Anda di halaman 1dari 19

TEORI-TEORI BELAJAR

BERBASIS PSIKOLOGI TINGKAH LAKU

Oleh: M. Jainuri, M.Pd

Teori belajar selalu bertolak dari sudut pandang psikologi belajar tertentu.
Dengan berkembangnya psikologi dalam pendidikan, seiring hal tersebut
bermunculan pula berbagai teori tentang belajar. Psikologi belajar atau disebut pula
dengan teori belajar adalah teori yang mempelajari perkembangan intelekual
(mental) siswa. Di dalamnya terdiri dari dua hal, yaitu:
1. Uraian tentang apa yang terjadi dan diharapkan terjadi pada intelektual anak
2. Uraian tentang kegiatan intelektual anak mengenai hal-hal yang bisa dipikirkan
pada usia tertentu
Psikologi mengajar atau teori mengajar berisi tentang petunjuk bagaimana
semestinya mengajar siswa pada usia tertentu, bila ia sudah siap belajar. Jadi pada
teori mengajar terdapat prosedur dan tujuan mengajar. Dalam proses belajar siswa
merupakan subjek dan bukan objek, selanjutnya peristiwa belajar dan mengajar ini
sesuai dengan istilah dalam kurikulum akan disebut pembelajaran, yang berkonotasi
pada proses kinerja yang sinergi antara setiap komponennya.
Beberapa teori belajar dari psikologi tingkah laku (behavioristik) dikemukakan
oleh para psikolog behavioristik. Mereka ini sering disebut “contemporary
behaviorist” atau juga disebut “S-R psychologists”. Mereka berpendapat, bahwa
tingkah laku manusia dikendalikan oleh ganjaran (reward) atau penguatan
(reinforcement) dari lingkungan. Dengan demikian dalam tingkah laku belajar
terdapat jalinan yang erat antara reaksi-reaksi behavioral dengan stimulasinya.

Aliran Psikologi Tingkah Laku Menurut Para Ahli


1. Teori Thorndike : The Law of Effect
Edward L. Thorndike (1874-1949) mengemukan beberapa hukum belajar yang
dikenal dengan sebutan law of effect. Menurut hukum ini belajar akan lebih berhasil

Psikologi Tingkah Laku tfS Psikologi Kognitif_M. Jainuri, Page 1


M.Pd
bila respon murid terhadap suatu stimulus segera diikuti dengan rasa senang atau
kepuasan teori belajar stimulus respon yang dikemukakan oleh thorndike ini disebut
juga koneksionisme, teori ini mengatakan bahwa pada hakikatnya belajar merupakan
proses pembentukan hubungan antara stimulus dan respon. Terdapat beberapa dalil:
a. Hukum Kesiapan (Law Of Readiness)
Yaitu menerangkan bagaimana kesiapan seorang anak dalam melakukan
suatu kegiatan. Seorang anak yang mempunyai kecenderungan untuk bertindak
atau melakukan kegiatan tertentu dan kemudian dia benar melakukan kegiatan
tersebut, maka tindakannya akan melahirkan kepuasan bagi dirinya. Tindakan-
tindakan lain yang dia lakukan tidak menimbulkan kepuasan bagi dirinya.
b. Hukum Latihan (Law Of Exercise) dan Hukum Akibat (Law Of Effect).
Hukum latihan menyatakan bahwa jika hubungan stimulus respon sering
terjadi, akibatnya hubungan akan semakian kuat. Sedangkan makin jarang
hubungan stimulus respon dipergunakan maka makin lemahnya hubungan yang
terjadi. Dalam hukum akibat ini dapat disimpulkan bahwa kepuasan yang terlahir
dari adanya ganjaran dari guru akan memberikan kepuasan bagi anak, dan anak
cenderung untuk berusaha melakukan atau meningkatkan apa yang telah
dicapainya itu. Guru yang memberi senyuman wajar terhadap jawaban anak, akan
semakin menguatkan konsep yang tertanam pada diri anak. Kata-kata “Bagus”,
“Hebat” , ”Kau sangat teliti” dan semacamnya akan merupakan hadiah bagi anak
yang kelak akan meningkatkan dirinya dalam menguasai pelajaran.

Di samping itu, Thorndike mengutamakan pula bahwa kualitas dan kuantitas


hasil belajar siswa tergantung dari kualitas dan kuantitas Stimulus-Respon (SR)
dalam pelaksanaan kegiatan belajar mengajar. Makin banyak dan makin baik kualitas
S-R itu (yang diberikan guru) makin banyak dan makin baik pula hasil belajar siswa.
Implikasi dari aliran pengaitan ini dalam kegiatan belajar mengajar sehari-hari adalah
bahwa:
a. Dalam menjelaskan suatu konsep tertentu, guru sebaiknya mengambil contoh
yang sekiranya sudah sering dijumpai dalam kehidupan sehari-hari. Alat peraga
dari alam sekitar akan lebih dihayati.
b. Metode pemberian tugas, metode latihan (drill dan practic) akan lebih cocok.
Karena siswa akan lebih banyak mendapatkan stimulus sehingga respons yang
diberikan pun akan lebih banyak.
c. Dalam kurikulum, materi disusun dari materi yang mudah, sedang, dan sukar
sesuai dengan tingkat kelas dan tingkat sekolah. Penguasaan materi yang lebih
mudah sebagai akibat untuk dapat menguasai materi yang lebih sukar.

