DISUSUN OLEH :
JURUSAN MATEMATIKA
2019
TEORI-TEORI BELAJAR THORNDIKE, PAVLOV, SKINNER
TEORI THORNDIKE
Sebelum 1930 teori thorndike mencakup jumlah ide yang kurang penting. Konsep
sekunder ini antara lain respoons berganda, set atau sikap, prapotensi elemen.
a. Respons berganda
Multiple response, atau respins yang bervariasi menurut thorndike adalah langkah
pertama dalam semua proses belajar. Respon ini mengacu pada fakta bahwa jika respons
pertama kita tidak memecahkan problem maka kitan akan mencoba respons lain dengan
kata lain menurut thorndike banyak proses belajar bergantung pada fakta bahwa
organisme cenderung tetap aktif smapai tercipta satu respons yang memecahkan problem
yang dihadapinya.
b. Set atau sikap
c. Dengan konsep set atau sikap inilah thorndike bahwa keadaan hewan sampai tingkat
tertentu inilah yang akan menentukan apa-apa yang memuaskan dan menjengkelkannya.
d. Prapotensi elemen
Dengan gagasan prapotensi ini elemen ini thorndike mengakui kompleksitas lingkungan
dan menyimpulkan bahwa kita merespins secara selectif terhadap aspek-aspek lingkungan
dengan kata laian kita biasanya, respons beberapa elemen dalam satu situasi namu tidak
merespon situasi lainnya. Karenanya cara kita merespon terhadap situasiakan bergantung
pada apa yang kita perhatikan dan respon apa yang kita berikan untuk apa yang kita
perhatikan itu.
Menurut buku psikologi belajar yang ditulis oleh Dr. Mulyati,M.Pd. bahwa teori ini
adalah belajar suatu kegiatan membentuk asosiasi antara kesan dan panca indera dengan
kecenderungan bertindak. Misalnya jika anak merasa senang atau tertarik pada kegiatan jahit-
menjahit, maka ia akan cenderung akan mengerjakannya. Apabila hal ini dilaksanakan, ia
merasa puas dan belajar menjahit akan menghasilkan prestasi memuaskan. Prinsip yang
kedua adalah pelajaran yang akan semakin di kuasai bila di ulang-ulang. Thorndike
mengemukakan bahwa terjadinya asosiasi antara stimulus dan respon ini mengikuti hukum-
hukum berikut:
1. Hukum kesiapan (law of readiness), yaitu semakin siap suatu organisme memperoleh
suatu perubahan tingkah laku, maka pelaksanaan tingkah laku tersebut akan
menimbulkan kepuasan individu sehingga asosiasi cenderung diperkuat.
2. Hukum latihan (law of exercise), yaitu semakin sering suatu tingkah laku
diulang/dilatih (digunakan), maka asosiasi tersebut akan semakin kuat.
3. Hukum akibat (law of effect), yaitu hubungan stimulus respon cenderung diperkuat
bila akibatnya menyenangkan dan cenderung diperlemah jika akibatnya tidak
memuaskan.
Jadi Teori belajar Thorndike adalah salah satu teori belajar behavioristik yang
mengutamakan stimulus dan respon. Teori belajar ini disebut juga dengan proses
pembentukan koneksi-koneksi antara stimulus dan respon.. Terdapat beberapa dalil atau
hukum kesiapan (law of readiness), hukum latihan (law of exercise) dan hukum akibat
(law of effect).
TEORI PAVLOV
Menurut buku psikologi belajar yang ditulis oleh Dr. Mulyati,M.Pd. palvlov
melakukan eksperimen yaitu anjing dioperasi kelenjar ludahnya sedemikian rupa sehingga
memungkinkan penyelidik mengukur dengan teliti air kudah yang keluar sebagai respon
terhadap perangsang makanan yang disodorkan ke mulutnya. Eksperimen Pavlov diulang
beberapa kali hingga akhirnya diketahui bahwa air liur sudah keluar sebelum makanan
sampai kemulut. Artinya air liur telah keluar saat anjing melihat piring tempat makanan,
melihat orang biasa memberi makanan dan bahkan saat mendengar langkah orang yang biasa
memberi makanan. Dalam eksperimennya tanda atau signal sellau diikuti datannya makanan.
Berlat latiha-latihan selama eksperimen anjing akan mengeluarkan air liurnya bila melihat
atau mendengar signal-signal yang sama persis dengan signal yang digunakan dalam
ekperimen. Dengan mendapatkan reflex bersyarat, Pavlov berkeyakinan bahwa ia ssudah
menemukan sesuatu yang baru di bidang fisioligi. Ia ingin mengetahui proses terjadi reflex
besyrat melalui penyelidikan mengenai fungsi otak secara tidak langsung.
Salah satu konsep yang berkaitan dengan eksperimen Pavlov adalah pemberian tanda,
stimulis dan respon yang tidak dikondisikan sebagai hasil proses instingtual. Latihan
menyebabkan perubahan tingkah laku terutama perubahan neuron atau sel – sel saraf. Oleh
karena itu wajar jika Pavlov disebut neurobehaviorist karena menyatakan bahwa interaksi
antara stimulus dan respon terjadi melalui proses neural. Sementara itu dalam belajar yang
dilakukan manusia yang ada bukan hanya tanda tetapi juga symbol demikian pula dalam hal
belajar, manusia atidak hanya mengenal latihan tetapi juga belajar. Konsep symbol dalam
belajar pada diri manusia menyebabkan perbedaan antara manusia dengan hewan. Manusia
memiliki pemikiran dan perasaan bukan hanya insting yang di miliki oleh hewan.dengan akal
pikitan dan perasaan manusia dapat membedakan tanda dari symbol. Tanda adalah sesuatu
yang tidak dapat dipisahkan dari apa yang ditandakan. Eksperimen-eksperimen Pavlov
awalnya tidak bertujuan menemukan teori belajar, meskipun sangat dipengaruhi oleh
psikologi behaviorisme. Sesuai dengan kedudukannya sebagai ahli fisiologi, eksperimen
lebih bertujuan untuk memahami fungsi otak. Hasil eksperimen Pavlov ternyata sangat
berguna bagi pengembanagan teori belajar oleh karena itu tidak berlebihan apabila banyak
ahli pendidikan mengadopsi hasil-hasil eksperimen Pavlov untuk mengembangkan teori
belajar. Namun demikian, apa yang diperoleh Pavlov bukan sesuatu yang final sehingga kita
sebaiknya fleksibel menggunakannya.
TEORI SKINNER
DISUSUN OLEH :
JURUSAN MATEMATIKA
2019
TEORI-TEORI BELAJAR AUSUBEL, GAGNE DAN BARUDA
TEORI AUSUBEL
Menurut buku psikologi belajar yang ditulis oleh Dr. Mulyati,M.Pd. Teori Belajar
Ausubel David Ausubel adalah seorang ahli psikologi pendidikan. Menurut Ausubel bahan
subjek yang dipelajari siswa mestilah “bermakna” (meaningfull). Pembelajaran bermakna
merupakan suatu proses mengaitkan informasi baru pada konsep-konsep relevan yang
terdapat dalam struktur kognitif seseorang. Menurut Ausubel, belajar dapat diklasifikasikan
ke dalam dua dimensi. Dimensi pertama berhubungan dengan cara informasi atau materi
pelajaran disajikan pada siswa, melalui penerimaan atau penemuan. Dimensi kedua
menyangkut cara bagaimana siswa dapat mengaitkan informasi itu pada struktur kognitif
yang telah ada. Pada tingkat pertama dalam belajar, informasi dapat dikomunikasikan pada
siswa baik dalam bentuk belajar penerimaan yang menyajikan informasi itu dalam bentuk
final, maupaun dengan bentuk belajar penemuan yang mengharuskan siswa untuk
menemukan sendiri sebagian atau seluruh materi yang akan diajarkan. Pada tingkat kedua,
siswa menghubungkan atau mengaitkan informasi itu pada pengetahuan (berupa konsep-
konsep atau lain-lain) yang telah dimilikinya; dalam hal ini terjadi belajar bermakna.
Prinsip Dan Karakteristik Belajar Menurut Ausubel
1. Belajar Bermakna
Inti dari teori Ausubel tentang belajar ialah belajar bermakna (Ausubel, 1996). Bagi
Ausubel, belajar bermakna merupakan suatu proses mengaitkan informasi baru pada
konsep-konsep relevan yang terdapat dalam struktur kognitif seseorang. Peristiwa
psikologi tentang belajar bermakna menyangkut asimilasi informasi baru pada
pengetahuan yang telah ada dalam struktur kognitif seseorang. Jadi, dalam belajar
bermakna informasi baru diasimilasikan pada subsume-subsumer relevan yang telah ada
dalam struktur kognitif.
2. Belajar Hafalan
Bila dalam struktur kognitif seseorang tidak terdapat konsep-konsep relevan atau
subsumer-subsumer relevan, maka informasi baru dipelajari secara hafalan. Bila tidak
dilakukan usaha untuk mengasimilasikan pengetahuan baru pada konsep-konsep yang
sudah ada dalam struktur kognitif, akan terjadi belajar hafalan.
Menurut buku Orientasi Dalam Psikologi Pembelajaran yang di tulis oleh Dr.Hamzah
B.Una,M.Pd. menurut Ausubel, siswa akan belajar dengan baik jika apa yang disebut
“pengatur kemajuan (belajar)” didefenisikan dan dipresentasikan dengan baik dan tepat
kepada siswa. Pengatur kemajuan belajar adalah konsep atau informasi umum yang
memawadahi semua isi pelajaran yang akan diajarkan kepada siswa. Ausubel percaya
bahwa advanced organizers dapar memberikan 3 macam manfaat yaitu :
a. Dapat menyediakan suatu kerangka konseptual untuk materi belajar yang akan
dipelajari siswa
b. Dapat berfungsi sebagai jembatan yang menghubungkan antara apa saja yang
dipelajari siswa “saat ini” dengan apa yang “akan” dipelajari siswa
c. Mampu membantu siswa untuk memahami bahan belajar secara lebih mudah.
Menurut buku model pembelajaran strategi belajar matematika yang ditulis oleh Suhito
Dan Muhammad Azmi Nuha Contoh belajar hafalan yang paling jelas terjadi sebagaimana
kisah Nani, yang dapat menjawab soal penjumlahan 2 + 2 ataupun 1 + 1 dengan benar.
Namun ketika ia ditanya bapaknya mengapa 2 + 2 = 4?, ia-pun hanya menjawab: ”Ya karena
2 + 2 = 4,” tanpa alasan yang jelas. Artinya, Nani hanya meniru pada apa yang diucapkan
teman sebayanya. Tidaklah salah jika ada orang yang lalu menyatakan bahwa Nani telah
belajar dengan membeo. Mengacu pada pendapat Ausubel di atas, contoh ini menunjukkan
bahwa Nani hanya belajar hafalan dan belum termasuk berlajar bermakna.
Alasannya, ia hanya mengingat sesuatu tanpa mengaitkan hal yang satu dengan hal yang
lain; baik ketika proses pembelajaran terjadi maupun pada hasil pembelajarannya ketika ia
ditanya bapaknya; sehingga Nani dapat dinyatakan sebagai belajar hafalan (rote) dan belum
belajar bermakna (meaningless). Salah satu kelemahan dari belajar hafalan atau belajar
membeo telah ditunjukkan Nani ketika ia tidak memiliki dasar yang kokoh dan kuat untuk
mengembangkan pengetahuannya tersebut. Ia tidak bisa menjawab soal baru seperti 1 + 2
maupun 2 + 1 jika belum ada yang mengajari hal tersebut. Karena itu, dapat terjadi bahwa
sebagian siswa ada yang dapat mengerjakan soal ketika ia belajar di kelas, namun ia tidak
dapat lagi mengerjakan soal yang sama setelah beberapa hari kemudian jika proses
pembelajarannya hanya mengandalkan pada kemampuan mengingat saja seperti yang
dilakukan Nani di atas. Sesuatu yang dihafal akan cepat dan mudah hilang, namun sesuatu
yang dimengerti akan tertanam kuat di benak siswa. Materi dalam pelajaran matematika
bukanlah pengetahuan yang terpisah-pisah namunmerupakan satu kesatuan, sehingga
pengetahuan yang satu dapat berkait dengan pengetahuan yang lain. Seorang anak tidak akan
mengerti penjumlahan dua bilangan jika ia tidak tahu arti dari “1” maupun “2”. Ia harus tahu
bahwa “1” menunjuk pada banyaknya sesuatu yang tunggal seperti banyaknya kepala, mulut,
lidah dan seterusnya; sedangkan “2” menunjuk pada banyaknya sesuatu yang berpasangan
seperti banyaknya mata, telinga, kaki, … dan seterusnya. Sering terjadi, anak kecil salah
menghitung sesuatu. Tangannya masih ada di batu ke-4 namun ia sudah mengucapkan “lima”
atau malah “enam”. Kesalahan kecil seperti ini akan berakibat pada kesalahan menjumlah
dua bilangan. Hal yang lebih parah akan terjadi jika ia masih sering meloncat-loncat di saat
membilang dari satu sampai sepuluh.
Menurut buku model pembelajaran strategi belajar matematika yang ditulis oleh Suhito
Dan Muhammad Azmi Nuha contoh Belajar bermakna
Manakah bilangan yang paling mudah dan paling sulit diingat siswa?
Apakah untuk dapat mengingat bilangan-bilangan di atas perlu dikaitkan dengan hal
tertentu yang sudah dimengerti siswa?
Bagaimana merancang pembelajaran matematika yang bermakna?
Beberapa pertanyaan yang dapat diajukan adalah: Mengapa bagi sebagian siswa
dIndonesia, bilangan ketiga, yaitu 17.081.945, merupakan bilangan yang paling mudah
diingat? Mengapa bilangan kedua yaitu 54.918.071 merupakan bilangan yang paling
mudah diingat berikutnya?
Mengapa bilangan pertama yaitu 89.107.145 merupakan bilangan yang paling sulit
diingat atau dipelajari?
