Anda di halaman 1dari 39

MAKALAH TENTANG BELAJAR

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Psikologi Pendidikan

Dosen Pengampu : Dra. Siti Mardiyati

DISUSUN OLEH

FATMA NUR KHOLIFAH (K2315030)

JOHAN PRANATA (K2315040)

MAY NURHAYATI (K2315048)

SEPTI AFRIYANI (K2315058)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN FISIKA

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA

2017
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Setiap aspek kehidupan selalu berkaitan erat dengan masalah belajar.
Belajar tidak sekadar menguasai sekumpulan kemampuan baru atau hal hal yang
berkaitan dengan akademik saja, namun lebih dari itu, belajar juga melibatkan
perkembangan emosional, interaksi sosial, dan bahkan perkembangan
kepribadian.
Belajar sebagai suatu proses berfokus pada apa yang terjadi ketika
belajar berlangsung. Penjelasan tentang apa yang terjadi merupakan teori-teori
belajar.Teori belajar adalah upaya untuk menggambarkan bagaimana orang dan
hewan belajar, sehingga membantu kita memahami proses kompleks inheren
pembelajaran.
Belajar bisa dipandang sebagai suatu hasil, apabila yang dilihat adalah
bentuk terahkir / hasil ahkir dari berbagai pengalaman interaksi edukatif. Yang
diperhatikan adalah nampaknya sifat-sifat dan tanda-tanda tingkah laku yang
dipelajari.
B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana penjelasan mengenai hukum-hukum tentang belajar?


2. Bagaimana diagnosa kesulitan belajar pada siswa?
3. Apa saja alternatif pemecahan kesulitan belajar pada siswa?
4. Bagaimana cara-cara yang harus dilakukan untuk belajardengan baik?
BAB II
PEMBAHASAN

A. Hukum-Hukum Belajar
Teori belajar behavioristik menjelaskan belajar adalah perubahan perilaku yang
dapat diamati, diukur dan dinilai secara konkret. Perubahan terjadi melalui
rangsangan (stimulans) yang menimbulkan hubungan perilaku reaktif (respon)
berdasarkan hukum-hukum mekanistik. Stimulans tidak lain adalah lingkungan
belajar anak, baik yang internal maupun eksternal yang menjadi penyebab belajar.
Sedangkan respons adalah akibat atau dampak, berupa reaksi fifik terhadap
stimulans. Belajar berarti penguatan ikatan, asosiasi, sifat da kecenderungan
perilaku S-R (stimulus-Respon).
1. Edward Edward Lee Thorndike (1874-1949) : Teori Koneksionisme
Menurut Thorndike, belajar merupakan peristiwa terbentuknya
asosiasi-asosiasi antara peristiwa-peristiwa yang disebut stimulus (S) dengan
respon (R ). Stimulus adalah suatu perubahan dari lingkungan eksternal yang
menjadi tanda untuk mengaktifkan organisme untuk beraksi atau berbuat
sedangkan respon dari adalah sembarang tingkah laku yang dimunculkan
karena adanya perangsang. Dari eksperimen kucing lapar yang dimasukkan
dalam sangkar (puzzle box) diketahui bahwa supaya tercapai hubungan antara
stimulus dan respons, perlu adanya kemampuan untuk memilih respons yang
tepat serta melalui usaha usaha atau percobaan-percobaan (trials) dan
kegagalan-kegagalan (error) terlebih dahulu. Bentuk paling dasar dari belajar
adalah trial and error learning atau selecting and connecting learning dan
berlangsung menurut hukum-hukum tertentu. Oleh karena itu teori belajar
yang dikemukakan oleh Thorndike ini sering disebut dengan teori belajar
koneksionisme atau teori asosiasi. Adanya pandangan-pandangan Thorndike
yang memberi sumbangan yang cukup besar di dunia pendidikan tersebut
maka ia dinobatkan sebagai salah satu tokoh pelopor dalam psikologi
pendidikan.
Percobaan Thorndike yang terkenal dengan binatang coba kucing yang
telah dilaparkan dan diletakkan di dalam sangkar yang tertutup dan pintunya
dapat dibuka secara otomatis apabila kenop yang terletak di dalam sangkar
tersebut tersentuh. Percobaan tersebut menghasilkan teori trial and error
atau selecting and conecting, yaitu bahwa belajar itu terjadi dengan cara
mencoba-coba dan membuat salah. Dalam melaksanakan coba-coba ini,
kucing tersebut cenderung untuk meninggalkan perbuatan-perbuatan yang
tidak mempunyai hasil. Setiap response menimbulkan stimulus yang baru,
selanjutnya stimulus baru ini akan menimbulkan response lagi, demikian
selanjutnya.
Dalam percobaan tersebut apabila di luar sangkar diletakkan makanan,
maka kucing berusaha untuk mencapainya dengan cara meloncat-loncat kian
kemari. Dengan tidak tersengaja kucing telah menyentuh kenop, maka
terbukalah pintu sangkar tersebut, dan kucing segera lari ke tempat makan.
Percobaan ini diulangi untuk beberapa kali, dan setelah kurang lebih 10
sampai dengan 12 kali, kucing baru dapat dengan sengaja enyentuh kenop
tersebut apabila di luar diletakkan makanan.
Dari percobaan ini Thorndike menemukan hukum-hukum belajar
sebagai berikut :
a. Hukum Kesiapan (law of readiness)
Yaitu semakin siap suatu organisme memperoleh suatu perubahan
tingkah laku, maka pelaksanaan tingkah laku tersebut akan
menimbulkan kepuasan individu sehingga asosiasi cenderung
diperkuat.Prinsip pertama teori koneksionisme adalah belajar suatu
kegiatan membentuk asosiasi(connection) antara kesan panca indera
dengan kecenderungan bertindak. Misalnya, jika anak merasa senang
atau tertarik pada kegiatan jahit-menjahit, maka ia akan cenderung
mengerjakannya. Apabila hal ini dilaksanakan, ia merasa puas dan
belajar menjahit akan menghasilkan prestasi memuaskanPrinsip
pertama teori koneksionisme adalah belajar suatu kegiatan membentuk
asosiasi(connection) antara kesan panca indera dengan kecenderungan
bertindak. Misalnya, jika anak merasa senang atau tertarik pada
kegiatan jahit-menjahit, maka ia akan cenderung mengerjakannya.
Apabila hal ini dilaksanakan, ia merasa puas dan belajar menjahit akan
menghasilkan prestasi memuaskan.
1) Masalah pertama hukum law of readiness adalah jika
kecenderungan bertindak dan orang melakukannya, maka ia akan
merasa puas. Akibatnya, ia tak akan melakukan tindakan lain.
2) Masalah kedua, jika ada kecenderungan bertindak, tetapi ia tidak
melakukannya, maka timbullah rasa ketidakpuasan. Akibatnya, ia
akan melakukan tindakan lain untuk mengurangi atau meniadakan
ketidakpuasannya.
3) Masalah ketiganya adalah bila tidak ada kecenderungan bertindak
padahal ia melakukannya, maka timbullah ketidakpuasan.
Akibatnya, ia akan melakukan tindakan lain untuk mengurangi
atau meniadakan ketidakpuasannya.
b. Hukum Latihan (law of exercise),
Yaitu semakin sering tingkah laku diulang/ dilatih (digunakan) , maka
asosiasi tersebut akan semakin kuat. Prinsip law of exercise adalah
koneksi antara kondisi (yang merupakan perangsang) dengan tindakan
akan menjadi lebih kuat karena latihan-latihan, tetapi akan melemah
bila koneksi antara keduanya tidak dilanjutkan atau dihentikan. Prinsip
menunjukkan bahwa prinsip utama dalam belajar adalah ulangan.
Makin sering diulangi, materi pelajaran akan semakin dikuasai.
c. Hukum akibat(law of effect)
Yaitu hubungan stimulus respon cenderung diperkuat bila akibatnya
menyenangkan dan cenderung diperlemah jika akibatnya tidak
memuaskan. Hukum ini menunjuk pada makin kuat atau makin
lemahnya koneksi sebagai hasil perbuatan. Suatu perbuatan yang
disertai akibat menyenangkan cenderung dipertahankan dan lain kali
akan diulangi. Sebaliknya, suatu perbuatan yang diikuti akibat tidak
menyenangkan cenderung dihentikan dan tidak akan diulangi.
Koneksi antara kesan panca indera dengan kecenderungan
bertindak dapat menguat atau melemah, tergantung pada buah hasil
perbuatan yang pernah dilakukan. Misalnya, bila anak mengerjakan
PR, ia mendapatkan muka manis gurunya. Namun, jika sebaliknya, ia
akan dihukum. Kecenderungan mengerjakan PR akan membentuk
sikapnya.
Thorndike berkeyakinan bahwa prinsip proses belajar binatang
pada dasarnya sama dengan yang berlaku pada manusia, walaupun
hubungan antara situasi dan perbuatan pada binatang tanpa dipeantarai
pengartian. Binatang melakukan respons-respons langsung dari apa
yang diamati dan terjadi secara mekanis(Suryobroto, 1984).
Selanjutnya Thorndike menambahkan hukum tambahan
sebagai berikut:
a. Hukum Reaksi Bervariasi (multiple response)
Hukum ini mengatakan bahwa pada individu diawali oleh prooses
trial dan error yang menunjukkan adanya bermacam-macam
respon sebelum memperoleh respon yang tepat dalam
memecahkan masalah yang dihadapi.
b. Hukum Sikap ( Set/ Attitude)
Hukum ini menjelaskan bahwa perilakku belajar seseorang tidak
hanya ditentukan oleh hubungan stimulus dengan respon saja,
tetapi juga ditentukan keadaan yang ada dalam diri individu baik
kognitif, emosi , sosial , maupun psikomotornya.
c. Hukum Aktifitas Berat Sebelah ( Prepotency of Element)
Hukum ini mengatakan bahwa individu dalam proses belajar
memberikan respon pada stimulus tertentu saja sesuai dengan
persepsinya terhadap keseluruhan situasi ( respon selektif).
d. Hukum Respon by Analogy
Hukum ini mengatakan bahwa individu dalam melakukan respon
pada situasi yang belum pernah dialami karena individu
sesungguhnya dapat menghubungkan situasi yang belum pernah
dialami dengan situasi lama yang pernah dialami sehingga terjadi
transfer atau perpindahan unsur-unsur yang telah dikenal ke situasi
baru. Makin banyak unsur yang sama maka transfer akan makin
mudah.
e. Hukum perpindahan Asosiasi ( Associative Shifting)
Hukum ini mengatakan bahwa proses peralihan dari situasi yang
dikenal ke situasi yang belum dikenal dilakukan secara bertahap
dengan cara menambahkan sedikit demi sedikit unsur baru dan
membuang sedikit demi sedikit unsur lama.

