Anda di halaman 1dari 26

STAI AL-BAHJAH

Teori belajar dan mengajar

Kumpulan makalah

Abdullah
1/1/2023

Kumpulan dari makalah yang ada


A. Konsep Dasar Teori Belajar Behaviorisme
Behaviorisme adalah teori perkembangan perilaku, yang dapat diukur, diamati dan
dihasilkan oleh respons pelajar terhadap rangsangan. Tanggapan terhadap rangsangan dapat
diperkuat dengan umpan balik positif atau negatif terhadap perilaku kondisi yang diinginkan.
Hukuman kadang-kadang digunakan dalam menghilangkan atau mengurangi tindakan tidak
benar, diikuti dengan menjelaskan tindakan yang diinginkan. Pendidikan behaviorisme
merupakan kunci dalam mengembangkan keterampilan dasar dan dasar-dasar pemahaman
dalam semua bidang subjek dan manajemen kelas. Ada ahli yang menyebutkan bahwa teori
belajar behavioristik adalah perubahan perilaku yang dapat diamati, diukur dan dinilai secara
konkret.
Premis dasar teori belajar behavioristik menyatakan bahwa interaksi antara stimulus
respons dan penguatan terjadi dalam suatu proses belajar. Teori belajar behavioristik sangat
menekankan pada hasil belajar, yaitu perubahan tingkah laku yang dapat dilihat. Hasil belajar
diperoleh dari proses penguatan atas respons yang muncul terhadap stimulus yang bervariasi.
Salah satu teori belajar behavioristik adalah teori classical conditioning dari Pavlov yang
didasarkan pada reaksi sistem tak terkondisi dalam diri seseorng serta gerak refleks setelah
menerima stimulus. Menurut Pavlov, penguatan berperan penting dalam mengkondisikan
munculnya respons yang diharapkan. Jika penguatan tidak dimunculkan, dan stimulus hanya
ditampilkan sendiri, maka respons terkondisi akan menurun dan atau menghilang. Namun,
suatu saat respons tersebut dapat muncul kembali.
Dalam hal konsep pembelajaran, proses cenderung pasif berkenaan dengan teori
behavioris. Pelajar menggunakan tingkat keterampilan pengolahan rendah untuk memahami
materi dan material sering terisolasi dari konteks dunia nyata atau situasi. Little tanggung
jawab ditempatkan pada pembelajar mengenai pendidikannya sendiri.

1. Prinsip Dasar Behaviorisme


 Perilaku nyata dan terukur memiliki makna tersendiri, bukan sebagai perwujudan dari
jiwa atau mental yang abstrak
 Aspek mental dari kesadaran yang tidak memiliki bentuk fisik adalah pseudo problem
untuk sciene, harus dihindari.
 Penganjur utama adalah Watson : overt, observable behavior, adalah satu-satunya
subyek yang sah dari ilmu psikologi yang benar.
 Aliran behaviorisme juga menyumbangkan metodenya yang terkontrol dan bersifat
positivistik dalam perkembangan ilmu psikologi.
 Banyak ahli (a.l. Lundin, 1991 dan Leahey, 1991) membagi behaviorisme ke dalam
dua periode, yaitu behaviorisme awal dan yang lebih belakangan.

2. Analisis Tentang Teori Behavioristik


Kaum behavioris menjelaskan bahwa belajar sebagai suatu proses perubahan tingkah
laku dimana reinforcement dan punishment menjadi stimulus untuk merangsang pebelajar
dalam berperilaku. Pendidik yang masih menggunakan kerangka behavioristik biasanya
merencanakan kurikulum dengan menyusun isi pengetahuan menjadi bagian-bagian kecil
yang ditandai dengan suatu keterampilan tertentu. Kemudian, bagian-bagian tersebut
disusun secara hirarki, dari yang sederhana sampai yang komplek (Paul, 1997).
Pandangan teori behavioristik telah cukup lama dianut oleh para pendidik. Namun dari
semua teori yang ada, teori Skinnerlah yang paling besar pengaruhnya terhadap
perkembangan teori belajar behavioristik. Program-program pembelajaran seperti
Teaching Machine, Pembelajaran berprogram, modul dan program-program pembelajaran
lain yang berpijak pada konsep hubungan stimulus-respons serta mementingkan faktor-
faktor penguat (reinforcement), merupakan program pembelajaran yang menerapkan teori
belajar yang dikemukakan Skiner.
Pandangan behavioristik juga kurang dapat menjelaskan adanya variasi tingkat emosi
pebelajar, walaupun mereka memiliki pengalaman penguatan yang sama. Pandangan ini
tidak dapat menjelaskan mengapa dua anak yang mempunyai kemampuan dan
pengalaman penguatan yang relatif sama, ternyata perilakunya terhadap suatu pelajaran
berbeda, juga dalam memilih tugas sangat berbeda tingkat kesulitannya. Pandangan
behavioristik hanya mengakui adanya stimulus dan respon yang dapat diamati. Mereka
tidak memperhatikan adanya pengaruh pikiran atau perasaan yang mempertemukan
unsur-unsur yang diamati tersebut.
Menurut Guthrie hukuman memegang peranan penting dalam proses belajar. Namun
ada beberapa alasan mengapa Skinner tidak sependapat dengan Guthrie, yaitu:
1. Pengaruh hukuman terhadap perubahan tingkah laku sangat bersifat sementara;
2. Dampak psikologis yang buruk mungkin akan terkondisi (menjadi bagian dari jiwa si
terhukum) bila hukuman berlangsung lama;
3. Hukuman yang mendorong si terhukum untuk mencari cara lain (meskipun salah dan
buruk) agar ia terbebas dari hukuman. Dengan kata lain, hukuman dapat mendorong si
terhukum melakukan hal-hal lain yang kadangkala lebih buruk daripada kesalahan
yang diperbuatnya.
Skinner lebih percaya kepada apa yang disebut sebagai penguat negatif. Penguat
negatif tidak sama dengan hukuman. Ketidaksamaannya terletak pada bila hukuman harus
diberikan (sebagai stimulus) agar respon yang muncul berbeda dengan respon yang sudah
ada, sedangkan penguat negatif (sebagai stimulus) harus dikurangi agar respon yang sama
menjadi semakin kuat. Misalnya, seorang pebelajar perlu dihukum karena melakukan
kesalahan. Jika pebelajar tersebut masih saja melakukan kesalahan, maka hukuman harus
ditambahkan. Tetapi jika sesuatu tidak mengenakkan pebelajar (sehingga ia melakukan
kesalahan) dikurangi (bukan malah ditambah) dan pengurangan ini mendorong pebelajar
untuk memperbaiki kesalahannya, maka inilah yang disebut penguatan negatif. Lawan
dari penguatan negatif adalah penguatan positif (positive reinforcement).

