Anda di halaman 1dari 16

TEORI KONEKSIONISME

Disampaikan pada Seminar Kelas Mata Kuliah Teori Belajar dan Pembelajaran
Semester Dua (II) Tahun Akademik 2021/2022

OLEH:

Nurdalia
80100321027

Dosen Pemandu:

Dr. Sulaiman Saat, M.Pd


Dr. H. Muzakkir M.Pd.I

PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) ALAUDDIN
MAKASSAR
2022
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Penyebab kesulitan belajar berasal dari faktor internal, yaitu yang berasal

dari dalam anak itu sendiri. Anak ini mengalami gangguan pemusatan perhatian,

sehingga kemampuan perseptualnya terhambat. Kemampuan perseptual yang

terhambat tersebut meliputi persepsi visual (proses pemahaman terhadap objek

yang dilihat), persepsi auditoris (proses pemahaman terhadap objek yang

didengar) maupun persepsi taktil-kinestetis (proses pemahaman terhadap objek

yang diraba dan digerakkan). Faktor-faktor internal tersebut menjadi penyebab

kesulitan belajar, bukan faktor eksternal (yang berasal dari luar anak), seperti

faktor lingkungan keluarga, budaya, fasilitas, dan lain-lain. Kesenjangan antara

Potensi dan Prestasi Anak berkesulitan belajar memiliki potensi kecerdasan/

inteligensi normal, bahkan beberapa diantaranya di atas ratarata. Namun

demikian, pada kenyataannya mereka memiliki prestasi akademik yang rendah.

Dengan demikian, mereka memiliki kesenjangan yang nyata antara potensi dan

prestasi yang ditampilkannya. Kesenjangan ini biasanya terjadi pada kemampuan

belajar akademik yang spesifik, yaitu pada kemampuan membaca (disleksia),

menulis (disgrafia), atau berhitung (diskalkulia).1

Teori adalah pernyataan adanya hubungan sebab akibat dua variabel atau

lebih atas terjadinya suatu peristiwa baru.2 Dalam kajian ilmu pengetahuan, teori

memiliki dua aspek, yaitu aspek formal dan aspek empiris. Aspek formal

berkaitan dengan bentuk kata-kata atau simbol-simbolnya. Sedangkan aspek

empiris, terdiri dari peristiwa-peristiwa fisik sehingga menerangkan suatu hal.

Contoh rumusan teori dalam bentuk sintaksis di atas adalah perubahan bentuk-

1
Andi Tahir, Psikologi Belajar (Bandar Lampung, 2014), h. 209.
2
Purwa Atmaja Prawira, Psikologi Pendidikan dalam Perspektif Baru (Yogyakarta: Ar-
Ruzz Media,2012), h. 245.
bentuk air dalam berbagai suhu. Dalam bentuk simbol-simbol dimisalkan S-R,

artinya apabila ada stimulus (S) maka akan ada respon (R).3

Salah satu teori belajar yaitu Teori Belajar behaviorisme adalah teori

belajar yang menekankan pada tingkah laku manusia sebagai akibat dari interaksi

antara stimulus dan respon. teori behaviorisme merupakan sebuah teori yang

dicetuskan oleh Gage dan Berliner.4

Belajar merupakan akibat adanya  interaksi antara  stimulus dan respons.

