Pendahuluan
Teori Belajar ialah pandangan yang amat mendasar, sistematis dan menyeluruh
tentang proses bagaimana manusia, khususnya anak didik. Beberapa teori-teori yang
dikembangkan dalam pandangan-pandangan tentang teori aktualisasi diri dan teori
apersepsi. Beberapa teori meningkatkan proses peningkatan (bertambahnya) wawasan,
pengetahuan dan harapan anak. Jadi teori amat meningkatkan diri pada pembentukan aspek
psikologis, khususnya pada pembentukan “pola pikir” anak. Proses belajar anak terjadi
dalam kaitan interaksi antara person dengan dume organisme, antara lingkungan psikologi
dengan lingkungan fisik atau biologis. Belajar berarti proses mengorganisasi kembali
persepsi dan kognisi anak untuk mencapai tingkat pengerian tertentu.
PEMBAHASAN
Menurut Thorndike (Budiningsih, 2005: 21) belajar adalah proses interaksi antara
stimulus dan respon. Stimulus yaitu apa saja yang dapat merangsang terjadinya kegiatan
belajar seperti pikiran, perasaan atau hal-hal lain yang dapat ditangkap melalui alat indera.
Sedangkan respon yaitu reaksi yang dimunculkan peserta didik ketika belajar, yang juga
dapat berupa pikiran, perasaan, atau gerakan/tindakan.
Teori ini sering juga disebut dengan teori trial dan error dalam teori ini orang yang
bisa menguasai hubungan stimulus dan respon sebanyak-banyaknya maka dapat dikatakan
orang ini merupakan orang yang berhasil dalam belajar. Adapun cara untuk membentuk
hubungan stimulus dan respon ini dilakukan dengan ulangan-ulangan.
Dalam teori trial dan error ini, berlaku bagi semua organisme dan apabila organisme
ini dihadapkan dengan keadaan atau situasi yang baru maka secara otomatis organisme ini
memberikan respon atau tindakan-tindakan yang bersifat coba-coba atau bisa juga
berdasarkan naluri karena pada dasarnya disetiap stimulus itu pasti ditemui respon. Apabila
dalam tindakan-tindakan yang dilakukan itu menimbulkan perbuatan atau tindakan yang
cocok atau memuaskan maka tindakan ini akan disimpan dalam benak seseorang atau
organisme lainnya karena dirasa diantara tindakan-tindakan yang paling cocok adalah
tindakan itu, selama yang telah dilakukan dalam menanggapi stimulus adalah situasi baru.
2
Adapun hukum – hukun teori Koneksionisme Edward Lee Thorndike yang ditulis
oleh Stephen Tomlinson (Edward Lee Thorndike and John Dewey on the Science of
Education, 1997) adalah :
1. Hukum kesiapan (law of readiness), hukum ini pada intinya menyatakan bahwa belajar
akan berhasil apabila peserta didik benar-benar telah siap untuk belajar. Dengan perkataan
lain, apabila suatu materi pelajaran diajarkan kepada anak yang belum siap untuk
mempelajari materi tersebut maka tidak akan ada hasilnya.
2. Hukum latihan (law of exercise), yaitu apabila ikatan antara stimulus dan respon lebih
sering terjadi, maka ikatan itu akan terbentuk semakin kuat. Interpretasi dari hukum ini
adalah semakin sering suatu pengetahuan dan pengalaman yang telah terbentuk akibat
terjadinya asosiasi antara stimulus dan respon yang terus-terus dilatihkan, maka ikatan
tersebut akan semakin kuat. Jadi, hukum ini menunjukkan prinsip utama belajar adalah
pengulangan. Semakin sering suatu materi pelajaran diulangi maka materi pelajaran
tersebut akan semakin kuat tersimpan dalam ingatan (memori).
3. Hukum akibat (law of effect), yaitu apabila asosiasi yang terbentuk antara stimulus dan
respon diikuti oleh suatu kepuasan maka asosiasi akan semakin meningkat. Hal ini berarti,
jika suatu respon yang diberikan oleh seseorang terhadap suatu stimulus adalah benar dan
ia mengetahuinya, maka kepuasan akan tercapai dan asosiasi akan diperkuat.
Konkretnya adalah sebagai berikut: Misalkan seorang siswa diminta untuk menyelesaikan
suatu soal matematika, setelah ia kerjakan, ternyata jawabannya benar, maka ia merasa
senang/puas dan akibatnya antara soal dan jawabannya yang benar itu akan kuat tersimpan
dalam ingatannya. Hukum ini dapat juga diartikan, suatu tindakan yang diikuti akibat yang
menyenangkan, maka tindakan tersebut cenderung akan diulangi pada waktu yang lain.
Sebaliknya, suatu tindakan yang diikuti akibat yang tidak menyenangkan, maka tindakan
tersebut cenderung tidak akan diulangi pada waktu yang lain.
Implikasi Teori Throndike pada pembelajarn dikelas yang dikutip dari buku
Psichology of Learning adalah :
1) Guru harus tahu, bahwa siswa lebih minat belajar ketika mereka merasa berkebutuhan
dan berkepentingan pada pelajaran tersebut. maka guru harus memastikan bahwa kegiatan
belajar tersebut penting bagi siswa.
