Anda di halaman 1dari 32

BAB I

Pendahuluan

1.1 Latar Belakang Masalah


Peningkatan mutu pendidikan tampaknya masih merupakan isu sentral yang tak ada
habisnya di Indonesia. Ibarat perjalanan seorang musafir yang terus mengembara tiada
akhir. Kalaupun pengembaraan itu terus berlangsung, biarlah menjadi sebuah proses tiada
henti dari beragam pemikiran dan kreativitas insan cendekia di kancah dunia pendidikan.
Namun hal yang paling mendasar yang harus kita pikirkan adalah bagaimana menjadikan
pengalaman-pengalaman berharga kita menjadi ide dasar dalam praktek penyelenggaraan
pendidikan.

Teori Belajar ialah pandangan yang amat mendasar, sistematis dan menyeluruh
tentang proses bagaimana manusia, khususnya anak didik. Beberapa teori-teori yang
dikembangkan dalam pandangan-pandangan tentang teori aktualisasi diri dan teori
apersepsi. Beberapa teori meningkatkan proses peningkatan (bertambahnya) wawasan,
pengetahuan dan harapan anak. Jadi teori amat meningkatkan diri pada pembentukan aspek
psikologis, khususnya pada pembentukan “pola pikir” anak. Proses belajar anak terjadi
dalam kaitan interaksi antara person dengan dume organisme, antara lingkungan psikologi
dengan lingkungan fisik atau biologis. Belajar berarti proses mengorganisasi kembali
persepsi dan kognisi anak untuk mencapai tingkat pengerian tertentu.

1.2 Rumusan Masalah


a) Apa Implikasi Teori Belajar Thorndike dalam pembelajaran ?
b) Apa Implikasi Teori Belajar Skinner dalam pembelajaran ?
c) Apa Implikasi Teori Belajar Gagne dalam pembelajaran ?
d) Apa Implikasi Teori Belajar Peaget dalam pembelajaran ?
e) Apa Implikasi Teori Belajar Bruner dalam pembelajaran ?
f) Apa Implikasi Teori Belajar Brownel dalam pembelajaran ?
g) Apa Implikasi Teori Belajar Dienes dalam pembelajaran ?
h) Apa Implikasi Teori Belajar Van Hiele dalam pembelajaran ?

1.3 Tujuan Penulisan


a) Mengetahui Implikasi Teori Belajar Thorndike dalam pembelajaran
b) Mengetahui Implikasi Teori Belajar Skinner dalam pembelajaran
c) Mengetahui Implikasi Teori Belajar Gagne dalam pembelajaran
d) Mengetahui Implikasi Teori Belajar Peaget dalam pembelajaran
e) Mengetahui Implikasi Teori Belajar Bruner dalam pembelajaran
f) Mengetahui Implikasi Teori Belajar Brownel dalam pembelajaran
g) Mengetahui Implikasi Teori Belajar Dienes dalam pembelajaran
h) Mengetahui Implikasi Teori Belajar Van Hiele dalam pembelajaran
1
BAB II

PEMBAHASAN

A. Implikasi Teori Thorndike


1. Teori Belajar Thorndike
Tokoh paling terkenal dari teori koneksionisme adalah Edward Lee Thorndike
(1874-1949). Koneksionisme merupakan teori paling awal dari rumpun behaviorisme. Oleh
karena itu, pendidikan dan pengajaran di Amerika serikat pada mulanya banyak di
dominasi oleh pengaruh Thorndike. Teori belajar Thondike disebut “connectionism”,
karena belajar merupakan proses pembentukan koneksi-koneksi antara stimulus dan
respons.

Menurut Thorndike (Budiningsih, 2005: 21) belajar adalah proses interaksi antara
stimulus dan respon. Stimulus yaitu apa saja yang dapat merangsang terjadinya kegiatan
belajar seperti pikiran, perasaan atau hal-hal lain yang dapat ditangkap melalui alat indera.
Sedangkan respon yaitu reaksi yang dimunculkan peserta didik ketika belajar, yang juga
dapat berupa pikiran, perasaan, atau gerakan/tindakan.

Teori ini sering juga disebut dengan teori trial dan error dalam teori ini orang yang
bisa menguasai hubungan stimulus dan respon sebanyak-banyaknya maka dapat dikatakan
orang ini merupakan orang yang berhasil dalam belajar. Adapun cara untuk membentuk
hubungan stimulus dan respon ini dilakukan dengan ulangan-ulangan.

Dalam teori trial dan error ini, berlaku bagi semua organisme dan apabila organisme
ini dihadapkan dengan keadaan atau situasi yang baru maka secara otomatis organisme ini
memberikan respon atau tindakan-tindakan yang bersifat coba-coba atau bisa juga
berdasarkan naluri karena pada dasarnya disetiap stimulus itu pasti ditemui respon. Apabila
dalam tindakan-tindakan yang dilakukan itu menimbulkan perbuatan atau tindakan yang
cocok atau memuaskan maka tindakan ini akan disimpan dalam benak seseorang atau
organisme lainnya karena dirasa diantara tindakan-tindakan yang paling cocok adalah
tindakan itu, selama yang telah dilakukan dalam menanggapi stimulus adalah situasi baru.

Jadi dalam teori ini pengulangan-pengulangan respon atau tindakan dalam


menanggapi stimulus atau stimulus baru itu sangat penting sehingga seseorang atau
organisme mampu menemukan tindakan yang tepat dan dilakukan secara terus-menerus
agar lebih tajam dan tidak terjadi kemunduran dalam tindakan atau respon terhadap
stimulus.

2. Hukum-hukum Teori Belajar Thorndike

2
Adapun hukum – hukun teori Koneksionisme Edward Lee Thorndike yang ditulis
oleh Stephen Tomlinson (Edward Lee Thorndike and John Dewey on the Science of
Education, 1997) adalah :

1. Hukum kesiapan (law of readiness), hukum ini pada intinya menyatakan bahwa belajar
akan berhasil apabila peserta didik benar-benar telah siap untuk belajar. Dengan perkataan
lain, apabila suatu materi pelajaran diajarkan kepada anak yang belum siap untuk
mempelajari materi tersebut maka tidak akan ada hasilnya.

2. Hukum latihan (law of exercise), yaitu apabila ikatan antara stimulus dan respon lebih
sering terjadi, maka ikatan itu akan terbentuk semakin kuat. Interpretasi dari hukum ini
adalah semakin sering suatu pengetahuan dan pengalaman yang telah terbentuk akibat
terjadinya asosiasi antara stimulus dan respon yang terus-terus dilatihkan, maka ikatan
tersebut akan semakin kuat. Jadi, hukum ini menunjukkan prinsip utama belajar adalah
pengulangan. Semakin sering suatu materi pelajaran diulangi maka materi pelajaran
tersebut akan semakin kuat tersimpan dalam ingatan (memori).

3. Hukum akibat (law of effect), yaitu apabila asosiasi yang terbentuk antara stimulus dan
respon diikuti oleh suatu kepuasan maka asosiasi akan semakin meningkat. Hal ini berarti,
jika suatu respon yang diberikan oleh seseorang terhadap suatu stimulus adalah benar dan
ia mengetahuinya, maka kepuasan akan tercapai dan asosiasi akan diperkuat.

Konkretnya adalah sebagai berikut: Misalkan seorang siswa diminta untuk menyelesaikan
suatu soal matematika, setelah ia kerjakan, ternyata jawabannya benar, maka ia merasa
senang/puas dan akibatnya antara soal dan jawabannya yang benar itu akan kuat tersimpan
dalam ingatannya. Hukum ini dapat juga diartikan, suatu tindakan yang diikuti akibat yang
menyenangkan, maka tindakan tersebut cenderung akan diulangi pada waktu yang lain.
Sebaliknya, suatu tindakan yang diikuti akibat yang tidak menyenangkan, maka tindakan
tersebut cenderung tidak akan diulangi pada waktu yang lain.

3. Implikasi Teori Belajar Thorndike

Implikasi Teori Throndike pada pembelajarn dikelas yang dikutip dari buku
Psichology of Learning adalah :

1) Guru harus tahu, bahwa siswa lebih minat belajar ketika mereka merasa berkebutuhan
dan berkepentingan pada pelajaran tersebut. maka guru harus memastikan bahwa kegiatan
belajar tersebut penting bagi siswa.

2) Kesiapan merupakan prasyarat untuk belajar, karena itu guru disarankan untuk
mempertimbangkan kemampuan mental atau kognitif peserta didik ketika merencanakan
kurikulum atau isi instruksional.

3
3) Guru harus menyadari fakta bahwa siswa ingin mengulangi tindakan yang mereka terima
sebagai hal positif. Oleh karena itu, guru harus selalu menggunakan berbagai strategi
motivasi untuk mempertahankan minat belajar siswa di kelas.

4) Guru harus selalu meghadirkan bahan secara logis dan cara yang lebih koheren. Ini
adalah cara utama menangkap dan mempertahankan kepentingan peserta didik dalam
kegiatan pedagogis.