Seseorang dianggap  telah belajar sesuatu jika dia dapat menunjukkan perubahan

perilakunya. Menurut teori ini dalam belajar yang penting adalah input yang

berupa stimulus dan output yang berupa respons. Stimulus adalah apa saja yang

diberikan guru kepada pembelajar, sedangkan respon berupa reaksi atau

tanggapan pembelajar terhadap stimulus yang diberikan oleh guru tersebut. Proses

yang terjadi antara stimulus dan respon tidak penting untuk diperhatikan karena

tidak dapat diamati dan tidak dapat diukur. Yang dapat diamati adalah stimulus

dan respon, oleh karena itu apa yang diberikan oleh guru (stimulus) dan apa yang

diterima oleh pembelajar (respon) harus dapat diamati dan diukur. Teori belajar

pada dasarnya merupakan penjelasan mengenai bagaimana terjadinya belajar atau

bagaimana informasi diproses di dalam pikiran peserta didik. Berdasarkan suatu

teori belajar pembelajaran diharapkan dapat lebih meningkatkan perolehan peserta

didik sebagai hasil belajar.5

Teori belajar yang didasarkan pada gagasan bahwa semua perilaku

diperoleh melalui pengkondisian. Hal ini terjadi melalui interaksi dangan

lingkungan. Menurut behavariosme. Perilaku dapat dipelajari secara sistematis


3
Purwa Atmaja Prawira, Psikologi Pendidikan dalam Perspektif Baru (Yogyakarta: Ar-
Ruzz Media,2012), h. 46
4
Hamzah B. Uno, Orientasi Baru dalam Psikologi Pembelajaran,  (Jakarta : Bumi
Aksara, 2006),  h. 82.
5
Ngalim Purwanto, Psikologi Pendidikan, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2007). h.
98-99.
dan diamati dengan tanpa mempertimbangkan keadaan mental internal. 6 Teori

belajar behavariosme bentuk-bentuk teori melalui data -data eksperiman. teori

koneksionisme salah satu teori yang sangat bermanfaat dalam belajar meskipun

tidak sepenuhnya berhasil.

B. Rumusan Masalah

1. Apa Yang dimaksud Teori Behavariorisme koneksionisme?

2. Bagaimana Prinsip-Prinsip Teori Behavariorisme koneksionisme?

3. Bagaimana aplikasi Teori Behavariorisme koneksionisme?

BAB II
6
Sudarwan Danim, Psikologi Pendidikan (Alfabeta: Bandung, 2011). h, 8
PEMBAHASAN

A. Teori Behavariorisme koneksionisme

Tokoh pengusung teori belajar behavarisme koneksionisme adalah Edward

Lee Thorndike pada tahun 1874 – 1949. Menurut Thorndike, belajar adalah proses

interaksi antara stimulus dan respon. Stimulus adalah apa yang merangsang

terjadinya kegiatan belajar seperti pikiran, perasaan, atau hal-hal lain yang dapat

ditangkap melalui alat indera. Sedangkan respon adalah reaksi yang dimunculkan

peserta didik ketika belajar, yang dapat pula berupa pikiran, perasaan, atau

gerakan/tindakan. Jadi perubahan tingkah laku akibat kegiatan belajar dapat

berwujud konkrit, yaitu yang dapat diamati, atau tidak konkrit yaitu yang tidak

dapat diamati. Meskipun aliran behaviorisme sangat mengutamakan pengukuran,

tetapi tidak dapat menjelaskan bagaimana cara mengukur tingkah laku yang tidak

dapat diamati.7 Menurut Thorndike, belajar merupakan peristiwa terbentuknya

asosiasi-asosiasi antara peristiwa-peristiwa yang disebut stimulus (S) dengan

respon (R).8 Stimulus adalah suatu perubahan dari lingkungan eksternal yang

menjadi tanda untuk mengaktifkan organisme untuk beraksi atau berbuat

sedangkan respon dari adalah sembarang tingkah laku yang dimunculkan karena

adanya perangsang. Dari eksperimen kucing lapar yang dimasukkan dalam

sangkar (puzzle box) diketahui bahwa supaya tercapai hubungan antara stimulus

dan respons, perlu adanya kemampuan untuk memilih respons yang tepat serta

melalui usaha–usaha atau percobaanpercobaan (trials) dan kegagalan-kegagalan

(error) terlebih dahulu.Bentuk paling dasar dari belajar adalah “trial and error

learning atau selecting and connecting learning” dan berlangsung menurut

hukum-hukum tertentu.Oleh karena itu teori belajar yang dikemukakan oleh

Thorndike ini sering disebut dengan teori belajar koneksionisme atau teori

7
Asri Budiningsih, Belajar dan Pembelajaran, Jakarta: Rineka Cipta, 2005. h. 32. 
8
Muhammad Siri Dangnga, Teori Belajar dan pembelajaran ( Sibuku Makassar:
Makassa, 2015), h. 63
asosiasi. 9Adanya pandangan-pandangan Thorndike yang memberi sumbangan

yang cukup besar di dunia pendidikan tersebut maka ia dinobatkan sebagai salah

satu tokoh pelopor dalam psikologi pendidikan.

Percobaan Thorndike yang terkenal dengan percobaan pada kucing yang

sudah lapar diletakkan di dalam sangkar yang tertutup dan pintunya dapat dibuka

secara otomatis apabila kenop yang terletak di dalam sangkar tersebut tersentuh.

