Anda di halaman 1dari 15

ALIRAN PSIKOLOGI TINGKAH LAKU DAN KOGNITIF PADA PEMBELAJARAN

MATEMATIKA

Berdasarkan hakikat dari matematika dan matematika sekolah itu sendiri, maka
kiranya pembelajaran matematika yang diharapkan adalah yang mampu mengakomodir
karakteristik dari matematika itu sendiri. Pembelajaran matematika masa kini adalah
pembelajaran yang penyajiannya didasarkan teori pembelajaran yang ada pada saat
ini. Karena proses pembelajaran adalah pembentukan diri siswa untuk menuju pada
pembangunan manusia seutuhnya, jadi tidak melalui trial and error. Hal ini sejalan
dengan salah satu prinsip penyelenggaraan pendidikan yang tercantum dalam permen
no. 41 tahun 2007, yaitu bahwa pendidikan diselenggarakan sebagai proses
pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat.
Psikologi belajar / teori belajar adalah teori yang mempelajari perkembangan
intelektual (mental) siswa, yaitu tentang apa yang terjadi dan diharapkan terjadi pada
intelektual anak, dan tentang kegiatan intelektual anak mengenai hal-hal yang bisa
dipikirkan pada usia tertentu. (Suherman, 2001).
Memahami tentang teori belajar sangatlah penting untuk proses pembelajaran
matematika di kelas. Dengan memahami teori belajar yang ada, guru diharapkan dapat
merancang proses belajar-mengajar yang lebih baik di kelas dengan lebih baik karena
sudah berlandaskan pada teori-teori belajar (learning theory) sebagai acuannya.
(Saddiq, 2008). Secara garis besar, aliran psikologi belajar terbagi menjadi dua, yaitu
aliran psikologi tingkah laku dan aliran psikologi kognitif.

A. ALIRAN PSIKOLOGI TINGKAH LAKU


1. Teori Thorndike
Edward L. Thorndike (1874 1949) mengemukakan beberapa hukum belajar
yang disebut Law of effect. Menurut hukum ini belajar akan lebih berhasil bila respon
murid terhadap suatu stimulus diikuti dengan rasa senang atau kepuasan. Teori ini
menyatakan bahwa pada hakikatnya belajar merupakan proses menentukan hubungan
antara stimulus dan respon. Thorndike mengemukakan bahwa kualitas ddan kuantitas
hasil belajar tergantung dari kualitas dan kuantitas Stimulus-Respon (S-R) dalam
pelaksanaan kegiatan mengajar. Makin banyak dan makin baik kualitas (S-R) itu (yang
diberikan oleh guru) makin banyak dan makin baik pula hasil belajarnya siswa.
Implikasi dari aliran ini dalam kegiatan belajar mengajar sehari-hari adalah :
a. Dalam menjelaskan suatu konsep tertentu, guru sebaiknya mengambil contoh yang
sekiranya sudah sering dijumpai dalam kehidupan sehari-hari. Menggunakan alat
peraga.
b. Metode pemberian tugas, metode latihan (drill dan practice) akan lebih cocok.
Dengan penerapan metode tersebut siswa akan lebih banyak mendapatkan stimulus
dan respon yang diberikan pun lebih banyak.
c. Dalam kurikulum, materi di susun dari materi yang mudah, sedang, dan sukar
sampai dengan tingkat kelas, dan tingkat sekolah. Penguasaan materi yang lebih
mudah sebagai akibat untuk dapt menguasai materi yang lebih sukar. Dengan kata lain
topik (konsep) prasyarat harus dikuasai dulu agar dapat memahami topik berikutnya.

2. Teori Skinner
Ganjaran atau penguatan mempunyai peranan yang amat penting dalam belajar.
Ganjaran adalah respon yang menggembirakan dan merupakan tingkah laku yang
sifatnya

