Anda di halaman 1dari 11

Nama anggota :

1. Latifah Septi Cahyati (1301060082)


2. Mochamad Fauzi (1301060078)
3. Lutfi Nurhayati (1301060099)

Tugas 1 : Psikologi belajar matematika

Psikologi Pembelajaran Matematika

Psikologi pembelajaran adalah suatu hal yang mutlak dikuasai oleh guru dan calon guru agar tujuan
pembelajaran matematika yang telah direncanakan tercapai secara maksimal. Untuk mencapai tujuan
pembelajaran tersebut, guru tidak hanya memperhatikan hakikat matematika tetapi juga psikologi
pembelajaran matematika.

Apa yang dimaksud psikologi pembelajaran matematika?

Apa itu “Psikologi Pembelajaran”, dan “Psikologi Pembelajaran Matematika”. Makna dari Psikologi
adalah studi ilmiah tentang prilaku dan proses mental , sedangkan Psikologi pembelajaran adalah
Pembelajaran antara guru dan siswa. Siswa bisa belajar efektif dan guru mengajar baik cabang
psikologi yang terkhusus dalam cara memahami pengajaran, pembelajran, dalam lingkungan
pendidikan. mengenai psikolgi pembelajaran matematika terutama adalah bagaimana seseorang
belajar, tentang bagaimana orang tersebut melakukan atau melaksanakan suatu tugas dan tentang
bagaimana orang tersebut bisa berkembangan. Pengertian tersebut dinyatakan oleh Resnick dan Ford
(1984:3) yaitu: “Most people know psychology is concerned with how people learn, with how they
perform tasjs, and with how they develop.” Meskipun begitu Resnik dan Ford mengajukan beberapa
pertanyaan yang berkaitan dengan pembelajaran matematika.

Macam-macam Psikologi :

dari penjelasan diatas, termuat macam-macam psikologi :

1. Psikologi Umum : gejala – gejala jiwa secara umum


2. Psikologi Khusus : gejala jiwa khusus pada aspek kehidupan manusia

Dari macam-macam psikologi diatas, psikologi khusus dapat dibagi lagi. Diantaranya:

1. Psikologi perkembangan

psikologi yang mempelajari perubahan-perubahan tingkah laku yang sejalan dengan umur
(kehidupan sebelum lahir hingga usia tua).

2. Psikologi anak

psikologi yang mempelajari perkembangan masa anak-anak.

3. Psikologi sosial

psikologi yang mempelajari tingkah laku individu dalam hubungannya dengan kelompok,
terutama bagaimana tingkah laku individu dipengaruhi kelompoknya.
4. Psikologi klinis

psikologi yang mempelajari kelainan-kelainan tingkah laku, mengadakan diagnosis


psikologik, serta psikoterapi, di samping mengadakan penelitian-penelitian dan pengetesan
dalam bidang tersebut.

5. Psikologi industri

psikologi yang mempelajari masalah-masalah perusahaan atau industri.

6. Psikologi pendidikan

psikologi yang mempelajari penggunaan psikologi dalam masalah pendidikan.

7. Psikologi kepribadian

psikologi yang mempelajari sifat dan watak manusia.

8. Psikologi abnormal

psikologi yang mempelajari perilaku-perilaku menyimpang dari orang-orang yang mengalami


gangguan atau kelainan mental.

9. Psikometri

psikologi yang mempelajari pengukuran dan mengembangkan tes.

Teori-Teori Belajar Psikologi Pembelajaran Matematika

Secara umum psikologi adalah ilmu yang mempelajari gejala kejiwaan seseorang yang sangat
penting adanya dalam proses pendidikan. Psikologi pendidikan merupakan alat dalam mencapai
tujuan pendidikan yang telah ditetapkan, karena prinsip yang terkandung dalam psikologi pendidikan
dapat dijadikan landasan berfikir dan bertindak dalm mengelola proses belajar-mengajar, yang
merupakan unsur utama dalam pelaksanaan setiap sistem pendidikan. Teori belajar atau teori
perkembangan mental menurut Ruseffendi (1988) adalah berisi uraian tentang apa yang terjadi dan
apa yang diharapkan terjadi terhadap mental peserta didik. Sementara itu, pengertian tentang belajar
itu sendiri berbeda-beda menurut teori belajar yang dianut seseorang.

