Anda di halaman 1dari 13

Teori belajar dan motivasi belajar anak

Arifatul Lutfina

Desi Luthfiana Rahmah

Dewi Susanti

Dika Kumala

Dewi Iryanah

BAB I

Pendahuluan

A. Latar belakang
Belajar merupakan perubahan tingkah laku yang diperoleh dari adanya proses dan
pengalaman. Pengalaman yang dimaksud adalah berasal dari sesuatu yang semula tidak
tahu menjadi tahu, tidak bisa menjadi bisa, dan sebagainya. Guru akan mengetahui sejauh
mana kemampuan siswa tercapai ketika siswa menunjukkan perubahan tingkah laku
setelah adanya proses belajar dari pengalaman yang didapatnya.
Guru perlu memahami dan mengerti tentang teori belajar serta makna belajar yang
sesungguhnya. Teori adalah seperangkat azaz tentang kejadian-kejadian yang
didalamnnya memuat ide, konsep, prosedur dan prinsip yang dapat dipelajari, dianalisis
dan diuji kebenarannya. Teori belajar adalah suatu teori yang di dalamnya terdapat tata
cara pengaplikasian kegiatan belajar mengajar antara guru dan siswa, serta perancangan
metode pembelajaran yang akan dilaksanakan di kelas maupun di luar kelas.Dengan
memahami teori dan makna belajar, maka guru akan mampu menerapkan pembelajaran
yang benar sehingga tujuan akhir pembelajaran (perubahan perilaku) siswa dapat
tercapai.
Terciptanya suasana belajar yang kondusif dan nyaman akan mendorong motivasi siswa
untuk belajar dan andil dalam pembelajaran di kelas. Untuk mewujudkan hal tersebut,
guru harus mengenali siswa secara keseluruhan dengan karakteristik yang berbeda-beda.
Karakteristik terbentuk karena adanya latar belakang yang mempengaruhi. Perbedaan
latar belakang dapat dilihat dari perkembangan serta motivasi belajar siswa.
Berdasarkan paparan di atas, makalah ini bertujuan untuk mengetahui teori belajar dan
motivasi belajar anak.

B. Rumusan Masalah

1. Apa saja macam-macam teori belajar?

2. Apa saja macam-macam teori motivasi belajar anak?


C. Tujuan

1. Untuk mengetahui dan memahami macam-macam teori belajar.

2. Untuk mengetahui dan memahami macam-macam teori motivasi belajar anak.

BAB II

Pembahasan

A. Macam-macam Teori Belajar


1. Teori Belajar Behavioristik
Menurut teori behavioristik belajar adalah perubahan tingkah laku sebagai hasil dari
pengalaman (Gage dan Berliner, 1984). Belajar merupakan akibat adanya interaksi antara
stimulus dan respon (Slavin, 2000). Seseorang dianggap telah belajar sesuatu jika dia
dapat menunjukkan perubahan perilakunya. Menurut teori ini dalam belajar yang penting
adalah input yang berupa stimulus dan output yang berupa respon. Stimulus adalah apa
saja yang diberikan guru kepada siswa, sedangkan respon berupa reaksi atau tanggapan
siswa terhadap stimulus yang diberikan oleh guru tersebut. Proses yang terjadi antara
stimulus dan respon tidak penting untuk diperhatikan karena tidak dapat diamati dan
tidak dapat diukur. Sesuatu yang dapat diamati adalah stimulus dan respon, oleh karena
itu apa yang diberikan oleh guru (stimulus) dan apa yang diterima oleh siswa (respons)
harus dapat diamati dan diukur. Teori ini mengutamakan pengukuran, sebab pengukuran
merupakan suatu hal penting untuk melihat terjadi atau tidaknya perubahan tingkah laku
tersebut.
Faktor lain yang dianggap penting oleh aliran behavioristik adalah faktor penguatan
(reinforcement). Bila penguatan ditambahkan (positive reinforcement) maka respon akan
semakin kuat. Begitu pula bila respon dikurangi/dihilangkan (negative reinforcement)
maka respon pun akan semakin kuat.
Kaum behavioris menjelaskan bahwa belajar sebagai suatu proses perubahan tingkah laku
dimana reinforcement dan punishment menjadi stimulus untuk merangsang siswa dalam
berperilaku. Pendidik yang masih menggunakan kerangka behavioristik biasanya
merencanakan kurikulum dengan menyusun isi pengetahuan menjadi bagian-bagian kecil
yang ditandai dengan suatu keterampilan tertentu. Kemudian, bagian-bagian tersebut
disusun secara hirarki, dari yang sederhana sampai yang kompleks.
Teori behavioristik dikemukakan oleh tiga tokoh yaitu: Skinner, Thorndike, dan Ivan
Pavlov.
a. Teori Behavioristik Skinner
Pandangan teori behavioristik telah cukup lama dianut oleh para pendidik. Namun dari
semua teori yang ada, teori Skinner lah yang paling besar pengaruhnya terhadap
perkembangan teori belajar behavioristik. Program-program pembelajaran seperti
Teaching Machine, Pembelajaran Berprogram, modul dan program-program
pembelajaran lain yang berpijak pada konsep hubungan stimulus-respons serta
mementingkan faktor-faktor penguat (reinforcement), merupakan program pembelajaran
yang menerapkan teori belajar yang dikemukakan Skinner.
Prinsip belajar Skinner adalah :
1) Hasil belajar harus segera diberitahukan pada siswa jika salah dibetulkan, jika
benar diberi penguat.
2) Proses belajar harus mengikuti irama dari yang belajar. Materi pelajaran
digunakan sebagai sistem modul.
3) Dalam proses pembelajaran lebih dipentingkan aktivitas sendiri, tidak digunakan
hukuman. Untuk itu lingkungan perlu diubah untuk menghindari hukuman.
4) Tingkah laku yang diinginkan pendidik diberi hadiah dan sebaiknya hadiah
diberikan dengan digunakannya jadwal variable ratio reinforcer.
5) Dalam pembelajaran digunakan shapping.

