Anda di halaman 1dari 10

Teori-teori Belajar

Disusun untuk memenuhi Tugas Mata kuliah Psikologi Belajar Matematika


Dosen Pengampu: Endah Retnowati, Ph.D.

Disusun Oleh :
Loviga Denny Pratama (16709251075)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA S2


PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
2016
I. Behaviorisme
Teori behavioristik atau behaviorisme memandang belajar sebagai perubahan tingkah
laku yang terjadi berdasarkan Stimulus dan Respons. Sebab menurut teori ini manusia adalah
individu yang pasif yang bisa dikontrol, dan tingkah laku manusia itu bisa dibentuk melalui
ganjaran dan hukuman. Menurut teori ini dalam belajar yang penting adalah input yang
berupa stimulus dan output yang berupa respon. Stimulus adalah apa saja yang diberikan guru
kepada pembelajar, sedangkan respon berupa reaksi atau tanggapan pebelajar terhadap
stimulus yang diberikan oleh guru tersebut. Proses yang terjadi antara stimulus dan respon
tidak penting untuk diperhatikan karena tidak dapat diamati dan tidak dapat diukur. Yang
dapat diamati adalah stimulus dan respon, oleh karena itu apa yang diberikan
oleh guru (stimulus) dan apa yang diterima oleh pebelajar (respon) harus dapat diamati dan
diukur. Teori ini mengutamakan pengukuran, sebab pengukuran merupakan suatu hal penting
untuk melihat terjadi atau tidaknya perubahan tingkah laku tersebut.
Faktor lain yang dianggap penting oleh aliran behavioristik adalah faktor penguatan
(reinforcement). Bila penguatan ditambahkan (positive reinforcement) maka respon akan
semakin kuat. Begitu pula bila respon dikurangi/dihilangkan (negative reinforcement) maka
respon juga semakin kuat.
Adapun aliran-aliran teori ini adalah:
1. Edward Lee Thorndike
Edward Lee Thorndike mengemukakan bahwa belajar adalah proses interaksi antara
stimulus dan respon. Stimulus yaitu apa saja yang dapat merangsang terjadinya kegiatan
belajar seperti pikiran, perasaan, atau hal-hal yang dapat ditangkap melalui alat indra.
Sedangkan respon adalah reaksi yang dimunculkan siswa ketika belajar, yang juga dapat
berupa pikiran, perasaan atau gerakan (tindakan).
Hukum Pengaruh Thorndike mengemukakan bahwa jika suatu tindakan diikuti oleh
suatu perubahan yang memuaskan dalam lingkungan, kemungkinan tindakan itu diulangi
dalam situasi yang mirip akan meningkat. Akan tetapi, bila suatu perilaku diikuti oleh suatu
perubahan yang tidak memuaskan dalam lingkungan, kemungkinan perilaku itu diulangi akan
menurun. Jadi konsekuensi perilaku seseorang pada suatu waktu memegang peranan penting
dalam menentukan perilaku orang itu selanjutnya.1

1
Prof. Dr. Ratna Wilis Dahar, M.Sc. 2011. Teori-teori Belajar dan Pembelajaran. Erlangga : Jakarta. Hal 19.
Teori belajar stimulus respon yang dikemukan Thorndike juga disebut
Koneksionisme. Terdapat beberapa dalil atau hukum yang dikemukakan Thorndike, yang
mengakibatkan munculnya stimulus respon ini, yaitu hukum kesiapan (law of readiness),
hukum latihan (law of exsercise) dan hukum akibat (law of effect).
Law of readiness menerangkan bagaimana kesiapan seseorang siswa dalam
melakukan suatu kegiatan. Seorang siswa yang mempunyai kecenderungan untuk bertindak
atau melakukan kegiatan tertentu dan kemudian dia benar melakukan kegiatan tersebut, maka
tindakannya akan melahirkan kepuasan bagi dirinya.
Law of exsercise menerangkan bahwa jika hubungan stimulus respon sering terjadi
akibatnya hubungan akan semakin kuat. Sedangkan makin jarang hubungan stimulus respon
dipergunakan, maka makin lemahlah hubungan yang terjadi.
Law of effect berarti suatu tindakan akan menimbulkan pengaruh bagi tindakan yang
serupa. Ini memberikan gambaran bahwa jika suatu tindakan yang dilakukan seorang siswa
menimbulkan hal-hal yang mengakibatkan bagi dirinya, tindakan tersebut cenderung akan
diulanginya. Sebaliknya tiap-tiap tindakan yang mengakibatkan kekecewaan atau hal-hal
yang tidak menyenangkan, cenderung akan dihindarinya. Dilihat dari ciri-cirinya ini hukum
akibat lebih mendekati ganjaran dan hukuman.