3. Aplikasi Teori Behavioristik dalam Pembelajaran


Aliran psikologi belajar yang sangat besar pengaruhnya terhadap arah pengembangan
teori dan praktek pendidikan dan pembelajaran hingga kini adalah aliran behavioristik.
Aliran ini menekankan pada terbentuknya perilaku yang tampak sebagai hasil belajar.
Teori behavioristik dengan model hubungan stimulus responnya, mendudukkan orang
yang belajar sebagai individu yang pasif. Respon atau perilaku tertentu dengan
menggunakan metode drill atau pembiasaan semata. Munculnya perilaku akan semakin
kuat bila diberikan reinforcement dan akan menghilang bila dikenai hukuman.
Aplikasi teori behavioristik dalam kegiatan pembelajaran tergantung dari beberapa hal
seperti: tujuan pembelajaran, sifat materi pelajaran, karakteristik pebelajar, media dan
fasilitas pembelajaran yang tersedia. Pembelajaran yang dirancang dan berpijak pada teori
behavioristik memandang bahwa pengetahuan adalah obyektif, pasti, tetap, tidak berubah.
Pengetahuan telah terstruktur dengan rapi, sehingga belajar adalah perolehan
pengetahuan, sedangkan mengajar adalah memindahkan pengetahuan (transfer of
knowledge) ke orang yang belajar atau pembelajar.
Implikasi dari teori behavioristik dalam proses pembelajaran dirasakan kurang
memberikan ruang gerak yang bebas bagi pebelajar untuk berkreasi, bereksperimentasi
dan mengembangkan kemampuannya sendiri. Karena sistem pembelajaran tersebut
bersifat otomatis-mekanis dalam menghubungkan stimulus dan respon sehingga terkesan
seperti kinerja mesin atau robot. Akibatnya pebelajar kurang mampu untuk berkembang
sesuai dengan potensi yang ada pada diri mereka.
Karena teori behavioristik memandang bahwa pengetahuan telah terstruktur rapi dan
teratur, maka pebelajar atau orang yang belajar harus dihadapkan pada aturan-aturan yang
jelas dan ditetapkan terlebih dulu secara ketat. Pembiasaan dan disiplin menjadi sangat
esensial dalam belajar, sehingga pembelajaran lebih banyak dikaitkan dengan penegakan
disiplin.
Tujuan pembelajaran menurut teori behavioristik ditekankan pada penambahan
pengetahuan, sedangkan belajar sebagi aktivitas “mimetic”, yang menuntut pebelajar
untuk mengungkapkan kembali pengetahuan yang sudah dipelajari dalam bentuk laporan,
kuis, atau tes. Penyajian isi atau materi pelajaran menekankan pada ketrampian yang
terisolasi atau akumulasi fakta mengikuti urutan dari bagian ke keseluruhan.
Pembelajaran mengikuti urutan kurikulum secara ketat, sehingga aktivitas belajar lebih
banyak didasarkan pada buku teks/buku wajib dengan penekanan pada ketrampilan
mengungkapkan kembali isi buku teks/buku wajib tersebut. Pembelajaran dan evaluasi
menekankan pada hasil belajar.
Ada beberapa tokoh teori behavioristik. Tokoh-tokoh aliran behavioristik tersebut
antaranya adalah Thorndike, Watson, Clark Hull, Edwin Guthrie, dan Skinner. Berikut
akan dibahas karya-karya para tokoh aliran behavioristik dan analisis serta peranannya
dalam pembelajaran.
1) Teori Belajar Menurut Thorndike
Menurut Thorndike, belajar adalah proses interaksi antara stimulus dan respon.
Stimulus adalah apa yang merangsang terjadinya kegiatan belajar seperti pikiran,
perasaan, atau hal-hal lain yang dapat ditangkap melalui alat indera. Sedangkan
respon adalah reaksi yang dimunculkan peserta didik ketika belajar, yang dapat pula
berupa pikiran, perasaan, atau gerakan/tindakan. Jadi perubahan tingkah laku akibat
kegiatan belajar dapat berwujud konkrit, yaitu yang dapat diamati, atau tidak konkrit
yaitu yang tidak dapat diamati. Meskipun aliran behaviorisme sangat mengutamakan
pengukuran, tetapi tidak dapat menjelaskan bagaimana cara mengukur tingkah laku
yang tidak dapat diamati. Teori Thorndike ini disebut pula dengan teori
koneksionisme (Slavin, 2000).
Ada tiga hukum belajar yang utama, menurut Thorndike yakni (1) hukum efek; (2)
hukum latihan dan (3) hukum kesiapan (Bell, Gredler, 1991). Ketiga hukum ini
menjelaskan bagaimana hal-hal tertentu dapat memperkuat respon.
2) Teori Belajar Menurut Watson
Watson mendefinisikan belajar sebagai proses interaksi antara stimulus dan
respon, namun stimulus dan respon yang dimaksud harus dapat diamati (observable)
dan dapat diukur. Jadi walaupun dia mengakui adanya perubahan-perubahan mental
dalam diri seseorang selama proses belajar, namun dia menganggap faktor tersebut
sebagai hal yang tidak perlu diperhitungkan karena tidak dapat diamati. Watson
adalah seorang behavioris murni, karena kajiannya tentang belajar disejajarkan
dengan ilmu-ilmu lain seperi Fisika atau Biologi yang sangat berorientasi pada
pengalaman empirik semata, yaitu sejauh mana dapat diamati dan diukur.
3) Teori Belajar Menurut Clark Hull
Clark Hull juga menggunakan variabel hubungan antara stimulus dan respon
untuk menjelaskan pengertian belajar. Namun dia sangat terpengaruh oleh teori
evolusi Charles Darwin. Bagi Hull, seperti halnya teori evolusi, semua fungsi tingkah
laku bermanfaat terutama untuk menjaga agar organisme tetap bertahan hidup. Oleh
sebab itu Hull mengatakan kebutuhan biologis (drive) dan pemuasan kebutuhan
biologis (drive reduction) adalah penting dan menempati posisi sentral dalam seluruh
kegiatan manusia, sehingga stimulus (stimulus dorongan) dalam belajarpun hampir
selalu dikaitkan dengan kebutuhan biologis, walaupun respon yang akan muncul
mungkin dapat berwujud macam-macam. Penguatan tingkah laku juga masuk dalam
teori ini, tetapi juga dikaitkan dengan kondisi biologis (Bell, Gredler, 1991).
4) Teori Belajar Menurut Edwin Guthrie
Azas belajar Guthrie yang utama adalah hukum kontiguiti. Yaitu gabungan
stimulus-stimulus yang disertai suatu gerakan, pada waktu timbul kembali cenderung
akan diikuti oleh gerakan yang sama (Bell, Gredler, 1991). Guthrie juga
menggunakan variabel hubungan stimulus dan respon untuk menjelaskan terjadinya
proses belajar. Belajar terjadi karena gerakan terakhir yang dilakukan mengubah
situasi stimulus sedangkan tidak ada respon lain yang dapat terjadi. Penguatan sekedar
hanya melindungi hasil belajar yang baru agar tidak hilang dengan jalan mencegah
perolehan respon yang baru. Hubungan antara stimulus dan respon bersifat sementara,
oleh karena dalam kegiatan belajar peserta didik perlu sesering mungkin diberi
stimulus agar hubungan stimulus dan respon bersifat lebih kuat dan menetap. Guthrie
juga percaya bahwa hukuman (punishment) memegang peranan penting dalam proses
belajar. Hukuman yang diberikan pada saat yang tepat akan mampu mengubah
tingkah laku seseorang.
5) Teori Belajar Menurut Skinner
Konsep-konsep yang dikemukanan Skinner tentang belajar lebih mengungguli
konsep para tokoh sebelumnya. Ia mampu menjelaskan konsep belajar secara
sederhana, namun lebihkomprehensif. Menurut Skinner hubungan antara stimulus dan
respon yang terjadi melalui interaksi dengan lingkungannya, yang kemudian
menimbulkan perubahan tingkah laku, tidaklah sesederhana yang dikemukakan oleh
tokoh tokoh sebelumnya. Menurutnya respon yang diterima seseorang tidak
sesederhana itu, karena stimulus-stimulus yang diberikan akan saling berinteraksi dan
interaksi antar stimulus itu akan mempengaruhi respon yang dihasilkan. Respon yang
diberikan ini memiliki konsekuensi-konsekuensi. Konsekuensi-konsekuensi inilah
yang nantinya mempengaruhi munculnya perilaku (Slavin, 2000). Oleh karena itu
dalam memahami tingkah laku seseorang secara benar harus memahami hubungan
antara stimulus yang satu dengan lainnya, serta memahami konsep yang mungkin
dimunculkan dan berbagai konsekuensi yang mungkin timbul akibat respon tersebut.
Skinner juga mengemukakan bahwa dengan menggunakan perubahan-perubahan
mental sebagai alat untuk menjelaskan tingkah laku hanya akan menambah rumitnya
masalah.