b. Teori Behavioristik Thorndike

Menurut Thorndike (1911), salah seorang pendiri aliran tingkah laku, belajar
adalah proses interaksi antara stimulus (yang mungkin berupa pikiran, perasaan, atau gerakan)
dan respons ( yang juga bisa berupa pikiran, perasaan, atau gerakan). Jelasnya, menurut
Thorndike, perubahan tingkah laku boleh berwujud sesuatu yang konkret (dapat diamati), atau
yang nonkonkret (tidak bias diamati). Teori Thorndike disebut sebagai “aliran koneksionis”
(connectionism).

Menurut teori trial and error (mencoba-coba dan gagal) ini, setiap organisme jika
dihadapkan dengan situasi baru akan melakukan tindakan-tindakan yang sifatnya coba-coba
secara membabi buta. Jika dalam usaha mencoba itu kemudian secara kebetulan ada perbuatan
yang dianggap memenuhi tuntutan situasi, maka perbuatan yang cocok itu kemudian
“dipegangnya”. Karena latihan yang terus menerus maka waktu yang dipergunakan untuk
melakukan perbuatan yang cocok itu makin lama makin efisien. Jadi, proses belajar menurut
Thorndike melalui proses: 1). Trial and error (mencobva-coba dan mengalami kegagalan),
dan 2). Law of effect, yang berarti bahwa segala tingkah laku yang berakibatkan suatu keadaan
yang memuaskan (cocok dengan tuntutan situasi) akan diingat dan dipelajari dengan sebaik-
baiknya.

c. Teori Behavioristik Ivan Pavlov


Teori behavioristik Ivan Pavlov dikenal dengan teori conditioning class. Conditioning
class ini melibatkan interaksi lingkungan. Agar pembelajaran dapat terjadi, harus ada stimulus
netral yang kemudian diikuti oleh refleks yang terjadi secara alami.
Dalam eksperimennya, Pavlov menguji teori ini pada anjingnya. Pavlov menggunakan
suara sebagai stimulus netral dan air liur anjing sebagai refleks alami sebagai respons terhadap
makanan. Dengan menghubungkan stimulus netral (suara) dengan stimulus tak terkondisi
(makanan), suara nada itu sendiri tetap dapat menghasilkan refleks air liur.
Dalam pembelajaran di kelas, guru dapat mengaplikasikan teori conditioning classic di
kelas dengan menciptakan lingkungan kelas yang positif, untuk membantu siswa mengatasi
kecemasan atau ketakutan. Mengkombinasikan situasi yang memicu kecemasan, seperti meminta
siswa tampil di depan kelas, dengan lingkungan yang menyenangkan, dapat membantu siswa
mempelajari hubungan baru (pelajaran). Bukannya cemas atau tegang dalam situasi kelas, anak
justru dapat belajar tetap rileks dan tenang. Dengan begitu, proses belajar di kelas pun bisa
berjalan dengan baik.
Teori behavioristik banyak dikritik karena seringkali tidak mampu menjelaskan situasi belajar
yang kompleks, sebab banyak variabel atau hal-hal yang berkaitan dengan pendidikan dan/atau
belajar yang dapat diubah menjadi sekedar hubungan stimulus dan respon.

