BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar belakang
Belajar bukan hanya menghafal dan mengingat, tetapi belajar adalah sesuatu proses yang
ditandai dengan adanya perubahan pada diri peserta didik dari berbagai bentuk seperti sikap,
tingkah laku, keterampilan, kecakapan dan daya penerimaan.
Dalam suatu pembelajaran juga perlu didukung oleh adanya suatu teori belajar dikelompokkan
menjadi empat kelompok, yaitu: teori belajar behaviouristik, humanistik, kognitif dan
kontruktivistik.
1. Rumusan masalah
2. Bagaimana Teori behaviouristik itu?
3. Bagaimana Teori humanistik itu?
4. Bagaimana Teori kognitif itu?
5. Bagaimana Teori kontruktivistik itu?
1. Tujuan penulisan
2. Memahami teori behaviouristik
3. Memahami teori humanitik
4. Memahami teori kognitif
5. Memahami teori kontruktivistik
BAB II
PEMBAHASAN
1. Teori Behaviouristik
Teori behaviouritik merupakan Perubahan perilaku seseorang yang dapat diamati, diukur, dan
dapat dinilai secara konkret
Prinsipnya adalah belajar asosiasi antara kesan panca indera dengan impuls untuk bertindak.
Asosiasi itulah yang menjadi lebih kuat atau lebih lemah dalam terbentuknya atau hilangnya
kebiasaan-kebiasaan, sehingga teori ini disebut Connectionism atau bond psychology.[2]
Menurut teori ini tingkah laku manusia tidak lain merupakan hubungan antara stimulus
(perangsang) merupakan respon (jawaban, tanggapan reaksi), diistilahkan S-R bond.
Pembentukan hubungan S-R dilakukan dengan latihan dan ulangan-ulangan, dengan prinsip trial
and error, coba dan salah, dengan eksperimen kepada seekor kucing yang dibuat lapar
dan dimasukkan ke dalam suatu kotak percobaan (problem box) yang luar box ada makanan,
apabila kucing menyentuh tombol tertentu maka pintu kotak akan terbuka dan kucing dapat
keluar mendapatkan makanan yang ditempatkan diluar kurungan tersebut.[3]
Teori ini mempunyai ciri-ciri: Adanya motif yang mendorong aktivitas, adanya berbagai respon
terhadap situasi, adanya eliminasi respon-respon yang gagal atau salah, adanya kemajuan reaki-
reaksi dalam mencapai tujuan.
Beberapa hukum belajar yang dikemukakan Thorndike, mengacu pada tiga hukum belajar
pokok, yaitu:
Law of readiness (Hukum kesiapan) adalah reaksi terhadap stimulus yang didukung oleh
kesiapan untuk bertindak dan bereaksi yang menimbulkan kepuasan terhadap individu
sehingga asosiasi cenderung diperkuat.
Law of exercise (hukum latihan) adalah hubungan stimulus respon apabila sering
digunakan akan makin kuat melalui pengulangan
Law of effect (hukum akibat) adalah menunjukkan kepada makin kuat atau lemahnya
hubungan sebagai akibat dari pada hasil respon yang dilakukan.[4]
1. Clark Hull
Semua fungsi tingkah laku bermanfaat terutama untuk menjaga agar organisme tetap bertahan
hidup (struggle for existence). Oleh sebab itu, kebutuhan biologis (drive) dan pemuasan
kebutuhan biologis (drive reduction) adalah penting dan menempati posisi sentral dalm seluruh
kegiatan manusia, sehingga stimulus dalam belajarpun hampir selalu dikaitkan dengan
kebutuhan biologis, walaupun respon yang akan muncul mungkin dapat berwujud macam-
macam.[5]
1. Watson
Belajar sebagai proses interaksi antara stimulus dan respon, stimulus dan respon yang dimaksud
harus dapat diamati (observable) dan dapat diukur (measurable), perubahan mental dalam diri
seseorang selama proses belajar tidak diperhitungkan, karena tidak dapat diamati.
1. Edwin Guttrie
Hukum belajar yang dihasilkan dari penyelidikannya adalah law of Contiguity atau hukum
hubungan. Gabungan stimulus-stimulus yang disertai dengan gerakan, pada waktu timbul
kembali akan cenderung diikuti dengan gerakan yang sama.
Hukuman memegang peranan penting dalam proses belajar, hukuman tersebut diberikan pada
saat yang tepat akan mampu mengubah tingkah laku seseorang.[6]
Teori ini diberi dengan adanya respon (R) melalui eksperimen seekor tikus yang ditempatkan
dalam sebuah peti “skinner box” karena adanya reinforcement/penguatan. Dalam eksperimen
terhadap tikus tersebut digunakan suatu tanda untuk memperkuat respon (discriminative
stimulus) berupa tombol lampu dan pemindah makanan. Reinforcement stimulus tersebut berupa
makanan. Hukum belajar meliputi: Law of Operant Conditioning artinya jika timbulnya perilaku
diiringi stimulus penguat, maka kekuatan perilaku tersebut akan meningkat dan Law of Operant
Extinction artinya jika timbulnya perilaku operant yang telah diperkuat melalui proses
conditioning itu tidak diiringi stimulus penguat, maka kekuatan perilaku tersebut akan menurun
bahkan akan menghilang.[7]
Pavlov berpendapat apabila stimulus yang diadakan (CS) selalu disertai dengan stimulus penguat
(UCS), stimulus tadi (CS), cepat atau lambat akan menimbulkan respon atau perubahan yang
dikehendaki dalam CR. Dengan eksperimen percobaan seekor anjing yang diberi makanan
sehingga akan mengeluarkan air liur.[8]
Teori ini mengatakan bahwa perilaku tidak semata-mata reflek otomatis terhadap stimulus (S-R
bond), melainkan juga akibat dari reaksi yang timbul sebagai hasil interaksi antara lingkungan
dengan skema kognitif individu itu sendiri. Dalam hal ini belajar sosial dan moral terjadi melalui
peniruan (imitation) dan penyajian contoh perilaku (modeling). Bandura menganggap
conditioning melalui reward dan punishment.
Adapun kelebihannya yaitu; sangat cocok untuk memperoleh kemampuan yang membutuhkan
praktek dan pembiasaan, materi yang disampaikan sangat detail, dan membangun konsentrasi
pikiran. Sedangkan kekurangannya meliputi; pembelajaran perserta didik hanya berpusat pada
guru, peserta didik hanya mendengarkan tertib penjelasan guru, peserta didik tidak bebas
berkreasi dan imajinasi.
1. Teori Kognitif
Teori kognitif adalah Pembelajaran yang lebih menekankan pada pengetahuan dan pengalaman
yang dimiliki peserta didik. Pendekatan kognitif mempunyai dua prinsip, yaitu; pengetahuan
awal memerankan peranan penting dalam pembelajaran dan sistem ingatan adalah suatu prosesor
informasi yang aktif atau terorganisasi.
Teori belajar kognitif lebih menekankan proses belajar dari pada hasil belajar. Teori ini
menekankan bahwa perilaku seseorang ditentukan oleh persepsi serta pemahaman tentang situasi
yang berhubungan dengan tujuan belajarnya.[10]
Menurut Piaget individu berkembang menuju kedewasaan maka ia akan mengalami adaptasi
dengan lingkungannya yang akan menyebabkan adanya perubahan kualitatif dalam struktur
kognitifnya. Proses belajar berlangsung dalam tiga tahapan yaitu: asimilasi, akomodasi,
equilibrasi.
Dalam usia dua tahun, bayi dapat memahami lingkungannya dengan jalan melihat, meraba,
memegang, mencium, mendengarkan dan menggerakkan anggota tubuh. Dengan kata lain
mereka mengandalkan kemampuan sensorik dan motoriknya. Anak mulai memahami bahwa
perilaku tertentu menimbulkan akibat tertentu pula bagi dirinya.
Tahap pra-operasional (usia 2-7 tahun)
Pada tahap ini dalam perkembangan bahasa dan ingatan, anakpun mampu mengingat banyak hal
tentang lingkungannya. Kelebihannya anak mampu mengklasifikasikan objek pada tingkat dasar
secara tunggal dan mencolok, tidak mampu memusatkan perhatian pada objek-objek yang
berbeda.
Pada kurun waktu ini pikiran logis anak mulai berkembang. Dalam usahanya mengerti tentang
alam sekelilingnya mereka tidak terlalu menggantungkan diri pada informasi yang datang dari
panca indera.
Pada tahap ini anak sudah mampu berpikir abstrak, yaitu berpikir mengenai ide, dan mereka
sudah mampu memikirkan beberapa alternatif mengenai masalah. Sehingga pada tahap ini anak
sudah dapat berpikir secara efektif dan sistematis, secara proporsional, serta menarik generalisasi
secara mendasar.
1. Jerome S.Bruner
1. Robert M. Gagne
Menurut Gagne, dalam pembelajaran terjadi proses penerimaan informasi, untuk diolah sehingga
menghasilkan keluaran dalam bentuk hasil belajar.[11]
Gagne mengemukakan delapan macam tipe belajar, meliputi: belajar isyarat (signal learning),
belajar stimulus respon (stimulu-response learning), rangkai/bertahap (chaining), asosiasi verbal
(verbal association), belajar membedakan (discrimanition learning), tipe belajar konsep (concept
learning), tipe belajar kaidah (rule learning), dan tipe belajar pemecahan masalah (problem
solving). Gagne juga berpendapat berlangsungnya belajar dalam empat fase, yaitu: fase berusaha
mengerti (apprehending), fase perolehan belajar (acquisition), fase penyimpanan (strorage),dan
fase mengeluarkan kembali apa yang disimpan dan menggunakannya dalam situasi tertentu
untuk memecahkan situasi masalah (retrieval).[12]
1. David P. Ausubel
Dalam teori ini, teori belajar pembelajaran bermakna yaitu suatu proses mengkaitkan informasi
baru pada konsep – konsep relevan yang terdapat dalam struktur kognitif seseorang.
Teorinya terkait denga sifat-sifat makna terhadap pembelajaran hanya jika berbagai konsep yang
berasal dari dunia luar itu telah mampu diubah menjadi kerangka isi oleh siswa yang melibatkan
dua proses, yaitu : resepsi, yang ditimbulkan melalui pembelajaran verbal yang bermakna dan
penrmuan yang terlibat pembentukan konsep dalam pemecahan masalah.
Ausubel lebih berfokus kepada metode pembelajaran verbal dalam berbicara, membaca dan
menulis, sehingga dalam hal pembelajaran berdasarkan hafalan tidak banyak memembantu siswa
di dalam meemperoleh pengetahuan.[13]
2. Implementasi Teori Kognitif Terhadap Pembelajaran Siswa; yaitu bahwa keaktifan dalam
belajar itu sangat penting. Peserta didik yang belajar secara aktif dan bisa optimal proses
asimilasi dan akomodasi antara pengetahuan dan pengalaman akan terjadi dengan baik.
3. Kelebihan dan Kekurangan Belajar Kognitif
Adapun kelebihannya: Dapat meningkatkan kemampuan peserta didik untuk memecahkan suatu
masalah, dapat meningkatkan motivasi,dan membantu peserta didik untuk memahami bahan
belajar dengan lebih mudah. Sedangkan kekurangannya meliputi: keberhasilan pembelajaran
didasarkan pada kemampuan peserta didik, pendidik dituntut mengikuti keaktifan peserta
didiknya dan fasilitas harus mendukung.
1. Teori Humanistik
Teori ini lebih melihat pada sisi perkembangan kepribadian manusia dari pada berfokus pada
“ketidak normalan” atau “sakit” seperti yang dilihat oleh teori psikoanalisa Freud. Pendekatan ini
melihat kejadian setelah “sakit” tersebut sembuh, yaitu bagaimana manusia membangun dirinya
untuk melakukan hal-hal yang positif. Kemampuan bertindak positif ini yang disebut sebagai
potensi manusia dan para pendidik yang beraliran humanistik biasanya memfokuskan
penganjarannya pada pembangunan kemampuan positif ini.
Belajar dianggap berhasil apabila si pelajar memahami lingkungannya diri sendiri dan dalam
pembelajaran yang mengedepanan bagaimana “memanusiakan manusia” serta peserta didik
mampu mengembangkan potensi dirinya.[14]
1. Tokoh-tokoh dalam Teori Humanistik
1. Kolb
Pandangannya mengenai belajar, yang teorinya terkenal dengan “Belajar Empat Tahapnya”
yaitu: tahap pengamatan aktif dan reflektif, tahap konseptualisasi, tahap eksperimentasi
aktif, dan tahap pengalaman konkret.
Teori terhadap belajar, menggolongkan orang yang belajar kedalam empat macam atau
golongan, yaitu: kelompok aktivis, kelompok reflektor, kelompok teoris dan kelompok
pragmatis.
1. Habernas
Pendapatnya sering disebut “tiga macam tipe belajar”, yaitu: belajar Teknis (technical learning),
belajar Praktis (practical learning) dan belajar Emansipatoris.
Tujuan belajar yang dikemukakannya dirangkum kedalam tiga kawasan yang dikenal dengan
sebutan Taksonomi Bloom, sebagai berikut:
1. Teori Kontruktivistik
Teori Konntruktivistik adalah kegiatan yang menimbulkan pengalaman untuk merubah menjadi
ilmu pengetahuan. Teori ini percaya bahwa siswa mampu menyusun sendiri pengetahuannya
melalui kemampuan berpikir dan tantangan yang dihadapinya , menyelesaikan dan membuat
konsep mengenai keseluruhan pengalaman realistik dan teori dalam satu pengetahuan utuh.
Kontruktivistik melandasi pemikiran bahwa pengetahuan bukanlah sesuatu yang diberikan dari
alam, tetapi pengetahuan merupakan hasil konstruksi (bentukan) aktif manusia itu sendiri.
Bahwa belajar bergantung pada pengalaman dan minat siswa sendiri dan topik dalam kurikulum
harus saling terintegrasi bukan terpisah atau tidak mempunyai kaitan satu sama lain. Belajar
harus bersifat aktif, langsung terlibat, berpusat pada Siswa (SCL= Student Centered Learning )
dalam konteks pengalaman sosial.
1. Jean Piaget
Menyatakan bahwa struktur kognitif anak akan meningkat sesuai dengan perkembangan usianya,
bergerak dari sekedar reflek-reflek awal seperti menangis dan menyusui menuju aktivitas mental
yang kompleks.[16]
Piaget juga menambahkan bahwa pengetahuan yang diperoleh seorang anak merupakan hasil
dari konstruksi pengetahuan awal yang telah dimiliki dengan pengetahuan yang baru
diperolehnya melalui 2 cara yaitu : Asimilasi (integrasi konsep yang merupakan tambahan atau
penyempurnaan dari konsep awal yang dimiliki) dan Akomodasi (terbentuknya konsep baru
pada anak karena konsep awal tidak sesuai dengan pengalaman baru yang diperolehnya).
1. Lev Vygotsky
Vygotsky lebih suka menyatakan teori pembelajran sebagai pembelajran kognisi sosial (social
cognition) yaitu menyakini bahwa kebudayaan merupakan penentu utama bagi pengembangan
individu.[17]
Prinsip-prinsip Konstruktivistik: Pengetahuan dibangun oleh siswa sendiri, pengetahuan tidak
dapat dipindahkan dari guru ke murid, murid aktif mengkontruksi secara terus menerus, sehingga
selalu terjadi perubahan konsep ilmiah dan guru sekedar membantu menyediakan sarana dan
situasi agar proses kontruksi berjalan lancar.
1. Tujuan pendidikan: menghasilkan individu atau anak yang memiliki kemampuan berpikir
untuk menyelesaikan setiap masalah yang dihadapi,
2. Kurikulum: dirancang sedemikian rupa sehingga terjadi situasi yang memungkinkan
pengetahuan dan keterampilan dapat dikonstruksi oleh peserta didik. Selain itu, latihan
memecahkan masalah seringkali dilakukan melalui belajar kelompok dengan
menganalisis masalah dalam kehidupan sehari-hari
3. Pengajaran: guru sebagai fasilitator dan mediator dan teman (mitra belajar) yang
membangun situasi kondusif untuk terjadinya kontruksi pengetahuan dan keterampilan
pada peserta didik.
4. Pebelajar: peserta didik diharapkan selalu aktif dan dapat menemukan cara belajar yang
sesuai bagi dirinya.
5. Penilaian: tidak memerlukan adanya tes yang baku sesuai dengan tingkat kelas. Hanya
diberikannya berupa portofolio sebagai model penilaian.
3. Kelebihan dan kekurangan Teori Kontruktivistik
Adapun kelebihannya antara lain; siswa dapat berfikir untuk menyelesaikan masalah, lebih
mengeti dan mengaplikasikannya dalam semua situasi, siswa akan lebih lama ingat suatu konsep
dan siswa dapat berinteraksi dengan baik. Sedangkan kekurangannya; dalam proses belajar
dimana peran guru sebagai pendidik itu sepertinya kurang begitu mendukung.
BAB III
PENUTUP
Teori behaviouritik merupakan perubahan tingkah laku yang dapat diamati, diukur, dinilai secara
kongkrit. Ciri-ciri teori behaviouristik: bersifat mekanistik, menekankan peranan lingkungan,
menekankan pentingnya latihan dan mementingkan mekanisme hasil belajar. Tokoh-tokoh dalam
aliran behaviouristik; E.L.Thorndike, Watson, Edwin Guthrie, Clark Hull, B.F Skinner, Ivan
Petrovitch Pavlov Albert Bandura.
Teori kognitif adalah Pembelajaran yang lebih menekankan pada pengetahuan dan pengalaman
yang dimiliki peserta didik. Adapun tokoh-tokohnya yaitu; Jean piaget, Jerome S.Brunner,
Robert M. Gagne, David P. Ausubel.
Teori humanistik adalah memanusiakan manusia. Tokoh teori humanistik: kolb, honey dan
mumford, habernas, bloom dan krathwohl.
Teori Kontruktivistik adalah kegiatan yang menimbulkan pengalaman untuk merubah menjadi
ilmu pengetahuan. Tokoh –tokoh dalam Teori Kontruktivistik; John Dewey, Jean Piaget, Lev
Vygot
DAFTAR PUSTAKA
Nasition, S, Berbagai Pendekatan dalam Proses Belajar & Mengajar, Jakarta; PT Bumi
Aksara, 2005.
[1]Suyono dan Hariyanto, Belajar dan pembelajaran, Cet 4 (Bandung; PT Remaja Rosdakarya,
2014), hlm. 59.
[14]Abdul hadis, Psikologi dalam Pendidikan, (Bandung; Alfabeta, 2006), hlm. 71.
Senada dengan Resnick, menurut Ibrahim dan Nur (2000: pengertian berpikir
adalah kemampuan untuk menganalisis, mengkritik, dan mencapai kesimpulan
berdasarkan pada inferensi, atau pertimbangan yang seksama. Berarti
kemampuan menganalisis, mengkritik dan mencapai suatu kesimpulan selalu
berdasarkan inferensi atau judgement, dengan demikian berpikir merupakan
proses yang kompleks dan non-algoritmik.
Dalam kaitannya dengan proses yang terjadi pada saat berpikir, Marpaung
(Budiarto dan Hartono, 2002: 481) memberikan gambaran bahwa proses berpikir
merupakan proses untuk memperoleh informasi (dari luar atau diri siswa),
pengolahan, penyimpanan dan memanggil kembali informasi dari ingatan siswa.
Dengan demikian dapat dikatakan, pada prinsipnya proses berpikir meliputi tiga
langkah pokok yaitu pembentukan pengertian, pembentukan pendapat, dan
penarikan kesimpulan.
Setelah dibahas pengertian berpikir, selanjutnya akan dibahas bagaimana proses
berpikir matematik. Berpikir dalam matematika erat kaitannya dengan daya
matematik. Istilah daya matematik mengandung arti kemampuan atau kekuatan
seseorang yang berkaitan dengan karakteristik matematika. Berbicara tentang
karakteristik matematika, masing-masing orang akan memberikan penafsiran
yang berbeda-beda bergantung pada pengetahuan dan pengalaman masing-
masing.
Matematika dikenal sebagai ilmu yang deduktif aksiomatik, berarti sifatnya yang
menekankan pada proses deduktif yang memerlukan penalaran logis dan
aksiomatik, yang dimulai dari aksioma, definisi, kemudian melahirkan teorema-
teorema. Matematika dalam proses pengembangannya mungkin diawali dengan
proses induktif meliputi penyusunan konjektur, model matematika, analogi dan
generalisasi, melalui pengamatan terhadap sejumlah data. Karakteristik
berikutnya, matematika dikenal sebagai ilmu yang terstruktur secara sistematis,
artinya konsep-konsep matematika tersusun secara hierarkis, terstruktur, logis
dan sistematis mulai dari konsep yang paling sederhana sampai konsep yang
paling kompleks.
Memperhatikan karakteristik matematika di atas, secara umum daya matematik
dapat diartikan sebagai kemampuan berpikir matematik atau kemampuan
melaksanakan kegiatan dan proses atau tugas matematik. Ditinjau dari kedalaman
atau kekompleksan kegiatan matematik, daya matematik dapat digolongkan
dalam dua jenis yaitu berpikir tingkat rendah (lower-order thinking) dan berpikir
tingkat tinggi (higher-order thinking) (Web dan Coxford, 1993). Berikut ini
merupakan uraian dari masing-masing istilah tersebut.
a. Berpikir Tingkat Rendah
Bloom (Ruseffendi, 1991: 200) mengemukakan bahwa berpikir tingkat rendah
meliputi tiga aspek pertama dari ranah kognitif yaitu aspek pengetahuan
(knowledge), pemahaman (comprehension), dan aplikasi (application).