subjektif, sedangkan

penguatan

adalah

sesuatu

yang

mengakibatkan

meningkatnya kemungkinan suatu respond dan lebih mengarah kepada hal-hal yang
sifatnya dapat diamati dan diukur.
Contoh penguatan positif adalah pujian yang diberikan pada anak dan sikap guru
yang bergembira pada saat anak menjawab pertanyaan. Untuk mengubah tingkah laku
anak dari negative menjadi positif, guru perlu mengetahui psikologi yang dapat
digunakan untuk memperkirakan (memprediksi) dan mengendalikan tingkah laku
anak. Penguatan akan berkas pada diri anak. Mereka yang mendapatkan pujian setelah
berhasil menyelesaikan tugas atau menjawab pertanyaan biasanya akan berusaha
memenuhi tugas berikutnya dengan penuh semangat. Penguatan yang berbentuk
hadiah atau pujian akan memotivasi anak untuk rajin belajar dan mempertahankan
prestasi yang diraihnya.
Skinner menambahkan bahwa jika respon siswa baik (menunjang efektivitas
pencapaian tujuan) harus segera diberi penguatan positif agar respon tersebut lebih
baik lagi, atau minimal perbuatan baik itu dipertahankan. Misalnya dengan mengatakan
bagus, pertahankan prestasimu untuk siswa yang mendapat nilai tes yang
memuaskan. Sebaliknya jika respon siswa kurang atau tidak diharapkan sehingga tidak
menunjang tujuan pengajaran, harus segera diberi penguatan negative agar respons
tersebut tidak diulangi lagi dan berubah menjadi respon yang sifatnya positif.

Penguatan negative ini bisa berupa teguran, peringatan, atau sangsi (hukuman
deduktif).
3. Teori Ausebel
Teori belajar Ausebel terkenal dengan belajar bermakna dan pentingnya
pengulangan sebelum belajar dimulai (apersepsi). Belajar dibedakan menjadi belajar
menemukan dan belajar menerima Belajar menemukan artinya siswa menemukan
sendiri konsep, tidak menerima pelajaran begitu saja. Sedangkan belajar menerima
artinya siswa hanya menerima, jadi siswa tinggal menghafalkannya. Jika belajar
menghafal adalah menghafalkan materi yang telah diperoleh sebelumnya, maka dalam
belajar bermakna materi yang telah diperoleh itu dikembangkan dengan keadaan lain
sehingga belajarnya lebih dimengerti.
Metode menemukan dianggap sebagai suatu metode mengajar yang baik karena
bermakna, sebaliknya metode ceramah adalah metode yang merupakan belajar
menerima. Metode penemuan maupun metode ceramah bisa menjadi belajar menerima
atau belajar bermakna, tergantung dari situasinya.
4. Teori Gagne
Menurut Gagne, dalam belajar matematika ada dua objek yang dapat diperoleh
siswa, yaitu objek langsung dan objek tak langsung. Objek tak langsung : kemampuan
menyelidiki dan memecahkan masalah, belajar mandiri, bersikap positif terhadap
matematika, dan tahu bagaimana mestinya belajar, sedangkan objek langsung berupa
fakta, keterampilan, konsep dan aturan (prosedur).
1.

Fakta adalah objek matematika yang tinggal menerimanya, seperti lambing

bilangan, sudut, dan notasi-notasi matematika lainnya.

2. Keterampilan : kemampuan memberikan jawaban dengan tepat dan cepat, misalnya


melakukan pembagian bilangan cukup dengan bagi kurung, menjumlahkan pecahan,
melukis sumbu sebuah ruas garis.
3. Konsep : ide abstrak yang memungkinkan kita dapat mengelompokkan objek dalam
contoh. Misalnya, konsep bujursangkar, bilangan prima, himpunan dan vector.
4. Prosedur : aturan-aturan yang digunakan untuk memperoleh hasil tertentu.

B. ALIRAN PSIKOLOGI KOGNITIF


1. Teori Piaget
Piaget merupakan salah satu tokoh yang mengembangkan teori Konstruktivisme.
Menurut Piaget adalah suatu schemata atau kumpulan skema-skema. Perkembangan
schemata ini berlangsung terus-menerus melalui adaptasi dengan lingkungannya.
Proses terjadinya adaptasi schemata yang telah terbentuk dengan stimulus baru
dilakukan ini melalui dua cara, yaitu asimilasi dan akomodasi.
1. Asimilasi, yaitu proses pengintegrasian stimulus baru ke dalam skema yang telah
terbentuk secara langsung.
2. Akomodasi, yaitu proses pengintegrasian stimulus baru ke dalam skema yang telah
terbentuk secara tidak langsung. Hal ini terjadi karena stimulus baru tidak dapat
diasimilasi, karena tidak ada skema yang sesuai yang telah dimiliki.
Piaget juga mengemumakan teori mengenai perkembangan kognitif tiap individu secara
rinci, dari mulai bayi hingga dewasa yang disusun berdasarkan studi klinis terhadap
anak-anak dari berbagai usia golongan menengah di Swiss. Kesimpulannya adalah
pola berpikir anak tidak sama dengan pola berfikir orang dewasa. Tahap perkembangan