2) Kesiapan merupakan prasyarat untuk belajar, karena itu guru disarankan untuk
mempertimbangkan kemampuan mental atau kognitif peserta didik ketika merencanakan
kurikulum atau isi instruksional.
3
3) Guru harus menyadari fakta bahwa siswa ingin mengulangi tindakan yang mereka terima
sebagai hal positif. Oleh karena itu, guru harus selalu menggunakan berbagai strategi
motivasi untuk mempertahankan minat belajar siswa di kelas.
4) Guru harus selalu meghadirkan bahan secara logis dan cara yang lebih koheren. Ini
adalah cara utama menangkap dan mempertahankan kepentingan peserta didik dalam
kegiatan pedagogis.
B. Implikasi Skinner
1. Teori Belajar Skinner
Teori Behavioral lain yang terkenal adalah teori pengkondisian operan yang
dirumuskan oleh B.F Skinner pada awal 1930-an. Skinner mengemukakan ada 2 jenis
pembelajaran, yakni pertama bahwa perilaku responden dihasilkan oleh stimuli spesifik dan
yang kedua bahwa tidak ada stimulus tertentu yang bisa dipastikan secara konsisten akan
menghasilkan respons operan (Hill, 2012).
Berdasarkan asumsi dasar tersebut menurut Skinner (J.W. Santrock, 272) unsur
yang terpenting dalam belajar adalah adanya penguatan (reinforcement ) dan hukuman
(punishment).
Satu cara untuk mengingat perbedaan antara penguatan positif dan penguatan
negatif adalah dalam penguatan positif ada sesuatu yang ditambahkan atau diperoleh.
Dalam penguatan negatif, ada sesuatu yang dikurangi atau di hilangkan. Adalah mudah
mengacaukan penguatan negatif dengan hukuman. Agar istilah ini tidak rancu, ingat bahwa
5
penguatan negatif meningkatkan probabilitas terjadinya suatu prilaku, sedangkan hukuman
menurunkan probabilitas terjadinya perilaku.
– Hasil belajar harus segera diberitahukan kepada siswa, jika salah dibetulkan, jika benar
diberi penguat.
– Dalam proses pembelajaran, tidak digunakan hukuman. Namun ini lingkungan perlu
diubah, untuk menghindari adanya hukuman.
Pada teori ini, pendidik diarahkan untuk menghargai setiap anak didiknya.
Hal ini ditunjukkan dengan dihilangkannya system hukuman. Hal itu
didukung dengan adanya pembentukan lingkungan yang baik sehingga
dimungkinkan akan meminimalkan terjadinya kesalahan.
Hasil belajar harus segera diberitahukan kepada siswa, jika salah dibetulkan
dan jika benar diperkuat. Misalnya saat ujian matematika, guru harus segera
memberikan hasil pekerjaan mereka dengan memperhatikan catatan, bagi
mereka yang menjawab salah segera dibantu diperbaiki, dan bagi mereka
yang mengerjakannya dengan baik bisa diberikan reward berupa pujian
maupun hadiah.
6
Materi pelajaran digunakan sistem modul.
C. Implikasi Gagne
Teori Belajar Gagne
Sebagaimana tokoh-tokoh lainnya dalam psikologi pembelajaran, Gagne
berpendapat bahwa belajar dipengaruhi oleh pertumbuhan dan lingkungan, namun yang
paling besar pengaruhnya adalah lingkungan individu seseorang. Lingkungan individu
seseorang meliputi lingkungan rumah, geografis, sekolah, dan berbagai lingkungan sosial.
Berbagai lingkungan itulah yang akan menentukan apa yang akan dipelajari oleh seseorang
dan selanjutnya akan menentukan akan menjadi apa ia nantinya.
Bagi Gagne, belajar tidak dapat didefinisikan dengan mudah karena belajar itu
bersifat kompleks. Dalam pernyataan tersebut, dinyatakan bahwa hasil belajar akan
mengakibatkan perubahan pada seseorang yang berupa perubahan kemampuan, perubahan
sikap, perubahan minat atau nilai pada seseorang. Perubahan tersebut bersifat menetap
meskipun hanya sementara.
Menurut Gagne, ada tiga elemen belajar, yaitu individu yang belajar, situasi
stimulus, dan responden yang melaksanakan aksi sebagai akibat dari stimulasi.
Robert M. Gagne merupakan salah seorang penganut aliran psikologi tingkah laku.
Gagne memiliki pandangan bahwa belajar merupakan perubah tingkah laku yang
kegiatannya mengikuti suatu hirarki kemampuan yang dapat diobservasi atau diukur. Oleh
karena itu, Teori belajar yang dikemukakan Gagne dikenal sebagai teori hirarki belajar
(Siroj,2006 dalam Firdaus, 010).
7
Teori hiraki belajar ditemukan oleh Robert M. Gagne yang didasarkan atas hasil
riset tentang factor-faktor yang kompleks pada proses belajar manusia. Penelitiannya
dimaksudkan untuk menentukan teori pembelajaran yang efektif. Analisanya dimulai dari
identifikasi konsep hirarki belajar, yaitu urut-urutan kemampuan yang harus dikuasai oleh
pelajar (peserta didik) agar dapat mempelajari hal-hal yang lebih sulit atau lebih kompleks.