Selanjutnya Ruseffendi (1991) memberikan penjelasan kepada masing-masing
aspek tersebut yaitu pengetahuan berkenaan dengan hapalan dan ingatan,
misalnya hapal atau ingat tentang simbol, istilah, fakta, konsep, definisi, dalil,
prosedur, pendekatan, dan metode. Pemahaman berhubungan dengan
penguasaan atau mengerti tentang sesuatu tetapi tahap pengertiannya masih
rendah, misalnya mengubah informasi ke dalam bentuk paralel yang lebih
bermakna, memberikan interpretasi, semua itu dilakukan atas perintah.
Pemahaman ada tiga macam yaitu pengubahan (translation), pemberian arti
(interpretation), dan pembuatan ekstrapolasi (extrapolation). Aplikasi adalah
kemampuan siswa menggunakan apa yang diperolehnya dalam situasi khusus
yang baru dan konkrit.
Pendapat lain mengenai berpikir tingkat rendah, Marzano (1994) berpendapat
bahwa yang dimaksud berpikir tingkat rendah meliputi aspek mengingat,
memfokuskan, dan mengumpulkan informasi. Aspek berpikir tingkat rendah
menurut pendapat Bloom dan Marzano terdapat kemiripan satu sama lain.
Selain dua pendapat di atas, Webb dan Coxford (1993) memberikan pengertian
bahwa yang dimaksud berpikir tingkat rendah yaitu meliputi operasi hitung
sederhana, menerapkan rumus matematika secara langsung, mengikuti prosedur
(algoritma baku).
Meskipun ketiga pendapat di atas memberikan pengertian tentang berpikir
tingkat rendah berbeda secara redaksional, namun mengandung makna yang
sejalan yaitu sama-sama proses berpikir tingkat rendah yang erat kaitannya
dengan soal-soal rutin.
b. Berpikir Tingkat Tinggi
Berbicara mengenai berpikir tingkat tinggi, para ahli mempunyai pandangan yang
berbeda-beda. Meskipun berbeda pendapat, tetapi para ahli setuju bahwa
berpikir tingkat tinggi berarti kapasitas untuk berada pada tingkat yang lebih
tinggi dari informasi yang ada, mengevaluasi, mempunyai kesadaran metakognitif
dan mempunyai kemampuan pemecahan masalah. Pemikiran kritis, kreatif, dan
konstruktif tidak dapat dipisahkan dari berpikir tingkat tinggi.
Ruseffendi (1991: 220) mengemukakan bahwa tiga ranah kognitif terakhir dari
Bloom yaitu aspek analisis, sintesis dan evaluasi, termasuk pada aspek berpikir
tingkat. Lebih jauh Ruseffendi (1991, 222) memaparkan masing-masing aspek
tersebut. Menganalisis adalah kemampuan memisahkan materi ke dalam bagian-
bagian yang perlu, mencari hubungan antara bagian-bagian, mampu melihat
komponen-komponan, bagaimana komponen-komponen itu berhubungan dan
terorganisasikan, kemampuan menyelesaikan soal-soal yang tidak rutin.
Selanjutnya yang dimaksud sisntesis adalah kemampuan bekerja dengan bagian-
bagiannya, unsur-unsurnya dan menyusun menjadi suatu kebulatan baru seperti
pola dan struktur. Aspek terakhir adalah evaluasi, merupakan aspek yang meliputi
aspek-aspek sebelumnya.
Sedangkan menurut Marzano (1994) berpikir tingkat tinggi meliputi aspek-aspek
mengorganisasi, membangun (generating), menginvestigasi dan mengevaluasi.
Bloom dan Marzano memiliki pandangan yang sejalan, terdapat beberapa
kesamaan yaitu aspek generalisasi dan integrasi dari Marzano sama dengan aspek
sintesis dari Bloom. Jadi dapat dikatakan bahwa berpikir tingkat tinggi berarti
berpikir dengan mengambil beberapa tahap yang lebih tinggi dari hierarki proses
kognitif.
Pendapat lain tentang berpikir tingkat tinggi diungkapkan oleh Ibrahim dan Nur
Evans (1991) menjelaskan bahwa berpikir kreatif adalah suatu aktivitas mental
untuk membuat hubungan-hubungan (conections) yang terus menerus (kontinu),
sehingga ditemukan kombinasi yang “benar” atau sampai seseorang itu menyerah.
Asosiasi kreatif terjadi melalui kemiripan-kemiripan sesuatu atau melalui pemikiran
analogis. Asosasi ide-ide membentuk ide-ide baru. Jadi, berpikir kreatif
mengabaikan hubungan-hubungan yang sudah mapan, dan menciptakan
hubungan-hubungan tersendiri. Pengertian ini menunjukkan bahwa berpikir kreatif
merupakan kegiatan mental untuk menemukan suatu kombinasi yang belum
dikenal sebelumnya.
Berpikir kreatif dapat juga dipandang sebagai suatu proses yang digunakan ketika
seorang individu mendatangkan atau memunculkan suatu ide baru. Ide baru
tersebut merupakan gabungan ide-ide sebelumnya yang belum pernah diwujudkan
(Infinite Innovation Ltd, 2001). Pengertian ini lebih menfokuskan pada proses
individu untuk memunculkan ide baru yang merupakan gabungan ide-ide
sebelumnya yang belum diwujudkan atau masih dalam pemikiran. Pengertian
berpikir kreatif ini ditandai adanya ide baru yang dimunculkan sebagai hasil dari
proses berpikir tersebut.
Dalam memandang kaitan antara berpikir kreatif dan berpikir kritis terdapat dua
pandangan. Pertama memandang berpikir kreatif bersifat intuitif yang berbeda
dengan berpikir kritis (analitis) yang didasarkan pada logika, dan kedua
memandang berpikir kreatif merupakan kombinasi berpikir yang analitis dan
intuitif. Berpikir yang intuitif artinya berpikir untuk mendapatkan sesuatu dengan
menggunakan naluri atau perasaan (feelings) yang tiba-tiba (insight) tanpa
berdasar fakta-fakta yang umum. Pandangan pertama cenderung dipengaruhi oleh
pandangan terhadap dikotomi otak kanan dan otak kiri yang mempunyai fungsi
berbeda, sedang pandangan kedua melihat dua belahan otak bekerja secara
sinergis bersama-sama yang tidak terpisah.
Advertiser
De Bono (dalam Barak dan Doppelt, 2000) membedakan antara 2 tipe berpikir,
yaitu berpikir lateral dan berpikir vertikal. Berpikir lateral mengacu pada penemuan
petunjuk-petunjuk baru dalam mencari ide-ide, sedang berpikir vertikal berhadapan
dengan perkembangan ide-ide dan pemeriksaannya terhadap suatu kriteria
objektif. Pemikiran vertikal adalah selektif dan berurutan yang bergerak hanya jika
terdapat suatu petunjuk dalam gerakannya. Pemikiran lateral adalah generatif yang
dapat meloncat dan bergerak agar dapat membangun suatu petunjuk baru.
Pemikiran lateral tidak harus benar pada setiap langkah dan tidak menggunakan
kategori-kategori, klasifikasi atau label-label yang tetap. Pemikiran vertikal memilih
pendekatan-pendekatan yang sangat menjanjikan pada suatu masalah selama
pemikiran lateral membangun banyak alternatif pendekatan. Berpikir kreatif
merupakan suatu sintesis antara berpikir lateral dan vertikal yang saling
melengkapi. Pengertian ini menyebutkan bahwa dalam berpikir kreatif melibatkan
berpikir logis ataupun analitis sekaligus intuitif, seperti pada pandangan kedua
dalam pengertian berpikir kreatif.
Berpikir kreatif dalam matematika mengacu pada pengertian berpikir kreatif secara
umum. Bishop (dalam Pehkonen, 1997) menjelaskan bahwa seseorang
memerlukan 2 model berpikir berbeda yang komplementer dalam matematika,
yaitu berpikir kreatif yang bersifat intuitif dan berpikir analitik yang bersifat logis.
Pandangan ini lebih melihat berpikir kreatif sebagai suatu pemikiran yang intuitif
daripada yang logis. Pengertian ini menunjukkan bahwa berpikir kreatif tidak
didasarkan pada pemikiran yang logis tetapi lebih sebagai pemikiran yang tiba-tiba
muncul, tak terduga, dan di luar kebiasaan.
Pehkonen (1997) memandang berpikir kreatif sebagai suatu kombinasi dari berpikir
logis dan berpikir divergen yang didasarkan pada intuisi tetapi masih dalam
kesadaran. Ketika seseorang menerapkan berpikir kreatif dalam suatu praktik
pemecahan masalah, maka pemikiran divergen yang intuitif menghasilkan banyak
ide. Hal ini akan berguna dalam menemukan penyelesaiannya. Pengertian ini
menjelaskan bahwa berpikir kreatif memperhatikan berpikir logis maupun intuitif
untuk menghasilkan ide-ide. Pandangan ini lebih mengarah pada pandangan kedua
dalam pengertian berpikir kreatif.
MATHEMATICAL THINKING
Mathematical thinking adalah kemampuan untuk mengeksplorasi, menyusun konjektur,
dan memberikan alasan secara logis; kemampuan untuk menyelesaikan masalah non rutin;
mengomunikasikan ide mengenai matematika dan menggunakan matematika sebagai alat
komunikasi; menghubungkan ide-ide dalam matematika, antar matematika, dan kegiatan
intelektual lainnya. Dimensinya: mengeksplorasi, menyusun konjektur, alasan yang logis,
menyelesaikan masalah, mengkomunikasikan ide matimatika, alat komunikasi matematika,
menghubungkan idea matematika. (NCTM: 1999)
Daya matematika merupakan kemampuan yang perlu dimiliki siswa yang belajar
matematika pada jenjang sekolah manapun. Dimensinya: daya (pemahaman) matematika.
(Sumarno: 2005)
Pengertian berpikir matematika dipandang lebih luas cakupannya dibandingkan dengan
penalaran matematik atau dapat dikatakan berpikir matematik memuat komponen penakaran
matematik. Dimensinya: penalaran matematika. (Del Mas: 2002)
Mathematical thinking is a highly complex activity, I will give several examples of
mathematical thinking, and to demonstrate two pairs of processes through which mathematical
thinking very often proceeds:
Specializing and generalizing.
Conjecturing and convincing.
Berpikir matematika adalah kegiatan yang sangat kompleks, contoh yang sering
digunakan dalam proses mathematical thinking adalah:
Mengkhususkan diri dan generalising.
Conjecturing dan meyakinkan. (Kaye Stacey: University of Melbourne, Australia)
Dimensinya: deskriptif (generalisasi), induktif, conjecturing, pasti (real).
The ability to choose appropriate and efficient strategies, and to adapt them if necessary.
(kemampuan untuk memilih yang sesuai dan strategi yang sesuai (konsep) dan adaptasi bila
diperlukan). Dimensinya: choose appropriate, efficient strategies, adapt. (Kruteskii: 1979)
Is about mathematical processes, and not about any particular branch of mathematics.
Our aim is to show how to make a start on any question, how to attack it effectively and how to
learn from the experience. (adalah tentang matematika proses dan bukan tentang banyaknya
cabang partikel dalam matematika. Tujuannya adalah untuk menunjukan bagaimana membuat
konsep pertama dalam menjawab berbagai soal, bagaimana menyelesaikan soal dengan efektif
dan bagaimana untuk mempelajari berbagai uji coba). Dimensinya: processes, make a start on
any question, attack it effectively, learn from the experience. (John Mason with Leone Burton
kaye Stacey)
Terdapat beberapa istilah yang berelasi dengan istilah berpikir matematik (mathematical
thinking), diantaranya adalah: kegiatan matematik (doing math), tugas matematik (mathematical
task), keterampilan matematik (mathematical ability), daya matematika (mathematical power),
dan penalaran matematik (mathematical reasoning), dalam beberapa pembahasan, penggunaan
istilah-istilah tersebut kadang-kadang dipertukarkan karena mereka memuat beberapa kegiatan
yang serupa. Istilah kegiatan matematik (doing math) diartikan sebagai kegiatan yang berkaitan
dengan proses, konsep, sifat, dan ide matematika, mulai dari yang paling sederhana sampai
dengan yang kompleks. Sedang istilah tugas matematik (mathematical task) merupakan soal atau
tugas berkenaan dengan doing math. Istilah keterampilan atau kemampuan matematik
(mathematical abilities) diartikan sebagai keterampilan melaksanakan doing math atau
menyelesaikan mathematical task. Misalnya proses menghitung merupakan doing math yang
sederhana, sedang membuktikan tergolong pada doinbg math yang kompleks atau tinggi. Contoh
lain misalnya, soal bentuk ʃ sin x dx memuat doing math yang rendah dan tergolong pada
mathematical task tingkat rendah untuk siswa SMA.
Istilah berpikir matematik (mathematical thinking) diartikan sebagai cara berpikir
berkenaan dengan proses matematik (doing math) atau cara berpikir dalam menyelesaikan tugas
matematik (mathematical task) baik yang sederhana maupun yang kompleks. Merujuk
pengertian diatas, maka istilah mathematical ability, dapat diartikan juga sebagai kemampuan
melaksanakan mathematical thinking. Selanjutnya, ditinjau dari kedalaman atau kekompleksan
kegiatan matematik yang terlibat., berpikir matematik dapat digolongkan dalam dua jenis yaitu
yang tingkat rendah (low order mathematical thinking atau low level mathematical thinking) dan
yang tingkat tinggi (high order mathematical thinking atau high level mathematical thinking).
Merujuk pernyataan NCTM (1999), maka daya matematik tergolong pada kemampuan berpikir
matematik tingkat tinggi. Selain itu, dengan mengacu pendapat Del Mas (2002) pengertian
berpikir matematik dipandang lebih luas cakupannya dibandingkan dengan penalaran matematik
atau dapat dikatakan berpikir matematik memuat komponen penalaran matematik.
Selanjutnya, berdasarkan jenisnya berpikir matematik dapat diklasifikasikan dalam lima
kompetensi utama dengan indicator sebagai berikut:
1. Pemahaman matematika (mathematical understanding)
Secara umum indikator pemahaman matematika meliputi: mengenal, memahami, dan
menerapkan konsep, prosedur, prinsip dan idea matematika.
2. Pemecahan masalah matematik (mathematical problem solving)
Pemecahan masalah matematik mempunyai dua makna, yaitu:
a. Pemecahan masalah sebagai suatu pendekatan pembelajaran yang digunakan untuk menemukan
kembali (reinvention) dan memahami materi, konsep, dan prinsip matematika. Pembelajaran
diawali dengan penyajian masalah atau situasi yang kontekstual kemudian melalui induksi siswa
menemukan konsep/prinsip matematika.
b. Pemecahan masalah sebagai kegiatan yang meliputi:
Mengidentifikasi kecukupan data untuk pemecahan masalah.
Membuat model matematik dari suatu situasi atau masalah sehari-hari dan menyelesaikannya.
Memilih dan menerapkan strategi untuk menyelesaikan masalah matematika dan atau diluar
matematika.
Menjelaskan atau menginterpretasikan hasil sesuai permasalahan asal, serta memeriksa
kebenaran hasil atau jawaban.
Menerapkan matematika secara bermakna.
Secara umum pemecahan masalah bersifat tidak rutin, oleh karena itu kemampuan ini
tergolong pada kemampuan berpikir matematik tingkat tinggi.
3. Penalaran matematik (mathematical reasoning)
Secara garis besar penalaran dapat digolongkan dalam dua jenis yaitu penalaran induktif dan
penalaran deduktif. Penalaran induktif diartikan sebagai penarikan kesimpulan yang bersifat
umum atau khusus berdasarkan data yang teramati. Nilai kebenaran dalam penalaran induktif
dapat bersifat benar atau salah. Beberapa kegiatan yang tergolong pada penalaran induktif
diantaranya adalah:
a. Transduktif: menarik kesimpulan dari satu kasus atau sifat khusus yang satu diterapkan pada
yang kasus khusus lainnya.
b. Analogi: penarikan kesimpulan berdasarkan keserupaan data atau proses.
c. Generalisasi: penarikan kesimpulan umum berdasarkan sejumlah data yang teramati.
d. Memperkirakan jawaban, solusi atau kecenderungan: interpolasi dan ekstrapolasi.
e. Memberi penjelasan terhadap model, fakta, sifat, hubungan, atau pola yang ada.
f. Menggunakan pola hubungan untuk menganalisis situasi, dan menyusun konjektur.
Pada umumnya penalaran transduktif tergolong pada kemampuan berpikir matematik tingkat
rendah, sedang yang lainnya tergolong berpikir tingkat tinggi.
Penalaran deduktif adalah penarikan kesimpulan berdasarkan aturan yang disepakati. Nilai
kebenaran dalam penalaran deduktif bersifat mutlak benar atau salah dan tidak keduanya
bersama-sama. Penalaran deduktif dapat tergolong tingkat rendah atau tingkat tinggi. Beberapa
kegiatan yang tergolong pada penalaran deduktif diantaranya adalah:
a. Melaksanakan perhitungan berdasarkan aturan atau rumus tertentu.
b. Menarik kesimpulan logis berdasarkan aturan inferensi, memeriksa validitas argument,
membuktikan, dan menyusun argument yang valid.
c. Menyusun pembuktian langsung, pembuktian tak langsung dan pembuktian dengan induksi
matematika.
Kemampuan pada butir a pada umunya tergolong berpikir matematik tingkat rendah, dan
kemampuan lainnya tergolong berpikir matematik tingkat tinggi.
4. Koneksi matematika (mathematical connection)
Kegiatan yang tergolong pada koneksi matematik diantaranya adalah:
a. Mencari hubungan berbagai representasi konsep dan prosedur.
b. Memahami hubungan antar topik matematik.
c. Menerapkan matematika dalam bidang lain atau dalam kehidupan sehari-hari.
d. Memahami representasi ekuivalen suatu konsep.
e. Mencari hubungan satu prosedur dengan prosedur yang lain dalam representasi yang ekuivalen.
f. Menerapkan hubungan antar topik matematika dan antara topik matematika dengan topik diluar
matematika.
5. Komunikasi matematik (mathematical communication)
Kegiatan yang tergolong pada komunikasi matematik diantaranya adalah:
a. Menyatkan suatu situasi, gambar, diagram, atau benda nyata ke dalam bahasa, symbol, idea,
atau model matematik.
b. Menjelaskan idea, situasi dan relasi matematika secara lisan atau tulisan.
c. Mendengarkan, berdiskusi, dan menulis tentang matematika.
d. Membaca dengan pemahaman suatu representasi matematika tertulis.
e. Mengungkapkan kembali suatu uraian atau paragraf matematika dalam bahasa sendiri.
Kemampuan diatas dapat tergolong pada kemampuan berpikir matematik rendah atau tingkat
tinggi bergantung pada kekompleksan komunikasi yang terlibat.
Dalam mengahadapi era reformasi dan suasana bersaing yang semakin ketat. dalam
mempelajari kompetensi matematik diatas, siswa perlu memiliki kemampuan berpikir matematik
tingkat tinggi, sikap kritis, kreatif dan cermat, obyektif dan terbuka, menghargai keindahan
matematika, serta rasa ingin tahu dan senang belajar matematika. Apabila kebiasaan berpikir
matematik dan sikap seperti diatas berlangsung secara berkelanjutan, maka secara akumulatif
akan tumbuh disposisi matematik (mathematical disposition) yaitu keinginan, kesadaran,
kecenderungan dan dedikasi yang kuat pada diri siswa untuk berpikir dan berbuat secara
matematik. Dengan cara yang positif, Polking (1998) mengemukakan bahwa disposisi matematik
menunjukan; (1) Rasa percaya diri dalam menggunakan matematika, memecahkan masalah,
memberi alasan dan mengkomunikasikan gagasan. (2) Fleksibilitas dalam menyelidiki gagasan
matematik dan berusaha mencari metoda alternatif dalam memecahkan masalah. (3) Tekun
mengerjakan tugas matematik. (4) Minat, rasa ingin tahu (curiosity), dan dayatemu dalam
melakukan tugas matematik. (5) Cenderung memonitor, mereflesikan performance dan
penalaran mereka sendiri. (6) Menilai aplikasi matematika ke situasi lain dalam matematika dan
pengalaman sehari-hari. (7) Apresiasi (appreciation) peran matematika dalam kultur dan nilai,
matematika sebagai alat, dan sebagai bahasa.
Hampir serupa dengan pendapat Polking diatas, Standard 10 (NCTM:2000) mengemukakan
bahwa disposisi matematik menunjukan; rasa percaya diri, ekspektasi dan metakognisi, gairah
dan perhatian serius dalam belajar matematika, kegigihan dalam menghadapi dan menyelesaikan
masalah, rasa ingin tahu yang tinggi, serta kemampuan berbagi pendapat dengan orang lain.
Disposisi matematik disebut juga productive disposition (sikap produktif), yakni tumbuhnya
sikap positif serta kebiasaan untuk melihat matematika sebagai sesuatu yang logis, berguna dan
berfaedah (Kilpatrick, Swafford, & Findell, 2001). Memperhatikan kekuatan kognitif dan afektif
yang termuat dalam berpikir dan disposisi diatas adalah rasional bahwa dalam belajar
matematika siswa perlu mengutamakan pengembangan kemampuan berpikir dan disposisi
matematik. Pengutamaan tersebut menjadi semakin penting manakala dihubungkan dengan
tuntutan kemajuan IPTEKS dan suasana bersaing yang semakin ketat terhadap lulusan semua
jenjang pendidikan.
DAFTAR PUSTAKA
Mason, J., L. Burton & K. Stacey. 2010. Thinking Mathematically. England; Pearson
Education limited
Mason, J., L. Burton & K. Stacey. 2010. Thinking Mathematically second edition.
England; Pearson Education limited
Utari Sumarno, FPMIPA UPI. Berpikir dan disposisi matematik: Apa, Mengapa, dan
Bagaimana Dikembangkan Pada Peserta Didik. Pdf Adob Reader.
