Anda di halaman 1dari 113

Bagian 1

PENDAHULUAN

Salah satu unsur penting bagi guru PAK untuk meningkatkan kualitas dan kompetensi

pembelajaran yang direncanakan dan dikelolanya ialah pemahaman tentang konsep atau teori

belajar. Jika guru PAK telah memahami bagaimana individu dapat belajar secara lebih efektif,

maka ia dapat membantu peserta didiknya mengalami kegiatan belajar dengan hasil optimal.

Kalau guru hanya menguasai bahan pengajarannya namun kurang mengerti cara efektif anak

didik belajar, maka hasil kegiatan yang dikelolanya tentu bisa kurang memuaskan. Untuk tujuan

itu, guru perlu terus belajar dari berbagai teori belajar, dan meninjau secara kritis dan konstruktif

manfaatnya dalam pembelajaran PAK.

Oleh sebab itu pada kesempatan ini, kita akan belajar Teori-teori Belajar, Tokoh, Analisa dan

aplikasinya dalam pembelajaran PAK, Teori Belajar Aktif, Ketrampilan proses dan Pembelajaran

tuntas. Mengingat dalam teori belajar: mendengar cepat lupa, melihat ingat dan melakukan

paham, maka supaya pembelajar menjadi efektif dan menyenangkan maka media alat peraga,

metode dan strategi pembelajaran aktif menjadi hal yang perlu mendapat perhatian.

B. HAKEKAT DAN ARTI BELAJAR

Belajar merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi dan berperan penting dalam

pembentukan pribadi dan perilaku seseorang.Nana Syaodih Sukmadinata (2005) Sebagaian

terbesar perkembangan individu berlangsung melalui kegiatan belajar.

APAKAH BELAJAR?

 Moh Surya (1999) = Satu proses yang dilakukan oleh individu untuk memperoleh perubahan
prilaku baik secara keseluruhan, sebagai hasil dari pengalaman individu itu sendiri melalui

kegiatan belajar.

 Crow dan Crow: belajar adalah diperolehnya kebiasaan-kebiasaan pengetahuan dan sikap

baru.

 Di Vesta dan Thompon (1970): Belajar adalah perubahan prilaku yang relatif menetap bagi

hasil dari pengalaman.

 Gege dan Beliner: Belajar adalah suatu proses perubahan prilaku yang muncul karena

pengalaman.

 B. Samuel Sidjabat: belajar pada dasarnya merupakan peristiwa kompleks sama halnya

kompleksitas manusia itu sendiri. Seluruh aspek dalam diri individu relatif turut terlibat.

 AD Rooijakkers (1984) belajar merupakan proses, artinya kegiatan belajar senantiasa dinamis,

dan mengarah kepada terjadinya perubahan dalam diri si pelajar.

Kesimpulan:

Kunci dari belajar adalah PERUBAHAN PRILAKU

Keseluruhan ini memberikan beberapa prinsip belajar yang penting, antara lain :

1. Manusia bereaksi dengan lingkunganya secara keseluruhan, tidak hanya secara intelektual,

tetapi juga secara fisik, emosional,sosial dan sebagainya

2. Belajar adalah penyesuaian diri dengan lingkungan.

3. Manusia berkembang sebagai keseluruhan sejak dari kecil sampai dewasa, lengkap dengan

segala aspek-aspeknya.

4. Belajar adalah perkembangan kearah diferensiasi yang lebih luas.

5. Belajar hanya berhasil, apabila tercapai kematangan untuk memperoleh insight.


6. Tidak mungkin ada belajar tanpa ada kemauan untuk belajar, motivasi membei dorongan yang

mengerakan seluruh organisme.

7. Belajar akan berhasil kalau ada tujuan.

8. Belajar merupakan suatu proses bila seseorang itu aktif, bukan ibarat suatu bejana yang diisi.

Belajar sangat menguntungkan untuk kegiatan memecahakan masalah. Hal ini nampaknya juga

relevan dengan konsep teori belajar yang diawali dengan suatu pengamatan. Belajar

memecahkan masalah diperlukan suatu pengamatan secara cermat dan lengkap. Kemudian

bagaiman seseorang itu dapat memecahknan masalah mrnurut J. Dewey ada 5 upaya

pemecahannya yakni:

1. Realisasi adanya masalah. Jadi harus memehami apa masalahnya dan juga harus dapat

merumuskan

2. Mengajukan hipotesa, sebagai suatu jalan yang mungkin memberi arah pemecahan masalah.

3. Mengumpulkan data atau informasi, dengan bacaan atau sumber-sumber lain.

4. Menilai dan mencobakan usah pembuktian hipotesa dengan keterangan-keterangan yang

diperoleh.