5) Guru harus mempertimbangkan penggunaan hukuman sebagai pilihan terakhir dalam


mengurangi perilaku yang tidak diinginkan di kelasnya. Ini disebabkan hukuman tidak bisa
benar-benar mengatasi masalah dan itu akan membuat siswa menjadi lebih keras di kelas.
Guru harus menyadari pentingnya latihan atau praktek dalam proses pembelajaran.
Diperkuat oleh Hull (1943) Learning may not occur unless practice. Ini berarti bahwa guru
harus melibatkan siswa dalam tugas atau pekerjaan rumah, jika ingin tercapainya
pembelajaran bermakna.

B. Implikasi Skinner
1. Teori Belajar Skinner
Teori Behavioral lain yang terkenal adalah teori pengkondisian operan yang
dirumuskan oleh B.F Skinner pada awal 1930-an. Skinner mengemukakan ada 2 jenis
pembelajaran, yakni pertama bahwa perilaku responden dihasilkan oleh stimuli spesifik dan
yang kedua bahwa tidak ada stimulus tertentu yang bisa dipastikan secara konsisten akan
menghasilkan respons operan (Hill, 2012).

Seperti halnya Thondike, Skinner menganggap “reward” atau “reinforcement”


sebagai faktor terpenting dalam proses belajar. Skinner berpendapat, bahwa tujuan
psikologi adalah meramal dan mengontrol tingkah laku. Skinner membagi dua jenis respon
dalam proses belajar, yakni: Respondens (respon yang terjadi karena stimulus khusus
misalnya Pavlov) dan Operants (respon yang terjadi karena situasi random). Skinner
menyatakan bahwa unsur terpenting dalam belajar adalah penguatan (reinforcement).
Maksudnya adalah pengetahuan yang terbentuk melalui ikatan stimulu-respon akan
semakin kuat bila diberi penguatan.

Inti dari teori behaviorisme Skinner adalah Pengkondisian operan (kondisioning


operan). Pengkondisian operan adalah sebentuk pembelajaran dimana konsekuensi-
konsekuensi dari prilaku menghasilkan perubahan dalam probabilitas prilaku itu akan
4
diulangi. Ada 4 asumsi yang membentuk landasan untuk kondisioning operan (Margaret E.
Bell Gredler, hlm 122). Asumsi-asumsi itu adalah sebagai berikut:

 Belajar itu adalah tingkah laku.

 Perubahan tingkah-laku (belajar) secara fungsional berkaitan dengan adanya


perubahan dalam kejadian-kejadian di lingkungan kondisi-kondisi lingkungan.

 Hubungan yang berhukum antara tingkah-laku dan lingkungan hanya dapat di


tentukan kalau sifat-sifat tingkah-laku dan kondisi eksperimennya di devinisikan
menurut fisiknya dan di observasi di bawah kondisi-kondisi yang di control secara
seksama.

 Data dari studi eksperimental tingkah-laku merupakan satu-satunya sumber


informasi yang dapat di terima tentang penyebab terjadinya tingkah laku.

Berdasarkan asumsi dasar tersebut menurut Skinner (J.W. Santrock, 272) unsur
yang terpenting dalam belajar adalah adanya penguatan (reinforcement ) dan hukuman
(punishment).

Penguatan (reinforcement) adalah konsekuensi yang meningkatkan probabilitas


bahwa suatu perilaku akan terjadi. Sebaliknya, hukuman (punishment) adalah konsekuensi
yang menurunkan probabilitas terjadinya suatu perilaku. Penguatan boleh jadi kompleks.
Penguatan berarti memperkuat. Skinner membagi penguatan ini menjadi dua bagian:

 Penguatan positif adalah penguatan berdasarkan prinsif bahwa frekuensi respons


meningkat karena diikuti dengan stimulus yang mendukung (rewarding). Bentuk-
bentuk penguatan positif adalah berupa hadiah (permen, kado, makanan, dll),
perilaku (senyum, menganggukkan kepala untuk menyetujui, bertepuk tangan,
mengacungkan jempol), atau penghargaan (nilai A, Juara 1 dsb).

 Penguatan negative adalah penguatan berdasarkan prinsif bahwa frekuensi respons


meningkat karena diikuti dengan penghilangan stimulus yang merugikan (tidak
menyenangkan). Bentuk-bentuk penguatan negatif antara lain: menunda/tidak
memberi penghargaan, memberikan tugas tambahan atau menunjukkan perilaku
tidak senang (menggeleng, kening berkerut, muka kecewa dll).

Satu cara untuk mengingat perbedaan antara penguatan positif dan penguatan
negatif adalah dalam penguatan positif ada sesuatu yang ditambahkan atau diperoleh.
Dalam penguatan negatif, ada sesuatu yang dikurangi atau di hilangkan. Adalah mudah
mengacaukan penguatan negatif dengan hukuman. Agar istilah ini tidak rancu, ingat bahwa

5
penguatan negatif meningkatkan probabilitas terjadinya suatu prilaku, sedangkan hukuman
menurunkan probabilitas terjadinya perilaku.

2. Prinsip Belajar yang Dikembangkan oleh Skinner


Beberapa prinsip belajar yang dikembangkan oleh Skinner antara lain:

– Hasil belajar harus segera diberitahukan kepada siswa, jika salah dibetulkan, jika benar
diberi penguat.

– Proses belajar harus mengikuti irama dari yang belajar.

– Materi pelajaran, digunakan sistem modul.

– Dalam proses pembelajaran, lebih dipentingkan aktivitas sendiri.

– Dalam proses pembelajaran, tidak digunakan hukuman. Namun ini lingkungan perlu
diubah, untuk menghindari adanya hukuman.

– Tingkah laku yang diinginkan pendidik, diberi hadiah, dan sebagainya.

– Dalam pembelajaran, digunakan shaping.

3. Implikasi Teori Belajar Skinner

 Pada teori ini, pendidik diarahkan untuk menghargai setiap anak didiknya.
Hal ini ditunjukkan dengan dihilangkannya system hukuman. Hal itu
didukung dengan adanya pembentukan lingkungan yang baik sehingga
dimungkinkan akan meminimalkan terjadinya kesalahan.

 Bahan yang dipelajari dianalisis sampai pada unit-unit secara organis.

 Hasil belajar harus segera diberitahukan kepada siswa, jika salah dibetulkan
dan jika benar diperkuat. Misalnya saat ujian matematika, guru harus segera
memberikan hasil pekerjaan mereka dengan memperhatikan catatan, bagi
mereka yang menjawab salah segera dibantu diperbaiki, dan bagi mereka
yang mengerjakannya dengan baik bisa diberikan reward berupa pujian
maupun hadiah.

 Proses belajar harus mengikuti irama dari yang belajar.

6
 Materi pelajaran digunakan sistem modul.

 Dalam proses pembelajaran lebih dipentingkan aktivitas sendiri.

 Dalam pendidikan mengutamakan mengubah lingkungan untuk mengindari


pelanggaran agar tidak menghukum.

 Tingkah laku yang diinginkan pendidik diberi hadiah.

 Hadiah diberikan kadang-kadang (jika perlu)

 Dalam pembelajaran sebaiknya digunakan shaping.

 Melaksanakan mastery learning yaitu mempelajari bahan secara tuntas


menurut waktunya masing-masing karena tiap anak berbeda-beda iramanya.
Sehingga naik atau tamat sekolah dalam waktu yang berbeda-beda.

C. Implikasi Gagne
 Teori Belajar Gagne
Sebagaimana tokoh-tokoh lainnya dalam psikologi pembelajaran, Gagne
berpendapat bahwa belajar dipengaruhi oleh pertumbuhan dan lingkungan, namun yang
paling besar pengaruhnya adalah lingkungan individu seseorang. Lingkungan individu
seseorang meliputi lingkungan rumah, geografis, sekolah, dan berbagai lingkungan sosial.
Berbagai lingkungan itulah yang akan menentukan apa yang akan dipelajari oleh seseorang
dan selanjutnya akan menentukan akan menjadi apa ia nantinya.

Bagi Gagne, belajar tidak dapat didefinisikan dengan mudah karena belajar itu
bersifat kompleks. Dalam pernyataan tersebut, dinyatakan bahwa hasil belajar akan
mengakibatkan perubahan pada seseorang yang berupa perubahan kemampuan, perubahan
sikap, perubahan minat atau nilai pada seseorang. Perubahan tersebut bersifat menetap
meskipun hanya sementara.

Menurut Gagne, ada tiga elemen belajar, yaitu individu yang belajar, situasi
stimulus, dan responden yang melaksanakan aksi sebagai akibat dari stimulasi.

Robert M. Gagne merupakan salah seorang penganut aliran psikologi tingkah laku.
Gagne memiliki pandangan bahwa belajar merupakan perubah tingkah laku yang
kegiatannya mengikuti suatu hirarki kemampuan yang dapat diobservasi atau diukur. Oleh
karena itu, Teori belajar yang dikemukakan Gagne dikenal sebagai teori hirarki belajar
(Siroj,2006 dalam Firdaus, 010).