Bilangan ketiga, yaitu 17.081.945 merupakan bilangan yang paling mudah diingat hanya
jika bilangan tersebut dikaitkan dengan tanggal Kemerdekaan RI yang jatuh pada 17 Agustus
1945 (atau 17-08-1945). Namun bilangan ketiga tersebut, yaitu 17.081.945 akan sulit diingat
(dipelajari) jika bilangan itu tidak dikaitkan dengan tanggal Kemerdekaan RI pada 17
Agustus 1945. Jadi, proses pembelajaran dimana kita dapat mengaitkan suatu pengetahuan
yang baru (dalam hal ini bilangan 17.081.945) dengan pengetahuan yang lama (dalam hal ini
17-08-1945, yaitu tanggal Kemerdekaan RI 17 Agustus 1945) seperti itulah yang disebut
dengan pembelajaran bermakna dan hasilnya diharapkan akan tersimpan lama. Misalkan saja
Anda diminta untuk membantu siswa Anda untuk mengingat bilangan kedua, yaitu
54.918.071. Anda dapat saja meminta setiap siswa untuk mengulangulang menyebutkan
bilangan di atas sehingga mereka hafal, maka proses pembelajarannya disebut dengan belajar
membeo atau belajar hafalan seperti sudah dibahas pada bagian sebelumnya. Sebagai
akibatnya, bilangan tersebut akan cepat hilang jika tidak diulang-ulang lagi. Bagaimana
proses menghafal bilangan kedua, yaitu 54.918.071 agar menjadi bermakna? Yang perlu
diperhatikan adalah adanya hubungan antara bilangan kedua dengan bilangan ketiga.
Bilangan kedua bisa didapat dari bilangan ketiga namun dengan menuliskannya dengan
urutan terbalik. Jadi, agar proses mengingat bilangan kedua dapat bermakna, maka proses
mengingat bilangan kedua (yang baru) harus dikaitkan dengan pengetahuan yang sudah
dimiliki, yaitu tentang 17-08-1945 akan tetapi dengan membalik urutan penulisannya menjadi
5491-80-71. Untuk bilangan pertama, yaitu 89.107.145. Bilangan ini hanya akan bermakna
jika bilangan itu dapat dikaitkan dengan pengetahuan yang sudah ada di dalam pikiran kita.
Contohnya jika bilangan itu berkait dengan nomor telepon atau nomor lain yang dapat kita
kaitkan. Tugas guru adalah membantu memfasilitasi siswa sehingga bilangan pertama
tersebut dapat dikaitkan dengan pengetahuan yang sudah dimilikinya. Jika seorang siswa
tidak dapat mengaitkan antara pengetahuan yang baru dengan pengetahuan yang sudah
dimiliki siswa, maka proses pembelajarannya disebut dengan belajar yang tidak bermakna
(rote learning).
Berdasar contoh di atas, dapatlah disimpulkan bahwa suatu proses pembelajaran akan
lebih mudah dipelajari dan dipahami para siswa jika guru mampu untuk memberi kemudahan
bagi siswanya sedemikian sehingga siswa dapat mengaitkan pengetahuan yang baru dengan
pengetahuan yang sudah dimilikinya. Itulah inti dari belajar bermakna (meaningful learning)
yang telah digagas David P Ausubel. Dari apa yang dipaparkan di atas jelaslah bahwa untuk
dapat menguasai materi matematika, seorang siswa harus menguasai beberapa kemampuan
dasar lebih dahulu. Setelah itu, siswa harus mampu mengaitkan antara pengetahuan yang baru
dengan pengetahuan yang sudah dipunyainya. Ausubel menyatakan hal berikut sebagaimana
dikutip Orton (1987:34): “If I had to reduce all of educational psychology to just one
principle, I would say this: The most important single facto influencing learning is what the
learner already knows. Ascertain this and teach him accordingly.” Jelaslah, menurut
Ausubel, bahwa pengetahuan yang sudah dimiliki siswa akan sangat menentukan berhasil
tidaknya suatu proses pembelajaran. Di samping itu, seorang guru dituntut untuk mengecek,
mengingatkan kembali ataupun memperbaiki pengetahuan prasyarat siswanya sebelum ia
memulai membahas topik baru, sehingga pengetahuan yang baru tersebut dapat berkait
dengan pengetahuan yang lama yang lebih dikenal sebagai belajar bermakna tersebut.
TEORI GAGNE
Menurut buku Teori-teori Belajar dan Pembelajaran yang ditulis oleh Ratna W Dahar,
Gagne berpendapat bahwa belajar dipengaruhi oleh pertumbuhan dan lingkungan, namun
yang paling besar pengaruhnya adalah lingkungan individu seseorang. Bagi Gagne, belajar
tidak dapat didefinisikan dengan mudah karena belajar itu bersifat kompleks. Dalam
pernyataan tersebut, dinyatakan bahwa hasil belajar akan mengakibatkan perubahan pada
seseorang yang berupa perubahan kemampuan, perubahan sikap, perubahan minat atau nilai
pada seseorang. Perubahan tersebut bersifat menetap meskipun hanya sementara.
Objek Belajar Matematika Menurut Gagne belajar matematika terdiri dari objek
langsung dan objek tak langsung. objek tak langsung antara lain kemampuan menyelidiki,
kemampuan memecahkan masalah, ketekunan, ketelitian, disiplin diri, bersikap positif
terhadap matematika. Sedangkan objek tak langsung berupa fakta, keterampilan, konsep, dan
prinsip.
1. Fakta
Fakta adalah konvensi (kesepakatan) dalam matematika seperti simbol-simbol
matematika. Fakta bahwa 2 adalah simbol untuk kata ”dua”, simbol untuk operasi
penjumlahan adalah ”+” dan sinus suatu nama yang diberikan untuk suatu fungsi
trigonometri. Fakta dipelajari dengan cara menghafal, drill, latiahan, dan permainan.
2. Keterampilan
Keterampilan(Skill) adalah suatu prosedur atau aturan untuk mendapatkan atau
memperoleh suatu hasil tertentu. Contohnya; keterampilan melakukan pembagian
bilangan yang cukup besar, menjumlahkan pecahan dan perkalian pecahan desimal. Para
siswa dinyatakan telah memperoleh keterampilan jika ia telah dapat menggunakan
prosedur atau aturan yang ada dengan cepat dan tepat. Ketrampilan menunjukkan
kemampuan memberikan jawaban dengan cepat dan tepat.
3. Konsep
Konsep adalah ide abstrak yang memungkinkan seseorang untuk mengelompokkan suatu
objek dan menerangkan apakah objek tersebut merupakan contoh atau bukan contoh dari
ide abstrak tersebut. Contohnya ; konsep himpunan, segitiga, kubus, lingkaran, dll.
Siswa dikatakan telah mempelajari suatu konsep jika ia telah dapat membedakan contoh
dan bukan contoh. Untuk sampai ke tingkat tersebut, siswa harus dapat menunjukkan
atribut atau sifat-sifat khusus dari objek yang termasuk contoh dan yang bukan contoh.
4. Prinsip
Prinsip adalah pernyataan yang memuat hubungan antara dua konsep atau lebih. Prinsip
merupakan yang paling abstrak dari objek matematika yang berupa sifat atau teorema.
Contohnya, teorema Pytagoras yaitu kuadrat hipotenusa pada segitiga siku-siku sama
dengan jumlah kuadrat dari dua sisi yang lain. Untuk mengerti teorema Pytagoras harus
mengetahui konsep segitiga siku-siku, sudut dan sisi. Seorang siswa dinyatakan telah
memahami prinsip jika ia dapat mengingat aturan, rumus, atau teorema yang ada; dapat
mengenal dan memahami konsep-konsep yang ada pada prinsip tersebut; serta dapat
menggunakannya pada situasi yang tepat.
Menurut buku psikologi belajar yang ditulis oleh Dr. Mulyati,M.Pd. menurut gagne yang
dapat memberikan instruksi melainkan instruksi disajikan pada siswa-siswa. Kejadian
instruksi terdiri atas 8 tahap yaitu
1. Mengaktifkan motivasi
2. Memberitahu tujuan belajar
3. Mengarahkan pengertian
4. Menerangkan ingatan
5. Menyediakan bimbingan
6. Meningkatkan retensi
7. Melancarkan transfer belajar
8. Mengeluarkan penampilan dan memberikan umpan balik.
Menurut buku Orientasi Dalam Psikologi Pembelajaran yang di tulis oleh Dr.Hamzah
B.Una,M.Pd. Menurut Robert M. Gagne, ada 8 tipe belajar, yaitu:
1. Tipe belajar tanda (Signal learning) Belajar dengan cara ini dapat dikatakan sama
dengan apa yang dikemukakan oleh Pavlov. Semua jawaban/respons menurut kepada
tanda/sinyal.
2. Tipe belajar rangsang-reaksi (Stimulus-response learning) Tipe ini hampir serupa
dengan tipe satu, namun pada tipe ini, timbulnya respons juga karena adanya
dorongan yang datang dari dalam serta adanya penguatan sehingga seseorang mau
melakukan sesuatu secara berulang-ulang.
3. Tipe belajar berangkai (Chaining Learning) Pada tahap ini terjadi serangkaian
hubungan stimulus-respons, maksudnya adalah bahwa suatu respons pada gilirannya
akan menjadi stimulus baru dan selanjutnya akan menimbulkan respons baru.
4. Tipe belajar asosiasi verbal (Verbal association learning) Tipe ini berhubungan
dengan penggunaan bahasa, dimana hasil belajarnya yaitu memberikan reaksi verbal
pada stimulus/perangsang.
5. Tipe belajar membedakan (Discrimination learning) Hasil dari tipe belajar ini adalah
kemampuan untuk membeda-bedakan antar objek-objek yang terdapat dalam
lingkungan fisik.
6. Tipe belajar konsep (Concept Learning) Belajar pada tipe ini terutama dimaksudkan
untuk memperoleh pemahaman atau pengertian tentang suatu yang mendasar.
7. Tipe belajar kaidah (RuleLearning) Tipe belajar ini menghasilkan suatu kaidah yang
terdiri atas penggabungan beberapa konsep.
Tipe belajar pemecahan masalah (Problem solving) Tipe belajar ini menghasilkan
suatu prinsip yang dapat digunakan untuk memecahkan suatu permasalahan.
Fase-fase belajar ini berlaku bagi semua tipe belajar. Menurut Gagne, ada 4 buah fase
dalam proses belajar, yaitu:
1. Fase penerimaan (apprehending phase) Pada fase ini, rangsang diterima oleh
seseorang yang belajar. Ini ada beberapa langkah.
2. Fase penguasaan (Acquisition phase) Pada tahap ini akan dapat dilihat apakah
seseorang telah belajar atau belum
3. Fase pengendapan (Storage phase) Sesuatu yang telah dimiliki akan disimpan agar
tidak cepat hilang sehingga dapat digunakan bila diperlukan.
4. Fase pengungkapan kembali (Retrieval phase) Apa yang telah dipelajari, dimiliki,
dan disimpan (dsalam ingatan) dengan maksud untuk digunakan (memecahkan
masalah) bila diperlukan.
Dalam buku model pembelajaran strategi belajar matematika yang ditulis oleh Suhito
Dan Muhammad Azmi Nuha. Menurut Gagne secara garis besar ada dua macam objek yang
dipelajari siswa dalam matematika, yaitu objek-objek langsung dan objek-objek tak langsung.
Objek-objek langsung dari pembelajaran Matematika terdiri atas:
a. Fakta-fakta matematika
Adalah konvensi-konvensi (semufakatan-semufakatan) dalam matematika yang
dimaksudkan untuk memperlancar pembicaraan-pembicaraan di dalam matematika,
seperti lambang-lambang yang ada dalam matematika, semufakatan bahwa pada garis
bilangan yang horisontal, arah ke kanan menunjukan bilangan-bilangan yang semakin
besar sedangkan kearah kiri menunjukkan bilangan-bilangan yang semakib kecil
nilainya, dan sebagainya. Di dalam matematika, fakta merupakan sesuatu yang harus
diterima begitu saja karena itu sekedar merupakan semufakatan. Misalnya adalah
merupakan fakta (yang haruis diterima begitu saja) bahwa lambang untuyk bilangan
Empat adalah 4 (dalam sistem bilangan hindu-arab) atau ‘IV’ ( dalam sistem bilangan
romawi). Juga lambang ‘-‘ adalah lambang untuk operasi pengurangan. Di dalam
matematika tidak dipersoalkan hal-hal seperti itu, dan menurut Gagne fakta hanya bisa
dipelajari dengan dipakai berulang-ulang dan di hafal.
b. keterampilan-keterampilan matematika
Adalah operasi-operasi dan prosedur-prosedur dalam matematika yang masing-
masing merupakan suatu proses untuk mencari sesuatu hasil tertentu. Contoh
keterampilan matematika adalah proses mencari jumlah dua bilangan, proses mencari
kelipatan persekutuan terkecil dari dua bilangan dan lain-lain.
c. Konsep-konsep matematika
Suatu konsep yang yang berada dalam lingkup matematika disebut konsep
matematika, yaitu antara lain: segitiga, persegi panjang, persemaan, pertidaksamaan,
bilangan prima, dan lain-lain.
d. Prinsip-prinsip matematika
Beberapoa contoh prinsip dalam matematika antara lain:
1) Pada setiap segitiga sama kaki, kedua sudut alas adalah sama besar.
2) Hasil kali dua bilangan p dan q adalah nol jika dan hanya jika p=0 atau q=0.
3) Pada setiap seggitiga siku-siku, kuadrat panjang sisi miring sama dengan jumlah
kuadrat kedua sisi siku-siku.
TEORI BARUDA
Menurut buku Theories of Learning yang ditulis oleh B.R.Hergenhahn Matthew H.
Olson. Albert Bandura sangat terkenal dengan teori pembelajaran social, salah satu konsep
dalam aliran behaviorime yang menekankan pada komponen kognitif dari pemikiran,
pemahaman, dan evaluasi. Menurut Bandura, sebagian besar tingkah laku manusia dipelajari
melalui peniruan maupun penyajian, contoh tingkah laku ( modeling ). Dalam hal ini orang
tua dan guru memainkan peranan penting sebagai seorang model atau tokoh bagi anak – anak
untuk menirukan tingkah laku membaca.