8
Belajar diskriminasi atau memperbedakan adalah belajar untuk membedakan
hubungan stimulus-respons agar dapat memahami berbagai objek fisik dan konsep. Ada
dua macam belajar diskriminasi, yaitu belajar diskriminasi tunggal dan diskriminasi jamak.
Sebagai contoh belajar diskiminasi tunggal, Siswa dapat meembedakan lambang dan
dalam operasi himpunan. Belajar diskriminasi jamak, misalnya siswa dapat
membedakansudut dan sisi pada segitigalancip, siku-siku, dan tumpul, atau pada segitiga
sama sisi, sama kaki, dan sembarang.
6. Belajar Konsep (concept learning)
Belajar konsep adalah belajar memahami sifat-sifat bersama dari benda-
benda konkrit atau peristiwa-peristiwa untuk dikelompokkan menjadi satu jenis. Untuk
mempelajari suatu kinsep, anak harus mengalami berbagai situasi dan stimulus tertentu.
Pada tipe belajar ini, mereka dapat mengadakan diskriminasi untuk membedakan apa yang
termasuk atau tidak termasuk dalam suatu konsep. Melalu pemahaman konsep siswa
mampu mengidentifikasi benda lain yang berbeda ukuran, warna maupun materinya,
namun masi memiliki karakteristik dari objek itu sendiri. Sebagai contoh siswa dikatakan
telah belajar konsep himpunan jika ia telah dapat menunjukkan kumpulan objek yang
merupakan contoh himpunan atau bukan contoh himpunan.
7. Belajar Aturan (rule learning)
Belajar aturan adalah tipe belajar yang memungkinkan peserta didik dapat
menghubungkan dua konsep atau lebih untuk membentuk suatu aturan. Harus diingat,
mengenal aturan tanpa memahaminya akan merupakan verbal-cahin saja, dan hal ini
merupakan cara pembelajaran yang keliru. Seorang siswa dikatakan telah belajar aturan jika
ia telah mampu mengaplikasikan aturan itu. Misalnya, dalam matematika siswa dapat
memahami bahwa (a+b)(a – b) = a 2 – b2 berdasarkan konsep-konsep sebelumnya, seperti
perkalian dua bilangan berbeda tanda, dan penjumlahan/pengurangan dua bilangan.
8. Memecahkan Masalah (problem solving)
Belajar mmemecahkan masalah adalah tipe belajar yang lebih tinggi dan
lebih kompleks dibandingkan dengan tipe belajar yang lain. Dalam belajar pemecahan
masalah, ada empat langkah penting dalam proses pemecahan masalah menurut polya
(dalam pirdaus, 2007) yaitu (1) Memahami masalahnya, dalam arti menentukan apa yang
diketahui dan apa yang dinyatakan, (2) Merencanakan cara penyelesaiannya, (3)
melaksakan rencana, dan (4) menafsirkan atau mengecek hasilnya, siswa harus memiliki
pemahaman sejumlah konsep dan aturan. Selain itu, siswa juga harus memiliki strategi
yang dapat memberikan arah pada memberikan arah pada pemikirannya untuk
memecahkan masalah itu.
Memberikan informasi kepada siswa mengenai hasil belajar yang diharapkan guru.
Memberikan kesempatan pada siswa untuk memeriksa hasil belajar yang telah
dicapainya.
D. Implikasi Piaget
1. Teori Belajar Piaget
Menurut Piaget (dalam Dr.Paul Suparno, 2001:49) metode pengajaran
matematika dalam bentuk ceramah memang baik bagi orang yang sudah dewasa tetapi
banyak menyebabkan hambatan bagi murid yang masih dalam tingkat pengajaran yang
masih rendah. .
Kemudian Piaget menekankan hal pokok dalam pengajaran matematika pada murid
bahwa Pengajaran matematika tidak boleh melalaikan peran kegiatan – kegiatan, khususnya
pada anak–anak yang masih kecil. Pengalaman fisis dan pengalaman matematis-logis
sangat penting dalam mengembangkan pengetahuan, baik fisis maupun matematis.
1. Kematangan (maturation), yaitu pertumbuhan otak dan sitem syaraf manusia karena
bertambahnya usia, dari lahir sampai dewasa.
10
2. Pengalaman (experience), yang terdiri dari
3. Transmisi sosial, yaitu interaksi dan kerja sama yang dilakukan oleh manusia dengan
manusia lainnya.
Pemanfaatan teori Piaget dalam pembelajaran dapat dilihat pada pernyataan di bawah ini.
a. Memusatkan pada proses berpikir atau proses mental, dan bukan sekedar pada
hasilnya. Di samping kebenaran siswa, guru harus memahami proses yang digunakan anak
sehingga sampai pada jawaban itu.
b. Mengutamakan peran siswa dalam berinisiatif sendiri dan keterlibatan aktif dalam
kegiatan pembelajaran. Di dalam kelas, penyajian pengetahuan jadi (ready made) tidak
mendapat penekanan, melainkan anak didorong menemukan sendiri pengetahuan itu
melalui interaksi spontan dengan lingkungannya.
Dari uraian di atas dapat disimpulan bahwa kegiatan pembelajaran itu memuaskan
perhatian kepada berpikir atau proses mental anak, yang tidak sekedar kepada hasilnya,
mengutamakan peran siswa dalam kegiatan pembelajaran, dan memaklumi perbedaan
individu dalam hal kemajuan perkembangannya.