7
Teori hiraki belajar ditemukan oleh Robert M. Gagne yang didasarkan atas hasil
riset tentang factor-faktor yang kompleks pada proses belajar manusia. Penelitiannya
dimaksudkan untuk menentukan teori pembelajaran yang efektif. Analisanya dimulai dari
identifikasi konsep hirarki belajar, yaitu urut-urutan kemampuan yang harus dikuasai oleh
pelajar (peserta didik) agar dapat mempelajari hal-hal yang lebih sulit atau lebih kompleks.

Kemampuan belajar pada tingkat tertentu ditentukan oleh kemampuan belajar di


tingkat sebelumnya. Kedelapan tipe belajar dikemukakan berikut ini (Siroj, 2006 dalam
Firdaus 2010).

1. Belajar Isyarat (signal learning)


Belajar isyarat adalah sesuatu dengan tidak sengaja yaitu sebagai akibat dari
suatu ransangan yang dapat menimbulkan reaksi tertentu. Dari signal yang dilihat atau
didengarnya, anak akan member respon tertentu. Belajar isyarat ini mirip dengan
conditioning menurut Pavlov dan timbul setelah sejumlah pengalaman tertentu. Respon
yang timbul bersifat umum, kabur, dan emosional. Misalnya, siswa menjadi senang belajar
matematika karena gurunya bersifat ramah dan humoris.
2. Belajar Stimulus-respons (stimulus-response learning)
Belajar stimulus-respons adalah belajar yang disengaja dan responnya
seringkali secara fisik(motoris). Respons atau kemampuan yang timbul tidak diperoleh
dengan tiba-tiba melainkan melalui pelatihan-pelatihan. Respons itu dapat diatur dan
dikuasai. Misalnya, Seorang siswa dapat menyelesaikan suatu soal setelah memperhatikan
contoh penyelesaian soal yang serupa oleh gurunya.
3. Rantai atau Rangkaian (chaining)
Belajar rantai atau rangkaian (gerak, tingkah laku) adalah belajar yang
menunjukkan kemampuan anak untuk menggabungkan dua atau lebih hasil belajar
stimulus-respons secara berurutan. Chaining terbatas hanya pada serangkaian gerak, bukan
serangkaian produk bahasa lisa. Misalnya, siswa belajar melukis garis melalui dua titik
melalui rangkain gerak : mengambil pensil, membuat dua titk sembarang memegang
penggaris, meletakkan penggaris tepat disamping kedua titik, kemudian menarik ruas garis
melalui kedua titik.
4. Asosiasi Verbal (verbal Association)
Belajar asosiasi verbal adalah tipe belajar yang menggabungkan hasil belajar
yang melibatkan unit bahasa (lisan) seperti memberi nama sebuah objek/benda. Sebagai
contoh, bila diperlihatkan suatu bentuk geometris, seorang siswa mengatakan bentuknya
adalah persegi. Sebelumnya, ia harus dapat membedakan bentuk-bentuk geometris agar
dapat mengenal persegi sebagai salah satu bentuk geometris. Hubungan itu terbentuk bila
unsur-unsur itu terdapat dalam urutan tertentu, yang satu segera mengikuti yang satu lagi
(contiguity).
5. Belajar Diskriminasi (discrimination lerning)

8
Belajar diskriminasi atau memperbedakan adalah belajar untuk membedakan
hubungan stimulus-respons agar dapat memahami berbagai objek fisik dan konsep. Ada
dua macam belajar diskriminasi, yaitu belajar diskriminasi tunggal dan diskriminasi jamak.
Sebagai contoh belajar diskiminasi tunggal, Siswa dapat meembedakan lambang  dan 
dalam operasi himpunan. Belajar diskriminasi jamak, misalnya siswa dapat
membedakansudut dan sisi pada segitigalancip, siku-siku, dan tumpul, atau pada segitiga
sama sisi, sama kaki, dan sembarang.
6. Belajar Konsep (concept learning)
Belajar konsep adalah belajar memahami sifat-sifat bersama dari benda-
benda konkrit atau peristiwa-peristiwa untuk dikelompokkan menjadi satu jenis. Untuk
mempelajari suatu kinsep, anak harus mengalami berbagai situasi dan stimulus tertentu.
Pada tipe belajar ini, mereka dapat mengadakan diskriminasi untuk membedakan apa yang
termasuk atau tidak termasuk dalam suatu konsep. Melalu pemahaman konsep siswa
mampu mengidentifikasi benda lain yang berbeda ukuran, warna maupun materinya,
namun masi memiliki karakteristik dari objek itu sendiri. Sebagai contoh siswa dikatakan
telah belajar konsep himpunan jika ia telah dapat menunjukkan kumpulan objek yang
merupakan contoh himpunan atau bukan contoh himpunan.
7. Belajar Aturan (rule learning)
Belajar aturan adalah tipe belajar yang memungkinkan peserta didik dapat
menghubungkan dua konsep atau lebih untuk membentuk suatu aturan. Harus diingat,
mengenal aturan tanpa memahaminya akan merupakan verbal-cahin saja, dan hal ini
merupakan cara pembelajaran yang keliru. Seorang siswa dikatakan telah belajar aturan jika
ia telah mampu mengaplikasikan aturan itu. Misalnya, dalam matematika siswa dapat
memahami bahwa (a+b)(a – b) = a 2 – b2 berdasarkan konsep-konsep sebelumnya, seperti
perkalian dua bilangan berbeda tanda, dan penjumlahan/pengurangan dua bilangan.
8. Memecahkan Masalah (problem solving)
Belajar mmemecahkan masalah adalah tipe belajar yang lebih tinggi dan
lebih kompleks dibandingkan dengan tipe belajar yang lain. Dalam belajar pemecahan
masalah, ada empat langkah penting dalam proses pemecahan masalah menurut polya
(dalam pirdaus, 2007) yaitu (1) Memahami masalahnya, dalam arti menentukan apa yang
diketahui dan apa yang dinyatakan, (2) Merencanakan cara penyelesaiannya, (3)
melaksakan rencana, dan (4) menafsirkan atau mengecek hasilnya, siswa harus memiliki
pemahaman sejumlah konsep dan aturan. Selain itu, siswa juga harus memiliki strategi
yang dapat memberikan arah pada memberikan arah pada pemikirannya untuk
memecahkan masalah itu.

 Aplikasi Teori Belajar Gagne

Karakteristik materi matematika yang berjenjang (hirarkis) memerlukan cara belajar


yang berjenjang pula. Untuk memahami suatu konsep dan/atau rumus matematika yang
9
lebih tinggi, diperlukan pemahaman yang memadai terhadap konsep dan/atau rumus yang
ada di bawahnya.

 Implikasi Teori Belajar Gagne


Berikut adalah implikasi dari teori belajar Gagne:

 Mengontrol perhatian siswa.

 Memberikan informasi kepada siswa mengenai hasil belajar yang diharapkan guru.

 Merangsang dan mengingatkan kembali kemampuan-kemampuan siswa.

 Penyajian stimuli yang tak bisa dipisah-pisahkan dari tugas belajar.

 Memberikan bimbingan belajar.

 Memberikan umpan balik.

 Memberikan kesempatan pada siswa untuk memeriksa hasil belajar yang telah
dicapainya.

 Memberikan kesempatan untuk berlangsungnya transfer of learning.

 Memberikan kesempatan untuk melakukahn praktek dan penggunaan kemampuan


yang baru diberikan.

D. Implikasi Piaget
1. Teori Belajar Piaget
Menurut Piaget (dalam Dr.Paul Suparno, 2001:49) metode pengajaran
matematika dalam bentuk ceramah memang baik bagi orang yang sudah dewasa tetapi
banyak menyebabkan hambatan bagi murid yang masih dalam tingkat pengajaran yang
masih rendah. .

Kemudian Piaget menekankan hal pokok dalam pengajaran matematika pada murid
bahwa Pengajaran matematika tidak boleh melalaikan peran kegiatan – kegiatan, khususnya
pada anak–anak yang masih kecil. Pengalaman fisis dan pengalaman matematis-logis
sangat penting dalam mengembangkan pengetahuan, baik fisis maupun matematis.

Teori Piaget menjelaskan bahwa perkembangan kemampuan intelektual manusia


terjadi karena beberapa faktor yang mempengaruhinya, seperti:

1. Kematangan (maturation), yaitu pertumbuhan otak dan sitem syaraf manusia karena
bertambahnya usia, dari lahir sampai dewasa.

10
2. Pengalaman (experience), yang terdiri dari

a. pengalaman fisik, yaitu interaksi manusia dengan objek-objek di


lingkungannya.

b. Pengalaman logiko-matematis, yaitu kegiatan-kegiatan pikiran yang dilakukan


manusia yang bersangkutan

3. Transmisi sosial, yaitu interaksi dan kerja sama yang dilakukan oleh manusia dengan
manusia lainnya.

4. Penyeimbangan (equilibration), yaitu proses dimana struktur mental (struktur kognitif)


manusia kehilangan keseimbangan sebagai akibat dari adanya pengalaman-pengalaman
atau pembelajaran-pembelajaran baru, kemudian berusaha untuk mencapai keseimbangan
baru dengan melalui poses asimilasi dan akomodasi. Asimilasi adalah proses di mana
informasi-informasi dan pengalaman-pengalaman baru ‘diserap’ (dimasukkan) ke dalam
struktur kognitif manusia, sedangkan akomodasi adalah penyesuaian pada struktur kognitif
manusia sebagai akibat dari adanya informasi-informasi dan pengalaman-pengalaman baru
yang diserap.