Watson, Anne., Jenny Houssart and Caroline Roaf. 2005. Supporting Mathematical
Thinking. London; David Fulton Publishers Ltd.
http://marsigitpsiko.blogspot.com/2008/12/what-is-mathematical-thinking-and-why.html
KETERAMPILAN BERPIKIR LOGIS
Menurut Dr. whitely (Sir William Hamilton Bart, 1860:60) bahwa berpikir logis adalah
“the prosses or operation of reasoning is alone the appropriate of logic” (proses atau operasi
penalaran sendirian sesuai logika). Dimensinya: operasi penalaran sendiri sesuai logika.
Sir William Hamilton, Bart (1860:22) mengemukakan bahwa “logic is science which has
the prosses of reasoning for it’s object, is not a definition of this science at all (logika adalah
ilmu yang didalamnya terdapat proses penalaran terhadap suatu object, tidak termasuk definisi
ilmu pengetahuan). Dimensinya: proses penalaran dari suatu objek.
Menurut William Alston (Fitriyah, 2011:12) bahwa “logic is the study of inference, more
precisely the attempt to devise criteria for separating valid from invalid inferences” (logika
adalahstudi tentang penyimpulan, secara lebih cermat untuk menetapkan ukuran-ukuran guna
memisahkan penyimpulan yang sah dan yang tidak sah). Dimensinya: menyimpulkan secara
cermat dan menetapkan ukuran-ukuran untuk memisahkan kesimpulan.
Menurut Alfred Cryril Ewing (Fitriyah, 2011:12-13) mengemukakan bahwa “study of
different kinds of propositions and the relations between them which justify inference” (studi
tentang jenis-jenis aturan yang berbeda dan hubungan diantara aturan-aturan ayng menentukan
kesimpulan). Dimensinya: menentukan jenis-jenis aturan yang berbeda, menghubungkan jenis-
jenis aturan yang berbeda, dan menentukan kesimpulan.
Menurut M. Copy (Fitriyah, 2011:13) bahwa logika adalah penelaahan mengenai metode
dan prinsip-prinsip yang digunakan untuk membedakan penalaran yang baik dalam arti benar
dari penalaran yang jelek dalam arti tidak benar. Dimensinya: penelaahan metode dan prinsip-
prinsip, dan membedakan penalaran yang baik (benar), dari penalaran jelek (tidak benar).
Menurut Aristoteles (Fitriyah, 2011:13) bahwa logika adalah ajaran tentang berpikir
secara ilmiah membicarakan bentuk pikiran itu sendiri dan hukum-hukum yang menguasai
pikiran. Dimensinya: berpikir secara ilmiah, dan membicarakan bentuk pikiran dan hukum-
hukum yang menguasai pikiran.
Menurut Jhon Richardson (1819:12) menyatakan bahwa “logic is the science which
extends to all thinking in general, without regarding objects, as the matter of thinking” (logika
adalah ilmu yang meluas kepada semua pemikiran secara umum, tanpa mengenai suatu objek,
seperti berpikir yang sebenarnya). Dimensinya: berpikir yang sebenarnya mengenai suatu objek.
Menurut Rinaldi Munir (2003:1) bahwa logika merupakan dari semua penalaran
(reasoning) yang banyak dikaitkan dengan hubungan antara pernyataan-pernyataan (statement).
Dimensinya: penalaran yang mengkaitkan hubungan antara pernyataan-pernyataan.
Definisi Konseptual:
Dr. Whatel : Operasi penalaran sesuai logika.
Sir William Hamilton, Bart : Proses penalaran dari suatu objek.
Irving M. Copy : Membedakan penalaran yang baik (benar), dari
penalaran jelek (tidak benar).
Rinaldi Munir : Penalaran yang mengkaitkan hubungan antara
pernyataan-pernyataan.
BERPIKIR GEOMETRI
Daftar pustaka
Abdussakir. 2011. Judul buku/artikel. Kota. Penerbit. Http://www
ALGEBRA THINKING
ABSTRAK
Artikel ini membahas perihal teori belajar kognitif dan penerapannya yang berkaitan dengan
proses belajar mengajar. Artikel ini menguji beberapa teori pembelajaran yang berkembang
dalam rangka memaksimalkan pembelajaran seperti teori behaviorisme, konstruktivisme dan
kognitivisme. Kegiatan belajar selalu terkait dengan unsur psikis bagi subjek yang
melaksanakannya. Beberapa deskripsi tentang teori kognitif di antaranya adalah perolehan,
penataan dan penggunaan pengetahuan setiap perilaku mental yang berkaitan dengan
pemahaman, pertimbangan, pengolahan informasi, pemecahan masalah, kesenjangan dan
keyakinan. Utamanya, penyampaian materi dalam proses belajar mengajar dalam pandangan
teori kognitif adalah bagaimana membuat ranah cipta seorang siswa dapat berkembang dan ber-
fungsi secara optimal. Ranah cipta ini merupakan ranah dominan dalam kejiwaan yang berpusat
di otak dan mengendalikan ranah rasa dan ranah karsa.
Kata kunci: teori belajar kognitif, proses belajar mengajar, kegiatan belajar, ranah cipta, ranah
rasa, ranah karsa
***
Ada beberapa macam teori tentang pembelajaran atau bagaimana seseorang belajar; yang secara
garis besar dibagi menjadi teori behaviorisme dan kognitivisme. Meskipun demikian beberapa
ahli menambahkan teori belajar berdasarkan psikologi sosial dan teori belajar dari Gagne serta
konstruktivisme.
Belajar adalah proses seseorang memperoleh berbagai kecakapan, keterampilan, dan sikap.
Belajar dimulai sejak masa kecil ketika bayi memperoleh sejumlah keterampilan sederhana,
seperti memegang botol susu dan mengenal ibunya. Selama masa kanak-kanak dan masa remaja,
diperoleh sejumlah sikap, nilai, dan keterampilan hubungan sosial, demikian pula diperoleh
kecakapan dalam berbagai mata ajaran sekolah. Ketika usia dewasa, seseorang diharapkan telah
mahir mengerjakan tugas atau pekerjaan tertentu dan keterampilan-keterampilan fungsional yang
lain. Termasuk di sini ialah mengendarai mobil, membuat neraca buku cek pribadi, dan bergaul
dengan orang lain (Gredler, 1991).
Pembelajaran didefinisikan sebagai upaya untuk membelajarkan siswa (Degeng, 1989; 1990).
Dalam definisi ini terkandung makna bahwa dalam pembelajaran terdapat kegiatan memilih,
menetapkan, serta mengembangkan metode ataupun strategi yang optimal untuk mencapai hasil
pembelajaran yang diinginkan, bahkan kegiatan-kegiatan inilah yang sebenarnya merupakan
kegiatan inti pembelajaran.
Salah satu kegiatan manusia adalah belajar. Kegiatan belajar merupakan kegiatan yang berproses
dan juga merupakan unsur yang paling fundamental dalam setiap penyeleng-garaan jenis dan
jenjang pendidikan atau pembelajaran. Dalam hal ini berhasil atau gagalnya pencapaian tujuan
pendidikan itu berarti sangat tergantung pada proses belajar yang dialami oleh pembelajar, baik
ketika ia berada dalam lingkungan sekolah maupun dalam lingkungan rumah atau keluarganya
(Syah, 1996).
Karena demikian pentingnya arti belajar, sebagian besar riset dan eksperimen psikologi
pendidikan diarahkan kepada tercapainya pemahaman yang lebih luas dan mendalam mengenai
proses perubahan manusia. Perubahan dan kemampuan untuk berubah merupakan batasan dan
makna yang terkandung dalam belajar. Karena kemampuan berubahlah, manusia secara bebas
dapat mengeksplorasi, memilih, dan menetapkan keputusan-keputusan penting untuk
kehidupannya. Edward Thorndike (1993) memprediksikan, “jika kemampuan belajar umat
manusia dikurangi setengahnya saja maka peradaban yang ada sekarang tak akan ada gunanya
bagi generasi mendatang, bahkan mungkin peradaban itu sendiri akan lenyap ditelan
zaman” (Chaplin, 1972).
Mc. Keachie (1976), mendefinisikan teori sebagai seperangkat asas yang tersusun tentang
kejadian-kejadian tertentu dalam dunia nyata. Satu ciri teori yang penting ialah bahwa teori itu
“membebaskan penemuan penelitian secara individual dan kenyataan kesementaraan waktu dan
tempat untuk digantikan dengan suatu dunia yang lebih luas” Ratna (1988). Membagi dua
tahapan perkembangan teori belajar dan pembelajaran; pertama, dimulai sebelum abad 20 seperti
teori disiplin mental (mental discipline), teori pengembangan alami (natural unfoldment) atau
teori aktualisasi diri (self actualization), dan teori appersepsi (upperseption). Hingga saat ini
teori-teori tersebut masih dirasakan pengaruhnya di sekolah-sekolah. Dan jika ditinjau dari
aplikasinya ketiga teori tersebut dikembangkan tanpa dilandasi eksperimen-eksperimen. Hal ini
menunjukkan bahwa dasar orientasinya lebih bersifat filosofik dan spekulatif. Kedua, teori
belajar yang dikembangkan selama abad 20 yang dapat diklasifikasikan ke dalam 3 kelompok,
yaitu teori belajar behavioristik, teori belajar kognitif, teori belajar humanistik. Degeng (1989),
mengemukakan bahwa teori pengajaran menunjukkan hubungan kegiatan pengajaran dengan
proses-proses psikologis dalam diri pembelajar, sedangkan teori belajar mengungkapkan
hubungan kegiatan pembelajar dengan fenomena yang ada dalam diri pembelajar.
Ruang lingkup pembahasan makalah ini, difokuskan pada deskripsi teori kognitif dalam belajar
dan aplikasinya dalam pembelajaran. Rumusan masalah tersebut meliputi: (a) deskripsi tentang
teori kognitif, (b) tokoh-tokoh teori kognitif beserta pandangannya, dan (c) aplikasi teori kognitif
dalam belajar dan pembelajaran.
Oleh karena itu, di dalam tulisan ini akan dibahas secara singkat teori belajar kognitivisme dan
penerapannya dalam pembelajaran dan sejumlah pandangan psikologi-kognitif yang berkaitan
dengan proses belajar dan pembelajaran. Hal tersebut mengingat bahwa kegiatan belajar tidak
akan terpisah dari unsur psikis (keterlibatan emosional dan mental) bagi subjek yang
melaksanakan kegiatan tersebut.
Istilah “Cognitif” berasal dari kata “Cognition” yang padanannya “Knowing”, berarti menge-
tahui. Dalam arti luas, cognition (kognisi) ialah perolehan, penataan dan penggunaan penge-
tahuan (Neissser, 1976). Dalam perkembangan selanjutnya, istilah kognitif menjadi populer dan
menjadi salah satu domain atau wilayah atau ranah psikologis manusia yang meliputi setiap peri-
laku mental yang berkaitan dengan pemahaman, pertimbangan, pengolahan informasi, pe-
mecahan masalah, kesenjangan dan keyakinan. Ranah kejiwaan yang berpusat di otak ini juga
berhubungan dengan konasi (kehendak) dan afeksi (perasaan) yang bertalian dengan ranah rasa
(Chaplin, 1972).
Istilah “cognitive of theory learning” yaitu suatu bentuk teori belajar yang berpandangan bahwa
belajar adalah merupakan proses pemusatan pikiran (kegiatan mental) (Slavin (1994). Teori
belajar tersebut beranggapan bahwa individu yang belajar itu memiliki kemampuan potensial,
sehingga tingkah laku yang bersifat kompleks bukan hanya sekedar dari jumlah tingkah laku
yang sederhana, maka dalam hal belajar menurut aliran ini adalah mementingkan proses belajar
dari pada hasil belajar. Belajar tidak hanya sekedar melibatkan stimulus dan respon. Lebih dari
itu, belajar juga melibatkan proses berpikir yang sangat kompleks. Yang menjadi prioritas
perhatian adalah pada proses bagaimana suatu ilmu yang baru bisa berasimilasi dengan ilmu
yang sebelumnya dikuasai oleh masing-masing individu.
Teori kognitif ini, yang didasari oleh pandangan adanya mekanisme dan proses pertumbuhan,
yaitu dari bayi kemudian anak berkembang menjadi individu yang dapat bernalar dan berfikir
menggunakan hipotesa. Asumsi dasar yang melandasi deskripsi demikian ialah pengertian Jean
Piaget mengenai perkembangan intelek dan konsepsinya tentang hakikat kecerdasan (Gredler,
1991).
Dalam praktek belajar, teori kognitif terwujud dalam: “tahap-tahap perkembangan belajar” oleh
Jean Piaget, “belajar bermakna” oleh Ausuber, dan “belajar penemuan secara bebas” (free
discovery learning) oleh Jerome Bruner. Ini mendasari ilmu pengetahuan yang menurut
kognitifist dibangun dalam diri seseorang melalui proses interaksi dengan lingkungan yang ber-
kesinambungan. Proses ini tidak terpisah-pisah, tetapi merupakan proses yang mengalir serta
sambung-menyambung, dan menyeluruh. Seperti halnya proses membaca, bukan sekedar
menggabungkan alfabet-alfabet yang terpisah-pisah; tetapi menggabungkan kata, kalimat atau
paragraf yang diserap dalam pikiran dan kesemuanya itu menjadi satu, mengalir total secara ber-
samaan.
Tidak seperti model-model behaviorisme yang mempelajari proses belajar hanya sebagai
hubungan S – R yang bersifat superfisial, kognitivisme merupakan suatu bentuk teori yang
sering disebut model kognitif atau perseptual. Di dalam model ini tingkah laku seseorang di-
tentukan oleh persepsi serta pemahamannya tentang situasi yang berhubungan dengan tujuan-
tujuannya.
Belajar itu sendiri menurut teori kognitif adalah perubahan persepsi dan pemahaman, yang tidak
selalu dapat terlihat sebagai tingkah laku. Teori ini juga menekankan pada gagasan bahwa
bagian-bagian suatu situasi saling berhubungan dengan konteks seluruh situasi tersebut. Mem-
bagi keseluruhan situasi menjadi komponen-komponen kecil dan mempelajarinya secara terpisah
adalah sama dengan kehilangan sesuatu yang penting.
Belajar merupakan suatu proses internal yang mencakup ingatan, retensi, pengolahan informasi,
emosi dan faktor-faktor lain. Belajar, mencakup pengaturan stimulus yang diterima dan
dinyesuaikan dengan struktur kognitif yang terbentuk di dalam pikiran sesorang berdasarkan
pengalaman-pengalaman sebelumnya.
R ——-> Respons
Di dalam subbab ini disajikan beberapa teori belajar secara umum. Setelah itu akan dibahas
aplikasinya di dalam pembelajaran bahasa.
Jean Piaget (1896-1980) lahir di Swiss, seorang pakar terkemuka dalam disiplin psikologi kogni-
tif, yang pada awal mulanya bukanlah seorang psikolog melainkan seorang ahli biologi, tetapi
telah berhasil menulis lebih dari 30 buku bermutu, yang bertemakan perkembangan anak dan
kognitif (Syah, 1996:66).
Menurut Piaget perkembangan kognitif merupakan suatu proses genetik, artinya proses yang
didasarkan atas mekanisme biologis yaitu perkembangan sistim syaraf. Dengan semakin ber-
tambahnya usia sesesorang maka semakin komplekslah susunan sel syarafnya dan makin
meningkat pula kemampuannya.
Pada saat seseorang tumbuh menjadi dewasa, akan mengalami adaptasi biologis dengan ling-
kungannya dan akan menyebabkan adanya perubahan-perubahan kualitatif dalam struktur
kognitifnya. Apabila seseorang menerima informasi atau pengalaman baru maka informasi ter-
sebut akan dimodifikasi hingga sesuai dengan struktur kognitif yang dimilikinya. Proses ini di-
sebut asimilasi. Sebaliknya, apabila struktur kognitifnya yang harus diseuaikan dengan informasi
yang diterima, maka proses ini disebut akomodasi. Jadi asimilasi dan akomodasi akan terjadi
apabila terjadi konflik koginitif atau suatu ketidak seimbangan antara apa yang telah diketahui
dengan apa yang dilihat atau dialaminya sekarang. Adaptasi akan terjadi apabila telah terjadi
keseimbangan dalam struktur kognitif. Tugas seorang dosen dalam proses belajar mengajar
adalah menyajikan materi yang harus dipelajari mahasiswa sedemikian rupa sehingga
menyebabkan adanya ketidak seimbangan kognitif pada diri mahasiswa. Dengan demikian ia
akan berusaha untuk mengadopsi informasi baru ke dalam struktur kognitifnya yang telah ada.
Menurut Piaget proses belajar seseorang akan mengikuti pola dan tahap tahap perkembangan
tertentu sesuai dengan umurnya. Penjenjangan ini bersifat hirarkis artinya harus dilalui ber-
dasarkan urutan tertentu dan orang tidak dapat belajar sesuatu yang berada di luar tahap kog-
nitifnya. Di sini terdapat empat macam jenjang, mulai jenjang sensomotorik (0 – 2 tahun) yang
bersifat eksternal, pre-operasional (2 – 6 tahun), operasional konkrit (6/7 – 11/12 tahun) dan
jenjang formal (11/2 – 18 tahun) yang bersifat internal (mampu berfikir abstrak atau mengadakan
penalaran). Untuk lebih jelasnya dapat dilihat perkembangan individu tersebut pada 4 tahapan.
Yang pertama adalah sensori motor, yakni perkembangan ranah kognitif yang terjadi pada usia
0 – 2 tahun. Yang kedua adalah pre-operational, yakni perkembangan ranah kognitif yang terjadi
pada usia 2 – 7 tahun. Yang ketiga adalah concrete operational, yakni perkembangan ranah
kognitif yang terjadi pada usia 7 – 11 tahun. Yang terakhir adalah formal operational, yakni
perkembangan ranah kognitif yang terjadi pada usia 11 sampai dewasa awal (Slavin, 1994:14).
Yang merupakan titik pusat teori Perkembangan Kognitif Piaget ialah bagaimana individu meng-
alami kemajuan tingkat perkembangan mental atau pengetahuan ke tingkat yang lebih tinggi. Hal
yang pokok dalam teori ini adalah kepercayaan bahwa pengetahuan dibentuk oleh individu
dalam interaksi dengan lingkungan yang terus-menerus dan selalu berubah.
Perkembangan kognitif menurut Piaget (1977) dipengaruhi oleh tiga proses dasar: asimilasi,
akomodasi, dan ekuilibrasi. Secara singkat, asimilasi ialah pemaduan data atau informasi baru
dengan struktur kognitif yang ada, akomodasi ialah penyesuaian struktur terhadap situasi baru,
dan ekuilibrasi ialah penyesuaian kembali yang terus-menerus dilakukan antara asimilasi dan
akomodasi (Gredler, 1991:311).
Berikut adalah kelemahan-kelemahan dari teori Piaget. Belajar individual tidak dapat dilaksana-
kan karena untuk belajar mandiri diperlukan kemampuan kognitif yang lengkap dan kompleks
dan tidak bisa diuraikan dalam jenjang-jenjang. Hasil-hasil penelitian menunjukkan bahwa ke-
terampilan-keterampilan kognitif tingkat tinggi dapat dicapai oleh anak-anak yang belum men-
capai umur yang sesuai dengan jenjang-jenjang teori Piaget. Sebaliknya, banyak orang yang
tidak mencapai tahap operasional formal tanpa adanya manipulasi hal-hal yang bersifat konkrit
seperti pemakaian gambar, demonstrasi, pemberian model dll. Keterampilan ternyata lebih baik
dipelajari melalui urutan, bukan berdasarkan tahapan umur.
Jerome S. Bruner adalah seorang pakar psikologi perkembangan dan pakar psikologi belajar
kognitif, penelitiannya dalam bidang psikologi antara lain persepsi manusia, motivasi, belajar,
dan berpikir. Dalam mempelajari manusia, ia menganggap manusia sebagai pemroses, pemikir,
dan pencipta informasi (Dahar, 1988).
Dalam pembahasan perkembangan kognisi, Bruner menekankan pada adanya pengaruh ke-
budayaan pada tingkah laku seseorang. Bila Piaget menyatakan bahwa perkembangan kognitif
berpengaruh pada perkembangan bahasa seseorang, maka sebaliknya Bruner menyatakan bahwa
perkembangan bahasa besar pengaruhnya terhadap perkembangan kognisi.
Menurut Bruner, perkembangan kognisi seseorang terjadi melalui tiga tahap yang ditentukan
oleh cara dia melihat lingkungannya. Tahap pertama adalah tahap en-aktif, di mana individu
melakukan aktivitas-aktivitas untuk memahami lingkungannya. Tahap kedua adalah tahap ikonik
di mana ia melihat dunia atau lingkungannya melalui gambar-gambar atau visualisasi verbal.
Tahap terakhir adalah tahap simbolik, di mana ia mempunyai gagasan secara abstrak yang
banyak dipengaruhi bahasa dan logika; komunikasi dilakukan dengan bantuan sistem simbol.
Makin dewasa makin dominan pula sistem simbol seseorang.
Untuk belajar sesuatu, Bruner berpendapat tidak perlu menunggu sampai anak mencapai suatu
tahap perkembangan tertentu. Apabila bahan yang diberikan sudah diatur dengan baik, maka
individu dapat belajar meskipun umurnya belum memadai. Dengan kata lain, perkembangan
kognitif seseorang dapat ditingkatkan dengan cara mengatur bahan yang akan dipelajari dan me-
nyajikannya sesuai dengan tingkat perkembangannya. Penerapan sistem ini dalam dunia pen-
didikan disebut “kurikulum spiral” di mana satu obyek diberikan mulai dari sekolah dasar
sampai perguruan tinggi dengan materi yang sama tetapi tingkat kesukaran yang bertingkat, dan
materinya disesuaikan pula dengan tingkat perkembangan kognisi seseorang.
Prinsip-prinsip belajar Bruner adalah sebagai berikut. Makin tinggi tingkat perkembangan
intelektual, makin meningkat pula ketidaktergantungan individu terhadap stimulus yang di-
berikan. Pertumbuhan seseorang tergantung pada perkembangan kemampuan internal untuk
menyimpan dan memproses informasi. Data atau informasi yang diterima dari luar perlu diolah
secara mental.
