Psikologi pembelajaran adalah suatu hal yang mutlak dikuasai oleh guru dan calon guru agar tujuan
pembelajaran matematika yang telah direncanakan tercapai secara maksimal. Untuk mencapai tujuan
pembelajaran tersebut, guru tidak hanya memperhatikan hakikat matematika tetapi juga psikologi
pembelajaran matematika.
Apa itu “Psikologi Pembelajaran”, dan “Psikologi Pembelajaran Matematika”. Makna dari Psikologi
adalah studi ilmiah tentang prilaku dan proses mental , sedangkan Psikologi pembelajaran adalah
Pembelajaran antara guru dan siswa. Siswa bisa belajar efektif dan guru mengajar baik cabang
psikologi yang terkhusus dalam cara memahami pengajaran, pembelajran, dalam lingkungan
pendidikan. mengenai psikolgi pembelajaran matematika terutama adalah bagaimana seseorang
belajar, tentang bagaimana orang tersebut melakukan atau melaksanakan suatu tugas dan tentang
bagaimana orang tersebut bisa berkembangan. Pengertian tersebut dinyatakan oleh Resnick dan Ford
(1984:3) yaitu: “Most people know psychology is concerned with how people learn, with how they
perform tasjs, and with how they develop.” Meskipun begitu Resnik dan Ford mengajukan beberapa
pertanyaan yang berkaitan dengan pembelajaran matematika.
Macam-macam Psikologi :
Dari macam-macam psikologi diatas, psikologi khusus dapat dibagi lagi. Diantaranya:
1. Psikologi perkembangan
psikologi yang mempelajari perubahan-perubahan tingkah laku yang sejalan dengan umur
(kehidupan sebelum lahir hingga usia tua).
2. Psikologi anak
3. Psikologi sosial
psikologi yang mempelajari tingkah laku individu dalam hubungannya dengan kelompok,
terutama bagaimana tingkah laku individu dipengaruhi kelompoknya.
4. Psikologi klinis
5. Psikologi industri
6. Psikologi pendidikan
7. Psikologi kepribadian
8. Psikologi abnormal
9. Psikometri
Secara umum psikologi adalah ilmu yang mempelajari gejala kejiwaan seseorang yang sangat
penting adanya dalam proses pendidikan. Psikologi pendidikan merupakan alat dalam mencapai
tujuan pendidikan yang telah ditetapkan, karena prinsip yang terkandung dalam psikologi pendidikan
dapat dijadikan landasan berfikir dan bertindak dalm mengelola proses belajar-mengajar, yang
merupakan unsur utama dalam pelaksanaan setiap sistem pendidikan. Teori belajar atau teori
perkembangan mental menurut Ruseffendi (1988) adalah berisi uraian tentang apa yang terjadi dan
apa yang diharapkan terjadi terhadap mental peserta didik. Sementara itu, pengertian tentang belajar
itu sendiri berbeda-beda menurut teori belajar yang dianut seseorang.
a. Teori Piaget
Jean Piaget menyebutkan bahwa struktur kognitif sebagai Skemata (Schemas), yaitu
kumpulan dari skema-skema. Seorang individu dapat mengikat, memahami, dan
memberikan respon terhadap stimulus disebabkan karena bekerjanya skemata ini. Skemata
ini berkembang secara kronologis, sebagai hasil interaksi individu dengan lingkungannya,
sehingga individu yang lebih dewasa memliki struktur kognitif yang lebih lengkap dari pada
ketika ia masih kecil. Perkembangan skemata ini terus-menerus melalui adaptasi dengan
lingkungannya. Skemata tersebut membentuk suatu pola penalaran tertentu dalam pikiran
anak. Makin baik kualitas skema ini, makin baik pulalah pola penalaran anak tersebut.
Proses terjadinya adaptasi dari skemata yang telah terbentuk dengan stimulus baru dilakukan
dengan dua cara, yaitua similasi dan akomodasi. Asimilasi adalah pengintegrasian stimulus
baru kedalam skemata yang telah terbentuk secara langsung. Akomodasi adalah proses
pengintegrasian stimulus baru kedalam skema yang telah terbentuk secara tidak lansung
Tahap perkembangan kognitif:
Tahap Sensori Motor (sejak lahir sampai dengan 2 tahun)
Bagi anak yang berada pada tahap ini, pengalaman diperoleh melalui perbuatan fisik
(gerakan anggota tubuh) dan sensori(koordinasi alat indra).