2. B. F. Skinner
Teori yang dikembangkan Skinner terkenal dengan “Operant Conditioning”, yaitu
bentuk belajar yang menekankan respon-respon atau tingkah laku yang sukarela dikontrol
oleh konsekuen-konsekuennya. Proses “operant conditioning” dijelaskan oleh Skinner
melalui eksperimennya terhadap tikus, yang terkenal dengan “Skinner box”. Berdasarkan
eksperimennya, Skinner berkesimpulan bahwa “operant conditioning” lebih banyak
membentuk tingkah laku manusia dari pada classical conditioning”, karena kebanyakan
respon-respon manusia lebih bersifat disengaja daripada reflektif.
Sebagian besar teori skinner adalah tentang perubahan tingkah laku, belajar dan
modifikasi perilaku. Bersama banyak teori tikus, Skinner yakin bahwa pemahaman tentang
kepribadian akan tumbuh dari tinjauan tentang perkembangan tingkah laku organism manusia
dalam interaksinya yang terus menerus dengan lingkungan. Maka, interaksi ini telah menjadi
pusat sejumlah besar penelitian eksperimental yang dilakukan secara cermat. Konsep kunci
dalam system Skinner adalah prinsip perkuatan (principle reinforcement); maka pandangan
Sknner sering disebut sebagai teori penguatan operan (operant reinforcement theory).
Eksperimen yang dilakukan Skinner terkenal dengan nama “Skinner box”.
Eksperimen ini terdir dari ruangan yang di dalamnya terdapat tombol, tempat makanan,
lampu nyang dapat diatur nyalanya, dan lantai yang terdiri dari jeruji besi yang dapat dialiri
listrik. Tempat makanan dan minuman diatur sedemikian rupa sehingga jika tombol makanan
tertekan, makanan dapat jatuh ditempat makanan.

Eksperimen ini dimulai dengan memasukkan seekor tikus lapar ke dalam box. Tikus
tersebut akan beroperasi dengan melakukan gerakan-gerakan. Saat dengan tanpa sengaja
tikus menekan tuas maka mesin akan aktif dan makanan akan meluncur dari tempat makanan.
Oleh karena itu, tikus akan melakukan aktivitas yang sama untuk memperoleh makanan
dengan jalan menekan tuas dan memperoleh makanan. Hubungan akan terbentuk bila
makanan tetap merupakan hadiah untuk kegiatan tikus, sebab jika tidak keluar atau tidak ada
hadiah, maka hubungan lama-lama mengendor, bahkan hilang.
Skinner membedakan antara tingkah laku responden dan tingkah laku operan.
Tingkah laku responden adalah tingkah laku yang ditimbulkan oleh stimulus yang jelas.
Misalnya kucing berlari kesana kemari karena ada daging yang dilihatnya. Contoh tingkah
laku responden lain adalah jika seorang anak belajar(telah melakukan perbatan), lalu
mendapatkan hadiah, maka dia akan menjadi lebih giat belajar(respon menjadi lebih kuat).
Sedangkan tingkah laku operan adalah tingkah laku yang ditimbulkan oleh stimulus
yang belum diketahui atau semata-mata ditimbulkan oleh organism itu sendiri. Misalnya:
kucing lari kesana kemari karena kucing itu lapar, bukan karena melihat daging atau
keluarnya air liur ketika melihat makanan. Dari kedua tingkah laku tersebut, Skinner lebih
menekankan pada operan behavior.