Menurut Bruner, berpikir intuitif tidak pernah dikembangkan di sekolah, bahkan mungkin di-
hindari karena dianggap tidak perlu. Sebaliknya di sekolah banyak dikembangkan cara berfikir
analitis, padahal berfikir intuitif sangat penting untuk ahli matematika, biologi, fisika, dll. Se-
lanjutnya dikatakan bahwa setiap disiplin ilmu mempunyai konsep-konsep, prinsip-prinsip dan
prosedur yang harus dipahami sebelum seseorang mulai belajar. Cara terbaik untuk belajar
adalah memahami konsep, arti dan hubungan melalui proses intuitif hingga akhirnya sampai
pada satu kesimpulan (discovery learning).
Ausubel (1968) adalah seorang pakar psikologi pendidikan dengan teorinya yang berpijak pada
psikologi kognitif, dan dalam teorinya memberi penekanan kepada belajar bermakna, serta
retensi dan variabel-variabel yang berhubungan dalam belajar. Belajar menurut Ausubel dapat
diklasifikasikan ke dalam dua dimensi: (1) berhubungan dengan cara informasi atau materi
pelajaran disajikan pada siswa, baik melalui ekspository maupun inquiry, (2) menyangkut cara
bagaimana siswa dapat mengaitkan data atau informasi itu pada struktur kognitif yang telah ada
(Romiszowski, 1981).
Kelemahan-kelemahan teori belajar Ausubel tersebut pada umumnya adalah bahwa terlalu
menekankan belajar asosiatif atau menghafal. Belajar asosiatif, materi yang dipelajari perlu di-
hafal secara arbitrari, padahal belajar seharusnya adalah apa yang disebut dengan asimilasi
bermakna. Asimilasi bermakna, materi yang dipelajari, perlu diasimilasikan dan dihubungkan
dengan pengetahuan sebelumnya yang telah ada. Untuk itu diperlukan 2 persyaratan, yaitu: a)
materi yang secara potensial bermakna dan dipilih serta diatur oleh pengajar harus sesuai dengan
tingkat perkembangan dan pengetahuan pembelajar; dan b) suatu situasi belajar yang bermakna.
Faktor motivasional memegang peranan yang penting di sini, sebab pembelajar tidak akan
mengasimilasi materi baru tersebut apabila mereka tidak mempunyai keinginan dan pengetahuan
bagaimana melakukannya. Hal ini juga perlu diatur oleh pengajar sehingga materi tidak
dipelajari secara hafalan.
Sifat atau karakteristik untuk teori ini adalah apa yang disebut advance organizers yang apabila
dipakai dapat meningkatkan kemampuan pembelajar untuk mempelajari informasi baru. Advance
organizer ini merupakan kerangka berbentuk abstraksi atau ringkasan-ringkasan dari konsep
dasar apa yang harus dipelajari serta hubungannya dengan apa yang telah ada dalam struktur
kognisi pembelajar.
Dalam proses belajar mengajar, seorang pengajar dapat menerapkan prinsip belajar bermakna
oleh Ausubel, melalui langkah-langkah sebagai berikut. Pertama, mengukur kesiapan mahasiswa
(minat, kemampuan, struktur kognisi) melalui tes awal, interview, review, pertanyaan dll. Kedua,
memilih materi, mengaturnya dan menyajikan konsep-konsep inti, dimulai dari contoh konkrit
dan contoh kontroversial. Ketiga, mengidentifikasi prinsip-prinsip yang harus diketahui dari
materi baru dan menyajikan suatu pandangan menyeluruh tentang apa yang harus dipelajari.
Keempat, memakai advance organizers; agar pembelajar dapat memahami konsep-konsep dan
prinsip-prinsip yang ada dengan memberikan fokus pada hubungan yang ada.
Perbedaan antara teori Bruner dan teori Ausubel adalah Teori Bruner menekankan adanya pe-
nemuan sedangkan Ausubel menekankan adanya materi yang disajikan dan dapat diinternalisasi-
kan oleh pembelajar. Sedangkan persamaannya adalah keduanya menekankan belajar bermakna
dan pemahaman, meskipun menurut Bruner hal tersebut harus ditemukan secara induktif. Namun
menurut Ausubel hal tersebut dapat diasimilasi secara deduktif; yakni belajar tidak hanya me-
rupakan pengulangan secara verbatim.
Pendapat keduanya menekankan adanya suatu hubungan. Bruner menekankan bagaimana se-
suatu itu dipelajari dan dihubungkan dengan bahan-bahan lain serta bagaimana menemukan arti
hubungan tersebut. Sedangkan menurut Ausubel, apa yang dipelajari seseorang harus dihubung-
kan dengan apa yang telah ada dalam struktur kognitif.
Keduanya menekankan pentingnya mempelajari konsep dan prinsip. Keduanya merupakan teori
belajar kognitif yang mempelajari proses dalam pikiran.
Ada dua kajian mengenai teori kognitif yang penting dalam perancangan pembelajaran, yaitu: (1)
teori tentang struktur representasi kognitif, dan (2) proses ingatan (memory). Struktur kognisi di-
definisikan sebagai struktur organisasional yang ada dalam ingatan seseorang ketika menginte-
grasikan unsur-unsur pengetahuan yang terpisah-pisah ke dalam suatu unit konseptual. Proses
ingatan merupakan pengelolaan informasi di dalam ingatan (memory) dimulai dengan proses
penyandian informasi (coding), diikuti penyimpanan informasi (strorage), dan kemudian
mengungkapkan kembali informasi-informasi yang telah di simpan dalam ingatan (retrieval).
Dengan adanya konsep tersebut, maka sebagai kata kunci dalam teori psikologi kognitif adalah
“Information Processing Model” yang mendeskripsikan: proses penyandian informasi, proses pe-
nyimpanan informasi, dan proses pengungkapan kembali suatu informasi atau pengetahuan dari
konsepsi pikiran. Model tersebut akhir-akhir ini semakin mendominasi sebagian besar riset atau
pembahasan mengenai psikologi pendidikan atau pembelajaran. Jadi, dalam model ini peristiwa-
peristiwa mental diuraikan sebagai transformasi-transformasi informasi dimulai dari input
(masukan) berupa stimulus hingga menjadi output (keluaran) berupa respon (Slavin, 1994).
Dengan demikian, fokus pada masalah belajar adalah: suatu kegiatan berproses, dan selanjutnya
suatu perubahan bertahap. Dalam tahap pengelolaan informasi yang berasal dari stimulus
eksternal, Bruner menyampaikan tahap tersebut menjadi tiga fase dalam proses belajar, yaitu: (1)
fase informasi, (2) fase transformasi, dan (3) fase evaluasi (Barlow, 1985). Dan menurut Witting
(1981) setiap proses belajar akan selalu berlangsung dalam tiga tahapan, yaitu: (1) Acquisition
(tahap perolehan atau penerimaan informasi), (2) Storage (tahap penyimpangan informasi), dan
(3) Retrieval (tahap menyampaikan kembali informasi). Dan untuk mengaplikasikannya dalam
proses belajar dan pembelajaran meliputi: (a) pembelajar akan lebih mampu mengingat dan
memahami sesuatu apabila pelajaran tersebut disusun dalam pola dan logika tertentu, (b)
penyusunan materi pelajaran harus dari yang sederhana ke yang rumit, (c) belajar dengan
memahami lebih baik daripada dengan hanya menghafal tanpa pengertian penyajian, dan (d)
adanya perbedaan individual pada pembelajar harus diperhatikan.
Proses belajar menurut behaviorisme merupakan suatu mekanisme yang periferik dan terletak
jauh dari otak, sedangkan menurut kognitivisme proses belajar terjadi secara internal di otak dan
meliputi ingatan dan pikiran.
Hasil belajar menurut behaviorisme merupakan kebiasaan dan ditekankan pada adanya urutan
respons yang lancar. Sebaliknya kognitivisme menganggap hasil belajar sebagai suatu struktur
kognitif tertentu.
Menurut teori Behaviorisme, belajar merupakan proses trial and error, dan adanya unsur-unsur
yang sama antara masalah sekarang yang dijumpai dengan apa yang pernah dijumpai se-
belumnya. Sedangkan Kognitivisme, menekankan adanya pemahaman tentang apa yang dihadapi
sekarang dengan yang telah dijumpai sebelumnya. Para pakar psikologi kognitif melihat situasi
belajar erat kaitannya dengan memori. Memori yang biasanya diartikan ingatan, yakni
merupakan fungsi mental yang menangkap informasi dari stimulus, dan merupakan storage
system, yakni sistem penyimpanan data informasi dan pengetahuan yang terdapat dalam otak
manusia. Dan dalam diri manusia ada yang dikenal dengan struktur sistem akal yang terdiri dari
tiga sub-sistem, antara lain: (1) Sensory register, (2) Short term memory, dan (3) Long term
memory (Bruno, 1987).
Dengan adanya sistem penyimpanan informasi dalam proses belajar ini, maka pembelajar di-
harapkan agar dapat memusatkan perhatian. Karena banyak faktor yang dapat mempengaruhi
perhatian pembelajar.
Lindsay dan Norman menyampaikan tiga aturan umum untuk memperbaiki memory (ingatan).
Pertama, menghafal perlu adanya usaha; hal ini seringkali tidak mudah untuk dipenuhi. Kedua,
materi yang harus dihafal atau diingat seharusnya berhubungan dengan hal-hal: menguraikan
dengan kata-kata sendiri dan menggambarkan dalam imajinasi; ini mungkin dapat membantu.
Ketiga, menghafal atau mengingat memerlukan organisasi materi. Materi dapat dibagi dalam
kelompok atau bagian-bagian kecil kemudian diletakkan kembali bersama-sama dalam pola
ingatan yang berarti (Dahar, 1988).
PENUTUP
Penyampaian informasi atau materi pelajaran dalam proses belajar mengajar menurut sudut
pandang kognitif, yaitu suatu cara untuk mengembangkan ranah cipta siswa agar berfungsi se-
cara optimal. Pengembangan ranah cipta (kognitif) dalam proses belajar mengajar tersebut di-
pandang vital dan strategis, karena ranah inilah yang paling dominan dalam kejiwaan. Ranah
psikologis yang bermarkas di dalam otak ini merupakan sumber dan sekaligus pengendali ranah-
ranah psikologis lainnya, yakni ranah rasa (afektif) dan ranah karsa (psikomotorik). Otak dengan
segala perangkatnya yang sifatnya unik dan rumit tidak hanya berfungsi sebagai mesin
penggerak aktivitas akal semata, tetapi juga sebagai menara pengontrol aktivitas perasaan dan
perbuatan.
DAFTAR PUSTAKA
Ballard, Brigid & John Clanchy. 1984. Study Abroady: A Manual for Asian Studens. Selangor
Malaysia: Darul Ihsan.
Bruno, Frank. 1987. Dictionary of Key Word Psychology, London: Routledge & Kegan Paul.
Chaplin, J. P. 1972. Dictionaryof Psycology. New York: Dell Publishing Co. Inc.
Dahar, Ratna Willis. 1988. Teori-Teori Belajar. Jakarta: Depdikbud Direktorat Jendral
Pendidikan Tinggi PPLPTK.
Degeng, I Nyoman Sudana. 1997. Strategi Pembelajaran Mengorganisasi Isi dengan Model
Elaborasi. Malang: Penerbit IKIP Malang bekerjasama dengan Biro Penerbitan Ikatan Profesi
Teknologi Pendidikan Indonesia-Jakarta.
Degeng, I Nyoman Sudana. 1988. Ilmu Pengajaran: Taksonomi Variable. Jakarta: Depdikbud,
Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi PPLPTK.
Gredler, Margaret & E. Bell. 1986. Learning And Instruction Theory Into Practice. Mc.Milan
Publishing Company. Diterjemahkan oleh Munandir. 1991. Jakarta: Rajawali.
Neiser, Uris. 1976. Cognition and Reality: Principles and Implication of Cognitive Psycology.
San Fransisco: Freman and Company.
Sujana, Nana & Ahmad Rivai. 1989. Teknologi Pengajaran, Bandung: Sinar Baru.
Romiszowki, A. J. 1981. Designing Instructional Systems. London: The Ancher Ltd.
Syah, Muhibbin. 1996. Psikologi Pendidikan: Suatu Pendekatan Baru. Bandung: Remaja
Rosdakarya.
Slavin, Robert E. 1994. Educational Psycology: Theory and Practice. America: The United
States of America.
Witig, Arno F. 1981. Psycology of Learning. New York: Mc.Grow Hill Bokk Company.
Abdullah Helmy
ABSTRAK
Artikel ini membahas perihal teori belajar kognitif dan penerapannya yang berkaitan dengan
proses belajar mengajar. Artikel ini menguji beberapa teori pembelajaran yang berkembang
dalam rangka memaksimalkan pembelajaran seperti teori behaviorisme, konstruktivisme dan
kognitivisme. Kegiatan belajar selalu terkait dengan unsur psikis bagi subjek yang
melaksanakannya. Beberapa deskripsi tentang teori kognitif di antaranya adalah perolehan,
penataan dan penggunaan pengetahuan setiap perilaku mental yang berkaitan dengan
pemahaman, pertimbangan, pengolahan informasi, pemecahan masalah, kesenjangan dan
keyakinan. Utamanya, penyampaian materi dalam proses belajar mengajar dalam pandangan
teori kognitif adalah bagaimana membuat ranah cipta seorang siswa dapat berkembang dan ber-
fungsi secara optimal. Ranah cipta ini merupakan ranah dominan dalam kejiwaan yang berpusat
di otak dan mengendalikan ranah rasa dan ranah karsa.
Kata kunci: teori belajar kognitif, proses belajar mengajar, kegiatan belajar, ranah cipta, ranah
rasa, ranah karsa
***
Ada beberapa macam teori tentang pembelajaran atau bagaimana seseorang belajar; yang secara
garis besar dibagi menjadi teori behaviorisme dan kognitivisme. Meskipun demikian beberapa
ahli menambahkan teori belajar berdasarkan psikologi sosial dan teori belajar dari Gagne serta
konstruktivisme.
Belajar adalah proses seseorang memperoleh berbagai kecakapan, keterampilan, dan sikap.
Belajar dimulai sejak masa kecil ketika bayi memperoleh sejumlah keterampilan sederhana,
seperti memegang botol susu dan mengenal ibunya. Selama masa kanak-kanak dan masa remaja,
diperoleh sejumlah sikap, nilai, dan keterampilan hubungan sosial, demikian pula diperoleh
kecakapan dalam berbagai mata ajaran sekolah. Ketika usia dewasa, seseorang diharapkan telah
mahir mengerjakan tugas atau pekerjaan tertentu dan keterampilan-keterampilan fungsional yang
lain. Termasuk di sini ialah mengendarai mobil, membuat neraca buku cek pribadi, dan bergaul
dengan orang lain (Gredler, 1991).
Pembelajaran didefinisikan sebagai upaya untuk membelajarkan siswa (Degeng, 1989; 1990).
Dalam definisi ini terkandung makna bahwa dalam pembelajaran terdapat kegiatan memilih,
menetapkan, serta mengembangkan metode ataupun strategi yang optimal untuk mencapai hasil
pembelajaran yang diinginkan, bahkan kegiatan-kegiatan inilah yang sebenarnya merupakan
kegiatan inti pembelajaran.
Salah satu kegiatan manusia adalah belajar. Kegiatan belajar merupakan kegiatan yang berproses
dan juga merupakan unsur yang paling fundamental dalam setiap penyeleng-garaan jenis dan
jenjang pendidikan atau pembelajaran. Dalam hal ini berhasil atau gagalnya pencapaian tujuan
pendidikan itu berarti sangat tergantung pada proses belajar yang dialami oleh pembelajar, baik
ketika ia berada dalam lingkungan sekolah maupun dalam lingkungan rumah atau keluarganya
(Syah, 1996).
Karena demikian pentingnya arti belajar, sebagian besar riset dan eksperimen psikologi
pendidikan diarahkan kepada tercapainya pemahaman yang lebih luas dan mendalam mengenai
proses perubahan manusia. Perubahan dan kemampuan untuk berubah merupakan batasan dan
makna yang terkandung dalam belajar. Karena kemampuan berubahlah, manusia secara bebas
dapat mengeksplorasi, memilih, dan menetapkan keputusan-keputusan penting untuk
kehidupannya. Edward Thorndike (1993) memprediksikan, “jika kemampuan belajar umat
manusia dikurangi setengahnya saja maka peradaban yang ada sekarang tak akan ada gunanya
bagi generasi mendatang, bahkan mungkin peradaban itu sendiri akan lenyap ditelan
zaman” (Chaplin, 1972).
Mc. Keachie (1976), mendefinisikan teori sebagai seperangkat asas yang tersusun tentang
kejadian-kejadian tertentu dalam dunia nyata. Satu ciri teori yang penting ialah bahwa teori itu
“membebaskan penemuan penelitian secara individual dan kenyataan kesementaraan waktu dan
tempat untuk digantikan dengan suatu dunia yang lebih luas” Ratna (1988). Membagi dua
tahapan perkembangan teori belajar dan pembelajaran; pertama, dimulai sebelum abad 20 seperti
teori disiplin mental (mental discipline), teori pengembangan alami (natural unfoldment) atau
teori aktualisasi diri (self actualization), dan teori appersepsi (upperseption). Hingga saat ini
teori-teori tersebut masih dirasakan pengaruhnya di sekolah-sekolah. Dan jika ditinjau dari
aplikasinya ketiga teori tersebut dikembangkan tanpa dilandasi eksperimen-eksperimen. Hal ini
menunjukkan bahwa dasar orientasinya lebih bersifat filosofik dan spekulatif. Kedua, teori
belajar yang dikembangkan selama abad 20 yang dapat diklasifikasikan ke dalam 3 kelompok,
yaitu teori belajar behavioristik, teori belajar kognitif, teori belajar humanistik. Degeng (1989),
mengemukakan bahwa teori pengajaran menunjukkan hubungan kegiatan pengajaran dengan
proses-proses psikologis dalam diri pembelajar, sedangkan teori belajar mengungkapkan
hubungan kegiatan pembelajar dengan fenomena yang ada dalam diri pembelajar.
Ruang lingkup pembahasan makalah ini, difokuskan pada deskripsi teori kognitif dalam belajar
dan aplikasinya dalam pembelajaran. Rumusan masalah tersebut meliputi: (a) deskripsi tentang
teori kognitif, (b) tokoh-tokoh teori kognitif beserta pandangannya, dan (c) aplikasi teori kognitif
dalam belajar dan pembelajaran.
Oleh karena itu, di dalam tulisan ini akan dibahas secara singkat teori belajar kognitivisme dan
penerapannya dalam pembelajaran dan sejumlah pandangan psikologi-kognitif yang berkaitan
dengan proses belajar dan pembelajaran. Hal tersebut mengingat bahwa kegiatan belajar tidak
akan terpisah dari unsur psikis (keterlibatan emosional dan mental) bagi subjek yang
melaksanakan kegiatan tersebut.
Istilah “Cognitif” berasal dari kata “Cognition” yang padanannya “Knowing”, berarti menge-
tahui. Dalam arti luas, cognition (kognisi) ialah perolehan, penataan dan penggunaan penge-
tahuan (Neissser, 1976). Dalam perkembangan selanjutnya, istilah kognitif menjadi populer dan
menjadi salah satu domain atau wilayah atau ranah psikologis manusia yang meliputi setiap peri-
laku mental yang berkaitan dengan pemahaman, pertimbangan, pengolahan informasi, pe-
mecahan masalah, kesenjangan dan keyakinan. Ranah kejiwaan yang berpusat di otak ini juga
berhubungan dengan konasi (kehendak) dan afeksi (perasaan) yang bertalian dengan ranah rasa
(Chaplin, 1972).
Istilah “cognitive of theory learning” yaitu suatu bentuk teori belajar yang berpandangan bahwa
belajar adalah merupakan proses pemusatan pikiran (kegiatan mental) (Slavin (1994). Teori
belajar tersebut beranggapan bahwa individu yang belajar itu memiliki kemampuan potensial,
sehingga tingkah laku yang bersifat kompleks bukan hanya sekedar dari jumlah tingkah laku
yang sederhana, maka dalam hal belajar menurut aliran ini adalah mementingkan proses belajar
dari pada hasil belajar. Belajar tidak hanya sekedar melibatkan stimulus dan respon. Lebih dari
itu, belajar juga melibatkan proses berpikir yang sangat kompleks. Yang menjadi prioritas
perhatian adalah pada proses bagaimana suatu ilmu yang baru bisa berasimilasi dengan ilmu
yang sebelumnya dikuasai oleh masing-masing individu.
Teori kognitif ini, yang didasari oleh pandangan adanya mekanisme dan proses pertumbuhan,
yaitu dari bayi kemudian anak berkembang menjadi individu yang dapat bernalar dan berfikir
menggunakan hipotesa. Asumsi dasar yang melandasi deskripsi demikian ialah pengertian Jean
Piaget mengenai perkembangan intelek dan konsepsinya tentang hakikat kecerdasan (Gredler,
1991).
Dalam praktek belajar, teori kognitif terwujud dalam: “tahap-tahap perkembangan belajar” oleh
Jean Piaget, “belajar bermakna” oleh Ausuber, dan “belajar penemuan secara bebas” (free
discovery learning) oleh Jerome Bruner. Ini mendasari ilmu pengetahuan yang menurut
kognitifist dibangun dalam diri seseorang melalui proses interaksi dengan lingkungan yang ber-
kesinambungan. Proses ini tidak terpisah-pisah, tetapi merupakan proses yang mengalir serta
sambung-menyambung, dan menyeluruh. Seperti halnya proses membaca, bukan sekedar
menggabungkan alfabet-alfabet yang terpisah-pisah; tetapi menggabungkan kata, kalimat atau
paragraf yang diserap dalam pikiran dan kesemuanya itu menjadi satu, mengalir total secara ber-
samaan.