Selain menambahkan hukum-hukum baru, dalam perjalanan


penyamapaian teorinya thorndike mengemukakan revisi Hukum Belajar
antara lain :

a. Hukum latihan ditinggalkan karena ditemukan pengulangan saja tidak


cukup untuk memperkuat hubungan stimulus respon, sebaliknya tanpa
pengulanganpun hubungan stimulus respon belum tentu diperlemah.
b. Hukum akibat direvisi. Dikatakan oleh Thorndike bahwa yang
berakibat positif untuk perubahan tingkah laku adalah hadiah,
sedangkan hukuman tidak berakibat apa-apa.
c. Syarat utama terjadinya hubungan stimulus respon bukan kedekatan,
tetapi adanya saling sesuai antara stimulus dan respon.
d. Akibat suatu perbuatan dapat menular baik pada bidang lain maupun
pada individu lain.

Teori koneksionisme menyebutkan pula konsep transfer of training,


yaiyu kecakapan yang telah diperoleh dalam belajar dapat digunakan untuk
memecahkan masalah yang lain. Perkembangan teorinya berdasarkan pada
percobaan terhadap kucing dengan problem box-nya.

2. Ivan Petrovich Pavlov (1849-1936) Classic conditioning ( pengkondisian


atau persyaratan klasik)

Classic conditioning ( pengkondisian atau persyaratan klasik) adalah


proses yang ditemukan Pavlov melalui percobaanny terhadap anjing, dimana
perangsang asli dan netral dipasangkan dengan stimulus bersyarat secara
berulang-ulang sehingga memunculkan reaksi yang diinginkan.

Eksperimen-eksperimen yang dilakukan Pavlov dan ahli lain


tampaknya sangat terpengaruh pandangan behaviorisme, dimana gejala-gejala
kejiwaan seseorang dilihat dari perilakunya. Hal ini sesuai dengan pendapat
Bakker bahwa yang paling sentral dalam hidup manusia bukan hanya pikiran,
peranan maupun bicara, melainkan tingkah lakunya. Pikiran mengenai tugas
atau rencana baru akan mendapatkan arti yang benar jika ia berbuat sesuatu
(Bakker, 1985).

Bertitik tolak dari asumsinya bahwa dengan menggunakan


rangsangan-rangsangan tertentu, perilaku manusia dapat berubah sesuai
dengan apa yang didinkan. Kemudian Pavlov mengadakan eksperimen dengan
menggunakan binatang (anjing) karena ia menganggap binatang memiliki
kesamaan dengan manusia. Namun demikian, dengan segala kelebihannya,
secara hakiki manusia berbeda dengan binatang.

Ia mengadakan percobaan dengan cara mengadakan operasi leher pada


seekor anjing. Sehingga kelihatan kelenjar air liurnya dari luar. Apabila
diperlihatkan sesuatu makanan, maka akan keluarlah air liur anjing tersebut.
Kin sebelum makanan diperlihatkan, maka yang diperlihatkan adalah sinar
merah terlebih dahulu, baru makanan. Dengan sendirinya air liurpun akan
keluar pula. Apabila perbuatan yang demikian dilakukan berulang-ulang,
maka pada suatu ketika dengan hanya memperlihatkan sinar merah saja tanpa
makanan maka air liurpun akan keluar pula.

Makanan adalah rangsangan wajar, sedang merah adalah rangsangan


buatan. Ternyata kalau perbuatan yang demikian dilakukan berulang-ulang,
rangsangan buatan ini akan menimbulkan syarat(kondisi) untuk timbulnys air
liur pada anjing tersebut. Peristiwa ini disebut: Reflek Bersyarat atau
Conditioned Respons.

Pavlov berpendapat, bahwa kelenjar-kelenjar yang lain pun dapat


dilatih. Bectrev murid Pavlov menggunakan prinsip-prinsip tersebut dilakukan
pada manusia, yang ternyata diketemukan banyak reflek bersyarat yang timbul
tidak disadari manusia.

Dari eksperimen Pavlov setelah pengkondisian atau pembiasaan dpat


diketahui bahwa daging yang menjadi stimulus alami dapat digantikan oleh
bunyi lonceng sebagai stimulus yang dikondisikan. Ketika lonceng
dibunyikan ternyata air liur anjing keluar sebagai respon yang dikondisikan.

Ternyata dalam kehidupan sehari-hari ada situasi yang sama seperti


pada anjing. Sebagai contoh, suara lagu dari penjual es krim Walls yang
berkeliling dari rumah ke rumah. Awalnya mungkin suara itu asing, tetapi
setelah si pejual es krim sering lewat, maka nada lagu tersebut bisa
menerbitkan air liur apalagi pada siang hari yang panas. Bayangkan, bila tidak
ada lagu trsebut betapa lelahnya si penjual berteriak-teriak menjajakan
dagangannya. Contoh lai adalah bunyi bel di kelas untuk penanda waktu atau
tombol antrian di bank. Tanpa disadari, terjadi proses menandai sesuatu yaitu
membedakan bunyi-bunyian dari pedagang makanan(rujak, es, nasi goreng,
siomay) yang sering lewat di rumah, bel masuk kelas-istirahat atau usai
sekolah dan antri di bank tanpa harus berdiri lama.

Dari contoh tersebut dapat diketahui bahwa dengan menerapkan


strategi Pavlov ternyata individu dapat dikendalikan melalui cara mengganti
stimulus alami dengan stimulus yang tepat untuk mendapatkan pengulangan
respon yang diinginkan, sementara individu tidak menyadari bahwa ia
dikendalikan oleh stimulus yang berasal dari luar dirinya.