2. Teori Skinner : Operant Conditioning


Burhus Frederic Skinner menyatakan bahwa ganjaran (reward) atau penguatan
(reinforcement) mempunyai peranan yang amat penting dalam proses belajar.
Penguatan dapat dianggap sebagai stimulus positif, jika penguatan tersebut seiring
dengan meningkatnya perilaku anak dalam melakukan pengulangan perilakunya itu.
Untuk mengubah tingkah laku anak dari negatif menjadi positif, guru perlu
mengetahui psikologi yang dapat digunakan untuk memperkirakan dan
mengendalikan tingkah laku anak.
Skinner menambahkan bahwa jika respon siswa baik (menunjang efektivitas
pencapaian tujuan) harus segera diberikan penguatan positif agar respon tersebut
lebih baik lagi, atau minimal perbuatan baik itu dipertahankan. Penemuan skinner
memusatkan hubungan antara tingkah laku dan konsekuen. Contoh : jika tingkah
laku individu segera diikuti oleh konsekuensi yang menyenangkan, individu akan
menggunakan tingkah laku itu lagi sesering mungkin. Menggunakan konsekuen yang
menyenangkan dan tidak menyenangkan dalam mengubah tingkah laku sering
disebut sebagai operant conditioning.
Konsekuen yang menyenangkan akan memperkuat tingkah laku, sementara
konsekuen yang tidak menyenangkan akan memperlemah tingkah laku. Secara
sederhana pembentukan tingkah laku dalam operant conditioning antara lain sebagai
berikut :
a. Mengidentifikasi hal-hal yang merupakan reinforcement bagi tingkah laku yang
akan dibentuk.
b. Melakukan analisis untuk mengidentifikasi aspek-aspek kecil yang membentuk
tingkah laku yang dimaksud. Aspek-aspek tadi diurut untuk menuju terbentuknya
tingkah laku tersebut.
c. Dengan mempergunakan secara urut aspek-aspek itu sebagai tujuan sementara
kemudian diidentifikasi reinforcer untuk masing-masing aspek atau komponen
itu.
d. Melakukan pembentukan tingkah laku dengan menggunakan urutan aspek-aspek
yang telah disusun itu. Kalau aspek pertama telah dilakukan, maka hadiah
(reward) diberikan ; ini mengakibatkan aspek itu sering dilkukan. Jika ini telah
terbentuk, dilakukan aspek kedua dan diberi hadiah, demikian berulang-ulang
sampai aspek kedua terbentuk dan demikian seterusnya terhadap aspek-aspek
yang lain, samapai seluruh tingkah laku diharapkan akan terbentuk.

Dalam pembelajaran, operant conditioning menjamin respon terhadap stimuli.


Apabila peserta didik tidak menunjukkan reaksi-rekasi terhadap stimuli, guru tidak
mungkin dapat membimbing tingkah lakunya sesuai dengan tujuan. Guru berperanan
penting di dalam kelas untuk mengontrol dan mengarahkan kegiatan belajar ke arah
tercapainya tujuan yang telah dirumuskan. Jenis-jenis stimuli :
1. Positive reinforcement : penyajian stimuli yang meningkatkan probabilitas suatu
respons.
2. Negative reinforcement : pembatasan stimuli yang tidak menyenangkan, yang jika
dihentikan akan mengakibatkan probabilitas respons.
3. Hukuman : pemberian stimulus yang tidak menyenangkan misalnya
“contradiction or reprimend”. Bentuk hukuman lain berupa penangguhan
stimulus yang menyenangkan (removing of pleasant or reinforcing stimulus)
4. Primary reinforcement : stimuli pemenuhan kebutuhan-kebutuhan psikologis.
5. Scondary or leraned reinforcement
6. Modifikasi tingkah laku guru : perlakuan guru terhadap peserta didik berdasarkan
minat dan kesenangan mereka.