Tidak seperti model-model behaviorisme yang mempelajari proses belajar hanya sebagai
hubungan S – R yang bersifat superfisial, kognitivisme merupakan suatu bentuk teori yang
sering disebut model kognitif atau perseptual. Di dalam model ini tingkah laku seseorang di-
tentukan oleh persepsi serta pemahamannya tentang situasi yang berhubungan dengan tujuan-
tujuannya.
Belajar itu sendiri menurut teori kognitif adalah perubahan persepsi dan pemahaman, yang tidak
selalu dapat terlihat sebagai tingkah laku. Teori ini juga menekankan pada gagasan bahwa
bagian-bagian suatu situasi saling berhubungan dengan konteks seluruh situasi tersebut. Mem-
bagi keseluruhan situasi menjadi komponen-komponen kecil dan mempelajarinya secara terpisah
adalah sama dengan kehilangan sesuatu yang penting.
Belajar merupakan suatu proses internal yang mencakup ingatan, retensi, pengolahan informasi,
emosi dan faktor-faktor lain. Belajar, mencakup pengaturan stimulus yang diterima dan
dinyesuaikan dengan struktur kognitif yang terbentuk di dalam pikiran sesorang berdasarkan
pengalaman-pengalaman sebelumnya.
R ——-> Respons
Di dalam subbab ini disajikan beberapa teori belajar secara umum. Setelah itu akan dibahas
aplikasinya di dalam pembelajaran bahasa.
Jean Piaget (1896-1980) lahir di Swiss, seorang pakar terkemuka dalam disiplin psikologi kogni-
tif, yang pada awal mulanya bukanlah seorang psikolog melainkan seorang ahli biologi, tetapi
telah berhasil menulis lebih dari 30 buku bermutu, yang bertemakan perkembangan anak dan
kognitif (Syah, 1996:66).
Menurut Piaget perkembangan kognitif merupakan suatu proses genetik, artinya proses yang
didasarkan atas mekanisme biologis yaitu perkembangan sistim syaraf. Dengan semakin ber-
tambahnya usia sesesorang maka semakin komplekslah susunan sel syarafnya dan makin
meningkat pula kemampuannya.
Pada saat seseorang tumbuh menjadi dewasa, akan mengalami adaptasi biologis dengan ling-
kungannya dan akan menyebabkan adanya perubahan-perubahan kualitatif dalam struktur
kognitifnya. Apabila seseorang menerima informasi atau pengalaman baru maka informasi ter-
sebut akan dimodifikasi hingga sesuai dengan struktur kognitif yang dimilikinya. Proses ini di-
sebut asimilasi. Sebaliknya, apabila struktur kognitifnya yang harus diseuaikan dengan informasi
yang diterima, maka proses ini disebut akomodasi. Jadi asimilasi dan akomodasi akan terjadi
apabila terjadi konflik koginitif atau suatu ketidak seimbangan antara apa yang telah diketahui
dengan apa yang dilihat atau dialaminya sekarang. Adaptasi akan terjadi apabila telah terjadi
keseimbangan dalam struktur kognitif. Tugas seorang dosen dalam proses belajar mengajar
adalah menyajikan materi yang harus dipelajari mahasiswa sedemikian rupa sehingga
menyebabkan adanya ketidak seimbangan kognitif pada diri mahasiswa. Dengan demikian ia
akan berusaha untuk mengadopsi informasi baru ke dalam struktur kognitifnya yang telah ada.
Menurut Piaget proses belajar seseorang akan mengikuti pola dan tahap tahap perkembangan
tertentu sesuai dengan umurnya. Penjenjangan ini bersifat hirarkis artinya harus dilalui ber-
dasarkan urutan tertentu dan orang tidak dapat belajar sesuatu yang berada di luar tahap kog-
nitifnya. Di sini terdapat empat macam jenjang, mulai jenjang sensomotorik (0 – 2 tahun) yang
bersifat eksternal, pre-operasional (2 – 6 tahun), operasional konkrit (6/7 – 11/12 tahun) dan
jenjang formal (11/2 – 18 tahun) yang bersifat internal (mampu berfikir abstrak atau mengadakan
penalaran). Untuk lebih jelasnya dapat dilihat perkembangan individu tersebut pada 4 tahapan.
Yang pertama adalah sensori motor, yakni perkembangan ranah kognitif yang terjadi pada usia
0 – 2 tahun. Yang kedua adalah pre-operational, yakni perkembangan ranah kognitif yang terjadi
pada usia 2 – 7 tahun. Yang ketiga adalah concrete operational, yakni perkembangan ranah
kognitif yang terjadi pada usia 7 – 11 tahun. Yang terakhir adalah formal operational, yakni
perkembangan ranah kognitif yang terjadi pada usia 11 sampai dewasa awal (Slavin, 1994:14).
Yang merupakan titik pusat teori Perkembangan Kognitif Piaget ialah bagaimana individu meng-
alami kemajuan tingkat perkembangan mental atau pengetahuan ke tingkat yang lebih tinggi. Hal
yang pokok dalam teori ini adalah kepercayaan bahwa pengetahuan dibentuk oleh individu
dalam interaksi dengan lingkungan yang terus-menerus dan selalu berubah.
Perkembangan kognitif menurut Piaget (1977) dipengaruhi oleh tiga proses dasar: asimilasi,
akomodasi, dan ekuilibrasi. Secara singkat, asimilasi ialah pemaduan data atau informasi baru
dengan struktur kognitif yang ada, akomodasi ialah penyesuaian struktur terhadap situasi baru,
dan ekuilibrasi ialah penyesuaian kembali yang terus-menerus dilakukan antara asimilasi dan
akomodasi (Gredler, 1991:311).
Berikut adalah kelemahan-kelemahan dari teori Piaget. Belajar individual tidak dapat dilaksana-
kan karena untuk belajar mandiri diperlukan kemampuan kognitif yang lengkap dan kompleks
dan tidak bisa diuraikan dalam jenjang-jenjang. Hasil-hasil penelitian menunjukkan bahwa ke-
terampilan-keterampilan kognitif tingkat tinggi dapat dicapai oleh anak-anak yang belum men-
capai umur yang sesuai dengan jenjang-jenjang teori Piaget. Sebaliknya, banyak orang yang
tidak mencapai tahap operasional formal tanpa adanya manipulasi hal-hal yang bersifat konkrit
seperti pemakaian gambar, demonstrasi, pemberian model dll. Keterampilan ternyata lebih baik
dipelajari melalui urutan, bukan berdasarkan tahapan umur.
Jerome S. Bruner adalah seorang pakar psikologi perkembangan dan pakar psikologi belajar
kognitif, penelitiannya dalam bidang psikologi antara lain persepsi manusia, motivasi, belajar,
dan berpikir. Dalam mempelajari manusia, ia menganggap manusia sebagai pemroses, pemikir,
dan pencipta informasi (Dahar, 1988).
Dalam pembahasan perkembangan kognisi, Bruner menekankan pada adanya pengaruh ke-
budayaan pada tingkah laku seseorang. Bila Piaget menyatakan bahwa perkembangan kognitif
berpengaruh pada perkembangan bahasa seseorang, maka sebaliknya Bruner menyatakan bahwa
perkembangan bahasa besar pengaruhnya terhadap perkembangan kognisi.
Menurut Bruner, perkembangan kognisi seseorang terjadi melalui tiga tahap yang ditentukan
oleh cara dia melihat lingkungannya. Tahap pertama adalah tahap en-aktif, di mana individu
melakukan aktivitas-aktivitas untuk memahami lingkungannya. Tahap kedua adalah tahap ikonik
di mana ia melihat dunia atau lingkungannya melalui gambar-gambar atau visualisasi verbal.
Tahap terakhir adalah tahap simbolik, di mana ia mempunyai gagasan secara abstrak yang
banyak dipengaruhi bahasa dan logika; komunikasi dilakukan dengan bantuan sistem simbol.
Makin dewasa makin dominan pula sistem simbol seseorang.
Untuk belajar sesuatu, Bruner berpendapat tidak perlu menunggu sampai anak mencapai suatu
tahap perkembangan tertentu. Apabila bahan yang diberikan sudah diatur dengan baik, maka
individu dapat belajar meskipun umurnya belum memadai. Dengan kata lain, perkembangan
kognitif seseorang dapat ditingkatkan dengan cara mengatur bahan yang akan dipelajari dan me-
nyajikannya sesuai dengan tingkat perkembangannya. Penerapan sistem ini dalam dunia pen-
didikan disebut “kurikulum spiral” di mana satu obyek diberikan mulai dari sekolah dasar
sampai perguruan tinggi dengan materi yang sama tetapi tingkat kesukaran yang bertingkat, dan
materinya disesuaikan pula dengan tingkat perkembangan kognisi seseorang.
Prinsip-prinsip belajar Bruner adalah sebagai berikut. Makin tinggi tingkat perkembangan
intelektual, makin meningkat pula ketidaktergantungan individu terhadap stimulus yang di-
berikan. Pertumbuhan seseorang tergantung pada perkembangan kemampuan internal untuk
menyimpan dan memproses informasi. Data atau informasi yang diterima dari luar perlu diolah
secara mental.
Menurut Bruner, berpikir intuitif tidak pernah dikembangkan di sekolah, bahkan mungkin di-
hindari karena dianggap tidak perlu. Sebaliknya di sekolah banyak dikembangkan cara berfikir
analitis, padahal berfikir intuitif sangat penting untuk ahli matematika, biologi, fisika, dll. Se-
lanjutnya dikatakan bahwa setiap disiplin ilmu mempunyai konsep-konsep, prinsip-prinsip dan
prosedur yang harus dipahami sebelum seseorang mulai belajar. Cara terbaik untuk belajar
adalah memahami konsep, arti dan hubungan melalui proses intuitif hingga akhirnya sampai
pada satu kesimpulan (discovery learning).
Ausubel (1968) adalah seorang pakar psikologi pendidikan dengan teorinya yang berpijak pada
psikologi kognitif, dan dalam teorinya memberi penekanan kepada belajar bermakna, serta
retensi dan variabel-variabel yang berhubungan dalam belajar. Belajar menurut Ausubel dapat
diklasifikasikan ke dalam dua dimensi: (1) berhubungan dengan cara informasi atau materi
pelajaran disajikan pada siswa, baik melalui ekspository maupun inquiry, (2) menyangkut cara
bagaimana siswa dapat mengaitkan data atau informasi itu pada struktur kognitif yang telah ada
(Romiszowski, 1981).
Kelemahan-kelemahan teori belajar Ausubel tersebut pada umumnya adalah bahwa terlalu
menekankan belajar asosiatif atau menghafal. Belajar asosiatif, materi yang dipelajari perlu di-
hafal secara arbitrari, padahal belajar seharusnya adalah apa yang disebut dengan asimilasi
bermakna. Asimilasi bermakna, materi yang dipelajari, perlu diasimilasikan dan dihubungkan
dengan pengetahuan sebelumnya yang telah ada. Untuk itu diperlukan 2 persyaratan, yaitu: a)
materi yang secara potensial bermakna dan dipilih serta diatur oleh pengajar harus sesuai dengan
tingkat perkembangan dan pengetahuan pembelajar; dan b) suatu situasi belajar yang bermakna.
Faktor motivasional memegang peranan yang penting di sini, sebab pembelajar tidak akan
mengasimilasi materi baru tersebut apabila mereka tidak mempunyai keinginan dan pengetahuan
bagaimana melakukannya. Hal ini juga perlu diatur oleh pengajar sehingga materi tidak
dipelajari secara hafalan.
Sifat atau karakteristik untuk teori ini adalah apa yang disebut advance organizers yang apabila
dipakai dapat meningkatkan kemampuan pembelajar untuk mempelajari informasi baru. Advance
organizer ini merupakan kerangka berbentuk abstraksi atau ringkasan-ringkasan dari konsep
dasar apa yang harus dipelajari serta hubungannya dengan apa yang telah ada dalam struktur
kognisi pembelajar.
Dalam proses belajar mengajar, seorang pengajar dapat menerapkan prinsip belajar bermakna
oleh Ausubel, melalui langkah-langkah sebagai berikut. Pertama, mengukur kesiapan mahasiswa
(minat, kemampuan, struktur kognisi) melalui tes awal, interview, review, pertanyaan dll. Kedua,
memilih materi, mengaturnya dan menyajikan konsep-konsep inti, dimulai dari contoh konkrit
dan contoh kontroversial. Ketiga, mengidentifikasi prinsip-prinsip yang harus diketahui dari
materi baru dan menyajikan suatu pandangan menyeluruh tentang apa yang harus dipelajari.
Keempat, memakai advance organizers; agar pembelajar dapat memahami konsep-konsep dan
prinsip-prinsip yang ada dengan memberikan fokus pada hubungan yang ada.
Perbedaan antara teori Bruner dan teori Ausubel adalah Teori Bruner menekankan adanya pe-
nemuan sedangkan Ausubel menekankan adanya materi yang disajikan dan dapat diinternalisasi-
kan oleh pembelajar. Sedangkan persamaannya adalah keduanya menekankan belajar bermakna
dan pemahaman, meskipun menurut Bruner hal tersebut harus ditemukan secara induktif. Namun
menurut Ausubel hal tersebut dapat diasimilasi secara deduktif; yakni belajar tidak hanya me-
rupakan pengulangan secara verbatim.
Pendapat keduanya menekankan adanya suatu hubungan. Bruner menekankan bagaimana se-
suatu itu dipelajari dan dihubungkan dengan bahan-bahan lain serta bagaimana menemukan arti
hubungan tersebut. Sedangkan menurut Ausubel, apa yang dipelajari seseorang harus dihubung-
kan dengan apa yang telah ada dalam struktur kognitif.
Keduanya menekankan pentingnya mempelajari konsep dan prinsip. Keduanya merupakan teori
belajar kognitif yang mempelajari proses dalam pikiran.
Ada dua kajian mengenai teori kognitif yang penting dalam perancangan pembelajaran, yaitu: (1)
teori tentang struktur representasi kognitif, dan (2) proses ingatan (memory). Struktur kognisi di-
definisikan sebagai struktur organisasional yang ada dalam ingatan seseorang ketika menginte-
grasikan unsur-unsur pengetahuan yang terpisah-pisah ke dalam suatu unit konseptual. Proses
ingatan merupakan pengelolaan informasi di dalam ingatan (memory) dimulai dengan proses
penyandian informasi (coding), diikuti penyimpanan informasi (strorage), dan kemudian
mengungkapkan kembali informasi-informasi yang telah di simpan dalam ingatan (retrieval).
Dengan adanya konsep tersebut, maka sebagai kata kunci dalam teori psikologi kognitif adalah
“Information Processing Model” yang mendeskripsikan: proses penyandian informasi, proses pe-
nyimpanan informasi, dan proses pengungkapan kembali suatu informasi atau pengetahuan dari
konsepsi pikiran. Model tersebut akhir-akhir ini semakin mendominasi sebagian besar riset atau
pembahasan mengenai psikologi pendidikan atau pembelajaran. Jadi, dalam model ini peristiwa-
peristiwa mental diuraikan sebagai transformasi-transformasi informasi dimulai dari input
(masukan) berupa stimulus hingga menjadi output (keluaran) berupa respon (Slavin, 1994).
Dengan demikian, fokus pada masalah belajar adalah: suatu kegiatan berproses, dan selanjutnya
suatu perubahan bertahap. Dalam tahap pengelolaan informasi yang berasal dari stimulus
eksternal, Bruner menyampaikan tahap tersebut menjadi tiga fase dalam proses belajar, yaitu: (1)
fase informasi, (2) fase transformasi, dan (3) fase evaluasi (Barlow, 1985). Dan menurut Witting
(1981) setiap proses belajar akan selalu berlangsung dalam tiga tahapan, yaitu: (1) Acquisition
(tahap perolehan atau penerimaan informasi), (2) Storage (tahap penyimpangan informasi), dan
(3) Retrieval (tahap menyampaikan kembali informasi). Dan untuk mengaplikasikannya dalam
proses belajar dan pembelajaran meliputi: (a) pembelajar akan lebih mampu mengingat dan
memahami sesuatu apabila pelajaran tersebut disusun dalam pola dan logika tertentu, (b)
penyusunan materi pelajaran harus dari yang sederhana ke yang rumit, (c) belajar dengan
memahami lebih baik daripada dengan hanya menghafal tanpa pengertian penyajian, dan (d)
adanya perbedaan individual pada pembelajar harus diperhatikan.
Proses belajar menurut behaviorisme merupakan suatu mekanisme yang periferik dan terletak
jauh dari otak, sedangkan menurut kognitivisme proses belajar terjadi secara internal di otak dan
meliputi ingatan dan pikiran.
Hasil belajar menurut behaviorisme merupakan kebiasaan dan ditekankan pada adanya urutan
respons yang lancar. Sebaliknya kognitivisme menganggap hasil belajar sebagai suatu struktur
kognitif tertentu.
Menurut teori Behaviorisme, belajar merupakan proses trial and error, dan adanya unsur-unsur
yang sama antara masalah sekarang yang dijumpai dengan apa yang pernah dijumpai se-
belumnya. Sedangkan Kognitivisme, menekankan adanya pemahaman tentang apa yang dihadapi
sekarang dengan yang telah dijumpai sebelumnya. Para pakar psikologi kognitif melihat situasi
belajar erat kaitannya dengan memori. Memori yang biasanya diartikan ingatan, yakni
merupakan fungsi mental yang menangkap informasi dari stimulus, dan merupakan storage
system, yakni sistem penyimpanan data informasi dan pengetahuan yang terdapat dalam otak
manusia. Dan dalam diri manusia ada yang dikenal dengan struktur sistem akal yang terdiri dari
tiga sub-sistem, antara lain: (1) Sensory register, (2) Short term memory, dan (3) Long term
memory (Bruno, 1987).
Dengan adanya sistem penyimpanan informasi dalam proses belajar ini, maka pembelajar di-
harapkan agar dapat memusatkan perhatian. Karena banyak faktor yang dapat mempengaruhi
perhatian pembelajar.
Lindsay dan Norman menyampaikan tiga aturan umum untuk memperbaiki memory (ingatan).
Pertama, menghafal perlu adanya usaha; hal ini seringkali tidak mudah untuk dipenuhi. Kedua,
materi yang harus dihafal atau diingat seharusnya berhubungan dengan hal-hal: menguraikan
dengan kata-kata sendiri dan menggambarkan dalam imajinasi; ini mungkin dapat membantu.
Ketiga, menghafal atau mengingat memerlukan organisasi materi. Materi dapat dibagi dalam
kelompok atau bagian-bagian kecil kemudian diletakkan kembali bersama-sama dalam pola
ingatan yang berarti (Dahar, 1988).
PENUTUP
Penyampaian informasi atau materi pelajaran dalam proses belajar mengajar menurut sudut
pandang kognitif, yaitu suatu cara untuk mengembangkan ranah cipta siswa agar berfungsi se-
cara optimal. Pengembangan ranah cipta (kognitif) dalam proses belajar mengajar tersebut di-
pandang vital dan strategis, karena ranah inilah yang paling dominan dalam kejiwaan. Ranah
psikologis yang bermarkas di dalam otak ini merupakan sumber dan sekaligus pengendali ranah-
ranah psikologis lainnya, yakni ranah rasa (afektif) dan ranah karsa (psikomotorik). Otak dengan
segala perangkatnya yang sifatnya unik dan rumit tidak hanya berfungsi sebagai mesin
penggerak aktivitas akal semata, tetapi juga sebagai menara pengontrol aktivitas perasaan dan
perbuatan.
DAFTAR PUSTAKA
Ballard, Brigid & John Clanchy. 1984. Study Abroady: A Manual for Asian Studens. Selangor
Malaysia: Darul Ihsan.
Bruno, Frank. 1987. Dictionary of Key Word Psychology, London: Routledge & Kegan Paul.
Chaplin, J. P. 1972. Dictionaryof Psycology. New York: Dell Publishing Co. Inc.
Dahar, Ratna Willis. 1988. Teori-Teori Belajar. Jakarta: Depdikbud Direktorat Jendral
Pendidikan Tinggi PPLPTK.
Degeng, I Nyoman Sudana. 1997. Strategi Pembelajaran Mengorganisasi Isi dengan Model
Elaborasi. Malang: Penerbit IKIP Malang bekerjasama dengan Biro Penerbitan Ikatan Profesi
Teknologi Pendidikan Indonesia-Jakarta.
Degeng, I Nyoman Sudana. 1988. Ilmu Pengajaran: Taksonomi Variable. Jakarta: Depdikbud,
Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi PPLPTK.
Gredler, Margaret & E. Bell. 1986. Learning And Instruction Theory Into Practice. Mc.Milan
Publishing Company. Diterjemahkan oleh Munandir. 1991. Jakarta: Rajawali.
Neiser, Uris. 1976. Cognition and Reality: Principles and Implication of Cognitive Psycology.
San Fransisco: Freman and Company.
Sujana, Nana & Ahmad Rivai. 1989. Teknologi Pengajaran, Bandung: Sinar Baru.
Romiszowki, A. J. 1981. Designing Instructional Systems. London: The Ancher Ltd.
Syah, Muhibbin. 1996. Psikologi Pendidikan: Suatu Pendekatan Baru. Bandung: Remaja
Rosdakarya.
Slavin, Robert E. 1994. Educational Psycology: Theory and Practice. America: The United
States of America.
Witig, Arno F. 1981. Psycology of Learning. New York: Mc.Grow Hill Bokk Company.
Teori Humanistik
Pengertian humanistik yang beragam membuat batasan-batasan aplikasinya dalam dunia
pendidikan mengundang berbagai macam arti pula. Sehingga perlu adanya satu pengertian yang
disepakati mengenai kata humanistik dala pendidikan. Dalam artikel “What is Humanistik
Education?”, Krischenbaum menyatakan bahwa sekolah, kelas, atau guru dapat dikatakan
bersifat humanistik dalam beberapa kriteria. Hal ini menunjukkan bahwa ada beberapa tipe
pendekatan humanistik dalam pendidikan. Ide mengenai pendekatan-pendekatan ini terangkum
dalam psikologi humanistik.