Menurut Bandura, perlakuan seseorang adalah hasil interaksi faktor dalam
diri(kognitif) dan lingkungan. pandangan ini menjelaskan, beliau telah mengemukakan teori
pembelajaran peniruan, Berdasarkan teori ini terdapat beberapa cara peniruan yaitu meniru
secara langsung. Seterusnya proses peniruanmelalui contoh tingkah laku.. Proses peniruan
yang seterusnya ialah elisitasi. Proses ini timbul apabila seseorang melihat perubahan pada
orang lain.
Ciri – Ciri Teori Pemodelan Bandura
1. Unsur pembelajaran utama ialah pemerhatian dan peniruan
2. Tingkah laku model boleh dipelajari melalui bahasa, teladan, nilai dan lain – lain
3. Pelajar meniru suatu kemampuan dari kecakapan yang didemonstrasikan guru sebagai
model
4. Pelajar memperoleh kemampuan jika memperoleh kepuasan dan penguatan yang positif
5. Proses pembelajaran meliputi perhatian, mengingat, peniruan, dengan tingkah laku atau
timbal balik yang sesuai, diakhiri dengan penguatan yang positif.
Jenis – Jenis Peniruan (Modelling)
1. Peniruan Langsung, Ciri khas pembelajaran ini adalah adanya modeling , yaitu suatu
fase dimana seseorang memodelkan atau mencontohkan sesuatu melalui demonstrasi
bagaimana suatu ketrampilan itu dilakukan.
2. Peniruan Tak Langsung Peniruan, Tak Langsung adalah melalui imaginasi atau
perhatian secara tidak langsung.
3. Peniruan Gabungan, Peniruan jenis ini adalah dengan cara menggabungkan tingkah
laku yang berlainan yaitu peniruan langsung dan tidak langsung.
4. Peniruan Sesaat / seketika, Tingkah laku yang ditiru hanya sesuai untuk situasi tertentu
saja.
5. Peniruan Berkelanjutan, Tingkah laku yang ditiru boleh ditonjolkan dalam situasi
apapun.
Hal lain yang harus diperhatikan bahwa faktor model atau teladan mempunyai prinsip –
prinsip sebagai berikut :
Tingkat tertinggi belajar dari pengamatan diperoleh dengan cara mengorganisasikan
sejak awal dan mengulangi perilaku secara simbolik kemudian melakukannya.
Individu lebih menyukai perilaku yang ditiru jika sesuai dengan nilai yang dimilikinya.
Individu akan menyukai perilaku yang ditiru jika model tersebut disukai dan dihargai
serta perilakunya mempunyai nilai yang bermanfaat.
Aplikasi Terhadap Pembelajaran Matematika
Dalam buku model pembelajaran strategi belajar matematika yang ditulis oleh Suhito
Dan Muhammad Azmi Nuha Dalam proses pembelajaran menurut teori sosial Albert
Bandura, seorang guru harus dapat menghadirkan model yang baik. Model yang baik harus
dapat mempunyai pengaruh yang kuat terhadap pembelajar sehingga dapat memberi
perhatian kepada si pembelajar. Model disini tidak harus dari guru, namun tergantung apa
yang akan diajarkan. Teori sosial belajar ini cocok untuk mengajarkan materi yang berupa
aspek psikomotorik dan afektif, karena pembelajar langsung dapat memperhatikan,
mengingat dan meniru dari model yang dihadirkan.
Namun dalam belajar matematika yang diajarkan adalah berupa konsep sehingga guru
harus dapat menghadirkan model yang menarik perhatian dan dapat mudah diingat oleh si
pembelajar. Penulis berusaha memberi suatu contoh dalam pembelajarn matematika.
Misalnya seorang guru akan mengajarkan bagaimana menemukan volume dari balok. Disini
dihadirkan/disediakan balok dan kubus yang berukuran 1 satuan kubik sebagai model.
Dengan dipraktekkan oleh guru dan ditirukan oleh siswa guru memperagakan bagaimana
menentukan volume balok kemudian menentukan rumus volume balok. Dengan demikian
diharapkan siswa dapat memperhatikan model dan menirukan bagaimana menentukan rumus
volume balok, dan pembelajar harus mengingatnya. Selanjutnya pembelajar dituntut untuk
dapat mampu meniru pemodelan tersebut. Beberapa proses ini akan lebih berhasil jika ada
motivasi yang kuat dari pembelajar untuk mempelajarinya.
MAKALAH
TEORI BELAJAR MENURUT PIAGET, BRUNER DAN GESTALT
Dosen Pengampu : Prof.Dr. Sahat Saragih,M.Pd
DISUSUN OLEH :
JURUSAN MATEMATIKA
2019
TEORI BELAJAR PIAGET, BRUNER DAN GESTALT
1. TEORI PIAGET
Jean Piaget (1896-1980) adalah pakar psikologi Swiss, mengatakan bahwa anak dapat
membangun secara aktif dunia kognitif mereka sendiri. Piaget yakin bahwa anak-anak dapat
menyesuaikan pemikiran mereka untuk menguasai gagasan-gagasan baru, karena informasi
tambahan akan menambah pemahaman mereka terhadap dunia. Perkembangan kognitif
sebagian besar ditentukan oleh manipulasi dan interaksi aktif anak dengan lingkungan.
Pengetahuan datang dari tindakan. Piaget yakin bahwa pengalaman-pengalaman fisik dan
manipulasi lingkunga penting bagi terjadinya perubahan perkembangan. Sementara itu bahwa
interaksi sosial dengan teman sebaya, khususnya berargumentasi dan berdiskusi membantu
memperjelas pemikiran yang pada akhirnya memuat pemikiran itu menjadi lebih logis.
Untuk menunjukkan struktur kognitif yang mendasari pola-pola tingkah laku yang
terorganisir, Piaget menggunakan istilah skema dan adaptasi.
a) Skema (struktur kognitif) adalah proses atau cara mengorganisir dan merespon berbagai
pengalaman.
b) Adaptasi (struktur fungsional) adalah sebuah istilah yang digunakan Piaget untuk
menunjukkan pentingnya pola hubungan individu dengan lingkungannya dalam proses
pengembangan kognitif. Menurut Piaget adaptasi ini terdiri dari dua proses yaitu :
Asimilasi adalah proses kognitif dimana seseorang mengintegrasikan persepsi, konsep
ataupun pengalaman baru ke dalam skema atau pola yang sudah ada dalam pikirannya.
Asimilasi dipandang sebagai suatu proses kognitif yang menempatkan dan
mengklasifikasikan kejadian atau rangsangan baru dalam skema yang telah ada. Proses
asimilasi ini berjalan terus. Asimilasi tidak akan menyebabkan perubahan/pergantian skema
melainkan perkembangan skema. Asimilasi adalah salah satu proses individu dalam
mengadaptasikan dan mengorganisasikan diri dengan lingkungan baru pengertian orang itu
berkembang.
Akomodasi. Dalam menghadapi rangsangan atau pengalaman baru seseorang tidak dapat
mengasimilasikan pengalaman yang baru dengan skema yang telah dipunyai. Pengalaman
yang baru itu bisa jadi sama sekali tidak cocok dengan skema yang telah ada. Dalam keadaan
demikian orang akan mengadakan akomodasi. Akomodasi tejadi untuk membentuk skema
baru yang cocok dengan rangsangan yang baru atau memodifikasi skema yang telah ada
sehingga cocok dengan rangsangan itu.
Bagi Piaget adaptasi merupakan suatu kesetimbangan antara asimilasi dan akomodasi. Bila
dalam proses asimilasi seseorang tidak dapat mengadakan adaptasi terhadap lingkungannya maka
terjadilah ketidakseimbangan (disequilibrium). Akibat ketidakseimbangan itu maka terjadilah
akomodasi dan struktur kognitif yang ada akan mengalami perubahan atau munculnya struktur yang
baru. Pertumbuhan intelektual ini merupakan proses terus menerus tentang keadaan
ketidakseimbangan dan keadaan setimbang (disequilibrium-equilibrium). Tetapi bila terjadi
kesetimbangan maka individu akan berada pada tingkat yang lebih tinggi daripada sebelumnya
(equilibrasi).
Penerapan dari empat tahap perkembangan intelektual anak yang dikemukakan oleh Piaget,
adalah sebagai berikut:
= ⅓ × л × r² × t²
= ⅓ × 3,14 × 7² cm² × 3 cm
= 154 cm³
2. TEORI BRUNER
Bruner banyak melakukan penelitian psikologi terutama mengenai persepsi, motivasi, belajar
dan berpikir. Bruner menganggap manusia sebagi pengolah informasi, pemikir dan pencipta.
Mahaguru Universitas Harvard ini pernah mendirikan pusat penelitian untuk mempelajari kognitif dan
juga menjadi pimpinannya. Penelitian dan ide-idenya dipengaruhi oleh Piaget terutama mengenai
perkembangan kognitif manusia.
a. Proses Belajar Menurut Jerome Bruner
Menurut Bruner, dalam proses belajar dapat dibedakan tiga fase atau episode, yakni :
1) Informasi, dalam tiap pelajaran kita peroleh sejumlah informasi ada yang menambah
pengetahuan yang telah kita miliki, ada yang memperhalus dan memperdalamnya, ada pula
informasi yang bertentangan dengan apa yang telah kita ketahui sebelumnya, misalnya bahwa
tidak ada energi yang lenyap.
2) Transformasi, informasi itu harus dianalisis diubah atau ditransformasi kedalam bentuk yang
lebih abstrak atau konseptual agar dapat digunakan untuk hal-hal yang lebih luas. Dalam hal
ini bantuan guru sangat diperlukan.
3) Evaluasi, kemudian kita nilai hingga manakah pengetahuan yang kita peroleh dan
transformasi itu bisa dimanfaatkan untuk memahami gejala-gejala lain.\
Teori belajar bruner dikenal dengan tiga tahapan belajarnya yang terkenal, yaitu enaktif,
ikonik dan simbolik. Pada dasarnya setiap individu pada waktu mengalami atau mengenal peristiwa
yang ada di dalam lingkungannya dapat menemukan cara untuk menyatakan kembali peristiwa
tersebut di dalam pikirannya, yaitu suatu model mental tentang peristiwa yang dialaminya. Hal
tersebut adalah proses belajar yang terbagi menjadi tiga tahapan, yakni:
(1) Tahap enaktif; dalam tahap ini peserta didik di dalam belajarnya menggunakan atau
memanipulasi obyek-obyek secara langsung. Contoh : Guru membawa barang/objek pembelajaran.
(2) Tahap ikonik; pada tahap ini menyatakan bahwa kegiatan anak-anak mulai menyangkut mental
yang merupakan gambaran dari objek-objek. Dalam tahap ini, peserta didik tidak memanipulasi
langsung objek-objek, melainkan sudah dapat memanipulasi dengan menggunakan gambaran dari
objek. Pengetahuan disajikan oleh sekumpulan gambar-gambar yang mewakili suatu konsep. Contoh :
Guru menggambar benda/objek tersebut.
(3) Tahap simbolik; tahap ini anak memanipulasi simbol-simbol secara langsung dan tidak ada lagi
kaitannya dengan objek-objek. Anak mencapai transisi dari pengguanan penyajian ikonik ke
penggunaan penyajian simbolik yang didasarkan pada sistem berpikir abstrak dan lebih fleksibel.
Dalam penyajian suatu pengetahuan akan dihubungkan dengan sejumlah informasi yang dapat
disimpan dalam pikiran dan diproses untuk mencapai pemahaman. Contoh : Guru hanya
menyampaikan saja benda/objek tersebut lalu siswa yang akan berpikir untuk dapat mengimajinasikan
benda/objek yang disampaikan.
Bruner berpendapat bahwa pengajaran dapat dianggap sebagai (a) hakikat seseorang sebagai pengenal
(b) hakekat dari pengetahuan, dan (c) hakekat dari proses mendapatkan pengetahuan. Manusia sebagai
makhluk yang paling mulia diantara makhluk-makhluk lain memiliki dua kekuatan yakni akal
pikirannya dan kemampuan berbahasa. Dengan dua kemampuan tersebut maka manusia dapat
mengembangkan kemampuan yang ada padanya. Dorongan dan hasrat ingin mengenal dan
mengetahui dunia dan lingkungan alamnya menyebabkan manusia mempunyai kebudayaan dalam
bentuk konsepsi, gagasan, pengetahuan, maupun karya-karyanya. Kemampuan yang ada dalam
dirinya mendorongnya untuk mengekspresikan apa yang telah dimilikinya.
Kondisi dan karakteristik tersebut hendaknya melandasi atau dijadikan dasar dalam mengembangkan
proses pengajaran. Dengan demikian guru harus memandang siswa sebagai individu yang aktif dan
memiliki hasrat untuk mengetahui lingkungan dan dunianya bukan semata- mata makhluk pasif
menerima apa adanya.
Selanjutnya bruner berpendapat bahwa teori pengajaran harus mencakup lima aspek utama yakni:
3. TEORI GESTALT
Istilah Gestalt merupakan istilah bahasa Jerman yang sukar dicari terjemahannya dalam
bahasa lain. Arti Gestalt bisa bermacam-macam sekali, yaitu form, shape (bahasa Inggris) atau
bentuk, hal, peristiwa, hakikat, esensi, totalitas. Psikologi Gestalt merupakan salah satu aliran
psikologi yang mempelajari suatu gejala sebagai suatu keseluruhan atau totalitas, data-data dalam
psikologi Gestalt disebut sebagai Fenomena (gejala). Fenomena adalah data yang paling dasar dalam
Psikologi Gestalt. Dalam hal ini Psikologi Gestalt sependapat dengan filsafat fenomonologi yang
mengatakan bahwa suatu pengalaman harus dilihat secara netral. Dalam suatu fenomena terdapat dua
unsur yaitu obyek dan arti. Obyek merupakan sesuatu yang dapat dideskripsikan, setelah tertangkap
oleh indera, obyek tersebut menjadi suatu informasi dan sekaligus kita telah memberikan arti pada
obyek itu.
