkan diatas, bahwa belajar menurut psikologi
behavioristik adalah suatu kontrol instrumental yang berasal dari lingkungan.
Belajar tidaknya seseorang bergantung kepada faktor-faktor kondisional yang
diberikan oleh lingkungan. Beberapa teori yang termasuk kategori aliran
behaviorisme adalah koneksionisme, pembiasaan klasik (classical conditioning),
pengkondisian kontiguitas (contigous conditioning), pembiasaan perilaku respons
(operant conditioning).
1. Teori Koneksionisme (Connectionism)
Tokoh paling terkenal dari teori koneksionisme adalah Edward Lee
Thorndike (1874-1949). Koneksionisme merupakan teori paling awal dari
rumpun behaviorisme. Oleh karena itu, pendidikan dan pengajaran di Amerika
serikat pada mulanya banyak di dominasi oleh pengaruh Thondike. Teori
belajar Thondike disebut “connectionism”, karena belajar merupakan proses
pembentukan koneksi-koneksi antara stimulus dan respons.
Thorndike mulai mempelajari pembelajaran dengan serangkaian
eksperimen yang dilakukannya terhadap hewan. Hewan-hewan yang berada
pada situasi yang bemasalah mencoba untuk mencapai tujuannya (misalnya:
mendapatkan makanan, mencapai tempat yang dituju). Dari banyaknya respon
yang mereka lakukan mereka memilih satu, menjalankannya dan menerima
akibatnya. Makin sering mereka membuat respons terhadap suatu stimulus,
makin kuat repons tersebut, menjadi terkoneksi dengan stimulus tersebut
(Schunk, 2012).
Koneksi-koneksi terbentuk secara mekanis melalui perulangan, persepsi
dari pikiran sadar tidak diperlukan. Thorndike menyadari bahwa pembelajaran
manusia lebih kompleks karena manusia terlibat dalam tipe-tipe pembelajaran
lainnya yang memerlukan pengkoneksian ide-ide, analisis dan penalaran
(Schunk, 2012).
Secara garis besar, teori koneksionisme Thorndike dapat dijelaskan
dengan satu kesimpulan bahwa “belajar” dapat terjadi dengan dibentuknya
hubungan, atau ikatan, atau asosiasi, atau koneksi netral yang kuat antara
stimulus dan respons. Untuk dapat mencapai hubungan antara stimulus dan
respons ini, perlu adanya kemampuan untuk memilih respons yang tepat, serta
melalui usaha-usaha atau percobaan-percobaan (trials) dan kegagalan-
kegagalan (errors) terlebih dahulu. Berdasarkan hal ini, Thorndike
mengutarakan bila bentuk paling dasar dari belajar adalah trial and error
learning atau selecting-connecting learning dan berlangsung menurut hukum-
hukum tertentu (Roziqin, 2007).
Objek penelitian dihadapkan kepada situasi baru yang belum dikenal
dan membiarkan objek melakukan berbagai pada aktivitas untuk merespon
situasi itu. Dalam hal itu, objek mencoba berbagai cara beraksi sehingga
menemukan keberhasilan dalam membuat koneksi sesuatu rekasi dengan
stimulasinya. Ciri-ciri belajar dengan “trial and error” yaitu :
a. Ada motif pendorong aktivitas
b. Ada berbagai respon terhadap situasi
c. Ada eliminasi respon-respon yang gagal/salah
d. Ada kemajuan rekasi-reaksi mencapai tujuan.
Ide-ide dasar Thorndike mengenai pembelajaran diwujudkan dalam
Hukum Latihan dan Akibat. Hukum latihan terdiri dari dua bagian yaitu hukum
kegunaan dan hukum ketidakgunaan. Hukum kegunaan (law of use) yaitu
sebuah respon terhadap sebuah stimulus memperkuat koneksi keduanya.
Hukum yang kedua yaitu hukum ketidakgunaan (law of disuse) yaitu ketika
respon tidak diberikan pada sebuah stimulus, kekuatan koneksinya menjadi
menurun (dilupakan). Makin panjang interval waktu sebelum sebuah respon
diberikan, makin besar penurunan kekuatan koneksinya.
Berkaitan dengan prinsip atau hukum dalam belajar, Thorndike
mengemukakan tiga prinsip atau hukum. Pertama, law of readness, belajar
akan berhasil apabila individu memiliki kesiapan untuk melakukan perbuatan
tersebut. Kedua, law of exercise, belajar akan berhasil apabila banyak latihan,
ulangan. Ketiga, law of effect, belajar akan bersemangat apabila mengetahui
dan mendapatkan hasil yang lebih baik (Sukmadinata, 2007).
2. Teori Pembiasaan Klasik (Classical Conditioning)
Teori pembiasaan klasik (classical conditioning) ini berkembang
berdasarkan hasil eksperimen yang dilakukan oleh Ivan Pavlov (1849-1936).
Seperti halnya dengan Thorndike, Pavlov dan Watson yang menjadi tokoh teori
ini juga percaya bahwa belajar pada hewan memiliki prinsip yang sama dengan
manusia. Belajar atau pembentukan perilaku perlu dibantu dengan kondisi
tertentu (Sanjaya, 2006).
Teori Pavlov berkembang dari percobaan laboratoris terhadap anjing.
Dalam percobaan ini, anjing diberi stimulus bersyarat sehingga terjadi reaksi
bersyarat pada anjing. Anjing tersebut diberi makanan dan diberi lampu. Pada
saat diberi makanan dan lampu keluarkan respon anjing tersebut berupa
keluamya air liur. Demikian juga jika dalam pemberikan makanan tersebut
disertai dengan bel, air liur tersebut juga keluar. Pada saat bel atau lampu
diberikan mendahului makanan, anjing tersebut juga mengeluarkan air liur.
Makanan yang diberikan tersebut oleh Pavlov disebut sebagai perangsangan
yang bersyarat, sementara bel atau lampu yang menyertai disebut sebagai
perangsang bersyarat.
Terhadap perangsang tak bersyarat yang disertai dengan perangsang
bersyarat tersebut, anjing memberikan respons berupa keluamya air liur.
Selanjutnya, ketika perangsang bersyarat (bel, lampu) diberikan tanpa
perangsang tak bersyarat anjing tersebut tetap memberikan respon dalam
bentuk keluamya air liur. Oleh karena perangsang bersyarat (sebagai pengganti
perangsang tak bersyarat : makanan) ini ternyata dapat menimbulakn respons,
maka dapat berfungsi sebagai conditioned. Karena itu, teori Pavlov ini dikenal
teori classical conditioning. Menurut Pavlov pengkondisian yang dilakukan
pada anjing demikian ini, dapat juga berlaku pada manusia.
Pengkondisian klasik menurut Pavlov merupakan sebuah prosedur
multilangkah yang pada mulanya membutuhkan sebuah stimulus yang tidak
terkondisikan (UCS=Unconditioned Stimulus) yang menghasilkan sebuah
respon yang tak terkondisikan (UCR= Unconditioned Respons). Pada
penelitiannya, Pavlov sering menggunakan metronom yang berdetak sebagai
stimulus netral. Metronom menjadi sebuah stimulus yang terkondisikan (CS)
yang menghasilkan respon yang terkondisikan (CR) serupa dengan UCR
aslinya. Pemberian CS (dalam hal ini tampa UCS) yang dilakukan berulangkali
tampa ada penguatan membuat CR menurun intensitasnya dan kemudian
hilang; sebuah fenomena yang dikenal dengan kepunahan (Schunk, 2012).
Pemulihan spontan (SR) terjadi setelah selang waktu dimana CS tidak
diberikan dan CR dianggap menghilang. Jika kemudian CS diberikan dan
Crnya kembali lagi, bisa kita katakan bahwa CR tersebut secara spontan
dipulihkan dari kepunahan. Kenyataan bahwa pasangan CS-CR dapat
diperbaiki tampa banyak kesulitan menunjukan bahwa kepunahan bukan
merupakan pembatalan pembelajaran atas asosiasi-asosiasi tersebut (Radish
dkk dalam Schunk, 2012).
Pavlov yakin bahwa stimulus apa pun yang dirasakan dapat
dikondisikan untuk respons apapun dapat dibuat. Namun dalam penelitian
berikutnya menunjukan bahwa generalisasi untuk pengkondisian itu terbatas.
Pengkondisian tergantung pada kesesuaian stimulus dan respons dengan reaksi-
reaksi yang spesifik untuk tiap-tiap species (Hollis dalam Schunk, 2012).

3. Teori Pengkondisian Kontiguitas (Contigous Conditioning)


Tokoh lain yang mengemukakan sebuah perspektif behavioral untuk
pembelajaran adalah Edwin R Guthrie. Guthrie memperluas penemuan Watson
tentang belajar. Guthrie menyatakan bahwa prinsip-prinsip pembelajaran
berdasarkan pada asosiasi-asosiasi dimana prilaku-prilaku pokok dalam
pembelajaran adalah tindakan dan gerakan.
Prinsip dasar Guthrie menyajikan gagasan kontiguitas stimulasi dan
respons. Kombinasi dari stimulus-stimulus yang telah mencapai suatu gerakan,
jika berulang akan cenderung diikuti oleh gerakan tersebut. Dengan kata lain,
pola-pola stimulus yang aktif pada saat sebuah respons terjadi akan cenderung
menghasilkan respons tersebut jika dimunculkan berulang-ulang (Schunk,
2012).
Teori Guthrie menyebutkan bahwa pembelajaran terjadi melalui
pemasangan stimulus dan repons serta kekuatan asosiatif. Meskipun Guthrie
tidak menyatakan bahwa orang mempelajari prilaku kompleks dengan
melakukannya satu kali saja, namun satu atau lebih gerakan menjadi
terasosiasikan. Perulangan dari sebuah situasi akan menambah gerakan,
mengkombinasikan gerakan-gerakan menjadi tindakan dan membentuk
tindakan dalam kondisi lingkungan yang berbeda-beda.
Lebih lanjut, menurut Guthrie, belajar memerlukan reward dan
kedekatan antara stimulus dan respon. Guthrie yakin bahwa respons-respons
tidak perlu di beri imbalan untuk dapat dipelajari. Mekanisme pokoknya adalah
kontiguitas atau pemasangan yang tepat pada waktunya antara stimulus dan
respons. Gutrie berpendapat, bahwa hukuman itu tidak baik dan tidak pula
buruk. Efektif tidaknya hukuman tergantung pada apakah hukuman itu
menyebabkan murid belajar ataukah tidak.
Gutrie berpendapat bahwa tingkah laku manusia dapat diubah tingkah
laku jelek dapat diubah menjadi baik. Teori Gutrie berdasarkan atas model
penggantian stimulus saut ke stimulus yang lain. Responsi atas suatu situasi
cenderung di ulang manakala individu menghadapi situasi yang sama. Inilah
yang disebut dengan asosiasi.
Menurut Gutrie, setiap situasi belajar merupakan gabungan berbagai
stimulus (dapat intemal dan dapat ekstemal) dan respon. Dalam situasi tertentu,
banyak stimulus yang berasosiasi dengan banyak respon. Asosiasi tersebut,
dapat benar dan dapat juga salah.Ada tiga metode pengubahan tingkah laku
menurut teori ini, yaitu :
a. Metode respon bertentangan. Misalnya saja, jika anak jijik terhadap sesuatu,
sebutlah misalkan saja boneka, maka permainan anak yang disukai tersebut
diletakkan di dekat boneka. Dengan meletakkan permainan di dekat boneka,
dan ternyata boneka tersebut sebenamya tidak menjijikkan, lambat laun
anak tersebut tidak jijik lagi kepada boneka. Peletakan permainan yang
paling disukai tersebut dapat dilakukan secara berulang-ulang.
b. Metode membosankan. Misalnya saja anak kecil suka mengisap rokok. Ia
disuruh merokok terus sampai bosan ; dan setelah bosan, ia akan berhenti
merokok dengan sendirinya.
c. Metode mengubah lingkungan. Jika anak bosan belajar, maka lingkungan
belajarnya dapat diubah-ubah sehingga ada suasana lain dan memungkinkan
ia betah belajar.