Dalam artikel “some educational implications of the Humanistic Psychologist” Abraham Maslow
mencoba untuk mengkritisi teori Freud dan behavioristik. Menurut Abraham, yang terpenting
dalam melihat manusia adalah potensi yang dimilikinya. Humanistik lebih melihat pada sisi
perkembangan kepribadian manusia daripada berfokus pada “ketidaknormalan” atau “sakit”
seperti yang dilihat oleh teori psikoanalisa Freud. Pendekatan ini melihat kejadian setelah “sakit”
tersebut sembuh, yaitu bagaimana manusia membangun dirinya untuk melakukan hal-hal yang
positif. Kemampuan bertindak positif ini yang disebut sebagai potensi manusia dan para
pendidik yang beraliran humanistik biasanya memfokuskan penganjarannya pada pembangunan
kemampuan positif ini.
Kemampuan positif disini erat kaitannya dengan pengembangan emosi positif yang terdapat
dalam domain afektif, misalnya ketrampilan membangun dan menjaga relasi yang hangat dengan
orang lain, bagaimana mengajarkan kepercayaan, penerimaan, keasadaran, memahami perasaan
orang lain, kejujuran interpersonal, dan pengetahuan interpersonal lainnya. Intinya adalah
meningkatkan kualitas ketrampilan interpersonal dalam kehidupan sehari-hari.
Selain menitik beratkan pada hubungan interpersonal, para pendidikan yang beraliran humanistik
juga mencoba untuk membuat pembelajaran yang membantu anak didik untuk meningkatkan
kemampuan dalam membuat, berimajinasi, mempunyai pengalaman, berintuisi, merasakan, dan
berfantasi. Pendidik humanistik mencoba untuk melihat dalam spektrum yang luas mengenai
perilaku manusia. “Berapa banyak hal yang bisa dilakukan manusia? Dan bagaimana aku bisa
membantu mereka untuk melakukan hal-hal tersebut dengan lebih baik?
Melihat hal-hal yang diusahakankan oleh para pendidik humanistik, tampak bahwa pendekatan
ini mengedepankan pentingnya emosi dalam dunia pendidikan. Freudian melihat emosi sebagai
hal yang mengganggu perkembangan, sementara humanistik melihat keuntungan pendidikan
emosi. Jadi bisa dikatakan bahwa emosi adalah karakterisitik yang sangat kuat yang nampak dari
para pendidik beraliran humanistik. Karena berpikir dan merasakan saling beriringan,
mengabaikan pendidikan emosi sama dengan mengabaikan salah satu potensi terbesar manusia.
Kita dapat belajar menggunakan emosi kita dan mendapat keuntungan dari pendekatan
humanistik ini sama seperti yang kita dapatkan dari pendidikan yang menitikberatkan kognisi.
Berbeda dengan behaviorisme yang melihat motivasi manusia sebagai suatu usaha untuk
memenuhi kebutuhan fisiologis manuisa atau dengan freudian yang melihat motivasi sebagai
berbagai macam kebutuhan seksual, humanistik melihat perilaku manusia sebagai campuran
antara motivasi yang lebih rendah atau lebih tinggi. Hal ini memunculkan salah satu ciri utama
pendekatan humanistik, yaitu bahwa yang dilihat adalah perilaku manusia, bukan spesies lain.
Akan sangat jelas perbedaan antara motivasi manusia dan motivasi yang dimiliki binatang.
Hirarki kebutuhan motivasi maslow menggambarkan motivasi manusia yang berkeinginan untuk
bersama manusia lain, berkompetensi, dikenali, aktualisasi diri sekaligus juga menggambarkan
motivasi dalam level yang lebih rendah seperti kebutuhan fisiologis dan keamanan.
Menurut aliran humanistik, para pendidik sebaiknya melihat kebutuhan yang lebih tinggi dan
merencanakan pendidikan dan kurikukum untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan ini. Beberapa
psikolog humanistik melihat bahwa manusia mempunyai keinginan alami untuk berkembang,
untuk lebih baik, dan juga belajar. Jadi sekoah harus berhati-hati supaya tidak membunuh insting
ini dengan memaksakan anak belajar sesuatu sebelum mereka siap. Jadi bukan hal yang benar
apabila anak dipaksa untuk belajar sesuatu sebelum mereka siap secara fisiologis dan juga punya
keinginan. Dalam hal ini peran guru adalah sebagai fasilitator yang membantu siswa untuk
memenuhi kebutuhan-kebutuhan yang lebih tinggi, bukan sebagai konselor seperti dalam
Freudian ataupun pengelola perilaku seperti pada behaviorisme.
Secara singkatnya, teori humanistik dalam pendidikan menekankan pada perkembangan positif.
Teori yang berfokus pada potensi manusia untuk mencari dan menemukan kemampuan yang
mereka punya dan mengembangkan kemampuan tersebut. Hal ini mencakup kemampuan
interpersonal sosial dan metode untuk pengembangan diri yang ditujukan untuk memperkaya
diri, menikmati keberadaan hidup dan juga masyarakat. Ketrampilan atau kemampuan
membangun diri secara positif ini menjadi sangat penting dalam pendidikan karena
keterkaitannya dengan keberhasilan akademik.
Dalam teori belajar humanistik, belajar dianggap berhasil jika si pelajar memahami
lingkungannya dan dirinya sendiri. Siswa dalam proses belajarnya harus berusaha agar lambat
laun ia mampu mencapai aktualisasi diri dengan sebaik-baiknya. Teori belajar ini berusaha
memahami perilaku belajar dari sudut pandang pelakunya, bukan dari sudut pandang
pengamatnya.
Tujuan utama para pendidik adalah membantu si siswa untuk mengembangkan dirinya, yaitu
membantu masing-masing individu untuk mengenal diri mereka sendiri sebagai manusia yang
unik dan membantu dalam mewujudkan potensi-potensi yang ada dalam diri mereka.
B. Tokoh-Tokoh Dalam Teori Belajar Humanistik
1. Carl Ronson Rogers
a. Biografi
Carl Ransom Rogers lahir di Oak Park, Illinois, pada 8 Januari 1902. Pada umur 12 tahun
keluarganya mengusahakan pertanian dan Rogers menjadi tertarik kepada pertanian secara
ilmiah. Pertanian ini membawanya ke perguruan tinggi, dan pada tahun-tahun pertama Rogers
sangat gemar akan ilmu alam dan ilmu hayat. Setelah menyelesaikan pelajaran di University of
Wisconsin pada 1924 Rogers masuk Union Theological College of Columbia, disana Rogers
mendapat pandangan yang liberal dan filsafat mengenai agama. Kemudian pindah ke Teachers
College of Columbia, disana Rogers terpengaruh oleh filsafat John Dewey serta mengenal
psikologi klinis dengan bimbingan L. Hollingworth. Rogers mendapat gelar M.A. pada 1928 dan
doctor pada 1931 di Columbia. Pengalaman praktisnya yang pertama-tama diperolehnya di
Institute for Child Guidance. Lembaga tersebut orientasinya Freudian. Rogers menemukan
bahwa pemikiran Freudian yang spekulatif itu tidak cocok dengan pendidikan yang diterimanya
yang mementingkan statistik dan pemikiran menurut aliran Thorndike.
Setelah mendapat gelar doktor dalam psikologi Rogers menjadi staf pada Rochester
Guidance Center dan kemudian menjadi pemimpinnya. Selama masa ini Rogers dipengaruhi oleh
Otto Rank, seorangpsychoanalyst yang memisahkan diri dari Freudian yang ortodok.
Pada tahun 1940 Rogers menerima tawaran untuk menjadi guru besar psikologi di Ohio
State University. Perpindahan dari pekerjaan klinis ke suasana akademis ini dirasa oleh Rogers
sendiri sangat tajam. Karena rangsangannya Rogers merasa terpaksa harus membuat
pandangannya dalam psikoterapi itu menjadi jelas. Dan ini dikerjakannya pada 1942 dalam
buku Counseling and Psychotheraphy.
Pada tahun 1945 Rogers menjadi mahaguru psikologi di Universitas of Chicago, yang
dijabatnya hingga kini. Tahun 1946-1957 menjadi presiden the American Psychological
Association. Dan meninggal dunia tanggal 4 Februari 1987 karena serangan jantung.
Meskipun teori yang dikemukan Rogers adalah salah satu dari teori holistik, namun
keunikan teori adalah sifat humanis yang terkandung didalamnya. Teori humanistik Rogers pun
menpunyai berbagai nama antara lain : teori yang berpusat pada pribadi (person centered), non-
directive, klien (client-centered), teori yang berpusat pada murid (student-centered), teori yang
berpusat pada kelompok (group centered), danperson to person). Namun istilah person
centered yang sering digunakan untuk teori Rogers.
Rogers menyebut teorinya bersifat humanis dan menolak pesimisme suram dan putus asa
dalam psikoanalisis serta menentang teori behaviorisme yang memandang manusia seperti robot.
Teori humanisme Rogers lebih penuh harapan dan optimis tentang manusia karena manusia
mempunyai potensi-potensi yang sehat untuk maju. Dasar teori ini sesuai dengan pengertian
humanisme pada umumnya, dimana humanisme adalah doktrin, sikap, dan cara hidup yang
menempatkan nilai-nilai manusia sebagai pusat dan menekankan pada kehormatan, harga diri,
dan kapasitas untuk merealisasikan diri untuk maksud tertentu.
b. Pemikiran Carl Ronson Rogers
Carl Rogers, seorang psikolog humanistik, mengutarakan sebuah teori yang disebut dengan
teori pribadi terpusat. Dalam pandangan Rogers, konsep diri merupakan hal terpenting dalam
kepribadian, dan konsep diri ini juga mencakup kesemua aspek pemikiran, perasaan, serta
keyakinan yang disadari oleh manusia dalam konsep dirinya.
Konsep diri ini terbagi menjadi 2 yaitu konsep diri real dan konsep diri ideal. Untuk
menunjukkan apakah kedua konsep diri tersebut sesuai atau tidak,
Rogers mengenalkan 2 konsep lagi, yaitu Incongruence dan Congruence. Incongruence adalah
ketidakcocokan antara diri yang dirasakan dalam pengalaman aktual disertai pertentangan dan
kekacauan batin. Seseorang dikatakan dalam keadaan inkongruensi jika beberapa dari totalitas
pengalaman mereka tidak bisa diterima untuk mereka dan ditolak atau terdistorsi dalam citra
diri. Sedangkan Congruence berarti situasi di mana pengalaman diri diungkapkan dengan
seksama dalam sebuah konsep diri yang utuh, integral, dan sejati.
Pendekatan humanistik menyatakan bahwa diri terdiri dari konsep-konsep unik untuk diri
kita sendiri komponen. Konsep- konsep tersebut antara lain :
1) Cukup layak (atau harga diri) yaitu apa yang kita pikirkan tentang diri kita. Rogers percaya
perasaan harga diri yang dikembangkan pada anak usia dini dan terbentuk dari interaksi anak
dengan ibu dan ayah.
2) Citra diri yaitu bagaimana kita melihat diri kita, yang penting untuk kesehatan psikologis yang
baik. Citra diri termasuk pengaruh gambar tubuh kita pada kepribadian batin. Pada tingkat
sederhana, kita mungkin menganggap diri sebagai orang baik atau buruk, indah atau jelek. Citra
diri memiliki mempengaruhi bagaimana seseorang berpikir merasa dan berperilaku di dunia.
3) Ideal diri yaitu ingin menjadi seperti apa diri kita. Ini terdiri dari tujuan kita,ambisi dalam hidup,
dan dinamis - yaitu selamanya berubah. Yang ideal diri pada anak bukanlah diri ideal di usia
remaja kita atau akhir usia dua puluhan dll
Rogers lebih melihat pada masa sekarang, dia berpendapat bahwa masa lampau memang
akan mempengaruhi cara bagaimana seseorang memandang masa sekarang yang akan
mempengaruhi juga kepribadiannya. Namun ia tetap berfokus pada apa yang terjadi sekarang
bukan apa yang terjadi pada waktu itu.
Rogers membedakan dua tipe belajar yaitu :
- Kognitif ( kebermaknaan )
- Experiential ( pengalaman atau signifikansi)
Menurut Rogers motivasi orang yang sehat adalah aktualisasi diri. Jadi manusia yang sadar
dan rasional tidak lagi dikontrol oleh peristiwa kanak – kanak. Aktualisasi diri adalah proses
menjadi diri sendiri dan mengembangkan sifat-sifat dan potensi -potensi psikologis yang unik.
Aktualisasi diri akan berubah sejalan dengan perkembangan hidup seseorang. Ketika mencapai
usia tertentu (adolensi) seseorang akan mengalami pergeseran aktualisasi diri dari fisiologis ke
psikologis.
Pada dasarnya, ide pokok dari teori – teori Rogers yaitu individu memiliki kemampuan
dalam diri sendiri untuk mengerti diri, menentukan hidup, dan menangani masalah – masalah
psikisnya asalkan konselor menciptakan kondisi yang dapat mempermudah perkembangan
individu untuk aktualisasi diri.
Menurut Rogers, yang terpenting dalam proses pembelajaran adalah pentingnya guru
memperhatikan prinsip pendidikan dan pembelajaran, yaitu :
1) Menjadi manusia berarti memiliki kekuatan yang wajar untuk belajar
2) Siswa akan mempelajari hal- hal yang bermakna bagi dirinya.
3) Pengorganisasian bahan pengajaran berarti mengorganisasikan bahan dan ide baru sebagai
bagian yang bermakna bagi siswa.
4) Belajar yang bermakna dalam masyarakat modern berarti belajar tentang proses.
5) Belajar yang optimal akan terjadi bila siswa berpartisipasi secara bertanggung jawab dalam
proses belajar.
6) Belajar mengalami (experiental learning) dapat terjadi, bila siswa mengevaluasi dirinya sendiri.
Belajar mengalami, dapat memberi peluang untuk belajar kreatif, self evaluation dan kritik diri.
Hal ini berarti bahwa evaluasi dari instruktur bersifat sekunder.
7) Belajar mengalami, menuntut keterlibatan siswa secara penuh dan sungguh-sungguh.
Dalam bukunya yang berjudul Freedom To Learn, Rogers menunjukkan sejumlah prinsip-
prinsip dasar humanistik yang penting, diantaranya adalah :
1) Manusia itu mempunyai kemampuan belajar secara alami.
2) Belajar yang signifikan terjadi apabila materi pelajaran dirasakan murid mempunyai relefansi
dengan maksud- maksud sendiri.
3) Belajar yang menyangkut perubahan di dalam persepsi mengenai dirinya sendiri dianggap
mengancam dan cenderung untuk ditolaknya.
4) Tugas- tugas belajar yang mengancam diri ialah lebih mudah dirasakan dan diasimilasikan
apabila ancaman- ancaman dari luar itu semakin kecil.
5) Apabila ancaman terhadap siswa rendah, pengalaman dapat diperoleh dengan berbagai cara yang
berbeda- beda dan terjadilah proses belajar.
6) Belajar bermakna diperoleh siswa dengan melakukannya.
7) Belajar diperlancar bilamana siswa dilibatkan dalam proses belajar dan ikut bertanggung jawab
terhadap proses belajar itu.
8) Belajar atas inisiatif sendiri yang melibatkan pribadi siswa seutuhnya, baik perasaan maupun
intelek, merupakan cara yang dapat memberikan hasil yang mendalam dan lestari.
9) Kepercayaan terhadap diri sendiri, kemerdkaan, kreativitas, lebih mudah dicapaiterutama jika
siswa dibiasakan untuk mawas diri dan mengkritik dirinya sendiri dan penilaian dari orang lain
merupakan cara kedua yang penting.
10) Belajar yang paling berguna secara social di dalam dunia modern ini adalah belajar mengenai
proses belajar, suatu keterbukaan yang terus menerus terhadap pengalaman dan penyatuannya ke
dalam diri sendiri mengenai proses perubahan itu.
Rogers juga mengemukakan saran tentang langkah-langhkah pembelajaran yang perlu
dilakukan oleh guru. Saran pembelajaran itu meliputi hal berikut :
1) Guru memberi kepercayaan kepada kelas agar kelas memilih belajar secara terstruktur.
2) Guru dan siswa membuat kontrak belajar.
3) Guru menggunakan metode inkuiri, atau belajar menemukan (discovery learning).
4) Guru menggunakan metode simulasi.
5) Guru mengadakan latihan kepekaan agar siswa mampu menghayati perasaan dan berpartisipasi
dengan kelompok lain.
6) Guru bertindak sebagai fasilitator belajar.
7) Sebaiknya guru menggunakan pengajaran berprogram, agar tercipta peluang bagi siswa untuk
timbulnya kreativitas.
Dari penelitian diketahui guru yang fasilitatif mengurangi angka bolos siswa,
meningkatkan angka konsep diri siswa, meningkatkan upaya untuk meraih prestasi akademik,
mengurangi tingkat problem yang berkaitan dengan disiplin dan mengurangi perusakan pada
peralatan sekolah, serta siswa- siswa menjadi lebih spontan dan menggunakan tingkat berpikir
yang lebih tinggi.
Sepanjang sejarah keinginan manusia untuk mengetahui sebab-sebab tingkah lakunya dan
semenjak psikologi menjadi pengetahuan yang otonom, masalah aspek kejiwaan yang mengatur,
membimbing dan mengontrol tingkah laku manusia selalu timbul dan menjadi persoalan.
Pengertian umum mengenai iner entity ini adalah jiwa (soul). Menurut teori “jiwa” gejala-gejala
kejiwaan (mental phenomena) dianggap sebagai pencerminan substansi khusus yang secara khas
berbeda dari subtansi dari subtansi kebendaan. Dalam teori keagamaan jiwa itu dipandang
sebagai abadi, bebas dan asalnya suci.
Rogers menyebut dirinya sebagai orang yang berpandangan humanistik dalam psikologi
kontemporer. Psikologi humanistik dari satu pihak menentang apa yang disebut sebagai
pesimisme suram dan keputusasaan yang terkandung dalam pandangan psikoanalitik tentang
manusia dan di lain pihak menentang konsepsi robot tentang manusia yang digambarkan dalam
behaviorisme. Psikologi humanistik lebih penuh harapan dan optimistik tentang manusia. Ia
yakin bahwa dalam diri setiap orang terdapat potensi-potensi untuk menjadi sehat dan tumbuh
secara kreatif. Kegagalan dalam mewujudkan potensi-potensi ini disebabkan oleh pengaruh yang
bersifat menjerat dan keliru dari latihan yang diberikan oleh orang tuanya, serta pengaruh-
pengruh sosial lainnya. Namun pengaruh-pengaruh yang merugikan ini dapat diatasi apabila
individu mau menerima tanggung jawab untuk hidupnya sendiri. Rogers yakin apabila tanggung
jawab ini di terima, maka kita akan segera melihat kalau saja represi perbudakan yang meliputi
seluruh dunia dapat dicegah, munculnya seorang pribadi baru yang penuh kesadaran,
mengarahkan dirinya sendiri, seorang yang menjelajah dunia batin lebih dari pada dunia luar,
yang memandang sikap serba tunduk pada kebiasaan-kebiasaan pada dogma tentang autoritas.
Teori Rogers juga mempunyai kesamaan dengan psikologi ekstensial. Yang pada dasarnya
teori ini adalah fenomenologis, artinya Rogers memberikan tekanan yang kuat pada
pengalaman-pengalaman sang pribadi, perasaan-perasaan dan nilai-nilainya, dan semua yang
teringkas dalam ekspresi “kehidupan batin”. Dari pengalaman-pengalaman inilah mula-mula
Rogers mengembangkan teori tentang terapi dan perubahan kepribadian. Ciri utama
konseptualisasi dari proses terapeutik ini adalah bahwa para klien mempersepsikan bahwa ahli
terapi memiliki “unconditional positive regard” (penghargaan positif tanpa syarat) terhadap
mereka dan suatu pemahaman empatik terhadap kerangka acuan internal (internal frame of
reference) mereka, maka proses perubahan mulai bergerak. Selama proses ini, klien-klien
semakin lebih menyadari perasaan dan pengalaman mereka yang sebenarnya dan konsep diri
mereka menjadi lebih selaras dengan seluruh pengalaman organisme.
Apabila keselarasan yang bulat tercapai, maka klien akan menjadi orang yang berfungsi
sepenuhnya. Menjadi orang yang berfungsi sepenuhnya meliputi sifat-sifat seperti keterbukaan
terhadap pengalaman, tidak adanya sifat defensif, kesadaran yang cermat, penghargaan diri
tanpa syarat, dan hubungan yang harmonis dengan orang-orang lain.
Abraham Harold Maslow dilahirkan di Brookllyn, New York, pada tanggal 1 April 1908.
orang tuanya adalah imigran Yahudi Rusia yang pindah ke Amerika Serikat dengan harapan
memperoleh kehidupan yang lebih baik. Sebagai anak yang tertua dari tujuh bersaudara, Maslow
oleh orang tuanya didorong dengan kuat agar mencapai keberhasilan dalam pendidikan.
Karena desakan ayahnya, pada mulanya Maslow memilih hukum sebagai bidang studinya
di city College, New york. Tetapi baru dua minggu kuliah Maslow pindah ke universitas Cornell,
dan tak lama kemudian pindah ke universitas Wisconsin, dengan bidang psikologi sebagai
bidang pilihannya. Di universitas wisconsin ini Maslow meraih gelar sarjana Muda pada tahun
1930, sarjana penuh tahun 1931, dan meraih Doktor pada tahunn 1934. pada waktu masih kuliah
di universitas Wsiconsin inilah Maslow menikah dengan Betha Goodman, pacarnya sejak masih
di sekolah menengah.