Menurut koffka, gestalt adalah pertemuan gejala-gejala yang tiap-tiap anggotanya hanya
mempunyai sifat atau watak dalam hubungannya dengan bagian-bagiannya, sehingga merupakan
suatu kesatuan yang mengandung arti, dan tiap-tiap bagian mendapat arti dari keseluruhan itu. Yang
primer gestalt adalah bukan bagian-bagian. Bagian-bagian itu sendiri tidak ada. Sebab gestalt tidak
terjadi dari jumlah bagian-bagian. Artinya di dalam gestalt, tidak mungkin bagian-bagian itu berdiri
sendiri.
Prinsip-prinsip pengorganisasian :
o Principle of Proximity : bahwa unsur-unsur yang saling berdekatan (baik waktu maupun ruang)
dalam bidang pengamatan akan dipandang sebagai satu bentuk tertentu.
o Principle of Similarity : individu akan cenderung mempersepsikan stimulus yang sama sebagai
suatu kesatuan. Kesamaan stimulus itu bisa berupa persamaan bentuk, warna, ukuran dan
kecerahan.
o Principle of Objective Set : Organisasi berdasarkan mental set yang sudah terbentuk sebelumnya.
o Principle of Continuity : Menunjukkan bahwa kerja otak manusia secara alamiah melakukan
proses untuk melengkapi atau melanjutkan informasi meskipun stimulus yang didapat tidak
lengkap.
o Principle of Closure/ Principle of Good Form : Bahwa orang cenderung akan mengisi kekosongan
suatu pola obyek atau pengamatan yang tidak lengkap. Orang akan cenderung melihat suatu
obyek dengan bentukan yang sempurna dan sederhana agar mudah diingat.
o Principle of Figure and Ground : Yaitu menganggap bahwa setiap bidang pengamatan dapat
dibagi dua yaitu figure (bentuk) dan ground (latar belakang). Prinsip ini menggambarkan bahwa
manusia secara sengaja ataupun tidak, memilih dari serangkaian stimulus, mana yang
dianggapnya sebagai figure dan mana yang dianggap sebagai ground.
o Principle of Isomorphism : Menunjukkan adanya hubungan antara aktivitas otak dengan
kesadaran, atau menunjukkan adanya hubungan structural antara daerah-daerah otak yang
terktivasi dengan isi
Dalam hukum-hukum belajar Gestalt ini ada satu hukum pokok , yaitu hukum Pragnaz, dan empat
hukum tambahan (subsider) yang tunduk kepada hukum yang pokok itu, yaitu hukum–hukum
keterdekatan, ketertutupan, kesamaan, dan kontinuitas. Pragnaz adalah suatu keadaan yang seimbang.
Setiap hal yang dihadapi oleh individu mempunyai sifat dinamis yaitu cenderung untuk menuju
keadaan pragnaz tersebut. Empat hukum tambahan yang tunduk kepada hukum pokok, yaitu :
a. Hukum keterdekatan : Hal-hal yang saling berdekatan dalam waktu atau tempat cenderung
dianggap sebagai suatu totalitas.
b. Hukum ketertutupan : Hal-hal yang cenderung menutup akan membentuk kesan totalitas
tersendiri.
c. Hukum kesamaan : Hal-hal yang mirip satu sama lain, cenderung kita persepsikan sebagai
suatu kelompok atau suatu totalitas. Contohnya :
OOOOOOOOOOOOO
XXXXXXXXXXXXX
OOOOOOOOOOOOO
Deretan bentuk di atas akan cenderung dilihat sebagai deretan-deretan mendatar dengan bentuk
d. Hukum kontinuitas : Orang akan cenderung mengasumsikan pola kontinuitas pada obyek-
obyek yang ada.
1) Pengalaman tilikan (insight); bahwa tilikan memegang peranan yang penting dalam perilaku.
Dalam proses pembelajaran, hendaknya peserta didik memiliki kemampuan tilikan yaitu
kemampuan mengenal keterkaitan unsur-unsur dalam suatu obyek atau peristiwa.
2) Pembelajaran yang bermakna (meaningful learning); kebermaknaan unsur-unsur yang terkait
akan menunjang pembentukan tilikan dalam proses pembelajaran. Makin jelas makna
hubungan suatu unsur akan makin efektif sesuatu yang dipelajari. Hal ini sangat penting dalam
kegiatan pemecahan masalah, khususnya dalam identifikasi masalah dan pengembangan
alternatif pemecahannya. Hal-hal yang dipelajari peserta didik hendaknya memiliki makna
yang jelas dan logis dengan proses kehidupannya.
3) Perilaku bertujuan (pusposive behavior); bahwa perilaku terarah pada tujuan. Perilaku bukan
hanya terjadi akibat hubungan stimulus-respons, tetapi ada keterkaitannya dengan dengan
tujuan yang ingin dicapai. Proses pembelajaran akan berjalan efektif jika peserta didik
mengenal tujuan yang ingin dicapainya. Oleh karena itu, guru hendaknya menyadari tujuan
sebagai arah aktivitas pengajaran dan membantu peserta didik dalam memahami tujuannya.
4) Prinsip ruang hidup (life space); bahwa perilaku individu memiliki keterkaitan dengan
lingkungan dimana ia berada. Oleh karena itu, materi yang diajarkan hendaknya memiliki
keterkaitan dengan situasi dan kondisi lingkungan kehidupan peserta didik.
5) Transfer dalam Belajar; yaitu pemindahan pola-pola perilaku dalam situasi pembelajaran
tertentu ke situasi lain. Menurut pandangan Gestalt, transfer belajar terjadi dengan jalan
melepaskan pengertian obyek dari suatu konfigurasi dalam situasi tertentu untuk kemudian
menempatkan dalam situasi konfigurasi lain dalam tata-susunan yang tepat. Judd menekankan
pentingnya penangkapan prinsip-prinsip pokok yang luas dalam pembelajaran dan kemudian
menyusun ketentuan-ketentuan umum (generalisasi). Transfer belajar akan terjadi apabila
peserta didik telah menangkap prinsip-prinsip pokok dari suatu persoalan dan menemukan
generalisasi untuk kemudian digunakan dalam memecahkan masalah dalam situasi lain. Oleh
karena itu, guru hendaknya dapat membantu peserta didik untuk menguasai prinsip-prinsip
pokok dari materi yang diajarkannya
MAKALAH
TEORI BELAJAR MENURUT BROWNELL, DIENES, VAN HIELE
DAN VIGOTSKY
Dosen Pengampu : Prof.Dr. Sahat Saragih,M.Pd
DISUSUN OLEH :
JURUSAN MATEMATIKA
2019
TEORI BELAJAR BROWNELL, DIENES, VAN HIELE DAN
VIGOTSKY
1. TEORI BROWNELL
Salah satu ahli yang memberikan sumbangan pikiran dalam teori belajar adalah William Artur
Brownell dilahirkan tanggal 19 mei 1895 dan wafat pada tanggal 24 mei 1977, yang mendedikasikan
hidupnya dalam dunia pendidikan. Brownell (1935) “…he characterized his point of view as the
“meaning theory.” In developing it, he laid the foundation for the emergence of the “new
mathematics.” He showed that understanding, not sheer repetition, is the basis for children's
mathematical learning…” pada penelitiannya mengenai pembelajaran anak khususnya pada aritmetika
mengemukakan belajar matematika harus merupakan belajar bermakna dan belajar pengertian atau
yang dikenal dengan Meaning Theory (teori bermakna) dan dalam perkembangannya ia meletakkan
pondasi munculnya matematika baru.
Khusus dalam hubungan pembelajaran matematika di SD, Meaning Theory (teori makna)
yang diperkenalkan oleh Brownel merupakan alternatif dari Drill Theory (teori latihan hafal/ulangan).
Brownell mengemukakan ada tiga keberatan utama berkenaan dengan teori drill pada pengajaran
matematika :
Teori drill memberikan tugas yang harus dipelajari siswa yang hampir tidak mungkin dicapai.
Menurut hasil penelitian menunjukkan anak yang tahu 3 + 6 = 9 ternyata tidak tahu dengan baik,
bahwa 6 + 3 = 9. Penelitian lain menunjukkan bahwa penguasaan 3 + 6 = 9 tidak menjamin
dikuasainya 13 + 6 = 19, 23 + 6 = 29 atau 43 + 6 = 49, dan sebagainya.
Keberatan yang lainnya berkaitan dengan reaksi yang dihasilkan oleh drill. Pada saat guru
memberikan drill pada keterampilan aritmetika, ia berasumsi bahwa murid akan berlatih sebagai
reaksi dari yang telah ditentukan. Misalkan pada waktu guru memberi tugas 4 + 2 = 6 dan 9 – 5
= 4, ia mengharap semua siswa akan dengan diam berfikir atau mengucapkan dengan keras, 4
dan 2 sama dengan 6, 9 dikurangi 5 sama dengan 4. Guru percaya dengan sering mengulanginya
akhirnya siswa selalu menjawab 6 dan 4 untuk ke dua tugas tersebut. Kemudian melalui
penelitian diketahui bahwa hanya 40% dari siswa yang dapat menjawab dengan benar
berdasarkan ingatannya. Kegiatan ini menunjukkan bahwa drill tidak menghasilkan respons
otomatis untuk siswa-siswa di kelas 1 dan kelas 2 SD, padahal tugas dan beban belajar mereka
relatif lebih sedikit bila dibandingkan dengan kelas-kelas yang lebih atas.
Aritmetika adalah paling tepat dipandang sebagai suatu sistem berpikir kuantitatif. Pandangan ini
merupakan kriteria penilaian suatu sistem pengajaran matematika yang memadai atau tidak.
Jelas dari sudut pandanga ini, teori drill dalam pengajaran aritmetika tidak memadai, sebab
pengajaran melalui drill tidak menyediakan kegiatan untuk berfikir secara kuantitatif. Agar siswa
dapat berfikir secara kuantitatif ia harus mengetahui maksud dari apa yang dipejarinya
(mengerti), yang tidak pernah menjadi perhatian dari sistem pengajaran aritmetika melalui drill
(balapan).
Menurut teori makna, anak itu harus melihat makna dari apa yang dipelajarinya, dan ini
adalah isu utama pada pembelajaran matematika. Teori makna mengakui perlunya drill dalam
pembelajaran matematika, bahkan dianjurkan jika memang diperlukan. Jadi, drill itu penting, tetapi
drill dilakukan apabila suatu konsep, prinsip atau proses telah dipahami dengan mengerti oleh para
siswa.
Menurut brownell kemampuan mendemosntrasikan operasi-operai hitung secara mekanis dan
otomatis tidaklah cukup. Tujuan utama dari pengajaran aritmetika adalah mengembangkan atau
pentingnya kemampuan berfikir dalam situasi kuantitatif.
Brownell mengusulkan agar pengajaran aritmetika pada anak lebih menantang kegiatan
berfikirnya dari pada kegiatan mengingatnya. Program aritmetika di SD haruslah membahas tentang
pentingnya (significance) dan makna (meaning) dari bilangan. Pentingnya bilangan (the significance
of number) adalah nilainya atau pentingnya dalam kehidupan keseharian manusia.
Menurut Brownell dalam belajar orang membutuhkan makna, bukan hanya sekedar respon
otomatis yang banyak. Maka dengan demikian teori drill dalam pembelajaran matematika yang
dikembangkan atas dasar teori asosiasi atau teori stimulus respon, menurutnya terkesan bahwa proses
pembelajaran matematika khususnya aritmetika dipahami semata-mata hanya sebagai kemahiran.
Teori belajar William Brownell didasarkan atas keyakinan bahwa anak-anak pasti memahami
apa yang sedang mereka pelajari jika belajar secara permanen atau secara terus menerus untuk waktu
yang lama. Salah satu cara bagi anak-anak untuk mengembangkan pemahaman tentang matematika
adalah dengan menggunakan benda-benda tertentu ketika mereka mempelajari konsep matematika.
Teori belajar William Brownell dikenal seebagai meaning theory.
1) Memuat topik-topik dan pendekatan baru. Topik-topik baru yang muncul adalah himpunan,
statistik dan probabilitas, relasi, sistem numerasi kuno, penulisan lambang bilangan non
desimal.
2) Pembelajaran lebih menekankan pembelajaran bermakna dan berpengertian dari pada hafalan
dan ketrampilan berhitung.
3) Program matematika sekolah dasar dan sekolah menengah lebih kontinue
4) Pengenalan penekanan pembelajaran pada struktur
5) Programnya dapat melayani kelompok anak-anak yang kemampuannya heterogen.
6) Menggunakan bahasa yang lebih tepat.
7) Pusat pengajaran pada murid tidak pada guru.
8) Metode pembelajaran menggunakan metode menemukan, memecahkan masalah dan teknik
diskusi.
9) Pengajaran matematika lebih hidup dan menarik.
Dalam teorinya Brownell mengakui akan pentingnya drill, tetapi harus dilakukan apabila
konsep, prinsip, atau proses yang dipelajari telah lebih dahulu dipahami oleh siswa. Hal ini
dikarenakan bahwa penguasaan seseorang terhadap matematika tidak cukup hanya dilihat dari
kemampuan mekanik anak dalam berhitung saja, tetapi juga dalam aspek praktis dan kemampuan
berpikir kuantitatif. Selain itu juga Brownell memberikan saran dalam pengajaran matematika, siswa
sebaiknya memahami pentingnya bilangan baik dalam segi kehidupan sosial manusia maupun segi
intelektual dalam sistem kualitatif.
Jadi pembelajaran aritmetika yang dikembangkan oleh Brownel, menekankan bahwa
keterampilan hitung tidak hanya sekedar mengetahui cara menyelesaikan prosedur-prosedur tetapi
juga harus mengetahui bagaimana prosedur-prosedur tersebut bekerja atau dengan kata lain harus
mengetahui makna dari apa yang dipelajari. Aritmetika atau berhitung yang diberikan pada anak-anak
SD dulu lebih menitikberatkan hafalan dan mengasah otak. Aplikasi dari bahan yang diajarkan dan
bagaimana kaitannya dengan pelajaran-pelajaran lainnya sedikit sekali dikupas. Menurut Brownell
anak-anak yang berhasil dalam mengikuti pelajaran pada waktu itu memiliki kemampuan berhitung
yang jauh melebihi anak-anak sekarang. Banyaknya latihan yang diterapkan pada anak dan latihan
mengasah otak dengan soal-soal yang panjang dan sangat rumit merupakan pengaruh dari doktrin
disiplin formal.