Penerapan behaviorisme dalam pembelajaran


Penerapan teori behaviorisme di dalam pembelajaran dimulai dengan melakukan
analisis kebutuhan siswa, kemudian dilanjutkan dengan menetapkan tujuan pendidikan atau
pembelajaran. Dalam pendekatan behaviorisme, hal ini disebut dengan behavioral outcame.
Penerapan behaviorisme di dalam dunia pendidikan dapat tercermin dari perumusan tujuan
pembelajaran, penerapan mesin belajar atau teaching mechine yang dapat juga disebut
dengan istilah pembelajaran terprogram atau programmed instruction, pembelajaran
individual atau individualized instructional, pembelajaran dengan bantuan computer atau
computer-assited learning dan pendekatan system (Jamaris, 2013).
Tujuan pembelajaran menurut behaviorisme adalah behaviorial learning outcome,
dinyatakan secara spesifik berikit ini.
A– Audience adalah siswa.
B– Behavior perilaku atau kompetensi yang perlu ditampilkan setelah proses belajar
dilakukan, sperti “menjawab dengan benar”.
C– Condition setelah menyelesaikan unit pelajaran yang dievaluasi di akhir proses
pembelajaran.
D– Degree, yaitu pencapaian hasil belajar, misalnya 90%.
Integrasi dari keempat faktor tersebut maka dirumuskan tujuan pembelajaran sebagai
berikut: “Siswa kelas 3 SD dapat menjawab dengan benar soal-soal yang berkaitan dengan
operasi bilangan setelah mempelajari materi yang mebahas operasi bilangan dengan tingkat
pencapaian hasil belajar 90%” (Jamaris, 2013).

II. Kognitivisme
A. Pandangan Kognitivisme tentang pembelajran
Teori kognitif pada hakikatnya adalah teori yang mnejelaskan hal-hal yang berkaitan
dengan kemampuan manusia dalam memahami berbagai pengalaman sehingga mengandung
makna bagi manusia tersebut. Kognitif adalah proses yang terjadi secara internal di dalam
pusat susunan syaraf pada waktu manusia sedang berpikir (Jamaris, 2013:126 ). Teori
kognitif menekankan peranan struktur ingatan dan pengetahuan terhadap proses penerimaan,
pemorsesan penyimpanan, pemanggilan kembali informasi yang ada di pusat memori,
selanjutnya menjelaskan proses pengolahan informasi. Dengan demikian, kognitivisme
belajar bukan sekedar menjelaskan kegiatan yang berkaitan dengan latihan dan penguatan
atau reward.
Kognitivisme meyakini bahwa belajar adalah hasil dari usaha individu dalam
memaknai pengalaman-pengalaman yang berkaitan dengan dunia di sekitarnya. Oleh sebab
itu, belajar adalah proses yang melibatkan individu secara aktif.
Pada saat ini, teori-teori kognitif lebih banyak digunakan di dalam dunia pendidikan
dan pembelajaran, khususnya yang berkaitan dengaan proses belajar di dalam dan di luar
kelas. Para guru yang menerapkan pendekatan pendidikan dan pembelajaran yang berbasis
kognitivisme memandang proses pendidikan dan pembelajaran merupakan suatu proses aktif
dan konstruktif yang melibatkan kemampuan kognitif dari kemampuan awal sampai pada
kemampuan tingkat tinggi.
B. Proses pembelajaran kognitif
Mengembangkan kompetensi dalam bidang apapun mebutuhkan proses penguasaan
kemampuan. Kita mulai dengan mencermati isu-isu yang terkait dengan penguasaan
kemampuan umum dan khusus. Kemampuan dapat dibedakan menurut tingkatan kekhususan.
Kemampuan umum digunakan dalam berbagai disiplin yang luas. Kemampuan khusus hanya
berguna dalam ranah-ranah tertentu.
Pemrosesan informasi merupakan salah satu bentuk pendekatan berdasarkan
kognitivisme. Pendekatan ini memandang proses belajar yang terjadi dalam diri individu
sebagai suatu proses. Pada dasarnya, proses penerimaan informasi adalah usaha pencarian
makna yang dapat menjelaskan hubungan antara stimulus yang ditangkap oleh panca indra
(input)
Proses Penerimaan informasi