3. Burrhus Frederic Skinner (1904-1990).

Seperti halnya kelompok penganut psikologi modern, Skinner


mengadakan pendekatan behavioristik untuk menerangkan tingkah laku. Pada
tahun 1938, Skinner menerbitkan bukunya yang berjudul The Behavior of
Organism. Dalam perkembangan psikologi belajar, ia mengemukakan teori
operant conditioning. Buku itu menjadi inspirasi diadakannya konferensi
tahunan yang dimulai tahun 1946 dalam masalah The Experimental an
Analysis of Behavior. Hasil konferensi dimuat dalam jurnal berjudul Journal
of the Experimental Behaviors yang disponsori oleh Asosiasi Psikologi di
Amerika (Sahakian,1970)

B.F. Skinner berkebangsaan Amerika dikenal sebagai tokoh behavioris


dengan pendekatan model instruksi langsung dan meyakini bahwa perilaku
dikontrol melalui proses operant conditioning. Di mana seorang dapat
mengontrol tingkah laku organisme melalui pemberian reinforcement yang
bijaksana dalam lingkungan relatif besar. Dalam beberapa hal,
pelaksanaannya jauh lebih fleksibel daripada conditioning klasik.

Gaya mengajar guru dilakukan dengan beberapa pengantar dari guru


secara searah dan dikontrol guru melalui pengulangan dan latihan.

Menajemen Kelas menurut Skinner adalah berupa usaha untuk


memodifikasi perilaku antara lain dengan proses penguatan yaitu memberi
penghargaan pada perilaku yang diinginkan dan tidak memberi imbalan
apapun pada perilaku yanag tidak tepat. Operant Conditioning adalah suatu
proses perilaku operant ( penguatan positif atau negatif) yang dapat
mengakibatkan perilaku tersebut dapat berulang kembali atau menghilang
sesuai dengan keinginan.

Skinner membuat eksperimen sebagai berikut :

Dalam laboratorium Skinner memasukkan tikus yang telah dilaparkan


dalam kotak yang disebut skinner box, yang sudah dilengkapi dengan
berbagai peralatan yaitu tombol, alat pemberi makanan, penampung makanan,
lampu yangdapat diatur nyalanya, dan lantai yanga dapat dialir listrik. Karena
dorongan lapar tikus beruasah keluar untuk mencari makanan. Selam tikus
bergerak kesana kemari untuk keluar dari box, tidak sengaja ia menekan
tombol, makanan keluar. Secara terjadwal diberikan makanan secara bertahap
sesuai peningkatan perilaku yang ditunjukkan si tikus, proses ini disebut
shapping.

Berdasarkan berbagai percobaannya pada tikus dan burung merpati


Skinner mengatakan bahwa unsur terpenting dalam belajar adalah penguatan.
Maksudnya adalah pengetahuan yang terbentuk melalui ikatan stimulus
respon akan semakin kuat bila diberi penguatan. Skinner membagi penguatan
ini menjadi dua yaitu penguatan positif dan penguatan negatif. Bentuk bentuk
penguatan positif berupa hadiah, perilaku, atau penghargaan. Bentuk bentuk
penguatan negatif antara lain menunda atau tidak memberi penghargaan,
memberikan tugas tambahan atau menunjukkan perilaku tidak senang.

Beberapa prinsip Skinner antara lain :

a. Hasil belajar harus segera diberitahukan kepada siswa, jika salah


dibetulkan, jika bebar diberi penguat.
b. Proses belajar harus mengikuti irama dari yang belajar.
c. Materi pelajaran, digunakan sistem modul.
d. Dalam proses pembelajaran, tidak digunkan hukuman. Untuk itu
lingkungan perlu diubah, untukmenghindari adanya hukuman.
e. Dalam proses pembelajaran, lebih dipentingkan aktifitas sendiri.
f. Tingkah laku yang diinginkan pendidik, diberi hadiah, dan sebaiknya
hadiah diberikan dengan digunakannya jadwal variabel Rasio rein forcer.
g. Dalam pembelajaran digunakan shaping.

4. Robert Gagne ( 1916-2002).

Gagne adalah seorang psikolog pendidikan berkebangsaan amerika


yang terkenal dengan penemuannya berupa condition of learning. Gagne
pelopor dalam instruksi pembelajaran yang dipraktekkannya dalam training
pilot AU Amerika. Ia kemudian mengembangkan konsep terpakai dari teori
instruksionalnya untuk mendisain pelatihan berbasis komputer dan belajar
berbasis multi media. Teori Gagne banyak dipakai untuk mendisain software
instruksional.

Gagne disebut sebagai Modern Neobehaviouris mendorong guru untuk


merencanakan instruksioanal pembelajaran agar suasana dan gaya belajar
dapat dimodifikasi. Ketrampilan paling rendah menjadi dasar bagi
pembentukan kemampuan yang lebih tinggi dalam hierarki ketrampilan
intelektual. Guru harus mengetahui kemampuan dasar yang harus disiapkan.
Belajar dimulai dari hal yang paling sederhana dilanjutnkanpada yanglebih
kompleks ( belajar SR, rangkaian SR, asosiasi verbal, diskriminasi, dan
belajar konsep) sampai pada tipe belajar yang lebih tinggi(belajar aturan
danpemecahan masalah). Prakteknya gaya belajar tersebut tetap mengacu
pada asosiasi stimulus respon.

5. Albert Bandura (1925-masih hidup).

Bandura lahir pada tanggal 4 Desember 1925 di Mondare alberta


berkebangsaan Kanada. Ia seorang psikolog yang terkenal dengan teori belajar
sosial atau kognitif sosial serta efikasi diri. Eksperimennya yang sangat
terkenal adalah eksperimen Bobo Doll yang menunjukkan anak meniru secara
persis perilaku agresif dari orang dewasa disekitarnya.

Faktor-faktor yang berproses dalam belajar observasi adalah:


a. Perhatian, mencakup peristiwa peniruan dan karakteristik pengamat.
b. Penyimpanan atau proses mengingat, mencakup kode pengkodean
simbolik.
c. Reprodukdi motorik, mencakup kemampuan fisik, kemampuan meniru,
keakuratan umpan balik.
d. Motivasi, mencakup dorongan dari luar dan penghargaan terhadap diri
sendiri.

Selain itu juga harus diperhatikan bahwa faktor model atau teladan
mempunyai prinsip prinsip sebgai berikut:

a. Tingkat tertinggi belajar dari pengamatan diperoleh dengan cara


mengorganisasikan sejak awal dan mengulangi perilaku secara simbolik
kemudian melakukannya.
b. Individu lebih menyukai perilaku yang ditiru jika sesuai dengan nilai yang
dimilikinya.
c. Individu akan menyukai perilaku yang ditiru jika model atau panutan
tersebut disukai dan dihargai dan perilakunya mempunyai nilai yang
bermanfaat.

Karena melibatkan atensi, ingatan dan motifasi, teori Bandura dilihat


dalam kerangka Teori Behaviour Kognitif. Teori belajar sosial membantu
memahami terjadinya perilaku agresi dan penyimpangan psikologi dan
bagaimana memodifikasi perilaku. Teori Bandura menjadi dasar dari perilaku
pemodelan yang digunakan dalam berbagai pendidikan secara massal.

Sebagai konsekuensi teori ini, para guru yang menggunakan


paradigma behaviorisme akan menyusun bahan pelajaran dalam bentuk yang
sudah siap, sehingga tujuan pembelajaran yang harus dikuasai siswa
disampaikan secara utuh oleh guru. Guru tidak banyak memberi ceramah,
tetapi instruksi singkat yng diikuti contoh-contoh baik dilakukan sendiri
maupun melalui simulasi. Bahan pelajaran disusun secara hierarki dari yang
sederhana samapi pada yang kompleks.

Tujuan pembelajaran dibagi dalam bagian kecil yang ditandai dengan


pencapaian suatu ketrampilan tertentu. Pembelajaran berorientasi pada hasil
yang dapat diukur dan diamati. Kesalahan harus segera diperbaiki.
Pengulangan dan latihan digunakan supaya perilaku yang diinginkan dapat
menjadi kebiasaan. Hasil yang diharapkan dari penerapan teori behavioristik
ini adalah tebentuknya suatu perilaku yang diinginkan. Perilaku yang
diinginkan mendapat penguatan positif dan perilaku yang kurang sesuai
mendapat penghargaan negatif. Evaluasi atau penilaian didasari atas perilaku
yang tampak.
Kritik terhadap behavioristik adalah pembelajaran siswa yang berpusat
pada guru, bersifaat mekanistik, dan hanya berorientasi pada hasil yang dapat
diamati dan diukur. Kritik ini sangat tidak berdasar karena penggunaan teori
behavioristik mempunyai persyartan tertentu sesuai dengan ciri yang
dimunculkannya. Tidak setiap mata pelajaran bisa memakai metode ini,
sehingga kejelian dan kepekaan guru pada situasi dan kondisi belajar sangat
penting untuk menerapkan kondisi behavioristik.