4. Teori pembiasaan perilaku respons (operant conditioning)


Teori Behavioral lain yang terkenal adalah teori pengkondisian operan
yang dirumuskan oleh B.F Skinner pada awal 1930-an. Skinner
mengemukakan ada 2 jenis pembelajaran, yakni pertama bahwa prilaku
reponden dihasilkan oleh stimuli spesifik dan yang kedua bahwa tidak ada
stimulus tertentu yang bisa dipastikan secara konsisten akan menghasilkan
respons operan (Hill, 2012).
Seperti halnya Thondike, Skinner menganggap “reward” atau
“reinforcement” sebagai faktor terpenting dalam proses belajar. Skinner
berpendapat, bahwa tujuan psikologi adalah meramal dan mengontrol tingkah
laku. Skinner membagi dua jenis respon dalam proses belajar, yakni:
Respondens (respon yang terjadi karena stimulus khusus misalnya Pavlov) dan
Operants (respon yang terjadi karena situasi random).
Skinner membuat eksperimen sebagai berikut: dalam laboratorium,
Skinner memasukkan tikus yang telah dilaparkan dalam kotak yang disebut
“Skinner box”, yang sudah dilengkapi dengan berbagai peralatan, yaitu tombol,
alat memberi makanan, penampung makanan, lampu yang dapat diatur
nyalanya, dan lantai yang dapat dialiri listrik.
Karena dorongan lapar (hunger drive), tikus berusaha keluar untuk
mencari makanan. Selama tikus bergerak kesana-kemari untuk keluar dari box,
tidak sengaja ia menekan tombol, makanan keluar. Secara terjadwal diberikan
makanan secara bertahap sesuai peningkatan perilaku yang ditunjukkan si
tikus, proses ini disebut shaping. Berdasarkan berbagai percobaannya pada
tikus dan burung merpati, Skinner menyatakan bahwa unsur terpenting dalam
belajar adalah penguatan (reinforcement). Maksudnya adalah pengetahuan
yang terbentuk melalui ikatan stimulu-respon akan semakin kuat bila diberi
penguatan.
Paling tidak tidak, ada enam konsep operant conditioning ini yaitu :1).
Penguatan positif dan negatif; 2). Shopping, ialah proses pembentukan tingkah
laku yang makin mendekati tingkah laku yang diharapkan; 3). Pendekatan
suksesif, ialah proses pembentukan tingkah laku yang menggunakan penguatan
pada saat tepat hingga respon pun sesuai dengan yang diisyaratkan; 4).
Extention, ialah proses penghentian kegiatan sebagai akibat dari ditiadakannya
penguatan; 5). Chaining of respons, ialah respon dan stimulus yang
berangkaian satu sama lain dan 6). Jadwal penguatan ialah variasi pemberian
peguatan:rasio tetap dan bervariasi, interval tetap dan bervariasi.
Perbedaan penting antara Pavlov‟s classical conditioning dan Skinner‟s
operant conditioning ialah dalam classical conditioning, akibat-akibat suatu
tingkah laku itu. Reinforcement tikdak diperlakukan karena stimulusnya
menimbulkan respon yang diinginkan. Operant conditioning, suatu situasi
belajar dimana suatu respons dibuat lebih kuat akibat reinforcement langsung.
Dalam pengajaran, operants conditioning menjamin respon-respon
terhadap stimulus. Apabila murid tidak menunjukkan reaksi-reaksi terhadap
stimulus guru tak mungkin dapat membimbing tingkah lakunya ke arah tujuan
behavior. Guru berperan penting di dlaam kelas untuk mengontrol dan
mengarahkan kegiatan belajar ke arah tercapainya tujuan yang telah
dirumuskan.
Menurut Skinner, dalam kegiatan pembelajaran guru perlu memberikan
beberapa stimulus kepada siswa. Adapun jenis-jenis stimulus tersebut menurut
Skinner yakni:
a. Positive reinforcement : Penyajian stimulus yang meningkatkan probabilitas
suatu respon
b. Negative rinforcement : Pembatasan stimulus yang tidak menyenangkan,
yang jika dihentikan akan mengakibatkan probabilitas respon
c. Hukuman : pemberian stimulus yang tidak menyenangkan misalnya :
“Contradktion or reprimand”. Bentuk hukuman lain berupa penangguhan
stimulus yang menyenangkan
d. Primary rinforcement : stimulus pemenuhan kebutuhan-kebutuhan fisiologis
e. Modifikasi tingkah laku guru : Perlakuan guru terhadap murid-murid
berdasarkan minat dan kesenangan mereka.
Jadwal reinforcement menguraikan tentang kapan dan bagaimana suatu
respon diperbuat? Ada empat cara penjadwalan reinforcement :
a. “Fixed-ratio schedule”; yang didasarkan pada penyajian bahan pelajaran,
yang mana pemberi reinforcement baru memberikan penguatan respon
setelah terjadi jumlah tertentu dari respon.
b. “Variable ratio schedule”; yang didasarkan penyajian bahan pelajaran
dengan penguat setelah rata-rata respon
c. “Fixed interval schedule”; yang didasarkan atas satuan waktu tetapi diantara
“reinforcement”
d. “Variable interval schedule”; pemberian renforcement menurut respon betul
yang pertama setelah terjadi kesalahan-kesalahan respon.

Pandangan teori behavioristik telah cukup lama dianut oleh para pendidik.
Namun dari semua teori yang ada, teori Skinnerlah yang paling besar
pengaruhnya terhadap perkembangan teori belajar behavioristik. Program-
program pembelajaran seperti Teaching Machine, Pembelajaran berprogram,
modul dan program-program pembelajaran lain yang berpijak pada konsep
hubungan stimulus-respons serta mementingkan faktor-faktor penguat
(reinforcement), merupakan program pembelajaran yang menerapkan teori belajar
yang dikemukakan Skiner.
Teori behavioristik juga cenderung mengarahkan pebelajar untuk berfikir
linier, konvergen, tidak kreatif dan tidak produktif. Pandangan teori ini bahwa
belajar merupakan proses pembentukan atau shaping, yaitu membawa pebelajar
menuju atau mencapai target tertentu, sehingga menjadikan peserta didik tidak
bebas berkreasi dan berimajinasi. Padahal banyak faktor yang mempengaruhi
proses belajar, proses belajar tidak sekedar pembentukan atau shaping.
Skinner dan tokoh-tokoh lain pendukung teori behavioristik memang tidak
menganjurkan digunakannya hukuman dalam kegiatan pembelajaran. Namun apa
yang mereka sebut dengan penguat negatif (negative reinforcement) cenderung
membatasi pebelajar untuk berpikir dan berimajinasi.
Skinner lebih percaya kepada apa yang disebut sebagai penguat negatif.
Penguat negatif tidak sama dengan hukuman. Ketidaksamaannya terletak pada
bila hukuman harus diberikan (sebagai stimulus) agar respon yang muncul
berbeda dengan respon yang sudah ada, sedangkan penguat negatif (sebagai
stimulus) harus dikurangi agar respon yang sama menjadi semakin kuat.
Misalnya, seorang pebelajar perlu dihukum karena melakukan kesalahan. Jika
pebelajar tersebut masih saja melakukan kesalahan, maka hukuman harus
ditambahkan. Tetapi jika sesuatu tidak mengenakkan pebelajar (sehingga ia
melakukan kesalahan) dikurangi (bukan malah ditambah) dan pengurangan ini
mendorong pebelajar untuk memperbaiki kesalahannya, maka inilah yang disebut
penguatan negatif. Lawan dari penguatan negatif adalah penguatan positif
(positive reinforcement). Keduanya bertujuan untuk memperkuat respon. Namun
bedanya adalah penguat positif menambah, sedangkan penguat negatif adalah
mengurangi agar memperkuat respons.

Belajar Menurut Teori Behavioristik


Menurut teori belajar behavioristik, belajar merupakan suatu proses
perubahan tingkah laku sebagai akibat dari interaksi antara stimulus dan respon.
Dengan kata lain, belajar merupakan bentuk perubahan yang dialami siswa dalam
hal kemampuannya untuk bertingkah laku dengan cara yang baru sebagai hasil
dari interaksi stimulus dan respon. Seseorang dianggap telah belajar apabila ia
bisa menunjukkan perubahan tingkah lakunya. Contoh, seorang anak mampu
berhitung penjumlahan dan pengurangan, meskipun dia belajar dengan giat tetapi
dia masih belum bisa mempraktekkan penjumlahannya, maka ia belum bisa
dikatakan belajar karena ia belum menunjukkan perubahan tingkah laku sebagai
hasil dari belajar.
Dalam teori Behavioristik, yang terpenting itu adalah masukan atau input
yang berupa stimulus serta output yang berupa respon. Apa yang terjadi diantara
stimulus dan respon dianggap tidaklah penting karena tidak dapat diamati dan
diukur. Teori ini mengutamakan pengukuran sebab dengan pengukuran kita akan
melihat terjadi tidaknya perubahan tingkah laku tersebut.
Faktor lain yang dianggap penting bagi teori ini adalah penguatan
(reinforcement). Penguatan adalah apa saja yang dapat memperkuat respon. Jika
penguatan ditambahkan (positive reinforcement) maka respon akan semakin kuat,
begitu juga penguatan dikurangi (negative reinforcement) respon akan tetap
dikuatkan. Misal jika peserta didik diberi tugas oleh guru, ketika tugasnya
ditambahkan, maka ia akan lebih giat belajarnya (positive reinforcement). Apabila
tugas-tugas dikurangi justru akan meningkatkan aktifitas belajarnya (negative
reinforcement). Jadi penguatan merupakan suatu bentuk stimulus yang penting
diberikan (ditambah) atau dihilangkan (dikurang) untuk memungkinkan mendapat
respon.
Pada dasarnya para penganut aliran behavioristik setuju dengan pengertian
belajar diatas, namun ada beberapa perbedaan pendapat diantara mereka.