3. Teori Ausubel
Teori ini terkenal dengan belajar bermaknanya dan pentingnya pengulangan
sebelum belajar dimulai. Ia membedakan belajar menemukan dengan belajar
menerima, jadi tinggal menghafalnya. Tetapi pada belajar menemukan konsep
ditemukan oleh siswa, jadi tidak menerima pelajaran begitu saja. Selain itu untuk
dapat membedakan antara belajar menghafal dengan belajar bermakna.
Pada belajar menghafal, siswa menghafal materi yang sudah diterimanya,
tetapi pada belajar bermakna materi yang diperoleh itu dikembangkan dengan
keadaan lain sehingga belajar lebih dimengerti. Selanjutnya bahwa Ausubel
mengemukan bahwa metode ekspositori adalah metode mengajar yang baik dan
bermakna. Hal ini dikemukan berdasarkan hasil penelitiannya. Belajar menerima
maupun menemukan sama-sama dapat berupa belajar menghafal atau bermakna.
Misalnya dalam mempelajari konsep Pitagoras tentang segitiga siku-siku, mungkin
bentuk akhir c2= b2+a2 sudah disajikan, tetapi jika siswa memahami rumus itu selalu
dikaitkan dengan sisi-sisi sebuah segitiga siku-siku akan lebih bermakna.
Menurut Ausubel, siswa akan belajar dengan baik jika advance organizer
(pengatur kemajuan belajar) didefinisikan dan dipresentasikan dengan baik dan tepat
kepada siswa. Pengatur kemajuan belajar adalah konsep atau informasi umum yang
mewadahi dan mencakup semua inti pelajaran yang akan diajarkan kepada siswa.
Jadi proses belajar berlangsung secara deduktif (dari umum ke khusus).
Advance organizer dapat memberikan 3 macam manfaat, yaitu :
a. dapat menyediakan suatu kerangka konseptual untuk materi belajar yang akan
dipelajari siswa.
b. Dapat berfungsi sebagai jembatan yang menghubungkan antara apa yang sedang
dipelajari siswa dengan saat ini dengan apa yang akan dipelajari siswa
c. Membantu siswa memahami bahan belajar secara lebih mudah.
Oleh karena itu guru dituntut memiliki pengetahuan terhadap isi mata pelajaran
dengan sangat baik serta dituntut pula untuk memiliki logika berfikir yang baik.
Dimilikinya pengetahuan terhadap isi mata pelajaran dengan sangat baik menjadikan
guru mampu menemukan informasi yang berciri sangat abstrak, umum, dan inklusif
sehingga mampu mewadahi apa yang akan diajarkan. Logika berfikir guru yang baik
akan menjadikan guru mampu untuk memilah-milah materi pelajaran dan
merumuskannya dalam rumusan yang singkat, padat, serta mengurutkan materi demi
materi itu ke dalam struktur urutan yang logis dan mudah dipahami.
Secara umum, teori Ausubel dalam praktek adalah sebagai berikut :
a. Menentukan tujuan-tujuan instruksional
b. Mengukur kesiapan mahasiswa (minat, kemampuan, struktur kognitif) baik
melalui tes awal, interview, review, pertanyaan, dan lain-lain.
c. Memilih materi pelajaran dan mengaturnya dalam bentuk penyajian konsep-
konsep kunci
d. Mengidentifikasi prinsip-prinsip yang harus dikuasai siswa dari materi tersebut.
e. Menyajikan suatu pandangan secara menyeluruh tentang apa yang harus dipelajari
f. Membuat dan menggunakan advance organizer, paling tidak dengan cara
membuat rangkuman terhadap materi yang baru saja diberikan, dilengkapi dengan
uraian singkat yang menunjukkan keterkaitan antara materi yang sudah diberikan
dengan materi baru yang akan diberikan.
g. Mengajar kepada siswa untuk memahami konsep dan prinsip-prinsip yang sudah
ditentukan dengan memfokuskan pada hubungan yang terjalin antara konsep-
konsep yang ada.
h. Mengevaluasi proses dan hasil belajar.

4. Teori Gagne
Menurut Gagne dalam belajar matematika ada dua objek yang dapat diperoleh
langsung oleh siswa, yaitu objek langsung dan objek tidak langsung. Objek tak
langsung antara lain kemampuan menyelidiki dan memecahkan masalah, belajar
mandiri, bersikap positif terhadap matematika dan tahu bagaimana semestinya
belajar. Sedangkan objek lansung berupa fakta, keterampilan, konsep, dan aturan.
Fakta adalah objek matematika yang tinggal menerimanya, seperti lambang
bilangan, sudut, dan notasi-notasi matematika lainnya. Kemampuan berupa
memberikan jawaban dengan tepat dan cepat,misalnya melakukan pembagian
bilangan yang cukup besar dengan bagi kurang, menjumlahkan pecahan, melukis
sumbu sebuah ruas garis.
Konsep adalah ilmu abstrak yang memungkinkan kita dapat mengelompokkan
objek ke dalam contoh dan noncontoh misalkan konsep, bujur sangkar, bilangan
prima, himpunan, dan fektor.
Aturan adalah objek yang paling abstrak yang berupa sifat dan teorema.
Menurut Gagne, belajar dapat dikelompokkan menjadi delapan titik belajar yaitu:
belajar isyarat, stimulus respon, rangkaian gerak, rangkaian verbal, membedakan,
pembentukan konsep, pembentukan aturan, dan pemecahan masalah. Dalam
pemecahan masalah biasanya ada 5 langkah yang harus dilakukan, yaitu :
a. Menyajikan masalah dalam bentuk yang lebih jelas.
b. Menyatakan masalah dalam bentuk yang lebih operasional.
c. Menyusun hipotesis hipotesis alternattif dan prosedur kerja yang diperkirakan
baik.
d. Mengetes hipotesis dan melakukan kerja untuk memperoleh hasilnya.
e. Mengecek kembali hasil yang sudah diperoleh.