1. Teori Psikologi Tingkah Laku


Pandangan belajar menurut aliran tingkah laku tidak lain adalah perubahan dalam tingkah laku
sebagai akibat d ari interaksi antara stimulus dan respons. Atau dengan kata lain belajar adalah
perubahan yang dialami siswa dalam hal kemampuannya untuk bertingkah laku dengan cara
yang baru sebagai hasil interaksi antara stimulus dan respons.
a. Teori Belajar Thorn Dike
Thorndike memandang belajar sebagai suatu usaha memecahkan problem. Berdasarkan
eksperimen yang dilakukannya ia memperoleh tiga buah hukum dalam belajar, yaitu law of
effect, law of axercise, dan law of readiness.
law of effect menyatakan bahwa tercapainya keadaan yang memuaskan akan memperkuat
hubungan antara stimulus dan respoon. Maksudnya, bila respons terhadap stimulus
menimbulkan sesuatu yang menimbulkan sesuatu yang memuaskan (mengenakkan misalnya)
maka bila stimulus itu muncul lagi subjek akan memberikan respons yang lebih cepat, tepat,
dan intens.
Law of axercisemenyatakan bahwa respons terhadap stimulus dapat diperkuat dengan
seringnya respons itu dipergunakan. Hal ini menghasilkan implikasi bahwa pratik ,
khususnya pengulangan dalam pelajaran adalah penting dilakukan.
Law of readiness mengajarkan bahwa dalam memberikan respons subjek harus siap dan
disiapkan. Hukum ini menyangkut syarat kematangan dalam pengajaran, baik dalam
pengajaran fisik maupun mental dan intelek.
Menurut Thorndike, belajar adalah proses interaksi antara stimulus dan respon. Stimulus
adalah apa yang merangsang terjadinya kegiatan belajar seperti pikiran, perasaan, atau hal-
hal lain yang dapat ditangkap melalui alat indera. Sedangkan respon adalah reaksi yang
dimunculkan peserta didik ketika belajar, yang dapat pula berupa pikiran, perasaan, atau
gerakan/tindakan. Jadi perubahan tingkah laku akibat kegiatan belajar dapat berwujud
konkrit, yaitu yang dapat diamati, atau tidak konkrit yaitu yang tidak dapat diamati.
Meskipun aliran behaviorisme sangat mengutamakan pengukuran, tetapi tidak dapat
menjelaskan bagaimana cara mengukur tingkah laku yang tidak dapat diamati. Teori
Thorndike ini disebut pula dengan teori koneksionisme (Slavin, 2000).
Ada tiga hukum belajar yang utama, menurut Thorndike yakni (1) hukum efek; (2) hukum
latihan dan (3) hukum kesiapan (Bell, Gredler, 1991). Ketiga hukum ini menjelaskan
bagaimana hal-hal tertentu dapat memperkuat respon.
b. Teori Belajar Skinner
Konsep-konsep yang dikemukanan Skinner tentang belajar lebih mengungguli konsep para
tokoh sebelumnya. Ia mampu menjelaskan konsep belajar secara sederhana, namun
lebihkomprehensif. Menurut Skinner hubungan antara stimulus dan respon yang terjadi
melalui interaksi dengan lingkungannya, yang kemudian menimbulkan perubahan tingkah
laku, tidaklah sesederhana yang dikemukakan oleh tokoh tokoh sebelumnya. Menurutnya
respon yang diterima seseorang tidak sesederhana itu, karena stimulus-stimulus yang
diberikan akan saling berinteraksi dan interaksi antar stimulus itu akan mempengaruhi respon
yang dihasilkan. Respon yang diberikan ini memiliki konsekuensi-konsekuensi.
Konsekuensi-konsekuensi inilah yang nantinya mempengaruhi munculnya perilaku (Slavin,
2000). Oleh karena itu dalam memahami tingkah laku seseorang secara benar harus
memahami hubungan antara stimulus yang satu dengan lainnya, serta memahami konsep
yang mungkin dimunculkan dan berbagai konsekuensi yang mungkin timbul akibat respon
tersebut. Skinner juga mengemukakan bahwa dengan menggunakan perubahan-perubahan
mental sebagai alat untuk menjelaskan tingkah laku hanya akan menambah rumitnya
masalah. Sebab setiap alat yang digunakan perlu penjelasan lagi, demikian seterusnya.