Metode behavioristik ini sangat cocok untuk perolehan kemampaun


yang membuthkan praktek dan pembiasaan yang mengandung unsur-unsur
seperti : Kecepatan, spontanitas, kelenturan, reflek, daya tahan dan
sebagainya, contohnya: percakapan bahasa asing, mengetik, menari,
menggunakan komputer, berenang, olahraga dan sebagainya. Teori ini juga
cocok diterapkan untuk melatih anak-anak yang masih membutuhkan
dominansi peran orang dewasa, suka mengulangi dan harus dibiasakan, suka
meniru dan senang dengan bentuk-bentuk penghargaan langsung seperti diberi
permen atau pujian.

Penerapan teori behaviroristik yang salah dalam suatu situasi


pembelajaran juga mengakibatkan terjadinya proses pembelajaran yang sangat
tidak menyenangkan bagi siswa yaitu guru sebagai central, bersikap otoriter,
komunikasi berlangsung satu arah, guru melatih dan menentukan apa yang
harus dipelajari murid. Murid dipandang pasif , perlu motivasi dari luar, dan
sangat dipengaruhi oleh penguatan yang diberikan guru. Murid hanya
mendengarkan denga tertib penjelasan guru dan menghafalkan apa yang
didengar dan dipandang sebagai cara belajar yang efektif. Penggunaan
hukuman yang sangat dihindari oelh para tokoh behavioristik justru dianggap
metode yang paling efektif untuk menertibkan siswa.
B. DIAGNOSIS KESULITAN BELAJAR
1. Pengertian Diagnosis Kesulitan Belajar

Ada beberapa pendapat mengenai pengertian kesulitan belajar. Blassic


dan Jones, sebagaimana dikutip oleh Warkitri ddk. (1990 : 8.3), menyatakan
bahwa kesulitan belajar adalah terdapatnya suatu jarak antara prestasi
akademik yang diharapkan dengan prestasi akademik yang diperoleh. Mereka
selanjutnya menyatakan bahwa individu yang mengalami kesulitan belajar
adalah individu yang normal inteligensinya, tetapi menunjukkan satu atau
beberapa kekurangan penting dalam proses belajar, baik persepsi, ingatan,
perhatian, ataupun fungsi motoriknya.

Sementara itu Siti Mardiyanti dkk. (1994 : 4 5) menganggap


kesulitan belajar sebagai suatu kondisi dalam proses belajar yang ditandai
oleh adanya hambatan tertentu untuk mencapai hasil belajar. Hambatan
tersebut mungkin disadari atau tidak disadari oleh yang bersangkutan,
mungkin bersifat psikologis, sosiologis, ataupun fisiologis dalam proses
belajarnya.

Dari penjelasan di atas, dapat penulis simpulkan bahwa kesulitan


belajar merupakansuatu kondisi dimana terdapat suatu jarak antara prestasi
akademik yang diharapkan dengan yang diperoleh yang ditandai oleh adanya
hambatan tertentu baik bersifat psikologis, sosiologis maupun fisiologis dalam
proses belajar.

Salah satu cara pemberian bantuan kepada peserta didik yang


mengalami kesulitan belajar adalah berupa prosedur dan langkah-langkah
yang sistematis yang disebut Diagnosis Kesulitan Belajar dan pengajaran
perbaikan.(Etty Kratikawati dan Willem Lusikooy; 1993/1994).
Diagnosis merupakan istilah yang diadopsi dari bidang medis.
Menurut Thorndike dan Hagen (Abin S.M., 2002 : 307), diagnosis dapat
diartikan sebagai berikut :

a. Upaya atau proses menemukan kelemahan atau penyakit (weakness, disease)


apa yang dialami seseorang dengan melalui pengujian dan studi yang seksama
mengenai gejala-gejalanya (symtoms);
b. Studi yang seksama terhadap fakta tentang suatu hal untuk menemukan
karakteristik atau kesalahan-kesalahan dan sebagainya yang esensial;
c. Keputusan yang dicapai setelah dilakukan suatu studi yang saksama atas
gejala-gejala atau fakta-fakta tentang suatu hal.

Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa Diagnosis Kesulitan


Belajar merupakan suatu prosedur dalam memecahkan kesulitan belajar
dengan mengidentifikasi jenis dan karakteristiknya, serta latar belakang dari
suatu kelemahan tertentu, serta mengimplikasikan suatu upaya untuk
meramalkan kemungkinan dan menyarankan tindakan pemecahannya.

2. Gejala dan Ciri Kesulitan Belajar

Gejala kesulitan belajar


Kesulitan atau masalah belajar dapat dikenal berdasarkan gejala yang
dimanifestasikan dalam berbagai bentuk perilaku, baik secara kognitif, afektif,
maupun psikomotorik. Menurut Warkitri dkk, (1990 : 8.5 8.6), individu
yang mengalami kesulitan belajar menunjukkan gejala sebagai berikut:
a. Hasil belajar yang dicapai berada dibawah rata-rata kelas, lebih rendah
dari hasil belajar sebelumnya, serta tidak seimbang dengan usaha yang
telah dilakukan.
b. Individu lambat dalam mengerjakan tugas-tugas sekolah yang diberikan
oleh guru.
c. Menunjukkan sikap yang masa bodoh, sering bolos ataupun tidak masuk
sekolah, serta mudah tersinggung dan menyendiri.
Ciri kesulitan belajar
Adapun ciri-ciri kesulitan belajar yang dialami oleh siswa seperti
berikut ini: Dilihat dari pesepsi visualnya, ciri-ciri kesulitan belajar yang
dialami oleh siswa seperti pada saat menulis, siswa sering menulis dengan
salah satu huruf yang tertinggal atau tidak lengkap.
a. Dilihat dari persepsi auditori, ciri-cirinya seperti siswa sulit memahami
perintah yang disampaikan oleh guru.
b. Dilihat dari segi bahasa, cirinya seperti siswa sulit memahami kalimat
yang disampaikn kepadanya serta sulit mengungkapkan apa yang sedang
dipikirkannya.

3. Latar Belakang Timbulnya Kesulitan Belajar


Menurut Burton, sebagaimana dikutip oleh Abin S.M. (2002 : 325-
326), faktor-faktor yang menyebabkan kesulitan belajar individu dapat berupa
faktor internal, yaitu yang berasal dari dalam diri yang bersangkutan, dan
faktor eksternal, adalah faktor yang berasal dari luar diri yang bersangkutan
a. Faktor Internal
Yang dimaksud dengan faktor internal adalah faktor yang berasal dari
dalam diri peserta didik. Faktor ini dapat dibedakan menjadi dua, yaitu faktor
kejiwaan dan faktor kejasmanian.
1) Faktor kejiwaan, antara lain :
a) Minat terhadap mata pelajaran kurang;
b) Motif belajar rendah;
c) Rasa percaya diri kurang;
d) Disiplin pribadi rendah;
e) Sering meremehkan persoalan;
f) Sering mengalami konflik psikis;
g) Integritas kepribadian lemah.
2) Faktor kejasmanian, antara lain :
a) Keadaan fisik lemah (mudah terserang penyakit);
b) Adanya penyakit yang sulit atau tidak dapat disembuhkan;
c) Adanya gangguan pada fungsi indera;
d) Kelelahan secara fisik.
b. Faktor Eksternal
Yang dimaksud dengan faktor eksternal adalah faktor yang berada atau
berasal dari luar peserta didik. Faktor ini dapat dibedakan menjadi dua : faktor
instrumental dan faktor lingkungan.
1) Faktor instrumental
Faktor-faktor instrumental yang dapat menyebabkan kesulitan belajar
mahasiswa antara lain :
a) Kemampuan profesional dan kepribadian dosen yang tidak memadai;
b) Kurikulum yang terlalu berat bagi pesert didik;
c) Program belajar dan pembelajaran yang tidak tersusun dengan baik;
d) Fasilitas belajar dan pembelajaran yang tidak sesuai dengan kebutuhan.
2) Faktor lingkungan
Faktor lingkungan meliputi lingkungan sosial dan lingkungan fisik.
Penyebab kesulitan belajar yang berupa faktor lingkungan antara lain :
a) Disintegrasi atau disharmonisasi keluarga;
b) Lingkungan sosial sekolah yang tidak kondusif
c) Teman-teman bergaul yang tidak baik;
d) Lokasi kampus yang tidak atau kurang cocok untuk pendidikan.