Kelebihan serta Kekurangan Teori Behavioristik


1. Membisakan guru untuk bersikap jeli dan peka terhadap situasi dan kondisi
belajar.
2. Guru tidak membiasakan memberikan ceramah sehingga murid dibiasakan
belajar mandiri. Jika murid menemukan kesulitan baru ditanyakan pada guru
yang bersangkutan.
3. Mampu membentuk suatu prilaku yang diinginkan mendapatkan pengakuan
positif dan prilaku yang kurang sesuai mendapat penghargaan negative yang
didasari pada prilaku yang tampak.
4. Dengan melalui pengulangan dan pelatihan yang berkesinambungan, dapat
mengoptimalkan bakat dan kecerdasan siswa yang sudah terbentuk
sebelumnya. Jika anak sudha mahir dalam satu bidang tertentu, akan lebih
dapat dikuatkan lagi dengan pembiasaan dan pengulangan yang
berkesinambungan tersebut dan lebih optimal.
5. Bahan pelajaran yang telah disusun hierarkis dari yang sederhana sampai
pada yang kompleks dengan tujuan pembelajaran dibagi dalam bagian-bagian
kecil yang ditandai dengan pencapaian suatu ketrampilan tertentu mampu
menghasilakan suatu prilaku yang konsisten terhadap bidang tertentu.
6. Dapat mengganti stimulus yang satu dengan stimuls yang lainnya dan
seterusnya sampai respons yang diinginkan muncul.
7. Teori ini cocok untuk memperoleh kemampuan yang membutuhkan praktek
dan pembiasaan yang mengandung unsure-unsur kecepatan, spontanitas, dan
daya tahan.
8. Teori behavioristik juga cocok diterapakan untuk anak yang masih
membutuhkan dominasi peran orang dewasa, suka mengulangi dan harus
dibiasakan, suka meniru, dan suka dengan bentuk-bentuk penghargaan
langsung.
9. Sebuah konsekuensi untuk menyusun bahan pelajaran dalam bentuk yang
sudah siap.
10. Tidak setiap pelajaran dapat menggunakan metose ini.
11. Murid berperan sebagai pendengar dalam proses pembelajaran dan
menghafalkan apa di dengar dan di pandang sebagai cara belajar yang efektif.
12. Penggunaan hukuman yang sangat dihindari oleh para tokoh behavioristik
justru dianggap sebagai metode yang paling efektif untuk menertibkan siswa.
13. Murid dipandang pasif, perlu motifasi dari luar, dan sangat dipengaruhi oleh
penguatan yang diberikan oleh gur
14. Murid hanya mendengarkan dengan tertib penjelsan dari guru dan
mendengarkan apa yang didengar dan dipandang sebagai cara belajar yang
efektif sehingga inisiatf siswa terhadap suatu permasalahan yang muncul
secara temporer tidak bisa diselesaikan oleh siswa.
15. Cenderung mengarahakan siswa untuk berfikir linier, konvergen, tidak
kreatif, tidak produktif, dan menundukkan siswa sebagai individu yang pasif.
16. Pembelajaran siswa yang berpusat pada guru(teacher cenceredlearning)
bersifat mekanistik dan hanya berorientasi pada hasil yang dapat diamati dan
diukur.
17. Penerapan metode yang salah dalam pembelajaran mengakibatkan terjadinya
proses pembelajaran yang tidak menyenangkan bagi siswa, yaitu guru sebagai
center, otoriter, komunikasi berlangsung satu arah, guru melatih, dan
menentukan apa yang harus dipelajari murid.

Implikasi Teori Behavioristik dalam Kegiatan Pembelajaran


Aliran psikologi belajar yang sangat besar mempengaruhi arah
pengembangan teori dan praktek pendidikan dan pembelajaran hingga kini adalah
aliran behavioristik. Aliran ini menekankan pada terbentuknya perilaku yang
tampak sebagai hasil belajar. Teori ini hingga sekarang masih merajai praktek
pembelajaran di Indonesia. Hal ini tampak dengan jelas pada penyelenggaraan
pembelajaran dari tingkat yang paling dini, seperti kelompok bermain, Taman
Kanak-Kanak, Sekolah Dasar, Sekolah Menengah, bahkan sampai Perguruan
Tinggi, pembentukan perilaku dengan cara drill (pembiasaan) disertai dengan
reinforcement atau hukuman masih sering dilakukan.
Aplikasi teori behavioristik dalam kegiatan pembelajaran tergantung dari
beberapa hal seperti: tujuan pembelajaran, sifat materi pelajaran, karakteristik
siswa, media dan fasilitas pembelajaran yang tersedia. Gagasan-gagasan seperti
yang telah dikemukakan oleh para pencetus aliran behaviorisme seperti Thorndike
tentang perlunya bantuan guru untuk menciptakan prilaku siswa, perlunya
keterampilan-keterampilan yang dilatihkan, dan disiplin mental menjadi dasar
bagi pengembangan aliran behaviorisme di sekolah. Di samping itu, gagasan
Guthrie tentang perlunya reinforcement dalam pembelajaran sampai saat ini
diakui menjadi sebuah hal yang sangat penting dalam kegiatan pembelajaran.
Lebih dari itu gagasan Skinner tentang perlunya pengaturan pembelajaran oleh
guru, respons aktif dari siswa, adanya feedback setelah adanya respons dari
pembelajar dan kebebasan siswa dalam mempelajari materi sesuai dengan ritme
pembelajar menjadi dasar bagi pengembangan kurikulum di Indonesia.
Karena teori behavioristik memandang bahwa sebagai pengetahuan telah
terstruktur rapi dan teratur, maka siswa atau orang yang belajar harus dihadapkan
pada aturan-aturan yang jelas dan ditetapkan terlebih dulu secara ketat.
Pembiasaan dan disiplin menjadi sangat esensial dalam belajar, sehingga
pembelajaran lebih banyak dikaitkan dengan penegakan disiplin. Kegagalan atau
ketidakmampuan dalam penambahan pengetahuan dikategorikan sebagai
kesalahan yang perlu dihukum dan keberhasilan belajar atau kemampuan
dikategorikan sebagai bentuk perilaku yang pantas diberi hadiah. Demikian juga,
ketaatan pada aturan dipandang sebagai penentu keberhasilan belajar. Siswa atau
peserta didik adalah objek yang berperilaku sesuai dengan aturan, sehingga
kontrol belajar harus dipegang oleh sistem yang berada di luar diri siswa (Degeng,
2006).
Tujuan pembelajaran menurut teori behavioristik ditekankan pada
penambahan pengetahuan, sedangkan belajar sebagi aktivitas “mimetic”, yang
menuntut siswa untuk mengungkapkan kembali pengetahuan yang sudah
dipelajari dalam bentuk laporan, kuis, atau tes. Penyajian isi atau materi pelajaran
menekankan pada ketrampian yang terisolasi atau akumulasi fakta mengikuti
urutan dari bagian ke keseluruhan. Pembelajaran mengikuti urutan kurikulum
secara ketat, sehingga aktivitas belajar lebih banyak didasarkan pada buku
teks/buku wajib dengan penekanan pada ketrampilan mengungkapkan kembali isi
buku teks/buku wajib tersebut. Pembelajaran dan evaluasi menekankan pada hasil
belajar.
Evaluasi menekankan pada respon pasif, ketrampilan secara terpisah, dan
biasanya menggunakan paper and pencil test. Evaluasi hasil belajar menuntut
jawaban yang benar. Maksudnya bila siswa menjawab secara “benar” sesuai
dengan keinginan guru, hal ini menunjukkan bahwa siswa telah menyelesaikan
tugas belajarnya. Evaluasi belajar dipandang sebagi bagian yang terpisah dari
kegiatan pembelajaran, dan biasanya dilakukan setelah selesai kegiatan
pembelajaran. Teori ini menekankan evaluasi pada kemampuan siswa secara
individual.
Aliran psikologi belajar yang sangat besar pengaruhnya terhadap arah
pengembangan teori dan praktek pendidikan dan pembelajaran hingga kini adalah
aliran behavioristik. Aliran ini menekankan pada terbentuknya perilaku yang
tampak sebagai hasil belajar. Teori behavioristik dengan model hubungan
stimulus responnya, mendudukkan orang yang belajar sebagai individu yang
pasif. Respon atau perilaku tertentu dengan menggunakan metode drill atau
pembiasaan semata. Munculnya perilaku akan semakin kuat bila diberikan
reinforcement dan akan menghilang bila dikenai hukuman.
Aplikasi teori behavioristik dalam kegiatan pembelajaran tergantung dari
beberapa hal seperti: tujuan pembelajaran, sifat materi pelajaran, karakteristik
pebelajar, media dan fasilitas pembelajaran yang tersedia. Pembelajaran yang
dirancang dan berpijak pada teori behavioristik memandang bahwa pengetahuan
adalah obyektif, pasti, tetap, tidak berubah. Pengetahuan telah terstruktur dengan
rapi, sehingga belajar adalah perolehan pengetahuan, sedangkan mengajar adalah
memindahkan pengetahuan (transfer of knowledge) ke orang yang belajar atau
pebelajar. Fungsi mind atau pikiran adalah untuk menjiplak struktur pengetahuan
yag sudah ada melalui proses berpikir yang dapat dianalisis dan dipilah, sehingga
makna yang dihasilkan dari proses berpikir seperti ini ditentukan oleh
karakteristik struktur pengetahuan tersebut. Pebelajar diharapkan akan memiliki
pemahaman yang sama terhadap pengetahuan yang diajarkan. Artinya, apa yang
dipahami oleh pengajar atau guru itulah yang harus dipahami oleh murid.
Demikian halnya dalam pembelajaran, pebelajar dianggap sebagai objek
pasif yang selalu membutuhkan motivasi dan penguatan dari pendidik. Oleh
karena itu, para pendidik mengembangkan kurikulum yang terstruktur dengan
menggunakan standar-standar tertentu dalam proses pembelajaran yang harus
dicapai oleh para pebelajar. Begitu juga dalam proses evaluasi belajar pebelajar
diukur hanya pada hal-hal yang nyata dan dapat diamati sehingga hal-hal yang
bersifat tidak teramati kurang dijangkau dalam proses evaluasi.

Implikasi dari teori behavioristik dalam proses pembelajaran dirasakan


kurang memberikan ruang gerak yang bebas bagi pebelajar untuk berkreasi,
bereksperimentasi dan mengembangkan kemampuannya sendiri. Karena sistem
pembelajaran tersebut bersifat otomatis-mekanis dalam menghubungkan stimulus
dan respon sehingga terkesan seperti kinerja mesin atau robot. Akibatnya
pebelajar kurang mampu untuk berkembang sesuai dengan potensi yang ada pada
diri mereka.
Karena teori behavioristik memandang bahwa pengetahuan telah
terstruktur rapi dan teratur, maka pebelajar atau orang yang belajar harus
dihadapkan pada aturan-aturan yang jelas dan ditetapkan terlebih dulu secara
ketat. Pembiasaan dan disiplin menjadi sangat esensial dalam belajar, sehingga
pembelajaran lebih banyak dikaitkan dengan penegakan disiplin. Kegagalan atau
ketidakmampuan dalam penambahan pengetahuan dikategorikan sebagai
kesalahan yang perlu dihukum dan keberhasilan belajar atau kemampuan
dikategorikan sebagai bentuk perilaku yang pantas diberi hadiah. Demikian juga,
ketaatan pada aturan dipandang sebagai penentu keberhasilan belajar. Pebelajar
atau peserta didik adalah objek yang berperilaku sesuai dengan aturan, sehingga
kontrol belajar harus dipegang oleh sistem yang berada di luar diri pebelajar.
Tujuan pembelajaran menurut teori behavioristik ditekankan pada
penambahan pengetahuan, sedangkan belajar sebagi aktivitas “mimetic”, yang
menuntut pebelajar untuk mengungkapkan kembali pengetahuan yang sudah
dipelajari dalam bentuk laporan, kuis, atau tes. Penyajian isi atau materi pelajaran
menekankan pada ketrampian yang terisolasi atau akumulasi fakta mengikuti
urutan dari bagian ke keseluruhan. Pembelajaran mengikuti urutan kurikulum
secara ketat, sehingga aktivitas belajar lebih banyak didasarkan pada buku
teks/buku wajib dengan penekanan pada ketrampilan mengungkapkan kembali isi
buku teks/buku wajib tersebut. Pembelajaran dan evaluasi menekankan pada hasil
belajar.
Evaluasi menekankan pada respon pasif, ketrampilan secara terpisah, dan
biasanya menggunakan paper and pencil test. Evaluasi hasil belajar menuntut
jawaban yang benar. Maksudnya bila pebelajar menjawab secara “benar” sesuai
dengan keinginan guru, hal ini menunjukkan bahwa pebelajar telah menyelesaikan
tugas belajarnya.
Evaluasi belajar dipandang sebagi bagian yang terpisah dari kegiatan
pembelajaran, dan biasanya dilakukan setelah selesai kegiatan pembelajaran.
Teori ini menekankan evaluasi pada kemampuan pebelajar secara individual.