Aliran psikologi belajar yang sangat besar pengaruhnya terhadap arah pengembangan teori
dan praktek pendidikan dan pembelajaran hingga kini adalah aliran behavioristik. Aliran ini
menekankan pada terbentuknya perilaku yang tampak sebagai hasil belajar. Teori
behavioristik dengan model hubungan stimulus responnya, mendudukkan orang yang belajar
sebagai individu yang pasif. Respon atau perilaku tertentu dengan menggunakan metode drill
atau pembiasaan semata. Munculnya perilaku akan semakin kuat bila diberikan
reinforcement dan akan menghilang bila dikenai hukuman. Skinner lebih percaya kepada apa
yang disebut sebagai penguat negatif. Penguat negatif tidak sama dengan hukuman.
Ketidaksamaannya terletak pada bila hukuman harus diberikan (sebagai stimulus) agar
respon yang muncul berbeda dengan respon yang sudah ada, sedangkan penguat negatif
(sebagai stimulus) harus dikurangi agar respon yang sama menjadi semakin kuat. Misalnya,
seorang Pebelajar perlu dihukum karena melakukan kesalahan. Jika pebelajar tersebut masih
saja melakukan kesalahan, maka hukuman harus ditambahkan. Tetapi jika sesuatu tidak
mengenakkan pebelajar (sehingga ia melakukan kesalahan) dikurangi (bukan malah
ditambah) dan pengurangan ini mendorong pebelajar untuk memperbaiki kesalahannya,
maka inilah yang disebut penguatan negatif. Lawan dari penguatan negatif adalah penguatan
positif (positive reinforcement). Keduanya bertujuan untuk memperkuat respon. Namun
bedanya adalah penguat positif menambah, sedangkan penguat negatif adalah mengurangi
agar memperkuat respons.
c. Teori Belajar Ausubel
Menurut ausubel (1968) siswa akan belajar dengan baik jika apa yang disebut “ pengatur
kemajuan belajar” (advance organizer) , didefinisikan dan dipresentasikan dengan baik dan
tepat kepada siswa.pengatur kemajuan belajar adalah konsep atau informasi umum yang
mewadai (mencakup) semua isi pelajaran yang akan diajarksn kepada siswa.
Bedasarkan belajar bermakna, Ausabel mengajukan lima prinsip pembelajaran sebagai
berikut:
1) Subsumption
Proses penggabungan ide atau pengalaman terhadap pola-pola ide yang telah lalu yang
sudah dimiliki.
2) Advance organizer
Pengatur awal (advance organizer) dapat digunakan guru dalam membantu mengaitkan
konsep lama dengan konsep baru yang lebih tinggi maknanya. Penggunaan pengatur
awal tepat dapat meningkatkan pemahaman berbagai macam materi, terutama materi
pelajaran yang telah mempunyai struktur yang teratur. Pada saat mengawali
pembelajaran suatu pokok bahasan sebaiknya menggunakan advance organizer,
sehingga pembelajaran akan lebih bermakna.
3) Progressive differentiation
Dalam proses belajar bermakna perlu ada pengembangan dan kolaborasi konsep-
konsep. Caranya unsur yang paling umum dan inklusif dipekenalkan dahulu kemudian
baru yang lebih mendetail, sehingga proses pembelajaran dari umum ke khusus disertai
dengan contoh-contoh.
4) Consolidation
Materi harus lebih dahulu dikuasai sebelum melanjutkan ke materi yang lebih lanjut
apabila materi tersebut menjadi dasar untuk materi selanjutnya. Pemantapan materi
disajikan lebih banyak contoh atau latihan sehingga siswa bisa lebih paham dan
selanjutnya siap menerima materi baru.
5) Integrative reconciliation
Pada suatu saat siswa kemungkinan akan menghadapi kenyataan bahwa dua atau
lebih nama konsep digunakan untuk menyatakan konsep yang sama atau bila nama
yang sama diterapkan pada lebih satu konsep. Untuk mengatasi pertentangan kognitif
itu, Ausabel mengajukan konsep pembelajaran penyesuaian integrative. Caranya materi
pelajaran disusun sedemikian rupa, sehingga guru dapat menggunakan hierarki-hierarki
konseptual ke atas dan ke bawah selama informasi disajikan.