5. Teori Pavlov : Classical Conditioning


Teori classical conditioning/pembiasaan klasikal berkembang berdasarkan hasil
eksperimen yang dilakukan oleh Ivan Petrovitch Pavlo (1849 – 1936) seorang
ilmuwan Rusia yang meraih nobel pada tahun 1909 dalam bidang fisiologi. Pavlo
terkenal dengan teori belajar klasik. Ia melakukan percobaan terhadap seekor anjing,
anjing itu dikurung dalam suatu kandang dalam waktu tertentu dan diberi makan.
Selanjutnya, setiap akan diberi makan Pavlov membunyikan bel, ia memperhatikan
bahwa setiap dibunyikan berl pada waktu tertentu anjing itu mangeluarkan air
liurnya, walaupun tidak diberi makanan.
Pavlov mengemukakan konsep pembiasaan atau conditioning. Dalalm
hubugannya dalam kegiatan belajar mengajar agar siswa belajar dengan baik maka
harus dibiasakan. Misalnya, agar siswa mengerjakan soal peekerjaan rumah dengan
baik, biasakanlah dengan memeriksanya, menjelaskannya, atau memberi nilai
terhadap hasil pekerjaannya.

6. Teori Baruda
Baruda mengemukakan bahwa siswa belajar itu melalui meniru. Pengertian
meniru di sini bukan berarti menyontek, tetapi meniru hal-hal yang dilakukan oleh
orang lain, terutama guru. Jika tulisan guru baik, guru berbicara sopan santun,
tingkah laku yang terpuji, menerangkan dengan jelas dan sistematis, maka siswa
akan menirunya. Jika contoh yang dilihat kurang baik maka ia pun akan menirunya.
7. Aliran Latihan Mental
Aliran ini berkembang sampai dengan abad 20, yang mengemukakan bahwa
struktur otak manusia terdiri atas gumpalan-gumapalan otot, agar ini kuat, maka
harus dilatih dengan beban, makin banyak latihan dan beban yang makin berat,maka
otot atau otak itu makin kuat pula, oleh karna itu jika anak atau siswa ingin pandai,
maka ia harus dilatih otaknya dengan cara banyak berlatih memahami dan
mengerjakan soal-soal yang benar, makin sukar materi itu makin pandai pula anak
tersebut.
Struktur kurikulum pada masa itu berisikan materi-materi pelajaran yang sulit,
sehingga orang sedikit yang bersekolah karna tidak kuat untuk mengikutinya. Di
samping faktor lain seperti keturunan, biaya, dan kesadaran akan pentingya sekolah.
TEORI-TEORI BELAJAR
BERBASIS PSIKOLOGI KOGNITIF

Pendekatan psikologi kognitif lebih menekankan arti penting proses internal


mental manusia. Tingkah laku manusia yang tampak, tidak dapat diukur dan
diterangkan tanpa melibatkan proses mental misalnya motivasi, kesengajaan,
keyakinan, dan sebagainya. Dengan kata lain, tingkah laku termasuk belajar selalu
didasarkan pada kognisi, yaitu tindakan mengenal atau memikirkan situasi di mana
tingkah laku itu terjadi. Dalam situasi belajar, seseorang terlibat langsung dalam
situasi itu dan memperoleh insight untuk pemecahan masalah. Dengan demikian
tingkah laku seseorang bergantung kepada insight terhadap hubungan-hubungan
yang ada di dalam suatu situasi. Keseluruhan adalah lebih dari bagian-bagiannya
dengan penekanan pada organisasi pengamatan atas stimuli di dalam lingkungan
serta pada faktor-faktor yang mempengaruhi pengamatan.
Setiap orang telah mempunyai pengalaman dan pengetahuan di dalam dirinya.
Pengalaman dan pengetahuan ini tertata dalam bentuk struktur kognitif. Menurut
teori ini, proses belajar akan berjalan dengan baik bila materi pelajaran yang baru
beradaptasi (bersinambung) secara tepat dan serasi dengan struktur kognitif yang
telah dimiliki siswa. Jadi, ilmu pengetahuan dibangun dalam diri seorang individu
melalui proses interaksi yang berkesinambungan dengan lingkungan. Proses ini tidak
berjalan sepotong-sepotong atau terpisah-pisah, melainkan melalui proses yang
mengalir, bersambung-sambung dan menyeluruh. Misalnya : ketika seseorang
membaca suatu bahan bacaan, maka yang dibacanya bukan huruf-huruf yang
terpisah-pisah, melainkan kata, kalimat, atau paragraf yang kesemuanya seolah
menjadi satu, mengalir, dan menyerbu secara total bersamaan.
Psikologi kognitif mulai berkembang dengan lahirnya teori belajar gestalt.
Peletak dasar teori gestalt adalah Max Wertheimer (1880-1943) yang meneliti
tentang pengamatan dan problem solving. Sumbangannya diikuti oleh Koffka (1886-
1941) yang menguraikan secara terperinci tentang hukum-hukum pengamatan,
kemudian Wolfgang Kohler (1887-1959) yang meneliti tentang insight pada
simpanse. Penelitian-penelitian ini menumbuhkan psikologi gestalt yang
menekankan bahasan pada masalah konfigurasi, struktur, dan pemetaan dalam
pengalaman.
Konsep penting dalam psikologi gestalt adalah insight yaitu pengamatan atau
pemahaman mendadak terhadap hubungan-hubungan antar bagian di dalam suatu
situasi permasalahan. Insight ini sering dihubungkan dengan pernyataan aha.
Dalam prakteknya, teori ini antara lain terwujud dalam pandangan Piaget
mengenai tahap-tahap perkembangan, dalam pandangan Ausubel mengenai belajar
bermakna, dan pandangan Jerome Bruner mengenai belajar penemuan secara bebas
(free discovery learning).