B. Konsep Dasar Teori Belajar Kognitif


Belajar seharusnya menjadi kegiatan yang tak terpisahkan dari kehidupan manusia.
Belajar merupakan salah satu kebutuhan hidup manusia yang paling penting dalam upaya
mempertahankan hidup dan mengembangkan diri. Dalam dunia pendidikan belajar
merupakan aktivitas pokok dalam penyelenggaraan proses belajar-mengajar. Melalui belajar
seseorang dapat memahami sesuatu konsep yang baru, dan atau mengalami perubahan
tingkah laku, sikap, dan ketrampilan.
Pada dasarnya terdapat dua pendapat tentang teori belajar yaitu teori belajar aliran
behavioristik dan teori belajar kognitif. Teori belajar behavioristik menekankan pada
pengertian belajar merupakan perubahan tingkah laku, sehingga hasil belajar adalah sesuatu
yang dapat diamati dengan indra manusia langsung tertuangkan dalam tingkah laku. Seperti
yang dikemukakan oleh Ahmadi dan Supriono (1991: 121) bahwa belajar adalah suatu proses
usaha yang dilakukan individu untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru
secara keseluruhan sebagai hasil pengalaman individu itu sendiri dalam interaksi dengan
lingkungannya”.
Sedangkan teori belajar kognitif lebih menekankan pada belajar merupakan suatu proses
yang terjadi dalam akal pikiran manusia. Seperti juga diungkapkan oleh Winkel (1996: 53)
bahwa “Belajar adalah suatu aktivitas mental atau psikis yang berlangsung dalam interaksi
aktif dengan lingkungan yang menghasilkan perubahan-perubahan dalam pengetahuan
pemahaman, ketrampilan dan nilai sikap. Perubahan itu bersifat secara relatif dan berbekas”.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya belajar adalah suatu proses usaha yang
melibatkan aktivitas mental yang terjadi dalam diri manusia sebagai akibat dari proses
interaksi aktif dengan lingkungannya untuk memperoleh suatu perubahan dalam bentuk
pengetahuan, pemahaman, tingkah laku, ketrampilan dan nilai sikap yang bersifat relatif dan
berbekas.
Menurut teori belajar kognitif, belajar merupakan proses-proses internal yang tidak dapat
diamati secara langsung. Adapun tujuan teori ini adalah:
a. Membentuk hubungan yang teruji, teramalkan dari tingkah laku orang-orang pada
ruang kehidupan mereka sendiri secara spesifik sesuai dengan situasi psikologisnya.
b. Membantu guru Menurut teori belajar kognitif pada dasarnya setiap orang dalam
bertingkah laku dan mengerjakan segala sesuatu senantiasa dipengaruhi oleh tingkat-
tingkat perkembangan dan pemahamannya atas dirinya sendiri. Setiap orang memiliki
kepercayaan, ide-ide dan prinsip yang dipilih untuk kepentingan dirinya.

Teori kognitif berasal dari teori kognitif dan teori psikologi. Aspek kognitif
mempersoalkan Menurut teori belajar kognitif, belajar merupakan proses-proses internal yang
tidak dapat diamati secara langsung. Adapun tujuan teori ini adalah :

a. Membentuk hubungan yang teruji, teramalkan dari tingkah laku orang-orang pada
ruang kehidupan mereka sendiri secara spesifik sesuai dengan situasi psikologisnya.

b. Membantu guru untuk memahami orang lain, terutama muridnya, dan membantu
dirinya sendiri

c. Mengkonstruksi prinsip-prinsip ilmiah yang dapat diterapkan dalam kelas dan untuk
menghasilkan prosedur yang memungkinkan belajar menjadi produktif.

d. Teori belajar kognitif menjelaskan bagaimana seseorang mencapai pemahaman atas


diri dan lingkungannya lalu menafsirkan bahwa diri dan lingkungannya merupakan faktor
yang saling berkaitan.
Insight adalah pemahaman dasar yang dapat diaplikasikan pada beberapa situasi yang
sama atau hamper sama. Dapat juga dikatakan insight adalah pemahaman terhadap suatu
situasi secara mendalam. Insight terjadi dengan malihat kasus-kasus/kejadian yang terpisah,
kemudian manggeneralisasikannya sehingga timbul pemahaman.

Perbedaan pandangan teori kognitif dan teori conditioning stimulus-respons adalah sebagai
berikut.

a. Teori kognitif menekankan pada fungsi-fungsi psikologis, sedangkan teori


behaviorisme pada segi fisiknya saja.

b. Teori kognitif berfokus pada situasi saat ini, sedangkan teori behaviorisme pada sejarah
masa lalu.

c. Dalam proses kognitif terjadi interaksi antara manusia dengan lingkungannya secara
simultan dan saling membutuhkan.

Prinsip-prinsip dasar teori belajar kognitif dapat dirumuskan sebagai berikut.

a. Belajar merupakan peristiwa mental yang berhubungan dengan berpikir, perhatian,


persepsi, pemecahan masalah, dan kesadaran

b. Sehubungan dengan pembelajaran, teori belajar perilaku dan kognitif pada akhirnya
sepakat bahwa guru harus memperhatikan perilaku siswa yang tampak, seperti
penyelesaian tugas rumah, hasil tes, disamping itu juga harus memperhatikan faktor
manusia dan lingkungan psikologisnya.

c. Ahli kognitif percaya bahwa kemampuan berpikir setiap orang tidak sama dan tidak
tetap dari waktu ke waktu.

Model teori belajar kognitif yang banyak diterapkan dalam dunia pendidikan adalah model
belajar penemuan dari Brunner, model belajar bermakna dari Ausebel, model pemrosesan
informasi dan model peristiwa pembelajaran dari Rober Gagne, dan model “perkembangan
intelektual” dari Jean Piaget.

Tokoh teori belajar kognitif diantaranya:

1) Teori Belajar Kognitif Gestalt


Teori kognitif mulai berkembang dengan lahirnya teori belajar gestalt. Peletak dasar teori
gestalt adalah Merx Wertheimer (1880-1943) yang meneliti tentang pengamatan dan
problem solving. Sumbangannya diikuti oleh Kurt Koffka (1886-1941) yang menguraikan
secara terperinci tentang hokum-hukum pengamatan, kemudian Wolfgang Kohler (1887-
1959) yang meneliti tentang insight pada simpase. Kaum gestaltis berpendapat bahwa
pengalaman itu berstuktur yang terbentuk dalam suatu keseluruhan. Menurut pandangan
gestaltis, semua kegiatan belajar menggunakan pemahaman terhadap hubungan
hubungan, terutama hubungan antara bagian dan keseluruhan. Intinya, menurut mereka,
tingkat kejelasan dan keberartian dari apa yang diamati dalam situasi belajar adalah lebih
meningkatkan kemampuan belajar seseorang dari pada dengan hukuman dan ganjaran.
2) Teori Belajar Cognitive-Field Dari Lewis
Kurt Lewin (1892-1947) mengembangkan suatu teori belajar kognitif-field dengan
menaruh perhatian kepada kepribadian dan psikologi social. Lewin memandang masing-
masing individu berada di dalam suatu medan kekuatan yang bersifat psikologis. Medan
dimana individu bereaksi disebut life space. Life space mencankup perwujudan
lingkungan di mana individu bereaksi, misalnya ; orang – orang yang dijumpainya, objek
material yang ia hadapi serta fungsi kejiwaan yang ia miliki. Jadi menurut Lewin, belajar
berlangsung sebagai akibat dari perubahan dalam struktur kognitif. Perubahan sruktur
kognitif itu adalah hasil dari dua macam kekuatan, satu dari stuktur medan kognisi itu
sendiri, yang lainya dari kebutuhan motivasi internal individu. Lewin memberikan
peranan lebih penting pada motivasi dari reward.
3) Teori Belajar Cognitive Developmental Dari Piaget
Dalam teorinya, Piaget memandang bahwa proses berpikir sebagai aktivitas gradual dari
fungsi intelektual dari konkret menuju abstrak. Piaget adalah ahli psikolog developmentat
karena penelitiannya mengenai tahap tahap perkembangan pribadi serta perubahan umur
yang mempengaruhi kemampuan belajar individu. Menurut Piaget, pertumbuhan
kapasitas mental memberikan kemampuan-kemapuan mental yang sebelumnya tidak ada.
Pertumbuhan intelektuan adalah tidak kuantitatif, melainkan kualitatif. Pada intinya,
perkembangan kognitif bergantung kepada akomodasi. Kepada siswa harus diberikan
suatu area yang belum diketahui agar ia dapat belajar, karena ia tak daapat belajar dari
apa yang telah diketahuinya.
4) Jerome Bruner Dengan Discovery Learningnya
Yang menjadikan dasar ide J. Bruner ialah pendapat dari Piaget yang menyatakan bahwa
anak harus berperan secara aktif di dalam belajar di kelas. Untuk itu bruner memakai cara
dengan apa yang disebutnya discovery learning, yaitu dimana murid mengorganisasi
bahan pelajaran yang dipelajarai dengan suatu bentuk akhir yang sesuai dengan tingkat
kemajuan anak tersebut. Bruner menyebutkan hendaknya guru harus memberikan
kesempatan kepada muridnya untuk menjadi seorang problem solver, seorang scientist,
historian atau ahli matematika. Biarkan murid kita menemukan arti bagi diri mereka
sendiri dan memungkinkan mereka mempelajari konsep-konsep di dalam bahasa yang
mereka mengerti
5) Teori Belajar Vygostky
Tokoh kontruktivis lain adalah Vygotsky. Sumbangan penting teori Vygotsky adalah
penekanan pada hakekatnya pembelajaran sosiokultural. Inti teori Vygotsky adalah
menekankan interaksi antara aspek “internal” dan “eksternal” dari pebelajaran dan
penekanannya pada lingkungan sosial pebelajaran. Menurut teori Vygotsky, fungsi
kognitif berasal dari interaksi sosial masing – masing individu dalam konsep budaya.
Vygotsky juga yakin bahwa pembelajaran terjadi saat siswa bekerja menangani tugas –
tugas yang belum dipelajari namun tugas- tugas itu berada dalam “zone of proximal
development” mereka. Zone of proximal development adalah jarak antara tingkat
perkembangan sesungguhnya yang ditunjukkan dalam kemampuan pemecahan masalah
secara mandiri dan tingkat kemampuan perkembangan potensial yang ditunjukkan dalam
kemampuan pemecahan masalah di bawah bimbingan orang dewasa atau teman sebaya
yang lebih mampu.

Teori Vygotsky yang lain adalah “scaffolding“. Scaffolding adalah memberikan kepada
seseorang anak sejumlah besar bantuan selama tahap – tahap awal pembelajaran dan
kemudian mengurangi bantuan tersebut dan memberikan kesempatan kepada anak tersebut
mengambil alih tanggung jawab yang semakin besar segera setelah ia mampu mengerjakan
sendiri. Bantuan yang diberikan guru dapat berupa petunjuk, peringatan, dorongan

1. Pandangan-Pandangan Teori Kognitif

Tidak seperti halnya belajar menurut perspektif behavioris dimana perilaku manusia tunduk
pada peneguhan dan hukuman, pada perspektif kognitif ternyata ditemui tiap individu justru
merencakan respons perilakunya, menggunakan berbagai cara yang bisa membantu dia
mengingat serta mengelola pengetahuan secara unik dan lebih berarti. Teori belajar yang
berasal dari aliran psikologi kognitif ini menelaah bagaimana orang berpikir, mempelajari
konsep dan menyelesaikan masalah. Hal yang menjadi pembahasan sehubungan dengan teori
belajar ini adalah tentang jenis pengetahuan dan memori.

Jenis Pengetahuan

Menurut pendekatan kognitif yang mutakhir, elemen terpenting dalam proses belajar adalah
pengetahuan yang dimiliki oleh tiap individu kepada situasi belajar. Dengan kata lain apa
yang telah kita diketahui akan sangat menentukan apa yang akan menjadi perhatian,
dipersepsi, dipelajari, diingat ataupun dilupakan. Pengetahuan bukan hanya hasil dari proses
belajar sebelumnya, tapi juga akan membimbing proses belajar berikutnya. Berbagai riset
terapan tentang hal ini telah banyak dilakukan dan makin membuktikan bahwa pengetahuan
dasar yang luas ternyata lebih penting dibanding strategi belajar yang terbaik yang tersedia
sekalipun. Terlebih bila pengetahuan dan wawasan yang luas ini disertai dengan strategi yang
baik tentu akan membawa hasil lebih baik lagi tentunya.

Perspektif kognitif membagi jenis pengetahuan menjadi tiga bagian, yaitu:

1. Pengetahuan Deklaratif, yaitu pengetahuan yang bisa dideklarasikan biasanya dalam


bentuk kata atau singkatnya pengetahuan konseptual.
2. Pengetahuan Prosedural, yaitu pengetahuan tentang tahapan yang harus dilakukan
misalnya dalam hal pembagian satu bilangan ataupun cara kita mengemudikan sepeda,
singkatnya “pengetahuan bagaimana”.
3. Pengetahuan Kondisional, adalah pengetahuan dalam hal “kapan dan mengapa”
pengetahuan deklaratif dan prosedural digunakan.

Pengetahuan deklaratif rentangnya sangat beragam, bisa berupa pengetahuan tentang


fakta (misalnya, bumi berputar mengelingi matahari dalam kurun waktu tertentu),
generalisasi (setiap benda yang di lempar ke angkasa akan jatuh ke bumi karena adanya gaya
gravitasi), pengalaman pribadi (apa yang diajarkan oleh guru sains secara menyenangkan)
atau aturan (untuk melakukan operasi penjumlahan dan pengurangan pada pecahan maka
pembilang harus disamakan terlebih dahulu).