Pemanfaatan teori Piaget dalam pembelajaran dapat dilihat pada pernyataan di bawah ini.

a. Memusatkan pada proses berpikir atau proses mental, dan bukan sekedar pada
hasilnya. Di samping kebenaran siswa, guru harus memahami proses yang digunakan anak
sehingga sampai pada jawaban itu.

b. Mengutamakan peran siswa dalam berinisiatif sendiri dan keterlibatan aktif dalam
kegiatan pembelajaran. Di dalam kelas, penyajian pengetahuan jadi (ready made) tidak
mendapat penekanan, melainkan anak didorong menemukan sendiri pengetahuan itu
melalui interaksi spontan dengan lingkungannya.

c. Memaklumi akan adanya perbedaan individual dalam hal kemajuan perkembangan.


Teori Piaget mengasumsikan bahwa seluruh siswa tumbuh melewati urutan perkembangan
yang sama, namun pertumbuhan itu berlangsung pada kecepatan berbeda.

Dari uraian di atas dapat disimpulan bahwa kegiatan pembelajaran itu memuaskan
perhatian kepada berpikir atau proses mental anak, yang tidak sekedar kepada hasilnya,
mengutamakan peran siswa dalam kegiatan pembelajaran, dan memaklumi perbedaan
individu dalam hal kemajuan perkembangannya.

Bagi guru matematika, Teori Piaget jelas sangat relevan, karena dengan
menggunakan teori itu, guru akan bisa mengetahui adanya tahap-tahap perkembangan
tertentu pada kemampuan berpikir anak-anak di kelas atau di sekolahnya. Enga demikia
11
guru bisa memberikan perlakuan yang tepat bagi para siswanya, misalnya dalam memilih
cara penyampaian materi bagi siswa, penyediaan alat-alat peraga, dan sebagainya, sesuai
dengan tahap perkembangan kemampuan berpikir yang dimiliki oleh siswa masing-masing.
Selain itu guru matematika di SMP perlu mencermati apakah simbol-simbol matematika
yang digunakan guru dalam mengajar cukup mudah dipahami siswa atau tidak, dengan
mengingat tingkat kemampuan berpikir yang dimiliki oleh masing-masing siswa.

Menurut Piaget, perkembangan kognitif merupakan suatu proses genetic, artinya


proses yang didasarkan atas mekenisme biologis dari perkembangan system syaraf.
Semakin bertambah umur seseorang, makin komplek susunan sel syarafnya dan makin
meningkat pula kemampuannya (Travers, 1976:5). Sehingga ketika dewasa seseorang akan
mengalami adaptasi biologis dengan lingkungannya yang menyebabkan adanya perubahan-
perubahan kualitatif didalam struktur kognitifnya.
2. Tahap-tahap Belajar dalam Teori Piaget
Piaget membagi proses belajar kedalam tiga tahapan yaitu :
a) Asimilasi
Proses pengintegrasian informasi baru ke struktur kognitif yang sudah ada.
Contoh seorang siswa yang mengetahui prinsip-prinsip penjumlahan, jika
gurunya memperkenalkan prinsip perkalian, maka terjadilah proses
pengintegrasian antara prinsip penjumlahan (yang sudah ada dipahami oleh
anak) dengan prinsip perkalian (informasi baru yang akan dipahami anak).
b) Akomodasi
Proses penyesuaian antara struktur kognitif ke dalam situasi yang baru.
Penerapan proses perkalian dalam situasi yang lebih spesifik. Contohnya : siswa
ditelah mengetahui prinsip perkalian dan gurunya memberikan sebuah soal
perkalian.
c) Equilibrasi
Proses penyesuaian yang berkesinambungan antara asimilasi dan
akomodasi. Hal ini sebagai penyeimbang agar siswa dapat terus berkembang
dan menambah ilmunya. Tetapi sekaligus menjaga stabilitas mental dalam
dirinya, maka diperlukan roses penyeimbang. Tanpa proses ini perkembangan
kognitif seseorang akan tersendat-sendat dan berjalan tidak teratur, sedangkan

12
dengan kemampuan equilibrasi yang baik akan mampu menata berbagai
informasi yang diterima dengan urutan yang baik, jernih, dan logis.

Menurut Piaget, perkembangan kognitif sebagian besar bergantung kepada seberapa


jauh anak aktif memanipulasi dan aktif berinteraksi dengan lingkungannya, yaitu
bagaimana anak secara aktif mengkontruksi pengentahuannya. Pengetahuan datang dari
tindakan . menurut teori Piaget pengalaman-pengalaman fisik dan manipulasi lingkungan
penting bagi terjadinya perubahan perkembangan. Sementara itu bahwa interaksi sosial
dengan teman sebaya, khususnya berargumentasi dan berdiskusi membantu memperjelas
pemikiran yang pada akhirnya memuat pemikiran itu menjadi lebih logis.

3. Implikasi Teori Belajar Piaget

Berikut ini adalah implikasi teori Piaget dalam pembelajaran:

1) Memaklumi akan adanya perbedaan invidual dalam hal kemajuan perkembangan.


Teori Piaget mengasumsikan bahwa seluruh siswa tumbuh melewati urutan
perkembangan yang sama, namun pertumbuhan itu berlangsung pada kecepatan
yang berbeda. Ditambah cara berfikir anak kurang logis dibanding dengan orang
dewasa, maka guru harus mengerti cara berfikir anak, bukan sebaliknya anak yang
beradaptasi dengan guru.

2) Pendidikan disini bertujuan untuk mengembangkan pemikiran anak, artinya ketika


anak-anak mencoba memecahkan masalah, penalaran merekalah yang lebih penting
daripada jawabannya. Oleh sebab itu guru penting sekali agar tidak menghukum
anak-anak untuk jawaban yang salah, tetapi sebaliknya menanyakan bagaimana
anak itu memberi jawaban yang salah, dan diberi pengertian tentang kebenarannya
atau mengambil langkah-langkah yang tepat untuk untuk menanggulanginya.

3) Anak belajar paling baik dengan menemukan (discovery). Artinya di sini adalah
agar pembelajaran yang berpusat pada anak berlangsung efektif, guru tidak
meninggalkan anak-anak belajar sendiri, tetapi mereka memberi tugas khusus yang
dirancang untuk membimbing para siswa menemukan dan menyelesaikan masalah
sendiri.

E. Implikasi Bruner

1. Teori Belajar Bruner

Teori belajar Bruner merupakan teori belajar kognitif. Artinya setelah proses
pembelajaran dilaksanakan diharapakan mampu meningkatkan kecerdasan atau kognitif
anak. Jerome S. Bruner menganggap bahwa intelektual anak sangat penting. Dalam

13
pembelajaran setiap mata pelajaran dapat diajarkan dengan efektif oleh guru. Konsep
pembelajaran dibentuk secara intelektual kepada setiap anak dan sesuai dengan setiap
perkembangannya.

Menurut Bruner, berpikir merupakan gabungan dari tiga proses, yaitu penerimaan
(acquisition), transformasi (transformation), dan menguji ketepatan (testing of adequacy).
Tiga langkah tersebut merupakan pengorganisasian aktif dari individu dalam memperoleh
pengetahuan, yang merupakan ciri khas dari teori dasar kognitif. Penerimaan (acquisition)
sama halnya dengan penerimaan sensorik dan sintesis.

Penerimaan (acquisition) merupakan proses menerima persepsi dan pengetahuan


yang diperoleh dari pengalaman. Dangan kata lain, adanya pengalaman baru akan
menambahkan pengetahuan yang lama, memperluas dan memperdalam dan kemungkinan
informasi yang baru bertentangan dengan informasi yang lama. Transformasi
(transformation) merupakan perubahan persepsi baru dan pengetahuan ke dalam bentuk
yang lebih bermakna. Menguji ketepatan (testing) merupakan tindakan yang dirancang
untuk menilai kecukupan dan ketepatan pengetahuan yang ada dalam rangka menilai proses
transformasi. Proses kedua dan ketiga menyerupai ide Piaget mengenai asimilasi dan
akomodasi.