B. Teori Belajar Kognitif


Salah satu teori belajar yang dikembangkan selama abad ke-20 adalah teori
belajar kognitif, yaitu teori belajar yang melibatkan proses berfikir secara
komplek dan mementingkan proses belajar. Istilah “Cognitive” berasal dari kata
cognition artinya adalah pengertian, mengerti. Pengertian yang luasnya cognition
(kognisi) adalah perolehan, penataan, dan penggunaan pengetahuan. Dalam
pekembangan selanjutnya, kemudian istilah kognitif ini menjadi populer sebagai
salah satu wilayah psikologi manusia atau satu konsep umum yang mencakup
semua bentuk pengenalan yang meliputi setiap perilaku mental yang berhubungan
dengan masalah pemahaman, memperhatikan, memberikan, menyangka,
pertimbangan, pengolahan informasi, pemecahan masalah, pertimbangan,
membayangkan, memperkirakan, berpikir dan keyakinan. Termasuk kejiwaan
yang berpusat di otak ini juga berhubungan dengan konasi (kehendak) dan afeksi
(perasaan) yang bertalian dengan rasa. Menurut para ahli jiwa aliran kognitifis,
tingkah laku seseorang itu senantiasa didasarkan pada kognisi, yaitu tindakan
mengenal atau memikirkan situasi dimana tingkah laku itu terjadi.
Teori belajar Kognitif berbeda dengan teori belajar Behavioristik. Teori
belajar kognitif melibatkan proses berfikir secara komplek dan lebih
mementingkan proses belajar dari pada hasil belajarnya. Para penganut aliran
kognitif mengatakan bahwa belajar tidak sekedar melibatkan hubungan antara
stimulus dan respon. Tidak seperti model belajar behavioristik yang mempelajari
proses belajar hanya sebagai hubungan stimulus-respon yang bersifat mekanistik,
tetapi kegiatan belajar yang juga melibatkan kegiatan mental yang ada di dalam
individu yang sedang belajar. Model belajar kognitif merupakan suatu bentuk
teori belajar yang sering disebut sebagai model perseptual. Model belajar kognitif
mengatakan bahwa tingkah laku seseorang ditentukan oleh persepsi serta
pemahamannya tentang situasi yang berhubungan dengan tujuan belajarnya.
Belajar merupakan perubahan persepsi dan pemahaman yang tidak selalu dapat
terlihat sebagai tingkah laku yang nampak.
Teori kognitif juga menekankan bahwa bagian-bagian dari suatu situasi
saling berhubungan dengan konteks situasi tersebut. Memisah-misahkan atau
membagi-bagi situasi atau materi pelajaran menjadi komponen-komponen yang
kecil-kecil dan mempelajarinya secara terpisah-pisah, akan kehilangan makna.
Teori ini berpandangan bahwa belajar merupakan suatu proses internal yang
mencakup ingatan, retensi, pengolahan informasi, emosi dan aspek-aspek
kejiwaan lainnya. Proses belajar terjadi antara lain mencakup pengaturan stimulus
yang diterima dan menyesuaikannya dengan struktur kognitif yang sudah dimiliki
dan terbentuk di dalam pikiran seseorang berdasarkan pemahaman dan
pengalaman-pengalaman sebelumnya.
Teori belajar yang berasal dari aliran psikologi kognitif ini menelaah
bagaimana orang berpikir, mempelajari konsep dan menyelesaikan masalah. Hal
yang menjadi pembahasan sehubungan dengan teori belajar ini adalah tentang
jenis pengetahuan dan memori.
Menurut pendekatan kognitif yang mutakhir, elemen terpenting dalam
proses belajar adalah pengetahuan yang dimiliki oleh tiap individu kepada situasi
belajar. Dengan kata lain apa yang telah kita ketahui akan sangat menentukan apa
yang akan menjadi perhatian, dipersepsi, dipelajari, diingat ataupun dilupakan.
Pengetahuan bukan hanya hasil dari proses belajar sebelumnya, tapi juga akan
membimbing proses belajar berikutnya. Perspektif kognitif membagi jenis
pengetahuan menjadi tiga bagian, yaitu:
 Pengetahuan Deklaratif
Yaitu pengetahuan yang bisa dideklarasikan biasanya dalam bentuk
kata atau singkatnya pengetahuan konseptual. Contoh, pengetahuan tentang
fakta (misalnya, bumi berputar mengelilingi matahari dalam kurun waktu
tertentu), generalisasi (setiap benda yang di lempar ke angkasa akan jatuh ke
bumi karena adanya gaya gravitasi), pengalaman pribadi (apa yang diajarkan
oleh guru sains secara menyenangkan) atau aturan (untuk melakukan operasi
penjumlahan dan pengurangan pada pecahan maka pembilang harus disamakan
terlebih dahulu).
 Pengetahuan Prosedural
Yaitu pengetahuan tentang tahapan yang harus dilakukan misalnya
dalam hal pembagian satu bilangan ataupun cara kita mengemudikan sepeda,
singkatnya “pengetahuan bagaimana”. Contoh : menyatakan proses
penjumlahan atau pengurangan pada bilangan pecahan menunjukkan
pengetahuan deklaratif, namun bila siswa mampu mengerjakan perhitungan
tersebut maka dia sudah memiliki pengetahuan prosedural. Guru dan siswa
yang mampu menyelesaikan soal melalui rumus tertentu atau menterjemahkan
teks bahasa Inggris. Seperti halnya siswa yang mampu berenang dalam satu
gaya tertentu, berarti dia sudah menguasai pengetahuan prosedural hal tersebut.
 Pengetahuan Kondisional
Pengetahuan adalah pengetahuan dalam hal “kapan dan mengapa”
pengetahuan deklaratif dan prosedural digunakan. Seperti.siswa harus dapat
mengidentifikasi terlebih dahulu persamaan apa yang perlu dipakai
(pengetahuan deklaratif) sebelum melakukan proses perhitungan (pengetahuan
prosedural). Pengetahuan kondisional ini jadinya merupakan hal yang penting
dimiliki siswa, karena menentukan penggunaan konsep dan prosedur yang
tepat. Terkadang siswa mengetahui fakta dan dapat melakukan satu prosedur
pemecahan masalah tertentu, namun sayangnya mengaplikasikannya pada
waktu dan tempat yang kurang tepat.

Tokoh-tokoh yang Mengemukakan Teori Belajar Kognitif


1. Teori Belajar Kognitif menurut Piaget
Dalam teorinya, Piaget memandang bahwa proses berpikir sebagai
aktivitas gradual dari fungsi intelektual dari konkret menuju abstrak. Piaget
adalah ahli psikolog developmentat karena penelitiannya mengenai tahap tahap
perkembangan pribadi serta perubahan umur yang mempengaruhi kemampuan
belajar individu. Menurut Piaget, pertumbuhan kapasitas mental memberikan
kemampuan-kemapuan mental yang sebelumnya tidak ada. Pertumbuhan
intelektuan adalah tidak kuantitatif, melainkan kualitatif. Dengan kata lain,
daya berpikir atau kekuatan mental anak yang berbeda usia akan berbeda pula
secara kualitatif. Menurut Suhaidi Jean Piaget mengklasifikasikan
perkembangan kognitif anak menjadi empat tahap, antara lain :
a. Tahap sensory – motor, yaitu perkembangan ranah kognitif yang terjadi
pada usia 0-2 tahun, Tahap ini diidentikkan dengan kegiatan motorik dan
persepsi yang masih sederhana. Ciri-ciri tahap sensorimotor :
1) Didasarkan tindakan praktis.
2) Inteligensi bersifat aksi, bukan refleksi.
3) Menyangkut jarak yang pendek antara subjek dan objek.
4) Mengenai periode sensorimotor
5) Umur hanyalah pendekatan. Periode-periode tergantung pd banyak
faktor: lingkungan sosial dan kematangan fisik.
6) Urutan periode tetap.
7) Perkembangan gradual dan merupakan proses yang kontinu.

Dalam dua tahun pertama kehidupan bayi ini, dia dapat sedikit
memahami lingkungannya dengan jalan melihat, meraba atau memegang,
mengecap, mencium dan menggerakan. Dengan kata lain mereka
mengandalkan kemampuan sensorik serta motoriknya. Beberapa
kemampuan kognitif yang penting muncul pada saat ini. Anak tersebut
mengetahui bahwa perilaku yang tertentu menimbulkan akibat tertentu pula
bagi dirinya. Misalnya dengan menendang-nendang dia tahu bahwa
selimutnya akan bergeser darinya.
b. Tahap Pra-operasional ( kurang lebih umur 2 tahun hingga 7 tahun)
Dalam tahap ini sangat menonjol sekali kecenderungan anak-anak
itu untuk selalu mengandalkan dirinya pada persepsinya mengenai realitas.
Dengan adanya perkembangan bahasa dan ingatan anakpun mampu
mengingat banyak hal tentang lingkungannya. Intelek anak dibatasi oleh
egosentrisnya yaitu ia tidak menyadari orang lain mempunyai pandangan
yang berbeda dengannya. (benda padat tenggelam). Tahap ini diidentikkan
dengan mulai digunakannya symbol atau bahasa tanda, dan telah dapat
memperoleh pengetahuan berdasarkan pada kesan yang agak abstrak.
Kemajuan pemikiran Praoperasional menurut Piaget:
1) Fungsi simbolis (Symbolic function): kemampuan anak menggunakan
representasi mental (kata-kata, angka, atau gambar). Anak dapat
membayangkan bahwa benda atau orang memiliki properti-properti
selain dari sebenarnya mereka miliki. Contoh: Romi berpura-pura bahwa
sepotong pisang adalah sebuah penyedot debu yang “menderu” di atas
meja makan.
2) Pemanahaman identitas: kemampuan anak menyadari bahwa perubahan
artifisial tidak akan mengubah sifat suatu hal. Contoh: Toni tahu bahwa
meskipun gurunya berpakaian seorang bajak laut, di balik kostum itu
gurunya tetap menjadi seorang guru bukan bajak laut.
3) Pemahaman sebab-akibat (transduction): kemampuan anak secara mental
untuk mengkaitkan fenomena partikular, terlepas dari atau ada atau
tidaknya sebab-akibat yang logis. Contoh: ketika melihat ada bola yang
menggelinding dari balik dinding, Rafi mencari orang yang menendang
bola tersebut dibalik dinding.
4) Pemahaman terhadap angka: Kemampuan anak untuk dapat menghitung
dan menangani kuantitas. Contoh: Lisa membagi beberapa permen
dengan temannya, menghitung untuk memastikan bahwa masing-masing
temannya mendapatkan jumlah yang sama.
5) Kemampuan mengklasifikasikan: kemampuan anak untuk
mengorganisasikan benda-benda, orang, dan kejadian ke dalam kategori
yang bermakna. Contoh: Rosa memilah-milah biji cemara yang ia
kumpulkan ketika berjalan-jalan sesuai dengan ukurannya yang besar
atau kecil.
6) Empati: Kemampuan anak utuk mulai lebih bisa membayangkan apa
yang dirasakan oleh orang lain. Contoh: Emi berusaha menghibur
temannya ketika ia melihat temnnya itu sedang sedih.
7) Teori tentang pikiran: kemampuan anak untu menyadari aktivitas mental
dan fungi dari pikiran. Contoh: Caca ingin menyimpan kue untuk dirinya
sendiri sehingga ia menyembunyikan kuenya dari kakanya di kotak pasta.
Ia tahu bahwa kuenya akan aman karena kakanya tidak akan mencari kue
di tempat di mana ia tidak mengharapkan akan menemukan kue.