Pandangan behavioristik juga kurang dapat menjelaskan adanya variasi tingkat emosi siswa,
walaupun mereka memiliki pengalaman penguatan yang sama. Pandangan ini tidak dapat
menjelaskan mengapa dua anak yang mempunyai kemampuan dan pengalaman penguatan yang
relatif sama, ternyata perilakunya terhadap suatu pelajaran berbeda, juga dalam memilih tugas
sangat berbeda tingkat kesulitannya. Pandangan behavioristik hanya mengakui adanya stimulus
dan respon yang dapat diamati. Mereka tidak memperhatikan adanya pengaruh pikiran atau
perasaan yang mempertemukan unsur-unsur yang diamati tersebut. Selain itu, teori ini cenderung
mengarahkan siswa untuk berfikir linier, konvergen, tidak kreatif dan tidak produktif. Pandangan
teori ini bahwa belajar merupakan proses pembentukan atau shaping, yaitu membawa siswa
menuju atau mencapai target tertentu, sehingga menjadikan peserta didik untuk tidak bebas
berkreasi dan berimajinasi. Padahal banyak faktor yang berpengaruh yang mempengaruhi proses
belajar. Jadi teori belajar tidak sesederhana yang dilukiskan teori behavioristik.

2. Teori Belajar Kognitif

Pengertian Kognitif Istilah “Cognitive” berasal dari kata cognition artinya adalah
pengertian, mengerti. Pengertian cognition (kognisi) sangat luas, mencakup perolehan, penataan,
dan penggunaan pengetahuan. Dalam pekembangan selanjutnya, kemudian istilah kognitif ini
menjadi populer sebagai salah satu wilayah psikologi manusia/satu konsep umum yang
mencakup semua bentuk pengenalan yang meliputi setiap perilaku mental yang berhubungan
dengan masalah pemahaman, memperhatikan, memberikan, menyangka, pertimbangan,
pengolahan informasi, pemecahan masalah, pertimbangan, membayangkan, memperkirakan,
berpikir dan keyakinan. Termasuk kejiwaan yang berpusat di otak ini juga berhubungan dengan
konasi (kehendak) dan afeksi (perasaan) yang bertalian dengan rasa. Menurut para ahli jiwa
aliran kognitifis, tingkah laku seseorang itu senantiasa didasarkan pada kognisi, yaitu tindakan
mengenal atau memikirkan situasi dimana tingkah laku itu terjadi.

Teori kognitif adalah teori yang umumnya dikaitkan dengan proses belajar. Kognisi adalah
kemampuan psikis atau mental manusia yang berupa mengamati, melihat, menyangka,
memperhatikan, menduga dan menilai. Dengan kata lain, kognisi menunjuk pada konsep tentang
pengenalan. Teori kognitif menyatakan bahwa proses belajar terjadi karena ada variabel
penghalang pada aspek-aspek kognisi seseorang. Teori belajar kognitiv lebih mementingkan
proses belajar daripada hasil belajar itu sendiri. Belajar tidak sekedar melibatkan hubungan
antara stimulus dan respon, lebih dari itu belajar melibatkan proses berpikir yang sangat
kompleks. Belajar adalah perubahan persepsi dan pemahaman. Perubahan persepsi dan
pemahaman tidak selalu berbentuk perubahan tingkah laku yang bisa diamati

Teori belajar kognitif dikemukakan oleh beberapa tokoh yaitu:

a. Jean Piaget, teorinya disebut “Cognitive Developmental”.


Piaget dalam Suciati dan Irawan (2005), dan Soekamto (1994) memandang bahwa proses
berpikir sebagai aktivitas gradual dan fungsi intelektual dari konkret menuju abstrak.
Dalam teorinya, Piaget memandang bahwa proses berpikir sebagai aktivitas gradual dari
fungsi intelektual dari konkret menuju abstrak. Piaget adalah ahli psikolog developmentat
karena penelitiannya mengenai tahap-tahap perkembangan pribadi serta perubahan umur
yang mempengaruhi kemampuan belajar individu.
Menurut Piaget, pertumbuhan kapasitas mental memberikan kemampuan-kemapuan
mental yang sebelumnya tidak ada. Pertumbuhan intelektual adalah tidak kuantitatif,
melainkan kualitatif. Dengan kata lain, daya berpikir atau kekuatan mental anak yang
berbeda usia akan berbeda pula secara kualitatif. Dalam pandangan Piaget, proses
adaptasi seseorang dengan lingkungannya terjadi secara simultan melalui 3 bentuk
proses, asimilasi, akomodasi, dan equilibrasi. Asimilasi terjadi jika pengetahuan baru
yang diterima seseorang cocok dengan struktur kognitif yang telah dimiliki seseorang
tersebut. Sebaliknya, akomodasi terjadi jika struktur kognitif yang telah dimiliki
seseorang harus direkonstruksi/di kode ulang disesuaikan dengan informasi yang baru
diterima. Equilibrasi adalah penyesuain berkesinambungan antara asimilasi dan
akomodasi.