Ausubel percaya bahwaadvance organizer dapat memberikan 3 macam mamfaat yaitu:


1) Dapat menyediakan suatu kerangka konseptual untuk materi belajar yang akan
dipelajari oleh siswa.
2) Dapat berfungsi sebagai jembatan yang menghubungkan antara apa yang sedang
dipelajari siswa “saat ini” dengan apa yang “akan” dipelajari siswa.
3) Mampu membantu siswa untu k memahami bahan belajar secara lebih mudah.
Oleh karena itu, pengetahuan guru terhadap isi mata pelajaran harus sangat baik. Hanya
dengan demikian seorang guru akan mampu menemukan informasi, yang menurut ausubel
“sangat abstrak” umum dan inklusif”, yang mewadahi apa yang diajarkan. Selain itu logika
berfikir juga dituntut sebaik mungkin. Tanpa memiliki logika berfikir yang baik, maka guru
akan kesulitan mamilah milih materi pelajaran, merumuskannya dalam rumusan yang singkat
dan padat, serta mengurutkan materi demi materi kedalam struktur urutan tang logis dan
mudah dipahami.
d. Teori Belajar Gagne
Robert M. Gagne adalah seorang ahli psikologi yang banyak melakukan penelitian mengenai
fase-fase belajar, tipe-tipe kegiatan belajar, dan hirarki belajar. Dalam penelitiannya ia
banyak menggunakan materi matematika sebagai medium untuk mengujipenerapan teorinya
(Depdiknas, 2005:13). Gagne dalam Dimyati (2002:10) menyatakan belajar merupakan
kegiatan yang kompleks. Setelah belajar orang memiliki keterampilan, pengetahuan, sikap,
dan nilai. Dengan demikian belajar adalah seperangkat proses kognitif yang mengubah sifat
stimulus lingkungan, melewati pengolahan informasi, menjadi kapabilitas baru. Dalam
teorinya, Gagne mengemukakan delapan fase dalam suatu tindakan belajar (Dahar,
1991:141-143).Fase-fase itu merupakan kejadian-kejadian eksternal yang dapat distruktur
oleh siswa.Kedelapan fese yang dimaksud adalah sebagai berikut :
1) Fase Motivasi
Siswa (yang belajar) harus diberi motivasi untuk belajar dengan harapan, bahwa belajar
akan memperoleh hadiah. Misalnya, siswa-siswa dapat mengharapkan bahwa informasi
akan memenuhi keingintahuan merekatentang suatu pokok bahasan, akan berguna bagi
mereka atau dapat menolong mereka untuk memperoleh angka yang lebih baik.
2) Fase Pengenalan
Siswa harus memberi perhatian pada bagian-bagian yang esensial dari suatu kajian
instruksional, jika belajar akan terjadi. Misalnya, siswa memperhatikan aspek-aspek
yang relevan tentang apa yang dikatakan guru, atau tentang gagasan-gagasan utama
dalam buku teks.
3) Fase Perolehan
Bila siswa memperhatikan informasi yang relevan, maka ia telah siap untuk menerima
pelajaran. Informasi tidak langsung terserap dalam memori ketika disajikan, informasi
itu di ubah kedalam bentuk yang bermakna yang dihubungkan dengan materi yang telah
ada dalam memori siswa.
4) Fase Retensi
Informasi baru yang diperoleh harus dipindahkan dari memori jangka pendek ke memori
jangka panjang. Ini dapat terjadi melalui pengulangan kembali (rehearsal), praktek
(practice), elaborasi atau lain-lainnya.
5) Fase Pemanggilan
Mungkin saja kita dapat kehilangan hubungan dengan informasi dalam memori jangka-
panjang. Jadi bagian penting dalam belajar adalah belajar memperoleh hubungan dengan
apa yang telah dipelajari, untuk memangil informasi yang telah dipelajari sebelumnya.
6) Fase Generalisasi
Biasanya informasi itu kurang nilainya jika tidak dapat diterapkan di luar konteks
dimana informasi itu dipelajari. Jadi, generalisasiatau transfer informasi pada situasi-
situasi baru merupakan fase kritis dalam belajar. Transfer dapat ditolong dengan