c. Tahap Operasional Konkrit (kurang lebih 7 sampai 11 tahun)


Dalam tahap ini anak-anak sudah mengembangkan pikiran logis.
Dalam upaya mengerti tentang alam sekelilingnya mereka tidak terlalu
menggantungkan diri pada informasi yang datang dari pancaindra. Anak-
anak yang sudah mampu berpikir secara operasi konkrit sudah menguasai
sebuah pelajaran yang penting yaitu bahwa ciri yang ditangkap oleh
pancaindra seperti besar dan bentuk sesuatu, dapat saja berbeda tanpa harus
mempengaruhi misalnya kuantitas. Anak-anak sering kali dapat mengikuti
logika atau penalaran, tetapi jarang mengetahui bila membuat kesalahan.
(tidak belajar ujiannya jelek)
d. Tahap Operasional Formal (kurang lebih umur 11 tahun sampai dewasa)
Selama tahap ini anak sudah mampu berpikir abstrak yaitu berpikir
mengenai gagasan. Anak dengan operasi formal ini sudah dapat memikirkan
beberapa alternatif pemecahan masalah. Mereka dapat mengembangkan
hukum-hukum yang berlaku umum dan pertimbangan ilmiah. Pemikirannya
tidak jauh karena selalu terikat kepada hal-hal yang besifat konkrit, mereka
dapat membuat hipotesis dan membuat kaidah mengenai hal-hal yang
bersifat abstrak. (korupsi tidak sesuai dengan norma-norma dmasyarakat,
sosiologi)

2. Teori Belajar Kognitif Menurut Jean Piagiet


Menurut Jean Piagiet proses belajar sebenarnya terdiri dari tiga tahapan,
yaitu :
a. Asimilasi yaitu proses penyatuan (pengintegrasian) informasi baru ke
struktur kognitif yang sudah ada dalam benak siswa. Contoh, bagi siswa
yang sudah mengetahui prinsip penjumlahan, jika gurunya memperkenalkan
prinsip perkalian, maka proses pengintegrasian antara prinsip penjumlahan
(yang sudah ada dalam benak siswa), dengan prinsip perkalian (sebagai
informasi baru) itu yang disebut asimilasi.
b. Akomodasi yaitu penyesuaian struktur kognitif ke dalam situasi yang baru.
Contoh, jika siswa diberi soal perkalian, maka berarti pemakaian (aplikasi)
prinsip perkalian tersebut dalam situasi yang baru dan spesifik itu yang
disebut akomodasi.
c. Equilibrasi (penyeimbangan) yaitu penyesuaian berkesinambungan antara
asimilasi dan akomodasi. Contoh, agar siswa tersebut dapat terus
berkembang dan menambah ilmunya, maka yang bersangkutan menjaga
stabilitas mental dalam dirinya yang memerlukan proses penyeimbangan
antara “dunia dalam” dan “dunia luar”.
Piaget juga mengemukakan bahwa proses belajar harus disesuaikan
dengan tahap perkembangan kognitif yang dilalui siswa. Proses belajar yang
dialami seorang anak berbeda pada tahap satu dengan tahap lainnya yang
secara umum semakin tinggi tingkat kognitif seseorang maka semakin teratur
dan juga semakin abstrak cara berpikirnya. Oleh karena itu guru seharusnya
memahami tahap-tahap perkembangan kognitif anak didiknya serta
memberikan isi, metode, media pembelajaran yang sesuai dengan tahapannya.

3. Teori Belajar Kognitif menurut Bruner


Berdasarkan Drs. Wasty Soemanto (1997:127) dan Drs. Bambang
warsita (2008:71) dimana Jarome Bruner mengusulkana teori yang disebutnya
free discovery learning. Teori ini bertitik tolak pada teori kognitif, yang
menyatakan belajar adalah perubahan persepsi dan pemahaman. Bruner
menekankan bahwa proses belajar akan berjalan dengan baik dan kreatif jika
guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk menemukan suatu konsep,
teori, aturan, atau pemahaman melalui contoh-contoh yang ia jumpai dalam
kehidupan. Bruner meyakini bahwa pembelajaran tersebut bisa muncul dalam
tiga cara atau bentuk, yaitu: enactive, iconic dan simbolic.
a. Tahap enaktif, yaitu suatu tahap pembelajaran sesuatu pengetahuan di
mana pengetahuan itu dipelajari secara aktif, dengan menggunakan benda-
benda kongkret atau menggunakan situasi yang nyata. Contoh : Anak-anak
didik sangat mungkin paham bagaimana cara melakukan lompat tali
(„melakukan‟ kecakapan tersebut), namun tidak terlalu paham bagaimana
menggambarkan aktifitas tersebut dalam kata-kata, bahkan ketika mereka
harus menggambarkan dalam pikiran.
b. Tahap Ikonik, yaitu suatu tahap pembelajaran sesuatu pengetahuan di mana
pegetahuan itu direpresentasikan (diwujudkan) dalam bentuk bayangan
visual (visual imagery), gambar, atau diagram, yang menggambarkan
kegiatan konkret atau situasi konkret yang terdapat pada tahap enaktif
tersebut di atas. Contoh : Anak-anak sangat mungkin mampu menciptakan
gambaran tentang pohon mangga dikebun dalam benak mereka, meskipun
mereka masih kesulitan untuk menjelaskan dalam kata-kata
c. Tahap simbolik, yaitu suatu tahap pembelajaran di mana pengetahuan itu
direpresentasikan dalam bentuk simbol-simbol abstrak (Abstract symbols
yaitu simbol-simbol arbiter yang dipakai berdasarkan kesepakatan orang-
orang dalam bidang yang bersangkutan), baik simbol-simbol verbal
(Misalnya huruf-huruf, kata-kata, kalimat-kalimat) lambang-lambang
matematika, maupun lambang-lambang abstrak lainnya. Contoh :
Menurut Bruner, proses belajar akan berlangsung secara optimal jika
proses pembelajaran diawali dengan tahap enaktif, dan kemudian jika tahap
belajar yang pertama ini telah dirasa cukup, siswa beralih ke kegiatan belajar
tahap kedua, yaitu tahap belajar dengan menggunakan modus representasi
ikonik, dan selanjutnya, kegiatan belajar itu diteruskan dengan kegiatan belajar
tahap ketiga yaitu tahap belajar dengan menggunakan modus representasi
simbolik. Sebagai contoh :
Dalam mempelajari penjumlahan dua bilangan cacah, pembelajaran
akan terjadi secara optimal jika mula-mula siswa mempelajari hal itu dengan
menggunakan benda-benda konkret, misalnya menggabungkan 3 kelereng
dengan 2 kelereng dan kemudian menghitung banyaknya kelereng semuanya.
Kemudian kegiatan belajar digunakan dengan menggunakan gambar atau
diagram yang mewakili 3 kelereng dan 2 kelereng yang digabungkan tersebut
(dan kemudian dihitung banyaknya kelereng semuanya, dengan menggunakan
gambar atau diagram tersebut). Pada tahap yang kedua ini bisa juga siswa
melakukan penjumlahan itu dengan menggunakan pembayangan visual (visual
imagery) dari kelereng-kelereng tersebut. Pada tahap berikutnya, siswa
melakukan penjumlahan kedua bilangan itu dengan menggunakan lambang-
lambang bilangan yaitu 3 + 2 = 5 (dalam Suwarsono,2002;27).
Dalam proses pembelajaran diperlukannya suatu model agar
mempermudah dalam penyampaian materi kepada siswa dan dalam proses
pembelajaran nya lebih menyenangkan dan membawa siswa berfikir kritis dan
aktif. Maka diberikan suatu Model Pembelajaran Discovery (Penemuan) yang
bertujuan untuk membuat siswa lebih berfikir kritis dan mendapatkan hasil
belajar yang lebih baik.
Definisi dari model pembelajaran discovery (penemuan), bila ditinjau
dari katanya,”discover” berarti menemukan dan “discovery” adalah penemuan.
Robert B menyatakan bahwa discovery adalah proses mental dimana
anak/individu mengasimilasi konsep dan prinsip. (Abu Ahmadi dan Joko Tri
Prasetya 2005:76). Dengan demikian pembelajaran discovery merupakan suatu
pembelajaran yang melibatkan siswa dalam proses kegiatan mental melalui
tukar pendapat, dengan berdiskusi, membaca sendiri dan mencoba sendiri, agar
anak dapat belajar sendiri.
Pembelajaran discovery itu merupakan model dari Jerome Bruner
seperti menurut Jumianto. Model dari Jerome Bruner yang dikenal dengan
nama belajar penemuan (discovery learning). Bruner menganggap bahwa
belajar penemuan sesuai dengan pencarian pengetahuan secara aktif oleh
manusia dan dengan sendirinya memberikan hasil yang paling baik. Bruner
menyarankan agar siswa hendaknya belajar melalui berpartisipasi aktif dengan
konsep-konsep dan prinsip-prinsip agar mereka dianjurkan untuk memperoleh
pengalaman dan melakukan eksperimen-eksperimen yang mengizinkan mereka
untuk menemukan konsep dan prinsip itu sendiri.
Sedangkan menurut pendapat yang lain belajar penemuan (Discovery
learning) dari Jerome Brunner adalah model pengajaran yang dikembangkan
berdasarkan kepada pandangan kognitif tentang pembelajaran dan
konstruktivisme. Siswa belajar melalui keterlibatan aktif dengan konsep-
konsep dan prinsip-prinsip, dan guru mendorong siswa untuk mendapatkan
pengalaman dengan melakukan kegiatan yang memungkinkan mereka
menemukan konsep dan prinsip untuk diri mereka sendiri
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa jika seseorang siswa
dikatakan melakukan discovery maka siswa terlihat menggunakan proses
mentalnya dalam usaha menemukan hal baru yang belum diketahui
sebelumnya, tetapi gurunya sendiri sudah tahu apa yang akan diketahui
sebelumnya, hal baru disini misalkan ingin menemukan konsep-konsep atau
prinsip-prinsip, kemudian maksud dari hal baru tersebut merupakan hal baru
untuk siswa yang sedang melakukan penemuan (discovery) saja. Proses-proses
mental yang dilakukan, misalnya mengamati, menggolongkan, mengukur,
menduga dan mengambil kesimpulan.
Di dalam discovery learning, tidak semua yang harus dipelajari
dipresentasikan dalam bentuk yang final, beberapa bagian harus dicari, di
identifikasikan oleh pelajar sendiri. Kemudian informasi itu di integrasikan ke
dalam struktur kognitif yang baru. ( struktur kognitif adalah perangkat fakta-
fakta, konsep–konsep, generalisasi-generalisasi yang terorganisasi yang telah
dipelajari dan dikuasai seseorang). (Slameto,2003:24)
Model pembelajaran penemuan di bedakan menjadi 2, yaitu penemuan
terbimbing atau terpimpin dan penemuan tidak terbimbing. Dalam model
penemuan tidak terbimbing, guru hanya berfungsi sebagai pengawas, tidak
membimbing dan tidak menyelesaikan masalah bagi siswa, siswa benar-benar
di tuntut menyelesaikan masalah sendiri, Penemuan tidak terbimbing ini sulit
dilaksanakan pada siswa tingkat dasar, tingkat menengah, tingkat atas ataupun
perguruan tinggi. Pada umumnya siswa masih memerlukan bimbingan, arahan
selangkah demi selangkah untuk memahami hal-hal baru.
Penemuan (discovery) sering dipertukarkan pemakaiannya dengan
penyelidikan (inquiry) dan pemecahan masalah (problem solving), beberapa
ahli membedakan antara penyelidikan (inquiry) dengan penemuan(discovery),
sedangkan ahli-ahli lain menempatkan penyelidikan sebagai bagian dari
penemuan, biasa disebut dengan inquiry-discovery, seperti di ungkapkan oleh
Abu Ahmadi dan Joko Tri Prasetya (2005:76) yaitu pada inquiry, proses-
prosesnya lebih luas dari pada discovery, yaitu mengandung proses-proses
mental yang tingkatan nya lebih tinggi daripada discovery. Proses mental yang
terdapat pada inquiry ini diantaranya adalah: merumuskan problema, membuat
hipotesis, mendesain eksperimen, melakukan eksperimen, mengumpulkan,
menganalisis data, dan menarik kesimpulan. Dilihat dari langkah-langkah
dalam pembelajaran inquiry, discovery learning juga mempunyai langkah-
langkah sebagai berikut:
a. Simulation. Guru mulai bertanya dengan mengajukan persoalan atau
menyuruh anak didik membaca atau mendengarkan uraian yang memuat
permasalahan.
b. Problem Statemen. Anak didik diberi kesempatan mengidentifikasi masalah.
c. Data collection. Untuk membuktikan benar atau salah hipotesis ini, anak
didik diberi kesempatan untuk mengumpulkan berbagai informasi yang
relevan, mengamati objek, melakukan uji coba sendiri, dan lain-lain.
d. Data processing. Semua hasil bacaan observasi dan sebagainya kemudian
diolah, diklasifikasikan, bila perlu dihitung dengan cara tertentu serta
ditafsirkan pada tingkat kepercayaan tertentu.
e. Verification atau pembuktian. Berdasarkan hasil pengolahan data tafsiran
atau informasi yang ada, hipotesis yang telah dirumuskan terdahulu itu
kemudian dicek, apakah terbukti atau tidak.
f. Generalization. Tahap selanjutnya berdasarkan hasil veripikasi tadi, anak
didik belajar menarik kesimpulan atau generalisasi tertentu. (Djamarah dan
Zein, 2006:20)