Terdapat perkembangan yang menunjukkan bahwa doktrin formal itu memiliki kekeliruan
yang cukup mendasar. Dari penelitian yang dilaksanakan pada abad 19 terdapat hasil yang
menunjukkan bahwa belajar tidak melalui latihan hafalan dan mengasah otak, namun diperoleh anak
melalui bagaimana anak berbuat, berfikir, memperoleh persepsi, dll.
Bahasa dan cara berfikir anak berbeda dengan orang dewasa. Oleh karena itu, guru mengajar
dengan menggunakan bahasa yang sesuai dengan cara berfikir anak.
Anak-anak akan belajar lebih baik apabila dapat menghadapi lingkungan dengan baik. Guru
harus membantu anak agar dapat berinteraksi dengan lingkungan sebaik-baiknya.
Bahan yang harus dipelajari anak hendaknya dirasakan baru tetapi tidak asing.
Berikan peluang agar anak belajar sesuai tahap perkembangannya.
Siswa hendaknya diberi peluang untuk saling berbicara dan diskusi dengan siswa lain.
Pengaplikasian teori kognitif Brownell dalam belajar bergantung pada akomodasi. Kepada
siswa harus diberikan suatu area yang belum diketahui agar ia dapat belajar, karena ia tidak dapat
belajar dari apa yang telah diketahui saja dengan adanya area baru, siswa akan mengadakan usaha
untuk dapat mengakomodasikan.
Dengan demikian, dalam teori bermakna yang dikembangkan oleh Brownell bahwa
pengajaran operasi hitung akan mudah dipahami oleh siswa apabila makna bilangan dan operasinya
diikutsertakan dalam proses operasi. Kita percaya bukan keputusan mengajarkan matematika dengan
bermakna saja yang dapat menyebabkan perubahan dalam reformasi pendidikan, tetapi bagaimana
cara kita menginterpretasikan istilah pembelajaran matematika yang bermakna yang telah dan akan
melanjutkan usaha perbaikan dalam matematika.
2. TEORI DIENES
Dienes (dalam Ruseffendi, 1992) berpendapat bahwa pada dasarnya matematika dapat
dianggap sebagai studi tentang struktur, memisah-misahkan hubungan-hubungan di antara struktur-
struktur dan mengkategorikan hubungan-hubungan diantara struktur-struktur. Seperti halnya dengan
Bruner, Dienes mengemukakan bahwa tiap-tiap konsep atau prinsip dalam matematika yang disajikan
dalam bentuk yang konkret akan dapat dipahami dengan baik. Ini mengandung arti bahwa jika benda-
benda atau objek-objek dalam bentuk permainan akan sangat berperan bila dimanipulasi dengan baik
dalam pengajaran matematika.
Menurut Dienes, permainan matematika sangat penting sebab operasi matematika dalam
permainan tersebut menunjukkan aturan secara kongkret dan lebih membimbing dan menajamkan
pengertian matematika pada anak didik. Dapat dikatakan bahwa objek-objek kongkret dalam bentuk
permainan mempunyai peranan sangat penting dalam pembelajaran matematika jika dimanipulasi
dengan baik.Makin banyak bentuk-bentuk yang berlainan yang diberikan dalam konsep-konsep
tertentu, akan makin jelas konsep yang dipahami anak, karena anak-anak akan memperoleh hal-hal
yang bersifat logis dan matematis dalam konsep yang dipelajarinya itu.
Dalam mencari kesamaan sifat anak-anak mulai diarahkan dalam kegiatan menemukan sifat-
sifat kesamaan dalam permainan yang sedang diikuti. Untuk melatih anak-anak dalam mencari
kesamaan sifat-sifat ini, guru perlu mengarahkan mereka dengan mentranslasikan kesamaan struktur
dari bentuk permainan yang satu ke bentuk permainan lainnya. Translasi ini tentu tidak boleh
mengubah sifat-sifat abstrak yang ada dalam permainan semula.
Menurut Dienes, ada tiga jenis konsep matematika yaitu konsep murni matematika, konsep notasi,
dan konsep terapan.
Dalam menerapkan enam tahap belajar konsep dari Dienes untuk merancang pembelajaran
matematika, mungkin suatu tahap (bisa tahap bermain bebas) tidak cocok bagi para siswa atau
kegiatan-kegiatan untuk dua atau tiga tahap dapat digabung menjadi satu kegiatan. Mungkin perlu
dirancang kegiatan-kegiatan belajar khusus untuk setiap tahap jika kita mengajar siswa-siswa kelas
rendah, tetapi untuk siswa-siswa SMP dimungkinkan menghilangkan tahap-tahap tertentu dalam
mempelajari beberapa konsep.
Model mengajar matematika dari Dienes hendaknya diperlakukan sebagai pedoman, dan
bukan sekumpulan aturan yang harus diikuti secara ketat. Konsep perkalian bilangan bulat negatif
akan dibahas di sini sebagai contoh bagaimana tahap-tahap Dienes dapat digunakan sebagai pedoman
dalam merancang kegiatan mengajar/belajar. Karena hampir semua siswa belajar menambah,
mengurang, mengalikan dan membagi bilangan-bilangan asli, dan menambah dan mengurang
bilangan-bilangan bulat sebelum belajar mengalikan bilangan bulat, kita berasumsi bahwa konsep-
konsep dan keterampilan-keterampilan itu telah dikuasai oleh para siswa.
Tahap berpikir Van Hiele adalah kecepatan untuk berpindah dari satu tahap ke tahap
berikutnya lebih banyak dipengaruhi oleh aktifitas dalam pembelajaran.Dengan demikian,
pengorganisasian pembelajaran, isi, dan materi merupakan faktor penting dalam pembelajaran, selain
guru juga memegang peran penting dalam mendorong kecepatan berpikir siswa melalui suatu
tahapan.Tahap berpikir yang lebih tinggi hanya dapat dicapai melalui latihan-latihan yang tepat bukan
melalui ceramah semata.Dalam perkembangan berpikir, van Hiele (dalam Clements dan Battista,
1992:436) menekankan pada peran siswa dalam mengkonstruksi pengetahuan secara aktif. Siswa
tidak akan berhasil jika hanya belajar dengan menghapal fakta-fakta, nama-nama atau aturan-aturan,
melainkan siswa harus menentukan sendiri hubungan-hubungan saling Keterkaitan antara konsep-
konsep geometri daripada proses-proses geometri.
Dalam pengajaran geometri terdapat teori belajar yang dikemukakan oleh Van Hiele (1954),
yang menguraikan tahap-tahap perkembangan mental anak dalam geometri.Van Hiele adalah seorang
guru bangsa Belanda yang mengadakan penelitian dalam pengajaran geometri. Menurut Van Hiele
ada tiga unsur dalam pengajaran matematika yaitu waktu, materi pengajaran dan metode pengajaran,
jika ketiganya ditata secara terpadu maka akan terjadi peningkatan kemampuan berfikir anak kepada
tingkatan berfikir lebih tinggi.
Tahapan berpikir atau tingkat kognitif yang dilalui peserta didik dalam pembelajaran
geometri, menurut Van Hiele adalah sebagai berikut:
Tingkat ini disebut juga tingkat pengenalan. Pada tingkat ini, peserta didik memandang
sesuatu bangun geometri sebagai suatu keseluruhan (wholistic). Pada tingkat ini siswa belum
memperhatikan komponen-komponen dari masing-masing bangun. Dengan demikian, meskipun pada
tingkat ini peserta didik sudah mengenal nama sesuatu bangun, peserta didik belum mengamati ciri-
ciri dari bangun itu. Sebagai contoh, pada tingkat ini peserta didik tahu suatu bangun bernama
persegipanjang, akan tetapi peserta didik belum menyadari ciri-ciri bangun persegipanjang tersebut.
Tingkat ini dikenal sebagai tingkat deskriptif. Pada tingkat ini peserta didik sudah mengenal
bangun-bangun geometri berdasarkan ciri-ciri dari masing-masing bangun. Dengan kata lain, pada
tingkat ini peserta didik sudah terbiasa menganalisis bagian-bagian yang ada pada suatu bangun dan
mengamati sifat-sifat yang dimiliki oleh unsur-unsur tersebut
Level 2. Tingkat Abstraksi
Tingkat ini disebut juga tingkat pengurutan atau tingkat relasional. Pada tingkat ini, peserta
didik sudah bisa memahami hubungan antar ciri yang satu dengan ciri yang lain pada sesuatu bangun.
Sebagai contoh, pada tingkat ini siswa sudah bisa mengatakan bahwa jika pada suatu segiempat sisi-
sisi yang berhadapan sejajar, maka sisi-sisi yang berhadapan itu sama panjang. Di samping itu pada
tingkat ini siswa sudahmemahami pelunya definisi untuk tiap-tiap bangun. Pada tahap ini, siswa juga
sudah bisa memahami hubungan antara bangun yang satu dengan bangun yang lain. Misalnya pada
tingkat ini peserta didik sudah bisa memahami bahwa setiap persegi adalah juga persegipanjang,
karena persegi juga memiliki ciri-ciri persegipanjang.
Pada tingkat ini peserta didik sudah memahami perenan pengertian-pengertian pangkal,
definisi-definisi, aksioma-aksioma, dan terorema-teorema dalam geometri. Pada tingkat ini peserta
didik sudah mulai mampu menyusun bukti-bukti secara formal. Ini berarti bahwa pada tingkat ini
peserta didik sudah memahami proses berpikir yang bersifat deduktif-aksiomatis dan mampu
menggunakan proses berpikir tersebut.
Tingkat ini disebut juga tingkat metamatematis. Pada tingkat ini, peserta didik mampu
melakukan penalaran secara formal tentang sistem-sistem matematika (termasuk sistem-sistem
geometri), tanpa membutuhkan model-model yang konkret sebagai acuan. Pada tingkat ini, peserta
didik memahami bahwa dimungkinkan adanya lebih dari satu geometri. Sebagai contoh, pada tingkat
ini siswa menyadari bahwa jika salah satu aksioma pada suatu sistem geometri diubah, maka seluruh
geometri tersebut juga akan berubah. Sehingga, pada tahap ini siswa sudah memahami adanya
geometri-geometri yang lain di samping geometri Euclides.
Menurut Van Hiele, semua anak mempelajari geometri dengan melalui tahap-tahap tersebut,
dengan urutan yang sama, dan tidak dimungkinkan adanya tingkat yang diloncati. Akan tetapi, kapan
seseorang siswa mulai memasuki suatu tingkat yang baru tidak selalu sama antara siswa yang satu
dengan siswa yang lain. Selain itu, menurut Van Hiele, proses perkembangan dari tahap yang satu ke
tahap berikutnya terutama tidak ditentukan oleh umur atau kematangan biologis, tetapi lebih
bergantung pada pengajaran dari guru dan proses belajar yang dilalui siswa.
Menurut teori Pierre dan Dina Van Hiele (dalam Muharti, 1993) tingkat-tingkat pemikiran
geometrik dan fase pembelajaran siswa berkembang atau maju menurut tingkat-tingkat sebagai
berikut: dari tingkat visual Gestalt-like melalui tingkat-tingkat sophisticated dari deskripsi, analisis,
abstraksi dan bukti.
Fase 1. Informasi
Pada awal tingkat ini, guru dan siswa menggunakan tanya-jawab dan kegiatan tentang objek-
objek yang dipelajari pada tahap berpikir siswa.Dalam hal ini objek yang dipelajari adalah sifat
komponen dan hubungan antar komponen bangun-bangun segi empat. Guru mengajukan
pertanyaan kepada siswa sambil melakukan observasi. Tujuan dari kegiatan ini adalah: (1) guru
mempelajari pengalaman awal yang dimiliki siswa tentang topik yang dibahas. (2) guru
mempelajari petunjuk yang muncul dalam rangka menentukan pembelajaran selanjutnya yang
akan diambil
Fase 2: Orientasi
Siswa menggali topik yang dipelajari melalui alat-alat yang dengan cermat telah disiapkan guru.
Aktivitas ini akan berangsur-angsur menampakkan kepada siswa struktur yang memberi ciri-ciri
sifat komponen dan hubungan antar komponen suatu bangun segi empat. Alat atau pun bahan
dirancang menjadi tugas pendek sehingga dapat mendatangkan respon khusus.
Fase 3: Penjelasan
Berdasarkan pengalaman sebelumnya, siswa menyatakan pandangan yang muncul mengenai
struktur yang diobservasi.Di samping itu, untuk membantu siswa menggunakan bahasa yang
tepat dan akurat, guru memberi bantuan sesedikit mungkin.Hal tersebut berlangsung sampai
sistem hubungan pada tahap berpikir mulai tampak nyata.
Fase 4: Orientasi Bebas
Siswa menghadapi tugas-tugas yang lebih kompleks berupa tugas yang memerlukan banyak
langkah, tugas yang dilengkapi dengan banyak cara, dan tugas yang open-ended. Mereka
memperoleh pengalaman dalam menemukan cara mereka sendiri, maupun dalam
menyelesaikan tugas-tugas. Melalui orientasi di antara para siswa dalam bidang investigasi,
banyak hubungan antar objek menjadi jelas.
Fase 5: Integrasi
Siswa meninjau kembali dan meringkas apa yang telah dipelajari. Guru dapat membantu siswa
dalam membuat sintesis ini dengan melengkapi survey secara global terhadap apa yang telah
dipelajari. Hal ini penting, tetapi kesimpulan ini tidak menunjukkan sesuatu yang baru.Pada
akhir fase kelima ini siswa mencapai tahap berpikir yang baru.Siswa siap untuk mengulangi
fase-fase belajar pada tahap sebelumnya.