Percobaan tersebut menghasilkan teori “trial and error” atau “selecting and

conecting”, yaitu bahwa belajar itu terjadi dengancara mencoba-coba dan

membuat salah. Dalam melaksanakan percobaan, kucing tersebut cenderung untuk

meninggalkan perbuatan-perbuatan yang tidak mempunyai hasil. Setiap response

menimbulkan stimulus yang baru, selanjutnya stimulus baru ini akan

menimbulkan respons. thorndike menyimpulkan bahwa belajar adalah

hubungan antara stimulus dan respons. Itulah sebabnya teori koneksionisme

juga disebut “S-R Bond theory” dan S-R Psykology oflearning”. Di samping

itu, teori ini menunjukan panjangnya waktu atau banyaknya jumlah

kekeliruan dalam mencapai tujuan.10

Bentuk paling dasar dari belajar adalah trials and learning atau selecting

and connecting learning. Selanjutnya Thorndike mengemukakan bahwa terjadinya

asosiasi antara stimulus dan respons ini mengikuti hukum-hukum berikut:

a. Hukum kesiapan (Law of Readiness), semakin siap suatu organisme

memperoleh suatu perubahan tingkah laku maka pelaksaan tingkah laku tersebut

akan menimbulkan kepuasan individu sehingga asosiasi cenderung diperkuat

hubungan antara keadaan dan perbuatan bisa tinggi alasannya adalah karena

kebiasaan berlatuh dalam diri tetapi bisa juga akan menurun jika latihan semakin

menurun dan terjadi sesuatu yang tidak biasa. Dalam kegiatan belajar mengajar

perlu adanya latihan. Semakin sering melakukan latihan maka seseorang akan

9
Sudarwan Danim, Psikologi Pendidikan, h. 93.
10
Sri Esti Wuryani Djiwandono, Psikologi Pendidikan, (Jakarta: PT.Grasindo 2002),126
menguasai materi pembelajaran. Pada hukum latihan ini terdapat 3 hal yakni,

pertama hukum kegunaan yaitu suatu tanggapan pada rangsangan yang diberikan

bisa memperkuat hubungan keduanya, kedua hukum tidak adanya kegunaan atau

hasil koneksi yaitu jika tanggapan tidak muncul pada rangsangan yang diberikan

maka hubungannya akan melemah.11 Guru memberikan stimulus di awal

pembelajaran dengan memulai salam dan berdoa sesuai keseharian di sekolah, dan

siswapun merespon dengan menjawab salam dari guru dan berdoa sesuai dengan

yang diharapkan oleh guru. Lalu guru menanayakan kabar siswa, dan siswapun

menjawab sesuai pertanyaan yang ada dengan wajah gembira. Didapatkan

ekspresi siswa menjawab gembira karena guru memberikan stimulus dengan

wajah gembira dan ceria. Guru juga menyiapkan bahan ajar untuk siswa.

b. Hukum Latihan (Law of Exercise), yaitu apabila asosiasi antara stimulus

dan respons sering terjadi, maka asosiasi itu akan terbentuk semakin kuat.

Interpretasi dari hukum ini adalah semakin sering pengetahuan yang telah

terbentuk akibat terjadinya asosiasi antara stimulus dan respons yang dilatih

(digunakan), maka asosiasi tersebut akan semakin kuat. Hubungan antara keadaan

dan perbuatan bisa tinggi alasannya adalah karena kebiasaan berlatuh dalam diri

tetapi bisa juga akan menurun jika latihan semakin menurun dan terjadi

ketidakbiasaan. Dalam kegiatan belajar mengajar perlu adanya latihan. Semakin

sering melakukan latihan maka seseorang akan menguasai materi pembelajaran.