Dari berbagai faktor yang melatarbelakangi timbulnya kesulitan


belajar siswa, penulis berpendapat bahwa faktor yang melatarbelakangi
tersebut, yaitu:
1) Faktor internal
Faktor internal ini berasal dari dalam diri individu atau siswa
itu sendiri. Faktor internal ini seperti :
a. Inteligensi siswa,
b. Minat belajar siswa,
c. Kesehatan siswa,
d. Gizi siswa, dll.

2) Faktor eksternal
Faktor eksternal ini berasal dari luar diri individu seperti
lingkungan keluarga, lingkungan sekolah, lingkungan tempat tinggal,
teman sebaya, serta fasilitas belajar baik itu di sekolah maupun di rumah.
Di lingkungan keluarga seperti bagaimana kondisi dalam keluarga, posisi
siswa dalam keluarga. Di lingkungan sekolah seperti bagaimana perhatian
guru terhadap siswa. Selain itu, kelengkapan fasilitas belajar juga dapat
mempengaruhi kegiatan belajar siswa, kemudian suasana saat peserta
didik belajar juga sangat berpengaruh pada minat belajar pesertadidik.

4. Tujuan Pelaksanaan Kegiatan Diagnosis Kesulitan Belajar


Pelaksanaan kegiatan Diagnosis Kesulitan Belajar melibatkan guru
dan siswa, maka tujuan yang ingin dicapai juga berbeda antara guru dan
siswa.
a. Siswa
Tujuan yang hendak dicapai setelah pelaksanaan kegiatan
diagnosis kesulitan belajar ini bagi siswa adalah :
1) Siswa memahami dan mengetahui kekeliruannya.
2) Siswa memperbaiki kesalahannya
3) Siswa dapat memilih cara atau metode untuk memperbaiki
kesalahannya
4) Siswa dapat menguasai pelajaran dengan baik.
5) Siswa dapat meningkatkan prestasi belajarnya.

b. Guru
Adapun tujuan pelaksanaan kegiatan Diagnosis Kesulitan
Belajar bagi Guru adalah :
1) Guru mengetahui kelemahan dalam proses belajar mengajar.
2) Guru dapat memperbaiki kelemahannya tersebut.
3) Guru dapat memberikan layanan yang optimal kepada siswa sesuai
dengan keadaan diri siswa perkembangannya siswa dapat
terlaksana dengan baik.

Dari kutipan di atas, penulis menyimpulkan bahwa tujuan


pelaksanaan kegiatan diagnosis adalah agar guru, peserta didik dan
orang tua peserta didik dapat:
a. Mengetahui kelemahan-kelemahan yang dimiliki oleh peserta
didik.
b. Membantu memperbaiki kelemahan-kelemahan yang dimiliki oleh
pesertadidik dengan adanya kerjasama antara pihak sekolah,
peserta didik dan keluarga.
c. Membantu pesert didik agar dapat menguasai pelajaran yang sulit
baginya, serta mempermudah guru dalam menentukan layanan apa
yang sesuai dengan kesulitan yang dialami oleh peserta didik.

5. Upaya Mengatasi Kesulitan Belajar yang Dialami Siswa


Menurut Hallen A: 2005 (Mayasa: 2012, http://m4y-
a5a.blogspot.com), langkah-langkah yang perlu ditempuh guru untuk
mengatasi kesulitan belajar siswa, dapat dilakukan dalam enam tahap. Adapun
keenam tahap tersebut, yaitu:
a. Mengenal siswa yang mengalami kesulitan belajar
Cara yang paling mudah untuk mengenali siswa yang mengalami
kesulitan belajar adalah dengan cara mengenali nama siswa.
b. Memaham sifat dan jenis kesulitan belajarnya
Langkah kedua dalam mengatasi kesulitan belajar adalah mencari
dalam mata pelajaran apa saja siswa ini (kasus) mengalami
kesulitan dalam belajar.
c. Menetapkan latar belakang kesulitan belajar
Langkah ini bertujuan untuk memperoleh gambaran tentang latar
belakang yang menjadi sebab timbulnya kesulitan belajar baik
yang terletak di dalam diri siswa sendiri maupun diluar dirinya.
d. Menetapkan usaha-usaha bantuan
Setelah diketahui sifat dan jenis kesulitan serta latar belakangnya,
maka langkah selanjutnya ialah menetapkan beberapa
kemungkinan tindakan-tindakan usaha bantuan yang akan
diberikan, berdasarkan data yang akan di peroleh.
e. Pelaksanaan bantuan
Langkah ini merupakan pelaksanaan dari langkah sebelumnya,
yakni melaksanakan kemungkinan usaha bantuan. Pemberian
bantuan diaksanakan secara terus-menerus dan terah dengan
disertai penilaian yang tepat sampai pada saat yang telah
diperkirakan.
f. Tindak lanjut
Tujuan langkah ini untuk menilai sampai sejauh manakah tindakan
pemberian bantuan telah mencapai hasil yang diharapkan. Tindak
lanjut dilakukan secara terus-menerus, dengan langkah ini dapat
diketahui keberhasilan usaha bantuan.