kognitif atau taraf kemampuan berpikir seseorang sesuai dengan usianya. Makin Ia
dewasa, makin meningkat pula kemampuan berpikirnya. Jadi, kemampuan anak
berbeda dengan kemampuan orang dewasa.
Selain itu, perkembangan kognitif seorang individu dipengaruhi pula oleh
dukungan dan transmisi sosialnya. Oleh karena itu agar perkembangan kognitif seorang
anak

berjalan

maksimal,

sebaiknya

diperkaya

dengan

pengalaman

edukatif.

Berdasarkan hasil penelitiannya, Piaget mengemukakan bahwa ada empat tahap


perkembangan kognitif dari set iap individu yang berkembang secara kronologis
(menurut usia kalender) :
a. Tahap sensori motor,
Tahap ini dimulai dari lahir sampai umur sekitar 2 tahun. Bagi anak yang berada pada
tahap ini, pengalaman diperoleh melalui pengalaman fisik (gerakan anggota tubuh) dan
sensori (koordinasi alat indera).
b. Tahap Pra Operasi,
Tahap ini dimulai dari sekitar umur 2 tahun sampai dengan sekitar 7 tahun dan
merupakan tahap persiapan untuk pengoperasian operasi konkrit, yaitu berupa
tindakan-tindakan kognitif, seperti mengklasifikasikan sekelompok objek (classifying),
menata letak benda-benda menurut urutan tertentu (seriation), dan membilang
(counting). Pada tahap ini pemikiran anak lebih banyak berdasarkan pada pengalaman
konkrit daripada pemikiran logis, sehingga jika ia melihat obyek-obyek yang
kelihatannya berbeda, maka ia mengatakannya berbeda pula.
c. Tahap Operasi Konkrit

Anak-anak yang berada pada tahap ini umumnya sudah berada di Sekolah Dasar, yaitu
pada usia sekitar 7 tahun sampai dengan sekitar umur 11 tahun. Umumnya anak-anak
pada tahap ini telah memahami operasi logis dengan bantuan benda konkrit.
Kemampuan

ini

terwujud

dalam

memahami

konsep

kekekalan,

kemampuan

mengklasifikasi dan serasi, mampu memandang suatu objek dari sudut pandang yang
objektif, dan mampu berpikir reversible.
d. Tahap Operasi Formal
Tahap operasi formal merupakan tahap akhir dari perkembangan kognitif secara
kualitas, yaitu pada usia 11 tahun dan sterusnya. Anak pada tahap ini sudah mampu
melakukan penalaran dengan menggunakan hal-hal yang abstrak. Penggunaan bendabenda konkrit tidak diperlukan lagi. Anak mampu bernalar tanpa harus berhadapan
dengan objek atau peristiwanya langsung. Penalaran yang terjadi dalam struktur
kognitifnya telah mampu hanya dengan menggunakan symbol-simbol, ide-ide,
abstraksi, dan generalisasi.
2. Teori Brunner
Jerome S.Bruner seorang ahli psikologi yang dilahirkan tahun 1915, lulusan dari
Universitas Harvard, Amerika Serikat, telah mempelopori aliran psikologi kognitif yang
memberi

dorongan

agar pendidikan memberikan perhatian pada pentingnya

pengembangan berfikir. Jerome Brunner dalam teorinya menyatakan bahwa belajar


matematika akan berhasil jika proses pengajaran diarahkan kepada konsep-konsep dan
struktur-struktur terbuat dalam pokok bahasan yang diajarkan, di samping hubungan
yang terkait dengan konsep-konsep dan struktur-struktur.