4. TEORI VIGOTSKY
Menurut Lev Vygotsky (1896-1934) seorang psikolog berkebangsaan Rusia,
perolehan pengetahuan dan perkembangan kognitif seseorang sejalan dengan teori
sosiogenesis. Artinya, pengetahuan dan perkembangan kognitif individu berasal dari sumber-
sumber sosial di luar dirinya. Hal ini tidak berarti bahwa individu bersikap pasif dalam
perkembangan kognitifnya, tetapi Vygotsky juga menekankan pentingnya peran aktif
seseorang dalam mengkonstruksi pengetahuannya. Maka teori Vygotsky sebenarnya lebih
tepat disebut dengan pendekatan kokonstruktivisme. Maksudnya, perkembangan kognitif
seseorang disamping ditentukan oleh individu sendiri secara aktif, juga oleh lingkungan
sosial secara aktif pula.
Pada dasarnya Vigotsky setuju dengan teori Piaget bahwa perkembangan kognitif terjadi
secara bertahap dan dicirikan dengan gaya berpikir yang berbeda-beda, akan tetapi Vygotsky
tidak setuju dengan pandangan Piaget bahwa anak menjelajahi dunianya sendirian dan
membentuk gambara realitasya sendirian, karena menurut Vygotsky suatu pengetahuan tidak
hanya didapat oleh anak itu sendiri melainkan mendapat bantuan dari lingkungannya juga.
Karya Vygotsky didasarkan pada pada tiga ide utama, yiatu :
a. intelektual berkembang pada saat individu menghadapi ide-ide baru dan sulit mengaitkan
ide-ide tersebut dengan apa yang mereka ketahui;
b. interaksi dengan orang lain memperkaya perkembangan intelektual; dan
c. utama guru adalah bertindak sebagai seorang pembantu dan mediator pembelajaran siswa.
Vygotsky lebih banyak menekankan peranan orang dewasa dan anak anak lain dalam
memudahkan perkembangan anak. Menurut Vygotsky, anak-anak lahir dengan fungsi mental
yang relatif dasar seperti kemampuan untuk memahami dunia luar dan memusatkan
perhatian. Namun, anak-anak tidak banyak memiliki fungsi mental yang lebih tinggi.
Pengalaman dengan orang lain secara berangsur menjadi semakin mendalam dan membentuk
gambaran batin anak tentang dunia. Menurut Vygotsky keterampilan-keterampilan dalam
keberfungsian mental berkembang melalui interaksi sosial langsung. Melalui pengoranisasian
pengalaman-pengalaman interaksi sosial yang berada dalam suatu latar belakang kebudayaan
ini. Perkembangan anak menjadi matang.
DISUSUN OLEH :
2019
A. BERPIKIR LOGIS MATEMATIS
Logis berasal dari kata logika. Menurut K Prent dalam (Mundiri, 2002:1) Logika sendiri
berasal dari kata Yunani, yaitu logos yang berarti perkataan atau sabda.Dalam (Mundiri,
2002:2) Irving menjelaskan logika adalah ilmu yang mempelajari metode dan hukum-hukum
yang digunakan untuk membedakan penalaran yang betul dari penalaran yang salah.
Sehingga didalam berpikir logis terdapat proses berpikir yang menggunakan penalaran secara
konsisten untuk menghasilkan kesimpulan (Meidasari, 2015: 39)
Romauli (2013:3) mendefiniskan berfikir logis adalah kegiatan berfikir yang didasarkan
atas kaidah-kaidah, aturan-aturan sistematika dan teknik berfikir yang tepat dan benar,
sehingga tidak mengandung kesalahan dan dapat menghasilkan kesimpulan yang benar.
Menurut Khasanah (2016:7) menjelaskan berpikir logis adalah kemampuan menemukan
suatu kebenaran berdasarkan aturan, pola atau logika tertentu sehingga diperoleh kebenaran
secara rasional. Sedangkan menurut Andriawan (2014:1) menjelaskan berpikir logis adalah
suatu proses berpikir dalam menarik kesimpulan yang berupa pengetahuan berdasarkan fakta
yang ada dengan menggunakan argumen yang sesuai dengan langkah dalam menyelesaikan
masalah hingga didapat suatu kesimpulan.Berpikir logis berhubungan erat dengan penalaran
dalam menarik kesimpulan, berpikir secara tepat, baik dalam kerangka maupun materi.Hal ini
sesuai dengan pendapat Yin (2010:5) dalam penelitiannya mendefinisikan “logical thinking is
the process in whichone uses reasoning consistently to come to a conclusion”. Dengan kata
lain berpikir logis adalah proses dimana seseorang menggunakan penalaran konsisten untuk
menuju ke suatu kesimpulan.Kemampuan berpikir logis (penalaran), yaitu kemampuan
menemukan suatu kebenaran berdasarkan aturan, pola atau logika tertentu (Usdiyana,
2009:2).
Kemampuan berpikir logis dapat terlihat ketika seseorang mampu menyimpulkan hasil
tertentu yang dicapai dengan menerapkan argumentasi dari dasar pemikiran yang digunakan.
Kemampuan berpikir logis memiliki peranan yang penting dalam proses pembelajaran dan
perkembangan individu.
Menurut Netriwati (2014:2) berfikir logis matematis merupakan salah satu tujuan dalam
pembelajaran matematika yang merupakan proses mental dalam mengembangkan pikiran
dari beberapa fakta dan sumber yang relevan.Sahat (2006:24) menjelaskan kemampuan
berpikir logis adalah suatu kemampuan menggunakan aturan, sifatsifat atau logika
matematika (berpikir induktif dan deduktif) untuk mendapatkan suatu kesimpulan yang
benar. Sehingga kemampuan berpikir logis sangat diperlukan siswa untuk memahami suatu
permasalahan matematis, karena dalam pemecahan masalah matematis terdapat langkah-
langkah yang terkadang hanya dapat dilakukan dengan logika (Jaya, 2013:3).
1)
Segitiga ABC adalah segitiga sama kaki yang alasnya dan
dengan besar sudut 60º, tentukan besar∠B!
2) Berapakah jumlah besarnya sudut dalam segi 7 beraturan?
5. Proporsi (Proportionality)
Karplus dalam kutipan Leongson dan Limjap (2003) mendefinisikan rasio atau
berpikir proporsional adalah pembentukan hubungan dari satu bagian ke bagian
lain atau dari seluruh sehubungan dengan besarnya, kuantitas atau gelar. Ini
mungkin merujuk pada pemahaman hubungan numerik seperti 5: 6 atau aljabar
hubungan dua variabel seperti y = 2x. Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia (KBBI), proporsi adalah perbandingan, bagian, atau pertimbangan.
Pada penelitian ini proporsi adalah kemampuan menentukan nilai kuantitas
berdasarkan nilai proporsi yang diberikan.
Berikut beberapa contoh soal matematika tentang proporsi:
1) Sebuah komite memiliki 15 anggota. Rasio perempuan dengan lakilaki
dalam panitia adalah 2: 1.Berapa banyak laki-laki dan berapa banyak
perempuan dalam komite?
2) Sebuah pekerjaan dapat diselesaikan 3 pekerja dalam waktu 15 hari. Jika
pekerjaan yang sama dikerjakan oleh 5 pekerja, berapa lama pekerjaan
tersebut dapat diselesaikan.
6. Probabilitas (Probability)
Karplus dalam Leongson dan Limjap (2003) berpikir probabilitas adalah
pembentukan sebuah pernyataan hubungan logis seperti bahwa bukti sesuai
dengan salah satu sesuai dengan lainnya untuk beberapa derajat.Pada penelitian
ini probabilitas adalah kemampuan menentukan kemungkinan terjadinya suatu
kejadian tertentu.
Berikut beberapa contoh soal matematika tentang probabilitas:
1) Di dalam sebuah tas berisi 2 kelereng merah, 1 kelereng hijau dan 3
kelereng biru. Jika kamu memilih secara acak, berapa kemungkinan kamu
memilih kelereng hijau?
2) Pak Amir akan memancing pada sebuah kolam yang berisi 21 ikan mujair,
12 ikan mas, dan 27 ikan tawes. Peluang Pak Amir mendapatkan ikan mas
untuk satu kali memancing adalah...
7. Korelasi (Correlation)
Karplus dalam Leongson dan Limjap (2003) berpikir korelasional adalah
pembentukan korelasi atau hubungan kausal. Hal ini juga dapat merujuk ke
presentasi atau yang mengatur sehingga untuk menunjukkan hubungan. Pada
penelitian ini korelasi adalah kemampuan menarik kesimpulan berdasarkan
hubungan sebab-akibat dari pernyataanpernyataan yang diberikan.
Berikut beberapa contoh soal matematika tentang korelasi:
1) Hubungan antara harga jual mobil dengan usia sebuah mobil?
2) Jelaskan hubungan antara panjang diagonal-diagonal dan keliling belah
ketupat.
B. BERPIKIR KRITIS MATEMATIS
Menurut Eliaine B Johnson (2007) berpikir kritis di motivasi dari keinginan diri sendiri
untuk menemui jawaban dan mencapai pemahaman, pemikir kritis meneliti proses berpikir
orang lain apakah proses berpikir orang tersebut tersebut masuk akal atau tidak.Orang yang
memiliki kemapuan berikir kritis tidak mudah menyetujui pendapat orang lain hal ini di
lakukan bukan karna mereka egois namun mereka memikirkan, menelaah, mengevaluasi
tentang pendapat-pendapat yang di sampaikan apakah secara logika dan ilmu pengetahun
yang di milikinya dapat di terima akal.
Menurut Simbolok dkk (2007), berpikir kritis adalah proses mencari, memperoleh,
mengevaluasi, menganalisis, mensintesis suatu informasi sebagai petunjuk untuk
mengembangkan pemikiran seseorang dengan selfawareness dan kemampuan menggunakan
informasi itu guna memiliki kreatifitas dan berani menggambil resiko.
Sedangkan menurut hasibuan dan surya (2016) kemampuan berpikir kritis merupakan
dasar untuk menganalisis pendapat dan mengembangkannya secara logis. Menurut Eliaine B
johnson (2007) berpikir kritis adalah berpikir dengan baik, merenungkan apa yang sedang di
pikirkan (proses berpikir) yang merupakan bagian dari berpikir dengan baik. Sedangkan
menurut Chafee (Elaine, Johnson : 2007) “Berpikir kritis sebagai berpikir untuk menyelidiki
secara sistematis proses berpikir itu sendiri”, maksudnya adalah tidak hanya berpikir dengan
sengaja namun menelaah apa yang di pikirkan, dengan mempertimbangkan logika dan bukti-
bukti.
Seseorang yang memiliki pemikiran kritis memiliki ciri-ciri, hal ini di kemukakan oleh
Costa (Utami Sumarno, 2007) antara lain : mampu mendeteksi perbedaan informasi yang
diperoleh, mampu mengumpulkan informasi dan data-data untuk pembuktian faktual,
mampu mengidentifikasi atribut-atribut benda, mampu membuat daftar alternati-alternatif
pemecahan masalah, mampu membuat hubungan antara masalah yang satu dengan masalah
yang lain (mencari benang merah dari sebuah persoalan), mampu menarik kesimpulan dan
mengenerilasi dari data-data atau informasi-informasi yang berasal dari lapangan. Mampu
membuat prediksi, mengkalisifkasi informasi dan ide, mampu menginterprestasikan dan
menjabarkan informasi ke pola tertentu, menganalisis isi, prinsip, hubungan, mampu
membandingkan dan mempertentangkan yang kontras dan mampu membuat hubungan yang
valid.
Terdapat batasan mengenai berpikir kritis yang di kemukakan oleh Swartz dan Parkins
(Utami Sumarmo, 2007) yaitu :
1. Bertujuan untuk mencapai penilaian yang kritis tentang apa yang akan kita terima
maupun apa yang akan kita lakukan dengan alasan yang logis dan masuk akal.
2. Memakai standar penilaian sebagai hasil dari berpikir kritis dalam membuat suatu
keputusan.
3. Menerapkan berbagai startegi atau cara yang tersususun dan memberikan alasan
untuk mengguakan cara atau strategi itu.
4. Mencari dan menggumpulan informasi yang dapat dipercaya untuk dipakai sebagai
bukti yang dapat mendukung penilaian.
Sedangkan menurut Gerhard (Utami Sumarmo, 2007) memberikan batasan berpikir
kritis sebagai proses yang rumit yang melibatkan penerimaan, penguasaan data, analisis data,
evaluasi serta membuat seleksi atau membuat keputusan berdasarkan hasil evaluasi.
Sementara menurut Spilitter (Utami Sumarno. 2007) berpikir kritis adalah kegiatan
introspeksi diri yang menimbulkan rasa peka terhadap lingkungan sekitar. Ini berarti orang
yang memiliki pemikiran yang kritis adalah orang yang secara sadar dan rasional berpikir
tentang pikirannya, dimana pikiran tersebut dapat digunakan untuk menyelesaikan persoalan
lain pada situasi tertentu.
Adapun indikator untuk mengetahui sejauh mana peserta didik atau seseorang memiliki
kemampuan berpikir kritis, Ennis (Utari Sumarno : 2007) mengkelompokannya menjadi 5
kelompok keterampilan yaitu:
1. Memberikan penjelasan sederhana dengan memfokuskan pertanyaan, menganalisis
argumen, bertanya dan menjawab tentang suatu penjelasan
2. Membangun keterampilan dasar meliputi mempertimbangkan kredibilitas sumber,
mengobservasi dan mempertimbangkan hasil observasi tersebut
3. Menyimpulkan meliputi membuat deduksi dan induksi mempertimbangkannya,
membuat keputusan dan mempertimbangkan hasilnya
4. Memberikan pejelasan lebih lanjut yang meliputi mendefinisikan istilah dan
mempertimbangkan definis dan memberikan asumsi tentang definisi tersebut
5. Mengatur strategi dan taktik yang meliputi memutuskan melakukan tindakan yang
akan di lakukan, berinteraksi dengan orang lain.
Matematika diperoleh dari serangkaian proses berpikir, jelas bahwa matematika
memiliki cakupan yang luas bukan hanya sebagai proses berhitung namun juga proses-proses
berpikir lainnya yang salah satunya yaitu proses berikir kritis, hal ini terlihat di dalam pokok-
pokok bahasan matematika yang tersusun mulai dari yang mendasar atau mudah hingga
kepada pengembangannya atau sulit, dengan susunan seperti itu membuat pola-pola berpikir
kritis muncul dalam diri seseorang yang mempelajari matematika, dengan begitu setiap orang
ingin mempelajari matematika dengan baik melalui jalur yang pasti dan logis.