Bagi guru matematika, Teori Piaget jelas sangat relevan, karena dengan
menggunakan teori itu, guru akan bisa mengetahui adanya tahap-tahap perkembangan
tertentu pada kemampuan berpikir anak-anak di kelas atau di sekolahnya. Enga demikia
11
guru bisa memberikan perlakuan yang tepat bagi para siswanya, misalnya dalam memilih
cara penyampaian materi bagi siswa, penyediaan alat-alat peraga, dan sebagainya, sesuai
dengan tahap perkembangan kemampuan berpikir yang dimiliki oleh siswa masing-masing.
Selain itu guru matematika di SMP perlu mencermati apakah simbol-simbol matematika
yang digunakan guru dalam mengajar cukup mudah dipahami siswa atau tidak, dengan
mengingat tingkat kemampuan berpikir yang dimiliki oleh masing-masing siswa.
12
dengan kemampuan equilibrasi yang baik akan mampu menata berbagai
informasi yang diterima dengan urutan yang baik, jernih, dan logis.
3) Anak belajar paling baik dengan menemukan (discovery). Artinya di sini adalah
agar pembelajaran yang berpusat pada anak berlangsung efektif, guru tidak
meninggalkan anak-anak belajar sendiri, tetapi mereka memberi tugas khusus yang
dirancang untuk membimbing para siswa menemukan dan menyelesaikan masalah
sendiri.
E. Implikasi Bruner
Teori belajar Bruner merupakan teori belajar kognitif. Artinya setelah proses
pembelajaran dilaksanakan diharapakan mampu meningkatkan kecerdasan atau kognitif
anak. Jerome S. Bruner menganggap bahwa intelektual anak sangat penting. Dalam
13
pembelajaran setiap mata pelajaran dapat diajarkan dengan efektif oleh guru. Konsep
pembelajaran dibentuk secara intelektual kepada setiap anak dan sesuai dengan setiap
perkembangannya.
Menurut Bruner, berpikir merupakan gabungan dari tiga proses, yaitu penerimaan
(acquisition), transformasi (transformation), dan menguji ketepatan (testing of adequacy).
Tiga langkah tersebut merupakan pengorganisasian aktif dari individu dalam memperoleh
pengetahuan, yang merupakan ciri khas dari teori dasar kognitif. Penerimaan (acquisition)
sama halnya dengan penerimaan sensorik dan sintesis.
a. Tahap Enaktif
Dalam tahap ini penyajian yang dilakukan melalui tindakan bahwa anak secara langsung
terlibat dalam memanipulasi (mengotak-atik) objek. Pada tahap ini anak belajar suatu
pengetahuan di mana pengetahuan itu dipelajari secara aktif, dengan menggunakan benda-
benda konkret atau menggunakan situasi yang nyata, tanpa menggunakan imajinasinya atau
kata-kata. Anak akan memahami sesuatu dengan berbuat atau melakukan sesuatu. Jadi pada
tahap ini sebagian besar pengetahuan dalam bentuk respon motorik.
b. Tahap Ikonik
Tahap ikonik, yaitu suatu tahap pembelajaran sesuatu pengetahuan dimana pengetahuan itu
direpresentasikan (diwujudkan) dalam bentuk bayangan visual (visual imaginery), gambar,
atau diagram, yang menggambarkan kegiatan kongkret atau situasi kongkret. Pada tahap
ini, pemahaman anak masih diperoleh dari benda nyata dalam wujud gambar bukan benda
14
abstrak. Jadi pada tahap ini, pengetahuan sebagian besar lebih diwujudkan dalam citra
visual.
c. Tahap Simbolik
Dalam tahap ini bahasa adalah pola dasar simbolik, anak memanipulasi simbol-simbol atau
lambang-lambang objek tertentu.Anak tidak lagi terikat dengan objek-objek seperti pada
tahap sebelumnya. Anak pada tahap ini sudah mampu menggunakan notasi tanpa
ketergantungan terhadap objek riil. Pembelajaran direpresentasikan dalam bentuk simbol-
simbol abstrak (abstract symbols), yaitu simbol-simbol arbiter yang dipakai berdasarkan
kesepakatan orang-orang dalam bidang yang bersangkutan, baik symbol-simbol verbal
(misalnya huruf-huruf, kata-kata, kalimat-kalimat), lambang-lambang matematika, maupun
lambang-lambang abstrak yang lain. Jadi, pada tahap ini pengetahuan sebagian besar
dinyatakan dalam bentuk kata-kata, simbol matematika dan sistem simbol lainnya.
Implikasi atau Penerapan teori belajar Bruner dapat dilakukan oleh guru mata
pelajaranmatematika.
BerikutcontohPenerapanBelajarBruner:
1. Menyajikan contoh dan bukan konsep. Penyajian contoh yang dimaksud disini
adalah guru langsung memberikan contoh langsung pada siswa. Contohnya yaitu cara
menggambar tabung. Guru harus menjelaskan dan memberi contoh langsung bagaimana
langkah-langkah yang harus dilakukan untuk membuat gambar tabung. Jadi, guru langsung
menyajikan contoh dan bukan sekadar konsep saja. Terkadang masih banyak guru yang
hanya memberikan konsep semata tanpamemberikancontohsecaralangsung.