Aliran Psikologi Kognitif Menurut Para Ahli

1. Piaget
Menurut Jean Piaget, proses belajar sesungguhnya terdiri dari 3 tahapan, yaitu
asimilasi, akomodasi, dan equilibrasi (penyeimbangan). Proses asimilasi adalah
proses penyatuan atau pengintegrasian informasi baru ke struktur kognitif yang telah
ada ke dalam benak siswa. Akomodasi adalah penyesuaian struktur kognitif pada
situasi yang baru. Equilibrasi adalah penyesuaian berkesinambungan antara asimilasi
dan akomodasi. Misalnya seorang siswa telah memiliki pengetahuan tentang baik
dan buruk. Kemudian gurunya memberi pelajaran baru tentang perbuatan baik dan
buruk menurut Pancasila. Maka proses penyesuaian materi baru terhadap materi
pengetahuan yang sudah dimiliki siswa itu disebut asimilasi.
Jika proses ini dibalik, yaitu pengetahuan si mahasiswa disesuaikan dengan
materi baru, maka proses ini disebut sebagai akomodasi. Selama proses asimilasi dan
akomodasi berlangsung, diyakini ada perubahan struktur kognitif dalam diri siswa.
Proses perubahan ini suatu saat berhenti. Untuk mencapai saat berhenti dibutuhkan
proses equilibrasi (penyeimbangan). Jika proses equilibrasi ini berhasil dengan baik,
maka terbentuklah struktur kognitif yang baru dalam diri siswa berupa penyatuan
yang harmonis antara pengetahuan lama dengan pengetahuan baru.
Seseorang yang mempunyai kemampuan equilibrasi yang baik akan mampu
menata berbagai informasi ke dalam urutan yang baik, jernih, dan logis. Sedangkan
seseorang yang tidak memiliki kemampuan equilibrasi yang baik akan cenderung
memiliki alur fikir yang ruwet, tidak logis, dan berbelit-belit.
Di samping itu, Piaget berpandangan bahwa proses belajar harus disesuaikan
dengan tahap perkembangan kognitif yang dilalui siswa. Dalam hal ini Piaget
membagi menjadi 4 tahap, yaitu :
1. Tahap sensori motor (0 tahun sampai 1,5 tahun atau 2 tahun)
Pada tahap ini tingkah laku inteligen individu dalam bentuk aktivitas
motorik sebagai reaksi stimulasi sensorik. Anak belum mempunyai konsep
tentang objek secara tetap, namun hanya mengetahui hal-hal yang ditangkap
melalui inderanya.
2. Tahap praoperasional (2 atau 3 tahun sampai 7 atau 8 tahun)
Pada tahap ini reaksi anak terhadap stimulus sudah berupa aktivitas internal.
Anak telah memiliki penguasaan bahasa yang sistematis, permainan simbolis,
imitasi, serta bayangan dalam mental. Anak sudah mampu menirukan tingkah
laku yang dilihatnya sehari atau sehari sebelumnya, serta dapat mengadakan
antisipasi. Akan tetapi pada masa ini pola berfikir anak masih egosentrik, cara
berfikirnya memusat (hanya mampu memusatkan pikiran pada 1 dimensi saja),
dan berfikirnya tidak dapat dibalik.
3. Stadium Operasional Kongkrit (7 atau 8 tahun sampai 12 atau 14 tahun)
Cara berfikir egosentris semakin berkurang dan anak sudah mampu berfikir
multi dimensi dalam waktu seketika dan mampu menghubungkan beberapa
dimensi itu. Di samping itu, anak sudah mampu memperhatikan aspek dinamis
dalam berfikir, dan mampu berfikir secara reversible (dapat dibalik).
4. Stadium Operasional Formal
Cara berfikir seseorang tidak terikat, sudah terlepas dari tempat dan waktu.
Bila dihadapkan pada masalah seseorang sudah mampu memikirkan secara
teoritik dan menganalisa dengan penyelesaian hipotetis yang mungkin ada.
Disamping itu, individu juga sudah mampu melakukan matriks kombinasi atas
berbagai kemungkinan pemecahan masalah dan kemudian melakukan pengujian
hipotesis atas kemungkinan-kemungkinan jawaban tersebut.
Implikasi pandangan Piaget dalam praktek pembelajaran adalah bahwa guru
hendaknya menyesuaikan proses pembelajaran yang dilakukan dengan tahapan-
tahapan kognitif yang dimiliki anak didik. Karena tanpa penyesuaian proses
pembelajaran dengan perkembangan kognitifnya, guru maupun siswa akan
mendapatkan kesulitan dalam mencapai tujuan pembelajaran yang ditetapkan.
Misalnya mengajarkan konsep-konsep abstrak tentang Pancasila kepada siswa kelas
dua SD, tanpa ada usaha untuk mengkongkretkan konsep-konsep tersebut tidak
hanya percuma, akan tetapi justru semakin membingungkan siswa dalam memahami
konsep yang diajarkan.
Secara umum, pengaplikasian teori Piaget biasanya mengikuti pola sebagai
berikut :
a. Menentukan tujuan-tujuan instruksional
b. Memilih materi pelajaran
c. Menentukan topik-topik yang mungkin dipelajari secara aktif oleh siswa
d. Menentukan dan merancang kegiatan kegiatan belajar yang cocok untuk topik-
topik yang akan dipelajari siswa.(Kegiatan belajar ini biasanya berbentuk
eksperimentasi, problem solving, role play, dan sebagainya)
e. Mempersiapkan berbagai pertanyaan yang dapat memacu kreativitas siswa untuk
berdiskusi maupun bertanya
f. Mengevaluasi proses dan hasil belajar.