2. Tahap-tahap pembelajaran dalam Teori Bruner

Berikut Adalah tahap tahap pembelajaran dalam Teori Bruner :

a. Tahap Enaktif

Dalam tahap ini penyajian yang dilakukan melalui tindakan bahwa anak secara langsung
terlibat dalam memanipulasi (mengotak-atik) objek. Pada tahap ini anak belajar suatu
pengetahuan di mana pengetahuan itu dipelajari secara aktif, dengan menggunakan benda-
benda konkret atau menggunakan situasi yang nyata, tanpa menggunakan imajinasinya atau
kata-kata. Anak akan memahami sesuatu dengan berbuat atau melakukan sesuatu. Jadi pada
tahap ini sebagian besar pengetahuan dalam bentuk respon motorik.

b. Tahap Ikonik

Tahap ikonik, yaitu suatu tahap pembelajaran sesuatu pengetahuan dimana pengetahuan itu
direpresentasikan (diwujudkan) dalam bentuk bayangan visual (visual imaginery), gambar,
atau diagram, yang menggambarkan kegiatan kongkret atau situasi kongkret. Pada tahap
ini, pemahaman anak masih diperoleh dari benda nyata dalam wujud gambar bukan benda

14
abstrak. Jadi pada tahap ini, pengetahuan sebagian besar lebih diwujudkan dalam citra
visual.

c. Tahap Simbolik

Dalam tahap ini bahasa adalah pola dasar simbolik, anak memanipulasi simbol-simbol atau
lambang-lambang objek tertentu.Anak tidak lagi terikat dengan objek-objek seperti pada
tahap sebelumnya. Anak pada tahap ini sudah mampu menggunakan notasi tanpa
ketergantungan terhadap objek riil. Pembelajaran direpresentasikan dalam bentuk simbol-
simbol abstrak (abstract symbols), yaitu simbol-simbol arbiter yang dipakai berdasarkan
kesepakatan orang-orang dalam bidang yang bersangkutan, baik symbol-simbol verbal
(misalnya huruf-huruf, kata-kata, kalimat-kalimat), lambang-lambang matematika, maupun
lambang-lambang abstrak yang lain. Jadi, pada tahap ini pengetahuan sebagian besar
dinyatakan dalam bentuk kata-kata, simbol matematika dan sistem simbol lainnya.

3. Implikasi Teori Belajar Bruner

Implikasi atau Penerapan teori belajar Bruner dapat dilakukan oleh guru mata
pelajaranmatematika.

BerikutcontohPenerapanBelajarBruner:
1. Menyajikan contoh dan bukan konsep. Penyajian contoh yang dimaksud disini
adalah guru langsung memberikan contoh langsung pada siswa. Contohnya yaitu cara
menggambar tabung. Guru harus menjelaskan dan memberi contoh langsung bagaimana
langkah-langkah yang harus dilakukan untuk membuat gambar tabung. Jadi, guru langsung
menyajikan contoh dan bukan sekadar konsep saja. Terkadang masih banyak guru yang
hanya memberikan konsep semata tanpamemberikancontohsecaralangsung.

2. Melihat hubungan antara konsep-konsep. Dalam proses pembelajarn guru


menyusun materi pembelajaran dengan cara menghubungkan beberapa konsep yang telah
disiapkan. Biasanya guru mengkaitkan hubungan antara konsep-konsep ini dalam bentuk
pertanyaan kasus. Contohnya: seorang tukang akan memasang ubin yang berukuran 30 cm
x 30 cm, dengan luas lantai 80 cm2. Dan yang ditanyakan kepada siswa jumlah ubin yang

15
dibutuhkan seorang tukang untuk dapat memasang ubin secara keseluruhan. Dengan
pertanyaan seperti ini, maka siswa dapat mengkaitkan mata pelajaran matematika dengan
kehidupan sehari-hari. Artinya akan membuat anak merasa bahwa mata pelajaran
matematika sangat bermanfaat bagi seseorang
karenadapatmenyelesaikanmasalahyangdihadapi.

3. Mengajukan pertanyaan kepada siswa. Guru dapat mengajakan pertanyaan pada


siswa dan meminta siswa untuk mencari jawaban sendiri. Contohnya: bagaimana ciri-ciri
ubin, apa manfaat penggunaan ubin dan lain-lain. Dengan pengajuan pertanyaan seperti ini
siswa tidak hanya belajar matematika tapi juga dapat dikaitkan dengan mata pelajaran lain
atau juga sikap peduli denganlingkungan.

4. Mengajak siswa untuk aktif dalam memberi pendapat. Ketika seorang anak
menjawab petanyaan namun jawabannya salah, maka guru tidak boleh memarahinya. Guru
harus mengajak seorang anak untuk aktif berpendapat atau aktif berbicara. Dengan
memiliki aktif berbicara maka akan membuat anak semakin percaya diri dengan kemapuan
yang dimiliki.

5. Memberikan semangat. Terkadang siswa yang sudah mengalami kesulitan


dalam mengerjakan soal akan merasa putus asa. Semangat yang diberikan guru menjadi
sangat penting, jadi guru harus selalu memberikan semangat kepada siswa untuk dapat
mengerjakan soal.

Teori belajar Bruner ini dapat menjadi pilihan guru matematika dalam
pembelajaran. Dengan melaksanakan contoh-contoh penerapan teori ini diharapkan mampu
mempermudah guru matematika saat mengajar dan siswa tidak lagi takut pada mata
pelajaran matematika.

16
F. Implikasi Brownel

1. Teori Belajar Brownell Dalam Pembelajaran Matematika

Menurut William Brownell (1935) bahwa belajar itu pada hakekatnya merupakan
suatu proses yang bermakna. Ia mengemukakan bahwa belajar matematika itu harus
merupakan belajar bermakna dan pengertian. Pada penelitiannya pada pembelajaran anak
khususnya pada aritmatika mengemukakan belajar matematika harus merupakan belajar
bermakna dan belajar pengertian atau yang dikenal dengan Meaning Theory (teori
bermakna) dan dalam perkembangannya ia meletakkan pondasi munculnya matematika
baru. Hal ini sesuai dengan teori Gestalt yang menyatakan bahwa latihan hafal atau drill
sangat penting dalam kegiatan pembelajaran yang diterapkan setelah tertanamnya
pengertian. (Russefendi, 1993: 117).Khusus dalam hubungan pembelajaran matematika di
SD, Meaning Theory (teori makna) yang diperkenalkan oleh Brownell merupakan
alternatife dari Drill Theory (teori hafalan).

1. Drill Theory (teori hafalan)


Teori drill dalam pengajaran matematika berdasarkan kepada teori belajar asosiasi
yang lebih dikenal dengan sebutan teori belajar stimulus respon yang dikembangkan oleh
Edward L. Thorndike (1874-1949). Teori belajar ini menyatakan bahwa pada hakikatnya
belajar merupakan proses pembentukan hubunngan antara stimulus dan respon. Menurut
teori ini ikatan antara stimulus (soal) dan respon (jawab) itu bias dicapai oleh siswa dengan
latihan berupa ulangan (drill), atau dengan kata lain dengan latihan hafal. Intisari
pengajaran matematika menurut teori drill adalah sebagai berikut:
a. Matematika (aritmatika) untuk tujuan pembelajaran dianalisis sebagai kumpulan fakta
yang berdiri sendiri dan tidak saling berkaitan.
b. Anak diharuskan menguasai unsur-unsur yang banyak sekali tanpa diperhatiakan
pengertiannya.
c. Anak mempelajari unsur-unsur dalam bentuk seperti yang digunakan nanti dalam
kesempatan lain.
d. Anak akan mencapai tujuan ini secara efektif dan efisien dengan melalui pengulangan.

17
Brownell mengemukakan ada tiga keberatan utama berkenaan dengan teori drill pada
pengajaran matematika yakni :

a. Teori drill memberikan tugas yang harus dipelajari siswa yang hamper tidak
mungkin dicapai. Menurut hasil penelitian menunjukkan anak yang tahu 3 + 6 = 9 ternyata
tidak tahu dengan baik, bahwa 3 + 6 = 9. Penelitian lain menunjukkan bahwa penguasaan 3
+ 6 = 9 tidak menjamin dikuasainya 13 + 6 = 19, 23 + 6 = 29 atau 43 + 6 = 49 dan
sebagainya.

a. Keberatan yang lainnya berkaitan dengan reaksi yang dihasilkan oleh drill. Pada
saat guru memberikan drill pada keterampilan aritmatika, ia berasumsi bahwa murid akan
berlatih sebagai reaksi yang telah ditentukan. Misalkan pada waktu guru member tugas 4 +
2 = 6 dan 9 – 5 = 4, ia mengharap semua siswa akan dengan diam berfikir atau
mengucapkan dengan keras 4 + 2 = 6, 9 – 5 = 4. Guru percaya dengan sering
mengulanginya akhirnya siswa selalu menjawab 6 dan 4 untuk kedua tugas tersebut.
Kemudian melalui penelitian diketahui bahwa hanya 40% dari siswa yang dapat menjawab
dengan benar berdasarkan ingatannya. Kegiatan ini menunjukkan bahwa drill tidak
menghasilkan respon otomatis untuk siswa-siswa di kelas 1 dan 2 SD, padahal tugas dan
beban belajar mereka relatif lebih sedikit dibandingkan dengan kelas-kelas yang lebih atas.

c. Aritmatika lebih tepat dipandang sebagai suatu system berpikir kuantitatif. Pandangan
ini merupakan criteria penilaian suatu system pengajaran matematika yang memadai atau
tidak. Jelas dari sudut pandangnya, teori drill dalam pengajaran matematika tidak memadai,
karena pengajaran melalui drill tidak menyediakan kegiatan untuk berpikir secara
kuantitatif. Agar siswa dapat berpikir secara kuantitatif, ia harus mengetahui maksud dari
apa yang dipelajarinya (mengerti).
Menurut Brownell dalam belajar orang membutuhkan makna bukan hanya sekedar
respon otomatis yang banyak. Maka dengan demikian teori drill dalam pembelajaran
matematika yang dikembangkan atas dasar teori asosiasi atau stimulus respon, menurutnya
terkesan bahwa proses pembelajaran matematika khususnya aritmatika dipahami semata-
mata hanya sebagai kemahiran.