Maslow memutuskan untuk belajar Psikologi terutama karena pengaruh Behaviorisme
Watson dan dia berharap dirinya bisa merubah dunia. Disamping Watson, tokoh-tokoh yang
dikagumi dan ingin diikuti oleh Maslow adalah Koffka tokoh Psikologi Gestalt, Dreisch seorang
tokoh terkemuka dalam bdang Biologi dan Miklejhon seorang ahli filsafat.
Setelah itu Maslow menjadi guru besar Pembantu di brooklyn college, new York, sampai
tahun 1531. Di kota ini ia bertemu dengan tokoh-tokoh intelektual Eropa yang melarikan diri ke
Amerika Serikat karena penindasan Hitler. Tokoh-tokoh yang dimaksud seperti erich Fromn,
alfred Adler, Karen Horney, Ruth Benedict, dan Max Wetheimer. Percakapan-percakapan
informal dan pertukaran pengalaman dengan tokoh-tokoh tersebut memegang peranan penting
dalam pembentukan landasan pemikiran humanistik Maslow. Selain itu, kehadiran anaknya yang
pertama telah menghilangkan antusiasme Maslow terhadap Behaviorisme.
Tingkah laku yang kompleks yang ditunjukan oleh anaknya membuat Maslow berfikir
bahwa behaviorisme lebih cocok untuk memahami tikus daripada memahami manusia. Ia berkata
: “Orang yang sudah pernah punya bayi tidak menjadi behavioris”. Sebagian buku-buku Maslow
yakni Toward a Psychology of Being. (1962) Religius and Peak Experiences (1964), Eupsychian
Management : A Journal (1965) the Psycology of science: A reconnaisence (1966), motivation
and personality (1970) dan the father Reaches of human natures, sebuah buku kumpulan artikel
Maslow yang diterbitkan setahun setelah ia meninggal.
1) Maslow mengadopsi pendekatan holistik terhadap motivasi, yaitu: seluruh orang, bukan satu
bagian atau fungsi tunggalnya saja, yang termotivasi.
2) Motivasi biasanya bersifat kompleks, artinya perilaku seseorang bisa muncul dari beberapa
motif yang terpisah.
3) Asumsi ketiga adalah manusia termotivasi secara terus menerus oleh suatu kebutuhan atau
kebutuhan yang lainnya. Ketika suatu kebutuhan terpenuhi biasanya dia kehilangan daya
motivasinya, dan digantikan oleh kebutuhan lain.
4) Asumsi keempat adalah semua orang dimanapun termotivasi oleh kebutuhan-kebutuhan dasar
yang sama. Cara manusia diberagam budaya memperoleh makanan, mengungkapkan
persahabatan, dan seterusnya bisa sangat beragam namun, kebutuhan fundamental akan
makanan, rasa aman, dan persahabatan adalah fakta umum bagi seluruh spesies manusia.
Kemudian struktur kepribadian pandangan humanisme dalam kepribadian menekankan
pada:
1) Holisme
Holisme menegaskan bahwa organisme selalu bertingkah laku sebagai kesatuan yang utuh,
bukan sebagai rangkaian yang berbeda. Pandangan holistic dalam kepribadian, yang terpenting
adalah: kepribadian normal ditandai oleh utinitas, integrasi, konsistedan konherensi. Organisme
dapat dianalisis dengan membedakan tiap bagiannya, tetapi tidak ada bagian yang dapat
dipelajari dalam isolasi. Organisme memiliki satu drive yang berkuasa, yakni aktualisasi diri.
Pengaruh lingkungan eksternal pada perkembangan normal bersifat minimal.
2) Menolak Riset Binatang
Psikologi humanistik menekankan perbedaan antara tingkah laku manusia dengan tingkah laku
binatang. Riset binatang memandang manusia sebagai mesin dan mata rantai refleks-
kondisioning, mengabaikan karakteristik manusia yang unik. Menurut Maslow, behaviorisme
secara filosofis berpandangan dehumanisasi.
3) Manusia Pada dasarnya Baik
Menurut Maslow, manusia memiliki struktur psikologik yang analog dengan struktur fisik.
Beberapa sifat menjadi cirri umum kemanusiaan, sifat-sifat lainnya menjadi cirri unik individual.
Manusia mempunyai struktur yang potensial untuk berkembang positif.
4) Potensi Kreatif
Kreativitas adalah potensi semua orang, yang tidak memerlukan bakat dan kemampuan yang
khusus. Umumnya orang justru kehilangan kreativitas karena proses pembudayaan. Hanya
sedikit orang yang kemudian menemukan kembali potensi kreatif yang segar, naïf, langsung,
dalam memandang segala sesuatu.
5) Menekankan Kesehatan Psikologi
Dalam pandangan ini, apa yang baik adalah semua yang memajukan aktualisasi diri, dan yang
buruk atau abnormal adalah segala hal yang menggagalkan atau menghambat atau menolak
kemanusiaan sebagai hakekat alami
d. Perkembangan Kepribadian
Konsep perkembangan bagi Abraham Maslow erat kaitannya dengan gagasan-
gagasannya tentang kemampuan. Hasil-hasil penelitiannya membawanya sampai pada
kesimpulan bahwa perkembangan kearah aktualisasi diri merupakan sesuatu yang wajar
sekaligus perlu.
Kemudian, manusia memiliki kapasitas untuk tumbuh dan berkembang, sehinggga
Maslow mengemukakan beberapa faktor mengapa manusia itu gagal untuk berkembang dan
tumbuh, diantarantaya adalah:
1) Naluri manusia itu cenderung lemah, sehingga pertumbuhan dengan mudah dibuat tak berdaya
oleh kebiasaan-kebiasaan buruk, lingkungan, budaya yang kurang baik atau pendidikan yang
kurang memadai atau bahkan keliru.
2) Dalam kebudayaan barat ada kecenderungan kuat untuk takut pada naluri-naluri, dan
memandang semua naluri bersifat kebinatangan serta hina.
3) Pengaruh negative kebutuhan akan rasa aman dan perlindungan yang rendah itu ternyata kuat.
4) Kecendrungan pada orang dewasa untuk meragukan dan bahkan takut pada kemampuan-
kemampuan mereka sendiri, takut bahwa potensi mereka lebih besar dari yan selama ini merka
sadari.
5) Lingkungan budaya dapat menghambat perkembangan manusia kearah aktualisasi diri.
6) Banyak individu yang diam dengan masa lalunya, sehingga menghambat proses perkembangan
manusia itu sendiri dan bahkan mereka tidak dapat mengaktualisasiaka dirinya.
3. Arthur W. Combs
a. Biografi
Arthur W. Combs (1912-1999) adalah seorang pendidik / psikolog yang memulai karir akademis
sebagai profesor ilmu biologi dan psikolog sekolah di sekolah umum di Alliance, Ohio (1935-
1941). Ia menerima gelar MA dalam Konseling, sekolah di The Ohio State University (1941) dan
diterima di program doktor dalam psikologi klinis pada lembaga, di mana Carl Rogers menjabat
sebagai guru dan mentor. Dia menyelesaikan gelar doktor pada tahun 1945.
(Arthur W. Combs memulai karir profesionalnya di sekolah umum, Alliance, Ohio pada tahun
1935. Untuk meningkatkan keahliannya dalam membantu siswa, ia mencari gelar doktor di
Klinik Psikologi di negara bagian Ohio dan menghabiskan sepuluh tahun berikutnya untuk
mengoperasikan klinik dan pelatihan siswa dan konseling psikologis di Syracuse University dan
psikoterapi.
Pada tahun 1949 ia terpilih sebagai Presiden Asosiasi Psikologi di New York dan pada tahun
yang sama ia turut menulis (dengan Donald L. Snygg) “Perilaku Individu: kerangka kerja baru
untuk psikologi”. Buku ini menyajikan suatu kerangka komprehensif dan sistematis untuk
membuat rasa terbaik dari pengalaman manusia, perilaku dan hubungan antara keduanya .
1) Karya-karya Arthur W. Combs
Supaya pembahasan lebih lengkap alangkah baiknya diketahui buku atau karya Arthur W.
Combs. Walaupun pemakalah menemui kesulitan dalam melacak karya-karya Arthur W. Combs,
melalui penelusuran internet ditemukan karya-karya beliau.
Honey dan Mumford adalah rekan kerja pada sebuah penelitian tentang gaya belajar para
manajer di ochida dan mereka ingin mengembangkan bagaiman gaya belajar para manajer.
Selama 4 tahun melakukan penelitian dengan beberapa cara salah satu cara yang di lakukan
yaitu menggunakan teori dari Kolb mengenai learning style invention namun hasil yang didapat
validitas rendah terhadap manajer yang senior.
Pada tahun 1982 di musim gugur mereka mempublikasikan gaya belajar mereka sendiri
yaitu dikenal dengan Learning style Questionaire. Ada 2 versi Questionaire yang digunakan oleh
honey dan Mumford yaitu ada yang 80 soal dan ada yang 40 soal. Masing-masing memiliki
kelebihan tersendiri.
Honey dan Mumford mengidentifikasi ada 4 Gaya belajar siswa yaitu, Aktivis, reflector, theorist
dan Pragmatis.
b. Penggolongan Pembelajar Menurut Honey dan Mumford
Honey dan Mumford menggolongkan orang yang belajar kedalam empat macam
golongan, yaitu kelompok aktivis, golongan reflector, kelompok teoris dan golongan pragmatis.
1) Kelompok Aktivis
Orang-orang yang tergolong dalam kelompok aktivis adalah mereka yang senang
melibatkan diri dan berpartisipasi aktif dalam berbagai kegiatan dengan tujuan untuk
memperoleh pengalaman-pengalaman baru. Orang-orang tipe ini mudah untuk diajak berdialog,
memiliki pemikiran terbuka, menghargai pendapat orang lain dan mudah percaya. Namun dalam
melakukan tindakan sering kali kurang mempertimbangkan secara matang dan lebih banyak
didorong oleh kesenangannya untuk melibatkan diri. Dalam kegiatan belajar, orang-orang
demikian senang pada hal-hal yang sifatnya penemuan-penemuan baru, seperti pemikiran baru,
pengalaman baru. Namun mereka cepat bosan dengan kegiatan-kegiatan yang implementasinya
memakan waktu lama.
2) Kelompok Reflector
Dalam melakukan tindakan, orang-orang tipe reflector sangat berhati-hati dan penuh
pertimbangan. Pertimbangan baik-buruk, untung-rugi, selalu diperhitungkan dengan cermat
dalam memutuskan sesuatu. Orang-orang demikian tidak mudah dipengaruhi, sehingga
cenderung bersifat konservatif.
3) Kelompok Theorist
Orang-orang tipe theorist memiliki kecenderungan yang sangat kritis. Mereka suka
menganalisis, berpikir rasional dengan menggunakan penalarannya. Segala sesuatu dikembalikan
kepada teori dan konsep-konsep atau hukum-hukum. Mereka tidak menyukai pendapat atau
penilaian yang sifatnya subjektif. Dalam melakukan memutuskan sesuatu kelompok teoris penuh
dengan pertimbangan, sangat skeptif dan tidak menyukai hal-hal yang bersifat spekulatif.
4) Kelompok Pragmatis
Orang-orang tipe pragmatis memiliki sifat-sifat yang praktis. Mereka tidak suka
berpanjang lebar dengan teori-teori, konsep-konsep, dalil-dalil dan sebagainya. Bagi mereka
yang penting adalah aspek-aspek praktis. Sesuatu hanya bermanfaat jika dipraktikkan. Bagi
mereka, sesuatu adalah baik dan berguna jika dapat dipraktekkan dan bermanfaat dalam
kehidupan.
Tahun 1956 Habermas tiba di The Institute for Social Research di Frankfurt dan
bergabung dengan aliran Frankfurt. Ia sebenarnya menjadi asisten riset dari Theodor Adomo,
anggota aliran Frankfurt yang sangat terkenal (Wiggershaus, 1994). Meski aliran Frankfurt
sering dianggap mengembangkan aliran pikiran yang sangat berhubungan secara logis,
pandangan Habermas tak seperti itu :
Menurut saya, tak pernah ada teori yang konsisten. Adorno pernah menulis esai kritis
tentang kultur dan juga memberikan seminar tentang Hegel. Ia memberikan latar belakang
Marxis tertentu. (Habermas, dikutip dalam Wiggershaus, 1994:2).
Meski ia bergabung dengan The Institute for Research, sedari awal Habermas telah
menunjukkan orientasi intelektual yang bebas. Artikel yang ditulisnya tahun 1957 menyebabkan
Habermas terlibat persoalan dengan Max Horkheimer, pimpinan institut itu. Habermas
mendesakkan pemikiran kritis dan tindakan praktis, tetapi Horkheimer takut pendirian seperti itu
dapat membahayakan pendanaan institut secara umum. Horkheimer berkata tentang Habermas,
“Ia agaknya mempunyai karir yang baik atau bahkan cemerlang sebagai penulis di masa depan,
tetapi ia hanya akan menyebabkan kerusakan besar terhadap institut” (dikutip dalam
Wiggershaus, 1994:555). Artikel itu akhirnya diterbitkan juga, tetapi tidak dengan bantuan
institut dan sebenarnya tidak merujuk ke institut. Akhirnya, Horkheimer menghadapi kondisi
yang sulit berkenaan dengan karya Habermas ini dan kemudian mengundurkan diri dari
jabatannya.
Selama beberapa tahun, Habermas menjadi pemikir neo-Marxis paling terkenal di dunia.
Namun, sesudah itu karyanya diperluasnya sehingga meliputi berbagai masukan teoritis yang
berbeda. Ia tetap optimis terhadap masa depan kehidupan modern. Dengan optimisnya itulah ia
menulis tentang modernitas sebagai proyek yang belum selesai itu. Sementara Marx memusatkan
perhatian pada pekerjaan dan tenaga kerja, Habermas terutama memusatkan perhatian pada
masalah komunikasi yang ia anggap sebagai proses yang lebih umum ketimbang pekerjaan.
Sementara Marx memusatkan perhatian pada pengaruh distortif dari struktur masyarakat
kapitalis terhadap struktur masyarakat kapitalis terhadap pekerjaan, Habermas memusatkan
perhatian pada cara struktur masyarakat modern mendistorsi komunikasi. Sementara Marx
membayangkan kehidupan masa depan ditandai oleh pekerjaan penuh dan tenaga kerja kreatif,
Habermas membayangkan masyarakat masa depan ditandai oleh komunikasi bebas dan terbuka.
Dengan demikian terdapat kesamaan yang mengagetkan antara teori Marx dan habermas.
Kesamaan paling umum adalah bahwa keduanya merupakan pemikir modernitas yang yakin
bahwa di masa hidup mereka, proyek modernitas masih belum selesai (terciptanya pekerjaan
penuh dan kreatif menurut Marx dan terciptanya komunikasi bebas dan terbuka menurut
Habermas). Keduanya berkeyakinan bahw di masa depan proyek modernitas ini selesai.
Komitmen terhadap modernisme dan keyakinannya terhadap masa depan inilah yang
menjauhkan Habermas dari kebanyakan pemikir kontemporer terkenal lain seperti Jean
Baudrillard dan pakar post-modernisme lainnya. Sementara pakar post-modernisme ini sering
terdorong ke arah nihilisme, Habermas terus yakin dengan proyek jangka panjangnya
(modernitas). Begitu pula, sementara pemikir post-modern lain (misalnya Lyotard) menolak
kemungkinan penciptaan teori agung (grand theory), Habermas tetap bekerja berdasarkan dan
menyokong teori agung paling terkemuka dalam teori sosial modern.
Banyak risiko yang dihadapi Habermas dalam berjuang melawan pemikiran pemikir post-
modern. Bila mereka menang, Habermas mungkin akan dipandang sebagai pemikir modernitas
besar terakhir. Bila Habermas (dan penyokongnya) yang tampil sebagai pemenang, ia mungkin
akan dipandang sebagai “juru selamat” proyek modernitas dan teori agung dalam ilmu sosial.
Pemikiran kritis merefleksikan masyarakat serta dirinya sendiri dalam konteks dialektika
struktur-struktur penindasan dan emansipasi. Pemikiran kritis merasa diri bertanggung jawab
terhadap keadaan sosial yang nyata. Dengan demikian berpikir kritis berarti bahwa di suatu pihak
perdebatan tetap berlangsung ditingkat filosofis-teoritis, jadi filsafat kritis tidak mau menjadi
ideologi perjuangan. Tetapi di lain pihak filsafat kritis berdasarkan anggapan-anggapan yang
mana masuk sampai ke dalam inti metodologinya bahwa justru sebagai kegiatan teoritis yang
tetap tinggal dalam medium pikiran.
Pada Filsafat ilmu pengetahuan social melibatkan dirinya dalam dua isu: pertama;
hakekat dunia, apa hakekat dari hal yang ada (di dunia), ini dan adakah perbedaan dari
keberadaannya. Kedua; filsafat ilmu tertuju pada hakekat suatu penjelasan, mengenai cara
mengetahui pengetahuan sebagai pengetahuan Marx mengatakan semua ilmu pengetahuan akan
menjadi berlebihan. kalau penampilan luar dan esensinya, persis sama. Tidak satupun
penampilan luar dari meja saya yang memberitahukan kepada saya, bahwa ia terbuat dari jutaan,
molekul yang bergabung satu sama lain.
Menurut Marx terdapat dua pengertian yang jelas di mana suatu proses sebab akibat
berlangsung dalam masyarakat.Pertama, seperangkat hubungan-hubungan sosial yang pokok,
struktur sosial, bisa di lihat sebagai penyebab hubungan-hubungan sosial tertentu di permukaan
misalnya seorang Marxis, bisa berdalih bahwa argumen argumen politik yang di laporkan dalam
berita-berita setiap hari di sebabkan oleh hubun.gan-hubungan ekonomi yang penting, kendati
argumen-argumen itu tidak menyangkut ekonomi. Kedua, suatu struktur pokok yang sedemikian
rupa, sehingga ia memiliki hukum-hukum tertentu atau kecenderungan-kecenderungan
perkembangan tertentu; misalnya mungkin ada mekanisme tertentu didalam hubungan-hubungan
pokok masyarakat kapitalis yang membawa akibat krisis-krisis ekonomi yang berkelanjutan atau
menyebabkan meningkatnya campur tangan negara dalam kegiatan ekonomi. Pertanyaan tentang
bagaimana dunia dapat dimengerti (,masalah epistemologis) di pecahkan, dengan manusia
membuat dunia itu.
Selama beberapa tahun, Habermas menjadi pemikir neo-Marxis paling terkenal di dunia.
Namun, sesudah itu karyanya diperluasnya sehingga meliputi berbagai masukan teoritis yang
berbeda. Ia tetap optimis terhadap masa depan kehidupan modern. Dengan optimisnya itulah ia
menulis tentang modernitas sebagai proyek yang belum selesai itu. Sementara Marx memusatkan
perhatian pada pekerjaan dan tenaga kerja, Habermas terutama memusatkan perhatian pada
masalah komunikasi yang ia anggap sebagai proses yang lebih umum ketimbang pekerjaan.
Sementara Marx memusatkan perhatian pada pengaruh distortif dari struktur masyarakat
kapitalis terhadap struktur masyarakat kapitalis terhadap pekerjaan, Habermas memusatkan
perhatian pada cara struktur masyarakat modern mendistorsi komunikasi. Sementara Marx
membayangkan kehidupan masa depan ditandai oleh pekerjaan penuh dan tenaga kerja kreatif,
Habermas membayangkan masyarakat masa depan ditandai oleh komunikasi bebas dan terbuka.
Dengan demikian terdapat kesamaan yang mengagetkan antara teori Marx dan habermas.
Kesamaan paling umum adalah bahwa keduanya merupakan pemikir modernitas yang yakin
bahwa di masa hidup mereka, proyek modernitas masih belum selesai (terciptanya pekerjaan
penuh dan kreatif menurut Marx dan terciptanya komunikasi bebas dan terbuka menurut
Habermas). Keduanya berkeyakinan bahwa di masa depan proyek modernitas ini selesai.
Komitmen terhadap modernisme dan keyakinannya terhadap masa depan inilah yang
menjauhkan Habermas dari kebanyakan pemikir kontemporer terkenal lain seperti Jean
Baudrillard dan pakar post-modernisme lainnya. Sementara pakar post-modernisme ini sering
terdorong ke arah nihilisme, Habermas terus yakin dengan proyek jangka panjangnya
(modernitas). Begitu pula, sementara pemikir post-modern lain (misalnya Lyotard) menolak
kemungkinan penciptaan teori agung (grand theory), Habermas tetap bekerja berdasarkan dan
menyokong teori agung paling terkemuka dalam teori sosial modern. Banyak risiko yang
dihadapi Habermas dalam berjuang melawan pemikiran pemikir post-modern. Bila mereka
menang, Habermas mungkin akan dipandang sebagai pemikir modernitas besar terakhir. Bila
Habermas (dan penyokongnya) yang tampil sebagai pemenang, ia mungkin akan dipandang
sebagai “juru selamat” proyek modernitas dan teori agung dalam ilmu sosial.
c. Analisa Habermas tentang Kapitalis Modern
Habermas tentang kapitalisme modern kurang menaruh perhatian yang besar terhadap
yang telah dikemukakan oleh para madzhab Frankfurt yang lebih awal. Hal itu dilihat pertama-
tama sebagai suatu tahap dalam perkembangan yang bersifat evolusioner suatu tingkat yang
mungkin berlangsung salah dan membawa bencana, tetapi bagi Habermas bagaimanapun hal itu
lebih merupakan suatu sistem sosial daripada suatu yang jahat. Seperti para pemikir yang lebih
dahulu, dia menekankan dominasi teknologi dan nalar instrumental dan kits juga bisa lihat suatu
pengalihan pandangan kebelangan yang lebih nostaigik-pads periode kapitalisme awal.