2. Bruner
Menurut Bruner proses belajar lebih ditentukan oleh cara kita mengatur materi
pelajaran dan bukan ditentukan oleh umur seseorang seperti yang telah dikemukakan
oleh Piaget. Adapun proses belajar terjadi melalui tahap-tahap :
a) Enaktif, berupa aktivitas siswa untuk memahami lingkungan melalui pengalaman
langsung suatu realitas.
b) Ikonik, berupa upaya siswa melihat dunia melalui gambar-gambar dan visualisasi
verbal.
c). Simbolik, berupa pemahaman siswa terhadap gagasan-agasan abstrak berupa
teori-teori, penafsiran, analisis, dan sebagainya terhadap realitas yang telah
diamati atau dialami.
Dalam aplikasi praktisnya teori belajar ini sangat membebaskan siswa untuk
belajar sendiri. Oleh karena itu teori belajar ini sering dianggap bersifat discovery
(belajar dengan cara menemukan). Di samping itu, karena teori ini banyak menuntut
pengulangan-pengulangan sehingga desain yang berulang-ulang tersebut disebut
sebagai kurikulum spiral Bruner. Kurikulum spiral ini menuntut guru untuk memberi
materi perkuliahan setahap demi setahap dari yang sederhana sampai yang kompleks
di mana suatu materi yang sebelumnya sudah diberikan suatu saat muncul kembali
secara terintegrasi dalam suatu materi baru yang lebih kompleks. Demikian
seterusnya berulang-ulang sehingga tak terasa mahasiswa telah mempelajari suatu
ilmu pengetahuan secara utuh.
Secara umum, teori Bruner ini bila diaplikasikan biasanya mengikuti pola
sebagai berikut :
a. menentukan tujuan-tujuan instruksional
b. memilih materi pelajaran
c. menentukan topik-topik yang mungkin dipelajari secara induktif oleh siswa.
d. Mencari contoh-contoh, tugas, ilustrasi, dan sebagainya yang dapat digunakan
mahasiswa untuk belajar.
e. Mengatur topik-topik pelajaran sedemikian rupa sehingga urutan topik itu
bergerak dari yang paling kongkrit ke yang abstrak, dari yang sederhana ke
kompleks, dari tahapan-tahapam enaktif, ikonik, sampai ke tahap simbolik dan
seterusnya.
f. Mengevaluasi proses dan hasil belajar.

3. Teori Gestalt
Tokoh aliran ini adalah John Dewey, ia mengemukakan bahwa kegiatan belajar
mengajar yang diselenggarakan oleh guru harus memperhatikan hal-hal berikut :
a. Penyajian konsep harus lebih mengutamakan pengertian
b. Pelaksanaan kegiatan belajar mengajar harus memperhatikan kesiapan
intelektual peserta didik
c. Mengatur suasana kelas agar peserta didik siap belajar.
Dalam penyajian pelajaran guru jangan memberikan konsep yang harus
diterima begitu saja, melainkan harus lebih mementingkan pemahaman terhadap
terbentuknya konsep tersebut daripada hasil akhir. Untuk hal ini guru bertindak
sebagai pembimbing dan pendekatan yang digunakan adalah pendekatan proses
melalui metode induktif.
Pendekatan dan metode yang digunakan harus disesuaikan dengan kesiapan
intelektual peserta didik. Peserta didik di tingkat SMP masih ada pada tahap operasi
konkret, artinya jika ia akan memahami konsep abstrak matematika harus dibantu
dengan menggunakan benda konkret. Oleh karena itu dalam pelaksanaan kegiatan
belajar mengajar mulailah dengan menyajikan contoh-contoh konkret yang beraneka
ragam, kemudian mengarahkan kepada konsep abstrak tersebut. Dengan cara ini
diharapkan kegiatan belajar mengajar bisa berjalan secara bermakna.
Faktor eksternal bisa mempengaruh pelaksanaan belajar dan hasil elajar peserta
didik. Oleh karena itu sebelum, selama dan sesudah mengajar guru harus pandai-
pandai (berusaha) untuk menciptakan kondisi agar peserta didik siap untuk belajar
dengan perasaan senang, tidak merasa terpaksa.