C. Konsep Dasar Teori Belajar Konstruktivisme


Pandangan konstruktivis mengemukakan bahwa belajar merupakan usaha memberi
makna oleh siswa terhadap pengalamannya melalui asimilasi dan akomodasi yang menuju
kepada pembentukan struktur kognitifnya. Proses belajar sebagai usaha pemberian makna
oleh siswa kepada pengalamnnya melalui proes asimilasi dan akomdasi, akan membentuk
suatu konstruksi pengetahuan yang menuju kepada kemutakhiran struktur kognitifnya. Guru-
guru konsytruktivistik yang mengakui dan menghargai dorongan diri manusia/siswa untuk
mengkonstruksi pengetahuannya sendiri, kegaiata pembelajaran yang dilakukannya akan
diarahkan agar terjadi aktivitas konstruksi pengetahuan oleh siswa secara optimal.
1) Teori Belajar Kontruktivisme Jean Piaget
Jean piaget adalah psikolog pertama yang menggunakan filsafat kontruktivisme, yang
teori pengetahuannya dikenal dengan adaptasi kognitif. Manusia berhapadan dengan
tantangan, pengalaman, gejala baru, dan persoalan yang harus ditanggapi secara kognitif
(mental). Untuk itu, manusia harus mengembangkankan skema pikirannya lebih umum
atau rinci, atau perlu perubahan, menjawab dan menginterpretasikan pengalaman-
pengalaman tersebut.
Selain itu, Piaget juga berpendapat bahwa pada dasarnya setiap individu sejak kecil
sudah memiliki kemampuan untuk menngkontruksi pengetahuannya sendiri. Pengethuan
yang dikonstruksi oleh anak sebagai subjek, maka akan menjadi pengetahuan yang
bermakna; sedangkan pengetahuan yang hanya diperoleh melalui pemberitahuan tidak
akan menjadi pengetahuan yang bermakna. pengethauan tersebut hanya untuk diingat
sementara setelah itu dilupakan (Sanjaya, 2009:124).
Menurut Piaget, mengkonstruksi pengetahuan dilakukan melalui proses asimilasi dan
akomodasi. Proses merespon lingkungan sesuai dengan struktur kognitif seseorang
dinamakan assimilation (asimilasi), yakni sejenis pencocokan atau penyesuaian antara
struktur kognitif dengan lingkungan fisik. Struktur kognitif yang eksis pada momen
tertentu akan dapat diasimilasikan oleh organisme. Misalnya, jika skema mngisap,
menatap, menggapai, dan memegang sudah tersedia bagi si anak, maka segala sesuatu
yang dialami anak akan diasimilasikan ke skemata itu. Jelas, jika asimilasi adalah satu-
satunya proses kognitif, maka tak akan ada perkembangan intelektual sebab organisme
hanya akan mengasimilasikan pengalamnnya ke dalam struktur kognitif. Namun, proses
penting kedua menghasilkan mekanisme untuk perkembangan intelektual yaitu
accomodation (akomodasi), proses memodifikasi struktur kognitif.
2) Jhon Dewey dan Von Graselfeld.
Jhon Dewey dan Von Graselfeld. Dalam hal ini seperti dikemukakan oleh Robert B. Innes
(2004:1) bahwa “Constructivist views of learning include a range of theories that share
the general perspective that knowledge is constructed by learners rather than transmitted
to learners. Most of these theories trace their philosophical roots to John Dewey”.
Maksudnya adalah bahwa pandangan penganut konstruktivisme mengenai belajar
meliputi serangkaian teori yang membagi perespektif umum bahwa pengetahuan
dikonstruksi oleh pembelajar bukan ditransfer ke pembelajar. Kebanyakan dari teori
seperti ini berakar dari filsafat Jhon Dewey.
Dalam hal ini seperti dikemukakan oleh Robert B. Innes (2004:1) bahwa “Constructivist
views of learning include a range of theories that share the general perspective that
knowledge is constructed by learners rather than transmitted to learners. Most of these
theories trace their philosophical roots to John Dewey”. Maksudnya adalah bahwa
pandangan penganut konstruktivisme mengenai belajar meliputi serangkaian teori yang
membagi perespektif umum bahwa pengetahuan dikonstruksi oleh pembelajar bukan
ditransfer ke pembelajar. Kebanyakan dari teori seperti ini berakar dari filsafat Jhon
Dewey.
Prinsip dasar yang mendasari filsafat konstruktivis adalah bahwa semua pengetahuan
dikonstruksikan (dibangun) dan bukan dipersepsi secara langsung oleh indera
(pemciuman, penglihatan, perabaan,…). Seperti dikatakan oleh Von Glasersfeld (1984),
salah satu pendiri gerakan konstruktivis, bahwa konstruktivisme berakar pada asumsi
bahwa pengetahuan, tidak peduli bagaimana pengetahuan itu didefinisikan, terbentuk di
dalam otak manusia, dan subjek yang berpikir tidak memiliki alternatif selain
mengkonstruksikan apa yang diketahuinya berdasarkan pengalamannya sendiri. Semua
pikiran kita didasarkan oleh pada penglaman kita sendiri, dan oleh karenanya bersifat
subjektif (Muijs dan Reynolds, 2008:96).
3) Von Galserfeld (dalam Paul, S., 1996)
Sebagaimana dikutif oleh Asri Budiningsih (2005:57) mengemukakan bahwa ada
beberapa kemampuan yang diperlukan dalam proses mengkonstruksi pengetahuan, yaitu;
1) kemampuan mengingat dan mengungkapkan kembali pengalaman, 2) kemampuan
membandingkan dan mengambil keputusan akan kesamaan dan perbedaan dan 3)
kemampuan untuk lebih menyukai suatu pengetahuan yang satu daripada yang lainnya.

Dengan demikian, kontruktivisme seperti dikatakan oleh Von Glasefeld adalah salah
satu filsafat pengetahuan yang menekankan bahwa pengetahuan adalah bentukan (kontruksi)
kita sendiri. pengetahuan bukan juga gambaran dari dunia kenyataan yang ada. Pandangan
konstruktivistik mengakui bahwa pikiran dalah instrumen penting dalam menginterpretasikan
kejadian, objek, dan pandangan dunia nyata, di mana interpretasi tersebut terdiri dari
pengetahuan dasar manusia secara individual.

4) Paul Suparno SJ (Muchith, 2008:73)


Paul Suparno SJ (Muchith, 2008:73) menyatakan bahwa model pembelajaran yang
dianggap tepat menurut teori konstruktivisme adalah model pembelajaran yang
demokratis dan dialogis. Pembelajaran harus memberikan ruang kebebasan kepada siswa
untuk melakukan kritik, memiliki peluang yang luas untuk mengungkapkan ide atau
gagasannya, guru tidak memiliki jiwa otoriter dan diktator.
Dengan dmemikian secara konseptual, Budiningsih (2005: 58) mengemukakan bahwa
belajar jika dipandang dari segi kognitif, bukan sebagai peroleh informasi yang
berlangsung satu arah dari luar ke dalam diri siswa melainkan sebagai pemberian makna
oleh siswa kepada pengalamnnya melalui proses asimilasi dan akomodasi yang bermuara
kepada oemutakhiran struktur kognitif. Kegiatan belajar lebih dipandang dari segi
prosesnya dari pada segi perolehan pengetahuan dari fakta-fakta yang terlepas-lepas.
Proses tersebut berupa “…constructing and restructuring of knowledge and skills
(schemata) within the individual in a complex network of increasing conceptual
consistency…”. pemberian makna terhadap objek dan pengalaman oleh dindividu
tersebut tidak dilakukan seccara sendiri-sendiri oleh siswa, melainkan melalui interaksi
dalam jaringan sosial yang unik, yang terbentuk baik dalam budaya kelas maupun di luar
kelas.

1. Proses Belajar Menurut Teori Konstruktivisme


Menurut cara pandang teori konstruktivisme bahwa belajar adalah proses untuk
membangun pengetahuan melalui pengalaman nyata dari lapangan. Artinya siswa akan
cepat memiliki pengalaman jika pengetahuan itu dibangun atas dasar realitas yang ada di
dalam masyarakat. Penekanan teori konstruktivisme bukan pada membangun kualitas
kognitif, tetapi lebih pada proses untuk menemukan teori yang dibangun dari realitas
lapangan (Muchith, 2008: 71).
Teori konstruktivisme membawa implikasi dalam pembelajaran yang harus bersifat
kolektif atau kelompok. Proses sosial masing-masing siswa harus diwujudkan. C. Asri
Budiningsih menyatakan bahwa keberhasilan belajar sangat ditentukan oleh peran sosial
yang ada pada diri siswa. Dalam situasi sosial akan terjadi situasi saling berhubungan,
terdapat tata hubungan, tata tingkah laku dan sikap di antara sesama manusia.
konsekuensinya, siswa harus memiliki keterampilan untuk menyesuaikan diri (adaptasi)
secara tepat (Muchith, 2008: 72). Dalam kaitannya dengan ini, Bettencourt (1989)
mengemukakan bahwa ada tiga penekanan dalam teori belajar kontruktivisme yaitu:
1. peran katif siswa dalam mengkonstruksi pengetahuan secara makna
2. pentingnya membuat kaitan antara gagasan dalam pengkonstruksian secara bermakna
3. mengaitkan antara gagasan dengan informasi baru yang diterima

Sebagai fasilitator, guru berperan dalam memberikan pelayanan untuk memudahkan


siswa dalam kegiatan proses pembelajaran. Agar dapat melaksanakan peran sebagai
fasilitator dalam proses pembelajaran, Sanjaya (2008: 23-24) berpendapat bahwa ada
beberapa yang harus dipahami, khususnya hal-hal yang berhubungan dengan pemanfaatan
berbagai media dan sumber pembelajaran yaitu:

1. Guru perlu memahami berbagai jenis media dan sumber belajar beserta fungsi masing-
masing media tersebut. Pemahaman akan fungsi media tersebut diperlukan, belum tentu
semua media cocok digunakan untuk mengajarkan semua semua bahan pelajaran. Setiap
media memiliki karakteristik tersendiri

2. Guru perlu mempunyai keterampilan dalam merancang suatu media. Dengan perancangan
media yang dianggap cocok akan memudahkan proses pembelajaran, sehingga akan tercapai
secara optimal.