Sedangkan menurut Etty Kartikawati dan Willem Lusikooy


(1993/1994), langkah-langkah diagnostik terdiri dari beberapa kegiatan, yaitu:
a. Identifikasi kasus
1) Tujuannya : untuk mencari dan menemukan di antara siswa-
siswa yang diduga mengalami kesulitan belajar yang serius dan
yang memerlukan bantuan.
2) Tekniknya : dengan memanfaatkna catatan atau rekaman
tentang hal ikhwal yang menyangkut kegiatan belajarnya untuk
dianalisis.
3) Prosedurnya : mengumpulkan nilai-nilai dar seluruh bidang
studi dalam satu kelas untuk:
a) Dihitung bagaimana rata-rata bagi setiap guru.
b) Kemudian dihitung nilai rata-rata seluruh siswa di kelas itu.
c) Lalu buat grafik untuk mengetahui posisi siswa dalam kelas
berdasarkan nilai rata-rata itu.
d) Setelah itu, dapatlah diketahui bahwa ada siswa yang nilai
rata-ratanya berada di bawah rata-rata umum kelas,
ditandai sebagai siswa yang berprestasi rendah dan ia tentu
mengalami kesulitan belajar.
e) Pada akhirnya ditetapkan siswa-siswa yang paling banyak
mengalami kesulitan belajar adalah mereka yang
mengalami nilai rata-ratanya di bawah rata-rata nilai umum
kelas, misalkan nilai-nilai yang paling rendah adalah
bidang studi Bahasa Indonesia dan Matematika.
b. Melakukan diagnosis
1) Tujuan : mengetahui secara tepat lokasi kesulitan belajar
tersebut dalam bidng studi apa saja. Juga untuk mengetahui
secara pasti jenis kesulitan yang dialami serta enemukan latar
belakang apakah yang menyebabkan timbulnya kesulitan.
2) Teknik : melakukan analisis documenter, melakukan
wawancara, melakukan observasi (pengamatan), melakukan tes
dalam berbagai jenisnya, melakukan pengukuran dengan
teknik sosiometri.
3) Prosedurnya :
a) Menyusun rata-rata nilai dari nilai bidang studi.
b) Membuat grafik tentang kedudukan siswa yang mengalami
kedulitan belajar dalam bidang studi tersebut.
c) Kemudian menetapkan tempat(elokasi) dalam bidang studi
apa saja bagi siswa tersebut, mengalami kesulitan belajar,
hal ini dapat pula dibantu oleh rapor dan hasil ulangan.
d) Kemudian menetapkan siswa mana yang mendapat
prioritas pelayanan karena paling banyak menemui
kesulitan belajar.
4) Menetapkan jenis dan macam kesulitan yang dihadapi siswa
dengan cara:
a) Menganalisis hasil pekerjaan siswa dalam bidang studi
tertentu yang diduga menimbulkan kesulitan kepadanya.
b) Guru bidang studi yang bersangkutan diwawancarai.
c) Siswa yang bersangkutan diwawancarai.
d) Melakukan tes (psikotest atau diagnostic tes).
5) Berusaha mengungkapkan latar belakang kesulitan, dengan
cara-cara:
a) Menganalisis dokumen-dokumen tentang data siswa yang
bersangkutan yang mencakup: indentitas pribadi, riwayat
pendidikan, prestasi belajar, latar belakang kehidupan
keluarga, bakat dan minatnya, kecerdasan, cita-citanya,
pribadi serta lingkungannya (social dan kulturalnya),
kesehataa, kegemaran (hobby).
b) Melakukan wawancara dengan siswa,orang tua siswa yang
bersangkutan, dan seterusnya.
c) Melakukan pengukuran dimensi hubungan sosialnya
dengan sosiometri.
d) Melakukan pengamatan (obsevasi) terhadap siswa yang
bersangkutan pada waktu belajar.
c. Melakukan prognosis
1) Tujuan : untuk menetapkan macan dan teknik pemberian
bantuan yang sesuai dengan corak kesulitan yang dihadapi
siswa.
2) Prosedur :
a) Boala siswa menemukan kesulitan disebabkan oleh latar
belakang pribadi, maka hendaknya diberikan bantuan
melalui konseling.
b) Bila disebabkan oleh gangguan mental, nervus, gangguan
kesehatan jasmani dan sebagainya, maka hendaknya
dilimpahkan kepada dokter ahli yang bersangkutan.
c) Bila berlatar belakang pada sikap social, maka perlu diberi
bantuan dengan menggunakan bimbingan kelompok,
karena dengan cara ini siswa akan dilatih kembali untuk
bersikap social yang memungkinkan ia dapat melakukan
penyesuaian diri dengan lingkungan, juga dengan
memberikan tugas kegiatan tertentu yang membawanya
kea rah hidup saling membantu, maka siswa yang
bersangkutan akan terpupuk rasa sosialnya.
d. Melakukan langkah pemberian bantuan
1) Tujuan : untuk memberikan bantuan kepada siswa yang
bersangkutan agar mampu mengatasi kesulitan belajar yang
dialami dengan kemampuan sendiri sehingga dapat mencapai
hasil yang optimal serta dapat bersikap menyesuaikan diri yang
sehat.
2) Teknik : memilih salah satu teknik pemberian bantuan yang
telah dipilih yang meliputi:
a) Remedial Teaching : memberikan pelajaran tambahan
berupa kursus-kursus (private less) dan cara lain tentang
bidang studi yang lemah, dengan tujuan agar kelemahan
tersebut bagi siswa yang bersangkutan dapat ditingkatkan
kemajuannya (disembuhkan).
b) Memberi konseling kepada siswa yang bersangkutan
tentang hal-hal yang menghambat kemajuan belajarnya,
c) Melakukan bimbingan kelompok terhadap siswa yang
dihambat oleh sikap sosialnya yang kurang dapat
menyesuaikan diri dalam pergaulan.
d) Melakukan perlimpahan (referral) kepada ahli lain di
bidangnya.
e. Melakukan tindak lanjut (follow up servise)
1) Tujuan : untuk mengetahui sejauhmana hasil pemberian
bantuan tersebut yang telah diberikan kepada siswa dalam
rangka memperbaiki kegiatan belajarnya lebih lanjut.
2) Teknik : dengan melakukan tes kemajuan belajar atau psikotes
atau dengan memberikan wawancara kepada siswa yang
ebrsangkutan tentang kemajuan belajarnya dalam bidang studi
tertentu, ditambah lagi dengan melakukan analisis dokumen
seperti hasil ulangan, hasil tes. Juga mengadakan observasi
(pengamatan) tentang sejauh mana perubahan tingkah laku
siswa dalam melakukan kegiatan belajar lebih lanjut.
3) Prosedur:
a) Mengetes siswa dalam bidang studi yang semula
mengalami hambatan.
b) Mewawancarai siswa tentang sikap dan penderitaannya
mengenai kesulitan-kesulitan yang dirasakan.
c) Mewawancarai guru bidang studi yang bersangkutan
tentang perubahan yang terjadi pada siswa yang
bersangkutan, dan juga melakukan wawancara dengan
orang tua atau siswa tentang kemajuan belajarnya di
rumah dan seterusnya.
d) Menganalisis tentang informasi dan hasil belajar siswa
yang bersangkutan.
e) Melakukan pengamatan (observasi) kegiatan belajar siswa
yang bersangkutan, baik di dalam kelas maupun di luar
kelas.

Penjelasan dari beberapa ahli di atas dapat penulis simpulkan bahwa


upaya-upaya yang dapat dilakukan dalam mengatasi kesulitan belajar peserta
didik, yaitu:
a. Mengidentifikasi peserta didk yang mengalami kesulitan belajar.
b. Mengidentifikasi jenis kesulitan belajar yang dialami oleh peserta
didik.
c. Mengungkap faktor-faktor yang menyebabkan timbulnya kesulitan
belajar pada peserta didik tersebut.
d. Merencanakan suatu tindakan bantuan yang dibutuhkan oleh peserta
didik berdasarkan hasil pengungkapan factor penyebab kesulitan
belajar tersebut.
e. Melaksanakan pemberian bantuan kepada peserta didik dengn
memberikan pelajaran tambahan kepada peserta didik.
f. Memberikan tindak lanjut, bagaimana hasil yang didapatkan setelah
diberikan bantuan.
C. Alternatif Pemecahan Kesulitan Belajar
Berikut ini beberapa alternatif dalam kesulitan belajar :
1. Observasi Kelas
Pada tahap ini observasi kelas dapat membantu mengurangi kesulitan
dalam tingkat pelajaran, misalnya memeriksa keadaan secara fisik bagaimana
kondisi kelas dalam kegiatan belajar, cukup nyaman, segar, sehat dan hidup
atau tidak. Kalau suasana kelas sangat nyaman, tenang dan sehat, maka itu
semua dapat memotivasi siswa untuk belajar lebih semangat lagi.
2. Pemeriksaan Alat Indera
Dalam hal ini dapat difokuskan pada tingkat kesehatan siswa khusus
mengenai alat indera. Diupayakan minimal dalam sebulan sekali pihak
sekolah melakukan tes atau pemeriksaan kesehatan di Puskesmas / Dokter,
karena tingkat kesehatan yang baik dapat menunjang pelajaran yang baik pula.
Maka dari itu, betapa pentingnya alat indera tersebut dapat menstimulasikan
bahan pelajaran langsung ke diri individu.
3. Teknik Main Peran
Disini, seorang guru bisa berkunjung ke rumah seorang murid. Di sana
seorang guru dapat leluasa melihat, memperhatikan murid berikut semua yang
ada di sekitarnya. Di sini guru dapat langsung melakukan wawancara dengan
orang tuanya mengenai kepribadian anak, keluarga, ekonomi, pekerjaan dan
lain-lain. Selain itu juga, guru bisa melihat keadaan rumah, kondisi dan
situasinya dengan masyarakat secara langsung.
4. Tes Diagnostik Kecakapan/Tes IQ/Psikotes
Dalam hal ini seorang guru dapat mengetahui sejauh mana IQ
seseorang dapat dilihat dengan cara menjawab pertanyaan-pertanyaan praktis
dan sederhana. Dengan latihan psikotes dapat diambil beberapa nilai
kepribadian siswa secara praktis dari segi dasar, logika dan privasi seseorang.
5. Menyusun Program Perbaikan
Penyusunan program hendaklah dimulai dari segi pengajar dulu.
Seorang pengajar harus menjadi seorang yang konsevator, transmitor,
transformator, dan organisator. Selanjutnya lengkapilah beberapa alat peraga
atau alat yang lainnya yang menunjang pengajaran lebih baik, karena dengan
kelengkapan-kelengkapan yang lebih kompleks, motivasi belajarpun akan
dengan mudah didapat oleh para siswa.