4. Teori Brownell
W. Brownel mengemukakan bahwa belajar matematika harus merupakan
belajar bermakna dan belajar pengertian. Dia mengeaskan bahwa belajar pada
hakikatnya merupakan suatu proses yang bermakna. Teori Brownel sesuai dengan
teori belajar mengajar Gestal yang menyatakan bahwa latihan hafal atau yang dikenal
dengan sebutan drill adalah sangat penting dalam kegiatan pengajaran. Cara ini
ditetapkan setelah tertanamnya pengertian.
Aritmatika atau berhitung yang diberikan di SD dulu lebih menitikberatkan
hafalan dan mengasah otak. Aplikasi dari bahan

5. Teori Dienes
Zoltan P. Dienes adalah seorang matematikawan yang memusatkan
perhatiannya pada cara-cara pengajaran terhadap anak-anak. Dasar teorinya
bertumpu pada teori Piaget, dan pengembangannya diorientasikan pada anak- anak,
sehingga sistem yang dikembangkannya itu menarik bagi anak yang mempelajari
matematika.
Dienes berpendapat bahwa pada dasarnya matematika dapat dianggap sebagai
pelajaran tentang struktur, klasifikasi tentang struktur,relasi-relasi dalam struktur
dan mengkategorikan hubungan-hubungan di antara struktur- struktur. Ia
meyakini bahwa setiap konsep atau prinsip dalam matematika akan dapat dipahami
secara penuh konsep tersebut,apabila disajikan dalam bentuk kongkrit dengan
berbagai macam sajian. Ini mengandung arti bahwa benda-benda atau objek-objek
dalam bentuk permainan akan sangat berperan bila dimanipulasi dengan baik dalam
pengajaran matematika.
Dienes membagi 6 tahapan secara berurutan dalam menyajikan konsep
matematika, yaitu sebagai berikut.
a. Tahap Bermain Bebas
Tahap bermain bebas merupakan tahap belajar konsep yang aktivitasnya tidak
diarahkan. Pada kegiatan ini, memungkinkan anak untuk mengadakan percobaan dan
mengotak-atik (memanipulasi) benda-benda kongkrit dari unsur-unsur yang sedang
dipelajarinya.
Pada tahap permainan bebas anak-anak berhadapan dengan unsur- unsur
dalam interaksinya dengan lingkungan belajar atau alam sekitar. Dalam tahap ini
juga anak tidak hanya belajar membentuk struktur mental, namun juga belajar
membentuk struktur sikap dan mempersiapkan diri dalam pemahaman konsep.

b. Tahap Permainan
Dalam permainan yang disertai aturan, anak-anak sudah mulai meneliti pola-
pola dan keteraturan yang terdapat dalam konsep tertentu. Keteraturan ini mungkin
terdapat dalam konsep tertentu tetapi tidak terdapat dalam konsep yang lainnya.
Anak yang telah memahami aturan-aturan yang terdapat dalam konsep akan dapat
mulai melakukan permainan tadi. Jelaslah, dengan melalui permainan anak-anak
diajak untuk mulai mengenal dan memikirkan bagaimana struktur matematika.
Makin banyak bentuk-bentuk yang berlainan yang diberikan dalam konsep-
konsep tertentu, maka akan semakin jelas konsep yang dipahami anak. Karena anak-
anak akan memperoleh hal-hal yang bersifat logis dan matematis dalam konsep yang
dipelajarinya itu.
c. Tahap Penelaahan Kesamaan Sifat
Pada tahap ini, anak-anak mulai diarahkan dalam kegiatan menemukan sifat-
sifat kesamaan dalam permainan yang sedang diikuti. Untuk melatih anak-anak
dalam mencari kesamaan sifat, guru perlu mengarahkan mereka dengan
mentranslasikan kesamaan struktur dari bentuk permainan yang satu ke bentuk
permainan lainnya. Translasi tentu tidak boleh mengubah sifat-sifat abstrak yang ada
dalam permainan semula.

d. Tahap Representasi
Tahap representasi adalah tahap pengambilan kesamaan sifat dari beberapa
situasi yang sejenis. Anak-anak menentukan representasi dari konsep-konsep
tertentu, setelah mereka berhasil menyimpulkan kesamaan sifat yang terdapat
dalam situasi-situasi yang dihadapinya. Representasi yang diperolehnya ini bersifat
abstrak. Dengan demikian anak-anak telah mengarah pada pengertian struktur
matematika yang sifatnya abstrak yang terdapat dalam konsep yang sedang
dipelajari.

e. Tahap Simbolisasi
Tahap simbolisasi termasuk tahap belajar konsep, yang membutuhkan
kemampuan merumuskan representasi dari setiap konsep-konsep dengan
menggunakan simbol-simbol matematika atau melalui perumusan verbal.

f. Tahap Formalisasi
Tahap formalisasi merupakan tahap belajar konsep yang terakhir. Dalam
tahap ini anak-anak dituntut untuk mengurutkan sifat-sifat konsep dan kemudian
merumuskan sifat-sifat baru dari konsep tersebut. Sebagai contoh, anak-anak yang
telah mengenal dasar-dasar dalam struktur matematika seperti aksioma, harus
mampu merumuskan teorema, dalam arti membuktikan teorema tersebut.

