TEORI-TEORI TENTANG
BELAJAR DAN
PEMBELAJARAN
A. PENDAHULUAN
Sudah banyak ahli psikologi dan ahli pendidikan yang mengajukan
teori tentang belajar. Teori-teori itulah yang kemudian dapat menjadi
landasan pemikiran guru dan pemerhati pendidikan untuk merancang
dan mengelola proses pembelajaran. Dalam bab ini, teori belajar akan
dibahas dalam empat aliran utama yang dikelompokkan berdasarkan
orientasinya masing-masing. Keempat aliran yang dimaksud ialah: 1)
teori yang berorientasi pada tingkah laku (behaviorisme), 2) teori yang
berorientasi pada kemampuan kognitif (kognitivisme), 3) teori yang
berorientasi pada pengembangan sifat kemanusiaan (humanisme), dan
4) teori yang berorientasi pada pola belajar antar sesama manusia.
Edward Thorndike
Thorndike adalah ahli yang berpendapat bahwa pengalaman
adalah sumber gagasan-gagasan dan hanya tingkah laku nyata saja yang
dapat dipelajari. Selain itu dia mengemukakan bahwa cara belajar pada
hewan dan manusia pada dasarnya berlangsung menurut prinsip-
prinsip yang sama. Thorndike menggagas teorinya berdasarkan hasil
penelitian terhadap kucing yang dikurung dalam kotak. Dalam hal ini,
dia berpendapat bahwa belajar dapat terjadi kalau ada stimulus dan ada
respons pada individu yang belajar. Dengan kata lain, belajar adalah
proses interaksi antara stimulus dan respon. Oleh karena itu, teori
belajar ini disebut juga sebagai teori stimulus dan respon (S-R). Banyak
kegiatan pembelajaran di sekolah yang dilakukan dengan mengacu pada
teori ini. Misalnya, guru mengajukan pertanyaan sebagai stimulus (S),
dan siswa diminta untuk menjawab pertanyaan guru sebagai respon
(R), atau guru memberi PR (S), dan siswa mengerjakannya (R). Dengan
demikian, belajar adalah upaya untuk membentuk hubungan antara
stimulus dengan respon sebanyak-banyaknya. Oleh karena itu, teori ini
disebut juga sebagai teori koneksionisme. Stimulus dapat berupa pikiran,
perasaan, atau gerakan yang bersumber dari lingkungan sekitar,
B.F Skinner
Skinner mendeskripsikan hubungan antara stimulus dan respon
untuk menjelaskan perubahan tingkah laku dalam hubungannya dengan
lingkungan. Skinner membuat kemajuan yang cukup kuat dalam hal
memperbaharui teori behavorisme. Misalnya, dia menemukan bahwa
penghargaan (rewards) tidak perlu diberikan setiap ada reaksi stimulus-
respon. Respon yang diberikan oleh peserta didik tidaklah sesederhana
itu, sebab pada dasarnya setiap stimulus yang diberikan berinteraksi
satu dengan lainnya, dan interaksi ini akhirnya mempengaruhi respon
yang dihasilkan tersebut.
Respon yang diberikan juga menghasilkan berbagai konsekuensi
yang pada gilirannya akan mempengaruhi tingkah laku peserta didik.
Oleh sebab itu, untuk memahami tingkah laku peserta didik secara
tuntas kita harus memahami hubungan antara satu stimulus dengan
stimulus lainnya, memahami respon itu sendiri, dan berbagai
konsekuensi yang diakibatkan oleh respon tersebut. Skinner juga
menjelaskan bahwa menggunakan perubahan-perubahan mental untuk
menjelaskan tingkah laku harus dijelaskan lagi. Misalnya, bila kita
mengatakan bahwa ”seorang peserta didik berprestasi buruk karena
mengalami frustrasi” akan menuntut kita untuk menjelaskan apa yang
dimaksud dengan frustasi. Selanjutnya, penjelasan tentang frustrasi
akan memerlukan penjelasan yang lain dan hal seperti ini akan terus
berlanjut.