5. Mengambil kesimpulan, membuat laporan atau membuat sesuatu dengan hasil pemecahan soal

itu.

C. PERUBAHAN PRILAKU

Menurut Gagne (2003)

 Informasi Verbal

 Kecakapan Intelektual
 Strategi kognitif

 Sikap

 Kecakapan motorik

D. HASIL BELAJAR AKAN TAMPAK

Menurut Moh Surya: Hasil Belajar Nampak pada;

1. Kebiasaan

2. Keterampilan

3. Pengamatan

4. Berfikir asosiatif

5. Berfikir rasional dan kritis

6. Sikap yakin/menetap

7. Indibisi (Menghindari hal yang mbazh)

8. Apresiasi (menghargai karya-karya bermutu)

9. Prilaku efektif

E. CIRI-CIRI BELAJAR (Perubahan)

1. Perubahan yang disadari dan disengaja

2. Perubahan yang berkesinambungan

3. Perubahan yang Fungsional

4. Perubahan yang bersifat positif

5. Perubahan yang bersifat aktif

6. Perubahan yang bersifat permanen

7. Perubahan yang bertujuan dan terarah

8. Perubahan secara keseluruhan


F. PROSES DALAM BELAJAR

1. Motivasi

2. Konsentrasi

3. Mengolah

4. Menyimpan

5. Menggali 1

6. Menggali 2

7. Prestasi

8. Umpan Balik

G. FAKTOR YANG MEMPENGARUHI BELAJAR

H. FAKTOR YANG MEMPENGARUHI BALAJAR EFEKTIF

1. Motivasi

2. Kualitas dan kuantitas perhatian

3. Kemampuan (daya menerima dan mengingat)

4. Kemampuan menerapkan

5. Kemampuan memetik dan mengajukan prinsip

Bagian 2
TEORI BELAJAR BEHAVIORISTIK

A. Arti dan Hakekat Behavioristik

Teori belajar behavioristik adalah sebuah teori yang dicetuskan oleh Gagne dan Berliner tentang

perubahan tingkah laku sebagai hasil dari pengalaman [1].

Teori ini lalu berkembang menjadi aliran psikologi belajar yang berpengaruh terhadap arah

pengembangan teori dan praktek pendidikan dan pembelajaran yang dikenal sebagai aliran

behavioristik. Aliran ini menekankan pada terbentuknya perilaku yang tampak sebagai hasil

belajar.

Teori behavioristik dengan model hubungan stimulus-responnya, mendudukkan orang yang

belajar sebagai individu yang pasif. Respon atau perilaku tertentu dengan menggunakan metode

pelatihan atau pembiasaan semata. Munculnya perilaku akan semakin kuat bila diberikan

penguatan dan akan menghilang bila dikenai hukuman.

Belajar merupakan akibat adanya interaksi antara stimulus dan respon (Slavin, 2000:143).

Seseorang dianggap telah belajar sesuatu jika dia dapat menunjukkan perubahan perilakunya.

Menurut teori ini dalam belajar yang penting adalah input yang berupa stimulus dan output yang

berupa respon. Stimulus adalah apa saja yang diberikan guru kepada pebelajar, sedangkan respon

berupa reaksi atau tanggapan pebelajar terhadap stimulus yang diberikan oleh guru tersebut.

Proses yang terjadi antara stimulus dan respon tidak penting untuk diperhatikan karena tidak

dapat diamati dan tidak dapat diukur. Yang dapat diamati adalah stimulus dan respon, oleh

karena itu apa yang diberikan oleh guru (stimulus) dan apa yang diterima oleh pebelajar (respon)

harus dapat diamati dan diukur. Teori ini mengutamakan pengukuran, sebab pengukuran

merupakan suatu hal penting untuk melihat terjadi atau tidaknya perubahan tingkah laku tersebut
Faktor lain yang dianggap penting oleh aliran behavioristik adalah faktor penguatan

(reinforcement). Bila penguatan ditambahkan (positive reinforcement) maka respon akan

semakin kuat. Begitu pula bila respon dikurangi/dihilangkan (negative reinforcement) maka

respon juga semakin kuat.