Matematika timbul dari pikiran-pikiran manusia yang berhubungan dengan ide, proses
dan penalaran yang terbagi menjadi empat wawasan luas, yaitu aritmatika, aljabar, geometri,
dan analisis. Ada empat macam peran matematika menurut Adams dan Hamm yaitu (1)
matematika sebagai suatu cara berpikir, (2) matematika sebagai suatu pemahaman tentang
pola dan hubungan, (3) matematika sebagai alat dan (4) matematika sebagai bahasa atau alat
untuk berkomunikasi. Sedangkan pola pikir yang digunakan dalam matematika diambil dari
yang bersifat umum ke yang bersifat khusus.
Berdasarkan uraian di atas yang dimaksud dengan matematika dalam penelitian ini
adalah ilmu pengetahuan yang dapat digunakan dalam memecahkan masalah yang berkaitan
dengan kontekstual kehidupan nyata, ataupun memecahkan masalah yang berkaitan dengan
pelajaran lain, dan dengan mempelajari matematika akan menghantarkan kepada penalaran
yang dapat dialihgunakan pada setiap keadaan seperti berpikir kritis
Setelah membaca pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa kemampuan berpikir
kritis matematis adalah kesanggupan yang dimiliki untuk menggabungkan semua
pengetahuan dan pengalaman yang akan di reduksi dan di telaah kemuadian disimpulkan
untuk menyelesaikan suatu masalah matematika.
Menurut Utari Sumarno (2007) Kemampuan berpikir kritis matematis memiliki indikator
sebagai berikut:
Indikator berpikir kritis matematik (handout Prof Utari)
1. Memusatkan pada satu pertanyaan, masalah, tema
2. Memeriksa kebenaran argumen, pernyataan dan proses solusi
3. Bertanya dan menjawab disertai alasan
4. Mengamati dengan kreteria, mengidentifikasi asumsi, memahami dengan baik,
mengidentifikasi data relevan dan tidak relevan
5. Mendeduksi dan menginduksi
6. Membuat pertimbangan, menilai secara menyeluruh
7. Mencari alternatif
Contoh soal kemapuan kritis matematis diantaranya:
1. Jika Awwibi menembakkan empat anak panah ke papan dan diberi skor 55, Apa saja
angka yang dia kenai?
2. Aisyah memiliki tabungan sebanyak Rp 200.000,00 dan Ahmad mempunyai tabungan
sebanyak Rp 250.000. jika Aisyah membeli Buku Matematika dari seperempat
tabungannya dan Ahmad membeli buku IPA dari seperlima tanbungannya. Apakah uang
yang dikeluarkan Aisyah untuk membeli buku Matematika lebih banyak dari Uang
Ahmad yang di keluarkanya untuk membeli buku IPA? Benarkah pernyataan diatas?
Jelaskan
3. Andi, Budi dan Candra berlomba mengerjakan sejumlah soal dalam suatu belajar
kelompok. Ternyata jumlah soal yang dikerjakan Andi dan Budi lebih banyak dari pada
dua kali jumlah soal yang mampu dikerjakan Candra, sedangkan jumlah soal yang
dikerjakan Budi lebih sedikit dari pada jumlah soal yang dikerjakan Candra. Siapakah
yang mampu mengerjakan soal paling banyak? Jelaskan
4. Sebuah tempat penyewaan mobil memberikan ketentuan kepada pelanggan bahwa untuk
menyewa sebuah mobil dalam setengah hari dikenakan biaya Rp 200.000 ditambah Rp
750 dihitung setiap km. Berapa Kilometer perjalanan seseorang penyewa mobil agar
biaya yang di keluarkan tidak lebih dari Rp 550.000,00
5. Pak Agus bekerja selama 6 hari dengan 4 hari diantaranya lebur mendapatkan upah Rp
1.000.000, pak bardi bekerja selama 5 hari dengan 2 hari diantaranya lembur mendapat
upah Rp 700.000. Pak Agus, Pak Bardi dan Pak Dodo bekerja dengan aturan upah yang
sama. Jika pak Dodo bekerja 5 hari dengan terus menerus lembur, berapakah upah yang
diterima pak Dodo? Dan apakah upah pak Dodo lebih besar dari upah Pak Agus?
Jelaskan
6. Mencangkup kemampuan mengidentifikasi sumsi yang diberikan
Contoh soal: Andaikan 𝑎 > 0, 𝑏 > 0 𝑑𝑎𝑛 𝑐 < 2. Data yang diketahui
manakah yang tidak digunakan ketika menunjukan bahwa grafik fungsi
kuadrat 𝑓(𝑥) = 𝑎𝑥 2 + 𝑏𝑥 + 𝑐 selalu memotong garis y=2? Mengapa?
7. Kemampuan meruluskan pokok-pokok permasalahan
Contoh soal: Dalam persegi panjang ABCD, AB = 10 cm dan BC = 8 cm
akan dibentuk segiempat ABQP, P pada CD, Q pada BC dan CQ=CP kalian
harus meletakan titik P dan Q sehingga diperoleh luas ABQP paling besar.
Apakah masalah tersebut dapat dinyatakan dalam bentuk model
matematikayang paling sederhana! Tentukan panjang CP
8. Kemampuan menentukan akibat dari suatu ketentuan yang diambil
Contoh soal: Sifat –sifat apa yang akan terjadi jika fungsi kuadrat
dirumuskan oleh 𝑓(𝑥) = 𝑎𝑥 2 + 𝑏𝑥 + 𝑐 , a+b=0? Mengapa?
9. Kemampuan mengungkap data/definisi/teorema dalam menyelesaikan masalah
Contoh soal: Tentukan jarak dari titik (1,1) ke garis 3x+4y+3=0 denga
menggunakan konsep fungsi kuadrat.
10. Kemampuan mengevaluasi argumen yang relevan dan penyelesaian suatu masalah
Contoh soal: Tunjukan supaya syarat supanya grafik fungsi kuadrat 𝑓(𝑥) =
𝑎𝑥 2 + 𝑏𝑥 + 𝑐, 𝑎 > 0 selalu memotong garis y=1 adalah c=1
MAKALAH
KEMAMPUAN MATEMATIKA
DISUSUN OLEH :
2019
A. BERPIKIR KREATIF SECARA MATEMATIS
Berpikir kreatif merupakan kegiatan mental yang menghasilkan sesuatu yang
baru hasil dari pengembangan. Hal ini sesuai dengan pendapat Coleman dan
Hammen (Sukmadinata, 2004a) bahwa “Berpikir kreatif adalah suatu kegiatan
mental untuk meningkatkan kemurnian (originality) dan ketajaman pemahaman
(insight) dalam mengembangkan sesuatu (generating)”. Kemampuan berpikir
kreatif berkenaan dengan kemampuan menghasilkan atau mengembangkan
sesuatu yang baru, yaitu sesuatu yang tidak biasa yang berbeda dari ide-ide yang
dihasilkan kebanyakan orang.
Menurut de Bono (2007) Kemampuan siswa dalam berpikir kreatif
memungkinkan siswa tersebut memperoleh banyak cara atau alternatif
penyelesaian dari suatu masalah. Meskipun terkadang terlalu banyak cara akan
menyulitkan sampai kepada hasil akhir, namun dengan banyaknya pilihan akan
memungkinkan siswa sampai kepada tujuan dibandingkan siswa yang memang
benar-benar tidak memiliki cara untuk sampai kepada solusi masalahnya. Oleh
karena itulah berpikir kreatif sangat penting dalam diri seorang siswa. Berpikir
kreatif merupakan kunci dari berpikir untuk merancang, memecahkan masalah,
untuk melakukan perubahan dan perbaikan, memperoleh gagasan baru.
Kemampuan berpikir kreatif menekankan pada beberapa indikator. Siswono
(2005) ada tiga indikator berpikir kreatif yaitu kefasihan, fleksibelitas dan
kebaruan. Berdasarkan ketiga indikator tersebut, Siswono (2006) mengungkapkan
bahwa terdapat 5 tingkatan dari kemampuan berpikir kreatif. Dimulai dari tingkat
4 yang tertinggi sampai tingkat 0 sebagai yang terendah.
Kemampuan berpikir kreatif merupakan kemampuan yang berhubungan
dengan kreativitas yang dapat diartikan sebagai cara berpikir untuk mengubah
atau mengembangkan suatu permasalahan, melihat situasi atau permasalahan dari
sisi yang berbeda, terbuka pada berbagai ide dan gagasan bahkan yang tidak
umum.
Kemampuan berpikir kreatif dalam pelajaran matematika menurut Silver
(dalam Siswono, 2007) dilakukan dengan menggunakan The Torance Tests of
Creative Thinking (TTCT). Tiga komponen kunci yang dinilai dalam
menggunakan TTCT adalah kefasihan (fluency), fleksibilitas dan kebaruan
(novelty). Kefasihan mengacu pada banyaknya ide-ide yang dibuat dalam
merespon sebuah perintah. Fleksibilitas tampak pada perubahan-perubahan
pendekatan ketika merespon perintah. Kebaruan merupakan keaslian ide yang
dibuat dalam merespon perintah.
Siswa yang kreatif dapat memandang masalah dari berbagai persfektif. Hal
demikian akan memungkinkan individu tersebut memperoleh berbagai alternative
strategi pemecahan masalah. Tuntutan kepada institusi pendidikan untuk
mengembangkan kemampuan berpikir kreatif siswa semakin mengemuka.
Sebagainmana kemampuan lainnya, kemampuan berpikir kreatif juga dapat
dikembangkan melalui pembelajaran matematika.
Kemampuan berpikir kreatif tidak bisa muncul dengan sendirinya melainkan
butuh suatu latihan. Dalam hal ini guru harus bisa melatih dan mengasah
kemampuan berpikir kreatif siswa dengan pembelajaran yang memunculkan
permasalahan-permasalahan sehari-hari yang bersifat tidak rutin. Masalah rutin
adalah masalah yang prosedur penyelesaiannya sekedar mengulang. Sedangkan
masalah tidak rutin adalah masalah yang prosedur penyelesaiannya memerlukan
perencanaan penyelesaian, tidak sekedar menggunakan rumus dan teori.
Sriraman dan Liljedahl (dalam, Aizikovitsh 2014) mendefenisikan kreatifitas
matematika dalam konteks sekolah sebagai tingkat proses yang menghasilkan
solusi kebaruan yang dapat diberikan pada permasalahan dan atau menjadikan
pendekatan lama menjadi baru. Chamberlain and Moon (2005) menunjukkan
bahwa siswa kreatif berbakat memiliki kemampuan yang tidak biasa untuk
menghasilkan sesuatu yang baru dan solusi berguna untuk masalah simulasi atau
nyata, menggunakan model matematika. Lebih jauh Chiu (2009) menghubungkan
kreatifitas matematika siwa dengan kemampuan menyelesaikan masalah rutin dan
non rutin dan bahkan untuk mendekati masalah terstruktur.
Kreativitas dalam matematika lebih pada kemampuan berpikir kreatif.
Karena secara umum sebagian besar aktivitas yang dilakukan seseorang yang
belajar matematika adalah berpikir. Beberapa ahli mengatakan bahwa berpikir
kreatif dalam matematika merupakan kombinasi berpikir logis dan berpikir
divergen yang didasarkan intuisi tetapi dalam kesadaran yang memperhatikan
fleksibilitas, kefasihan dan kebaruan (Pehkonen, 1999; Krutetskii, 1976; Silver,
1997).
Matematika memiliki potensi untuk meningkatkan kemampuan berpikir,
berargumentasi, memberikan kontribusi dalam penyelesaian masalah sehari-hari
dan potensi tersebut dapat terwujud bila pembelajaran matematika menekankan
pada aspek peningkatan kemampuan berpikir tingkat tinggi yang mengharuskan
siswa memanipulasi informasi serta ide-ide dalam cara tertentu yang memberikan
mereka pengertian dan implikasi baru (Noer, 2009). Kemampuan berpikir tingkat
tinggi salah satunya adalah berpikir kreatif. Hal ini sesuai dengan pernyataan dari
King, Goodson, & Rohani (2009) “Higher order thinking skills include critical,
logical, reflective, metacognitive, and creative thinking”. Artinya bahwa
kemampuan berpikir tingkat tinggi (higher order thinking skills) mencakup
berpikir kritis, logis, kreatif, reflektif, dan metakognitif.
Terdapat empat tahap dalam berpikir kreatif, yaitu:
1) Exploring, mengidentifikasi hal-hal apa saja yang ingin dilakukan dalam
kondisi yang ada pada saat ini,
2) Inventing, melihat atau mereview berbagai alat, teknik, dan metode yang
telah dimiliki yang mungkin dapat membantu dalam menghilangkan cara
berpikir yang tradisional,
3) Choosing, mengidentifikasi dan memilih ide-ide yang paling mungkin
untuk dilaksanakan,
4) Implementing, bagaimana membuat suatu ide dapat diimplementasikan.
Kemudian Siswono (2007) juga mengembangkan level Tingkat berpikir
kreratif ini terdiri dari lima tingkatan yaitu tingkat berpikir kreatif 4 (sangat
kreatif), tingkat berpikir kreatif 3 (kreatif), tingkat berpikir kreatif2 ( cukup
kreatif), tingkat berpikir kreatif 1 (kurang kreatif), dan tingkat berpikir kreatif 0
(tidak kreatif).
Silver (1997: 76) memberikan indikator untuk menilai kemampuan berpikir
kreatif siswa yang mengacu pada kefasihan, fleksibilitas dan kebaruan melalui
pemecahan masalah. Selanjutnya Silver (1997: 78) mengatakan (a) siswa
dikatakan fasih dalam memecahkan masalah matematika, jika siswa tersebut
mampu menyelesaikan masalah dengan bermacam-macam interpretasi, metode
penyelesaian,atau jawaban masalah, (b) siswa dikatakan fleksibilitas dalam
memecahkan masalah matematika, jika siswa tersebut mampu menyelesaikan
masalah dalam satu cara, kemudian denganmenggunakan cara lain siswa
mendiskusikan berbagai metode penyelesaian, dan (c) siswa dikatakan
menemukan kebaruan dalam memecahkan masalah matematika, jika siswa
tersebut mampu memeriksa beberapa metode penyelesaian atau jawaban,
kemudian membuat cara penyelesaian yang berbeda.