Banyak alternatif yang dapat diambil guru dalam mengatasi kesulitan belajar
siswanya. Akan tetapi, sebelum pilihan tertentu diambil, guru sangat diharapkan
untuk terlebih dahulu melakukan beberapa langkah penting sebagai berikut.
a. Menganalisis hasil diagnosis, yakni menelaah bagian-bagian masalah dan
hubungan antar bagian tersebut untuk memperoleh pengertian yang benar
mengenai kesulitan kesulitan belajar yang dihadapi siswa.
b. Mengidentifikasi dan menentukan bidang kecakapan tertentu yang
memerlukan perbaikan.
Berdasarkan hasil analisis tadi, guru diharapkan dapat menetukan
bidang kecakapan tertentu yang dianggap bermasalah dan memerlukan
perbaikan. Bidang-bidang kecakapan bermasalah ini dapat dikategorikan
menjadi tiga macam, yaitu :
1) Bidang kecakapan bermasalah yang dapat ditangani oleh guru sendiri.
2) Bidang kecakapan bermasalah yang dapat ditangani oleh guru dengan
bantuan orangtua.
3) Bidang kecakapan bermasalah yang tidak dapat ditangani baik oleh guru
dengan bantuan orang tua.
c. Menyusun program perbaikan, khususnya program remedial teaching
(pengajaran perbaikan)
Dalam hal menyusun program pengajaran perbaikan (remedial
teaching), sebelumnya guru perlu menetapkan hal-hal sebagai berikut:
1) Tujuan pengajaran remedial.
2) Materi pengajaran remedial.
3) Metode pengajaran remedial.
4) Alokasi waktu pengajaran remedial.
5) Evaluasi kemajuan siswa setelah mengikuti program pengajaran
remedial.
(Muhibbin Syah, 1999:172-174)
Untuk memperluas wawasan pengetahuan mengenai alternatif-alternatif
atau cara-cara pemecahan masalah kesulitan belajar siswa, guru sangat
dianjurkan mempelajari buku-buku khusus mengenai bimbingan dan penyuluhan.
Selain itu, guru juga sangat dianjurkan untuk mempertimbangkan penggunaan
model-model mengajar tertentu yang dianggap sesuai sebagai alternatif lain atau
pendukung cara memecahkan masalah kesulitan belajar siswa.

D. Cara Belajar yang Baik


Setiap peserta didik yang ingin berhasil dalam belajarnya pasti akan
berusaha agar tujuannya bisa tercapai. Berbagai usaha dapat dilakukan untuk
memperoleh hasil yang maksimal. Usaha untuk memperoleh hasil yang
maksimal pada intinya adala belajar dengan cara yang baik, sesuai, tepat dan
efektif. Namun model belajar setiap orang bisa berbeda-beda karena pengalaman
keberhasilan seseorang dalam studinya tidak selalu sama persis. Maka disini akan
disampaikan hal yang umumnya saja tentang hal yang perlu diperhatikan untuk
cara belajar dengan baik, di antaranya adalah:
a) Mempunyai Fasilitas dan Perabotan Belajar.
Orang yang belajar tanpa dibantu dengan fasilitas tidak jarang
mendapatkan hambatan dalam menyelesaikan kegiatan belajar. Karenanya
fasilitas tidak bisa diabaikan dalam masalah belajar.
Fasilitas dan perabot belajar yang dimaksud tentu saja berhubungan
dengan masalah materiil berupa kertas, pensil, buku catatan, meja dan kursi,
mesin ketik (sekarang umumnya komputer), kertas karbon dan sebagainya.
b) Mengatur Waktu Belajar
Pelajar tidak bisa membagi waktunya akan menghadapi kebingungan,
pelajaran apa yang harus dipelajari hari ini atau esok hari. Mahasiswa akan
merasakan waktu yang terlalu sempit untuk melakukan sesuatu yang
berhubungan dengan masalah belajar.dengan demikian, pelajar atau
mahasiswa jangan sekali-kali mengabaikan masalah pembagian waktu ini,
sekiranya ingin menjadi orang yang sukses studi.
c) Menguasai Bahan Pelajaran.
Setelah sekolah atau kuliah, jangan lupa untuk mengulangi bahan
pelajaran di rumah atau di asrama. Apa yang guru / dosen jelaskan tidak
mesti semuanya terkesan dengan baik. Tentu ada kesan-kesan yang masih
samar-samar dalam ingatan. Pengulangan sangat membantu untuk
memperbaiki semua kesan yang masih samar-samar itu untuk menjadi
kesan-kesan yang sesungguhnya, yang tergambar jelas dalam ingatan.
d) Menghafal bahan pelajaran.
Menghafal bahan pelajaran merupakan salah satu kegiatan dalam
rangka penguasaan bahan.
e) Membaca buku
Kegiatan membaca adalah kegiatan yang paling banyak dilakukan
selama menuntut ilmu di sekolah atau di perguruan tinggi.
f) Membuat ringkasan dan ikhtisar.
Bagian kegiatan yang tidak kalah pentingnya dari semua kegiatan
belajar adalah membuat ringkasan atau ikhtisar. Kegiatan ini dilakukan
dengan sadar dan dengan tujuan tertentu. Kegiatan membuat ringkasan atau
ikhtisar ini biasanya seseorang lakukan setelah dia selesai membaca buku,
suatu bab, atau sub bab tertentu. Kegiatan membuat ringkasan atau ikhtisar
ini tidak lain adalah kegiatan yang berupaya untuk memadatkan isi dengan
landasan kerangka dasarnya dan menghilangkan pikiran-pikiran jabaran.
g) Mengerjakan tugas
Selama menuntut ilmu di lembaga-lembaga pendidikan formal, baik
pelajar atau mahasiswa tidak akan pernah melepaskan diri dari keharusan
mengerjakan tugas-tugas studi. Tugas-tugas itu pun dapat mengasah
pemahaman para pelajar atau mahasiswa akan materi yang telah diajarkan.
h) Memanfaatkan Perpustakaan
Perpustakaan sebagai wadah berhimpunnya sejumlah literatur (buku)
yang diperuntukkan bagi mereka yang haus ilmu. dengan begitu, maka
perpustakaan terkesan menyenangkan dan menyejukkan bagi yang melihat
dan mendengarnya. Perpustakaan identik dengan dunia pendidikan. Maka
sudah seharusnya fungsi perpustakaan dimaksimalkan. Namun menurut
pemakalah, ada baiknya perpustakaan itu sendiri tidak digunakan untuk
tempat belajar, karena adanya keramaian pengunjung yang biasanya sesuai
dengan banyaknya buku. Perpustakaan dijadikan tempat mengambil
informasi-informasi dalam buku-buku. Sedang tempat belajar baiknya
berada di tempat yang tidak terlalu ramai bahkan sunyi tenang. Misalnya
didekat pancuran air dan tempat yang rimbun pepohonan, dengan bunyi air
yang khas insya Allah bisa meningkatkan daya pikir dan berada ditempat
yang kaya oksigen bisa membuat suasana menjadi sejuk dan membantu
kinerja otak yang membutuhkan oksigen. (Syaiful Bahri Djamarah, 2002 :
40)
Dr. Rudolf Pintner mengemukakan bagaimana cara-cara belajar yang baik
sebagai berikut:
1. Jangka waktu belajar
Dari berbagai percobaan ternyata jangka waktu belajar yang
produktif seperti menghafal, mengetik, mengerjakan soal hitungan dan
sebagainya adalah antara 20-30 menit. Jangka waktu yang lebih dari itu
untuk belajar yang benar-benar memerlukan konsentrasi perhatian relatif
kurang atau tidak produktif.
Jangka waktu tersebut tidak berlaku bagi mata pelajaran yang
memerlukan pemanasan, seperti sejarah, filsafat dan sebagainya.
2. Pembagian waktu belajar
Belajar yang terus menerus dalam jangka waktu yang lama tanpa
istirahat tidak efisien dan tidak efektif. Sehingga dalam hal ini pembagian
waktu belajar sangat diperlukan. Hukum Jost yang sampai sekarang diakui
kebenarannya yaitu 30 menit 2 kali sehari dalam 6 hari lebih baik dan efektif
dari pada sekali belajar selama 6 jam tanpa berhenti.
3. Membatasi kelupaan
Bahan pelajaran yang telah kita pelajari sering kali mudah dilupakan.
Maka untuk menghindari kelupaan bahkan lupa sama sekali, dalam belajar
perlu diadakan review untuk mengingat kembali bahan yang telah dipelajari.
Adanya review ini sangat penting, terutama bagi bahan pelajaran yang sangat
luas dan memakan waktu beberapa semester untuk mempelajarinya. (M.
Ngalim Purwanto, 2011 : 114-115)
Berikut ini adalah saran-saran yang dikemukakan Crow dengan
singkat dan terinci untuk mencapai hasil belajar yang efisien:
1. Miliki dahulu tujuan belajar yang pasti.
2. Usahakan adanya tempat belajar yang memadahi.
3. Jaga kondisi fisik jangan sampai mengganggu konsentrasi dan keaktifan
mental.
4. Rencanakan dan ikutilah jadwal untuk waktu belajar.
5. Selingilah belajar itu dengan waktu-waktu istirahat yang teratur.
6. Carilah kalimat-kalimat topik atau inti pengertian dari setiap paragrap.
7. Selama belajar gunakan metode pengulangan dalam hati (silent recitation).
8. Lakukan meode keseluruhan (whole methode) bilamana mungkin.
9. Usahakan agar dapat membaca cepat tetapi cermat.
10. Buatlah catatan-catatan atau rangkuman yang tersusun rapi.
11. Adakan penilaian terhadap kesulitan bahan untuk dipelajari lebih lanjut.
12. Susunlah dan buatlah pertanyaan-pertanyaan yang tetap, dan usahakan /
cobalah untuk menemukan jawabannya.
13. Pusatkan perhatian dengan sungguh-sungguh pada waktu belajar.
14. Pelajari dengan teliti tabel-tabel, grafik-grafik dan bahan ilustrasi lainnya.
15. Biasakanlah membuat rangkuman dan kesimpulan.
16. Buatlah kepastian untuk melengkapi tugas tugas belajar itu.
17. Pelajari baik-baik yang dikemukakan oleh pengarang, dan tenanglah jika
diragukan kbenarannya.
18. Analisis kebiasaan belajar yang dilakukan, dan cobalah untuk memperbaiki
kelemahan-kelemahannya. (M. Ngalim Purwanto, 2011:120-121)
KESIMPULAN