b. Jerome Bruner dengan Discovery Learning

Discovery Learning Bruner dalam Suciati dan Prasetya Irawan (2005), dan Soekamto
(1994) menekankan bahwa proses belajar akan berjalan dengan baik dan kreatif jika guru
memberikan kesempatan kepada siswa untuk menemukan suatu konsep, teori, aturan,
atau pemahaman melalui contoh-contoh yang ia jumpai dalam kehidupan. Bruner
meyakini bahwa pembelajaran tersebut bisa muncul dalam tiga cara atau bentuk, yaitu:
enactive, iconic dan simbolic. Pembelajaran enaktif mengandung sebuah kesamaan
dengan kecerdasan inderawi dalam teori Piaget.
- Pengetahuan enaktif adalah mempelajari sesuatu dengan memanipulasi objek
melakukan pengatahuan tersebut daripada hanya memahaminya. Anak-anak didik
sangat mungkin paham bagaimana cara melakukan lompat tali (“melakukan‟
kecakapan tersebut), namun tidak terlalu paham bagaimana menggambarkan aktifitas
tersebut dalam kata-kata, bahkan ketika mereka harus menggambarkan dalam pikiran.
- Pembelajaran ikonik merupakan pembelajaran yang melalui gambaran; dalam bentuk
ini, anak-anak mempresentasikan pengetahuan melalui sebuah gambar dalam benak
mereka. Anak-anak sangat mungkin mampu menciptakan gambaran tentang pohon
mangga dikebun dalam benak mereka, meskipun mereka masih kesulitan untuk
menjelaskan dalam kata-kata.
- Pembelajaran simbolik, ini merupakan pembelajaran yang dilakukan melalui
representasi pengalaman abstrak (seperti bahasa) yang sama sekali tidak memiliki
kesamaan fisik dengan pengalaman tersebut. Sebagaimana namanya, membutuhkan
pengetahuan yang abstrak, dan karena simbolik pembelajaran yang satu ini serupa
dengan operasional formal dalam proses berpikir dalam teori Piaget

c. Teori Belajar Bermakna Ausubel.

Psikologi pendidikan yang diterapkan oleh Ausubel dalam Suciati dan Irawan (2005), dan
Soekamto (1994) adalah bekerja untuk mencari hukum belajar yang bermakna, berikut ini
konsep belajar bermakna David Ausubel. Pengertian belajar bermakna Menurut Ausubel
ada dua jenis belajar:
(1) Belajar bermakna (meaningful learning) dan
(2) belajar menghafal (rote learning).
Belajar bermakna adalah suatu proses belajar di mana informasi baru dihubungkan
dengan struktur pengertian yang sudah dipunyai seseorang yang sedang belajar.
Sedangkan belajar menghafal adalah siswa berusaha menerima dan menguasai bahan
yang diberikan oleh guru atau yang dibaca tanpa makna.
Sebagai ahli psikologi pendidikan Ausubel menaruh perhatian besar pada siswa di
sekolah, dengan memperhatikan/memberikan tekanan-tekanan pada unsur kebermaknaan
dalam belajar melalui bahasa (meaningful verbal learning). Kebermaknaan diartikan
sebagai kombinasi dari informasi verbal, konsep, kaidah dan prinsip, bila ditinjau
bersama-sama. Oleh karena itu belajar dengan prestasi hafalan saja tidak dianggap
sebagai belajar bermakna.
Belajar dikatakan menjadi bermakna (meaningful learning) yang dikemukakan oleh
Ausubel adalah bila informasi yang akan dipelajari peserta didik disusun sesuai dengan
struktur kognitif yang dimiliki peserta didik itu sehingga peserta didik itu mampu
mengaitkan informasi barunya dengan struktur kognitif yang dimilikinya.
Belajar seharusnya merupakan apa yang disebut asimilasi bermakna, materi yang
dipelajari di asimilasikan dan dihubungkan dengan pengetahuan yang telah dipunyai
sebelumnya. Untuk itu diperlukan dua persyaratan:
1) Materi yang secara potensial bermakna dan dipilih oleh guru dan harus sesuai dengan
tingkat perkembangan dan pengetahuan masa lalu peserta didik.
2) Diberikan dalam situasi belajar yang bermakna, faktor motivasional memegang
peranan penting dalam hal ini, sebab peserta didik tidak akan mengasimilasikan materi
baru tersebut apabila mereka tidak mempunyai keinginan dan pengetahuan bagaimana
melakukannya. Sehingga hal ini perlu diatur oleh guru, agar materi tidak dipelajari secara
hafalan.