15
dibutuhkan seorang tukang untuk dapat memasang ubin secara keseluruhan. Dengan
pertanyaan seperti ini, maka siswa dapat mengkaitkan mata pelajaran matematika dengan
kehidupan sehari-hari. Artinya akan membuat anak merasa bahwa mata pelajaran
matematika sangat bermanfaat bagi seseorang
karenadapatmenyelesaikanmasalahyangdihadapi.
4. Mengajak siswa untuk aktif dalam memberi pendapat. Ketika seorang anak
menjawab petanyaan namun jawabannya salah, maka guru tidak boleh memarahinya. Guru
harus mengajak seorang anak untuk aktif berpendapat atau aktif berbicara. Dengan
memiliki aktif berbicara maka akan membuat anak semakin percaya diri dengan kemapuan
yang dimiliki.
Teori belajar Bruner ini dapat menjadi pilihan guru matematika dalam
pembelajaran. Dengan melaksanakan contoh-contoh penerapan teori ini diharapkan mampu
mempermudah guru matematika saat mengajar dan siswa tidak lagi takut pada mata
pelajaran matematika.
16
F. Implikasi Brownel
Menurut William Brownell (1935) bahwa belajar itu pada hakekatnya merupakan
suatu proses yang bermakna. Ia mengemukakan bahwa belajar matematika itu harus
merupakan belajar bermakna dan pengertian. Pada penelitiannya pada pembelajaran anak
khususnya pada aritmatika mengemukakan belajar matematika harus merupakan belajar
bermakna dan belajar pengertian atau yang dikenal dengan Meaning Theory (teori
bermakna) dan dalam perkembangannya ia meletakkan pondasi munculnya matematika
baru. Hal ini sesuai dengan teori Gestalt yang menyatakan bahwa latihan hafal atau drill
sangat penting dalam kegiatan pembelajaran yang diterapkan setelah tertanamnya
pengertian. (Russefendi, 1993: 117).Khusus dalam hubungan pembelajaran matematika di
SD, Meaning Theory (teori makna) yang diperkenalkan oleh Brownell merupakan
alternatife dari Drill Theory (teori hafalan).
17
Brownell mengemukakan ada tiga keberatan utama berkenaan dengan teori drill pada
pengajaran matematika yakni :
a. Teori drill memberikan tugas yang harus dipelajari siswa yang hamper tidak
mungkin dicapai. Menurut hasil penelitian menunjukkan anak yang tahu 3 + 6 = 9 ternyata
tidak tahu dengan baik, bahwa 3 + 6 = 9. Penelitian lain menunjukkan bahwa penguasaan 3
+ 6 = 9 tidak menjamin dikuasainya 13 + 6 = 19, 23 + 6 = 29 atau 43 + 6 = 49 dan
sebagainya.
a. Keberatan yang lainnya berkaitan dengan reaksi yang dihasilkan oleh drill. Pada
saat guru memberikan drill pada keterampilan aritmatika, ia berasumsi bahwa murid akan
berlatih sebagai reaksi yang telah ditentukan. Misalkan pada waktu guru member tugas 4 +
2 = 6 dan 9 – 5 = 4, ia mengharap semua siswa akan dengan diam berfikir atau
mengucapkan dengan keras 4 + 2 = 6, 9 – 5 = 4. Guru percaya dengan sering
mengulanginya akhirnya siswa selalu menjawab 6 dan 4 untuk kedua tugas tersebut.
Kemudian melalui penelitian diketahui bahwa hanya 40% dari siswa yang dapat menjawab
dengan benar berdasarkan ingatannya. Kegiatan ini menunjukkan bahwa drill tidak
menghasilkan respon otomatis untuk siswa-siswa di kelas 1 dan 2 SD, padahal tugas dan
beban belajar mereka relatif lebih sedikit dibandingkan dengan kelas-kelas yang lebih atas.
c. Aritmatika lebih tepat dipandang sebagai suatu system berpikir kuantitatif. Pandangan
ini merupakan criteria penilaian suatu system pengajaran matematika yang memadai atau
tidak. Jelas dari sudut pandangnya, teori drill dalam pengajaran matematika tidak memadai,
karena pengajaran melalui drill tidak menyediakan kegiatan untuk berpikir secara
kuantitatif. Agar siswa dapat berpikir secara kuantitatif, ia harus mengetahui maksud dari
apa yang dipelajarinya (mengerti).
Menurut Brownell dalam belajar orang membutuhkan makna bukan hanya sekedar
respon otomatis yang banyak. Maka dengan demikian teori drill dalam pembelajaran
matematika yang dikembangkan atas dasar teori asosiasi atau stimulus respon, menurutnya
terkesan bahwa proses pembelajaran matematika khususnya aritmatika dipahami semata-
mata hanya sebagai kemahiran.
18
2. Meaning Theory (teori bermakna)
Menurut teori makna anak itu harus melihat makna dari apa yang dipelajarinya,
anak harus tahu makna dari symbol yang ditulis dan kata yang diucapkannya dan ini adalah
isu utama pada pembelajaran matematika. Teori makna mengakui perlunya drill dalam
pembelajaran matematika bahkan dianjurkan jika memang diperlukan. Jadi, drill itu penting
tetapi drill dilakukan apabila suatu konsep, prinsip atau proses telah dipahami dengan
mengerti oleh para siswa. Hal ini dikarenakan bahwa penguasaan seseorang terhadap
matematika tidak cukup hanya dilihat dari kemampuan mekanik anak dalam berhitung saja,
tetapi juga dalam aspek praktis dan kemampuan berpikir kuantitatif.