memintapara siswa untuk menggunakan informasi dalam keadaan baru.
7) Fase Penampilan
Siswa harus memperhatikan bahwa mereka telah belajar sesuatu melalui penampilan
yang tampak.
8) Fase Umpan Balik
Para siswa memperoleh umpan balik tentang penampilan mereka yang menunjukkan
apakah mereka telah atau belum mengerti tentang apa yang diajarkan.
e. Teori Ivan Petrovich Pavlov
Pavlov terkenal dengan teori belajar klasik. Ia melakukan percobaan terhadap seekor anjing.
Anjing itu dikurung, dalam suatu kandang dengan waktu tertentu dan diberi makan. Setiap
akan diberi makan, Pavlov membunyikan bel. Ia memperhatikan bahwa setiap dibunyikan
bel pada jangka waktu tertentu anjing itu mengeluarkan air liurnya, meskipun tidak diberi
makanan. Pavlov mengemukakan konsep pembiasaan (conditioning). Dalam hubungannya
dengan kegiatan belajar mengajar, agar siswa belajar dengan baik maka harus dibiasakan.
Misalnya, agar siswa mengerjakan soal pekerjaan rumah dengan baik, biasakanlah dengan
memeriksanya, menjelaskannya, atau memberi nilai terhadap hasil pekerjaannya.
f. Teori Albert Bandura
Bandura mengemukakan bahwa siswa belajar melalui meniru. Pengertian meniru di sini
bukan berarti menyontek, tetapi meniru hal-hal yang dilakukan oleh orang lain, terutama
guru. Jika tulisan guru baik, guru berbicara sopan santun dengan menggunakan bahasa yang
baik dan benar, tingkah laku yang terpuji, menerangkan dengan jelas dan sistematik, maka
siswa akan menirunya. Jika contoh-contoh yang dilihatnya kurang baik ia pun menirunya.
Dengan demikian guru harus menjadi manusia model yang profesional. Bandura memandang
tingkah laku manusia bukan semata-mata refleks otomatis atas stimulus, melainkan juga
akibat reaksi yang timbul sebagai hasil interaksi antara lingkungan dengan skema kognitif
manusia itu sendiri. Teori belajar sosial dari Bandura ini merupakan gabungan antara teori
belajar behavioristik dengan penguatan dan psikologi kognitif, dengan prinsip modifikasi
perilaku.
g. Teori Joy Paulus Guilford
Menurut teori Guilford's, Structure of Intellect kinerja seseorang pada tes kecerdasan dapat
ditelusuri kembali ke dasar kemampuan mental atau faktor kecerdasan. Structure of Intellect
terdiri dari teori hingga 150 kemampuan intelektual yang berbeda yang diselenggarakan
sepanjang tiga dimensi, yaitu operasi, isi, dan produk.
2. Teori Belajar Kognitif
Teori belajar kognitif lebih menekankan pada cara-cara seseorang menggunakan pemikirannya
untuk belajar, mengingat, dan menggunakan pengetahuan yang telah dipeorleh dan disimpan
pikirannya secara efektif. Psikologi kognitif menyatakan bahwa perilaku manusia tidak
ditentukan oleh stimulus yang berada diluar dirinya, melainkan oleh faktor yang ada pada dirinya
sendiri. Faktor-faktor intern ini berupa kemampuan atau potensi yang berfungsi untuk mengenal
dunia luar dan dengan pengenalan itu manusia mampu memberikan respon terhadap stimulus.
Berdasarkan pandangan tersebut teori belajar psikologi kognitif memandang belajar sebagai
proses perfungsian kognisi, terutama unsur pikiran, dengan kata lain bahwa aktivitas belajar pada
diri manusia ditentukan pada proses internal dalam pikiran yakni proses pengolahan informasi.
Ciri – ciri aliran belajar kognitif :
 Mementingkan apa yang ada dalam diri manusia.
 Mementingkan peranan kognitif
 Mementingkangkan kondisi waktu sekarang
 Mementingkan oembentukan struktur kognitif
 Mengutamakan keseimbangan dalam diri manusia
 Mengutamakan insight (pengertian, pemahaman)