3. Teori Belajar Kognitif-Sosial

Teori kognitif sosial adalah teori yang menonjolkan gagasan bahwa sebagian besar pembelajaran
manusia terjadi dalam sebuah lingkungan sosial. Dengan mengamati orang lain, manusia
memperoleh pengetahuan, aturan-aturan, keterampilan-keterampilan, strategi-strategi,
keyakinan-keyakinan, dan sikap-sikap. Individu-individu juga melihat model-model atau contoh-
contoh untuk mempelajari kegunaan dan kesesuaian prilaku-prilaku akibat dari prilaku yang di
modelkan, kemudian mereka bertindak sesuai dengan keyakinan tentang kemampuan mereka
dan hasil yang diharapkan dari tindakan mereka. Q

Teori belajar kognitif-sosial dikemukakan oleh Albert Bandura. Bandura menghipotesiskan


bahwa baik tingkah laku, lingkungan dan kejadian-kejadian internal pada pembelajar yang
mempengaruhi persepsi dan aksi adalah merupakan hubungan yang saling berpengaruh
(interlocking), Harapan dan nilai mempengaruhi tingkah laku. Tingkah laku sering dievaluasi,
bebas dari umpan balik lingkungan sehingga mengubah kesan-kesan personal. Tingkah laku
mengaktifkan kontingensi lingkungan. Karakteristik fisik seperti ukuran, ukuran jenis kelamin
dan atribut sosial menumbuhkan reaksi lingkungan yang berbeda. Pengakuan sosial yang
berbeda mempengaruhi konsepsi diri individu. Kontingensi yang aktif dapat merubah intensitas
atau arah aktivitas.

Tingkah laku dihadirkan oleh model. Model diperhatikan oleh pelajar (ada penguatan oleh
model) Tingkah laku (kemampuan dikode dan disimpan oleh pembelajar). Pemrosesan kode-
kode simbolik. Skema hubungan segitiga antara lingkungan, faktor-faktor personal dan tingkah
laku.

B. Macam-macam teori Motivasi

1. Pengertian Moivasi Belajar

Motivasi dapat diartikan sebagai kekuatan (energi) seseorang yang dapat menimbulkan tingkat
persistensi dan entusiasmenya dalam melaksanakan suatu kegiatan, baik yang bersumber dari
dalam diri individu itu sendiri (motivasi intrinsik) maupun dari luar individu (motivasi
ekstrinsik). Seberapa kuat motivasi yang dimiliki individu akan banyak menentukan terhadap
kualitas perilaku yang ditampilkannya, baik dalam konteks belajar, bekerja maupun dalam
kehidupan lainnya.
Menurut Santrock, motivasi adalah proses yang memberi semangat, arah, dan kegigihan
perilaku. Artinya, perilaku yang memiliki motivasi adalah perilaku yang penuh energi, terarah,
dan bertahan lama (Santrock, 2007). Dalam kegiatan belajar, maka motivasi dapat dikatakan
sebagai keseluruhan daya penggerak di dalam diri siswa yang menimbulkan kegiatan belajar,
yang menjamin kelangsungan dari kegiatan belajar dan memberikan arah pada kegiatan belajar,
sehingga tujuan yang dikehendaki oleh subjek belajar itu dapat tercapai (Sardiman, 2000).

a. Aspek-Aspek Motivasi Belajar

Terdapat dua aspek dalam teori motivasi belajar yang dikemukakan oleh Santrock (2007), yaitu:

1) Motivasi ekstrinsik, yaitu melakukan sesuatu untuk mendapatkan sesuatu yang lain (cara
untuk mencapai tujuan). Motivasi ekstrinsik sering dipengaruhi oleh insentif eksternal seperti
imbalan dan hukuman. Misalnya, murid belajar keras dalam menghadapi ujian untuk
mendapatkan nilai yang baik.