18
2. Meaning Theory (teori bermakna)
Menurut teori makna anak itu harus melihat makna dari apa yang dipelajarinya,
anak harus tahu makna dari symbol yang ditulis dan kata yang diucapkannya dan ini adalah
isu utama pada pembelajaran matematika. Teori makna mengakui perlunya drill dalam
pembelajaran matematika bahkan dianjurkan jika memang diperlukan. Jadi, drill itu penting
tetapi drill dilakukan apabila suatu konsep, prinsip atau proses telah dipahami dengan
mengerti oleh para siswa. Hal ini dikarenakan bahwa penguasaan seseorang terhadap
matematika tidak cukup hanya dilihat dari kemampuan mekanik anak dalam berhitung saja,
tetapi juga dalam aspek praktis dan kemampuan berpikir kuantitatif.
Selain itu juga, Brownell memberikan saran dalam pengajaran matematika, siswa
sebaiknya memahami pentingnya bilangan baik dalam segi kehidupan social manusia
maupun segi intelektual dalam system kualitatif. Jadi pembelajaran aritmatika yang
dikembangkan oleh Brownell menekankan bahwa keterampilan hitung tidak hanya sekedar
mengetahui cara menyelesaikan prosedur-prosedur tetapi juga harus mengetahui bagaimana
prosedur-prosedur tersebut bekerja atau dengan kata lain harus mengetaui makna dari apa
yang dipelajari.
Teori makna memandang matematika sebagai suatu system dan konsep-konsep,
prinsip-prinsip dan proses-proses yang dapat dimengerti. Menurutnya tes belajar
untukmengukur kemampuan matematika anak bukanlah semata-mata kemampuan mekanik
anak dalam berhitung saja. Tes harus mengungkapkan kemampuan intelektual anak dalam
melihat antara bilangan dan kemampuan untuk menghadapi situasi aritmatika dengan
pemahaman yang sempurna baik aspek matematikanya maupun praktisnya.
Menurut Brownell kemampuan mendemonstrasikan operasi-operasi hitung secara
mekanis dan otomatis tidaklah cukup. Tujuan utama dari pengajaran aritmatika adalah
mengembangkan atau pentingnya kemampuan berfikir dalam situasi kuantitatif. Brownell
mengusulkan agar pengajaran aritmatika pada anak lebih menantang kegiatan berfikirnya
dari pada kegiatan mengingatnya. Program aritmatika di SD haruslah membahas tentang
pentingnya (significance) dan makna (meaning) ari bilangan. Pentingnya bilangan (the
significance of number) adalah nilainya atau pentingnya dalam kehidupan keseharian
manusia. Pengertian signifikansi bilangan bersifat fungsional atau dengan kata lain penting

19
dalam kehidupan social manusia. Sedangkan makna bilangan (the meaning of number)
adalah bersifat intelektual atau bersifat matematis sebagai suatu system kuantitatif.
2. Proses Belajar Mengajar Menurut Brownell
Proses pembelajaran yang lebih baik adalah proses yang memungkinkan siswa aktif
melibatkan diri dalam keseluruhan proses baik secara mental maupun secara fisik. Model
ini dikenal sebagai pembelajaran aktif. Hal ini sesuai bahwa Pembelajaran aktif adalah
segala bentuk pembelajaran yang memungkinkan siswa berperan secara aktif dalam proses
pembelajaran itu sendiri baik dalam bentuk interaksi antar siswa maupun siswa dengan
guru dalam proses pembelajaran tersebut. Menurut Brownell (1995), pembelajaran aktif
memiliki karakteristik sebagai berikut:
a. Penekanan proses pembelajaran bukan pada penyampaian informasi oleh pengajar
melainkan pada pengembangan keterampilan pemikiran analisis dan kritis terhadap topik
atau permasalahan yang dibahas.
b. Siswa tidak hanya mendengarkan materi pelajaran secara pasif tetapi mengerjakan
sesuatu yang berkaitan dengan materi pelajaran tersebut.

c. Penekanan pada eksplorasi nilai-nilai dan sikap-sikap berkenaan dengan materi


pelajaran.

d. Siswa lebih banyak dituntut untuk berpikir kritis, menganalisa dan melakukan
evaluasi.

e. Umpan-balik yang lebih cepat akan terjadi pada proses pembelajaran.

Pemberian strategi pembelajaran aktif ini pada siswa dapat membantu ingatan (memory)
mereka, sehingga dapat dibawa kepada tujuan pembelajaran dengan sukses. Hal ini kurang
diperhatikan pada pembelajaran konvensional. Dalam strategi ini, setiap materi pelajaran
yang baru harus dikaitkan dengan berbagai pengetahuan dan pengalaman yang ada
sebelumnya, agar siswa dapat belajar secara aktif dan mempunyai motivasi yang tinggi
untuk belajar.

Pembelajaran aktif memberi kesempatan kepada siswa untuk menggunakan otak, baik
untuk menemukan ide pokok dari materi pelajaran, memecahkan persoalan, atau
mengaplikasikan apa yang baru didapat ke dalam persoalan yang ada dalam kehidupan
nyata. Dalam pembelajaran aktif ini, siswa dituntut untuk turut serta dalam semua proses
20
pembelajaran. Dengan cara ini biasanya siswa merasakan suasana yang lebih
menyenangkan sehingga hasil belajar dapat dimaksimalkan.

Teori belajar William Brownell didasarkan atas keyakinan bahwa anak-anak


memahami apa yang sedang mereka pelajari jika belajar secara terus menerus untuk waktu
yang lama. Aritmatika atau berhitung yang diberikan pada anak-anak SD dulu lebih
menitikberatkan hafalan dan mengasah otak. Salah satu cara bagi anak-anak untuk
mengembangkan pemahaman tentang matematika adalah dengan menggunakan benda-
benda tentu ketika mereka mempelajari konsep matematika. Sebagai contoh, pada saat
anak-anak baru pertama kali di perkenalkan dengan konsep membilang, mereka akan lebih
mudah memahami konsep itu jika mereka menggunakan benda kongkrit yang mereka kenal
seperti mangga, kelereng, bola atau sedotan. Dengan kata lain, teori belajar William
Brownell ini mendukung penggunaan benda-benda kongkrit untuk dimanipulasikan
sehingga anak-anak dapat memahami makna dari konsep dan keterampilan baru yang
mereka pelajari

3. Implikasi Teori Belajar Brownell


Implikasi teori perkembangan kognitif Brownell dalam pembelajaran sebagai berikut:
a. Bahan yang harus dipelajari anak hendaknya dirasakan baru tetapi Bahasa dan cara
berfikir anak berbeda dengan orang dewasa. Oleh karena itu, guru mengajar dengan
menggunakan bahasa yang sesuai dengan cara berfikir anak.
b. Anak-anak akan belajar lebih baik apabila dapat menghadapi lingkungan dengan baik.
Guru harus membantu anak agar dapat berinteraksi dengan lingkungan sebaik-baiknya.
c. tidak asing.
d. Berikan peluang agar anak belajar sesuai tahap perkembangannya.
e. Siswa hendaknya diberi peluang ubtuk saling berbicara dan diskusi dengan siswa lain.

21
G. Implikasi Dienes
1. Teori Belajar Z. P. Dienes
Dienes (dalam Ruseffendi, 1992) berpendapat bahwa pada dasarnya matematika
dapat dianggap sebagai studi tentang struktur, memisah-misahkan hubungan-hubungan di
antara struktur-struktur dan mengkategorikan hubungan-hubungan diantara struktur-
struktur. Seperti halnya dengan Bruner, Dienes mengemukakan bahwa tiap-tiap konsep atau
prinsip dalam matematika yang disajikan dalam bentuk yang konkret akan dapat dipahami
dengan baik. Ini mengandung arti bahwa jika benda-benda atau objek-objek dalam bentuk
permainan akan sangat berperan bila dimanipulasi dengan baik dalam pengajaran
matematika.

Menurut Dienes, permainan matematika sangat penting sebab operasi matematika


dalam permainan tersebut menunjukkan aturan secara kongkret dan lebih membimbing dan
menajamkan pengertian matematika pada anak didik. Dapat dikatakan bahwa objek-objek
kongkret dalam bentuk permainan mempunyai peranan sangat penting dalam pembelajaran
matematika jika dimanipulasi dengan baik.