B. Tokoh-tokoh Teori Behavioristik

Tokoh-tokoh aliran behavioristik di antaranya adalah Thorndike, Watson, Clark Hull, Edwin

Guthrie, dan Skinner. Berikut akan dibahas karya-karya para tokoh aliran behavioristik dan

analisis serta peranannya dalam pembelajaran.

1. Teori Belajar Menurut Thorndike

Menurut Thorndike, belajar adalah proses interaksi antara stimulus dan respon. Stimulus adalah

apa yang merangsang terjadinya kegiatan belajar seperti pikiran, perasaan, atau hal-hal lain yang

dapat ditangkap melalui alat indera. Sedangkan respon adalah reaksi yang dimunculkan peserta

didik ketika belajar, yang dapat pula berupa pikiran, perasaan, atau gerakan/tindakan. Jadi

perubahan tingkah laku akibat kegiatan belajar dapat berwujud konkrit, yaitu yang dapat diamati,

atau tidak konkrit yaitu yang tidak dapat diamati. Meskipun aliran behaviorisme sangat

mengutamakan pengukuran, tetapi tidak dapat menjelaskan bagaimana cara mengukur tingkah

laku yang tidak dapat diamati. Teori Thorndike ini disebut pula dengan teori koneksionisme

(Slavin, 2000).

Ada tiga hukum belajar yang utama, menurut Thorndike yakni (1) hukum efek; (2) hukum

latihan dan (3) hukum kesiapan (Bell, Gredler, 1991). Ketiga hukum ini menjelaskan bagaimana

hal-hal tertentu dapat memperkuat respon.


2. Teori Belajar Menurut Watson

Watson mendefinisikan belajar sebagai proses interaksi antara stimulus dan respon, namun

stimulus dan respon yang dimaksud harus dapat diamati (observable) dan dapat diukur. Jadi

walaupun dia mengakui adanya perubahan-perubahan mental dalam diri seseorang selama proses

belajar, namun dia menganggap faktor tersebut sebagai hal yang tidak perlu diperhitungkan

karena tidak dapat diamati. Watson adalah seorang behavioris murni, karena kajiannya tentang

belajar disejajarkan dengan ilmu-ilmu lain seperi Fisika atau Biologi yang sangat berorientasi

pada pengalaman empirik semata, yaitu sejauh mana dapat diamati dan diukur

3. Teori Belajar Menurut Clark Hull

Clark Hull juga menggunakan variabel hubungan antara stimulus dan respon untuk menjelaskan

pengertian belajar. Namun dia sangat terpengaruh oleh teori evolusi Charles Darwin. Bagi Hull,

seperti halnya teori evolusi, semua fungsi tingkah laku bermanfaat terutama untuk menjaga agar

organisme tetap bertahan hidup. Oleh sebab itu Hull mengatakan kebutuhan biologis (drive) dan

pemuasan kebutuhan biologis (drive reduction) adalah penting dan menempati posisi sentral

dalam seluruh kegiatan manusia, sehingga stimulus (stimulus dorongan) dalam belajarpun

hampir selalu dikaitkan dengan kebutuhan biologis, walaupun respon yang akan muncul

mungkin dapat berwujud macam-macam. Penguatan tingkah laku juga masuk dalam teori ini,

tetapi juga dikaitkan dengan kondisi biologis (Bell, Gredler, 1991).

4. Teori Belajar Menurut Edwin Guthrie

Azas belajar Guthrie yang utama adalah hukum kontiguiti. Yaitu gabungan stimulus-stimulus

yang disertai suatu gerakan, pada waktu timbul kembali cenderung akan diikuti oleh gerakan
yang sama (Bell, Gredler, 1991). Guthrie juga menggunakan variabel hubungan stimulus dan

respon untuk menjelaskan terjadinya proses belajar. Belajar terjadi karena gerakan terakhir yang

dilakukan mengubah situasi stimulus sedangkan tidak ada respon lain yang dapat terjadi.

Penguatan sekedar hanya melindungi hasil belajar yang baru agar tidak hilang dengan jalan

mencegah perolehan respon yang baru. Hubungan antara stimulus dan respon bersifat sementara,

oleh karena dalam kegiatan belajar peserta didik perlu sesering mungkin diberi stimulus agar

hubungan stimulus dan respon bersifat lebih kuat dan menetap. Guthrie juga percaya bahwa

hukuman (punishment) memegang peranan penting dalam proses belajar. Hukuman yang

diberikan pada saat yang tepat akan mampu mengubah tingkah laku seseorang.