a. Teori Piaget
Jean Piaget menyebutkan bahwa struktur kognitif sebagai Skemata (Schemas), yaitu
kumpulan dari skema-skema. Seorang individu dapat mengikat, memahami, dan
memberikan respon terhadap stimulus disebabkan karena bekerjanya skemata ini. Skemata
ini berkembang secara kronologis, sebagai hasil interaksi individu dengan lingkungannya,
sehingga individu yang lebih dewasa memliki struktur kognitif yang lebih lengkap dari pada
ketika ia masih kecil. Perkembangan skemata ini terus-menerus melalui adaptasi dengan
lingkungannya. Skemata tersebut membentuk suatu pola penalaran tertentu dalam pikiran
anak. Makin baik kualitas skema ini, makin baik pulalah pola penalaran anak tersebut.
Proses terjadinya adaptasi dari skemata yang telah terbentuk dengan stimulus baru dilakukan
dengan dua cara, yaitua similasi dan akomodasi. Asimilasi adalah pengintegrasian stimulus
baru kedalam skemata yang telah terbentuk secara langsung. Akomodasi adalah proses
pengintegrasian stimulus baru kedalam skema yang telah terbentuk secara tidak lansung
Tahap perkembangan kognitif:
 Tahap Sensori Motor (sejak lahir sampai dengan 2 tahun)
Bagi anak yang berada pada tahap ini, pengalaman diperoleh melalui perbuatan fisik
(gerakan anggota tubuh) dan sensori(koordinasi alat indra).
 Tahap Pra Operasi (2 tahun sampai dengan 7 tahun)
Ini merupakan tahap persiapan untuk pengorganisasian operasi konkrit. Operasi konkrit
adalah berupa tindakan tindakan kognitif seperti mengklasifikasikan sekelompok objek,
menata letak benda berdasarkan urutan tertentu dan membilang.
 Tahap Operasi Konkrit(7 tahun sampai dengan 11 tahun)
Umumnya anak-anak pada tahap ini telah memahami konsep kekekalan, kemampuan
mengklasifikasi, mampu memandang suatu objek dari sudut pandang yang berbeda
secara objektif, dan mampu berfikir reversible.
 Tahap Operasi Formal (11 tahun dan seterusnya)
Tahap ini merupakan tahap akhir dari perkembangan kognitif secara kualitas. Anak pada
tahap ini sudah mampu malakukan penalaran dengan menggunakan hal-hal yang abstrak.
Anak mampu bernalar tanpa harus berhadapan dengan objek atau peristiwanya langsung,
dengan hanya menggunakan simbol-simbol, ide-ide, abstraksi dan generalisasi.
b. Teori Gestalt
Gestalt adalah sebuah teori yang menjelaskan proses persepsi melalui pengorganisasian
komponen-komponen sensasi yang memiliki hubungan, pola, ataupun kemiripan menjadi
kesatuan. Teori gestalt beroposisi terhadap teori strukturalisme. Teori gestalt cenderung
berupaya mengurangi pembagian sensasi menjadi bagian-bagian kecil. Istilah “Gestalt”
mengacu pada sebuah objek/ figur yang utuh dan berbeda dari penjumlahan bagian-
bagiannya. Tokoh aliran ini adalah John Dewey.
c. Teori William Arthur Brownell