Makin banyak bentuk-bentuk yang berlainan yang diberikan dalam konsep-konsep


tertentu, akan makin jelas konsep yang dipahami anak, karena anak-anak akan memperoleh
hal-hal yang bersifat logis dan matematis dalam konsep yang dipelajarinya itu.

Dalam mencari kesamaan sifat anak-anak mulai diarahkan dalam kegiatan


menemukan sifat-sifat kesamaan dalam permainan yang sedang diikuti. Untuk melatih
anak-anak dalam mencari kesamaan sifat-sifat ini, guru perlu mengarahkan mereka dengan
mentranslasikan kesamaan struktur dari bentuk permainan yang satu ke bentuk permainan
lainnya. Translasi ini tentu tidak boleh mengubah sifat-sifat abstrak yang ada dalam
permainan semula.

1. Konsep Matematika Z. P. Dienes


Menurut Dienes, ada tiga jenis konsep matematika yaitu konsep murni matematika,
konsep notasi, dan konsep terapan.

1. Konsep murni matematis

22
Konsep matematis murni berhubungan dengan klasifikasi bilangan-bilangan dan
hubungan-hubungan antar bilangan, dan sepenuhnya bebas dari cara bagaimana bilangan-
bilangan itu disajikan. Sebagai contoh, enam, 8, XII, 1110 (basis dua), dan Δ Δ Δ Δ,
semuanya merupakan contoh konsep bilangan genap; walaupun masing-masing
menunjukkan cara yang berbeda dalam menyajikan suatu bilangan genap.
2. Konsep notasi
Sifat-sifat bilangan yang merupakan akibat langsung dari cara penyajian bilangan.
Fakta bahwa dalam basis sepuluh, 275 berarti 2 ratusan ditambah 7 puluhan ditambah 5
satuan merupakan akibat dari notasi nilai tempat dalam menyajikan bilangan-bilangan yang
didasarkan pada sistem pangkat dari sepuluh. Pemilihan sistem notasi yang sesuai untuk
berbagai cabang matematika adalah faktor penting dalam pengembangan dan perluasan
matematika selanjutnya.
3. Konsep Terapan
Penerapan dari konsep matematika murni dan notasi untuk penyelesaian masalah
dalam matematika dan dalam bidang-bidang yang berhubungan. Panjang, luas dan volume
adalah konsep matematika terapan. Konsep-konsep terapan hendaknya diberikan kepada
siswa setelah mereka mempelajari konsep matematika murni dan notasi sebagai prasyarat.
Konsep-konsep murni hendaknya dipelajari oleh siswa sebelum mempelajari konsep
notasi, jika dibalik para siswa hanya akan menghafal pola-pola bagaimana memanipulasi
simbol-simbol tanpa pemahaman konsep matematika murni yang mendasarinya. Siswa
yang membuat kesalahan manipulasi simbol seperti 3x + 2 = 4 maka x + 2 = 4 – 3, = x, a2
x a3 = a6, dan = x + berusaha menerapkan konsep murni dan konsep notasi yang tidak
cukup mereka kuasai.
Dienes memandang belajar konsep sebagai seni kreatif yang tidak dapat dijelaskan
oleh teori stimulus-respon manapun seperti tahap-tahap belajar Gagne. Dienes percaya
bahwa semua abstraksi didasarkan pada intuisi dan pengalaman konkret; akibatnya sistem
pembelajaran matematika Dienes menekankan laboratorium matematika, objek-objek yang
dapat dimanipulasi, dan permainan matematika.

Karakteristik permainan adalah menciptakan suasana belajar yang menyenangkan


(fun) serta serius tapi santai (sersan). Permainan digunakan untuk penciptaan suasana

23
belajar dari pasif ke aktif, dari kaku menjadi gerak (akrab) dan dari jenuh menjadi riang
(segar).

Tujuan dari pemanfaatan situasi anak bermain sambil belajar matematika, yaitu :
1. Agar peserta didik senang dalam mengerjakan suatu bahan pelajaran matematika.
2. Agar peserta didik terdorong dan menaruh minat untuk mempelajari matematika secara
sukarela.
3. Adanya suatu semangat bertanding dalam suatu permainan dan berusaha untuk menjadi
pemenang dan dapat mendorong anak peserta didik untuk memusatkan perhatian pada
permainan yangdihadapinya.
4. Jika peserta didik terlibat pada kegiatan dan keaktifan sendiri, akan betul-betul
memahami dan mengerti.
5. Ketegangan-ketegangan dalam pikiran peserta didik setelah belajar matematika dapat
berkurang.
6. Agar peserta Didik memanfaatkan Waktu Luang.

-Teori Belajar Dienes-


Menurut Dienes, permainan matematika sangat penting sebab operasi matematika
dalam permainan tersebut menunjukkan aturan secara kongkret dan lebih membimbing dan
menajamkan pengertian matematika pada anak didik. Dapat dikatakan bahwa objek-objek
kongkret dalam bentuk permainan mempunyai peranan sangat penting dalam pembelajaran
matematika jika dimanipulasi dengan baik.

Adapun Beberapa Kelebihan Teori Belajar Dienes yaitu Sebagai berikut :

1. Melatih anak untuk mendramatisasikan sesuatu serta melatih keberanian

2. Metode ini akan menarik perhatian anak sehingga suasana kelas menjadi hidup.

3. Anak dapat menghayati suatu peristiwa sehingga mudah mengambil kesimpulan


berdasarkan penghayatan sendiri.

4. Anak dilatih untuk menyusun pikirannya dengan teratur.

Kelemahan dari metode permainan, yaitu:

1. Tidak semua topik dapat disajikan melalui permainan

2. Memerlukan banyak waktu


24
3. Penentuan kalah menang dan bayar-membayar dapat berakibat negatif

4. Mungkin juga tidak terjadi pertengkaran.

5. Mengganggu ketenangan belajar di kelas-kelas lain.

H.Implikasi Van Hiele

1. Teori Belajar Van Hiele


Van Hielle adalah seorang guru matematika bangsa Belanda yang mengadakan
penelitian dalam pengajaran geometri. Menurut Van Hielle, ada tiga unsur utama dalam
pengajaran geometri, yaitu waktu, materi pengajaran,dan metode pengajaran yang
diterapkan. Jika ketiga unsur ditata secaraterpadu, akan dapat meningkatkan kemampuan
berfikir anak kepada tahapanberfikir yang lebih tinggi.
Teori Van Hiele dikembangkan oleh Pierre Marie Van Hiele dan Dina Van Hiele-
Geldof sekitar tahun 1950-an, hingga saat ini telah diakui secara internasional dan
memberikan pengaruh yang kuat dalam pembelajaran geometri sekolah.

2. Karakteristik Teori belajar Van hielle


Teori Van Hiele memiliki beberapa karakteristik menurut Clement dalam Aisyah (2007)
sebagai berikut:
a. Belajar adalah proses yang tidak kontinu. Ini berarti terdapat loncatan di dalam kurva
belajar yang memperlihatkan adanya celah yang secara kualitatif membedakan tingkatan
berpikir. Siswa yang telah mencapai suatu tingkat, dia tetap pada tingkat itu untuk suatu
waktu dan seolah-olah menjadi matang. Dengan demikian tidak akan banyak berarti apabila
memberikan sajian kegiatan yang lebih tinggi dari tingkat yang dimiliki siswa.
b. Tingkatan Van Hiele bersifat hierarkis dan sekuensial. Untuk mencapai tingkat yang
lebih tinggi, siswa harus menguasai sebagian besar tingkat sebelumnya. Kecepatan untuk
berpindah dari suatu tingkat ke tingkat yang lebih tinggi lebih banyak bergantung pada isi
dan metode pembelajaran dibandingkan dengan umur atau kematangan biologisnya.

25
c. Konsep yang secara implisit dipahami pada suatu tingkat menjadi eksplisit pada tingkat
berikutnya. Misalnya pada tingkat visualisasi siswa mengenal bangun berdasarkan sifat
bangun secara utuh, tetapi pada tingkat analisis, bangun tersebut dianalisis sehingga sifat-
sifat serta komponennya ditemukan.
d. Setiap tingkatan masing-masing mempunyai simbol bahasa tersendiri dan sistem yang
mengaitkan simbol-simbol itu. Siswa tidak mudah mengerti penjelasan guru apabila guru
berbicara pada tingkat yang lebih tinggi dari tingkat berpikir siswa. Hal ini mungkin akan
memunculkan suatu masalah apabila tingkat sajian kegiatan, serta bahan pembelajaran
tidak sesuai dengan tingkat berpikir siswa yang menggunakannya.