3. Guru dituntut untuk mampu mengorganisasikan berbagai jenis media serta dapat
memanfaatkan berbagai sumber belajar.

4. Guru dituntut agar mempunyai kemampuan dalam berkomunikasi dan berinteraksi dengan
siswa. Kemampuan berkomunikasi secara efektif dapat memudahkan siswa menangkap pesan
sehingga dapat meningkatkan motivasi belajar mereka..

Peran guru dan siswa dalam pembelajaran konstruktivtistik harus diubah. Dalam hal ini, guru
atau pendidik berperan sebagai seseorang yang berperan memberdayakan seluruh potensi
siswa agar siswa mampu melaksanakan proses pembelajaran. Guru bertugas tidak
mentransferkan pengetahuan yang telah dimilikinya, melainkan berusaha memberdayakan
seluruh potensi dan sarana yang dapat membantu siswa untuk membentuk pengetahuannya
sendiri.
Menurut Muchith (2008:74) bahwa secara rinci peran guru perlu dilakukan dengan cara
sebagai berikut:

1. Mampu membangun atau menumbuhkan semangat atau jiwa kemandirian dengan cara
memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengambil inisiatif dalam memahami
pengetahuan atau teori;

2. Mampu membangun atau memimbing siswa dalam memahami pengetahuan dan mampu
berprilaku atau bertindak sesuai dengan kenyataan yang ada dalam realitas masyarakat;

3. mengkondisikan atau mewujudkan sistem pembelajaran yang mendukung kemudahan


belajar bagi siswa sehingga mempunyai peluang optimal berlatih untuk memperoleh
kompetensi.

Sementara itu, peran siswa menurut pandangan konstruktivisme bahwa siswa dalam proses
pembelajaran harus aktif melakukan kegiatan, aktif berfikir, menyusun konsep dan
memberikan makna tentang hal-hal yang sedang dipelajari. Paradigma konstruktivisme
memandang bahwa siswa sebagai pribadi yang sudah memiliki kemampuan awal sebelum
mempelajari sesuatu. Siswa dipahami pribadi yang memiliki kebebasan untuk membangun
ide atau gagasan tanpa harus diintervensi oleh siapapun, siswa diposisikan manusia dewasa
yang sudah memiliki modal awal pengetahuan.

2. Aspek-aspek Pembelajaran Konstruktivistik


Fornot mengemukakan aaspek-aspek konstruktivitik sebagai berikut: adaptasi
(adaptation), konsep pada lingkungan (the concept of envieronmet), dan pembentukan
makna (the construction of meaning). Dari ketiga aspek tersebut oleh J. Piaget bermakna
yaitu adaptasi terhadap lingkungan dilakukan melalui dua proses yaitu asimilasi dan
akomodasi.
Asimilasi adalah proses kognitif dimana seseorang mengintegrasikan persepsi, konsep
ataupun pengalaman baru ke dalam skema atau pola yang sudah ada dalam pikirannya.
Asimilasi dipandang sebagai suatu proses kognitif yang menempatkan dan
mengklasifikasikan kejadian atau rangsangan baru dalam skema yang telah ada. Proses
asimilasi ini berjalan terus. Asimilasi tidak akan menyebabkan perubahan/pergantian
skemata melainkan perkembangan skemata. Asimilasi adalah salah satu proses individu
dalam mengadaptasikan dan mengorganisasikan diri dengan lingkungan baru perngertian
orang itu berkembang.

Vygotsky mengemukakan tiga kategori pencapaian siswa dalam upayanya memecahkan


permasalahan, yaitu

(1) siswa mencapai keberhasilan dengan baik,

(2) siswa mencapai keberhasilan dengan bantuan,

(3) siswa gagal meraih keberhasilan.

Scaffolding, berarti upaya pembelajar untuk membimbing siswa dalam upayanya mencapai
keberhasilan. Dorongan guru sangat dibutuhkan agar pencapaian siswa ke jenjang yang lebih
tinggi menjadi optimum.

Dua prinsip penting yang diturunkan dari teori Vygotsky adalah:

(1), mengenai fungsi dan pentingnya bahasa dalam komunikasi social yang dimulai proses
pencanderaan terhadap tanda (sign) sampai kepada tukar menukar informasi dan
pengetahuan,

(2) zona of proximal development. Pembelajar sebagai mediator memiliki peran mendorong
dan menjembatani siswa dalam upayanya membangun pengetahuan, pengertian dan
kompetensi.

Pembelajaran yang sifatnya kooperatif (cooperative learning) ini muncul ketika siswa bekerja
sama untuk mencapai tujuan belajar yang diinginka oleh siswa. Pengelolaan kelas menurut
cooperative learning bertujuan membantu siswa untuk mengembangkan niat dan kiat bekerja
sama dan berinteraksi dengna siswa yang lain. Ada tiga hal penting yang perlu diperhatikan
dalam pengelolaan kelas yaitu: pengelompokan, semangar kooperatif dan penataan kelas.

D.konsep dasar Teori Belajar Humanisme


Teori Humanisme merupakan salah satu teori yang bertujuan untuk memanusiakan
seorang manusia. Teori ini memandang bahwa manusia memegang kendali terhadap
kehidupan dan perilaku mereka, serta berhak mengembangkan sikap dan kepribadian mereka.
Keberhasilan belajar ditandai apabila peserta didik bisa mengenali dirinya dan lingkungan
sekitarnya dengan baik. Peserta didik dihadapkan pada suatu target untuk mencapai tingkat
aktualisasi diri semaksimal mungkin. Teori ini berupaya mengerti tingkah laku belajar
menurut pandang peserta didik, bukan dari pandangan pengamat.
Pada dasarnya manusia adalah makhluk yang spesial, mereka mempunyai potensi dan
motivasi dalam pengembangan diri maupun perilaku, oleh karenanya setiap individu adalah
merdeka dalam upaya pengembangan diri serta pengaktualisasiannya. Teori ini melihat
manusia, pemahaman dan pengalaman dalam diri manusia, termasuk dalam kerangka belajar.
Mereka menekankan karakteristik yang dimiliki oleh makhluk manusia seutuhnya seperti
cinta, kesedihan, peduli dan harga diri. Teori ini menekankan pada pilihan kesadaran, respon
terhadap kebutuhan internal, dan keadaan saat ini yang menjadi sangat penting dalam
membentuk perilaku manusia.
Ada beberapa tokoh yang mengembangkan teori ini, diantaranya adalah Abraham
Maslow dan Carl Rogers.
1. Abraham Maslow
Teori belajar Humanisme yang dikembangkan oleh Abraham Maslow,
menekankan pada adanya dorongan atau motivasi untuk mengembangkan potensi
seseorang, khususnya peserta didik dengan penuh.
Abraham Maslow ini dikenal sebagai pelopor aliran psikologi humanism ini,
ia percaya bahwa manusia tergerak untuk memahami dan menerima dirinya sebisa
mungkin. Teorinya yang sangat terkenal sampai saat ini adalah teori tentang