Brownell mengemukakan bahwa belajar matematika harus merupakan belajar bermakna dan
belajar pengertian. Dia menegaskan bahwa belajar pada hakikatnya merupakan suatu proses
yang bermakna. Bila kita perhatikan, teori yang dikemukakan Brownell ini sesuai dengan
teori belajar-mengajar Gestalt, yang muncul di pertengahan tahun 1930. Menurut teori
belajar-mengajar Gestalt, latihan hafal atau yang dikenal dengan sebutan drill adalah sangat
penting dalam kegiatan pengajaran. Cara ini ditetapkan setelah tertanamnya pengertian.
d. Teori Zoltan Paul Dienes
Dienes adalah seorang matematikawan yang memusatkan perhatiannya pada cara-cara
pengajaran terhadap anak-anak. Dasar teorinya bertumpu pada teori Piaget, dan
pengembangannya diorientasikan pada anak-anak, sedemikian rupa sehingga sistem yang
dikembangkannya itu menarik bagi anak yang mempelajari matematika.
Dienes berpendapat bahwa pada dasarnya matematika dapat dianggap sebagai studi tentang
struktur, memisah-misahkan hubungan-hubungan di antara struktur-¬struktur dan
mengkategorikan hubungan-hubungan di antara struktur-struktur. Dienes mengemukakan
bahwa tiap-tiap konsep atau prinsip dalam matematika yang disajikan dalam bentuk yang
konkret akan dapat dipahami dengan baik. Ini mengandung arti bahwa benda-benda atau
objek-objek dalam bentuk permainan akan sangat berperan bila dimanipulasi dengan baik
dalam pengajaran matematika.
Permainan bebas merupakan tahap belajar konsep yang aktivitasnya tidak berstruktur dan
tidak diarahkan. Aktivitas ini memungkinkan anak mengadakan percobaan dan mengotak-
atik (memanipulasi) benda-benda konkret dan abstrak dari unsur-unsur yang sedang
dipelajarinya itu. Dalam tahap permainan bebas, anak-anak berhadapan dengan unsur-unsur
dalam interaksinya dengan lingkungan belajarnya atau alam sekitar. Dalam tahap ini anak
tidak hanya belajar membentuk struktur mental, namun juga belajar membentuk struktur
sikap untuk mempersiapkan diri dalam pemahaman konsep.
e. Teori Van Hiele
Dalam pengajaran geometri terdapat teori belajar yang dikemukakan oleh Van Hiele, yang
menguraikan tahap-tahap perkembangan mental anak dalam geometri. Van Hiele adalah
seorang guru bangsa Belanda yang mengadakan penelitian dalam pengajaran geometri.
Menurut Van Hiele, tiga unsur utama dalam pembelajaran geometri yaitu waktu, materi
pengajaran dan metode pengajaran yang diterapkan, jika ditata secara terpadu akan dapat
meningkatkan kemampuan berfikir anak kepada tingkatan berfikir yang lebih tinggi.
Van Hiele menyatakan bahwa terdapat lima tahap belajar anak dalam belajar geometri, yaitu
tahap pengenalan, tahap analisis, tahap pengurutan, tahap deduksi, tahap akurasi yang akan
diuraikan sebagai berikut:
1) Tahap pengenalan (Visualisasi)