Saran utama dari teori ini adalah guru harus dapat mengasosiasi stimulus respon secara tepat.

Pebelajar harus dibimbing melakukan apa yang harus dipelajari. Dalam mengelola kelas guru

tidak boleh memberikan tugas yang mungkin diabaikan oleh anak (Bell, Gredler, 1991).

5. Teori Belajar Menurut Skinner (1904-1990)

Konsep-konsep yang dikemukanan Skinner tentang belajar lebih mengungguli konsep para tokoh

sebelumnya. Ia mampu menjelaskan konsep belajar secara sederhana, namun lebih

komprehensif. Menurut Skinner hubungan antara stimulus dan respon yang terjadi melalui

interaksi dengan lingkungannya, yang kemudian menimbulkan perubahan tingkah laku, tidaklah

sesederhana yang dikemukakan oleh tokoh tokoh sebelumnya. Menurutnya respon yang diterima

seseorang tidak sesederhana itu, karena stimulus-stimulus yang diberikan akan saling

berinteraksi dan interaksi antar stimulus itu akan mempengaruhi respon yang dihasilkan. Respon

yang diberikan ini memiliki konsekuensi-konsekuensi. Konsekuensi-konsekuensi inilah yang

nantinya mempengaruhi munculnya perilaku (Slavin, 2000). Oleh karena itu dalam memahami

tingkah laku seseorang secara benar harus memahami hubungan antara stimulus yang satu
dengan lainnya, serta memahami konsep yang mungkin dimunculkan dan berbagai konsekuensi

yang mungkin timbul akibat respon tersebut. Skinner juga mengemukakan bahwa dengan

menggunakan perubahan-perubahan mental sebagai alat untuk menjelaskan tingkah laku hanya

akan menambah rumitnya masalah. Sebab setiap alat yang digunakan perlu penjelasan lagi,

demikian seterusnya.

Skinner menganggap reward dan rierforcement merupakan factor penting dalan belajar. Skinner

berpendapat bahwa tujuan psikologi adalah meramal mengontrol tingkah laku. Pada teori ini

guru memberi penghargaan hadiah atau nilai tinggi sehingga anak akan lebih rajin. Teori ini juga

disebut dengan operant conditioning. . Operans conditioning adalah suatu proses penguatan

perilaku operans yang dapat mengakibatkan perilaku tersebut dapat diulang kembali atau

menghilang sesuai keinginan.

Behaviorsime memang agak sukar menjelaskan motivasi. Motivasi terjadi dalam diri individu,

sedang kaum behavioris hanya melihat pada peristiwa-peristiwa eksternal. Perasaan dan pikiran

orang tidak menarik mereka. Behaviorisme muncul sebagai reaksi pada psikologi ”mentalistik”.

C. Analisis Tentang Teori Behavioristik

Kaum behavioris menjelaskan bahwa belajar sebagai suatu proses perubahan tingkah laku

dimana reinforcement dan punishment menjadi stimulus untuk merangsang pebelajar dalam

berperilaku. Pendidik yang masih menggunakan kerangka behavioristik biasanya merencanakan

kurikulum dengan menyusun isi pengetahuan menjadi bagian-bagian kecil yang ditandai dengan

suatu keterampilan tertentu. Kemudian, bagian-bagian tersebut disusun secara hirarki, dari yang

sederhana sampai yang komplek (Paul, 1997).

Pandangan teori behavioristik telah cukup lama dianut oleh para pendidik. Namun dari semua
teori yang ada, teori Skinnerlah yang paling besar pengaruhnya terhadap perkembangan teori

belajar behavioristik. Program-program pembelajaran seperti Teaching Machine, Pembelajaran

berprogram, modul dan program-program pembelajaran lain yang berpijak pada konsep

hubungan stimulus-respons serta mementingkan faktor-faktor penguat (reinforcement),

merupakan program pembelajaran yang menerapkan teori belajar yang dikemukakan Skiner.

Teori behavioristik banyak dikritik karena seringkali tidak mampu menjelaskan situasi belajar

yang kompleks, sebab banyak variabel atau hal-hal yang berkaitan dengan pendidikan dan/atau

belajar yang dapat diubah menjadi sekedar hubungan stimulus dan respon. Teori ini tidak mampu

menjelaskan penyimpangan-penyimpangan yang terjadi dalam hubungan stimulus dan respon.

