KELOMPOK III
ANGGOTA:
1. AYUDYA LESTARI (I2E020031)
2. RIKA RATNASARI (I2E021010)
3. HENDRA SUSANA PUTRA (I2E021005)
4. MUJITAHID (I2E021009)
1
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL i
DAFTAR ISI ii
BAB I PENDAHULUAN 1
A. LATAR BELAKANG 1
B. RUMUSAN MASALAH 2
C. TUJUAN 3
BAB II PEMBAHASAN 4
BAB III PENUTUP 21
A. KESIMPULAN 21
B. SARAN 21
DAFTAR PUSTAKA 22
2
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Filsafat yang merupakan dasar dari semua ilmu yang ada pada saat ini, dengan
kajian epistemologi, ontologi, dan aksiologi sangat diperlukan dalam
perkembangan sains.Berbekal pemahaman tentang filsafat seorang ilmuwan
mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan mendasar manusia, sehingga tidak
terperangkap oleh metode khusus yang tidak lagi sesuai dengan ketentuan dan
komponen sains. Ilmuwan dalam melakukan penelitian untuk mengembangkan
sains , harus : 1) menguasai pengetahuan dasar tentang sains sebagai ilmu
penegetahuan bidang garapannya, 2) memahami keterkaitan ilmu sains dengan
ilmu-ilmu yang lain, 3). memahami dengan sepenuhnya bahwa sikap ilmiah
merupakan komponen dalam sains yang harus dipatuhi. Filsafat yang meliputi
epistemologi, metafisika, logika, estetika dan etika akan membantu manusia
khususnya ilmuwan dalam mengembangkan sains, agar tetap mengutamakan
tanggung jawabnya untuk memenuhi kepentingan manusia tanpa memberikan
dampak negatif bagi manusia maupun lingkungan, sekaligus bentuk
pertanggungjawaban atas aktivitasnya kepada Sang Khalik (Istiqomah dan
Suharto, 2021).
Tuntutan perkembangan global menuntut pembelajaran IPA diorientasikan
pada pencapaian keterampilan berpikir, pembentukan karakter dalam menghadapi
era digital dan persoalan global.Pendidikan di abad 21 perlu berorientasi pada
penguasaan keterampilan abad 21 yang mengembangkan keterampilan yang
mendukung kompetisi dalam dunia global dan digital yang berkembang saat
ini.Keterampilan inilah yang perludikembangkan pada diri peserta didik selain
kompetensi pada dimensi knowledge. Halini diperkuat oleh Larson & Mil-ler
(2011) dalam Haviz M, Karomah H, Delfita R (2018: 355), 21st-century skills
required by students to per-form their activities in the future or 21st-century skills
1
are beneficial to their lives after graduation (Kaufman, 2013). Greenstein (2012)
dalam Haviz M, Karomah H, Delfita R (2018: 360) menjelaskan bahwa aspek
keterampilan berpikir di abad 21 meliputi creativity, critical thinking, problem-
solving and metacognition, communication, collaboration, information, and
technology literacies are the tools for working.
Inovasi dalam pengembangan pendidikan IPA saat ini sudah banyak dilakukan
oleh semua kalangan di bidang pendidikan IPA maupun sains itu sendiri. Inovasi
ini disesuaikan dengan tuntutan keterampilan pada abad 21 dan literasi yang
diperlukan padaera revolusi 4.0.Bentuk inovasinya dengan menggunakan
teknologi dan model pembelajaran yang mengembangkan keterampilan dan sikap,
antara lain pendekatan STEM (Science, Technology, Engineering, Mathematic),
Project Based Learning dan Problem Based Learning. Selain itu Calik, et al
(2013) menyampaikan bahwa model pembelajaran yang dikembangkan yaitu
model Technology-Embedded Scientific Inquiry (TESI) berguna dalam kegiatan
eksperiman IPA dengan menggunakan teknologi inovatif. Menurut Muhammad
Aqmal Nurcahyo (2016: 87), penggunaan TESI dapat mengembangkan
keterampilan pemecahan masalah dan literasi digital. Pemecahan masalah dan
literasi digital merupakan keterampilan yang diperlukan di abad 21.
Selain model pembelajaran, pengembangan literasi sains pada
pembelajaran IPA juga dilakukan oleh (Pratiwi et al., 2019). Untuk mendukung
pengembangan pendidikan IPA (Nurohman, 2008) melakukan peningkatan
thinking skill melalui pembelajaran IPA berbasis konstruktivisme. Ada juga yang
melakukan pengembangan alat evaluasi pembelajaran IPA yang mendukung
keterampilan abad 21 (Ramdani et al., 2018) serta melakukan peningkatan
keterampilan guru IPA sebagai role model abad 21 dalam pembelajaran IPA
(Hadisaputra et al., 2018). Oleh karena itu, makalah ini akan membahas filsafat
IPA dan pengembangan pendidikan IPA menghadapi abad 21.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah filsafat IPA?
2
2. Bagaimanakah tantangan pendidikan IPA abad 21?
3. Bagaimanakah pengembangan pendidikan IPA dalam menghadapi
tantangan abad 21?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui filsafat Ilmu Pengetahuan Alam (IPA).
2. Untuk mengetahui tantangan pendidikan Ilmu Pengetahuan Alam (IPA)
abad 21.
3. Untuk mengetahui pengembangan pendidikan IPA dalam menghadapi
tantangan abad 21.
3
BAB II
PEMBAHASAN
A. Filsafat IPA
Filsafat secara etimologi berasal dari bahasa Yunani, philosophia yang terdiri
dari kata philos yang berarti cinta, dan sophia yang berarti kebijaksanaan atau
hikmat. Cinta dapat dimaknai sebagai hasrat yang besar atau berkobar-kobar dan
sungguh-sungguh. Kebijaksanaan merupakan suatu kebenaran yang hakiki atau
kebenaran yang sesungguhnya. Fisafat secara harfiah memiliki makna kecintaan
terhadap suatu kebijaksanaan. Filsafat merupakan hasrat atau keinginan yang
sungguh-sungguh terhadap kebenaran sesungguhnya. Filsafat berdasarkan Kamus
Besar Bahasa Indonesia, merupakan pengetahuan dan penyelidikan dengan akal
sehat mengenai hakikat segala sesuatu yang ada, sebab asal dan hukumnya.
Filsafat merupakan teori yang mendasari alam metafisika dan epistemologi yang
merupakan cabang-cabang ilmu filsafat (Istiqomah dan Suharto, 2021).
Berdasarkan pengertian diatas, maka filsafat ilmu dapat dipandang dari tiga
aspek yaitu ontologi, epistemologi, dan aksiologi (Fadli, 2021).
1. Ontologi adalah teori tentang ada dan realitas. Ontologi merupakan ilmu
hakikat bagian dari metafisika yang mengadakan penyelidikan terhadap sifat
dan realitasnya. Ontologi juga mempelajari hakikat dan digunakan sebagai
dasar untuk memperoleh pengetahuan atau dengan kata lain menjawab tentang
pertanyaan apakah hakikat ilmu itu.
2. Epistemologi merupakan cabang dari filsafat ilmu yang membahas tentang
apa yang kita ketahui dan bagaimana cara mengetahuinya. Sehingga
epistemologi di sini mengkaji dan mencoba menemukan ciri-ciri umum dan
hakikat dari pengetahuan manusia, bagaimana pengetahuan itu diperoleh dan
diuji kebenarannya. Pokok bahasan epistemologi meliputi hakikat dan sumber
pengetahuan, metode memperoleh pengetahuan, dan kriteria kesahihan
pengetahuan.
4
3. Aksiologi merupakan ilmu pengetahuan yang menyelidiki hakikat nilai yang
pada umumnya ditinjau dari sudut pandang kefilsafatan. Aksiologi meliputi
nilai-nilai, parameter bagi apa yang disebut sebagai kebenaran atau kenyataan
itu, sebagaimana kehidupan kita yang menjelajahi berbagai kawasan, seperti
kawasan sosial, kawasan fisik material dan kawasan simbolik yang masing-
masing menunjukkan aspeknya sendiri.
5
ilmu pengetahuan, adalah kritik tentang asumsi, postulat ilmu dan analisa kritik
tentang istilah-istilah yang dipakai (Juhaya dalam Fadli, 2021).
Menurut objeknya, ilmu terbagi menjadi tiga bagian yaitu ilmu alam, Ilmu
sosial, dan humaniora. Ilmu alam disebut juga dengan natural sciences adalah
ilmu yang mempelajari susunan benda dan perkembangannya, sumber ilmu ini
adalah alam,dimana manusia mendorong rasa ingin tahunya untuk menyingkap
rahasia alam. Agar dapat mempertanggung jawabkan kebenarannya maka
ditetapkanlah metodologi ilmiah yang menggabungkan cara berfikir deduktif dan
induktif. Dengan cara ini maka manusia dapat menyingkap rahasia alam semesta
dan melahirkan disiplin ilmu seperti: kimia, fisika, matematika, biologi, geologia
stronomi dan lain sebagainya.
Pada mulanya kata filsafat berarti segala ilmu pengetahuan yang dimiliki
manusia. Mereka membagi filsafat kepada dua bagian yakni, filsafat teoretis dan
filsafat praktis. Filsafat teoretis mencakup: (1) ilmu pengetahuan alam, seperti:
fisika, biologi, ilmu pertambangan, dan astronomi; (2) ilmu eksakta dan
matematika; (3) ilmu tentang ketuhanan dan metafisika. Filsafat praktis
mencakup: (1) norma-norma (akhlak); (2) urusan rumah tangga; (3) sosial dan
politik.
Filsafat IPA merupakan cabang filsafat yang mempelajari teori pembagian
ilmu, metode yang digunakan dalam ilmu, tentang dasar kepastian dan jenis
keterangan yang berkaitan dengan kebenaran IPA. Filsafat ilmu pengetahuan alam
adalah pemikiran yang sedalam-dalamnya untuk memperoleh: kebenaran, makna,
tujuan, serta nilai-nilai ilmu pengetahuan tersebut bagi kehidupan manusia. Fungsi
IPA antara lain: (1) Membangun pola pikir; (2) Menjelaskan adanya hubungan
berbagai gejala alam tentang ciri analitis, logis, sistematis, kuasatif dan
kuantitatif; (3) Meramalkan; (4) Menguasai atau mengontrol alam guna
kesejahteraan manusia; (5) Melestarikan berbagai gejala alam.
Ilmu Pengetahuan Alam merupakan bagian dari kehidupan manusia yang ada
sejak awal keberadaan manusia, mengenal dirinya dan alam sekitarnya. Manusia
berperan sebagai subjek sekaligus menjadi objek dalam IPA. Objek dalam IPA
6
meliputi manusia dan lingkungannya, baik lingkungan hidup maupun tak hidup.
Manusia yang memiliki akal dan budi, akan selalu berusaha mempelajari dan
melakukan kegiatan untuk mengetahui fenomena kehidupan yang ada di
sekitarnya, agar jelas kebenarannya. Sejalan dengan perkembangan zaman,
kehidupan manusia mengalami dinamika yang sangat cepat, maka sains juga
mengalami perkembangan. Banyak penemuan baru pada berbagai cabang IPA
yang saat ini kita jumpai dan kita rasakan, misal: peternakan, perikanan,
pertanian, sandang, kedokteran, dan banyak lagi, sehingga kehidupan sekarang
mengalami perubahan dari waktu sebelumnya. Hal ini akan terus berlangsung
sepanjang ada kehidupan manusia (Suharto, 2021).
Ilmu Pengetahuan Alam atau Sains sebagai salah satu ilmu yang berkembang
dari filsafat ilmu, merupakan ilmu yang sangat diperlukan dalam kehidupan
manusia. Menurut Colle dan Chiapetta (1994), “ science should viewed as a was
of thinking in pursuit of understanding nature, as the way of investigation claim
about phenomena, and as a body of knowledge that has resulted from inquiry“,
Sains harus dipikir sebagai suatu cara berpikir dalam upaya memahami alam,
sebagai suatu cara penyelidikan tentang gejala, dan sebagai suatu kumpulan
pengetahuan yang didapatkan dari proses penyelidikan. Hakikat sains merupakan
akumulasi dari content, process dan context. Content meliputi hal-hal yang
berkaitan denga fakta, definisi, konsep, model, teori dan terminologi. Process
berkaitan dengan keterampilan ataukegiatan untuk mendapatkan atau menemukan
prinsip dan konsep. Context meliputi 3 hal yaitu: individu, masyarakat, dan
lingkungan sekitar. Sains dipandang sebagai a body of knowledge (sains sebagai
sekumpulan ilmu), a way of thinking (sains sebagai cara berpikir), dan a way of
investigating (sains sebagai cara penyelidikan). Secara singkat IPA atau sains
merupakan kumpulan pengetahuan yang berkaitan dengan cara mencari tahu dan
mendiskusikan alam. Melalui berbagai kegiatan atau penelitian yang dilakukan,
manusia berusaha untuk dapat menjawab fenomena alam, mendapatkan kepuasan
memenuhi kebutuhan hidup dan sekaligus menjaga alam semesta. Komponen
dalam sains meliputi 3 bagian yaitu :
7
1. Sikap ilmiah antara lain rasa ingin tahu, kerendahan hati, keterbukaan,
jujur, teliti, cermat, disiplin, memisahkan antara fakta dengan pendapat,
hati-hati, sabar.
2. Proses Ilmiah merupakan serangkaian kegiatan yang dilakukan selama
penelitian yang bersifat sistematis, konsisten, dan operasional. Hal ini
ditunjukkan dengan langkah-langkah ilmiah yang dikenal dengan metode
ilmiah.
3. Produk ilmiah meliputi fakta, konsep, prinsip, hukum dan teori. Produk
ilmiah ini pada akhirnya diakui kebenarannya setelah dilakukan pengujian
berulang-ulang. Komponen tersebut yang dilakukan para ilmuwan atau
peneliti yang akhirnya mampu memberikan jawaban atas berbagai
pertanyaan fenomena alam sesuai dengan kenyataan (Suharto, 2021).
8
pembelajaran yang dikembangkan harus bermakna sebagai proses pemberdayaan
kemampuan berpikir kritis dan berpikir kreatif, kemampuan menyelesaikan
masalah, kemampuan bekerja dengan etos kerja yang baik, kemampuan meneliti
dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK), dan
membudayakan sikap mandiri, bertanggung jawab, demokratis, jujur, dan
bermoral (Jufri, 2017).
Apabila pembelajaran dapat merangsang, menantang, dan menyenangkan,
seperti yang dikemukakan oleh Whitehead sampai pada tingkat “joy of discovery”
maka diharapkan proses pembelajaran itu dapat bermakna sebagai proses
pemberdayaan dan proses penguasaan seni menggunakan ilmu pengetahuan.
Dalam kaitan dengan hal ini Unesco (United Nations Education, Scientific, and
Cultural Oganization), melalui International Commission on Education for The
21st Century yang antara lain bertujuan untuk mengubah dunia “from
technologically divided world where high technology is privilege of the few to
technologically united world” dengan mengusulkan empat pilar pendidikan yaitu:
1. Belajar untuk mengetahui (learning to know);
2. Belajar untuk melakukan (learning to do);
3. Belajar untuk menjadi (learning to be); dan
4. Belajar bekerjasama atau belajar bersosialisasi (learning to live together)
(Jufri, 2017).
Kemampuan guru untuk menerapkan empat pilar pendidikan atau pilar belajar
tersebut berarti bahwa proses pembelajaran memungkinkan peserta didik untuk
menguasai cara memperoleh pengetahuan, berkesempatan menerapkan
pengetahuan yang dipelajarinya, dan berkesempatan berinteraksi secara aktif
sesama peserta didik sehingga dapat mengembangkan potensi diri dan
menemukan jati dirinya. Model pembelajaran seperti ini hanya dapat berlangsung
dengan difasilitasi oleh guru professional yang penuh dedikasi dan konsentrasi,
peralatan yang memadai, materi yang terpilih dan waktu yang cukup serta
fleksibel.
9
Empat pilar pendidikan yang disebutkan diatas, ditujukan agar proses
pendidikan dapat menghadapi tantangan abad ke 21. Whitehead menyatakan
bahwa the need for change from narrow nationalism to universalism, from ethnic
to cultural prejudice to tolerance, under-standing and pluralism, from autocracy
to democracy its various manifestations, and from technologically united world
where high technology is privilege of the few to a technologically united world,
places enormous responsibilities on teacher who participate in the moulding of
the characters and minds of the new generations”. Pernyataan tersebut
menunjukkan, betapa tingginya tuntutan terhadap peran yang diharapkan dari
pendidikan dalam membentuk karakter dan mental generasi muda agar dapat
melakukan transformasi budaya. Suatu tuntuan yang pada hakekatnya telah
digariskan oleh para pendiri Republik Indonesia ini sebagaimana tertuang dalam
pembukaan UUD 1945 (Jufri, 2017).
Proses pembelajaran yang mengutamakan penguasaan cara untuk mengetahui
(ways of knowing) ataupun pola inkuiri (mode of inquiry) memungkinkan peserta
didik untuk terus belajar untuk memperoleh pengetahuan baru dan tidak hanya
memperoleh pengetahuan dari hasil temuan orang lain. Oleh karena itu, hakekat
belajar untuk mengetahui (learning to know) adalah proses pembelajaran yang
memungkinkan peserta didik untuk menguasai teknik mempelajari ilmu
pengetahuan dan bukan semata-mata memperoleh pengetahuan. Menurut
Scheffler pilar ini pada hakekatnya terkait dengan relevansi epistemologi yang
mengutamakan proses pembelajaran yang memungkinkan peserta didik terlibat
dalam proses meneliti dan mengkaji (Jufri, 2017).
Pandangan Scheffler (Jufri, 2017) tentang relevansi pendidikan sangat terkait
dengan “learning to know” pada tingkat pendidikan tinggi. Seperti halnya Phenix,
Scheffler memandang pentingnya pilar “learning to know” untuk berangkat dari
disiplin ilmu pengetahuan karena bagi mereka “mode of inquiry” dari disiplin
ilmu adalah bentuk yang paling tertinggi dari berpikir.
Dalam kaitan ini dia menyatakan bahwa, “In the revolutionary perspective,
thought is an adaptive instrument for overcoming environmental difficulties.
10
Scientific inquiry, the most highly form of thought is the most explicity problem
directed.” Dari pernyataan diatas dapat ditarik pemahaman bahwa penerapan pilar
“learning to know” adalah penerapan paradigm penelitian ilmiah. Melalui
penerapan paradigma ini akan dapat dihasilkan lulusan yang memiliki
kemampuan intelektual dan kecakapan akademik yang tinggi dan mampu
berkompetensi dalam pergaulan global.
Sasaran dari pilar pertama yakni learning to know adalah pengembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi yang akan mengantarkan peserta didik pada
ketercapaian keseimbangan dalam penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Adapun pilar kedua yakni learning to do, sasarannya adalah kemampuan bekerja.
Dalam komunitas masyarakat industri, tuntuan tidak lagi cukup dengan
penguasaan keterampilan motorik yang kaku melainkan diperlukan kemampuan
intelektual yang handal untuk melaksanakan pekerjaan seperti controlling,
monitoring, maintaining, designing, organizing, yang dengan kemajuan teknologi
pekerjaan yang sifatnya fisik telah diganti dengan mesin. Melalui konsep bekerja
untuk melakukan, maka guru akan berperan dalam mempersiapkan peserta didik
untuk memasuki dunia kerja yang penuh tantangan. Belajar melakukan sesuatu
dalam situasi yang konkrit dapat membantu peserta didik untuk tidak hanya
menguasai keterampilan yang bersifat mekanistik saja melainkan akan
mengantarkan mereka untuk menguasai kemampuan berkomunikasi, bekerjasama,
serta mengelola dan mengatasi konflik.
Penerapan pilar belajar untuk hidup bersama (learning to live together)
menjadi bagian dari tugas pendidik yang bertujuan agar pada saat yang bersamaan
peserta didik memperoleh pengetahuan dan memiliki kesadaran bahwa hakekat
manusia adalah beragam tetapi dalam keragaman tersebut terdapat persamaan.
Mendidik orang untuk mencapai tingkat kesadaran akan persamaan antar sesama
manusia dan menyadari adanya saling ketergantungan satu sama lain tidak dapat
ditempuh dalam waktu sesaat saja melainkan perlu dikembangkan melalui
penciptaan situasi kebersamaan dalam waktu yang relative lama. Paradigma
11
pembelajaran kooperatif sebenarnya dikembangkan dalam rangka menunjang
keberhasilan pilar belajar untuk hidup dan bekerjasama ini.
Dalam strategi pembelajaran kooperatif, peserta didik dikondisikan untuk
belajar bersama-sama dalam kelompok heterogen guna membahas pertanyaan-
pertanyaan atau masalah-masalah yang terkait dengan pelajaran yang
dihadapinya. Startegi kooperatif dewasa ini sedang digalakkan dalam dunia
pendidikan. Di Amerika Serikat dan negara-negara di Eropa serta Afrika, strategi
kooperatif sudah disosialisasikan melalui seminar, konferensi-konferensi, dan
lokakarya serta penerbitan sejak tahun 1980an. Menurut Pratt, strategi kooperatif
sangat penting untuk mendukung kegiatan pembelajaran berbasis inkuiri,
membimbing dan memfasilitasi proses pembelajaran, serta mendesain dan
mengelola lingkungan belajar. Strategi kooperatif dapat memberikan pengalaman
belajar dengan membangun saling ketergantungan positif antar sesama anggota
kelompok, mengembangkan tanggungjawab individual, dan keterampilan
bekerjasama secara seimbang.
Ketiga pilar pendidikan yang diuraikan diatas ditujukan untuk melahirkan
generasi muda yang mampu mencari informasi, menemukan ilmu pengetahuan,
melaksanakan tugas dalam mengatasi masalah, dan mampu bekerjsama,
bertenggang rasa, dan toleran terhadap perbedaan. Bila ketiganya berhasil dengan
memuaskan, maka akan menumbuhkan rasa percaya diri peserta didik. Hasil
akhirnya adalah peserta didik akan berkembang menjadi manusia yang mampu
mengenali dirinya sendiri, berkepribadian mantap secara emosional dan
intelektual, dan mandiri. Manusia seperti ini akan mampu mengendalikan dirinya,
konsisten dan memiliki rasa empati atau dalam kamus psikologi disebut memiliki
kecakapan emosional. Inilah makna dari belajar untuk menjadi (learning to be)
yaitu muara akhir dari ketiga pilar yang lainnya.
Proses pendidikan dan pembelajaran yang berlangsung selama ini pada
umumnya belum mampu membantu peserta didik untuk mencapai tingkatan
kepribadian manusia seutuhnya. Hal ini terjadi mungkin karena proses belajar
yang dirancang oleh guru belum sampai pada tingkatan kegembiraan atas temuan
12
(joy of discovery) pada pilar belajar untuk mengetahui, tingkatan kegembiraan
atas keberhasilan mencapai tujuan (joy of being successful in achieving
objectives), pada pilar belajar untuk melakukan, dan tingkatan kegembiraan
bersama untuk mencapai tujuan umum (jof of getting together to archive common
goal) pada pilar belajar bersosialisasi atau hidup bersama. Hanya melalui
penerapan paradigma baru pembelajaran dengan berorientasi pada keempat pilar
pendidikan maka upaya untuk menghadapi tantangan zaman melalui
pengembangan kemampuan dan pembentukan watak akan dapat berhasil.
Terbentuknya manusia Indonesia seutuhnya sebagai tujuan utama pendidikan
akan benar-benar terwujud apabila ditunjang dengan sistem perencanaan,
pelaksanaan, dan penilaian proses dan hasil pembelajaran dilakukan secara
objektif, komprehensif, dan berkesinambungan.
Pembelajaran abad 21 secara sederhana diartikan sebagai pembelajaran yang
memberikan kecakapan abad 21 kepada peserta didik, yaitu 4C yang meliputi: (1)
Communication (2) Collaboration, (3) Critical Thinking and problem solving, dan
(4) Creative and Innovative. Berdasarkan Taksonomi Bloom yang telah direvisi
oleh Krathwoll dan Anderson, kemampuan yang perlu dicapai siswa bukan hanya
LOTS (Lower Order Thinking Skills) yaitu C1 (mengetahui) dan C-2
(memahami), MOTS (Middle Order Thinking Skills) yaitu C3 (mengaplikasikan)
dan C-4 (menganalisis), tetapi juga harus ada peningkatan sampai HOTS (Higher
Order Thinking Skills), yaitu C-5 (mengevaluasi), dan C-6 (mengkreasi).
The Partnership’s framework for 21st Century Learning berfokus pada
outcome siswa abad ke-21 (perpaduan keterampilan khusus, pengetahuan konten,
keahlian, dan literasi) dengan sistem pendukung yang diperlukan yang harus ada
untuk membantu siswa memperoleh keterampilan penting tersebut. The
Partnership’s memandang semua komponen sebagai satu kesatuan yang saling
berhubungan dalam proses pengajaran dan pembelajaran abad ke-21 (Hendarman,
2016).
Istilah "keterampilan abad ke-21" umumnya digunakan untuk merujuk pada
kompetensi inti tertentu seperti kolaborasi, literasi digital, pemikiran kritis, dan
13
pemecahan masalah yang menurut para advokat perlu diajarkan oleh sekolah
untuk membantu siswa berkembang di dunia saat ini. Keterampilan abad ke-21
adalah seperangkat kemampuan yang perlu dikembangkan siswa agar berhasil
pada era informasi. Kemitraan untuk Keterampilan Abad 21 mencantumkan tiga
jenis, yaitu Keterampilan Belajar, Keterampilan Literasi, dan Keterampilan
Hidup. Argumen ini berpendapat bahwa keterampilan belajar terdiri dari Berpikir
Kritis, Berpikir Kreatif, Berkolaborasi, dan Berkomunikasi. Literasi Keterampilan
terdiri dari Literasi Informasi, Literasi Media, dan Literasi Teknologi. Kecakapan
Hidup meliputi Fleksibilitas, Inisiatif, Keterampilan Sosial, Produktivitas, dan
Kepemimpinan. Keterampilan tersebut selalu penting bagi siswa,
Namun, siswa juga perlu berpikir mendalam tentang masalah, memecahkan
masalah secara kreatif, bekerja dalam tim, berkomunikasi dengan jelas di banyak
media, mempelajari teknologi yang selalu berubah, dan menangani banjir
informasi. Perubahan yang cepat di dunia kita menuntut siswa untuk menjadi
fleksibel, untuk mengambil inisiatif dan memimpin bila diperlukan, dan untuk
menghasilkan sesuatu yang baru dan berguna. Dalam konteks Indonesia, seperti
yang disampaikan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dalam beberapa
kesempatan, tantangan pendidikan Indonesia ke depan adalah menghasilkan
peserta didik yang memiliki keterampilan untuk Pembelajaran Abad ke-21.
Keterampilan dikategorikan menjadi tiga seperti yang ditunjukkan di bawah ini:
14
Gambar 2. 21st Century Learning Skills (Hendarman, 2016)
16
ingin melakukan sesuatu, ingin menggunakan simbol-simbol dan mencari
jawaban atas pertanyaan sendiri, menghubungkan penemuan yang satu dengan
penemuan yang lain, membandingkan apa yang ditemukan dengan yang
ditemukan orang lain.
Penguasaan teknologi informasi komunikasi menjadi hal yang harus dilakukan
oleh semua guru pada semua mata pelajaran. Penguasaan TIK yang terjadi bukan
dalam tataran pengetahuan, namun praktik pemanfaatnyanya. Metode
pembelajaran yang dapat mengakomodir hal ini terkait dengan pemanfaatan
sumber belajar yang variatif. Mulai dari sumber belajar konvensional sampai
pemanfaatan sumber belajar digital. Siswa memanfaatkan sumber-sumber digital,
baik yang offline maupun online. Membuat produk berbasis TIK, baik audio
maupun audiovisual.
Pendapat oleh Beers (2012) menegaskan bahwa strategi pembelajaran yang
dapat memfasilitasi siswa dalam mencapai kecakapan abad 21 harus memenuhi
kriteria sebagai berikut: kesempatan dan aktivitas belajar yang variatif;
menggunakan pemanfaatan teknologi untuk mencapai tujuan pembelajaran;
pembelajaran berbasis projek atau masalah; keterhubungan antar kurikulum
(cross-curricular connections); fokus pada penyelidikan/inkuiri dan inventigasi
yang dilakukan oleh siswa; lingkungan pembelajaran kolaboratif; visualisasi
tingkat tinggi dan menggunakan media visual untuk meningkatkan pemahaman;
menggunakan penilaian formatif termasuk penilaian diri sendiri.
Pandangan Beers (2012) tersebut memperjelas bahwa proses pembelajaran
untuk menyiapkan siswa memiliki kecakapan abad 21 menuntut kesiapan guru
dalam merencanakan, melaksanakan, dan mengevaluasi pembelajaran. Guru
memegang peran sentral sebagai fasilitator pembelajaran. Siswa difasilitasi
berproses menguasai materi ajar dengan berbagai sumber belajar yang
dipersiapkan. Guru bertugas mengawal proses berlangsung dalam kerangka
penguasaan kompetensi, meskipun pembelajaran berpusat pada siswa. Untuk
mampu mengembangkan pembelajaran di abad ke-21 ini, ada beberapa yang
penting untuk diperhatikan (Komara,2018), antara lain:
17
1. Tugas Utama Guru sebagai Perencana Pembelajaran
Sebagai fasilitator dan pengelola kelas, maka tugas utama guru yang penting
adalah dalam pemuatan RPP (Rencana Pelaksanaan Pembelajaran). RPP
haruslah baik dan detail, serta mampu menjelaskan semua proses yang akan
terjadi dalam kelas, termasuk proses penilaian dan target yang ingin dicapai.
Dalam penyusunan RPP, guru juga harus mampu mengkombinasikan antara
target yang diminta dalam kurikulum nasional, mengembangkan kecakapan
abad ke-21, karakter nasional, serta memanfaatkan teknologi dalam kelas.
2. Mengintegrasikan Unsur Berfikir Tingkat Tinggi
Teknologi, dalam hal ini, khususnya adalah internet, yang akan sangat
memudahkan siswa untuk memperoleh informasi dan jawaban dari persoalan
yang disampaikan oleh guru. Untuk permasalahan yang bersifat pengetahuan
dan pemahaman bisa dicari solusinya dengan sangat mudah. Namun ada
kecenderungan bahwa siswa hanya menjadi pengumpul informasi saja dari
internet. Dalam konteks ini, guru harus mampu memberikan tugas yang
bersifat aplikatif, analisis, evaluatif, dan kreatif. Hal ini akan mendorong siswa
untuk berpikir kritis dan membaca informasi yang mereka kumpulkan
sebelum menyelesaikan tugas dari guru.
HOTS termasuk ke dalam salah satu komponen isu di abad ke21. Adanya
kemampuan dalam menyelesaikan problematika baru, melaksanakan aktivitas
analisis, sintesis, evaluasi secara sistematis, dan kemampuan melaksanakan
beragam prediksi terhadap fenomena atau suatu kejadian.
Diimplementasikannya kurikulum 2013 (K-13) membawa konsekuensi guru
yang harus semakin berkualitas dalam melaksanaan kegiatan pembelajaran. K-
13 mengamanatkan penerapan pendekatan saintifik (5M) yang meliputi
mengamati, menanya, mengumpulkan informasi, menalar/ mengasosiasikan,
dan mengomunikasikan. Lalu optimalisasi peran guru dalam melaksanakan
pembelajaran abad 21 dan HOTS (Higher Order Thinking Skills). Selanjutnya
ada integrasi literasi dan Penguatan Pendidikan Karakter (PPK) dalam proses
belajar mengajar (PBM). Pembelajaran pun perlu dilaksanakan secara
18
kontekstual dengan menggunakan model, strategi, metode, dan teknik sesuai
dengan karakteristik Kompetensi Dasar (KD) agar tujuan pembelajaran
tercapai.
3. Pendekatan dan Model Pembelajaran yang Bervariasi
Beberapa pendekatan dan model pembelajaran, seperti pembelajaran berbasis
proyek (project based learning), pembelajaran berbasis keingintahuan (inquiry
based learning), model pembelajaran silang (jigsaw), serta model kelas
terbalik (flipped classroom) dapat diterapkan oleh guru untuk memperkaya
pengalaman belajar siswa (learning experience). Satu hal yang perlu dipahami
bahwa siswa harus mengerti dan memahami hubungan antara ilmu yang
dipelajari di sekolah dengan kehidupan nyata. Siswa juga harus mampu
menerapkan ilmunya untuk mencari solusi dari permasalahan dalam
kehidupan nyata
4. Integrasi Teknologi
Sekolah, dimana siswa dan guru mempunyai akses teknologi yang baik, harus
mampu memanfaatkan teknologi dalam proses pembelajaran. Siswa harus
terbiasa bekerja dengan teknologi, seperti layaknya orang yang bekerja.
Seringkali guru mengeluhkan mengenai fasilitas teknologi yang belum mereka
miliki. Satu hal saja bahwa pengembangan pembelajaran di abad ke-21 bisa
dilakukan tanpa unsur teknologi, yang terpenting adalah guru yang baik dan
bisa mengembangkan proses pembelajaran yang aktif dan kolaboratif.
Walaupun begitu, guru tentu saja harus terus berusaha untuk menguasai
teknologi dengan baik. Hal yang paling mendasar dan harus diingat adalah
bahwa teknologi tidak akan menjadi alat bantu yang baik dan kuat, apabila
pola pembelajarannya masih bercorak tradisional.
Penerapan pendekatan saintifik, pembelajaran abad 21 (4C), HOTS, dan
integrasi literasi dan PPK dalam pembelajaran bertujuan untuk meningkatkan
mutu pendidikan dalam rangka menjawab tantangan, baik tantangan internal
dalam rangka mencapai 8 (delapan) SNP dan tantangan eksternal, yaitu
globalisasi. Untuk mewujudkan pembelajaran abad 21 dan HOTS, guru harus
19
memiliki keterampilan proses yang baik dalam pembelajaran. Keterampian proses
dapat diartikan sebagai keterampilan guru dalam menyajikan pembelajaran yang
mampu memberikan pengalaman belajar yang bermakna dan menyenangkan bagi
siswa. Pembelajaran berpusat kepada siswa (student center), dan merangsang
siswa untuk menyelesaikan masalah. Peran guru dalam PBM bukan hanya sebagai
sumber belajar, tapi juga sebagai fasilitator (Rozi & Hanum, 2019).
20
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Filsafat ilmu dapat dipandang dari tiga aspek yaitu ontologi, epistemologi,
dan aksiologi. Aspek ontologi yaitu aspek tentang hakikat keberadaan ilmu
(realitas), epistimologi yaitu metode memperoleh ilmu (metodologi), dan
aksiologi yaitu untuk apa ilmu itu (tujuan). Oleh karena itu, filsafat telah
berhasil membuat para pakar mengembangkan ilmu-ilmu dasar seperti
astronomi, kimia, fisika, biologi, molekuler, sebagaimana hasilnya dapat
dinikmati oleh manusia di abad ke-21 saat ini. Tantangan dalam proses
pembelajaran itu dapat bermakna sebagai proses pemberdayaan dan proses
penguasaan seni menggunakan ilmu pengetahuan dengan mengacu pada
empat pilar pendidikan yaitu belajar untuk mengetahui (learning to know);,
belajar untuk melakukan (learning to do); belajar untuk menjadi (learning to
be); dan belajar bekerjasama atau belajar bersosialisasi (learning to live
together) dalam hakekat pengembangan pendidikan IPA menghadapi abad 21.
B. Saran
Diharapkan kepada para pembaca agar dapat memberikan kritik dan saran
yang membangun terkait hal-hal yang telah dibahas dalam makalah ini.Hal ini
agar makalah ini dapat bermanfaat untuk para penuntut ilmu atau pihak yang
berkepentingan dengan topik yang menjadi fokus pembahasan kelompok kami
21
DAFTAR PUSTAKA
23