Selain itu juga, Brownell memberikan saran dalam pengajaran matematika, siswa
sebaiknya memahami pentingnya bilangan baik dalam segi kehidupan social manusia
maupun segi intelektual dalam system kualitatif. Jadi pembelajaran aritmatika yang
dikembangkan oleh Brownell menekankan bahwa keterampilan hitung tidak hanya sekedar
mengetahui cara menyelesaikan prosedur-prosedur tetapi juga harus mengetahui bagaimana
prosedur-prosedur tersebut bekerja atau dengan kata lain harus mengetaui makna dari apa
yang dipelajari.
Teori makna memandang matematika sebagai suatu system dan konsep-konsep,
prinsip-prinsip dan proses-proses yang dapat dimengerti. Menurutnya tes belajar
untukmengukur kemampuan matematika anak bukanlah semata-mata kemampuan mekanik
anak dalam berhitung saja. Tes harus mengungkapkan kemampuan intelektual anak dalam
melihat antara bilangan dan kemampuan untuk menghadapi situasi aritmatika dengan
pemahaman yang sempurna baik aspek matematikanya maupun praktisnya.
Menurut Brownell kemampuan mendemonstrasikan operasi-operasi hitung secara
mekanis dan otomatis tidaklah cukup. Tujuan utama dari pengajaran aritmatika adalah
mengembangkan atau pentingnya kemampuan berfikir dalam situasi kuantitatif. Brownell
mengusulkan agar pengajaran aritmatika pada anak lebih menantang kegiatan berfikirnya
dari pada kegiatan mengingatnya. Program aritmatika di SD haruslah membahas tentang
pentingnya (significance) dan makna (meaning) ari bilangan. Pentingnya bilangan (the
significance of number) adalah nilainya atau pentingnya dalam kehidupan keseharian
manusia. Pengertian signifikansi bilangan bersifat fungsional atau dengan kata lain penting
19
dalam kehidupan social manusia. Sedangkan makna bilangan (the meaning of number)
adalah bersifat intelektual atau bersifat matematis sebagai suatu system kuantitatif.
2. Proses Belajar Mengajar Menurut Brownell
Proses pembelajaran yang lebih baik adalah proses yang memungkinkan siswa aktif
melibatkan diri dalam keseluruhan proses baik secara mental maupun secara fisik. Model
ini dikenal sebagai pembelajaran aktif. Hal ini sesuai bahwa Pembelajaran aktif adalah
segala bentuk pembelajaran yang memungkinkan siswa berperan secara aktif dalam proses
pembelajaran itu sendiri baik dalam bentuk interaksi antar siswa maupun siswa dengan
guru dalam proses pembelajaran tersebut. Menurut Brownell (1995), pembelajaran aktif
memiliki karakteristik sebagai berikut:
a. Penekanan proses pembelajaran bukan pada penyampaian informasi oleh pengajar
melainkan pada pengembangan keterampilan pemikiran analisis dan kritis terhadap topik
atau permasalahan yang dibahas.
b. Siswa tidak hanya mendengarkan materi pelajaran secara pasif tetapi mengerjakan
sesuatu yang berkaitan dengan materi pelajaran tersebut.
d. Siswa lebih banyak dituntut untuk berpikir kritis, menganalisa dan melakukan
evaluasi.
Pemberian strategi pembelajaran aktif ini pada siswa dapat membantu ingatan (memory)
mereka, sehingga dapat dibawa kepada tujuan pembelajaran dengan sukses. Hal ini kurang
diperhatikan pada pembelajaran konvensional. Dalam strategi ini, setiap materi pelajaran
yang baru harus dikaitkan dengan berbagai pengetahuan dan pengalaman yang ada
sebelumnya, agar siswa dapat belajar secara aktif dan mempunyai motivasi yang tinggi
untuk belajar.
Pembelajaran aktif memberi kesempatan kepada siswa untuk menggunakan otak, baik
untuk menemukan ide pokok dari materi pelajaran, memecahkan persoalan, atau
mengaplikasikan apa yang baru didapat ke dalam persoalan yang ada dalam kehidupan
nyata. Dalam pembelajaran aktif ini, siswa dituntut untuk turut serta dalam semua proses
20
pembelajaran. Dengan cara ini biasanya siswa merasakan suasana yang lebih
menyenangkan sehingga hasil belajar dapat dimaksimalkan.
21
G. Implikasi Dienes
1. Teori Belajar Z. P. Dienes
Dienes (dalam Ruseffendi, 1992) berpendapat bahwa pada dasarnya matematika
dapat dianggap sebagai studi tentang struktur, memisah-misahkan hubungan-hubungan di
antara struktur-struktur dan mengkategorikan hubungan-hubungan diantara struktur-
struktur. Seperti halnya dengan Bruner, Dienes mengemukakan bahwa tiap-tiap konsep atau
prinsip dalam matematika yang disajikan dalam bentuk yang konkret akan dapat dipahami
dengan baik. Ini mengandung arti bahwa jika benda-benda atau objek-objek dalam bentuk
permainan akan sangat berperan bila dimanipulasi dengan baik dalam pengajaran
matematika.