Jika dikorelasikan dengan aplikasi pembelajaran, Discoveri learningnya


Bruner dapar dikemukakan sebagai berikut:
a. Belajar merupakan kecenderungan dalam diri manusia, yaitu Self-curiousity
(keingintahuan) untuk mengadakan petualangan pengalaman.
b. Belajar penemuan terjadi karena sifat mental manusia mengubah struktur
yang ada. Sifat mental tersebut selalu mengalir untuk mengisi berbagai
kemungkinan pengenalan.
c. Kualitas belajar penemuan diwarnai modus imperatif kesiapan dan
kemampuan secara enaktif, ekonik, dan simbolik.
d. Penerapan belajar penemuan hanya merupakan garis besar tujuan
instruksional sebagai arah informatif.
e. Kreatifitas metaforik dan creative conditioning yang bebas dan bertanggung
jawab memungkinkan kemajuan.
Beberapa kekurangan dan kelebihan menggunakan model pembelajaran
discovery Bruner :
a. Kelemahan :
1) Sangat menyita waktu, lebih-lebih jika dilakukan pada siswa yang
berkemampuan rendah.
2) Tidak dapat di jamin bahwa tetap bersemangat untuk menemukan.
3) Tidak setiap guru mempunyai kemampuan mengajar menggunakan
metode penemuan.
4) Tidak setiap topik matematika dapat diajarkan dengan metode penemuan.
5) Kurang efektif jika dilakukan untuk kelas dengan jumlah siswa besar,
karena guru akan kesulitan membimbing., kelas akan ribut sehingga
ketertiban kelas sulit di jaga.
b. Kelebihan
1) Siswa aktif dalam kegiatan belajar, sebab ia berpikir dan menggunakan
kemampuan untuk menemukan hasil akhir.
2) Siswa memahami benar bahan pelajaran, sebab mengalami sendiri proses
menemukannya.
3) Sesuatu yang diperoleh dengan cara ini lebih lama diingat.
4) Menemukan sendiri menimbulkan rasa puas. Kepuasan batin ini
mendorong ingin melakukan penemuan lagi sehingga minat belajar nya
meningkat.
5) Siswa yang memperoleh pengetahuan dengan metode penemuan akan
lebih mampu mentransfer pengetahuannya ke berbagai konteks.
6) Metode ini melatih siswa untuk lebih banyak belajar sendiri.

4. Teori Belajar Kognitif menurut Ausubel


Teori pembelajaran Ausubel merupakan salah satu dari sekian
banyaknya teori pembelajaran yang menjadi dasar dalam cooperative learning.
David Ausubel adalah seorang ahli psikologi pendidikan. Menurut Ausubel
bahan subjek yang dipelajari siswa mestilah “bermakna” (meaningfull).
Pembelajaran bermakna merupakan suatu proses mengaitkan informasi baru
pada konsep-konsep relevan yang terdapat dalam struktur kognitif seseorang.
Struktur kognitif ialah fakta-fakta, konsep-konsep, dan generalisasi-
generalisasi yang telah dipelajari dan diingat siswa. Pembelajaran bermakna
adalah suatu proses pembelajaran di mana informasi baru dihubungkan dengan
struktur pengertian yang sudah dimiliki seseorang yang sedang melalui
pembelajaran.
Pembelajaran bermakna terjadi apabila siswa boleh menghubungkan
fenomena baru ke dalam struktur pengetahuan mereka. Artinya, bahan subjek
itu mesti sesuai dengan keterampilan siswa dan mesti relevan dengan struktur
kognitif yang dimiliki siswa. Oleh karena itu, subjek mesti dikaitkan dengan
konsep-konsep yang sudah dimiliki para siswa, sehingga konsep-konsep baru
tersebut benar-benar terserap olehnya. Dengan demikian, faktor intelektual-
emosional siswa terlibat dalam kegiatan pembelajaran.
Cara Pembelajaran Bermakna dengan Menggunakan Peta Konsep :
a. Pilih suatu bacaan dari buku pelajaran
b. Tentukan konsep-konsep yang relevan
c. Urutkan konsep-konsep dari yang paling inklusif ke yang paling tidak
inklusif atau contoh-contoh.
d. Susun konsep-konsep tersebut di atas kertas mulai dari konsep yang paling
inklusif di puncak konsep ke konsep yang tidak inklusif di bawah.
e. Hubungkan konsep-konsep ini dengan kata-kata penghubung sehingga
menjadi sebuah peta konsep.
Faktor-faktor utama yang mempengaruhi belajar bermakna menurut
Ausubel adalah struktur kognitif yang ada, stabilitas, dan kejelasan
pengetahuan dalam suatu bidang studi tertentu dan pada waktu tertentu. Sifat-
sifat struktur kognitif menentukan validitas dan kejelasan arti-arti yang timbul
waktu informasi baru masuk ke dalam struktur kognitif itu, demikian pula sifat
proses interaksi yang terjadi. Jika struktur kognitif itu stabil, dan diatur dengan
baik, maka arti-arti yang sahih dan jelas atau tidak meragukan akan timbul dan
cenderung bertahan. Tetapi sebaliknya jika struktur kognitif itu tidak stabil,
meragukan, dan tidak teratur, maka struktur kognitif itu cenderung
menghambat relajar.
Menurut Ausubel, seseorang belajar dengan mengasosiasikan fenomena
baru ke dalam sekema yang telah ia punya. Dalam proses itu seseorang dapat
memperkembangkan skema yang ada atau dapat mengubahnya. Dalam proses
belajar ini siswa mengonstruksi apa yang ia pelajari sendiri. Teori Belajar
bermakna Ausuble ini sangat dekat dengan konstruktivesme. Keduanya
menekankan pentingnya pelajar mengasosiasikan pengalaman, fenomena, dan
fakta-fakta baru kedalam sistem pengertian yang telah dipunyai. Keduanya
menekankan pentingnya asimilasi pengalaman baru kedalam konsep atau
pengertian yang sudah dipunyai siswa. Keduanya mengandaikan bahwa dalam
proses belajar itu siswa aktif.
Ausubel berpendapat bahwa guru harus dapat mengembangkan potensi
kognitif siswa melalui proses belajar yang bermakna. Sama seperti Bruner dan
Gagne, Ausubel beranggapan bahwa aktivitas belajar siswa, terutama mereka
yang berada di tingkat pendidikan dasar- akan bermanfaat kalau mereka
banyak dilibatkan dalam kegiatan langsung. Namun untuk siswa pada tingkat
pendidikan lebih tinggi, maka kegiatan langsung akan menyita banyak waktu.
Untuk mereka, menurut Ausubel, lebih efektif kalau guru menggunakan
penjelasan, peta konsep, demonstrasi, diagram, dan ilustrasi. Inti dari teori
belajar bermakna Ausubel adalah proses belajar akan mendatangkan hasil atau
bermakna kalau guru dalam menyajikan materi pelajaran yang baru dapat
menghubungkannya dengan konsep yang relevan yang sudah ada dalam
struktur kognisi siswa.
Langkah-langkah yang biasanya dilakukan guru untuk menerapkan
belajar bermakna Ausubel adalah sebagai berikut: Advance organizer,
Progressive differensial, integrative reconciliation, dan consolidation. Empat
type belajar menurut Ausubel , yaitu:
a. Belajar dengan penemuan yang bermakna yaitu mengaitkan pengetahuan
yang telah dimilikinya dengan materi pelajaran yang dipelajari itu. Atau
sebaliknya, siswa terlebih dahulu menemukan pengetahuannya dari apa
yang ia pelajari kemudian pengetahuan baru tersebut ia kaitkan dengan
pengetahuan yang sudah ada. (langsung berhadapan dengan bendanya,
konkret, siswa langsung menemukan maksud dalam pembelajaran).
b. Belajar dengan penemuan yang tidak bermakna yaitu pelajaran yang
dipelajari ditemukan sendiri oleh siswa tanpa mengaitkan pengetahuan yang
telah dimilikinya, kemudian dia hafalkan.
c. Belajar menerima (ekspositori) yang bermakna yaitu materi pelajaran yang
telah tersusun secara logis disampaikan kepada siswa sampai bentuk akhir,
kemudian pengetahuan yang baru ia peroleh itu dikaitkan dengan
pengetahuan lain yang telah dimiliki.
d. Belajar menerima (ekspositori) yang tidak bermakna yaitu materi pelajaran
yang telah tersusun secara logis disampaikan kepada siswa sampai bentuk
akhir , kemudian pengetahuan yang baru ia peroleh itu dihafalkan tanpa
mengaitkannya dengan pengetahuan lain yang telah ia miliki.

Langkah-langkah pembelajaran menurut Ausubel :


a. Menentukan tujuan pembeajaran
b. Melakukan identifikasi karakteristik siswa
c. Memilih materi pelajaran yang sesuai dengan karakteristik siswa dan
mengaturnya dalam bentuk konsep-konsep.
d. Menentukan topik-topik dan menampillkannya dalam bentuk advance
orgainizer yang akan dipelajari siswa.
e. Mempelajari konsep-konsep inti tersebut, dan menarapakannya dalam
bentuk nyata atau konkret.
f. Melakukan penilaian proses dan hasil belajar siswa.