Pada hukum latihan ini terdapat 3 hal yakni, pertama hukum kegunaan yaitu suatu

tanggapan pada rangsangan yang diberikan bisa memperkuat hubungan keduanya,

kedua hukum ketidak gunaan yaitu jika tanggapan tidak muncul pada rangsangan

yang diberikan maka hubungannya akan melemah. 12


hukum latihan tergantung

keberhasilan stimulus yang diciptakan dan sistem pengulangan berpengaruh

terhadap respon peserta didik dari koneksi-koneksi, semakin sering diberikan

11
Schunk, Dale H. Learning Theories. (Boston: Pearson Education, . 2012), h. 71
12
Schunk, Dale H. Learning Theories. (Boston: Pearson Education, . 2012), h. 71.
latihan maka respon yang ditimbulkan akan membawa dampak atau hasil

sebagaimana tujuan dari meteri.

c. Hukum akibat (Law of Effect), yaitu apabila asosiasi yang terbentuk antara

stimulus dan respons diikuti oleh suatu kepuasan maka asosiasi akan semakin

meningkat. Hal ini berarti (idealnya), jika suatu proses yang diberikan oleh

seseorang terhadap suatu stimulus adalah benar dan ia mengetahuinya, maka

kepuasan akan tercapai dan asosiasi akan diperkuat. Proses pembelajaran akan

memberikan hasil yang maksimal atau hasil yang memuaskan dengan

memberikan hadiah akan condong diulangi, tetapi jika proses pembelajaran akan

memberikan hasil yang kurang maksimal artinya tidak memuaskan maka yang

terjadi adalah adanya hukuman. Hal tersebut yang menjadi adanya hukum sebab

akibat dalam teori ini. Dalam kegiatan belajar mengajar hukum tersebut biasa

diterapkan dengan memberikan pwnghargaan atau hukuman.13 Guru menyiapkan

keperluan mengajar dan peserta didik menyiapkan proses belajar, terdapat

stimulus stimulus yang diberikan oleh guru terhadap siswa dalam proses

pembelajaran tersebut diharapkan mendapatkan hasil yangs esuai dengan respon

yang diharapkan oleh guru. Selain hukum dasar di atas, ada lima hukum

tambahan, yaitu :14 Analisis anda ?

1. Hukum Reaksi Bervariasi (Multiple Respons), pada individu diawali oleh

proses trial and error yang menunjukkan adanya bermacam-macam respon

sebelum memperoleh respon yang tepat dalam memecahkan masalah yang

dihadapi. 15
artinya hasil dari stimulus dapat menimbulkan respon yang

bervariasi sehingga bentuk-bentuk perilaku berbeda antara si a, si b maupun

si c.

13
Schunk, Dale H. Learning Theories. (Boston: Pearson Education, 2012), h. 71.
14
Mardianto, Landasan Untuk Pengembangan Strategi Pembelajaran, (Perdana
Publishing: h. 63
15
Mardianto, Landasan Untuk Pengembangan Strategi Pembelajaran,h. 63
2. Hukum Sikap (Attitude), perilaku belajar seseorang tidak hanya ditentukan

oleh hubungan stimulus dengan respon saja tetapi juga ditentukan keadaan

yang ada dalam diri individu baik kognitif, emosi, sosial, maupun

psikomotor.

3. Hukum Aktivitas Berat Sebelah (Prepotency of Element), individu dalam

proses belajar memberikan respon hanya pada stimulus tertentu saja sesuai

dengan persepsinya terhadap keseluruhan situasi (respon selektif).

4. Hukum Respon by Analogy, individu dapat melakukan respon pada situasi

yang belum pernah dialami karena individu sesungguhnya dapat

menghubungkan situasi yang belum pernah dialami dengan situasi lama

yang pernah dialami.

5. Hukum Perpindahan Asosiasi (Associative Shifting) Proses peralihan dari

situasi yang dikenal ke situasi yang belum dikenal dilakukan secara

bertahap dengan cara menambahkan sedikit demi sedikit unsur lama.16

Thorndike dalam teori Koneksionisme juga menyebutkan konsep transfer

of training. Transfer of training yaitu hal yang didapatkan dalam belajar


bisa digunakan untuk menghadapi atau memecahkan hal-hal lain yang

sejenis atau berhubungan maka diperlukanlah usaha agar transfer of

learningdapat terjadi secara optimal.17 Hukum perpindahan asosiasi dengan

kata lain menyelaraskan antara teori yang lam dengan teori baru yang

dipelajari pada saat itu.