3. Penerapan dan Tujuan Belajar Van Hiele dalam Geometri


a. Penerapan Belajar Van Hiele
Dalam belajar pengajaran geometri Van Hiele menguraikan tahap-tahap

perkembangan mental anak dalam belajar geometri. Menurut Van Hiele (Tim MKPBM

2001: 51), ada tiga unsur utama yang perlu diperhatikan dalam pengajaran geometri yaitu

waktu, materi pengajaran, dan metode pengajaran yang diterapkan, jika ketiga unsur

tersebut ditata secara terpadu akan dapat meningkatkan kemampuan berpikir anak kepada

tingkatan berpikir yang lebih tinggi. Lebih lanjut Van Hiele (Tim MKPBM 2001: 51)

menyatakan bahwa terdapat lima tahap berpikir dalam belajar geometri yaitu:

1. Tahap Pengenalan

Pada tahap ini siswa sudah mulai belajar mengenali suatu bentuk geometri secara

keseluruhan, namun belum mampu mengetahui adanya sifat-sifat dari bentuk geometri

yang dilihatnya itu. Pada tahap pengenalan ini siswa hanya diharapkan dapat menyebutkan

benda- banda geometri tersebut tanpa mengetahui sifat-sifat dari bangun-bangun tersebut.

26
Sebagai contoh, jika pada seorang siswa diperlihatkan sebuah persegipanjang, siswa itu

belum menyadari bahwa persegipanjang mempunyai empat sisi dimana dua sisi yang

berhadapan sama panjang, bahwa kedua diagonalnya sama panjang. Demikian juga dengan

persegi.

2. Tahap Analisis

Pada tahap ini siswa sudah mulai mengenal dan memahami sifat-sifat yang dimiliki

benda geometri yang diamatinya. Misalnya disaat siswa mengamati persegipanjang, siswa

telah mengetahui bahwa terdapat 2 pasang sisi yang berhadapan, dan kedua pasang sisi

tersebut saling sejajar.

Namun dalam tahap ini siswa belum mampu mengetahui hubungan yang terkait

antara suatu benda geometri dengan benda geometri lainnya. Misalnya, siswa belum

mengetahui bahwa persegi adalah persegipanjang, bahwa persegi adalah belah ketupat.

Contoh 1.

Siswa sudah dapat memahami sifat-sifat yang dimiliki persegi.

 Persegi memiliki 4 buah sisi yang sama panjang yaitu AB, BC, CD, DA

 Titik sudut persegi dan ada 4 buah yaitu A, B, C, D.

 Diagonal persegi ada 2 buah yang sama panjang yaitu AC, BD.

 Besar setiap sudut pada persegi dan sama besar yaitu

Contoh 2.

Siswa sudah dapat memahami sifat-sifat yang dimiliki persegipanjang

Dua sisi yang berhadapan sama panjang yaitu AB=CD, AD=BC

 Titik sudut persegipanjang ada 4 buah yaitu A, B, C, D

 Diagonal persegipanjang ada dua buah yang semuanya sama panjang

27
 Besar setiap sudut pada persegipanjang sama besar yaitu

Setelah dapat memahami sifat-sifat atau bentuk-bentuk bangun datar diatas, diharapkan

siswa dapat menyebutkan benda-benda disekitar mereka yang termasuk kedalam bentuk

bangun datar yang dibicarakan. Misalnya papan tulis, buku tulis, penggaris, adalah contoh

bentuk persegipanjang.

3. Tahap Pengurutan

Pada tahap ini siswa sudah mengenal bentuk geometri dan memahami sifat-sifatnya, namun

kemampuan ini belum berkembang secara penuh.Satu hal yang perlu diketahui adalah,

dalam tahap ini siswa sudah mulai mampu mengurutkan bentuk-bentuk geometri.

Misalnya, siswa sudah dapat mengurutkan bahwa persegi adalah persegipanjang.

Persegi merupakan segi empat yang besar setiap sudut dalamnya adalah dan kedua

diagonalnya sama panjang.

Ciri atau sifat tersebut juga merupakan sifat persegipanjang, sehingga dapat dikatakan

bahwa persegi adalah persegipanjang yang keempat sisinya sama panjang

4. Tahap Deduksi

Dalam tahap ini siswa sudah mulai mampu menarik kesimpulan secara deduktif,

yakni penarikan kesimpulan dari hal-hal yang bersifat umum menuju hal-hal yang bersifat

khusus. Pada tahap ini berpikir deduktif siswa sudah mulai tumbuh tetapi belum

berkembang dengan baik. Misalnya, siswa sudah mulai memahami defenisi, postulat dan

teorema pada bangun datar, namun belum mengerti mengapa postulat tersebut benar dan

mengapa dapat dijadikan sebagai postulat dalam cara-cara pembuktian dua segitiga yang

sama dan sebangun (kongruen).

Contoh :

28
Pada tahap ini siswa dapat membuktikan bahwa diagonal suatu persegi akan

membagi persegi tersebut menjadi 2 buah segitiga yang kongruen.

Bukti:

AB = BC = CD = DA

Syarat dua segitiga yang kongruen yaitu: jika kedua segitiga memiliki 3 unsur yang sama.

Pada persegi ABCD, diagonal BD membagi persegi menjadi 2 segitiga yaitu segitiga ABD

dan segitiga BCD.

Segitiga ABD dan BCD memiliki 3 unsur yang sama yaitu :

Sisi DA = BC

Sisi AB = CD

Sehingga segitiga ABD dan segitiga CDB adalah kongruen.

5. Tahap Keakuratan (Akurasi)

Dalam tahap ini siswa sudah mulai menyadari betapa pentingnya ketepatan dari

prinsip-prinsip dasar yang melandasi suatu pembuktian. Misalnya, memahami pentingnya

defenisi, aksioma-aksioma atau postulat dan teorema pada bangun datar. Tahap akurasi

merupakan tahap berpikir yang tinggi, rumit, dan kompleks. Oleh karena itu pada siswa

yang duduk dibangku SD masih belum sampai pada tahap berpikir ini.

2. Manfaat teori belajar Van Hiele

Bansu Ansari (2009: 39) mengemukakan bahwa teori yang diterapkan Van Hiele

lebih kecil ruanng lingkupnya dibandingkan dengan teori belajar yang lainnya karena Van

Hiele hanya mengkhususkan pada pembelajaran geometri. Namun demikian terdapat

beberapa hal yang dapat diambil manfaat teori belajar Van Hiele yaitu :

29
1. Guru dapat mengambil manfaat dari tahap-tahap perkebangan kognitif siswa di SD,

dalam hal ini guru dapat mengetahui mengapa seorang siswa tidak memahami bahwa

persegi itu merupakan persegipanjang karena siswa tersebut tahap berpikirnya masi berada

pada tahap analisis kebawah dan belum sampai pada tahap pengurutan.

2. Agar siswa dapat memahami geometri maka pengajarannya harus disesuaikan dengan

tahap berpikir siswa, sehingga jangan sekali-kali memberikan pelajaran yang berada diatas

tahap berpikirnya.

3. Agar topik pelajaran pada materi geometri dapat dipahami siswa dengan baik, maka

topik pelajaran tersebut dapat dipelajari berdasarkan urutan tingkat kesukarannya dan

dimulai dari tingkat yang paling mudah sampai dengan tingkat yang paling rumit dan

kompleks.

30
BAB III

Penutup

3.1 Kesimpulan

Teori Belajar ialah pandangan yang amat mendasar, sistematis dan menyeluruh

tentang proses bagaimana manusia, khususnya anak didik. Beberapa teori-teori yang

dikembangkan dalam pandangan-pandangan tentang teori aktualisasi diri dan teori

apersepsi.

 Teori belajar Thondike disebut “connectionism”, karena belajar merupakan proses


pembentukan koneksi-koneksi antara stimulus dan respons.
 Pengkondisian operan adalah teori yang dikembangkan oleh B.F. Skinner, yaitu
sebentuk pembelajaran dimana konsekuensi-konsekuensi dari prilaku menghasilkan
perubahan dalam probabilitas prilaku itu akan diulangi.
 Gagne memiliki pandangan bahwa belajar merupakan perubah tingkah laku yang
kegiatannya mengikuti suatu hirarki kemampuan yang dapat diobservasi atau
diukur.
 Menurut Piaget, perkembangan kognitif merupakan suatu proses genetic, artinya
proses yang didasarkan atas mekenisme biologis dari perkembangan system syaraf.
 Teori belajar Bruner merupakan teori belajar kognitif. Artinya setelah proses
pembelajaran dilaksanakan diharapakan mampu meningkatkan kecerdasan atau
kognitif anak.
 Menurut William Brownell (1935) bahwa belajar itu pada hakekatnya merupakan
suatu proses yang bermakna
 Dienes (dalam Ruseffendi, 1992) berpendapat bahwa pada dasarnya matematika
dapat dianggap sebagai studi tentang struktur, memisah-misahkan hubungan-
hubungan di antara struktur-struktur dan mengkategorikan hubungan-hubungan
diantara struktur-struktur.
 Teori Van Hiele dikembangkan oleh Pierre Marie Van Hiele dan Dina Van Hiele-
Geldof sekitar tahun 1950-an, hingga saat ini telah diakui secara internasional dan
memberikan pengaruh yang kuat dalam pembelajaran geometri sekolah.
31
32

Anda mungkin juga menyukai