Hierarchy of Needs (Herarki Kebutuhan). Manusia memiliki 5 macam


kebutuhan : a. Kebutuhan Fisiologis (Physiological Needs)
b. Kebutuhan Akan Rasa Aman (Safety Needs)
c. Kebutuhan untuk diterima (Social Needs)
d. Kebutuhan Untuk Dihargai (Self Esteem Needs)
e. Kebutuhan Aktualisasi Diri (Self Actualization)
Diantara factor yang memengaruhi adanya perbedaan tingkat kebutuhan
tersebut, antara lain : latar belakang pendidikan, tinggi rendahnya kedudukan,
pengalaman masa lampau, pandangan atau falsafah hidup, cita-cita atau harapan
masa depan dari tiap individu. Kebutuhan di tingkat yang lebih rendah harus
dicukupkan atau dipuaskan dulu secara cukup sebelum kebutuhan di urutan yang
lebih tinggi bisa memengaruhi perilaku.
2. Carl Rogers
Salah satu ranah ketika ide Rogers masih terus memiliki banyak pengaruh
adalah dalam peraihan tujuan. Menetapkan dan meraih tujuan adalah suatu cara
manusia untuk mengatur kehidupannya supaya dapat memberikan hasil yang
diinginkan dan menambah arti pada kegiatan sehari-hari. Menetapkan tujuan
merupakan hal yang mudah, namun menetapkan tujuan yang tepat dapat menjadi
lebih sulit daripada kelihatannya
Menurut Rogers dalam Jamil Suprihatiningrum, ada dua tipe belajar, yaitu
kognitif (kebermaknaan) dan eksperimental (pengalaman). Guru memberikan
makna (kognitif) bahwa tidak membuang sampah sembarangan dapat mencegah
terjadinya banjir. Jadi, guru perlu menghubungkan pengetahuam akademik ke
dalam pengetahuan bermakna. Sementara experimental learning melibatkan
peserta didik secara personal, berinisiatif, termasuk penilaian terhadap diri sendiri
(self assessment).
Carl Rogers menyatakan bahwa peserta didik yang belajar hendaknya tidak
ditekan, melainkan dibiarkan belajar bebas, peserta didik diharapkan bisa
mengambil sebuah langkah sendiri dan beranibertanggung jawab atas langkah-
langkah yang diambilnya sendiri. Dalam konteks tersebut, Rogers menyatakan ada
lima hal yang penting dalam proses belajar humanistic, yaitu sebagai berikut:
a. . Hasrat untuk belajar: keinginan untuk belajar dikarenakan adanya
dorongan rasa ingin tahu manusia yang terus menerus terhadap dunia
sekelilingnya. Dalam proses memecahkan jawabannya, seorang individu
mengalami kegiatan-kegiatan belajar.
b. Belajar bermakna: seseorang yang beraktivitas akan selalu
mempertimbangkan apakah aktivitas tersebut mempunyai makna bagi
dirinya. Jika tidak, tentu tidak akan dilakukannya.
c. Belajar tanpa hukuman merupakan belajar yang terlepas dari hukuman
atau ancaman menghasilkan anak bebas untuk melakukan apa saja, dan
mengadakan percobaan hingga menemukan sendiri suatu hal yang baru.
d. Belajar dengan daya usaha atau inisiatif sendiri: menunjukkan tingginya
motivasi internal yang dimiliki. Siswa yang banyak inisiatif, akan mampu
untuk memandu dirinya sendiri, menentukan pilihannya sendiri dan
berusaha mempertimbangkan sendiri hal yang baik bagi dirinya.
e. dianggap Belajar dan perubahan: keadaan dunia terus berubah, karena itu
peserta didik harus belajar untuk dapat menghadapi serta menyesuaikan
kondisi dan situasi yang terus berubah. Dengan 6 begitu belajar yang
hanya mengingat fenomena atau menghafal kejadian tak cukup

Rogers juga membahas pendidikan dalam bukunya Freedom to Learn,


bahwa pembelajaran yang bermakna dialami memiliki kaitan dengan
keutuhan seseorang, memiliki keterlibatan personal (melibatkan kognisi
dan perasaan peserta didik), diawali oleh diri sendiri (dorongan untuk
belajar berasal dalam diri), meresap (memengaruhi perilaku, sikap dan
kepribadian peserta didik), dan dievaluasi oleh peserta didik. Sebab
pembelajaran yang penuh makna itu berbeda dengan pembelajaran tanpa
makna, yang tidak membuat siswa menyatu dengan pembelajarannya.
a.Karakteristik Teori Belajar Humanisme
Setiap teori belajar memiliki karakteristik yang membedakan diantara beberapa teori
tersebut. Begitu juga teori Humanisme. Melihat kembali ke awal tentang tujuan dasar teori
belajar Humanistik, dan ini bisa dijadikan karakteristik tersendiri yang membedakan dengan
beberapa yang lain, bahwa teori ini mendorong peserta didik menjadi mandiri atau
independen, mengambil tanggung jawab untuk pembelajaran mereka, menjadi kreatif dan
tertarik dengan seni, dan menjadi ingin tahu tentang dunia dan sekitar mereka.
Bisa dispesifikkan lagi mengenai karakteristik dari teori Humanisme ini,yaitu
1.Mementingkan manusia sebagai pribadi ,karen menurut pandangan teori ini ,belajar
berorientasi pada siswa
2. Mementingkan kebulatan pribadi, maksudnya adalahmementingkan keseluruhan,
kesepakatan yang utuh dalam diripribadi peserta didik, atau dengan kata lain
mementingkanminat peserta didik dalam hal belajar, memerhatikan potensiyang
peserta didik miliki
3. Memeahamanntingkan kognitif dan afektif
4. Mengutamakan terjadinya aktualisasi diri dan self consept,karena tujuan teori ini
adalah menjadikan manusia seutuhnya,manusia yang ideal dan yang dicita-citakan
5. Mementingkan persepsual subjektif yang dimiliki tiap individu,maksudnya adalah
mementingkan dan memahami potensi yangdimiliki oleh setiap individu
6. Mementingkan kemampuan menentukan bentuk tingkah lakumandiri
7. Mengutamakan insight (pengetahuan/pem)
b.Tokoh – tokoh teori Belajar Humanisme
1. Arthur W. Combs
Teori belajar Arthur W. Combs dikenal dengan meaning (makna atau arti).
Menurutnya, belajar terjadi bila mempunyai arti bagi individu, pendidik tidak bisa
memaksakan materi yang tidak disukai atau tidak relevan dengan kehidupan peserta
didik. Sehingga peserta didik belajar sesuai dengan apa yang diinginkan tanpa adanya
paksaan sedikit pun. Anak yang tidak bisa matematika atau sejarah bukan karena bodoh
tetapi karena mereka enggan dan terpaksa dan merasa sebenarnya tidak ada alasan
penting mereka harus mempelajarinya. Perilaku buruk itu sesungguhnya tak lain
hanyalah dari ketidakmauan seseorang untuk melakukan sesuatu yang tidak akan
memberikan kepuasan baginya.1
1
Dadang, Teori Belajar Humanisme Arthur W. Combs Meaning;Makalah Ilmu Pendidikan dan
Perpustakaan, 2011, 2013,
Combs berpendapat bahwa seorang pendidik harus lebih memahami perilaku peserta
didik dengan mencoba memahami dunia persepsi peserta didik tersebut sehingga
apabila ingin merubah perilakunya, pendidik harus berusaha merubah keyakinan atau
pandangan peserta didik yang ada. Banyak pendidik membuat kesalahan dengan
berasumsi bahwa peserta didik mau belajar apabila materi pelajarannya disusun dan
disajikan sebagaimana mestinya. Padahal arti tidaklah menyatu pada materi pelajaran
itu. Sehingga yang penting ialah bagaimana membawa diri peserta didik untuk
memperoleh arti bagi pribadinya dari materi pelajaran tersebut dan menghubungkannya
dengan kehidupannya.

Menurut Combs, dalam prakteknya teori belajar humanisme cenderung mengarahkan


peserta didik untuk berpikir induktif, mementingkan pengalaman, serta membutuhkan
keterlibatan peserta didik secara aktif dalam proses belajar.Pembelajaran berdasarkan
teori humanistik cocok untuk diterapkan pada materi-materi pembelajaran yang bersifat
pembentukan kepribadian, hati nurani, perubahan sikap, dan analisis terhadap
fenomena sosial. Indikator dari keberhasilan aplikasi ini adalah peserta didik merasa
senang bergairah, berinisiatif dalam belajar dan terjadi perubahan pola pikir, perilaku
dan sikap atas kemauan sendiri.