Habermas melihat kapitalisme modern seperti yang dikarakterkan oleh dominasi negara
atas ekonomi dan bidang-bidang lain dari kehidupan sosial. Bagi Habermas intervensi negara
dan akibat pertumbuhan dari nalar instrumental telah menjangkau suatu titik berbahaya yang
disebutnya sebagai suatu “utopia negatif” adalah mungkin. Rasionalitas progesif dan putusan-
putusan publik lebih menjangkau titik dimana organisasi sosial dan perbuatan putusan mungkin
bisa di delegasikan kepada para penghitung mengeluarkannya dari arena perdebatan publik
secara bersama-sama.
Analisa mengenai kapitalisme awal serupa dengan analisanya Marx dengan krisis
ekonomi sebagai hal yang paling penting. Bagaimanapun juga kapitalisme bisa dilihat sebagai
suatu kombinasi dari tebak-berapa-banyak subsistem-subsistem: ekonomi, politik dan sosial
budaya dan tempat krisis yang berpindah dari satu ke yang lainnya, ketika sistem berkembang
krisis ekonomi dan konflik yang di hasilkan antara pekerjaan dan model di lihat semata-mata
sebagai krisis sistem. Pertumbuhan integrasi dan kekuasaan dari negara merupakan suatu respons
dan suatu usaha yang berhasil, walaupun Habermas tidak menyatakan bahwa krisis-krisis
ekonomi telah menghilang memang untuk sementara akan sulit untuk bersikap keras terhadap
pernyataan separti ini.
d. Jurgen Habermas Untuk Menuju Teori Praktis
Teori kritis menurut Habermas di sebut dengan “teori dengan maksud praktis” berarti
tindakan yang membebaskan model teori kritis dengan maksud praktis ditemukan Habermas.
Dalam masalah teori-teori Habermas mempunyai beberapa kepentingan; kepentingan peng-
etahuan dan kepentingan praktis ide itu bukanlah tidak serupa dengan mengatakan bahwa
seorang mahasiswa mengembangkan suatu “kepentingan” dengan maksud untuk memperoleh
suatu tingkat dari tujuannya.
Kepentingan yang dibicarakan Habermas ini, bagaimanapun juga dimiliki oleh kita
semua dalam keanggotaan masyarakat manusia. Argumentasinya berakar di dalam karya Marx,
dan kita temukan kritikan utamanya tentang teori Marx.Kepentingan selanjutnya yaitu
kepentingan praktis, yang pada gilirannya memunculkan ilmu pengetahuan Hermeneutik yang
dengan caranya menginterpretasikan tindakan satu sama lain. Baik secara individu, sosial
masyarakat maupun secara organisatoris secara kritis menurut Habermas. Kepentingan praktis,
kata Habermas memunculkan suatu kepentingan ketiga, “kepentingan emansipatoris“. Dia
membangkitkan pengetahuan teoritis, untuk itu Habermas mengambil psikoanalisa sebagai
model untuk mengkaitkan antara kemampuan berfikir dan bertindak dengan kesadaran sendiri.
Maka, teori bagi Habermas merupakan suatu produk dan memenuhi maksud dari tindakan
manusia. Secara esensial itu adalah alat untuk kebebasan manusia yang besar.
e. Point Penting Dalam Pemikiran Habermas
1) Bahwa Jurgen Habermas adalah filosof dari Jerman yang menggunakan sifat kritis terhadap
berbagai macam persoalan termasuk teori tradisional. Tentu hal itu tidak sendirian, melainkan
bersama temannya Adorno dan Horkheimer. Mereka semua itu berasal dari madzhab Frankfurt,
namun dengan itu dia termasuk taruhannya, dan selalu dikritik orang-orang sekitarnya.
2) Habermas mempunyai kesadaran mengkritisi segala tindakan yang merugikan sosial, baik itu
secara individu kelompok, masyarakat, ataupun organisasi.
3) Habermas menggunakan dua pendekatan dalam mengkritisi sesuatu; gaya pemikiran historis dan
pemikiran materialis. Dengan demikian ia tidak selalu menggunakan gaya filsafat kritis. Karena
dia melihat adanya perubahan dalam sosial. Namun perubahan tersebut tetap dalam kerangka
sosial yang nyata.
4) Komunikasi menjadi titik tolak Habermas dan itu menjadi dasar dalam usaha mengatasi
kebuntuan Teori Kritis para pendahulunya.
6. David A. Kolb
a. Biografi David A. Kolb
David A. Kolb lahir pada tahun 1939. Dia dilahirkan di Amerika. Dia adalah teoretikus
pendidikan yang meneliti dibidang kepentingan dan publikasi fokus pada pengalaman belajar ,
dan perubahan sosial individu, pengembangan karir, dan eksekutif dan pendidikan profesional.
Dia adalah pendiri dan ketua Pengalaman Pembelajaran Berbasis Systems, Inc (EBLS) , dan
Profesor Perilaku Organisasi dalam Weatherhead School of Management , Case Western
Reserve University , Cleveland, Ohio .
Kolb memperoleh gelar BA dari Knox College pada tahun 1961 dan gelar MA dan Ph.D.
dari Harvard University pada tahun 1964 dan 1967 masing-masing, dalam psikologi sosial . Pada
awal 1970-an, Kolb dan Ron Fry (sekarang baik di Weatherhead School of Management )
mengembangkan Experiential Learning Model (ELM).
b. Pemikiran David Kolb
David Kolb adalah seorang filosof yang beraliran humanistik. Dimana aliran ini lebih
melihat pada sisi perkembangan manusia. Pendekatan ini melihat kejadian, yaitu bagaimana
manusia membangun dirinya untuk melakukan hal-hal yang positiv. Kemampuan yang bersifat
positif ini yang disebut sebagai potensi manusia. Dan para pendidik yang beraliran humanisme
biasanya memfokuskan pengajaran pada pembangunan kemampuan positif ini. Kemampuan
positif ini erat kaitannya dengan pengembangan emosi positif yang terdapat pada domain afektif.
Gaya belajar model Kolb terimplisit dalam resource based learning (belajar
berdasarkan sumber) yang mengajak siswa melakukan observasi untuk memecahkan masalah.
Menurut David Kold (dalam Nasution 2005:111), “Gaya belajar model Kolb ialah gaya belajar
yang melibatkan pengalaman baru siswa, mengembangkan observasi/merefleksi, menciptakan
konsep, dan menggunakan teori untuk memecahkan masalah.”
Kolb seorang ahli penganut aliran humanistic membagi tahap-tahap belajar menjadi empat, yaitu:
Pada tahap paling awal dalam peristiwa belajar adalah seseorang mampu atau dapat
mengalami suatu kejadian sebagaimana adanya. Ia dapat melihat dan merasakannya, dapat
menceritakan peristiwa tersebut sesuai dengan apa yang dialaminya. Namun dia belum memiliki
kesadaran tentang hakekat dari peristiwa tersebut. Ia hanya dapat merasakan kejadian tersebut
apa adanya, dan belum dapat memahami serta menjelaskan bagaimana peristiwa itu terjadi. Ia
juga belum dapat memahami mengapa peristiwa tersebut harus terjadi seperti itu. Kamamupan
inilah yang terjadi dan dimiliki seseorang pada tahap paling awal dalam proses belajar.
Tahap kedua dalam peristiwa belajar adalah bahwa seseorang makin lama akan semakin
mampu melakukan observasi secara aktif terhadap peristiwa yang dilaminya. Ia mulai berupaya
untuk mencari jawaban dan memikirkan kejadian tersebut. Ia melakukan refleksi terhadap
peristiwa yang dialaminya, dengan mengembangkan pertanyaan-pertanyaan bagaimana hal itu
bisa terjadi, dan mengapa hal itu mesti terjadi. Pemahamannya terhadap peristiwa yang
dialaminya semakin berkembang. Kemampuan inilah yang terjadi dan dimiliki seseorang pada
tahap kedua dalam proses belajar.
c. Tahap Konseptualisasi
Tahap ketiga dalam peristiwa belajar adalah seseorang sudah mulai berupaya untuk
membuat abstraksi, mengembangkan suatu teori, konsep atau hukum dan prosedur tentang
sesuatu yang menjadi obyek perhatiannya. Berpikir induktif banyak dilakukan untuk memuaskan
suatu aturan umum atau generalisasi dari berbagai contoh peristiwa yang dialaminya. Walaupun
kejadian-kejadian yang diamati tampak berbeda-beda, namun memiliki komponen-komponen
yang sama yang dapat dijadikan dasar aturan bersama.
d. Tahap Eksperimentasi Aktif (experiemtial Learning)
Tahap tarakhir dari peristiwa belajar adalah melakukan eksperimentasi secara aktif. Pada
tahap ini seseorang sudah mampu untuk mengaplikasikan konsep-konsep, teori-teori atau aturan-
aturan kedalam situasi yang nyata. Berpikir deduktif banyak digunakan untuk mempraktekkan
dan menguji teori-teori serta konsep-konsep dilapangan. Ia mampu menggunakan teori atau
rumus-rumus untuk memecahkan masalah yang dihadapinya.
Experiential Learning merupakan model pembelajaran yang sangat memperhatikan
perbedaan atau keunikan yang dimiliki oleh para siswa,oleh karena itu model ini memiliki tujuan
untuk mengakomodasi perbedaan dan keunikan yang dimiliki oleh masing-masing individu.
Dengan mengamati inventori gaya belajar (learning style inventory) yang dikembangkan masing-
masing siswa, David Kolb mengklasifikasikan gaya belajar seseorang menjadi empat kategori
sebagai berikut:
1) Converger
Kombinasi dari berfikir dan berbuat (thinking and doing). Anak dengan tipe ini biasanya
mempunyai kemampuan yang unggul dalam menemukan fungsi praktis dari berbagai ide dan
teori. Biasanya mereka punya kemampuan yang baik dalam pemecahan masalah dan
pengambilan keputusan. Mereka juga cenderung lebih menyukai tugas-tugas teknis (aplikatif)
daripada masalah sosial atau hubungan antar pribadi. Mereka tertarik pada ilmu pengetahuan
alam dan teknik.
2) Diverger
Kombinasi dari perasaan dan pengamatan (feeling and watching). Anak dengan tipe ini unggul
dalam melihat situasi kongkret dari berbagaisudut pandang yang berbeda dan kemudian
menghubungkannya menjadi suatu kesatuan yang utuh. Pendekatannya pada setiap situasi adalah
“mengamati” dan bukan “bertindak”. Anak dengan tipe ini lebih suka berhubungan dengan
manusia dan mereka juga menyukai tugas belajar yang menuntutnya untuk menghasilkan ide-ide
(brainstorming). Mereka lebih suka mendalami bahasa, kesusastraan, sejarah dan ilmu-ilmu
sosial lainnya serta suka sekali mengumpulkan berbagai informasi.
3) Assimilation
Kombinasi dari berpikir dan mengamati (thinking and watching). Anak dengan tipe ini lebih
tertarik pada konsep-konsep yang abstrak. Anak dengan tipe ini tidak terlalu memperhatikan
penerapan praksis dari ide-ide mereka dan mereka juga kurang perhatian pada orang lain, mereka
juga cenderung lebih teoritis.Bidang studi yang diminati adalah bidang keilmuan(science) dan
matematika.
4) Accomodator
Kombinasi dari perasaan dan tindakan (feeling and doing). Anak dengan tipe ini memiliki
kemampuan belajar yang baik dari hasil pengalaman nyata yang mereka lakukan sendiri,
serta rminat pada pengembangan konse-konsep. Anak dengan tipe ini berminat pada hal-hal yang
konkret dan eksperimen dan mereka juga suka membuat rencana dan melibatkan dirinya dalam
berbagai pengalaman baru dan menantang. Mereka cenderung untuk bertindak berdasarkan
intuisi / dorongan hati daripada berdasarkan analisa logis. Bidang studi yang sesuai untuk tipe ini
adalah lapangan usaha dan teknik sedangkan pekerjaan yang sesuai antara lain penjualan dan
pemasaran.
Dari keempat gaya tersebut, tidak berarti manusia harus digolongkan secara permanen dalam
masing-masing kategori. Menurut Kolb, belajar merupakan suatu perkembangan yang melalui
tiga fase yaitu, pengumpulan pengetahuan (acquisition), pemusatan perhatian pada bidang
tertentu (specialization) dan menaruh minat pada bidang yang kurang diminati sehingga muncul
minat dan tujuan hidup baru. Sehingga, walaupun pada tahap awal individu lebih dominan pada
gaya belajar tertentu, namun pada proses perkembangannya diharapkan mereka dapat
mengintegrasikan semua kategori belajar.
Ia menerima gelar sarjana dan magister dari PennsylvaniaState University pada tahun 1935 dan
gelar doktor dalam pendidikan dari University of Chicago pada bulan Maret1942. Ia menjadi
anggota staff Board of Examinations di University of Chicago dari tahun 1940 sampai 1943.
Sejak tahun 1943 ia menjadi pemeriksa di universitas sampai kemudian mengakhiri jabatan
tersebut tahun 1959. Pekerjaan sebagai pengajar di Jurusan Pendidikan University of Chicago
dimulai tahun 1944 untuk kemudian ditunjuk sebagaiDistinguished Service Professor pada
tahun 1970. Ia menjabat sebagai presiden American Educational Research Association dari
tahun 1965 sampai 1966. Ia menjadi penasihat pendidikan bagi pemerintahan Israel, India, dan
beberapa bangsa lainBenjamin S. Bloom lahir pada 21 februari 1913 di Lansford Pennsylvania,
dan meninggal pada tanggal 13 September 1999. Dia menerima gelar sarjana dan gelar master
dari Pennsylvania State University pada tahun 1935 dan Ph.D. Pendidikan dari University of
Chicago Maret 1942. Ia menjadi anggota staff Board of Examinations di University of Chicago
pada tahun 1940 dan bertugas sampai 1959. Ia juga adalah seorang guru, penasihat pendidikan
dan psikologi pendidikan.
Benjamin S. Bloom
Penunjukan awalnya sebagai instruktur di Departemen Pendidikan University of Chicago
dimulai tahun 1944 dan akhirnya ia ditunjuk Charles H. Swift Distinguished Service sebagai
Profesor pada tahun 1970. Ia menjabat sebagai penasihat pendidikan pemerintah Israel, India dan
banyak negara lain. Pada tahun 2001 Lorin W. Anderson mantan siswa Bloom bekerja sama
dengan salah satu mitra Bloom yaitu David Krathwohl menulis A Taxonomy for Learning,
Teaching, and Assessing (A Revision of Bloom’s Taxonomy of Educational Objectives). Mereka
adalah orang-orang yang ahli di bidang psikologi kognitif, kurikulum dan pengajaran, dan
pendidikan pengujian, pengukuran, dan penilaian.
David Reading Krathwohl (lahir 14 Mei 1921 adalah seorang psikolog
pendidikan Amerika yang telah menjabat pendidikan dalam bidang:
direktur Biro Penelitian Pendidikan di Michigan State University dan
juga seorang mantan presiden Pendidikan Asosiasi riset Amerika di mana
ia menjabat di beberapa devisi, sebagai anggota komite penasihat
penelitian untuk Biro riset dari USOE dan sebagai ketua daerah dewan
daerah Institut Timur Pendidikan.
Selama bekerja sama dengan Benjamin Bloom, ia turut menulis
Taksonomi Tujuan Pendidikan, (juga dikenal sebagai Taksonomi Bloom) tentang pendidikan dan
mengeditnya, menulis beberapa buku dalam hal pendidikan. Dia menerima Hannah Hammond
Profesor Emeritus Pendidikan di Syracuse University dan telah membuat kontribusi signifikan
untuk bidang psikologi pendidikan.
Penerapan teori humanistik lebih menunjuk pada ruh atau spirit selama proses pembelajaran
yang mewarnai metode-metode yang diterapkan. Peran guru dalam pembelajaran humanistik
adalah menjadi fasilitator bagi para peserta didik sedangkan guru memberikan motivasi,
kesadaran mengenai makna belajar dalam kehidupan peserta didik. Guru memfasilitasi
pengalaman belajar kepada peserta didik dan mendampingi peserta didik untuk memperoleh
tujuan pembelajaran.
Peserta didik berperan sebagai pelaku utama (stundent center) yang memaknai proses
pengalaman belajarnya sendiri. Diharapkan peserta didik memahami potensi diri,
mengembangkan potensi dirinya secara positif dan meminimalkan potensi diri yang bersifat
negatif.
Psikologi humanistik memberi perhatian atas guru sebagai fasilitator. Berikut ini adalah berbagai
cara untuk memberi kemudahan belajar dan berbagai kualitas fasilitator, yaitu:
1. Fasilitator sebaiknya memberi perhatian kepada penciptaan suasana awal, situasi kelompok, atau
pengalaman kelas
2. Fasilitator membantu untuk memperoleh dan memperjelas tujuan-tujuan perorangan di dalam
kelas dan juga tujuan-tujuan kelompok yang bersifat umum.
3. Dia mempercayai adanya keinginan dari masing-masing peserta didik untuk melaksanakan
tujuan-tujuan yang bermakna bagi dirinya, sebagai kekuatan pendorong, yang tersembunyi di
dalam belajar yang bermakna tadi.
4. Dia mencoba mengatur dan menyediakan sumber-sumber untuk belajar yang paling luas dan
mudah dimanfaatkan para peserta didik untuk membantu mencapai tujuan mereka.
5. Dia menempatkan dirinya sendiri sebagai suatu sumber yang fleksibel untuk dapat dimanfaatkan
oleh kelompok.
6. Di dalam menanggapi ungkapan-ungkapan di dalam kelompok kelas, dan menerima baik isi
yang bersifat intelektual dan sikap-sikap perasaan dan mencoba untuk menanggapi dengan cara
yang sesuai, baik bagi individual ataupun bagi kelompok
7. Bilamana cuaca penerima kelas telah mantap, fasilitator berangsur-sngsur dapat berperanan
sebagai seorang peserta didik yang turut berpartisipasi, seorang anggota kelompok, dan turut
menyatakan pendangannya sebagai seorang individu, seperti peserta didik yang lain.
8. Dia mengambil prakarsa untuk ikut serta dalam kelompok, perasaannya dan juga pikirannya
dengan tidak menuntut dan juga tidak memaksakan, tetapi sebagai suatu andil secara pribadi
yang boleh saja digunakan atau ditolak oleh peserta didik
9. Dia harus tetap waspada terhadap ungkapan-ungkapan yang menandakan adanya perasaan yang
dalam dan kuat selama belajar
10. Di dalam berperan sebagai seorang fasilitator, pimpinan harus mencoba untuk menganali dan
menerima keterbatasan-keterbatasannya sendiri. Ciri-ciri guru yang fasilitatif adalah :
1. Merespon perasaan peserta didik
2. Menggunakan ide-ide peserta didik untuk melaksanakan interaksi yang sudah dirancang
3. Berdialog dan berdiskusi dengan peserta didik
4. Menghargai peserta didik
5. Kesesuaian antara perilaku dan perbuatan
6. Menyesuaikan isi kerangka berpikir peserta didik (penjelasan untuk mementapkan kebutuhan
segera dari peserta didik)
7. Tersenyum pada peserta didik.
- Menunjuk beberapa siswa untuk mempelajari skenario dalam waktu beberapa hari sebelum
pelaksanaan Kegiatan Belajar Mengajar.
- Memanggil para siswa yang sudah ditunjuk untuk melakonkan skenario yang sudah
dipersiapkan.
- Evaluasi.
- Penutup.
Ada beberapa keunggulan dengan menggunakan metode role playing, di antaranya adalah:
- Dapat berkesan dengan kuat dan tahan lama dalam ingatan siswa. Disamping merupakan
pengalaman yang menyenangkan yang sulit untuk dilupakan.
- Sangat menarik bagi siswa, sehingga memungkinkan kelas menjadi dinamis dan penuh antusias.
- Membangkitkan gairah dan semangat optimisme dalam diri siswa serta menumbuhkan rasa
kebersamaan.
- Siswa dapat terjun langsung untuk memerankan sesuatu yang akan di bahas dalam proses
belajar.
Disamping memiliki keunggulan, metode role playing juga mempunyai kelemahan, di antaranya
adalah :
- Bermain peran memakan waktu yang banyak.
- Siswa sering mengalami kesulitan untuk memerankan peran secara baik khususnya jika mereka
tidak diarahkan atau tidak ditugasi dengan baik. Siswa perlu mengenal dengan baik apa yang
akan diperankannya.
- Bermain peran tidak akan berjalan dengan baik jika suasana kelas tidak mendukung.
- Jika siswa tidak dipersiapkan dengan baik ada kemungkinan tidak akan melakukan secara
sungguh-sungguh.
- Tidak semua materi pelajaran dapat disajikan melalui metode ini.
a. Observasi untuk gaya belajar reflektor
Metode Observasi ialah pengamatan langsung menggunakan alat indera atau alat bantu
untuk penginderaan suatu subjek atau objek. Observasi juga merupakan basis sains yang
dilakukan dengan menggunakan panca indera atau instrument sebagai alat bantu penginderaan (
Purnomo, 2008). Tujuannya adalah :
- Melatih siswa untuk peka terhadap peristiwa atau gejala yang terjadi dalam lingkungannya.
- Melatih siswa untuk mengambil keputusan yang tepat sesuai dengan nilai-nilai moral yang
diperoleh di kelas.
- Memperluas cakrawala siswa mengenai nilai-nilai moral atau ilmu pengetahuan yang diperoleh
didalam kelas dipadukan dengan kenyataan.
Metode pemecahan masalah (Problem Solving) ini sering dinamakan atau disebut juga
dengan eksperimen method, reflective thinking method, atau scientific method .
Pada prinsipnya kedua langkah penyelesaian masalah di atas adalah sama, hanya saja
pendapat yang kedua lebih singkat dan padat. Berkaitan dengan masalah penelitian ini penulis
lebih cenderung menggunakan langkah-langkah penyelesaian masalah matematika yang
dikemukakan oleh Nahrowi Adjie dan Maulana, karena lebih sederhana dan mudah dipahami.
Gambar