Berdasarkan hasil penelitiannya, Brunner mengidentifikasi tiga tahap perkembangan


yang dilewati anak dalam belajar, yaitu :
a. Tahap enaktif (enactive stage)
Dalam tahap ini anak secara langsung terlihat dalam memanipulasi (mengotak-atik)
objek, seperti memegang, memindah, menyusun dan menyentuh untuk memahami
lingkungan mereka.
b. Tahap ikonik (iconic stage)
Dalam tahap ini kegiatan yang dilakukan anak berhubungan dengan mental, yang
merupakan gambaran-gambaran dari objek yang dimanipulasinya. Anak tidak langsung
memanipulasi objek seperti yang dilakukan siswa dalam tahap enaktif.
c. Tahap simbolik (symbolic stage)
Dalam tahap ini anak memanipulasi symbol-simbol atau lambing-lambang objek
tertentu. Anak tidak lagi terikat dengan objek-objek pada tahap sebelumnya. Siswa
pada tahap ini sudah mampu menggunakan notasi tanpa ketergantungan terhadap
objek riil.
Berdasarkan

pengamatan

ke

sekolah-sekolah,

Bruner

memperoleh

beberapa

kesimpulan yang melahirkan dalil-dalil, yaitu dalil penyusunan (construction theorem),


dalil notasi (notation theorm), dalil kekontrasan dan dalil keanekaragaman (contras and
variation theorm), dan dalil pengaitan (connectivity theorm)
a. Dalil penyusunan (construction theorem)
Dalil ini menyatakan bahwa jika anak ingin mempunyai kemampuan dalam hal
menguasai konsep, definisi, teorema, dan sebagainya, anak harus dilatih untuk
melakukan penyusunan representasinya. Untuk melekatkan idea tau definisi tertentu

dalm pikiran, anak-anak harus menguasai konsep dengan mencoba dan melakukannya
sendiri.
Anak juga akan lebih mudah mengingat ide-ide apabila dalam proses perumusan
dan penyusunan ide-ide tersebut anak disertai bantuan benda-benda konkrit. Siswa
akan lebih mudah menerapkan ide dalam situasi riil secara tepat. Dalam tahap ini anak
memperoleh penguatan yang diakibatkan interaksinya dengan benda-benda yang
dimanipulasinya. Pada hakikatnya, dalam tahap awal pemahaman konsep diperlukan
aktivitas-aktivitas yang mengantar anak kepada pengertian konsep.
Salah satu contohnya ketika anak memperlajari konsep perkalian 3 x 5. Anak
yang mempelajari konsep perkalian yang didasarkan pada prinsip penjumlahan
berulang akan lebih memahami konsep tersebut. Perkalian 3 x 5 berarti pada garis
bilangan meloncat 3x loncatan sejauh 5 satuan, hasil loncatan tersebut diperiksa,
ternyata hasilnya 15. Dengan mengulangu hasil percobaan seperti ini, anak akan
benar-benar memahami dengan pengertian dalam, bahwa perkalian pada dasarnya
merupakan penjumlahan berulang.
b. Dalil Notasi
Dalil notasi mengungkapkan bahwa dalam penyajian konsep, notasi memegang
peranan penting. Notasi yang digunakan dalam menyatakan sebuah konsep tertentu
harus sesuai dengan tahap perkembangan mental anak. Ini berarti untuk menyatakan
sebuah rumus maka notasinya harus difahami oleh anak, tidak rumit dan mudah
dimengerti.

Sebagai contoh notasi untuk menyatakan fungsi :