Tahap Pra Operasi (2 tahun sampai dengan 7 tahun)
Ini merupakan tahap persiapan untuk pengorganisasian operasi konkrit. Operasi konkrit
adalah berupa tindakan tindakan kognitif seperti mengklasifikasikan sekelompok objek,
menata letak benda berdasarkan urutan tertentu dan membilang.
Tahap Operasi Konkrit(7 tahun sampai dengan 11 tahun)
Umumnya anak-anak pada tahap ini telah memahami konsep kekekalan, kemampuan
mengklasifikasi, mampu memandang suatu objek dari sudut pandang yang berbeda
secara objektif, dan mampu berfikir reversible.
Tahap Operasi Formal (11 tahun dan seterusnya)
Tahap ini merupakan tahap akhir dari perkembangan kognitif secara kualitas. Anak pada
tahap ini sudah mampu malakukan penalaran dengan menggunakan hal-hal yang abstrak.
Anak mampu bernalar tanpa harus berhadapan dengan objek atau peristiwanya langsung,
dengan hanya menggunakan simbol-simbol, ide-ide, abstraksi dan generalisasi.
b. Teori Gestalt
Gestalt adalah sebuah teori yang menjelaskan proses persepsi melalui pengorganisasian
komponen-komponen sensasi yang memiliki hubungan, pola, ataupun kemiripan menjadi
kesatuan. Teori gestalt beroposisi terhadap teori strukturalisme. Teori gestalt cenderung
berupaya mengurangi pembagian sensasi menjadi bagian-bagian kecil. Istilah “Gestalt”
mengacu pada sebuah objek/ figur yang utuh dan berbeda dari penjumlahan bagian-
bagiannya. Tokoh aliran ini adalah John Dewey.
c. Teori William Arthur Brownell
Brownell mengemukakan bahwa belajar matematika harus merupakan belajar bermakna dan
belajar pengertian. Dia menegaskan bahwa belajar pada hakikatnya merupakan suatu proses
yang bermakna. Bila kita perhatikan, teori yang dikemukakan Brownell ini sesuai dengan
teori belajar-mengajar Gestalt, yang muncul di pertengahan tahun 1930. Menurut teori
belajar-mengajar Gestalt, latihan hafal atau yang dikenal dengan sebutan drill adalah sangat
penting dalam kegiatan pengajaran. Cara ini ditetapkan setelah tertanamnya pengertian.
d. Teori Zoltan Paul Dienes
Dienes adalah seorang matematikawan yang memusatkan perhatiannya pada cara-cara
pengajaran terhadap anak-anak. Dasar teorinya bertumpu pada teori Piaget, dan
pengembangannya diorientasikan pada anak-anak, sedemikian rupa sehingga sistem yang
dikembangkannya itu menarik bagi anak yang mempelajari matematika.
Dienes berpendapat bahwa pada dasarnya matematika dapat dianggap sebagai studi tentang
struktur, memisah-misahkan hubungan-hubungan di antara struktur-¬struktur dan
mengkategorikan hubungan-hubungan di antara struktur-struktur. Dienes mengemukakan
bahwa tiap-tiap konsep atau prinsip dalam matematika yang disajikan dalam bentuk yang
konkret akan dapat dipahami dengan baik. Ini mengandung arti bahwa benda-benda atau
objek-objek dalam bentuk permainan akan sangat berperan bila dimanipulasi dengan baik
dalam pengajaran matematika.
Permainan bebas merupakan tahap belajar konsep yang aktivitasnya tidak berstruktur dan
tidak diarahkan. Aktivitas ini memungkinkan anak mengadakan percobaan dan mengotak-
atik (memanipulasi) benda-benda konkret dan abstrak dari unsur-unsur yang sedang
dipelajarinya itu. Dalam tahap permainan bebas, anak-anak berhadapan dengan unsur-unsur
dalam interaksinya dengan lingkungan belajarnya atau alam sekitar. Dalam tahap ini anak
tidak hanya belajar membentuk struktur mental, namun juga belajar membentuk struktur
sikap untuk mempersiapkan diri dalam pemahaman konsep.
e. Teori Van Hiele
Dalam pengajaran geometri terdapat teori belajar yang dikemukakan oleh Van Hiele, yang
menguraikan tahap-tahap perkembangan mental anak dalam geometri. Van Hiele adalah
seorang guru bangsa Belanda yang mengadakan penelitian dalam pengajaran geometri.