Jean Piaget
Teori Piaget terfokus pada perkembangan pola berpikir mauali
dari bayi sampai dewasa. Menurut Piaget, belajar adalah proses aktif
dan berkaitan dengan interaksi individu dengan lingkungannya. Piaget
berpendapat bahwa proses pembelajaran harus disesuaikan dengan
tahap perkembangan kognitif yang dilalui oleh seseorang. Jean Piaget
membagi fase perkembangan kognitif ini menjadi empat tahap yakni :
(1) tahap sensorimotor yang dimulai sejak lahir sampai dengan usia 2
tahun. Pada tahap ini, anak mempelajari lingkungannya melalui
gerakan dan perasaan serta mempelajari objek secara permanen; (2)
tahap praoperasional berlangsung dari usia 2 – 7 tahun, pada fase ini
seorang anak memiliki kemampuan berpikir magis yang lebih
berkembang dan mulai memperoleh keterampilan motorik; (3) tahap
operasional konkrit mulai dari usia 7 – 11 tahun. Anak-anak yang
berada dalam fase ini mulai dapat berpikir secara logis tetapi
David Ausubel
Menurut Ausubel, peserta didik akan belajar dengan baik jika apa
yang disebut pengatur kemajuan belajar (advance organizers) di-
definisikan dan dipresentasikan dengan baik dan tepat kepada mereka.
Pengatur kemajuan belajar adalah konsep atau informasi umum yang
Jerome Bruner
Jerome Bruner adalah seorang ahli psikologi dari Universitas
Harvard, Amerika Serikat. Bruner termasuk pelopor aliran psikologi
kognitif yang memberikan perhatian terhadap pentingnya pengem-
bangan kemampuan berpikir. Dasar pemikiran teorinya memandang
bahwa manusia sebagai pemikir, pengelola, dan pencipta informasi.
Bruner mengusulkan suatu teori yang disebut belajar melalui investigasi
bebas (free discovery learning). Menurut teori ini, proses belajar akan
dapat berlangsung dengan aktif, kreatif, efektif dan menyenangkan jika
pendidik memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk mene-
mukan suatu aturan termasuk konsep, teori, definisi, dan sebagainya
melalui contoh-contoh yang menggambarkan atau mewakili aturan yang
menjadi sumbernya. Dengan kata lain peserta didik dibimbing secara
induktif untuk memahami suatu kebenaran umum. Untuk memahami
konsep tentang kejujuran misalnya, peserta didik semata-mata harus
menghafal definisi dari kejujuran, melainkan dengan mempelajari dan
mempraktekkan contoh-contoh konkret tentang kejujuran. Berdasarkan
contoh-contoh seperti itulah peserta didik difasilitasi untuk membangun
definisi sendiri tentang kejujuran.
Sekuensi
Berkaitan dengan modus atau pola refresentasi di atas, Bruner
menyatakan bahwa model penyajian materi pembelajaran sebaiknya
berlangsung melalui sekuensi atau tahapan-tahapan tertentu yakni
mulai dari tahap Enaktif (hands-on, concrete), ke tahap Ikonik (visual),
dan terakhir ke tahap simbolik (description or mathematical symbols).
Dalam tahap Enaktif, peserta didik secara langsung dilibatkan
dalam kegiatan memanipulasi (mengutak-atik) objek-objek yang ber-
kaitan dengan materi pelajaran secara langsung. Pada tahap ini peserta
didik mempelajari sesuatu pengetahuan secara aktif dengan meng-
gunakan benda-benda konkrit atau menggunakan situasi nyata. Dengan
cara ini peserta didik akan mengetahui dan memahami sesuatu dari
proses berbuat atau melakukan sesuatu.
Kegiatan yang dilakukan peserta didik dalam tahap Ikonik,
berhubungan dengan mental yang merupakan gambaran dari objek-
objek yang dimanipulasinya (Winataputra, 1993). Tahap ikonik adalah
tahapan pembelajaran suatu pengetahuan yang dipresentasikan dalam
bayangan visual, gambar atau diagram yang menggambarkan situasi
konkret yang terdapat pada tahap enaktif. Pada tahap ini bahasa
Motivasi
Komponen keempat teori Bruner adalah motivasi. Wolfolk,
(2004) mendefinisikan motivasi sebagai potensi individual yang ber-
peran dalam mengarahkan dan memelihara perilaku. Motivasi meliputi
lima aspek yakni: 1) berkenaan dengan penentuan pilihan, 2) waktu
seseorang memulai suatu kegiatan, 3) intensitas keterlibatan, 4)
objek/hal yang menyebabkan seseorang mendapatkan semangat, dan 5)
apa yang dipikirkan atau dirasakan seseorang pada saat melakukan
suatu kegiatan. Motivasi berkaitan dengan sanksi (punishment) dan
penghargaan (reward), dan bisa berupa dorongan dari luar diri atau dari
dalam diri seseorang. Motivasi dari dalam diri seseorang disebut
ekstinsik (extrinsic motivation) adalah dorongan yang terjadi karena
adanya keinginan mendapatkan hadiah (reward) dan atau menghindari
John Dewey
Merupakan anggota gerakan fundamentalis yang menolak model
stimulus-respons. Dewey lebih tertarik pada pola pendidikan
demokratis dan memandang penting terhadap peran refleksi dalam
proses pendidikan. Dia meyakini bahwa interaksi manusia dengan
lingkungan memberikan kontribusi pada gagasan bahwa belajar adalah
bagian dari kegiatan membimbing diri sendiri untuk menemukan
sesuatu (self-guided discovery).
David Kolb
Kolb membagi proses belajar ke dalam empat macam, yaitu 1)
pengalaman konkrit, 2) pengamatan aktif dan reflektif, 3) konsep-
tualisasi, 4) eksperimentasi aktif. Pada tahap paling awal dalam proses
belajar, seorang peserta didik hanya sekedar mampu ikut mengalami
suatu kejadian. Dia belum mempunyai kesadaran tentang hakekat
kejadian tersebut. Diapun belum mengerti bagaimana dan mengapa
suatu kejadian harus terjadi seperti itu. Pada tahap kedua yaitu
pengamatan aktif dan reflektif, peserta didik tersebut akan mampu
mengadakan observasi aktif terhadap kejadian yang dialaminya serta
mulai berusaha memikirkan dan memahaminya. Tahap selanjutnya
peserta didik akan belajar untuk membuat abstraksi atau teori tentang
sesuatu hal yang pernah diamatinya. Pada tahap ini, peserta didik
diharapkan sudah mampu untuk membuat aturan-aturan umum
(generalisasi) dari berbagai contoh kejadian yang meskipun tampak
berbeda-beda tetapi mempunyai landasan aturan yang sama. Tahap
terakhir yaitu eksperimentasi aktif, peserta didik diharapkan sudah
mampu mengaplikasikan suatu aturan umum ke situasi yang baru.
Dalam bidang matematika, misalnya peserta didik tidak banyak
memahami asal-usul sebuah rumus, tetapi ia mampu memakai rumus
untuk memecahkan suatu masalah yang belum pernah ia temukan
sebelumnya. Menurut Kolb, siklus belajar semacam itu terjadi secara
berkesinambungan dan berlangsung di luar kesadaran si peserta didik.
Dengan kata lain, meskipun dalam teorinya kita mampu membuat garis
tegas antara tahap satu dengan tahap lainnya, namun dalam praktik
BAB 2: Teori-teori tentang Belajar dan Pembelajaran 29
peralihan dari satu tahap ke tahap lainnya itu seringakali terjadi begitu
saja, sulit kita tentukan kapan beralihnya.
Kolb juga berpendapat bahwa peserta didik dapat dikelompokkan
ke dalam empat tipe, yakni aktivis, reflektor, teoris, dan pragmatis
(Kelly, 1997). Peserta didik tipe aktivis cenderung suka melibatkan diri
pada pengalaman-pengalaman baru yang menantang seperti curah
pendapat (brain-storming) atau aktivitas menyelesaikan masalah
(problem solving), dan cenderung cepat merasa bosan terhadap hal-hal
yang monoton. Peserta didik tipe reflektor, biasanya cenderung berhati-
hati dalam mengambil keputusan, konservatif atau mempertimbangkan
dengan cermat akan baik buruknya suatu keputusan. Peserta didik tipe
teoritis cenderung kritis, senang menganalisis, dan tidak menyukai
pendapat atau penilaian yang sifatnya subyektif. Bagi mereka, berpikir
secara rasional adalah suatu hal yang penting. Mereka biasanya bersifat
skeptis dan tidak menyukai hal-hal yang bersifat spekulatif. Adapun
peserta didik dengan tipe pragmatis umumnya menaruh perhatian
besar pada aspek-aspek praktis dari apa yang dipelajari. Bagi peserta
didik tipe ini teori menjadi penting hanya jika dapat dipraktekkan.
Mereka tidak suka bertele-tele membahas aspek teoritis-filosofis dari
sesuatu.
Kolb juga memberikan penekanan pada pentingnya pengalaman
belajar dalam proses pengembangan sikap, perolehan pengetahuan dan
keterampilan. Dalam hal ini dia mengajukan dua pola mengenai cara
mendapatkan pengalaman belajar, yaitu: (1) Pengalaman Nyata (PN)
artinya merasakan sesuatu melalui pengalaman praksis, dan (2)
Konseptualisasi Abstrak (KA) artinya membuat kesimpulan dan
memikirkan kembali pengalamannya. Selain itu menurut Kolb juga ada
dua pola untuk mentransformasi pengalaman menjadi pengetahuan
yaitu: (1) melalui Pengamatan Reflektif (PR) artinya mengamati
pengalamannya dan luaran dari pengalaman itu secara aktif, (2) melalui
Eksperimen Aktif (EA) yakni dengan merencanakan bagaimana cara
untuk menguji sesuatu dengan kegiatan.
Keempat pola tersebut kemudian membentuk siklus yang saling
mengikuti satu sama lain seperti: Pengalaman Nyata (PN) – (KA) – (PR)
– (EA) dans seterusnya. Proses belajar dapat dimulai di mana saja
dengan salah satu dari empat komponen itu. Setiap peserta didik
memiliki kelebihan pada salah satu atau lebih dari pola tersebut dan
belajar lebih baik dari temannya. Berdasarkan keberadaan pola itu pada
seseorang peserta didik, maka Kolb mengelompokkan peserta didik
menjadi:
F. KONSTRUKTIVISME
Konstruktivisme adalah istilah yang sering digunakan dalam
konteks pembelajaran dewasa ini. Ahli filsafat pendidikan menggunakan
istilah konstruktivisme sebagai teori epistemologi yang merujuk pada
sifat alami pengetahuan bagi seseorang. Ahli psikologi kognitif meng-
gunakan istilah tersebut untuk mendeskripsikan segala aktivitas belajar
manusia. Para pengembang pembelajaran menyatakan konstruktivisme
G. UNSUR-UNSUR BELAJAR
Sebagai aktivitas yang berkesinambungan belajar memiliki bebe-
rapa unsur yang perlu diperhatikan oleh pendidik. Adapun unsur-unsur
belajar tersebut sebagai berikut.
1. Tujuan belajar. Belajar akan terjadi jika ada tujuan yang ingin
dicapai. Terpenuhinya tujuan belajar diharapkan dapat memenuhi
kebutuhan peserta didik.
2. Kesiapan pebelajar. Proses belajar akan bermakna jika pebelajar
telah memiliki kesiapan secara fisik, psikis, dan kesiapan lain
berupa pengetahuan dan kemampuan untuk melakukan sesuatu.
3. Situasi pendukung. Belajar harus berlangsung dalam kondisi yang
mendukung terjadinya kegiatan belajar. Termasuk ke dalam unsur
ini adalah tempat, alat, bahan dan sumber-sumber belajar.
4. Interpretasi. Dalam menghadapi situasi belajar, maka peserta
didik akan mengadakan interpretasi yakni menemukan hubungan
antara komponen-komponen situasi belajar, menemukan makna
dari hubungan antar komponen dan menghubungkannya dengan
H. RANGKUMAN
Pendidik pada semua jenjang pendidikan harus memiliki
pengetahuan dan wawasan yang mantap tentang teori-teori belajar dan
mampu menggunakannya dalam merancang dan melaksanakan pem-
belajaran. Ada banyak ahli psikologi dan ahli pendidikan yang telah
mengembangkan teori-teori belajar. Secara umum teori-teori tersebut
diklasifikasikan ke dalam beberapa kelompok antara lain seperti yang
telah dibahas dalam bab ini. Teori belajar behaviorisme merupakan
teori belajar yang paling awal. Para ahli pendukung teori ini me-
nekankan pentingnya perubahan perilaku sebagai hasil belajar. Teori
belajar kognitif, lebih memberikan penekanan pada proses belajar
daripada hasil belajar. Menurut pendukung teori ini, belajar bukan
sekedar melibatkan hubungan antara stimulus dan respon tetapi juga
memerlukan proses berpikir yang kompleks. Kelompok teori belajar
yang ketiga adalah teori yang berorientasi pada aspek kemanusian
(humanisme). Bagi penganut paham ini, proses belajar harus berhulu
dan bermuara pada manusia itu sendiri. Teori belajar humanisme