notasi

f(x) = 3x 2 kita menggunakan

. Bagi anak yang mempelajari konsep fungsi lebih lanjut, diberikan notasi

fungsi .
Notasi yang diberikan tahap demi tahap ini sifatnya berurutan dari yang paling
mudah sampai yang paling sulit. Penyajian seperti ini dalam matematika merupakan
pendekatan spiral. Dalam pendekatan spiral setiap ide-ide matematika disajikan secara
sistematis dengan menggunakan notasi-notasi yang bertingkat. Pada tahap awal notasi
ini sederhana, diikuti notasi berikutnya yang lebih kompleks. Notasi yang terakhir, yang
mungkin belum dikenali oleh anak sebeluimnya, umumnya merupakan notasi yang
akan banyak digunakan dan diperlukan dalam pengembangan konsep matematika
lanjutan.
c. Dalil pengkontrasan dan keanekaragaman
Dalam dalil ini dinyatakan bahwa pengkontrasan dan keanekaragaman sangat penting
dalam melakukan pengubahan konsep difahami dengan mendalam, diperlukan contohcontoh yang banyak, sehingga anak mampu mengetahui karakteristik konsep tersebut.
Anak-anak perlu diberi contoh yang memenuhi rumusan atau teorema yang diberikan.
Konsep yang diterangkan dengan contoh (examples) dan bukan contoh (nonexamples)
adalah salah satu cara pengkontrasan. Melalui cara ini anak akan mudah memahami
arti karakteristik konsep yang diberikan tersebut. Sebagai contoh, untuk menjelaskan
pengertian persegi panjang, anak harus diberi contoh bujursangkar, belah ketupat, jajar
genjang dan segi empat lainnya selain persegi panjang.
Sedangkan keanekaragaman akan membantu anak dalam memahami konsep
yang disajikan, karena dapat memberikan belajar bermakna pada anak. Misalnya, untuk

10

menjelaskan pengertian bilangan prima anak perlu diberi contoh yang banyak yan
sifatnya beranekaragam.
d. Dalil pengaitan (konektivitas)
Dalam dalil ini dinyatakan bahwa dalam matematika antara satu konsep dengan lainnya
terdapat hubungan yang erat, tidak hanya dari segi isi, tetapi juga dari segi rumus yang
digunakan. Materi yang satu mungkin merupakan prasyarat bagi yang lainnya, atau
suatu konsep tertentu diperlukan untuk menjelaskan konsep lainnya. Misalnya konsep
dalil Pythagoras diperlukan untuk menentukan tripel phytagoras atau pembuktian rumus
kuadrat trigonometri.
Guru perlu menjelaskan bagaimana hubungan antara sesuatu yang sedang dijelaskan
dengan objek atau rumus lain. Apakah hubungan itu dalam kesamaan rumus yang
digunakan, sama-sama dapat digunakan dalam bidang aplikasi atau dalam hal-hal
lainnya. Melalui cara ini anak akan mengetahui pentingnya konsep yang sedang
dipelajari dan memahami bagaimana kedudukan rumus atau ide yang sedang
dipelajarinya itu dalam matematika, karena antara sebuah bahasan dengan bahasan
matematika saling berkaitan
3. Teori Gestalt
Berbeda dengan teori-teori sebelumnya yang menganggap bahwa belajar sebagai
proses trial and error, teori Gestalt memandang belajar adalah proses yang didasarkan
pada pemahaman (insight). (Baharudin, 2009). Dalam pelajaran guru jangan
memberikan konsep yang harus diterima begitu saja, melainkan harus lebih
mementingkan pemahaman terhadap terbentuknya konsep tersebut daripada hasil

11

akhir. Untuk hal ini, guru bertindak sebagai pembimbing dan pendekatan yang
digunakan adalah pendekatan proses melalui metode induktif.
Beberapa prinsip belajar penting yang dilahirkan dari Teori Gestalt adalah :
a.

Manusia bereaksi dengan lingkungannya secara keseluruhan, tidak hanya secara

intelektual, tetapi juga secara fisik, emosional, sosial dan sebagainya


b. Belajar adalah penyesuaian diri dengan lingkungan.
c.

Manusia berkembang sebagai keseluruhan sejak dari kecil sampai dewasa,

lengkap dengan segala aspek-aspeknya.


d. Belajar adalah perkembangan kearah diferensiasi ynag lebih luas.
e.

Belajar hanya berhasil, apabila tercapai kematangan untuk memperoleh insight.

f.

Tidak mungkin ada belajar tanpa ada kemauan untuk belajar, motivasi memberi

dorongan yang mengerakan seluruh organisme.


g. Belajar akan berhasil kalau ada tujuan.
h. Belajar merupakan suatu proses bila seseorang itu aktif, bukan ibarat suatu bejana
yang diisi.
4. Teori Van Hiele
Teori belajar Van Hiele menguraikan tahap-tahap perkembangan mental anak dalam
geometri. Menurut Van Hiele, tiga unsur utama dalam pengajaran geometri yaitu waktu,
materi pengajaran dan metode pengajaran yang diterapkan. Jika ditata secara terpadu
akan dapat meningkatkan kemampuan berfikir anak kepada tingkatan berfikir yang lebih
tinggi.
Van Hiele menyatakan bahwa terdapat 5 tahap belajar anak dalam geometri, yaitu
tahap pengenalan, tahap analisis, tahap pengurutan, tahap deduksi dan tahap akurasi.