Kelebihan dan Kekurangan Teori Belajar kognitif


1. Kelebihan Teori Belajar Kognitif
a. Menjadikan siswa lebih kreatif dan mandiri.
Dengan teori belajar kognitif siswa dituntut untuk lebih kreatif
karena mereka tidak hanya merespon dan menerima rangsangan saja, tapi
memproses informasi yang diperoleh dan berfikir untuk dapat menemukan
ide-ide dan mengembangkan pengetahuan. Sedangkan membuat siswa lebih
mandiri contohnya pada saat siswa mengerjakan soal siswa bisa
mengerjakan sendiri karena pada saat belajar siswa menggunakan fikiranya
sendiri untuk mengasah daya ingatnya, tanpa bergantung dengan orang lain
dengan.
b. Membantu siswa memahami bahan belajar secara lebih mudah
Teori belajar kognitif membantu siswa memahami bahan ajar lebih
mudah karena siswa sebagai peserta didik merupakan peserta aktif didalam
proses pembelajaran yang berpusat pada cara peserta didik mengingat,
memperoleh kembali dan menyimpan informasi dalam ingatannya. Serta
Menekankan pada pola pikir peserta didik sehingga bahan ajar yang ada
lebih mudah dipahami.
2. Kelemahan Teori Belajar kognitif
a. Teori tidak menyeluruh untuk semua tingkat pendidikan.
b. Sulit di praktikkan khususnya di tingkat lanjut.
c. Beberapa prinsip seperti intelegensi sulit dipahami dan pemahamannya
masih belum tuntas.

Implementasi Teori Belajar Kognitif dalam Pembelajaran


Penerapan sesungguhnya ada dalam proses belajar, baik proses belajar
dalam kelas ataupun diluar. Terpenting dalam penerapan teori kognitif ini dapat
bermakna dan munuju pemahaman sesuai kemampuan individu dalam rentang
waktu yang berbeda. Kegiatan pembelajarannya mengikuti prinsip-prisip sebagai
berikut :
1. Siswa bukan sebagai orang dewasa yang mudah dalam proses berpikirnya.
Mereka mengalami perkembangan kognitif melalui tahap-tahap tertentu.
2. Anak usia pra sekolah dan awal sekolah dasar akan dapat belajar dengan baik,
terutama jika menggunakan benda-benda konkrit. Benda nyata sebagai objek
belajarnya sehingga memudahkan menuju pemahaman. Misalnya mengenalkan
tumbuhan juga sebagai mahluk hidup, diharapan siswa dapat melihat wujud
tumbuhan didepannya. Tentunya belajar bukan hanya dalam kelas. Siswa bisa
belajar diluar dengan bimbingan guru yang mengajar.
3. Keterlibatan siswa secara aktif dalam belajar amat dipentingkan karena hanya
dengan mengaktifkan siswa maka proses asimilasi dan akomodasi pengetahuan
dan pengalaman dapat terjadi dengan baik.
4. Untuk menarik minat dan meningkatkan retensi belajar perlu mengaitkan
pemahaman atau informasi baru dengan struktur kognitif yang telah dimiliki
siswa.
5. Pemahaman dan resistensi akan meningkat jika materi pelajaran disusun
dengan menggunakan pola atau logika tertentu, dari sederhana ke kompleks.
6. Pemahaman dan retensi siswa akan lebih bermakna dari pada belajar
menghafal. Agar bermakna informasi yang ada harus disesuaikan dan
dihubungkan dengan pengetahuan yang telah dimiliki siswa, tugas guru adalah
menunjukan hubungan antara apa yang sedang dipelajari dengan apa yang telah
diketahui siswa.
7. Adanya perbedaan individual pada diri siswa perlu diperhatikan, karena faktor
ini sangat mempengaruhi proses dan keberhasilan belajar siswa. Perbedaan
tersebut misalnya motivasi, persepsi, kemampuan berfikir, pengetahuan awal,
dan sebagainya.

Implikasi teori perkembangan kognitif Piaget dalam pembelajaran


1. Bahasa dan cara berfikir anak berbeda dengan orang dewasa. Oleh karena itu
guru mengajar dengan menggunakan bahasa yang sesuai dengan cara berfikir
anak.
2. Anak-anak akan belajar lebih baik apabila dapat menghadapi lingkungan
dengan baik. Guru harus membantu anak agar dapat berinteraksi dengan
lingkungan sebaik-baiknya.
3. Bahan yang harus dipelajari anak hendaknya dirasakan baru tetapi tidak asing.
4. Berikan peluang agar anak belajar sesuai tahap perkembangannya.
5. Di dalam kelas, anak-anak hendaknya diberi peluang untuk saling berbicara
dan diskusi dengan teman-temanya.

C. Teori Belajar Construktivism


Konstruktivistik dalam merupakan metode pembelajaran yang lebih
menekankan pada proses dan kebebasan dalam menggali pengetahuan serta upaya
dalam mengkonstruksi pengalaman atau dengan kata lain teori ini memberikan
keaktifan terhadap siswa untuk belajar menemukan sendiri kompetensi,
pengetahuan atau teknologi, dan hal lain yang diperlukan guna mengembangkan
dirinya sendiri. Dalam proses belajarnya pun, memberi kesempatan kepada siswa
untuk mengemukakan gagasannya dengan bahasa sendiri, untuk berfikir tentang
pengalamannya sehingga siswa menjadi lebih kreatif dan imajinatif serta dapat
menciptakan lingkungan belajar yang kondusif.
Pembentukan pengetahuan menurut konstruktivistik memandang subyek
untuk aktif menciptakan struktur-struktur kognitif dalam interaksinya dengan
lingkungan. Dengan bantuan struktur kognitifnya ini, subyek menyusun
pengertian realitasnya. Interaksi kognitif akan terjadi sejauh realitas tersebut
disusun melalui struktur kognitif yang diciptakan oleh subyek itu sendiri. Struktur
kognitif senantiasa harus diubah dan disesuaikan berdasarkan tuntutan lingkungan
dan organisme yang sedang berubah. Proses penyesuaian diri terjadi secara terus
menerus melalui proses rekonstruksi.
Adapun tujuan dari teori ini dalah sebagai berikut:
1. Adanya motivasi untuk siswa bahwa belajar adalah tanggung jawab siswa itu
sendiri.
2. Mengembangkan kemampuan siswa untuk mengajukan pertanyaan dan
mencari sendiri pertanyaannya.
3. Membantu siswa untuk mengembangkan pengertian dan pemahaman suatu
konsep secara lengkap.
4. Mengembangkan kemampuan siswa untuk menjadi pemikir yang mandiri.
5. Lebih menekankan pada proses belajar bagaimana belajar itu.

Hakikat pembelajaran konstruktivistik oleh Brooks & Brooks dalam


Degeng mengatakan bahwa pengetahuan adalah non-objective, bersifat temporer,
selalu berubah, dan tidak menentu. Belajar dilihat sebagai penyusunan
pengetahuan dari pengalaman konkrit, aktivitas kolaboratif, dan refleksi serta
interpretasi. Mengajar berarti menata lingkungan agar si belajar termotivasi dalam
menggali makna serta menghargai ketidakmenentuan. Atas dasar ini maka si
belajar akan memiliki pemahaman yang berbeda terhadap pengetahuan tergentung
pada pengalamannya, dan perspektif yang dipakai dalam menginterpretasikannya.
Teori ini lebih menekankan perkembangan konsep dan pengertian yang
mendalam, pengetahuan sebagai konstruksi aktif yang dibuat siswa. Jika
seseorang tidak aktif membangun pengetahuannya, meskipun usianya tua tetap
saja tidak akan berkembang pengetahuannya. Suatu pengetahuan dianggap benar
bila pengetahuan itu berguna untuk menghadapi dan memecahkan persoalan atau
fenomena yang sesuai. Pengetahuan tidak bisa ditransfer begitu saja, melainkan
harus diinterpretasikan sendiri oleh masing-masing orang. Pengetahuan juga
bukan sesuatu yang sudah ada, melainkan suatu proses yang berkembang terus-
menerus. Dalam proses ini keaktifan seseorang sangat menentukan
perrkembangan pengetahuannya.
Unsur-unsur penting dalam teori konstruktivistik:
1. Memperhatikan dan memanfaatkan pengetahuan awal siswa
2. Pengalaman belajar yang autentik dan bermakna
3. Adanya lingkungan social yang kondusif
4. Adanya dorongan agar siswa mandiri
5. Adanya usaha untuk mengenalkan siswa tentang dunia ilmiah
Secara garis besar, prinsip-prinsip teori konstruktivistik adalah sebagai berikut:
1. Pengetahuan dibangun oleh siswa sendiri.
2. Pengetahuan tidak dapat dipindahkan dari guru kemurid, kecuali hanya dengan
keaktifan murid sendiri untuk menalar.
3. Murid aktif mengkonstruksi secara terus menerus, sehingga selalu terjadi
perubahan konsep ilmiah.
4. Guru sekedar membantu menyediakan saran dan situasi agar proses konstruksi
berjalan lancar.
5. Menghadapi masalah yang relevan dengan siswa.
6. Struktur pembelajaran seputar konsep utama pentingnya sebuah pernyataan.
7. Mencari dan menilai pendapat siswa.
8. Menyesuaikan kurikulum untuk menanggapi anggapan siswa.

Proses belajar konstrutivistik dapat dilihat dari berbagai aspek, yaitu:


1. Proses belajar konstruktivistik
Esensi dari teori konstruktivistik adalah siswa harus menemukan dan
mentransformasikan suatu informasi kompleks ke situasi lain, dan apabila
dikehendaki, informasi itu menjadi milik mereka sendiri. Sehingga dalam
proses belajar, siswa membangun sendiri pengetahuan mereka dengan
keterlibatan aktif dalam kegiatan belajar mengajar.
2. Peranan siswa
Dalam pembelajaran konstruktivistik, siswa menjadi pusat kegiatan dan
guru sebagai fasiitator. Karena belajar merupakan suatu proses pemaknaan atau
pembentukan pengetahuan dari pengalaman secara konkrit, aktivitas
kolaboratif, refleksi serta interpretasi yang harus dilukukan oleh siswa sendiri.
3. Peranan guru
Guru atau pendidik berperan sebagai fasilitator artinya membantu siswa
untuk membentuk pengetahuannya sendiri dan proses pengkonstruksian
pengetahuan agar berjalan lancar. Guru tidak mentransferkan pengetahuan
yang dimilikinya pada siswa tetapi guru dituntut untuk memahami jalan pikiran
atau cara pandang setiap siswa dalam belajar.
4. Sarana belajar
Sarana belajar dibutuhkan siswa untuk mengembangkan pengetahuan
yang telah diperoleh agar mendapatkan pengetahuan yang maksimal.
5. Evaluasi hasil belajar
Evaluasi merupakan bagian utuh dari belajar yang menekankan pada
ketrampilan proses baik individu maupun kelompok. Dengan cara ini, maka
kita dapat mengetahui seberapa besar suatu pengetahuan telah dipahami oleh
siswa
Tokoh-tokoh Teori Belajar Konstruktivisme
1. Driver dan Bell
Mereka berdua berpendapat bahwa karakteristik teori belajar
Konstruktivisme adalah sebagai berkut:
a. Peserta didik dipandang sebagai pasif, tetapi memiliki tujuan;
b. Keterlibatan peserta didik seoptimal mungkin dalam pembelajaran;
c. Pengetahuan tidak datang dari luar tetapi dikonstruksi oleh peserta didiknya
sendiri;
d. Pembelajaran bukan berupa transfer pengetahuan, tetapi melibatkan
pengendalian dan rekaya kondisi dan situasi kelas
e. Kurikulum bukanlah sekedar dipelajari, melainkan seperangkat sumber yang
harus dikembangkan.