2) Motivasi intrinsik, yaitu motivasi internal untuk melakukan sesuatu demi sesuatu itu sendiri
(tujuan itu sendiri). Misalnya, murid belajar menghadapi ujian karena dia senang pada mata
pelajaran yang diujikan itu. Murid termotivasi untuk belajar saat mereka diberi pilihan, senang
menghadapi tantangan yang sesuai dengan kemampuan mereka, dan mendapat imbalan yang
mengandung nilai informasional. Terdapat dua jenis motivasi intrinsik, yaitu:

a)Motivasi intrinsik berdasarkan determinasi diri dan pilihan personal. Dalam pandangan ini,
murid ingin percaya bahwa mereka melakukan sesuatu karena kemauan sendiri, bukan karena
kesuksesan atau imbalan eksternal.

b) Motivasi intrinsik berdasarkan pengalaman optimal. Pengalaman optimal kebanyakan


terjadi ketika orang merasa mampu dan berkonsentrasi penuh saat melakukan suatu aktivitas
serta terlibat dalam tantangan yang mereka anggap tidak terlalu sulit tetapi juga tidak terlalu
mudah.

b. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Motivasi Belajar

Menurut Brophy (2004), terdapat lima faktor yang dapat mempengaruhi motivasi belajar siwa,
yaitu:

1) Harapan guru

2) Instruksi langsung

3) Umpanbalik (feedback) yang tepat

4) Penguatan dan hadiah

5) Hukuman
c. Cara menumbuhkan motivasi belajar

Sebagai pendukung kelima faktor di atas, Sardiman (2000) menyatakan bahwa bentuk dan cara
yang dapat digunakan untuk menumbuhkan motivasi dalam kegiatan belajar adalah:

a) Pemberian angka, hal ini disebabkan karena banyak siswa belajar dengan tujuan utama
yaitu untuk mencapai angka/nilai yang baik.
b) Persaingan/kompetisi
c) Ego-involvement, yaitu menumbuhkan kesadaran kepada siswa agar merasakan
pentingnya tugas dan menerimanya sebagai tantangan sehingga bekerja keras dengan
mempertaruhkan harga diri.
d) Memberi ulangan, hal ini disebabkan karena para siswa akan menjadi giat belajar kalau
mengetahui akan ada ulangan.
e) Memberitahukan hasil, hal ini akan mendorong siswa untuk lebih giat belajar
f) terutama kalau terjadi kemajuan.
g) Pujian, jika ada siswa yang berhasil menyelesaikan tugas dengan baik, hal ini merupakan
bentuk penguatan positif.

d. Prinsip-prinsip Motivasi Belajar

Keller (1983) telah menyusun seperangkat prinsip-prinsip motivasi yang dapat diterapkan
dalam proses pembelajaran, yang disebut sebagai model ARCS, yaitu:

1) Attention (Perhatian)

Perhatian peserta didik muncul karena didorong rasa ingin tahu. Oleh sebab itu, rasa ingin
tahu ini perlu mendapat rangsangan, sehingga peserta didik akan memberikan perhatian
selama proses pembelajaran. Rasa ingin tahu tersebut dapat dirangsang melalui elemen-
elemen yang baru, aneh, lain dengan yang sudah ada, kontradiktif atau kompleks.

2) Relevance (Relevansi)

Relevansi menunjukkan adanya hubungan materi pembelajaran dengan kebutuhan dan


kondisi peserta didik. Motivasi peserta didik akan terpelihara apabila mereka menganggap
bahwa apa yang dipelajari memenuhi kebutuhan pribadi atau bermanfaat dan sesuai dengan
nilai yang dipegang.

Kebutuhan pribadi (basic need) dikelompokkan dalam tiga kategori yaitu motif pribadi, motif
instrumental dan motif kultural. Motif nilai pribadi (personal motif value), menurut
McClelland mencakup tiga hal, yaitu (1) kebutuhan untuk berprestasi (needs for
achievement), (2) kebutuhan untuk berkuasa (needs for power), dan (3) kebutuhan untuk
berafiliasi (needs for affiliation).

c. Confidence (Percaya diri)


Merasa diri kompeten atau mampu, merupakan potensi untuk dapat berinteraksi secara positif
dengan lingkungan. Prinsip yang berlaku dalam hal ini adalah bahwa motivasi akan
meningkat sejalan dengan meningkatnya harapan untuk berhasil. Harapan ini seringkali
dipengaruhi oleh pengalaman sukses di masa lampau. Motivasi dapat memberikan ketekunan
untuk membawa keberhasilan (prestasi), dan selanjutnya pengalaman sukses tersebut akan
memotivasi untuk mengerjakan tugas berikutnya.

d. Satisfaction (Kepuasan)

Keberhasilan dalam mencapai suatu tujuan akan menghasilkan kepuasan. Kepuasan karena
mencapai tujuan dipengaruhi oleh konsekuensi yang diterima, baik yang berasal dari dalam
maupun luar individu. Untuk meningkatkan dan memelihara motivasi peserta didik, dapat
menggunakan pemberian penguatan (reinforcement) berupa pujian, pemberian kesempatan,
dan lain sebagainya.