22
Konsep matematis murni berhubungan dengan klasifikasi bilangan-bilangan dan
hubungan-hubungan antar bilangan, dan sepenuhnya bebas dari cara bagaimana bilangan-
bilangan itu disajikan. Sebagai contoh, enam, 8, XII, 1110 (basis dua), dan Δ Δ Δ Δ,
semuanya merupakan contoh konsep bilangan genap; walaupun masing-masing
menunjukkan cara yang berbeda dalam menyajikan suatu bilangan genap.
2. Konsep notasi
Sifat-sifat bilangan yang merupakan akibat langsung dari cara penyajian bilangan.
Fakta bahwa dalam basis sepuluh, 275 berarti 2 ratusan ditambah 7 puluhan ditambah 5
satuan merupakan akibat dari notasi nilai tempat dalam menyajikan bilangan-bilangan yang
didasarkan pada sistem pangkat dari sepuluh. Pemilihan sistem notasi yang sesuai untuk
berbagai cabang matematika adalah faktor penting dalam pengembangan dan perluasan
matematika selanjutnya.
3. Konsep Terapan
Penerapan dari konsep matematika murni dan notasi untuk penyelesaian masalah
dalam matematika dan dalam bidang-bidang yang berhubungan. Panjang, luas dan volume
adalah konsep matematika terapan. Konsep-konsep terapan hendaknya diberikan kepada
siswa setelah mereka mempelajari konsep matematika murni dan notasi sebagai prasyarat.
Konsep-konsep murni hendaknya dipelajari oleh siswa sebelum mempelajari konsep
notasi, jika dibalik para siswa hanya akan menghafal pola-pola bagaimana memanipulasi
simbol-simbol tanpa pemahaman konsep matematika murni yang mendasarinya. Siswa
yang membuat kesalahan manipulasi simbol seperti 3x + 2 = 4 maka x + 2 = 4 – 3, = x, a2
x a3 = a6, dan = x + berusaha menerapkan konsep murni dan konsep notasi yang tidak
cukup mereka kuasai.
Dienes memandang belajar konsep sebagai seni kreatif yang tidak dapat dijelaskan
oleh teori stimulus-respon manapun seperti tahap-tahap belajar Gagne. Dienes percaya
bahwa semua abstraksi didasarkan pada intuisi dan pengalaman konkret; akibatnya sistem
pembelajaran matematika Dienes menekankan laboratorium matematika, objek-objek yang
dapat dimanipulasi, dan permainan matematika.
23
belajar dari pasif ke aktif, dari kaku menjadi gerak (akrab) dan dari jenuh menjadi riang
(segar).
Tujuan dari pemanfaatan situasi anak bermain sambil belajar matematika, yaitu :
1. Agar peserta didik senang dalam mengerjakan suatu bahan pelajaran matematika.
2. Agar peserta didik terdorong dan menaruh minat untuk mempelajari matematika secara
sukarela.
3. Adanya suatu semangat bertanding dalam suatu permainan dan berusaha untuk menjadi
pemenang dan dapat mendorong anak peserta didik untuk memusatkan perhatian pada
permainan yangdihadapinya.
4. Jika peserta didik terlibat pada kegiatan dan keaktifan sendiri, akan betul-betul
memahami dan mengerti.
5. Ketegangan-ketegangan dalam pikiran peserta didik setelah belajar matematika dapat
berkurang.
6. Agar peserta Didik memanfaatkan Waktu Luang.
2. Metode ini akan menarik perhatian anak sehingga suasana kelas menjadi hidup.
25
c. Konsep yang secara implisit dipahami pada suatu tingkat menjadi eksplisit pada tingkat
berikutnya. Misalnya pada tingkat visualisasi siswa mengenal bangun berdasarkan sifat
bangun secara utuh, tetapi pada tingkat analisis, bangun tersebut dianalisis sehingga sifat-
sifat serta komponennya ditemukan.
d. Setiap tingkatan masing-masing mempunyai simbol bahasa tersendiri dan sistem yang
mengaitkan simbol-simbol itu. Siswa tidak mudah mengerti penjelasan guru apabila guru
berbicara pada tingkat yang lebih tinggi dari tingkat berpikir siswa. Hal ini mungkin akan
memunculkan suatu masalah apabila tingkat sajian kegiatan, serta bahan pembelajaran
tidak sesuai dengan tingkat berpikir siswa yang menggunakannya.
perkembangan mental anak dalam belajar geometri. Menurut Van Hiele (Tim MKPBM
2001: 51), ada tiga unsur utama yang perlu diperhatikan dalam pengajaran geometri yaitu
waktu, materi pengajaran, dan metode pengajaran yang diterapkan, jika ketiga unsur
tersebut ditata secara terpadu akan dapat meningkatkan kemampuan berpikir anak kepada
tingkatan berpikir yang lebih tinggi. Lebih lanjut Van Hiele (Tim MKPBM 2001: 51)
menyatakan bahwa terdapat lima tahap berpikir dalam belajar geometri yaitu:
1. Tahap Pengenalan
Pada tahap ini siswa sudah mulai belajar mengenali suatu bentuk geometri secara
keseluruhan, namun belum mampu mengetahui adanya sifat-sifat dari bentuk geometri
yang dilihatnya itu. Pada tahap pengenalan ini siswa hanya diharapkan dapat menyebutkan
benda- banda geometri tersebut tanpa mengetahui sifat-sifat dari bangun-bangun tersebut.