Berdasarkan uraian di atas teori koneksionisme adalah salah satu teori yang

digunakan dalam pembelajaran berupa proses belajar mengajar yang dilakukan

oleh setiap individu. Bahwa sahnya belajar itu berawal dari percobaan dan

16
Mardianto, Landasan Untuk Pengembangan Strategi Pembelajaran, h. 63.
17
Mardianto, Landasan Untuk Pengembangan Strategi Pembelajaran, (Perdana
Publishing: h. 64
kesalahan, jadi ketika terjadi percobaan dapat menimbulkan kesalahan, hal ini

suatu yang wajar dalam teori ini. kegiatan belajar mengajar pada anak pada

awalnya melakukan kegiatan belajar juga melakukan coba mencoba dan juga

terjadi kesalahan pada awal pembelajaran sebelum akhirnya bisa dan terbiasa

dengan apa yang dipelajarinya, seperti pembelajaran kosa kata yang ada yang

pada akhirnya anak menjadi mudah dalam menyampaikan maksud dan tujuan

yang ia tangkap pada lawan bicaranya. Tipe pembelajaran yang paling

fundamental adalah pembentukan asosiasi-asosiasi (koneksi-koneksi) antara

pengalaman inderawi (persepsi terhadap stimulus atau peristiwa) dan implus-

implus saraf (respons-respons) yang memberikan manifestasinya dalam bentuk

perilaku.

B. Prinsip-Prinsip Teori Behavariorisme koneksionisme Pada saat menerapkan

pendekatan koneksionisme perlu diperhatikan prinsip-prinsip pembelajaran

yang terkait dengan hukum-hukum di atas. Beberapa prinsip-prinsip

pembelajaran itu adalah sebagai berikut.

1. Berpusat pada peserta didik. Setiap peserta didik pada dasarnya berbeda,

dan telah ada dalam dirinya minat (interest), kemampuan (ability),

kesenangan (preference), pengalaman (experience), dan cara belajar

(learning style) yang berbeda antara peserta didik yang satu dengan peserta

didik yang lainnya. 18 Begitu juga kemampuan dalam belajar, peserta didik

tertentu lebih mudah belajar dengan mendengarkan dan membaca, peserta

didik lain dengan cara menulis dan membuat ringkasan, peserta didik lain

dengan melihat, dan yang lain dengan cara melakukan belajar secara

langsung. Oleh karena itu guru (dosen) harus mengorganisasikan kegiatan

pembelajaran, kelas, materi pembelajaran, waktu belajar, alat belajar, media

dan sumber belajar dan cara penilaian yang di sesuaikan dengan

18
Qowaid, Inovasi pembelajaran PAI, (Jakarta: Pena Citrasatria, 2007), hlm. 2
karakteristik individual peserta didik. Karenanya kegiatan belajar yang

dikembangkan oleh guru harus mendorong peserta didik agar dapat

mengembangkan potensi, bakat serta minat yang dimilikinya secara optimal

dan maksimal.

2. Pembalikan makna belajar. Dalam konsep tradisional, belajar lebih

diartikan penerimaan informasi oleh peserta didik dari sumber belajar

dalam hal ini guru. Akibatnya pembelajaran sering diartikan transfer of

knowledge. Dalam kurikulum berbasis kompetensi, makna belajat tersebut

harus dibalik. Belajar mestinya diartikan sebuah proses aktivitas peserta

didik dalam membangun pengetahuan dan pemahaman terhadap informasi

dan atau pengalaman.19 Dan pada dasarnya proses membangun pengetahuan

dan pemahaman dapat dilakukan sendiri oleh peserta didik dengan persepsi,

pikiran (entering behavior) serta perasaan peserta didik. Konsekuensi logis

pembalikan makna belajar dalam kegiatan pembelajaran menghendaki

partisipasi guru dalam bentuk bertanya, meminta kejelasan, dan bila

diperlukan menyajikan situasi yang bertentangan dengan pemahaman mirid

dengan harapan peserta didik tertantang untuk memperbaiki sendiri

pemahamannya. Konsekuensi lain dari pembalikan makna belajar ini, guru

lebih banyak berperan membimbing peserta didik dalam belajar serta

menempatkan diri sebagai fasilitator pembelajaran dengan menempatkan

peserta didik yang harus bertanggung jawab dalam membangun

pengetahuannya sendiri.