2. Macam-macam Teori Motivasi

a. Teori Abraham Maslow (Teori Kebutuhan)


Teori motivasi yang dikembangkan oleh Maslow (2006) pada intinya berkisar pada
pendapat bahwa manusia mempunyai lima tingkat atau hierarki kebutuhan, yaitu : (1)
kebutuhan fisiologikal (physiological needs), seperti : rasa lapar, haus, istirahat dan sex;
(2) kebutuhan rasa aman (safety needs), tidak dalam arti fisik semata, akan tetapi juga
mental, psikologikal dan intelektual; (3) kebutuhan akan kasih sayang (love needs); (4)
kebutuhan akan harga diri (esteem needs), yang pada umumnya tercermin dalam berbagai
simbol-simbol status; dan (5) aktualisasi diri (self actualization), dalam arti tersedianya
kesempatan bagi seseorang untuk mengembangkan potensi yang terdapat dalam dirinya
sehingga berubah menjadi kemampuan nyata.
Kebutuhan-kebutuhan yang disebut pertama (fisiologis) dan kedua (keamanan) kadang-
kadang diklasifikasikan dengan cara lain, misalnya dengan menggolongkannya sebagai
kebutuhan primer, sedangkan yang lainnya dikenal pula dengan klasifikasi kebutuhan
sekunder. Terlepas dari cara membuat klasifikasi kebutuhan manusia itu, yang jelas
adalah bahwa sifat, jenis dan intensitas kebutuhan manusia berbeda satu orang dengan
yang lainnya karena manusia merupakan individu yang unik. Juga jelas bahwa kebutuhan
manusia itu tidak hanya bersifat materi, akan tetapi bersifat pskologikal, mental,
intelektual dan bahkan juga spiritual.

b. Teori McClelland (Teori Kebutuhan Berprestasi)

Dari McClelland dikenal tentang teori kebutuhan untuk mencapai prestasi atau Need for
Acievement (N.Ach) yang menyatakan bahwa motivasi berbeda-beda, sesuai dengan kekuatan
kebutuhan seseorang akan prestasi. Murray sebagaimana dikutip oleh Winardi merumuskan
kebutuhan akan prestasi tersebut sebagai keinginan :“ Melaksanakan sesuatu tugas atau
pekerjaan yang sulit. Menguasai, memanipulasi, atau mengorganisasi obyek-obyek fisik,
manusia, atau ide-ide melaksanakan hal-hal tersebut secepat mungkin dan seindependen
mungkin, sesuai kondisi yang berlaku. Mengatasi kendala-kendala, mencapai standar tinggi.
Mencapai performa puncak untuk diri sendiri. Mampu menang dalam persaingan dengan pihak
lain.

Meningkatkan kemampuan diri melalui penerapan bakat secara berhasil.” Menurut McClelland
karakteristik orang yang berprestasi tinggi (high achievers) memiliki tiga ciri umum yaitu : (1)
sebuah preferensi untuk mengerjakan tugas-tugas dengan derajat kesulitan moderat; (2)
menyukai situasi-situasi di mana kinerja mereka timbul karena upaya-upaya mereka sendiri, dan
bukan karena faktor-faktor lain, seperti kemujuran misalnya; dan (3) menginginkan umpan balik
tentang keberhasilan dan kegagalan mereka, dibandingkan dengan mereka yang berprestasi
rendah.

c. Teori Clyton Alderfer (Teori “ERG)

Teori Alderfer dikenal dengan akronim “ERG” . Akronim “ERG” dalam teori Alderfer
merupakan huruf-huruf pertama dari tiga istilah yaitu : E = Existence (kebutuhan akan
eksistensi), R = Relatedness (kebutuhanuntuk berhubungan dengan pihak lain, dan G = Growth
(kebutuhan akan pertumbuhan) Jika makna tiga istilah tersebut didalami akan tampak dua hal
penting. Pertama, secara konseptual terdapat persamaan antara teori atau model yang
dikembangkan oleh Maslow dan Alderfer. Karena “Existence” dapat dikatakan identik dengan
hierarki pertama dan kedua dalam teori Maslow; “ Relatedness” senada dengan hierarki
kebutuhan ketiga dan keempat menurut konsep Maslow dan “Growth” mengandung makna sama
dengan “self actualization” menurut Maslow