2. Teori Belajar Konstruktivisme Jean Piaget


Piaget yang dikenal sebagai konstruktivis pertama (Dahar, 1989: 159)
menegaskan bahwa penekanan teori kontruktivisme pada proses untuk
menemukan teori atau pengetahuan yang dibangun dari realitas lapangan.
Peran guru dalam pembelajaran menurut teori kontruktivisme adalah sebagai
fasilitator atau moderator. Pandangan tentang anak dari kalangan
konstruktivistik yang lebih mutakhir yang dikembangkan dari teori belajar
kognitif Piaget menyatakan bahwa ilmu pengetahuan dibangun dalam pikiran
seorang anak dengan kegiatan asimilasi dan akomodasi sesuai dengan skemata
yang dimilikinya.
Proses mengkonstruksi, sebagaimana dijelaskan Jean Piaget adalah
sebagai berikut:
a. Skemata. Sekumpulan konsep yang digunakan ketika berinteraksi dengan
lingkungan disebut dengan skemata. Sejak kecil anak sudah memiliki
struktur kognitif yang kemudian dinamakan skema (schema). Skema
terbentuk karena pengalaman. Misalnya, anak senang bermain dengan
kucing dan kelinci yang sama-sama berbulu putih. Berkat keseringannya, ia
dapat menangkap perbedaan keduanya, yaitu bahwa kucing berkaki empat
dan kelinci berkaki dua. Pada akhirnya, berkat pengalaman itulah dalam
struktur kognitif anak terbentuk skema tentang binatang berkaki empat dan
binatang berkaki dua. Semakin dewasa anak, maka semakin sempunalah
skema yang dimilikinya. Proses penyempurnaan sekema dilakukan melalui
proses asimilasi dan akomodasi.
b. Asimilasi. Asimilasi adalah proses kognitif dimana seseorang
mengintegrasikan persepsi, konsep ataupun pengalaman baru ke dalam
skema atau pola yang sudah ada dalam pikirannya. Asimilasi dipandang
sebagai suatu proses kognitif yang menempatkan dan mengklasifikasikan
kejadian atau rangsangan baru dalam skema yang telah ada. Proses asimilasi
ini berjalan terus. Asimilasi tidak akan menyebabkan perubahan/pergantian
skemata melainkan perkembangan skemata. Asimilasi adalah salah satu
proses individu dalam mengadaptasikan dan mengorganisasikan diri dengan
lingkungan baru pengertian orang itu berkembang.
c. Akomodasi. Dalam menghadapi rangsangan atau pengalaman baru
seseorang tidak dapat mengasimilasikan pengalaman yang baru dengan
skemata yang telah dipunyai. Pengalaman yang baru itu bisa jadi sama
sekali tidak cocok dengan skema yang telah ada. Dalam keadaan demikian
orang akan mengadakan akomodasi. Akomodasi tejadi untuk membentuk
skema baru yang cocok dengan rangsangan yang baru atau memodifikasi
skema yang telah ada sehingga cocok dengan rangsangan itu.
d. Keseimbangan. Ekuilibrasi adalah keseimbangan antara asimilasi dan
akomodasi sedangkan diskuilibrasi adalah keadaan dimana tidak
seimbangnya antara proses asimilasi dan akomodasi, ekuilibrasi dapat
membuat seseorang menyatukan pengalaman luar dengan struktur
dalamnya.

3. Teori Belajar Konstruktivisme Vygotsky


Ratumanan (2004:45) mengemukakan bahwa karya Vygotsky
didasarkan pada dua ide utama. Pertama, perkembangan intelektual dapat
dipahami hanya bila ditinjau dari konteks historis dan budaya pengalaman
anak. Kedua, perkembangan bergantung pada sistem-sistem isyarat mengacu
pada simbol-simbol yang diciptakan oleh budaya untuk membantu orang
berfikir, berkomunikasi dan memecahkan masalah, dengan demikian
perkembangan kognitif anak mensyaratkan sistem komunikasi budaya dan
belajar menggunakan sistem-sistem ini untuk menyesuaikan proses-proses
berfikir diri sendiri.
Menurut Slavin (Ratumanan, 2004:49) ada dua implikasi utama teori
Vygotsky dalam pendidikan. Pertama, dikehendakinya setting kelas berbentuk
pembelajaran kooperatif antar kelompok-kelompok siswa dengan kemampuan
yang berbeda, sehingga siswa dapat berinteraksi dalam mengerjakan tugas-
tugas yang sulit dan saling memunculkan strategi-strategi pemecahan masalah
yang efektif di dalam daerah pengembangan terdekat/proksimal masing-
masing. Kedua, pendekatan Vygotsky dalam pembelajaran menekankan
perancahan (scaffolding). Dengan scaffolding, semakin lama siswa semakin
dapat mengambil tanggungjawab untuk pembelajarannya sendiri.
a. Pengelolaan pembelajaran
Interaksi sosial individu dengan lingkungannya sengat
mempengaruhi perkembangan belajar seseorang, sehingga perkembangan
sifat-sifat dan jenis manusia akan dipengaruhi oleh kedua unsur tersebut.
Menurut Vygotsky dalam Slavin (2000), peserta didik melaksanakan
aktivitas belajar melalui interaksi dengan orang dewasa dan teman sejawat
yang mempunyai kemampuan lebih. Interaksi sosial ini memacu
terbentuknya ide baru dan memperkaya perkembangan intelektual peserta
didik.
b. Pemberian bimbingan
Menurut Vygotsky, tujuan belajar akan tercapai dengan belajar
menyelesaikan tugas-tugas yang belum dipelajari tetapi tugas-tugas tersebut
masih berada dalam daerah perkembangan terdekat mereka (Wersch,1985),
yaitu tugas-tugas yang terletak di atas peringkat perkembangannya. Menurut
Vygotsky, pada saat peserta didik melaksanakan aktivitas di dalam daerah
perkembangan terdekat mereka, tugas yang tidak dapat diselesaikan sendiri
akan dapat mereka selesaikan dengan bimbingan atau bantuan orang lain.

4. Tasker
Teori belajar kontruktivisme Tasker menekankan bahwa ada tiga hal
yang harus ada dalam pembelajaran, yaitu sebagai berikut:
a. Peran aktif peserta didik dalam mengkonstruksi pengetahuan secara
bermakna.
b. Kaitan antar ide-ide baru sangat penting dalam pengkonstuksian
c. Mengaitkan antara informasi yang baru diterima dengan gagasan-gagasan
yang dikembangkan

5. Wheatley
Wheatley mendukung pendapat diatas dengan mengajukan dua prinsip
utama dalam pembelajaran dengan teori belajar konstruktivisme, yaitu sebagai
berikut:
a. Pengetahuan tidak dapat diperoleh secara pasif tetapi secara aktif oleh
struktur koqnitif siswa;
b. Fungsi kognisi bersifat adaptif dan membantu pengorganisasian melalui
pengalaman nyata yang dimiliki anak.
Kedua pengertian diatas menekankan bagaimana pentingnya
keterlibatan anak secara aktif dalam proses pengaitan penguasaan sejumlah
gagasan dan pengkonstruksian ilmu pengetahuan melalui lingkungan. Bahkan
secara spesifik, Hudoyo mengatakan bahwa seseorang akan lebih mudah
mempelajari sesuatu bila belajar itu didasari pada apa yang telah diketahui
orang lain. Oleh karena itu untuk mempelajari suatu materi yang baru,
pengalaman belajar yang lalu dari seseorang akan memengaruhi terjadinya
proses belajar tersebut.
6. Hanbury
Hanbury mengemukakan beberapa aspek berlandaskan teori belajar
kontruktivisme ini yang sebagai berikut:
a. Belajar melalui pengkonstruksian informasi dan ide yang dimiliki
b. Pembelajaran menjadi bermakna apabila peserta didik mengerti;
c. Strategi peserta didik lebih bernilai;
d. Peserta didik berkesempatan untuk diskusi dengan sesamanya.

Kelebihan dan Kekurangan Teori Belajar Konstruktivistik.

1. Kelebihan:
a. Pembelajaran konstruktivistik memberikan kesempatan kepada siswa untuk
mengungkapkan gagasan secara eksplisit dengan menggunakan bahasa
siswa sendiri.
b. Pembelajaran konstruktivistik memberi pengalaman yang berhubungan
dengan gagasan yang telah dimiliki siswa sehingga siswa terdorong untuk
membedakan dan memadukan gagasan tentang fenomena yang menantang
siswa.
c. Pembelajaran konstruktivistik memberi siswa kesempatan untuk berpikir
tentang pengalamannya. Ini dapat mendorong siswa berpikir kreatif,
imajinatif, mendorong refleksi tentang model dan teori, mengenalkan
gagasan-gagasan pada saat yang tepat.
d. Pembelajaran konstruktivistik memberi kesempatan kepada siswa untuK
mencoba gagasan baru agar siswa terdorong untuk memperoleh kepercayaan
diri dengan menggunakan berbagai konteks.
e. Pembelajaran konstruktivistik mendorong siswa untuk memikirkan
perubahan gagasan merka setelah menyadari kemajuan mereka serta
memberi kesempatan siswa untuk mengidentifikasi perubahan gagasan
mereka.
f. Pembelajaran konstruktivisme memberikan lingkungan belajar yang
kondusif yang mendukung siswa mengungkapkan gagasan, saling
menyimak, dan menghindari kesan selalu ada satu jawaban yang benar.
2. Kelemahan
a. Siswa mengkonstruksi pengetahuannya sendiri, tidak jarang bahwa hasil
konstruksi siswa tidak cocok dengan hasil konstruksi para ahli sehingga
menyebabkan miskonsepsi.
b. Konstruktivistik menanamkan agar siswa membangun pengetahuannya
sendiri, hal ini pasti membutuhkan waktu yang lama dan setiap siswa
memerlukan penanganan yang berbeda-beda.
c. Situasi dan kondisi tiap sekolah tidak sama, karena tidak semua sekolah
memiliki sarana prasarana yang dapat membantu keaktifan dan kreativitas
siswa.

Aplikasi Teori Konstruktivistik Dalam Pembelajaran

1. Membebaskan siswa dari belenggu kurikulum yang berisi fakta-fakta lepas


yang sudah ditetapkan, dan memberikan kesempatan kepada siswa untuk
mengmbangkan ide-idenya secara lebih bebas.
2. Menempatkan siswa sebagai kekuatan timbulnya interes, untuk membuat
hubungan ide-ide atau gagasan-gagasan, kemudian memformulasikan kembali
ide-ide tersebut, serta membuat kesimpulan-kesimpulan.
3. Guru bersama-sama siswa mengkaji pesan-pesan penting bahwa dunia adalah
kompleks, dimana terjadi bermacam-macam pandangan tentang kebenaran
yang datangnya dari berbagai interpretasi.
4. Guru mengakui bahwa proses belajar serta penilaianya merupakan suatu usaha
yang kompleks, sukar dipahami, tidak teratur, dan tidak mudah dikelola.

Anda mungkin juga menyukai