Dalam tahap ini anak mulai belajar mengenali suatu bentuk geometri secara
keseluruhan, namun belum mampu belajar mengetahui adanya sifat-sifat dari bentuk
geometri yang dilihatnya itu. Contohnya, jika seorang anak diperlihatkan sebuah
kubus, maka ia belum mengetahui sifat-sifat yang dimiliki oleh kubus tersebut. Anak
belum menyadari bahwa kubus mempunyai 6 sisi yang berbentuk bujur sangkar,
mempunyai 12 rusuk, dll.
2) Tahap analisis
Pada tahap ini anak sudah mulai mengenal sifat-sifat yang dimiliki benda geometri
yang diamatinya seperti segitiga, persegi dan persegi panjang. Anak sudah mampu
menyebutkan keteraturan yang terdapat pada benda geometri itu. Misalnya, ketika
anak mengamati persegi panjang, ia telah mengetahui bahwa terdapat 2 pasang sisi
yang berhadapan, dan kedua pasang sisi tersebut saling sejajar. Dalam tahap ini anak
belum mampu mengetahui hubungan yang terkait antara suatu benda geometri dengan
benda geometri lainnya. Misalnya, anak belum mengetahui bahwa bujursangkar
adalah persegipanjang, bahwa bujursangkar adalah belah ketupat dan sebagainya.
3) Tahap pengurutan (deduksi informal)
Pada tahap ini anak sudah mulai mampu melaksanakan penarikan kesimpulan, yang
dikenal dengan sebutan berfikir dedukif. Namun kemampuan ini belum berkembang
secara penuh. Satu hal yang perlu diketahui adalah, anak pada tahap ini sudah mulai
mampu mengurutkan. Misalnya, anak sudah mengenali bahwa belah ketupat juga
merupakan layang-layang. Dalam pengenalan benda-benda ruang, anak sudah mampu
memahami bahwa kubus adalah balok. Pola pikir anak pada tahap ini masih belum
mampu menerangkan mengapa diagonal suatu persegi panjang sama panjang.
4) Tahap deduksi
Dalam tahap ini anak sudah mampu menarik kesimpulan secara deduktif, yaitu
menarik kesimpulan dari hal-hal yang bersifat umum menuju hal-hal yang bersifat
khusus. Anak juga telah mengerti betapa pentingnya peranan unsur-unsur yang tidak
didefinisikan, di sampaing unsur-unsur yang didefinisikan. Misalnya anak sudah
mulai memahami dalil. Selain itu, pada tahap ini anak sudah mulai mampu
menggunakan aksioma atau postulat yang digunakan dalam pembuktian. Postulat
dalam pembuktikan segitiga yang sama dan sebangun, seperti postulat sudut-sudut-
sudut, sisi-sisi-sisi atau sudut-sisi-sudut, dapat dipahaminya, namun belum mengerti
mengapa postulat tersebut benar dan mengapa dapat dijadikan sebagai postulat dalam
cara-cara pembuktian dua segitiga yang sama dan sebangun (kongruen).
5) Tahap akurasi
Dalam tahap ini anak sudah mulai menyadari betapa pentingnya ketepatan dari
prinsip-prinsip dasar yang melandasi suatu pembuktian. Tahap akurasi merupakan
tahap berfikir yang tinggi, rumit dan kompleks.

Anda mungkin juga menyukai