2. Carl Rogers
Menurut Rogers yang terpenting dalam proses pembelajaran humanisme adalah
pentingnya pendidik memperhatikan prinsip pendidikan dan pembelajaran, yaitu:
a. Menjadi manusia berarti memiliki kekuatan yang wajar untuk belajar. Peserta didik
tidak harus belajar tentang hal-hal yang tidak ada artinya.
b. Peserta didik akan mempelajari hal-hal yang bermakna bagi dirinya.
Pengorganisasian bahan pelajaran berarti mengorganisasikan bahan dan ide baru
sebagai bagian yang bermakna bagi peserta didik
c. Pengorganisasian bahan pengajaran berarti mengorganisasikan bahan dan ide baru
sebagai bagian yang bermakna bagi peserta didik.
d. Belajar yang bermakna dalam masyarakat modern berarti belajar tentang proses.
e. Mengajak peserta didik berpartisipasi secara aktif dan bertanggungjawab

(http://makalahilmupendidikandanperpustakaan.blogspot.com/2011/07/teori-belajar-humanisme-arthur-
w-combs.html).
f. mengajak peserta didik agar belajar mengalami (expriental learning) dengan cara
memberi peluang untuk belajar kreatif, self evaluation dan kritik diri
g. melibatkan peserta didik secara penuh dalam proses pembelajaran.2
Dalam bukunya Freedom To Learnand Freedom to Learn for the 80’s, ia menunjukkan
sejumlah prinsip-prinsip dasar humanisme yang penting diantaranya ialah:
a. Manusia itu mempunyai kemampuan belajar secara alami.
b. Belajar yang signifikan terjadi apabila materi pelajaran dirasakan peserta didik
mempunyai relevansi dengan maksud-maksud sendiri.
c. Belajar yang menyangkut perubahan di dalam persepsi mengenai dirinya
sendiri diangap mengancam dan cenderung untuk ditolaknya.
d. Tugas-tugas belajar yang mengancam diri ialah lebih mudah dirasakan dan
diasimilasikan apabila ancaman-ancaman dari luar itu semakin kecil.
e. Apabila ancaman terhadap diri peserta didik rendah, pengalaman dapat
diperoleh dengan berbagai cara yang berbeda-beda dan terjadilah proses
belajar.
f. Belajar yang bermakna diperoleh peserta didik dengan melakukannya.
g. Belajar diperlancar bilamana peserta didik dilibatkan dalam proses belajar dan
ikut bertanggungjawab terhadap proses belajar itu.
h. Belajar inisiatif sendiri yang melibatkan pribadi peserta didik seutuhnya, baik
perasaan maupun intelek, merupakan cara yang dapat memberikan hasil yang
mendalam dan lestari.
i. Kepercayaan terhadap diri sendiri, kemerdekaan, kreativitas, lebih mudah
dicapai terutama jika peserta didik dibiasakan untuk mawas diri dan
mengkritik dirinya sendiri dan penilaian dari orang lain merupakan cara kedua
yang penting.
j.Belajar yang paling berguna secara sosial di dalam dunia modern ini adalah
belajar mengenai proses belajar, suatu keterbukaan yang terus menerus terhadap
pengalaman dan penyatuannya ke dalam diri sendiri mengenai proses perubahan
itu.3

2
Abuddin Nata, Op. Cit., hlm. 102
3
M. Dalyono, Op. Cit., hlm. 46-48
Roger juga menganjurkan pendekatan pendidikan sebaiknya mencoba membuat belajar
dan mengajar lebih manusiawi, lebih personal, dan berarti. Prinsip-prinsip penting
belajar humanisme menurut Rogers yaitu keinginan untuk belajar (The Desire to
Learn), belajar secara signifikan (Significant Learning), belajar tanpa ancaman
(Learning Without Threat), belajar atas inisiatif sendiri (Self-initiated Learning), belajar
dan berubah (Learning and Change).4
3. Abraham Maslow
Tokoh ini berpendapat bahwa ada hierarki kebutuhan-kebutuhan (needs) manusia.
Kebutuhan untuk tingkat yang paling rendah yaitu tingkat untuk bisa survive atau
mempertahankan hidup dan rasa aman, dan ini adalah kebutuhan yang paling penting.
Jika manusia secara fisik terpernuhi kebutuhannya dan merasa aman, mereka akan
distimuli untuk memenuhi kebutuhan yang lebih tinggi, yaitu kebutuhan untuk
memiliki dan dicintai dan kebutuhan akan harga diri dalam kelompok mereka sendiri.
Jika kebutuhan ini terpenuhi orang akan kembali mencari kebutuhan yang lebih tinggi
lagi, prestasi intelektual, penghargaan estetis, dan akhirnya self-
actualization.5Aktualisasi diri (self-actualization) didefinisikan sebagai keinginan
untuk menjadi apapun yang ingin dia lakukan. Maslow menempatkan self
actualization paling atas dari hierarki kebutuhan manusia. Hierarki kebutuhan manusia
menurut Maslow ini mempunyai
implikasi yang penting yang harus diperhatikan oleh pendidik pada waktu ia mengajar
anak-anak. Di sekolah, deficiency needs yang paling penting adalah kebutuhan peserta
didik untuk dicintai dan dihargai. Jika peserta didik merasa tidak dicintai dan dihargai
dan dianggap tidak mampu, mereka tidak mempunyai motivasi kuat untuk mencapai
tujuan growth needs, seperti ingin mencari pengetahuan lebih lanjut untuk dirinya
sendiri, atau kreatif dan terbuka untuk ide-ide baru dari orang lain. Seorang pendidik
yang dapat membuat peserta didik merasa senang, merasa diterima, dihargai sebagai
individu dan dicintai, mungkin akan membuat mereka ingin belajar dan kreatif
terhadap ide-ide baru.

c.Asumsi Teori Belajar Humanisme Terhadap Pembelajaran

4
Sri Esti Wuryani Djiwandono, 2006, Psikologi Pendidikan, Jakarta: Grasindo, hlm. 184-186.
5
Ibid., hlm.183
Teori belajar Humanisme ini berasumsi bahwa teori belajar apapun baik dan dapat
dimanfaatkan, asal tujuannya untuk memanusiakan manusia yaitu pencapaian aktualisasi diri,
pemahaman diri serta realisasi diri peserta didik secara optimal (Assegaf, 2011).
Asumsi teori humanisme ini terhadap pembelajaran didukung dengan prinsip-prinsip
bahwa :
1. Peserta didik harus dapat memilih apa yang mereka ingin pelajari. Guru humanism
percaya bahwa peserta didik akan termotivasi untuk mengkaji materi bahan ajar jika
terkait dengan kebutuhan dan keinginannya
2. Tujuan pendidikan harus mendorong keinginan peserta didik untuk belajar dan
mengajar mereka tentang cara belajar. Peserta didik harus memotivasi dan merangsang
diri pribadi untuk belajar sendiri
3. Pendidikan berdasar teori ini percaya bahwa nilai tidak relevan dan hanya evaluasi diri
yang bermakna. Pemeringkatan mendorong peserta didik belajar untuk mencapai
tingkat tertentu, bukan untuk kepuasan pribadi.
4. Pendidik humanisme percaya bahwa baik perasaan maupun pengetahuan, sangat
penting dalam proses belajar dan tidak memisahkan domain kognitif dan afektif
5. Pendidik humanisme menekankan perlunya peserta didik terhindar dari tekanan
lingkungan, sehingga mereka akan merasa aman untuk belajar. Dengan itu, maka
mereka akan bisa belajar dengan mudah dan lebih bermakna

Anda mungkin juga menyukai