3. Pada hakikatnya kegiatan belajar peserta didik adalah melakukan aktivitas

aktivitas. Aktivitas peserta didik akan sangat ideal bila dilakukan dengan

kegiatan nyata yang melibatkan dirinya, terutama untuk mencari dan

menemukan serta mempraktikkannya sendiri.20 Dengan cara ini peserta

19
Agus Sujanto, Psikologi Umum, (Jakarta: Bumi Aksara, 2009), h. 200.
20
Agus Sujanto, Psikologi Umum, h. 200.
didik tidak akan mudah melupakan apa yang diperolehnya dengan cara

mencari dan menemukan serta mempraktekkan sendiri akan tertanam dalam

hati sanubari dan pikirannya, karena ia belajar secara aktif dengan cara

melakukan. Dalam pembelajaran bidang studi Fikih atau Pendidikan

Agama Islam, seperti materi salat dan praktek ibadah yang lainnya akan

efektif dan berkesan bagi peserta didik bila dipraktekkan secara langsung

ketimbang dengan mengharuskan peserta didik untuk menghafal tatacara

salat atau ibadah yang lainnya. Peserta didik sebaiknya dihadapkan pada

situasi nyata yang sesungguhnya. Jika tidak mungkin, maka perlu dibuat

situasi buatan dan bila tidak memungkinkan dapat dilakukan dengan audio-

visualdengan menggunakan film strif atau video casset atau CD.

4. Mengembangkan kemampuan sosial, kognitif, dan emosional. Dalam

kegiatan pembelajaran peserta didik harus dikondisikan dalam suasana

interaksi dengan orang lain seperti antar peserta didik, antara peserta didik

dengan guru, dan peserta didik dengan masyarakat. Dengan interaksi yang

intensif peserta didik akan mudah untuk membangun pemahamannya. Guru

dituntut untuk dapat memilih berbagai strategi pembelajaran yang membuat

peserta didik melakukan interaksi denagn orang lain, misalnya dengan

diskusi, sosiodrama, belajar secara kelompok dan sebagainya. Kegiatan

pembelajaran yang dikembangkan guru harus mendorong terjadinya proses

sosialisasi pada diri peserta didik

5. Mengembangkan ketrampilan pemecahan masalah. Dalam kehidupan

sehari-hari setiap orang akan dihadapkan kepada pelbagai permasalahan

yang harus dipecahkan. Karenanya diperlukan keterampilan memecahkan

masalah. Untuk terampil dalam memecahkan masalah seseorang harus

belajar melalui pendidikan dan pengajaran. Salah satu tolak ukur

keberhasilan belajar peserta didik banyak ditentukan oleh kemampuannya


dan kecerdasannya dalam memecahkan masalah.21 Karena itu, dalam proses

pembelajaran perlu diciptakan situasi yang menantang kepada peserta didik

untuk mencari dan menemukan masalah.

6. Mengembangkan kreatifitas peserta didik. Peserta didik memiliki potensi

untuk tumbuh kembang berbeda. Perbedaan peserta didik terlihat dalam

pola berfikir, daya iajinasi, fantasi (pengandaian) dan hasil karyanya.22

Kegiatan pembelajaran perlu dipilih dan di rancang agar memberi

kesempatan dan kebebasan berkreasi secara berkesinambungan dalam

rangka mengembangkan kreatifitas peserta didik. Kreativitas peserta didik

merupakan kemampuan mengkombinasikan atau menyempurnakan sesuatu

berdasarkan data, informasi atau unsur-unsur yang sudah ada. Secara lebih

luas kreativitas merupakan kemampuan yang dimiliki seseorang dalam

menghasilkan komposisi, produk atau gagasan apa saja yang pada dasarnya

baru, dan sebelumnya tidak dikenal pembuatannya.

C. Aplikasi Teori Behavariorisme (koneksionisme)

Edward Lee Thorndike berpendapat, cara mengajar yang baik bukanlah

mengharapkan peserta didik tahu apa yang telah diajarkan, tetapi guru harus tahu

apa yang hendak diajarkan.23 Dengan ini guru harus mengerti materi apa yang

hendak diajarkan, respon apa yang diharapkan dan kapan harus memberi hadiah

atau membetulkan respons yang salah. Maka tujuan pendidikan harus dirumuskan

dengan jelas.Tujuan pendidikan harus masih dalam batas kemampuan belajar

peserta didikan dan harus terbagi dalam unit-unit sedemikian rupa sehingga guru

dapat menerapkan menurut bermacam-macam situasi.Supaya peserta didik dapat

mengikuti pelajaran, proses belajar harus bertahap dari yang sederhana sampai

yang kompleks.24
21
Agus Sujanto, Psikologi Umum, h. 201
22
Agus Sujanto, Psikologi Umum, h. 201
23
Asri Budiningsih, Belajar dan Pembelajaran, h. 60
24
Mardianto, Landasan Untuk Pengembangan Strategi Pembelajaran, (Perdana
Publishing: h. 90
Adapun analisis aplikasi teori Behavariosme koneksinisme berdasarkan teori