26
Sebagai contoh, jika pada seorang siswa diperlihatkan sebuah persegipanjang, siswa itu
belum menyadari bahwa persegipanjang mempunyai empat sisi dimana dua sisi yang
berhadapan sama panjang, bahwa kedua diagonalnya sama panjang. Demikian juga dengan
persegi.
2. Tahap Analisis
Pada tahap ini siswa sudah mulai mengenal dan memahami sifat-sifat yang dimiliki
benda geometri yang diamatinya. Misalnya disaat siswa mengamati persegipanjang, siswa
telah mengetahui bahwa terdapat 2 pasang sisi yang berhadapan, dan kedua pasang sisi
Namun dalam tahap ini siswa belum mampu mengetahui hubungan yang terkait
antara suatu benda geometri dengan benda geometri lainnya. Misalnya, siswa belum
mengetahui bahwa persegi adalah persegipanjang, bahwa persegi adalah belah ketupat.
Contoh 1.
Persegi memiliki 4 buah sisi yang sama panjang yaitu AB, BC, CD, DA
Diagonal persegi ada 2 buah yang sama panjang yaitu AC, BD.
Contoh 2.
27
Besar setiap sudut pada persegipanjang sama besar yaitu
Setelah dapat memahami sifat-sifat atau bentuk-bentuk bangun datar diatas, diharapkan
siswa dapat menyebutkan benda-benda disekitar mereka yang termasuk kedalam bentuk
bangun datar yang dibicarakan. Misalnya papan tulis, buku tulis, penggaris, adalah contoh
bentuk persegipanjang.
3. Tahap Pengurutan
Pada tahap ini siswa sudah mengenal bentuk geometri dan memahami sifat-sifatnya, namun
kemampuan ini belum berkembang secara penuh.Satu hal yang perlu diketahui adalah,
dalam tahap ini siswa sudah mulai mampu mengurutkan bentuk-bentuk geometri.
Persegi merupakan segi empat yang besar setiap sudut dalamnya adalah dan kedua
Ciri atau sifat tersebut juga merupakan sifat persegipanjang, sehingga dapat dikatakan
4. Tahap Deduksi
Dalam tahap ini siswa sudah mulai mampu menarik kesimpulan secara deduktif,
yakni penarikan kesimpulan dari hal-hal yang bersifat umum menuju hal-hal yang bersifat
khusus. Pada tahap ini berpikir deduktif siswa sudah mulai tumbuh tetapi belum
berkembang dengan baik. Misalnya, siswa sudah mulai memahami defenisi, postulat dan
teorema pada bangun datar, namun belum mengerti mengapa postulat tersebut benar dan
mengapa dapat dijadikan sebagai postulat dalam cara-cara pembuktian dua segitiga yang
Contoh :
28
Pada tahap ini siswa dapat membuktikan bahwa diagonal suatu persegi akan
Bukti:
AB = BC = CD = DA
Syarat dua segitiga yang kongruen yaitu: jika kedua segitiga memiliki 3 unsur yang sama.
Pada persegi ABCD, diagonal BD membagi persegi menjadi 2 segitiga yaitu segitiga ABD
Sisi DA = BC
Sisi AB = CD
Dalam tahap ini siswa sudah mulai menyadari betapa pentingnya ketepatan dari
defenisi, aksioma-aksioma atau postulat dan teorema pada bangun datar. Tahap akurasi
merupakan tahap berpikir yang tinggi, rumit, dan kompleks. Oleh karena itu pada siswa
yang duduk dibangku SD masih belum sampai pada tahap berpikir ini.
Bansu Ansari (2009: 39) mengemukakan bahwa teori yang diterapkan Van Hiele
lebih kecil ruanng lingkupnya dibandingkan dengan teori belajar yang lainnya karena Van
beberapa hal yang dapat diambil manfaat teori belajar Van Hiele yaitu :
29
1. Guru dapat mengambil manfaat dari tahap-tahap perkebangan kognitif siswa di SD,
dalam hal ini guru dapat mengetahui mengapa seorang siswa tidak memahami bahwa
persegi itu merupakan persegipanjang karena siswa tersebut tahap berpikirnya masi berada
pada tahap analisis kebawah dan belum sampai pada tahap pengurutan.
2. Agar siswa dapat memahami geometri maka pengajarannya harus disesuaikan dengan
tahap berpikir siswa, sehingga jangan sekali-kali memberikan pelajaran yang berada diatas
tahap berpikirnya.
3. Agar topik pelajaran pada materi geometri dapat dipahami siswa dengan baik, maka
topik pelajaran tersebut dapat dipelajari berdasarkan urutan tingkat kesukarannya dan
dimulai dari tingkat yang paling mudah sampai dengan tingkat yang paling rumit dan
kompleks.
30
BAB III
Penutup
3.1 Kesimpulan
Teori Belajar ialah pandangan yang amat mendasar, sistematis dan menyeluruh
tentang proses bagaimana manusia, khususnya anak didik. Beberapa teori-teori yang
apersepsi.