6. Teori Van Hiele


Van Hiele adalah seorang guru matematika bangsa Belanda yang mengadakan
penelitian dalam pengajaran geometri Menurut Van Hiele, ada tiga unsur utama
dalam pengajaran geometri, yaitu waktu, materi pengajaran, dan metode pengajaran
yang diterapkan. Jika ketiga unsur ditata secara terpadu, akan dapat meningkatkan
kemampuan berfikir anak kepada tahapan berfikir yang lebih tinggi. Van Hiele
menyatakan bahwa terdapat 5 tahap belajar anak dalam belajar geometri, yaitu :
tahap pengenalan, tahap analisis, tahap pengurutan, tahap deduksi dan tahap
akurasi yang akan diuraikan sebagai berikut.

a. Tahap Pengenalan (Visualisasi)


Pada tahap ini anak mulai belajar mengenal suatu bentuk geometri secara
keseluruhan, namun belum mampu mengetahui adanya sifat-sifat dari bentuk
geometri yang dilihatnya itu. Sebagai contoh, jika pada anak diperlihatkan sebuah
kubus, maka ia belum mengetahui sifat-sifat atau keteraturan yang dimiliki oleh
kubus tersebut. Ia belum tahu bahwa kubus mempunyai sisi-sisi yang merupakan
bujursangkar, anak pun belum mengetahui bahwa bujursangkar (persegi) keempat
sisinya sama dan ke empat sudutnya siku-siku.

b. Tahap analisis
Pada tahap ini anak sudah mulai mengenal sifat-sifat yang dimiliki bangun
Geometri yang diamatinya. Ia sudah mampu menyebutkan keteraturan yang
terdapat pada bangun Geometri itu. Misalnya pada saat ia mengamati persegi
panjang, ia telah mengetahui bahwa terdapat 2 pasang sisi yang berhadapan, dan
kedua pasang sisi tersebut saling sejajar. Tapi tahap ini anak belum mampu
mengetahui hubungan yang terkait antara suatu benda geometri dengan benda
geometri lainnya. Misalnya anak belum mengetahui bahwa persegi adalah
persegipanjang atau ,persegi itu adalah belah ketupat dan sebagainya.

c. Tahap Pengurutan (Deduksi Informal)


Pada tahap ini anak sudah mulai mampu melaksanakan penarikan kesimpulan
yang kita kenal dengan sebutan berpikir deduktif. Namun kemampuan ini
belum berkembang secara penuh. Satu hal yang perlu diketahui adalah, anak
pada tahap ini sudah mulai mampu mengurutkan. Misalnya ia sudah mengenali
bahwa persegi adalah jajaran genjang, bahwa belah ketupat adalah layang-layang.
Demikian pula dalam pengenalan benda-benda ruang, anak-anak memahami bahwa
kubus adalah balok juga, dengan keistimewaannya, yaitu bahwa semua sisinya
berbentuk persegi . Pola pikir anak pada tahap ini masih belum mampu menerangkan
mengapa diagonal suatu persegi panjang itu sama panjangnya. Anak mungkin belum
memahami bahwa belah ketupat dapat dibentuk dari dua segitiga yang
kongruen.

d. Tahap Deduksi
Dalam tahap ini anak sudah mampu menarik kesimpulan secara deduktif,
yaitu penarikan kesimpulan dari hal-hal yang bersifat umum menuju hal-hal
yang bersifat khusus. Demikian pula ia telah mengerti betapa pentingnya
peranan unsur-unsur yang tidak didefinisikan, di samping unsur-unsur yang
didefinisikan. Misalnya anak sudah mulai memahami dalil. Selain itu, pada
tahap ini anak sudah mulai mampu menggunakan aksioma atau postulat yang
digunakan dalam pembuktian. Tetapi anak belum mengerti mengapa sesuatu itu
dijadikan postulat atau dalil

e. Tahap Akurasi
Dalam tahap ini anak sudah mulai menyadari betapa pentingnya ketepatan
dari prinsip-prinsip dasar yang melandasi suatu pembuktian. Misalnya, ia
mengetahui pentingnya aksioma-aksioma atau postulat- postulat dari geometri
Euclid. Tahap akurasi merupakan tahap berfikir yang tinggi, rumit dan kompleks.
Oleh karena itu tidak mengherankan jika tidak semua anak, meskipun sudah duduk
di bangku sekolah lanjutan atas, masih belum sampai pada tahap berfikir ini.

DAFTAR PUSTAKA

Djaali. 2008. Psikologi Pendidikan. Jakarta : Bumi Aksara

Suherman, Erman, dkk. 2003. Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer.


Bandung : Universitas Pendidikan Indonesia

Syah, Muhibbin. 2008. Psikologi Belajar. Jakarta : PT Rajagrapindo Persada


Sri Esti Wuryani Djiwandono. 2006. Psikologi Pendidikan. Jakarta : Gramedia

Suryabrata, Sumadi. 2010. Psikologi Pendidikan. Jakarta : Rajawali Pers

Wasty Soemanto. 2006. Psikologi Pendidikan. Jakarta : Rineka Cipta

Anda mungkin juga menyukai