Pentingnya teori kebutuhan maslow dalam pendidikan terletak dalam hubungan antara kebutuhan
dasar dan kebutuhan tumbuh. Jelas bahwa siswa yang sangat lapar atau yang dicekam bahaya
akan memiliki energi psikologis yang kecil yang dapat dikerahkan. Dengan kata lain ia hampir
tidak memiliki motivasi belajar. Sekolah dan lembaga pemerintahan menyadari bahwa apabila
kebutuhan dasar siswa tidak dipenuhi, belajar akan terganggu. Dalam kondisi seperti ini, sekolah
atau pemerintah dapat mengatasinya dengan menyediakan program makan pagi dan makan siang
gratis.

Di sekolah, kebutuhan dasar paling penting adalah kebutuhan akan kasih sayang dan harga diri.
Siswa yang tidak memiliki perasaan bahwa mereka dicintai dan mereka mampu, kecil
kemungkinannya memiliki motivasi belajaryang kuat untuk mencapai perkembangan ke
tingkatnya yang lebih tinggi. Sebagai misal, pencarian pengetahuan dan pemahaman atas upaya
mereka sendiri atau kreativitas dan keterbukaan untuk ide-ide baru yang merupakan karakteristik
orang-orang yang mencapai aktualisasi diri

Bab III
Penutup

A. Kesimpulan

1. Berdasarkan paparan tentang teori belajar, masing-masing teori memiliki kelebihan dan
kelemahan jika diterapkan dalam dunia pendidikan juga pembelajaran. Jika keseluruhan
teori memiliki kesamaan yang sama-sama dalam ranah psikologi kognitif, maka disisi
lain juga memiliki perbedaan jika diaplikasikan dalam proses pendidikan. Terlebih untuk
menyesuaikan suatu teori belajar dengan kompleksitas proses dan sistem pembelajaran
sekarang maka harus benar-benar diperhatikan antara karakter masing-masing teori dan
kemudian disesuaikan dengan tingkatan pendidikan maupun karakteristik peserta
didiknya
2. Motivasi belajar memiliki pengaruh yang besar bagi terlaksana dan suksesnya
pembelajaran. Motivasi yang dimiliki individu akan banyak menentukan terhadap
kualitas perilaku yang ditampilkannya terutama dalam konteks belajar. Pemahaman
tentang motivasi belajar baik faktor, prinsip-prinsip dan cara menumbuhkan motivasi
belajar akan sangat mendukung tumbuhnya motivasi belajar siswa.

B. Saran

Berdasarkan paparan di atas, maka pendidik perlu memahami dan mengerti teori belajar serta
penerapannya yang tepat dalam pembelajaran. Perlunya guru memahami hal-hal yang
berpengaruh terhadap motivasi belajar siswa agar guru dapat meningkatkan motivasi belajar
siswa sehingga proses pembelajaran dapat berjalan dengan lancar dan tujuan pembelajaran
dapat tercapai.

Daftar pustaka

Gage, N.L., & Berliner, D. 1984. Educational Psychology. Second Edition, Chicago: Rand
Mc. Nally.

Hamid Darmadi .2010. Kemampuan Dasar Mengajar; Konsep dasar dan Praktek. Bandung:
Alfabeta.

Maslow, Abraham. 2006. On Dominace, Self Esteen and Self Actualization. Ann Kaplan:
Maurice Basset.

McClelland, D. 1985. How Motivates, Skills, and Values Determine What People Do.
American Journal of Psychologist.
Schunk. Dale. H. 2012. Learning theoris. An education perspektif. Yogyakarta: pustaka
pelajar.

Slavin, R.E. 2000. Educational Psychology: Theory and Practice. Sixth Edition. Boston:
Allyn and Bacon.

Soekamto, Toeti dan Udin S. W. 1994. Teori Belajar dan Model-Model Pembelajaran.
Jakarta: PAU Dirjen Dikti Depdikbud.

Suciati dan Prasetya Irawan. 2005. Teori Belajar dan Motivasi. Jakarta: Depdiknas, Ditjen
PT. PAUUT.

Anda mungkin juga menyukai