Menurut Van Hiele, tiga unsur utama dalam pembelajaran geometri yaitu waktu, materi
pengajaran dan metode pengajaran yang diterapkan, jika ditata secara terpadu akan dapat
meningkatkan kemampuan berfikir anak kepada tingkatan berfikir yang lebih tinggi.
Van Hiele menyatakan bahwa terdapat lima tahap belajar anak dalam belajar geometri, yaitu
tahap pengenalan, tahap analisis, tahap pengurutan, tahap deduksi, tahap akurasi yang akan
diuraikan sebagai berikut:
1) Tahap pengenalan (Visualisasi)
Dalam tahap ini anak mulai belajar mengenali suatu bentuk geometri secara
keseluruhan, namun belum mampu belajar mengetahui adanya sifat-sifat dari bentuk
geometri yang dilihatnya itu. Contohnya, jika seorang anak diperlihatkan sebuah
kubus, maka ia belum mengetahui sifat-sifat yang dimiliki oleh kubus tersebut. Anak
belum menyadari bahwa kubus mempunyai 6 sisi yang berbentuk bujur sangkar,
mempunyai 12 rusuk, dll.
2) Tahap analisis
Pada tahap ini anak sudah mulai mengenal sifat-sifat yang dimiliki benda geometri
yang diamatinya seperti segitiga, persegi dan persegi panjang. Anak sudah mampu
menyebutkan keteraturan yang terdapat pada benda geometri itu. Misalnya, ketika
anak mengamati persegi panjang, ia telah mengetahui bahwa terdapat 2 pasang sisi
yang berhadapan, dan kedua pasang sisi tersebut saling sejajar. Dalam tahap ini anak
belum mampu mengetahui hubungan yang terkait antara suatu benda geometri dengan
benda geometri lainnya. Misalnya, anak belum mengetahui bahwa bujursangkar
adalah persegipanjang, bahwa bujursangkar adalah belah ketupat dan sebagainya.
3) Tahap pengurutan (deduksi informal)
Pada tahap ini anak sudah mulai mampu melaksanakan penarikan kesimpulan, yang
dikenal dengan sebutan berfikir dedukif. Namun kemampuan ini belum berkembang
secara penuh. Satu hal yang perlu diketahui adalah, anak pada tahap ini sudah mulai
mampu mengurutkan. Misalnya, anak sudah mengenali bahwa belah ketupat juga
merupakan layang-layang. Dalam pengenalan benda-benda ruang, anak sudah mampu
memahami bahwa kubus adalah balok. Pola pikir anak pada tahap ini masih belum
mampu menerangkan mengapa diagonal suatu persegi panjang sama panjang.
4) Tahap deduksi
Dalam tahap ini anak sudah mampu menarik kesimpulan secara deduktif, yaitu
menarik kesimpulan dari hal-hal yang bersifat umum menuju hal-hal yang bersifat
khusus. Anak juga telah mengerti betapa pentingnya peranan unsur-unsur yang tidak
didefinisikan, di sampaing unsur-unsur yang didefinisikan. Misalnya anak sudah
mulai memahami dalil. Selain itu, pada tahap ini anak sudah mulai mampu
menggunakan aksioma atau postulat yang digunakan dalam pembuktian. Postulat
dalam pembuktikan segitiga yang sama dan sebangun, seperti postulat sudut-sudut-
sudut, sisi-sisi-sisi atau sudut-sisi-sudut, dapat dipahaminya, namun belum mengerti
mengapa postulat tersebut benar dan mengapa dapat dijadikan sebagai postulat dalam
cara-cara pembuktian dua segitiga yang sama dan sebangun (kongruen).
5) Tahap akurasi
Dalam tahap ini anak sudah mulai menyadari betapa pentingnya ketepatan dari
prinsip-prinsip dasar yang melandasi suatu pembuktian. Tahap akurasi merupakan
tahap berfikir yang tinggi, rumit dan kompleks.