12

a. Tahap pengenalan (visualisasi)


Dalam tahap ini anak mulai belajar mengenai suatu bentuk geometri secara
keseluruhan, dan belum mampu mengetahui adanya sifat-sifat dari bentuk geometri
yang dilihatnya itu. Sebagai contoh, jika pada seorang anak diperlihatkan sebuah
kubus, ia belum mengetahui sifat-sifat atau keteraturan yang dimiliki oleh kubus
tersebut. Ia belum menyadari bahwa kubus mempunyai sisi-sisi yang merupakan bujur
sangkar, bahwa sisinya ada 6 buah, rusuknya ada 12 buah dan lain-lain.
b. Tahap analisis
Dalam tahap ini anak sudah mulai mengenal sifat-sifat yang dimiliki benda geometri
yang diamatinya. Ia sudah mampu menyebutkan keteraturan yang terdapat pada benda
geometri itu. Misalnya, di saat ia mengamati persegi panjang, ia telah mengetahui
bahwa terdapat 2 pasang sisi saling berhadapan, dan kedua pasang sisi tersebut saling
sejajar. Dalam tahap ini anak belum mampu mengetahui hubungan terkait antara suatu
benda geometri dengan benda geometri lainnya. Misalnya, anak belum mengetahui
bahwa bujursangkar adalah persegi panjang, bahwa bujursangkar adalah belah ketupat
dan sebagainya.
c. Tahap pengurutan (deduksi informal)
Pada tahap ini anak sudah mampu melaksanakan penarikan kesimpulan yang dikenal
dengan pemikiran deduktif. Namun kemampuan ini belum berkembang secara penuh.
Pada tahap ini anak sudah mulai mampu mengurutkan. Misalnya ia sudah mengenali
bahwa bujur sangkar adalah jajargenjang, bahwa belah ketupat adalah laying-layang.
Pola pikir anak pada tahap ini masih belum mampu menerangkan mengapa diagonal
suatu persegi panjang itu sama panjang.

13

d. Tahap deduksi
Dalam tahap ini anak sudah mampu menarik kesimpulan secara deduktif, yakni
penarikan kesimpulan dari hal-hal yang bersifat umum menuju hal-hal yang bersifatr
khusus. Demikian pula ia telah mengerti betapa pentingnya peranan unsure-unsur yang
tidak didefinisikan, disamping unsure-unsur yang didefinisikan. Misalnya anak sudah
mulai memahami dalil. Selain itu, pada tahap ini anak sudah mulai mampu
menggunakan aksioma atau postulat yang digunakan untuk pembuktian.
e. Tahap akurasi
Dalam tahap ini anak sudah mulai menyadari betapa pentingnya ketepatan dari prinsipprinsip dasar yang melandasi suatu pembuktian. Misalnya, ia mengetahui pentingnya
aksioma-aksioma atau postulat-postulat dari geometri Euclid. (Suherman, 2001)

14

DAFTAR PUSTAKA

Baharuddin, dkk. (2009). Teori Belajar dan Pembelajaran. Jogjakarta : Ar-ruz Media.
Marsh, Collin. (1996). Handbook for Beginning Teachers. Sydney : Longman Australia.
Shadiq, Fajar. (2008). Psikologi Pembelajaran Matematika di SMA. Yogyakarta : Pusat
Pengembangan dan Pemberdayaan Tenaga Pendidik dan Kependidikan Matematika
(P4TKM).
Skemp, Richard R. (1971). The Psychology of Learning Mathematics. Victoria : Penguin
Books.
Suherman, Erman, dkk. (2001). Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer.
Bandung JICA Universitas Pendidikan Indonesia.
Utomo, Pristiadi. (2010). Piaget dan Teorinya.
http://ilmuwanmuda.wordpress.com/piaget-dan-teorinya/
Diakses pada tanggal 7 Mei 2016.

15

Anda mungkin juga menyukai