Encoding
SensoryM Working
Sense emory Memory Retrieval Long term
Registers memory
Attention
Perseption

Patter recognation

Forgetten

C. Teori perkembangan kognitif menurut Piaget


Jean Piaget menyebutkan bahwa bahwa perkembangan mendahului pembelajaran.
Dengan kata lain, struktur kognisi tertentu perlu berkembang sebelum jenis-jenis
pembelajaran tertentu dapat terjadi. Teori perkembangan kognitif Piaget adalah salah satu
teori yang menjelasakan bagaimana anak beradaptasi dengan dan menginterpretasikan objek
dan kejadian-kejadian sekitarnya. Piaget memandang bahwa anak memainkan peran aktif
dalam menyusun pengetahuannya mengenai realitas. Anak tidak pasif menerima informasi.
Untuk lebih memahami mengenai teori perkembangan kognitif dipaparkan bagian-bagain
penting dalam teori Piaget.

D. Teori Bruner
Jerome S. Bruner adalah seorang ahli psikologi perkembangan dan ahli psikologi belajar
kognitif. Pendekatannya tentang psikologi adalah eklektik. Penelitiannya yang demikian banyak itu
meliputi persepsi manusia, motivasi, belajar dan berfikir. Dalam mempelajarai manusia, ia
menganggap manusia sebagai pemproses, pemikir dan pencipta informasi. Bruner menganggap,
bahwa belajar itu meliputi tiga proses kognitif, yaitu memperoleh informasi baru, transformasi
pengetahuan, dan menguji relevansi dan ketepatan pengetahuan. Pandangan terhadap belajar yang
disebutnya sebagai konseptualisme instrumental itu, didasarkan pada dua prinsip, yaitu pengetahuan
orang tentang alam didasarkan pada model-model mengenai kenyataan yang dibangunnya, dan
model-model itu diadaptasikan pada kegunaan bagi orang itu.
Pematangan intelektual atau pertumbuhan kognitif seseorang ditunjukkan oleh bertambahnya
ketidaktergantungan respons dari sifat stimulus. Pertumbuhan itu tergantung pada bagaimana
seseorang menginternalisasi peristiwa-peristiwa menjadi suatu ”sistem simpanan” yang sesuai dengan
lingkungan. Pertumbuhan itu menyangkut peningkatan kemampuan seseorang untuk mengemukakan
pada dirinya sendiri atau pada orang lain tentang apa yang telah atau akan dilakukannya.
Menurut Bruner belajar bermakna hanya dapat terjadi melalui belajar penemuan. Pengetahuan
yang diperoleh melalui belajar penemuan bertahan lama, dan mempunyai efek transfer yang lebih
baik. Belajar penemuan meningkatkan penalaran dan kemampuan berfikir secara bebas dan melatih
keterampilan-keterampilan kognitif untuk menemukan dan memecahkan masalah.
Dalam teori belajarnya Jerome Bruner berpendapat bahwa kegiatan belajar akan berjalan baik
dan kreatif jika siswa dapat menemukan sendiri suatu aturan atau kesimpulan tertentu. Dalam hal ini
Bruner membedakan menjadi tiga tahap. Ketiga tahap itu adalah:

a. Tahap informasi, yaitu tahap awal untuk memperoleh pengetahuan atau pengalaman
baru. Dalam tahap ini, seorang siswa yang sedang belajar memperoleh sejumlah
keterangan mengenai materi yang sedang dipelajari.
b. Tahap transformasi, yaitu tahap memahami, mencerna dan menganalisis pengetahuan
baru serta ditransformasikan dalam bentuk baru yang mungkin bermanfaat untuk hal-hal
yang lain. Dalam tahap ini, informasi yang telah diperoleh itu dianalisis, diubah atau
ditransformasikan menjadi bentuk yang abstrakatau konseptual.
c. Tahap evaluasi, yaitu untuk mengetahui apakah hasil transformasi pada tahap kedua tadi
benar atau tidak. Dalam tahap evaluasi, seorang siswa menilai sendiri sampai sejauh
mana informasi yang telah ditransformasikan tadi dapat dimanfaatkan untuk memahami
gejala atau masalah yang dihadapi.

III. Kontruktivisme
Kontruktivisme adalah perspektif psikologis dan filosofis yang memandang bahwa
masing-masing individu membentuk atau membangun sebagian besar dari apa yang mereka
pelajari dan mereka pahami. Pengaruh besar yang mendorong kemunculan kontruktivisme
adalah teori dan penelitian dalam ilmu perkembangan manusia, terutama teori-teori Piaget
dan Vygotsky. Gambaran umum kontruktivisme memberikan gambaran yang
mengetengahkan bahwa siswa menciptakan pembelajaran mereka sendiri. Teori kontruktivis
membantah pemikiran bahwa kebenaran-kebenaran ilmiah itu ada dan menunggu untuk
ditemukan dan diverivikasi. Mereka berpendapat bahwa tidak ada pernyataan yang dapat
dianggap benar, pernyataan harus dipandang dengan keraguan yang masuk akal. Dengan
tidak memandang pengetahuan sebagai kebenaran, para kontruktivis menginterpretasikan
pengetahuan sebagai sebuah hipotesis kerja (working hypothesis). Pengetahuan tidak
ditentukan dari luar diri manusia, tetapi terbentuk di dalam diri mereka. Interpretasi-
interpretasi seseorang benar bagi orang tersebut, tapi tidak mesti benar untuk orang lain.
Kontruktivisme menyoroti interaksi orang-orang dan situasi-situasi dalam penguasaan
dan penyempurnaan keterampilan-keterampilan dan pengetahuan. Kontruktivisme
berlawanan dengan teori-teori pengkondisian, yang menitikberatkan pengaruh, dari
lingkungan terhadap orang-orang. Kontruktivisme juga bertentangan dengan teori-teori
pengolahan informasi yang menempatkan fokus pembelajaran di dalam benak individu dan
tidak terlalu memperhatikan konteks di mana pembelajaran tersebut terjadi. Tetapi
kontruktivisme memiliki asumsi yang senada dengan teori kognitif sosial yang menyatakan
bahwa orang, perilaku, dan lingkungan berinteraksi secara timbal balik. Asumsi utama dari
kontruktivisme adalah, manusia merupakan siswa aktif yang mengembangkan pengetahuan
bagi diri mereka sendiri. Untuk memahami materi dengan baik, siswa harus menemukan
prinsip-prinsip dasar dalam suatu pembelajaran (Schunk, 2012:322-323).
Kontruktivisme juga telah mempengaruhi pemikiran dalam bidang pendidikan
mengenai kurikulum dan pengajaran. Paham ini menitikberatkan terhadap kurikulum terpadu.
Di mana siswa mempelajari sebuah topik menurut lebih dari satu perspektif. Asumsi
kontruktivis lainnya adalah guru sebaiknya tidak mengajar dalam artian menyampaikan
pelajaran dengan cara traditional kepada siswa-siswa. Guru seharusnya membangun situasi
sedemikian rupa sehingga siswa dapat terlibat secara aktif dengan materi pelajaran melalui
pengolahan-pengolahan materi dan interaksi sosial.
Perspektif-perspektif tentang konstruktivisme
Perspektif Dasar pikiran
Eksogenus Penguasaan pengetahuan mempresentasikan sebuah kontruksi
ulang dari dunia luar. Dunia mempengaruhi keyakinan-
keyakinan melalui pengalaman-pengalaman, pegamatan
terhadap model-model dan pengajaran. Pengetahuan dipandang
akurat jika ia mencerminkan realitas eksternal.