Pola ke - 1 2 3 4
20
D B
◦
pemancingan60
14C A
MAKALAH
KEMAMPUAN PEMAHAMAN MATEMATIKA DAN KEMAMPUAN
KONEKSI MATEMATIKA
Dosen Pengampu : Prof.Dr. Sahat Saragih,M.Pd
DISUSUN OLEH :
JURUSAN MATEMATIKA
2019
KEMAMPUAN PEMAHAMAN MATEMATIKA
Ada tiga macam pemahaman matematik, yaitu : pengubahan (translation), pemberian arti
(interpretasi) dan pembuatan ekstrapolasi (ekstrapolation). Pemahaman translasi digunakan
untuk menyampaikan informasi dengan bahasa dan bentuk yang lain dan menyangkut
pemberian makna dari suatu informasi yang bervariasi. Interpolasi digunakan untuk
menafsirkan maksud dari bacaan, tidak hanya dengan kata-kata dan frase, tetapi juga
mencakup pemahaman suatu informasi dari sebuah ide. Sedangkan ekstrapolasi mencakup
estimasi dan prediksi yang didasarkan pada sebuah pemikiran, gambaran kondisi dari suatu
informasi, juga mencakup pembuatan kesimpulan dengan konsekuensi yang sesuai dengan
informasi jenjang kognitif ketiga yaitu penerapan (application) yang menggunakan atau
menerapkan suatu bahan yang sudah dipelajari ke dalam situasi baru, yaitu berupa ide, teori
atau petunjuk teknis.
2. Mampu menyajikan situasi matematika kedalam berbagai cara serta mengetahui perbedaan,
3) Kemampuan memberi contoh dan bukan contoh adalah kemampuan siswa untuk dapat
membedakan contoh dan bukan contoh dari suatu materi.Contoh: siswa dapat mengerti
contoh yang benar dari suatu materi dan dapat mengerti yang mana contoh yang tidak benar
5) Kemampuan mengembangkan syarat perlu atau syarat cukup dari suatu konsep adalah
kemampuan siswa mengkaji mana syarat perlu dan mana syarat cukup yang terkait dalam
suatu konsep materi. Contoh: siswa dapat memahami suatu materi dengan melihat syarat-
syarat yang harus diperlukan/mutlak dan yang tidak diperlukan harus dihilangkan.
KESIMPULAN
DAFUS
NCTM. (1989). Curriculum and Evaluation Standards for School Mathematics. Reston, VA :
NCTM
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
DISUSUN OLEH :
JURUSAN MATEMATIKA
2019
KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH MATEMATIKA
Pemecahan masalah merupakan salah satu kemampuan yang harus dikuasai siswa setelah
belajar matematika. Kemampuan ini sangat diperlukan siswa,terkait dengan kebutuhan siswa
untuk memecahkan masalah yang dihadapinya dalam kehidupan sehari-hari dan mampu
mengembangkan diri mereka sendiri. Pemecahan masalah dapat dikatakan sebagai pendekatan
dan tujuan yang ingin dicapai setelah belajar matematika (Hamzah, 2003). Jika pemecahan
masalah sebagai pendekatan, maka asumsi-asumsi yang terdapat dalam pendekatan tersebut
harus muncul dalam langkah-langkah pembelajaran yang akan dilakukan. Siswa dilatih untuk
mampu memecahkan masalah dengan menggunakan langkah-langkah pemecahan
masalah.Pemecahan masalah dipandang sebagai alat dalam memecahkan masalah yang
dihadapi maupun dalam memahami atau menemukan suatu konsep matematika.
Sedangkan pemecahan masalah sebagai tujuan yang ingin dicapai artinya setelah
pembelajaran, siswa memiliki kemampuan-kemampuan yang terkait dengan indikator
pemecahan masalah. Indikator pemecahan masalah yang termuat dalam Standar Isi (SI) pada
Permendiknas Nomor 22 Tahun 2006, antara lain:
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad (2005).Kemampuan pemahaman dan pemecahan masalah matematika siswa
SLTP dengan model pembelajaran berbasis masalah.
Badan Standardisasi Nasional Pendidikan (2006). Pedoman penyusunan kurikulum
tingkat satuan pendidikan. Jakarta: Depdiknas
Suherman, dkk.(2001). Strategi pembelajaran matematika kontemporer. Bandung: JICA.
Dalam menyelesaikan suatu masalah yang terkait dalam representasi siswa setidaknya harus
memenuhi tiga bentuk operasional sebagai berikut:
3 Kata-kata atau teks Membuat situasi masalah berdasarkan data atau representasi
tertulis yang diberikan
1.Metode diskusi melibatkan semua siswa secara langsung dalam proses belajar.
2.Setiap siswa dapat menguji tingkat pengetahuan dan penguasaan bahan pelajarannya
masing-masing.
3.Metode diskusi dapat menumbuhkan dan mengembangkan cara berfikir dan sikap ilmiah.
5.Metode diskusi menunjang usaha-usaha pengembangan sikap sosial dan sikap demokratis
para siswa.
1. Menyajikan kembali data atau informasi dari suatu representasi ke representasi diagram,
grafik, atau tabel.
2. Membuat persamaan atau model matematis dari representasi lain yang diberikan.
3. Membuat suatu representasi ke representasi diagram, grafik, atau table untuk memperjelas
masalah dan memfasilitasi penyelesaiannya.
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
DISUSUN OLEH :
JURUSAN MATEMATIKA
2019
KEMAMPUAN SIKAP AFEKTIF MATEMATIKA
Afektif atau sikap merupakan suatu kecendrungan tingkah laku untuk berbuat
sesuatu dengan cara, metode, teknik, dan pola tertentu terhadap dunia sekitarnya. Dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia Afektif adalah berkenaan dengan rasa takut atau cinta,
mempengaruhi keadaan, perasaan dan emosi, serta mempunyai gaya atau makna yang
menunjukkan perasaan.
1. Sikap terhadap materi pelajaran, peserta didik perlu memiliki sikap positif terhadap
materi pelajaran. Dengan Siokap positif peserta didik akan tumbuh minat belajar, akan
lebih mudah diberi motivasi, dan akan lebih mudah menyerap materi pelajaran yang
di ajarkan.
2. Sikap terhadap guru atau pengajar. Peserta didik perlu memiliki sikap positif terhadap
guru. Peserta didik yang tidak memiliki sikap positif terhadap guru akan cendrung
mengabaikan hal- hal yang diajarkan. Dengan dimikian, peserta didik yang memiliki
sikap negative terhadap guru/ pengajar akan sukar menyerap materi pelajaran yang
diajarkan oleh guru tersebut.
3. Sikap terhadap proses pembelajaran. Peserta didik perlu memiliki sikap positif
terhadap proses pembelajaran yang berlangsung. Proses pembelajaran mencakup
suasana pembelajaran, strategi, metodologi dan teknik pembelajaran yang digunakan.
Proses pembelajaran yang menarik, nyaman dan menyenangkan dapat menumbuhkan
belajar peserta didik, sehingga dapat mencapai hasil belajar yang maksimal.
4. Sikap berkaitan dengan nilai atau norma yang berhubungan dengan suatu materi
pelajaran.
Berdasarkan uraian di atas, dapat diidentifikasikan bahwa unsur-unsur ranah afektif paling
tidak meliputi: perhatian/minat, sikap, nilai, apresiasi, karakter, kepercayaan, perasaan, emosi
perilaku, keinginan, dan penyesuaian.
1. Karakter
Karakter adalah tabiat, watak, akhlak, atau kepribadian seseorang terbentuk dari
hasil internalisasi berbagai kebajikan yang diyakini sebagai landasan untuk cara pandang,
berpikir, dan bertindak. Kebajikan terdiri atas sejumlah nilai dan norma (Pusat
Pengembangan Kurikulum, 2010: 3). Aristotle, filsof Yunani, menyatakan bahwa
karakter yang baik merupakan pengamalan tingkah laku yang benar (Lickona, 1991:50).
Tingkah laku yang benar dilihat dari sisi orang lain dan lingkungan. Lebih lanjut Aristotle
mengatakan bahwa kehidupan pada zaman modern cenderung melupakan budi pekerti
termasuk orientasi diri, seperti kontrol diri, sikap dermawan, dan rasa sosial. Karakter
adalah seperangkat trait yang menentukan sosok seseorang sebagai individu (Kurtus,
2010). Karakter menentukan apakah sesorang dalam mencapai keinginannya
menggunakan cara yang benar menurut lingkungannya dan mematuhi hukum dan aturan
kelompok. Jadi, karakter merupakan sifat atau watak seseorang yang bisa baik dan bisa
tidak baik berdasarkan penilaian lingkungannya.
Karakter berkaitan dengan personalitas walaupun ada perbedaannya. Personalitas
merupakan trait bawaan sejak lahir, sedang karakter merupakan perilaku hasil
pembelajaran. Sesorang lahir dengan trait personaliti tertentu, Seseorang ada yang pemalu
dan ada yang terbuka dan mudah bicara. Klasifikasi lain adalah apakah sesorang
beroritentasi pada tugas atau senang kegiatan sosial. Hal ini yang menjadikan sesorang
memiliki sifat ingin menguasai, ingin mempengaruhi, personaliti stabil atau patuh.
2. Sikap
Menurut Fishbein dan Ajzen (1975), sikap adalah suatu predisposisi yang
dipelajari untuk merespon secara positif atau negatif terhadap suatu objek, situasi, konsep,
atau orang. Sikap peserta didik terhadap objek misalnya sikap terhadap sekolah atau
terhadap mata pelajaran. Sikap peserta didik ini penting untuk ditingkatkan (Popham,
1999: 204). Sikap peserta didik terhadap mata pelajaran, misalnya bahasa Inggris, harus
lebih positif setelah peserta didik mengikuti pembelajaran bahasa Inggris dibanding
sebelum mengikuti pembelajaran. Perubahan ini merupakan salah satu indikator
keberhasilan pendidik dalam melaksanakan proses pembelajaran. Untuk itu pendidik
harus membuat rencana pembelajaran termasuk pengalaman belajar peserta didik yang
membuat sikap peserta didik terhadap mata pelajaran menjadi lebih positif.
3. Minat
Getzel (1966: 98), minat adalah suatu disposisi yang terorganisir melalui
pengalaman yang mendorong seseorang untuk memperoleh objek khusus, aktivitas,
pemahaman, dan keterampilan untuk tujuan perhatian atau pencapaian. Sedangkan
menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1990: 583), minat atau keinginan adalah
kecenderungan hati yang tinggi terhadap sesuatu. Hal penting pada minat adalah
intensitasnya. Secara umum minat termasuk karakteristik afektif yang memiliki intensitas
tinggi.
4. Persepsi
Persepsi atau tanggapan adalah proses mental yang terjadi pada diri manusia
yang akan menunjukkan bagaimana kita melihat, mendengar, merasakan, memberi,
serta meraba (kerja indra) disekitar kita.
Persepsi mempunyai ciri-ciri tertentu. Menurut Marliani (2010), ciri-ciri
persepsi adalah:
1. Seleksi adalah proses penyaringan oleh indera terhadap rangsangan dari luar,
intensitas dan jenisnya dapat banyak atau sedikit.
2. Interpretasi (penafsiran), yaitu proses mengorganisasikan informasi sehingga
mempunyai arti bagi seseorang. Interpretasi dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti
pengalaman masa lalu, sistem nilai yang dianut, motivasi, kepribadian, dan
kecerdasan. Interpretasi juga bergantung pada kemampuan seseorang untuk
mengadakan pengkategorian informasi yang diterimanya, yaitu proses mereduksi
informasi yang komplek menjadi sederhana.
3. Interpretasi dan persepsi kemudian diterjemahkan dalam bentuk tingkah laku sebagai
reaksi yaitu bertindak sehubungan dengan apa yang telah di serap yang terdiri dari
reaksi tersembunyi sebagai pendapat/sikap dan reaksi terbuka sebagai tindakan yang
nyata sehubungan dengan tindakan yang tersembunyi (pembentukan kesan).
KESIMPULAN
Afektif atau sikap merupakan suatu kecendrungan tingkah laku untuk berbuat
sesuatu dengan cara, metode, teknik, dan pola tertentu terhadap dunia sekitarnya. Dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia Afektif adalah berkenaan dengan rasa takut atau cinta,
mempengaruhi keadaan, perasaan dan emosi, serta mempunyai gaya atau makna yang
menunjukkan perasaan.
DAFTAR PUSTAKA
Andersen, Lorin. W. 1981. Assessing Affective Characteristic in the Schools. Boston: Allyn
and Bacon
Harvey, JH, & Smith, WP. 1991. Social Psycology. Terjemahan oleh Abu Ahmad. Jakarta:
PT Rineka Cipta.
Self regular learning ialah pengawasan dan pengontrolan atas perilaku dalam proses
dan kegiatan belajar.Belajar sebagai hasil dari proses internal tujuan, perencanaan, dan
penghargaan diri sendiri atas prestasi yang telah diraih. Self regular learning dapat
dipengaruhi oleh tiga hal, yakni; (1) Pribadi (kemampuan/potensi); (2) Perilaku dan; (3)
Lingkungan. Stategi yang bisa digunakan untuk membentuk self regulated learning adalah
kemampuan pribadi dan lingkungan sosial. Sementara itu, lingkungan dan perilaku dapat
membentuk kepribadian seseorang. Ada beberapa kata yang dipadankan dengan self-regular
learning seperti pengendalian diri (self-control), disiplin diri (self-disciplined), dan
pengarahan diri (self-directed). Meski demikian, kesemuanya memiliki pengertian yang
berbeda-beda.
Strategi belajar adalah aktifitas mental yang digunakan pebelajar ketika mereka
belajar untuk membantu diri mereka sendiri dalam memperoleh, mengorganisasi, atau
mengingat pengetahuan yang baru masuk yang lebih efisien. Weinstein dan MacDonald
mengajukan kategorisasi strategi belajar sebagai berikut: