Anda di halaman 1dari 16

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Literasi Sains


Abad 21 ditandai oleh pesatnya perkembangan sains dan teknologi dalam bidang
kehidupan di masyarakat. Oleh karena itu pendidikan dihadapkan pada tantangan yang semakin
berat, salah satunya tantangan tersebut adalah bahwa pendidikan hendaknya mampu
menghasilkan sumber daya manusia yang memiliki kemampuan utuh dalam menghadapi
berbagai tantangan dalam kehidupan.

World Economic Forum (2016) menyatakan bahwa peserta didik memerlukan 16


keterampilan agar mampu bertahan di abad 21. Enam belas keterampilan itu terbagi menjadi 3
kelompok besar yakni fondasi literasi atau literasi dasar, kompetensi, dan karakter
(Kemendikbud, 2019). Literasi sains menjadi salah satu dari 16 keterampilan yang dimaksud.
Secara harfiah, literasi sains terdiri dari kata yaitu literatus yang berarti melek huruf dan scientia
yang diartikan memiliki pengetahuan. Menurut Organization for Economic Cooperation and
Development (OECD), literasi sains dapat diartikan sebagai pengetahuan dan kecakapan ilmiah
untuk mampu mengidentifikasi pertanyaan, memperoleh pengetahuan baru, menjelaskan
fenomena ilmiah, serta mengambil simpulan berdasarkan fakta, memahami karakteristik sains,
kesadaran bagaimana sains dan teknologi membentuk lingkungan alam, intelektual, dan budaya,
serta kemauan untuk terlibat dan peduli terhadap isu-isu yang terkait sains (Kemdikbud, 2017).

Literasi sains menurut Programme for International Student Assesment (PISA) diartikan
sebagai “the capacity to use scientific knowledge, to identify questions and to draw evidence-
based conclusions in order to understand and help make decisions about the natural world and
the changes made to it through human activity” (Budiarti, 2020). Dari definisi tersebut, literasi
sains dimaknai sebagai kemampuan seseorang menggunakan pengetahuan sains maupun
keterampilan proses ilmiah untuk memahami dan membuat keputusan tentang lingkungan alam.
Literasi sains merupakan kemampuan ilmiah individu untuk menggunakan pengetahuan yang
dimilikinya pada proses identifikasi masalah, memperoleh pengetahuan baru, menjelaskan
fenomena ilmiah, dan menarik kesimpulan berdasarkan bukti yang berhubungan dengan isu
ilimiah (Wulandari & Sholihin, 2016).
Unsur pokok yang terdapat pada literasi sains menurut Harlen (2004) diantaranya adalah :

1. concepts or ideas, which help understanding of scientific aspects of the world around
and which enable us to make sense of new experiences by linking them to what we
already know;
2. processes, which are mental and physical skills used in obtaining, interpreting and using
evidence about the world around to gain knowledge and build understanding;
3. attitudes or dispositions, which indicate willingness and confidence to engage in enquiry,
debate and further learning.
4. understanding the nature (and limitations) of scientific knowledge.

Berdasarkan penjelasan di atas dapat dijelaskan bahwa hal yang paling pokok dalam
pengembangan literasi sains siswa meliputi pengetahuan tentang sains, proses sains,
pengembangan sikap ilmiah, dan pemahaman peserta didik terhadap sains sehingga peserta didik
bukan hanya sekedar tahu konsep sains melainkan juga dapat menerapkan kemampuan sains
dalam memecahkan berbagai permasalahan dan dapat mengambil keputusan berdasarkan
pertimbangan-pertimbangan sains. Berdasarkan beberapa pengertian literasi sains tersebut
peserta didik diharapkan dapat menerapkan pengetahuan yang didapat disekolah untuk
diterapkan dalam kehidupan sehari-hari sehingga peserta didik dapat memiliki kepekaan dan
kepedulian terhadap lingkungan sekitarnya.
Menurut Poedjiadi (Toharudin, 2011) seseorang memiliki literasi sains dan teknologi
ditandai dengan memiliki kemampuan untuk menyelesaikan masalah dengan menggunakan
konsep-konsep sains yang diperoleh dalam pendidikan sesuai dengan jenjangnya, mengenal
produk teknologi yang ada di sekitarnya beserta dampaknya, mampu menggunakan produk
teknologi dan memeliharanya, kreatif dalam membuat hasil teknologi yang disederhanakan
sehingga peserta didik mampu mengambil keputusan berdasarkan nilai dan budaya masyarakat.
Mengacu pada Kemendikbud (2017:5) prinsip dasar literasi sains untuk peserta didik sekolah
adalah:

a. Kontekstual, sesuai dengan kearifan lokal dan perkembangan zaman.


Stimulus atau isu yang dibahas dapat diambil dari permasalahan yang nyata ditemukan
dalam kehidupan sekitar peserta didik, menyesuaikan dengan lokasi daerah, serta memilih
isu yang sedang berkembang misalnya saja tentang pandemi COVID-19.
b. Pemenuhan kebutuhan sosial, budaya, dan kenegaraan.
Langkah yang disajikan dalam aktivitas sains diharapkan mampu meningkatkan
keterampilan proses sains peserta didik. Pembiasaan cara berpikir yang sistematis dan
terstruktur diharapkan mampu membentuk karakter ilmiah pada diri peserta didik yang
solutif terhadap permasalahan sosial dan budaya yang sedang berkembang. Kemampuan
memecahkan permasalahan ini harapannya akan ikut membantu meningkatkan taraf hidup
bangsa.
c. Sesuai dengan standar mutu pembelajaran yang sudah selaras dengan pembelajaran abad 21.
Beragam aktivitas yang dikembangkan untuk mewujudkan profil pelajar yang literat
khususnya dalam sains dapat dilakukan melalui pendekatan saintifik. Langkah dalam
pendekatan saintifik dikenal dengan istilah 5M yakni mengamati, menanya, mencoba,
menalar, dan mengomunikasikan. Langkah-langkah tersebut bermuara pada tercapainya
pembelajaran yang mampu mengembangkan keterampilan abad 21 yakni berpikir kritis dan
memecahkan masalah, kreatif, komunikasi, dan kolaborasi.
d. Holistik dan terintegrasi dengan beragam literasi lainnya
Pembelajaran sains yang optimal terjadi jika peserta didik diarahkan untuk mencari tahu
melalui serangkaian proses penemuan sehingga membantu mereka memperoleh pemahaman
yang lebih mendalam (Listiyani, 2015). Serangkaian proses penemuan yang identik dalam
pembelajaran sains dapat saling beririsan dengan konsep literasi. Secara paralel peserta didik
mengalami perkembangan keterampilan untuk membaca, menulis, menggunakan bahasa
lisan yang akuntabel, serta terlibat dalam proses penalaran yang ilmiah.
e. Kolaboratif dan partisipatif. Diperlukan dukungan kerja sama dan partisipasi yang baik dari
warga sekolah dan orang tua dalam melaksanakan aktivitas sains agar kegiatan dapat
optimal. Sinergi yang tercipta dari pihak yang terkait diharapkan mampu membantu
mewujudkan individu yang literat.
Secara umum, pembelajaran idealnya dapat menyeimbangkan aspek kognitif, afektif, dan
psikomotorik. Seperti halnya dalam pembelajaran, ruang lingkup sains dapat dikaji dari tiga
komponen utama tersebut yakni sains dilihat dari aspek produk (pengetahuan), aspek
keterampilan proses (psikomotorik), dan aspek sikap ilmiah (afektif). Aspek produk dalam sains
meliputi beragam produk dan hasil temuan dalam sains diantaranya fakta, konsep, prinsip,
hukum, dan teori. Beragam isu yang dapat diangkat sebagai kajian dalam literasi sains adalah
kesehatan, sumber daya alam, lingkungan, dan bencana alam.
Sains dilihat dari sikap ilmiah dapat diartikan berbagai keyakinan, pendapat, dan nilai-nilai
yang harus dipertahankan oleh seorang ilmuwan khususnya ketika mencari atau mengembangkan
pengetahuan baru. Contoh sikap ilmiah antara lain: rasa ingin tahu, obyektif terhadap fakta, rasa
tanggung jawab, disiplin, tekun, jujur, terbuka terhadap pendapat orang lain, teliti, kehati-hatian,
tidak tergesa-gesa mengambil kesimpulan, kerja sama, tidak mudah putus asa, dan disiplin.
Sebagai suatu keterampilan proses, sains merupakan suatu metode yang digunakan untuk
memperoleh pengetahuan.
Metode yang biasa digunakan dikenal dengan nama metode ilmiah atau metode keilmuan.
Metode keilmuan merupakan perpaduan antara pengetahuan yang didapat melalui pikiran
(rasionalisme) dan pengetahuan melalui pengalaman (empirisme). Franscis Bacon merupakan
tokoh yang dikenal sebagai bapak metode ilmiah. Langkah-langkah dalam metode ilmiah
diantaranya adalah sebagai berikut: (1) sadar akan adanya masalah dan perumusan masalah; (2)
merumuskan hipotesis (dugaan sementara); (3) mengamati/observasi (penyusunan dan klasifikasi
data); (4) menguji kebenaran hipotesis melalui penyelidikan; dan (5) membuat kesimpulan.

2.2 Permasalahan dalam proses pembelajaran literasi sains di sekolah


Literasi sains merupakan kemampuan seseorang dalam menerapkan pengetahuan yang
dimiliki untuk mengidentifikasi pertanyaan, mengkontruksi pengetahuan baru, memberikan
penjelasan secara ilmiah, dan kemampuan mengembangkan pola pikir reflektif sehingga mampu
berpartisipasi dalam mengatasi isu-isu dan gagasan-gagasan terkait sains (OECD, 2019). Pihak
Organisation for Economic Cooperation and Development (OECD) telah mengumumkan skor
PISA (Program for International Student Assesment) untuk Indonesia tahun 2018 dalam bidang
literasi, matematika dan juga sains. Pengukuran PISA bertujuan untuk mengevaluasi sistem
pendidikan dengan mengukur kinerja sisiwa di pendidikan menengah, terutama pada tiga bidang
utama yaitu matematika, sains, dan literasi. Penyerahan hasil PISA 2018 untuk Indonesia telah
diberikan Yuri Belfali (Head of Early Childhood and Schools OECD) kepada Kementrian
Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim di Gedung Kemendikbud Jakarta
dan menetapkan Indonesia berada pada urutan ke 70 dari 78 negara peserta (Kompas.com, 2019).
Selama hampir 20 tahun terakhir sejak PISA merilis hasil kemampuan literasi sains peserta didik
di seluruh dunia, Negara Indonesia selalu berada pada urutan bawah. Hal ini menunjukan bahwa
kualitas pembelajaran sains di Indonesia jauh di bawah negara-negara anggota OECD (Dadi
Setiadi, 2014).
Rendahnya kemampuan literasi sains peserta didik di Indonesia disebabkan oleh beberapa
faktor. Menurut Hayat & Yusuf (2006) lingkungan dan iklim belajar di sekolah mempengaruhi
variasi skor literasi peserta didik. Demikian pula dengan keadaan infrastruktur sekolah, sumber
daya manusia sekolah dan tipe organisasi serta manajemen sekolah, sangat signifikan
pengaruhnya terhadap prestasi literasi peserta didik. Kurnia et al. (2014) juga mengungkapkan
bawah rendahnya literasi peserta didik di Indonesia berkaitan erat dengan adanya kesenjangan
antara pembelajaran IPA yang diterapkan di sekolah dan tuntutan PISA. Menurut Sumartati
(2010) menyatakan bahwa penyebab dari rendahnya literasi sains pada peserta didik di Indonesia
disebabkan oleh beberapa hal antara lain yaitu pembelajaran yang bersifat terpusat pada guru
(teacher centered), rendahnya sikap positif peserta didik dalam mempelajari sains, terdapat
beberapa kompetensi yang tidak disukai oleh peserta didik terkait konten, proses dan konteks.
Sejalan dengan Sumartati terdapat beberapa terori dasar terkait dengan rendahnya literasi sains
antara lain rendahnya kemampuan literasi sains peserta didik dapat disebabkan kebiasaan
pembelajaran IPA yang masih bersifat konvensional serta mengabaikan pentingnya kemampuan
membaca dan menulis sebagai kompetensi yang harus dimiliki peserta didik (Norris & Pillips,
2003). Peserta didik hanya terbiasa mengisi tabel yang telah disediakan oleh guru, sehingga
kemampuan peserta didik dalam menginterpretasikan grafik/tabel juga terbatas (Rahayu, 2015).
Peserta didik tidak terbiasa mengerjakan soal tes literasi sains (Sariati, 2013).
Kemendikbud (2017) menyatakan bahwa rendahnya literasi peserta didik di Indonesia
menunjukkan bahwa ada kesenjangan dalam memperlakukan pendidikan sains. Sistem
pemdidikan nasional, konsep, dan pola pikir pendidikan sains sudah menggunakan pendekaran
saintifik dan inkuiri. Namun, faktanya hal tersebut belum diterapkan dikelas-kelas. Literasi sains
dalam pembelajaran di Indonesia dipersepsikan hanya dalam pembelajaran IPA. Sedangkan
pembelajaran IPA sebagian besar terbatas pada buku ajar/teks. Sebagian besar memahami bahwa
buku teks pelajaran menjadi satu-satunya bahan ajar sehingga pembelajaran IPA belum
menerapkan pendekatan saintifik dan inkuiri. Jika dalam konteks pelajaran IPA, literasi sains
belum diterapkan secara tepat dan komperhensif. Fakta ini membuat peserta didik di Indoensia
tidak terbiasa mencari beragam sumber yang menyebabkan rendahnya literasi sains. Dalam
tujuan pendidikan, literasi sains haruslah menjadi prioritas yang utama hal tersebut dikarenakan
literasi sains memegang peranan penting dalam perkembangan kehidupan sehari-hari manusia
baik secara individu maupun kelompok (Jufri, 2017). Literasi sains berhubungan dengan
berbagai aspek kehidupan dalam masyarakat, serta berhubungan dengan aktivitas seseorang dari
segala usia baik tua maupun muda, sehingga perlu ditingkatkan untuk mencapai literasi sains
yang lebih tinggi (Sujana, 2014). Dalam proses pembelajaran literasi sains terlihat beberapa
permasalahan yang timbul baik permasalahan yang muncul dari siswa itu sendiri maupun dari
guru. Berikut merupakan beberapa permasalahan-permasalahan yang timbul dari proses
pembelajaran literasai sains:
1. Guru
Guru sebagai salah satu tenanga pendidik yang memiliki tugas untuk menyukseskan
pembelajaran memiliki haruslah memiliki kemampuan literasi sains yang tinggi dikarenakan
peranan guru terhadap proses pembelajaran sangat penting. Peranan guru yang sangat
terpusat menjadikan guru sebagai salah satu komponen penting yang dapat menentukan
tingkat keberhasilan para siswa. Sebagai seorang guru harus memiliki kemampuan literasi
sains yang tinggi, serta memiliki pengetahuan sains lainnya. Saud (2008) menyetakan bahwa
menjadi seorang guru dituntut untuk memiliki seperangkat pengetahuan serat keterampilan
teknis mengajar disamping menguasai ilmu atau bahan yang akan diajarkannya. Guru harus
berusaha dalam memfasilitasi siswa dengan melibatkannya dalam kegiatan-kegiatan ilmiah
yang dapat mengembangkan keterampilan berpikir kritis siswa mengenai pentingnya bukti
ilmiah serat dapat mengaitkannya dengan argumentasi/penjelasan yang dikemukakan.
(Permanasari,2010) menyatakan bahwa beberapa permasalahan pada pembelajaran literasi
sains umumnya berkaitan dengan rendahnya kemampuan literasi sain khusunya pada tingkat
indikator dasar dan menengah. Salah satu indikator ketidaksukaan ketidaksukaan yang
ditunjukkan oleh peserta didik dalam pembelajaran literasi sains mengenai kurangnya
keterkaitan antara konten atau materi yang dibelajarkan dengan hal-hal yang terjadi dalam
kehidupan sehari-hari. sejalan dengan kondisi tersebut guru dimasa depan akan
mendapatkan tantangan yang besar dalam penyelenggaraan indikator global yang
berkualitas. Dalam pembelajaran literasi sains guru harus dapat membawa peserta didik
untuk berorientasi kepada konstruksi makna, pembelajaran aktif, akuntabilitas, penggunaan
teknologi, peningkatan kompetensi siswa, kepastian pilihan dan bermasyarakat multikultur
(Arends, 2012).
Permasalahan yang sering dihadapi oleh guru maupun calon guru dalam penerapan
literasi sains dalam proses pembelajaran adalah jarang untuk berpikir tingkat tinggi dalam
pembelajaran, serta adanya kelemahan dalam mengkomunikasikan ide ataupun informasi
secara lugas, kurangnya wawasan dalam membaca literatur serat kurangnya wawasan daam
berpikir. Lutfi (2011) menyatakan bahwa fenomena yang sering terlihat dalam pembelajaran
sains adalah strategi pembelajaran yang digunakan guru kurang tepat, kurang bervariasi
(kurang profesional), gaya mengajar guru kurang menyenangkan bagi peserta didik, afeksi
guru belum bisa diteladani, penerapan tugas guru (sebagai pendidik, pengajar, dan pelatih)
belum berjalan optimal. Artinya guru dalam proses mengajar belum dapat dikatakan
profesional, belum dapat menerapkan empat kompetensi yang telah ditetapkan pemerintah.
Hal tersebut juga diungkapkan oleh Syamsuri (2010) dalam rangka meningkatkan mutu
guru, pemerintah telah melakukan inservis training dengan menyelenggarakan penataran,
pelatihan, workshop dalam beberapa minggu sehingga guru meninggalkan pembelajaran
namun setelah kembali ke sekolah guru-guru tidak menerapkan ilmunya untuk
mengefektifkan pembelajaran. Sedangkan Yulaelawati (2000) menyetakan bahwa problem
dan isu dalam pendidikan sains adalah guru kurang kompeten, belum dapat memperlihatkan
proses sains dalam pembelajaran di kelas. Masalah secara umum lainnya adalah penggunaan
model pembelajaran yang belum sesuai sehingga tidak sesuai dengan yang dibutuhkan guru
yang kemampuan dan latar belakang yang beragam. Asesmen yang dilakukan guru hanya
berpusat pada penilaian hasil belajar, masih kurang pada penilaian proses. Masih
mengutamkan aspek kognitif, afektif dan psikomotor sangat kurang. Rendahnya literasi
sians peserta didik juga dipengaruhi oleh pengetahuan guru mengenai literasi sians. Literasi
sians tidak hanya mengenai membaca dan memahami materi, namun juga aplikasi dari
pengetahuan sains dalam berbagai situasi. Shihab (50) menyatakan bahwa literasi sains tidak
hanya tentang membaca, emnulis, dan buku saja tetapi mendayagunakan pengetahuan dan
pikiran dalam berbagai situasi. Hasil penelitian Sari dan Nurwahyunani (36)
mengungkapkan bahwa salah satu penyebab rendahnya literasi sains peserta didik adalah
kurangnya pengetahuan guru mengenai literasi sains.
2. Peserta didik
Literasi sains bagi peserta didik sangatlah penting agar peserta didik tidak hanya
memahami mengenai sains sebagai suatu konsep namun juga dapat mengaplikasikan sains
dalam kehidupan sehari-hari. menurut National Research Council (1996) dalam Ardianto
dan Rubbini (2016) mengungkapkan literasi sains penting dikembangkan dikarenakan (1)
memberikan kepuasan dan kesenangan pribadi yang muncul setelah memahami dan
mempelajari sains, (2) setiap orang membutuhkan informasi dan berpikir ilmiah untuk
pengambilan keputusan, (3) setiap ornag perlu melibatkan kemampuan mereka dalam
wacana publik dan debat mengenai isu-isu penting yang melibatkan sains dan teknologi, dan
(4) literasi sains penting dalam dunia kerja sehingga mengharuskan orang-orang belajar
sains, bernalar, berpikir secara kreatif, membuat keputusan dan memecahkan masalah. Hasil
studi PISA untuk kemampuan literasi sains peserta didik di Indonesia dari tahun 2000
hingga tahun 2018 diketahui bahwa kemampuan peserta didik untuk pembelajaran literasi
sains dari tahun 2000 hingga tahun 2018 masih dalam kategori rendah karena skor yang
diperoleh berada dibawah skor rata-rata ketuntasan PISA. Hal tersebut mengindikasikan
bahwa peserta didik Indonesia belum mampu memahami konsep dan proses sains serta
belum mampu mengaplikasikan pengetahuan sains yang telah dipelajarinya dalam
kehidupan sehari-hari.
Rendahnya kemampuan literasi sains peserta didik di Indonesia secara umum disebabkan
oleh kegiatan pembelajaran yang belum berorientasi pada pengembangan literasi sains
(Ardianto dan Rubini, 2016) mengungkapkan bahwa rendahnya kemampuan literasi sains
peserta didik di Indonesia dipengaruhi oleh kurikulum dan sistem pendidikan, pemilihan
metode, dan model pengajaran oleh guru, sarana dan fasilitas belajar, serta bahan ajar. Hasil
penelitian Angraini (2014) menunjukkan bahwa kemampuan literasi sains peserta didik
kelas X SMA di Kota Solo masih tergolong rendah yang disebabkan oelh materi yang
diujikan belum pernak dipelajari, peserta didik tidak terbiasa mengerjakan soal yang
menggunakan wacana, dan proses pembelajaran yang kurang mendukung peserta didik
dalam mengembangkan kemampuan literasi sains. Hal tersebut didukung juga oleh Rizkita
(2016) bahwa kemampuan literasi sains peserat didik SMA Kota Malang masih rendah.
Rendahnya kemampuan literasi sains ini disebabkan karena proses pembelajaran yang belum
melibatkan proses sauns. Selain itu, hasil penelitian Diana (2015) menyimpulkan bahwa
kemampuan literasi sains peserta didik Kelas X SMA di Kota Bandung masih tergolong
rendah yang disebabkan oleh perbedaan targer pembelajaran yang diterapkan disekolah
dengan tuntutan PISA. Adapun beberapa faktor penyebab rendahnya literasi pada peserta
didik:
1. Pemilihan Buku Ajar
Rendahnya kamampuan literasi sains bagi peserta didik di Indonesia disebabkan oleh
beberapa faktor, salah satu faktor yang menyebabkan rendahnya literasi sains peserta
didik adalah pemilihan sumber belajr (Reni dan Agung (2019)). Pernyataan tersebut
sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Irawan (Ashri & Hasanah, 2015)
yaitu salah satu faktor penyebab rendahnya literasi sains peserta didik yang berkaitan
langsung dengan peserta didik adalah sumber belajar. Di Indonesia literasi sains dalam
proses pembelajaran IPA sebagaian besar masih terbatas pada buku ajar atau teks dari
pada melakukan pembelajaran secara langsung. Stake & Easly (Aqil,2018) menyatakan
bahwa buku pelajaran digunakan oleh 90% dari semua guru sauns dan 90% dari alokasi
waktu pembelajaran. Pengetahuan serta penerapan literasi sains hanya mengandalkan
buku ajar maupun buku teks yang mengakibatkan proses pembelajaran tidak kondusif
atau membosankan.

2. Evaluasi Pembelajaran
Kemampuan literasi peserta didik dapat tergolong rendah disebabkan oleh
ketidakmampuan peserta didik dalam mengerjakan soal-soal literasi sains yang menuntut
pemahaman dan analisis soal. Peserta didik tidak terbiasa mengerjakan soal-soal yang
menuntut pemahaman dan analisis dikarenakan soal-soal evaluasi yang diberikan oleh
guru pada ulangan harian, UTS, dan UAS merupakan soal-soal yang hanya menuntut
ingatan peserta didik terhadap materi yang telah dipelajari. Seharusnya peserta didik
dibiasakan untuk mengerjakan soal yang menuntut pemahaman serta kontekstual dengan
dunia nyata sehingga peserta didik dapat mengembangkan pemahamannya terhadap
materi yang dipelajari. Pernyataan tersebut didukung oleh pendapat Pantiwati (2017)
yang mengungkapkan bahwa asesmen sains seharusnya tidak hanya berorientasi pada
penugasan materi sains akan tetpai juga pada kemampuan berpikir dan kemampuan
dalam melakukan proses sains dalam kehidupan nyata. Hasil penelitian Huryah (2017)
menyimpulkan bahwa peserta didik yang tidak terbiasa dalam mengerjakan soal yang
menuntut analisis merupakan salah satu faktor yang menyebabkan rendahnya
kemampuan literasi sains bagi peserta didik.
3. Rendahnya Kemampuan Membaca
Rendahnya kemampuan membaca peserta didik merupakan salah satu kendala dalam
proses pembelajaran sains hal tersebut dibuktikan dengan adanya penelitin yang
dilakukan oleh organisasi pendidikan, ilmu pengetahuan alam kebudayaan PBB
(UNESCO) pada tahuan 2016 terhadap 61 negara di dunia menunjukkan kebiasaan
membaca di Indonesia tergolong sangat rendah. Hasil studi yang dipublikasikan dengan
nama “The World’s Most Literate Nations” menunjukkan Indonesia berada di peringkat
ke-60 hanya satu tungkat diatas Botswana (kompas.com, 2019). Penyebab rendah minat
dan kebiasaan membaca anatara lain kurangnya akses, terutama untuk di daerah
terpencil. Hal tersebut merupakan salah satu yang terungkap dari Indeks Aktivitas
Literasi Membaca (Alibaca) Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud).
Bagi peserta didik membaca snagatlah diperlukan untuk menambah wawasan dan
pengetahuan, dikarenakan dengan membaca peserta didik dapat mengaitkan pengetahuan
yang baru didapatkan dengan pengetahuan yang sudah ada sebelumnya. Hal tersebut
juga akan berdampak pada peningkatan kemampuan dalam pemahaman dan literasi
sains. Susiati(2018) menyatakan bahwa kemampuan literasi sains terkait dnegan
membaca. Pendapat ini didukung oleh hasil penelitian Ayu (2018) yang mengungkapkan
bahwa terdapat hubungan yang positif antara kebiasaan membaca dengan literasi sains
peserta didik SMA di Jakarta Timur.
4. Lingkungan dan Iklim Belajar
Menurut Hayat & Yusuf (2006) lingkungan dan iklim belajar di sekolah mempengaruhi
variasi skor literasi siswa. Demikian juga keadaan infrastruktur sekolah, sumber daya
manusia sekolah dan tipe organisasi serta manajemen sekolah, sangat signifikan
pengaruhnya terhadap prestasi literasi siswa. Kurnia et al (2014) juga mengungkapkan
rendahnya literasi peserta didik di Indonesia berkaitan dengan adanya kesenjangan
anatara pembelajaran IPA yang diterapkan disekolah dan tuntutan PISA. Sejauh ini guru
masih mengajarkan IPA sebagai mata pelajaran yang terpisah (kimia, fisika, biologi),
pembelajaran yang dilakukan dikelas lebih berpusat pada guru (teacher center) sehingga
pemahaman konsep dan kemampuan inkuiri siswa jarang dilatihkan, guru hanya
berorientasi pada target penguasaan materi dan tidak mampu mengelola pembelajaran
yang berbasis penemuan dan pembelajaran berbasis masalah, siswa sebanyak 40%
merasa tidak dilibatkan dalam menemukan konsep IPA dalam pembelajaran. Kondisi
tersebut merupakan salah satu penyebab rendahnya kemampuan literasi sains siswa
(Didit dan Bibin 2016).

2.3 Assesmen dalam Hakikat Sains


Pengertian asesmen menurut beberapa ahli yaitu Asesmen merupakan kegiatan yang
dilakukan guru untuk memperoleh informasi secara objektif tentang hasil belajar yang dicapai
peserta didik sebagai timbal balik yang dapat digunakan sebagai dasar untuk menentukan
perlakuan selanjutnya (Jihad dan Haris, 2012). Asesmen tidak hanya dilaksanakan diakhir
pembelajaran, namun juga dilaksanakan saat pembelajaran sedang berlangsung (Arikunto, 2014).
Berdasarkan Permendikbud Nomor 66 Tahun 2013 tentang standar Penilaian Pendidikan,
instrumen penilaian harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: substansi yang
merepresentasikan kompetensi yang dinilai; konstruksi yang memenuhi persyaratan teknis sesuai
dengan bentuk instrumen yang digunakan; dan penggunaan bahasa yang baik dan benar serta
komunikatif sesuai dengan tingkat perkembangan siswa (Permendikbud, 2013).
Jadi dapat disimpulkan bahwa Asesmen adalah suatu prosedur sistematis untuk
mengumpulkan informasi yang digunakan untuk membuat inferensi atau keputusan mengenai
karakteristik seseorang. Kegiatan asesmen dilakukan untuk memperoleh gambaran berbagai
kondisi individu dan lingkungannya. Menurut Linn dan Gronlund (1995) dalam asesmen harus
memperhatikan tujuannya sebagai berikut: (1) penelusuran (keeping track) yaitu untuk
menelusuri agar proses pembelajaran tetap sesuai dengan rencana. (2) pengecekan (checking-up),
yaitu untuk mengecek adakah kelemahan-kelemahan yang dialami oleh siswa selama proses
pembelajaran. (3) pencarian (finding-out) yaitu untuk mencari dan menemukan hal-hal yang
menyebabkan terjadinya kesalahan dan kelemahan dalam proses pembelajaran. (4) penyimpulan
(summing-up) yaitu untuk menyimpulkan apakah siswa telah menguasai seluruh kompetensi
yang ditetapkan dalam kurikulum.
2.3.1 Penilaian Kemampuan Literasi Sains Sesuai Hakikat Sains
Hakekat sains adalah suatu pengetahuan (ilmu pengetahuan) atau kumpulan konsep,
prinsip, hukum, dan teori yang dibentuk melalui proses kreatif yang sistematis yang dilanjutkan
dengan proses pengamatan (empiris) secara terus-menerus (Liliasari dkk, 2013). Dalam
melakukan penilaian, seorang guru perlu menyusun instrumen penilaian kemampuan literasi
sains yang dapat mengukur kompetensi tiap peserta didik dengan tepat. Bentuk-bentuk instrumen
penilaian yang dapat digunakan adalah penilaiaan kinerja, portofolio, tes esai atau tes pilihan
ganda.
Terdapat dua hal yang perlu diperhatikan dalam menilai tingkatan literasi sains sesuai
hakikat sains yaitu Pertama, penilaian tidak ditujukan untuk membedakan seseorang literasi atau
tidak. Kedua, pencapaian literasi sains merupakan proses yang kontinu dan terus meneruskan
berkembang sepanjang hidup manusia. Jadi, penilaian literasi sains sesuai hakikat sains selama
pembelajaran di sekolah hanya melihat adanya “benih-benih literasi” dalam diri siswa, bukan
mengukur secara mutlak tingkat literasi sains dan teknologi siswa (Liliasari dkk, 2013). Proses
perolehan pengetahuan sains dilakukan oleh seorang saintis melalui aktivitas operasi berpikir,
keterampilan, dan strategi memanipulasi dan menghitung, yang dapat diuji kembali
kebenarannya yang dilandasi dengan sikap keinginan (curiousity), keteguhan hati (courage),
ketekunan (persistence) yang dilakukan oleh individu untuk menyingkap rahasia alam. Oleh
karena itu pendidikan sains adalah suatu upaya atau proses untuk mengembangkan peserta didik
untuk memahami hakikat IPA sebagai produk, proses, dan mengembangkan sikap ilmiah serta
nilai yang ada di dalam masyarakat untuk pengembangan sikap aplikasi yang positif.
Sains dikatakan sebagai proses karena di dalamnya diperlukan adanya suatu proses atau
cara-cara tertentu yang bersifat analitis, cermat dan lengkap, serta menghubungkannya dengan
gejala alam yang satu dengan yang lain sehingga membentuk suatu kesimpulan. Jadi dalam
prosesnya kita bisa berfikir dalam memecahkan suatu masalah yang ada di lingkungan. Melalui
proses ini kita bisa mendapatkan temuan-temuan ilmiah, dan perwujudannya berupa kegiatan
ilmiah yang disebut penyelidikan ilmiah. Sains sebagai produk, di dalamnya memahami gejala-
gejala alam yang berupa prinsip, konsep, hukum, teori dan fakta yang bertujuan untuk
menjelaskan berbagai gejala alam yang terjadi. Sedangkan sains sebagai sikap ilmiah
mengandung makna yaitu cara kerja, sikap, dan cara berfikir. Sikap ilmiah lain yang muncul dari
hasil pengamatan/observasi yaitu sikap Jujur, Teliti dan Cermat. Berdasarkan hal tersebut, maka
pembelajaran sains di sekolah yang memuat perencanaan pembelajaran, pelaksanaan, dan
evaluasi hasil atau penilaian tersebut harus mencerminkan hakikat sains yaitu aspek keterampilan
proses sains, produk ilmiah, dan sikap ilmiah.
2.3 Kondisi Literasi Sains Peserta Didik
Literasi sains merupakan bagian terpenting dalam pembelajaran IPA. Kemampuan literasi
sains merupakan kemampuan dalam menggunakan data dan bukti ilmiah guna mengevaluasi
kualitas informasi dan argumentasi ilmiah (Huryah, 2017). Berdasarkan pernyataan tersebut
sehingga, pembelajaran sains peserta didik diharapkan memiliki keterampilan berfikir serta
mampu mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari (Taofiq, 2018). Literasi sains
merupakan ilmu dan pemahaman yang menuntut seseorang untuk membuat suatu keputusan
secara ilmiah dengan pengetahuan yang dimiliki sehingga mampu menggunakan literasi sains
secara aktif dalam menanggapi dan menyelesaikan permasalahan-permasalahan dalam kehidupan
sehari-hari sesuai dengan bidang ilmunya masing-masing. Literasi sains juga berperan penting
dalam membantu peserta didik memahami lingkungan, kesehatan, ekonomi, sosial modern, dan
teknologi.
Keadaan literasi sains peserta didik di Indonesia saat ini masih tergolong rendah.
Pernyataan ini sesuai dengan hasil studi PISA 2015 menyatakan bahwa literasi sains di Indonesia
sebesar 403 poin yang terletak pada peringkat 62 dari 70 negara, bahkan skor tersebut masih di
bawah negara tetangga Thailand, Vietnam, dan Singapura yaitu 421, 525, dan 556 (Bagasta dkk,
2018). Hal tersebut menunjukkan bahwa rata-rata skor literasi sains di Indonesia berada di bawah
rata-rata skor Internasional. Skor rata-rata tersebut menunjukkan pula bahwa sebagian besar
peserta didik belum mampu menganalisis dan mengaplikasikan konsep guna menyelesaikan isu-
isu atau permasalah dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu peserta didik saat ini pandai
menghapal namun tidak mampu atau kurang terampil dalam mengaplikasikan pengetahuan yang
sudah dimiliki tersebut. Tingkat kemauan peserta didik dalam membaca dan menulis pun masih
sangat kurang sehingga literasi peserta didik termasuk literasi sains pun kurang.(Faisal, dkk,
2018).
Rendahkan literasi sains peserta didik juga mengidentifikasikan bahwa rata-rata
kemampuan peserta didik dalam sains baru sampai pada kemampuan mengingat serta mengenali
pengetahuan ilmiah berdasarkan fakta sederhana, namun belum mampu mengkomunikasikan dan
mengaitkan konsep sains dengan kehidupan sehari-hari. Peserta didik juga belum mampu
menerapkan konsep-konsep sains yang bersifat komplek dan abstrak dalam kehidupan sehari-
hari. Adapun faktor lain yang menyebabkan masih rendahnya literasi sains di Indonesia sesuai
yaitu peserta didik belum terlatih dalam menyelesaikan soal-soal yang berbasis literasi sains.
Faktor latar belakang, minat, intensitas belajar, dan sikap sains peserta didik juga mempengaruhi
rendahnya literasi sains peserta didik (Ekohariadi, 2009). Diperkuat oleh pernyataan Kurnia
(2014), bahwa rendahnya kemampuan literasi sains peserta didik di Indonesia dipengaruhi oleh
kurikulum dan sistem pendidikan, pemilihan metode dan model pengajaran oleh tenaga pendidik,
sarana dan fasilitas belajar, serta bahan ajar.
Programme for International Student Assessment (PISA) (2015), tiga aspek literasi sains
yang diukur di antaranya mengidentifikasi masalah atau isu ilmiah, menjelaskan fenomena, dan
menggunakan bukti ilmiah sesuai dengan perkembangan teknologi (Bybee, 2013). Kompetensi-
kompetensi ini menjadi tugas yang perlu diselesaikan oleh sekolah-sekolah di seluruh Indonesia.
Semua jenjang pendidikan di Indonesia perlu meningkatkan dan mengembangkan literasi sains
peserta didik. Literasi sains baik pada jenjang SD, SMP, dan SMA masih tergolong rendah.
Hasil penelitian Winata,dkk (2018) menyatakan bahwa sebanyak 70% peserta didik kelas
V di salah satu SD memiliki kemampuan literasi sains yang rendah. Permasalahan serupa juga
terjadi di SMP dan SMA. Penelitian Hasasiyah, dkk (2020), menunjukkan bahwa kemampuan
literasi sains di SMP terkategori rendah. Hal ini tampak dari aspek mengidentifikasi pendapat
ilmiah yang valid (58%), memahami elemen-elemen desain penelitian terhadap temuan (24%),
kemampuan dalam penyelesaian soal berdasarkan fenomena ilmiah (32%), kemampuan
memahami dan menginterpretasikan statistik dasar (21%), serta kemampuan melakukan
inferensi, prediksi, dan penarikan kesimpulan berdasarkan data (39%). Kemampuan literasi sains
peserta didik pada jenjang SMP paling rendah pada aspek memahami dan menginterpretasikan
statistik dasar.
Selain jenjang SD dan SMP, kemampuan literasi sains peserta didik pada jenjang SMA
juga masih tergolong rendah. Hasil penelitian Angraini (2014), menyatakan bahwa kemampuan
literasi sains peserta didik kelas X SMA di Kota Solok masih tergolong rendah. Hal tersebut
disebabkan oleh konsep materi yang di ujikan belum pernah dipelajari sebelumnya, selain itu
peserta didik tidak terbiasa dalam mengerjakan soal yang mengedepankan wacana, dan proses
pembelajaran kurang kondusif dalam mendukung peserta didik mengembangkan kemampuan
literasi sains. Pernyataan Angraini juga diperkuat oleh pernyataan dari Rizkita (2016),
menunjukkan bahwa kemampuan literasi sains peserta didik SMA Kota Malang masih rendah.
Adapun penyebab rendahnya literasi sains di Kota Malang salah satunya disebabkan oleh proses
pembelajaran yang belum melibatkan proses sains.
Literasi sains merupakan poin penting yang dapat dijadikan sebagai indikator kualitas
pendidikan dan sumber daya manusia suatu negara. Literasi sains dapat menjadi tolak ukur yang
berkaitan dengan bagaimana cara peserta didik dalam memahami lingkungan hidup, kesehatan,
ekonomi serta permasalahan-pemasalahan lain yang di hadapi dalam kehidupan sehari-hari yang
bergantung pada teknologi dan kemajuan serta perkembangan ilmu pengetahuan. Literasi sains
juga membantu dalam menghadapi situasi yang memerlukan informasi ilmiah serta pengetahuan
dan pemahaman ilmiah. Berdasarkan hal tersebut, penting untuk meningkatkan literasi sains di
Indonesia baik pada jenjang SD, SMP, dan SMA.
Budiarti, I.S., (2021). Analysis on Students’ Scientific Literacy of Newton’s Law and Motion
System in Living Things. Jurnal Pendidikan Sains Indonesia (Indonesian Journal of
Science Education). Vol. 9, No. 1, hlmn.36-51.
Kemendikbud. (2017). Materi Pendukung Literasi Sains. Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan
Dasar dan Menengah, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Kemendikbud. (2019). Desain induk gerakan literasi sekolah. Jakarta: Direktorat Jenderal
Pendidikan Dasardan Menengah, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Wulandari, N. & Sholihin, H. (2016). Analisis Kemampuan Literasi Sains Pada Aspek
Pengetahuan Dan Kompetensi Sains Siswa SMP Pada Materi Kalor. Edusains. Vol. 8 No.1.
Hal. 66-73.

Toharudin, et.al. (2011). Membangun literasi sains peserta didik. Bandung: Humaniora.

Wulandari, N. & Sholihin, H. (2016). Analisis Kemampuan Literasi Sains Pada Aspek
Pengetahuan Dan

Kompetensi Sains Siswa SMP Pada Materi Kalor. Edusains. Vol. 8 No.1. Hal. 66-73.

Anda mungkin juga menyukai