1. Hukum-Hukum Belajar bermuara dari Teori Koneksionisme yang di ungkapkan


oleh Edward Lee Thorndike (1874-1949) Menurut Thorndike, belajar merupakan
peristiwa terbentuknya asosiasi-asosiasi antara peristiwa-peristiwa yang disebut
stimulus (S) dengan respon (R ). Dari percobaan ini Thorndike menemukan
hukum-hukum belajar sebagai berikut :
a. Hukum Kesiapan (law of readiness)
Yaitu semakin siap suatu organisme memperoleh suatu perubahan tingkah
laku, maka pelaksanaan tingkah laku tersebut akan menimbulkan kepuasan
individu sehingga asosiasi cenderung diperkuat.Prinsip pertama teori
koneksionisme adalah belajar suatu kegiatan membentuk asosiasi(connection)
antara kesan panca indera dengan kecenderungan bertindak.
b. Hukum Latihan (law of exercise),
Yaitu semakin sering tingkah laku diulang/ dilatih (digunakan) , maka asosiasi
tersebut akan semakin kuat. Prinsip law of exercise adalah koneksi antara
kondisi (yang merupakan perangsang) dengan tindakan akan menjadi lebih
kuat karena latihan-latihan, tetapi akan melemah bila koneksi antara keduanya
tidak dilanjutkan atau dihentikan. Prinsip menunjukkan bahwa prinsip utama
dalam belajar adalah ulangan. Makin sering diulangi, materi pelajaran akan
semakin dikuasai.
c. Hukum akibat(law of effect)
Yaitu hubungan stimulus respon cenderung diperkuat bila akibatnya
menyenangkan dan cenderung diperlemah jika akibatnya tidak memuaskan.
Hukum ini menunjuk pada makin kuat atau makin lemahnya koneksi sebagai
hasil perbuatan.
d. Hukum Reaksi Bervariasi (multiple response)
Hukum ini mengatakan bahwa pada individu diawali oleh prooses trial dan
error yang menunjukkan adanya bermacam-macam respon sebelum
memperoleh respon yang tepat dalam memecahkan masalah yang dihadapi.
e. Hukum Sikap ( Set/ Attitude)
Hukum ini menjelaskan bahwa perilakku belajar seseorang tidak hanya
ditentukan oleh hubungan stimulus dengan respon saja, tetapi juga ditentukan
keadaan yang ada dalam diri individu baik kognitif, emosi , sosial , maupun
psikomotornya.
f. Hukum Aktifitas Berat Sebelah ( Prepotency of Element)
Hukum ini mengatakan bahwa individu dalam proses belajar memberikan
respon pada stimulus tertentu saja sesuai dengan persepsinya terhadap
keseluruhan situasi ( respon selektif).
g. Hukum Respon by Analogy
Hukum ini mengatakan bahwa individu dalam melakukan respon pada situasi
yang belum pernah dialami karena individu sesungguhnya dapat
menghubungkan situasi yang belum pernah dialami dengan situasi lama yang
pernah dialami sehingga terjadi transfer atau perpindahan unsur-unsur yang
telah dikenal ke situasi baru. Makin banyak unsur yang sama maka transfer
akan makin mudah.
h. Hukum perpindahan Asosiasi ( Associative Shifting)
Hukum ini mengatakan bahwa proses peralihan dari situasi yang dikenal ke
situasi yang belum dikenal dilakukan secara bertahap dengan cara
menambahkan sedikit demi sedikit unsur baru dan membuang sedikit demi

2. Diagnosis Kesulitan Belajar merupakan suatu prosedur dalam memecahkan


kesulitan belajar dengan mengidentifikasi jenis dan karakteristiknya, serta latar
belakang dari suatu kelemahan tertentu, serta mengimplikasikan suatu upaya
untuk meramalkan kemungkinan dan menyarankan tindakan pemecahannya.
Faktor-faktor yang menyebabkan kesulitan belajar individu dapat berupa faktor
internal, yaitu yang berasal dari dalam diri yang bersangkutan, dan faktor
eksternal, adalah faktor yang berasal dari luar diri yang bersangkutan.
Pelaksanaan kegiatan Diagnosis Kesulitan Belajar melibatkan guru dan siswa,
maka tujuan yang ingin dicapai juga berbeda antara guru dan siswa.
3. Alternatif pemecahan kesulitan belajar dapat dilakukan dengan cara observasi
kelas dengan memeriksa keadaan secara fisik bagaimana kondisi kelas dalam
kegiatan belajar ,pemeriksaan alat indera yang difokuskan pada tingkat kesehatan
siswa khusus mengenai alat indera, teknik main peran yang dilakukan oleh guru
untuk mengenali kepribadian anak dan keluarga, Tes Diagnostik Kecakapan/Tes
IQ/Psikotes untuk mengetahui sejauh mana IQ seseorang dapat dilihat dengan
cara menjawab pertanyaan-pertanyaan praktis dan sederhana , menyusun program
perbaikan.
Selain itu alternatif yang dapat diambil guru dalam mengatasi kesulitan
belajar siswa dapat dilakukan dengan cara :
a) Menganalisis hasil diagnosis, yakni menelaah bagian-bagian masalah dan
hubungan antar bagian tersebut untuk memperoleh pengertian yang benar
mengenai kesulitan kesulitan belajar yang dihadapi siswa.
b) Mengidentifikasi dan menentukan bidang kecakapan tertentu yang
memerlukan perbaikan.
c) Menyusun program perbaikan, khususnya program remedial teaching
(pengajaran perbaikan)

4. Hal yang perlu diperhatikan untuk cara belajar dengan baik, di antaranya adalah:
a) Mempunyai Fasilitas dan Perabotan Belajar.
b) Mengatur Waktu Belajar
c) Menguasai Bahan Pelajaran.
d) Menghafal bahan pelajaran.
e) Membaca buku
f) Membuat ringkasan dan ikhtisar.
g) Mengerjakan tugas
h) Memanfaatkan Perpustakaan
Sedangkan menurut Dr. Rudolf Pintner mengemukakan bagaimana cara-
cara belajar yang baik sebagai berikut:
a) Mengatur jangka waktu belajar sesuai dengan jenis plajaran yang
dipelajari
b) Pembagian waktu belajar secara berkala dan kontinu
c) Membatasi kelupaan dengan diadakan review untuk mengingat kembali
bahan yang telah dipelajari.
1. DAFTAR PUSTAKA

Djamarah, Syaiful Bahri. 2002. Rahasia Sukses Belajar. Jakarta: Rineka Cipta
Purwanto, M. Ngalim. 2011. Psikologi Pendidikan. Bandung: Remaja Rosdakarya
Syah, Muhibbin . 1999. Psikologi Belajar. Jakarta: Wacana Ilmu

DAPUS
http://mira-seplita.blogspot.co.id/2013/01/diagnosis-kesulitan-belajar.html?m=1

https://communicationista.wordpress.com/category/pengantar-psikologi-sosial/

Anda mungkin juga menyukai