belajar koneksinisme yakni

1. Tahapan Persiapan

Persiapkan ruangan tempat belajar yang nyaman dan variatif sehingga tidak

jenuh, kedua menentukan tujuan yang akan dicapai dalam pembelajaran yang

akan berlangsung, serta mengenal memahami perbedaan karakter masing-

masing individu.

2. Tahapan Pelaksanaan

Terlebih dahulu guru memberikan simulasi berupa stimulus yang dapat

merangsang peserta didik minat amupun motivasinya tergerak sehingga

timbul semangat, percaya diri. Perhatikan variasi belajar pada peserta didik.

Selama belajar itu berlangsung perhatikan minat, keseriusan, ketekunan,

keaktifan, kerjasama dalam mengamati. Teliti kesukaran yang dialami peserta

didik. memilih pendekatan belajar dan model, metode. Materi ajar maupun

model, metode dikuasai terlebih dahulu.

3. Tahap Penilaian

Selama pembelajaran berlangsung guru melakukan koreksi dan penilaian

terhadap proses pelaksanan pembelajaran, baik dari kerjasama, keaktifan

dalam melaksanakan belajar.

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Teori behavariosme koneksionisme adalah terjadinya stimulus dan respon

sehingga menghasilkan bentuk perilaku hasil belajar.

2. Prinsip-prinsip pembelajaran behavariosme koneksionisme Berpusat pada

peserta didik. Setiap peserta didik pada dasarnya berbeda, dan telah ada

dalam dirinya minat (interest), kemampuan (ability), kesenangan


(preference), pengalaman (experience), dan cara belajar (learning style)

yang berbeda antara peserta didik, Pembalikan makna belajar, kegiatan

belajar peserta didik adalah melakukan aktivitas aktivitas,

Mengembangkan kemampuan sosial, kognitif, dan emosional,

Mengembangkan kreatifitas peserta didik.

3. Aplikasi behavariosme koneksionisme ada 3 tahapan yaitu Tahapan

persiapan, Tahapan Pelaksanaan, Tahap Penilaian.

B. Implikasi

1. Terjadinnya asosiasi yang baik yang dapat menimbulkan respon yang

diinginkan sebaiknya pemahaman tentang teori belajar, karakter peserta

didik serta pengkodisian situasi yang nyaman

2. Kemampuan guru, penguasaan pendekatan maupun metode, penguasan

materi ajar maupun pembelajaran akan memudahkan dalam prinsip

pembelajaran.

3. Pengaplikasian teori belajar koneksionisme berhasil atau tidaknya

terletak pada hasil dari pada stimulus serta respon yang dihasilkan

berbagai macam bentuk perilaku.

DAFTAR PUSTAKA

Andi Tahir, Psikologi belajar(Bandar Lampung, 2014.

Asri Budiningsih, Belajar dan Pembelajaran, Jakarta: Rineka Cipta, 2005.

Hamzah B. Uno, Orientasi Baru dalam Psikologi Pembelajaran,  Jakarta : Bumi


Aksara, 2006),  h. .

Muhammad Siri Dangnga, Teori Belajar dan pembelajaran, Sibuku Makassar:


MakassaR, 2015.

Ngalim Purwanto, Psikologi Pendidikan, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya,


2007.
Purwa Atmaja Prawira, Psikologi Pendidikan dalam Perspektif Baru. Yogyakarta:
Ar-Ruzz Media, 2012.

Qowaid, Inovasi pembelajaran PAI, Jakarta: Pena Citrasatria, 2007.

Schunk, Dale H. Learning Theories. Boston: Pearson Education, . 2012.

Sri Esti Wuryani Djiwandono, Psikologi Pendidikan, Jakarta: PT.Grasindo 2002.

Sudarwan Danim, Psikologi Pendidikan, Alfabeta: Bandung, 2011.

Anda mungkin juga menyukai