Endogenous Pengetahuan diperoleh dari pengetahuan yang telah dipelajari


sebelumnya, tidak secara langsung dari interaksi-interaksi
lingkungan. Pengetahuan bukanlah sebuah cermin dari dunia
luar, pengetahuan itu melalui abstraksi kognitif

Dialektikal Penegathuan diperoleh dari interaksi-interaksi antara orang-


orang dengan lingkungan-lingkungan mereka. Konstruksi-
konstruksi atau interpretasi-interpretasi tidak selalu terikat
dengan dunia luar ataupun keseluruhan kegiatan pikiran.
Pengetahuan mencerminkan hasil-hasil dari kontardiksi-
kontradiksi mental yang ditimbulkan dari interaksi-interaksi
seseorang dengan lingkungan.
(Schunk, 2012:325)
Para pakar kontruntivis mengasumsikan bahwa siswa menyusun pengetahuan dan
cara untuk mendapatkan dan menerapkannya. Dua poin kunci yang mendasari asumsi ini
adalah bahwa pengaruh sosialkultural merupakan hal yang penting sehingga orang-orang
membentuk teori implisit mengenai diri mereka, orang lain dan bagaimana mengelola
tuntutan.
Adapun asumsi-asumsi kontruktivis tentang pengaturan diri antara lain: 1) ada sebuah
motivasi intrinsik untuk mencari informasi 2) pemahaman melampaui informasi yang
diberikan 3) representasi mental berubah seiring perkembangan 4) ada perbaikan progresif
dalam tingkatan pemahaman 5) ada hambatan perkembangan dalam pembelajaran 6) refleksi
dan rekontruksi merangsang pembelajaran (Schunk, 2012:580)
Berkaitan dengan kontruktivis dalam kaitannya dengan sosiokultural, teori Vygotsky
mengenai perkembangan manusia yang berfungsi dengan baik. Vygotsky meyakini bahwa
orang-orang dan lingkungan budaya adalah hal yang berperan dalam sistem interaksi sosial.
Melalui komunikasi dan tindakan, orang-orang yang berada dalam ingkungan, mengajarkan
alat-alat kepada anak (misalnya bahasa, simbol dan tanda) yang mereka butuhkan untuk
memperoleh kompetensi. Dengan menggunakan alat ini di dalam sistem, siswa
mengembangkan fungsi kognitif yang lebih tinggi seperti konsep pemrolehan dan pemecahan
masalah.selain itu Vygotsky menggunakan istilah higher metal function (fungsi mental yang
lebih tinggi), maksudnya adalah kesadaran yang diarahkan pada proses pemikiran. Vygotsky
meyakini bahwa orang-orang dapat mengendalikan tindakan mereka (Misalnya, belajar
mengatur diri). Mekanisme utama yang mempengaruhi pengaturan diri adalah bahasa dan
zone of proximal development (ZPD). Pengaturan diri juga tergantung pada kesadaran siswa-
siswa pada perilaku yang diterima dalam pergaula sosial. Makna tindakan tergantung konteks
dan alat (bahasa, tanda dan simbol) yang digunakan untuk menjelaskan tindakan. Melalui
interaksi dengan orang dewasa dalam ZPD, anak melakukan transisi dari perilaku yang
diaturoleh orang lain menuju perilaku yang diatur oleh diri mereka sendiri (Schunk,
2012:580-581)

Referensi
Jamaris, M. (2013). Orientasi Baru dalam Psikologi Pendidikan. Bogor: Ghalia Indonesia.
Schunk, D. (2012). Teori-teori Pembelajaran: Perspektif Pendidkan. (diterjemahkan oleh
Eva Hamdiah dan Rahmat Fajar). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Wilis, Ratna. (2011). Teori-teori Belajar dan Pembelajaran. Erlangga : Jakarta

Anda mungkin juga menyukai