Pandangan behavioristik juga kurang dapat menjelaskan adanya variasi tingkat emosi pebelajar,

walaupun mereka memiliki pengalaman penguatan yang sama. Pandangan ini tidak dapat

menjelaskan mengapa dua anak yang mempunyai kemampuan dan pengalaman penguatan yang

relatif sama, ternyata perilakunya terhadap suatu pelajaran berbeda, juga dalam memilih tugas

sangat berbeda tingkat kesulitannya. Pandangan behavioristik hanya mengakui adanya stimulus

dan respon yang dapat diamati. Mereka tidak memperhatikan adanya pengaruh pikiran atau

perasaan yang mempertemukan unsur-unsur yang diamati tersebut.

Teori behavioristik juga cenderung mengarahkan pebelajar untuk berfikir linier, konvergen, tidak

kreatif dan tidak produktif. Pandangan teori ini bahwa belajar merupakan proses pembentukan

atau shaping, yaitu membawa pebelajar menuju atau mencapai target tertentu, sehingga

menjadikan peserta didik tidak bebas berkreasi dan berimajinasi. Padahal banyak faktor yang

mempengaruhi proses belajar, proses belajar tidak sekedar pembentukan atau shaping.

Skinner dan tokoh-tokoh lain pendukung teori behavioristik memang tidak menganjurkan

digunakannya hukuman dalam kegiatan pembelajaran. Namun apa yang mereka sebut dengan
penguat negatif (negative reinforcement) cenderung membatasi pebelajar untuk berpikir dan

berimajinasi.

Menurut Guthrie hukuman memegang peranan penting dalam proses belajar. Namun ada

beberapa alasan mengapa Skinner tidak sependapat dengan Guthrie, yaitu:

Pengaruh hukuman terhadap perubahan tingkah laku sangat bersifat sementara;

Dampak psikologis yang buruk mungkin akan terkondisi (menjadi bagian dari jiwa si terhukum)

bila hukuman berlangsung lama;

Hukuman yang mendorong si terhukum untuk mencari cara lain (meskipun salah dan buruk) agar

ia terbebas dari hukuman. Dengan kata lain, hukuman dapat mendorong si terhukum melakukan

hal-hal lain yang kadangkala lebih buruk daripada kesalahan yang diperbuatnya.

Skinner lebih percaya kepada apa yang disebut sebagai penguat negatif. Penguat negatif tidak

sama dengan hukuman. Ketidaksamaannya terletak pada bila hukuman harus diberikan (sebagai

stimulus) agar respon yang muncul berbeda dengan respon yang sudah ada, sedangkan penguat

negatif (sebagai stimulus) harus dikurangi agar respon yang sama menjadi semakin kuat.

Misalnya, seorang pebelajar perlu dihukum karena melakukan kesalahan. Jika pebelajar tersebut

masih saja melakukan kesalahan, maka hukuman harus ditambahkan. Tetapi jika sesuatu tidak

mengenakkan pebelajar (sehingga ia melakukan kesalahan) dikurangi (bukan malah ditambah)

dan pengurangan ini mendorong pebelajar untuk memperbaiki kesalahannya, maka inilah yang

disebut penguatan negatif. Lawan dari penguatan negatif adalah penguatan positif (positive

reinforcement). Keduanya bertujuan untuk memperkuat respon. Namun bedanya adalah penguat

positif menambah, sedangkan penguat negatif adalah mengurangi agar memperkuat respons.

D. Aplikasi Teori Behavioristik dalam Pembelajaran


Aliran psikologi belajar yang sangat besar pengaruhnya terhadap arah pengembangan teori dan

praktek pendidikan dan pembelajaran hingga kini adalah aliran behavioristik. Aliran ini

menekankan pada terbentuknya perilaku yang tampak sebagai hasil belajar. Teori behavioristik

dengan model hubungan stimulus responnya, mendudukkan orang yang belajar sebagai individu

yang pasif. Respon atau perilaku tertentu dengan menggunakan metode drill atau pembiasaan

semata. Munculnya perilaku akan semakin kuat bila diberikan reinforcement dan akan

menghilang bila dikenai hukuman.

Aplikasi teori behavioristik dalam kegiatan pembelajaran tergantung dari beberapa hal seperti:

tujuan pembelajaran, sifat materi pelajaran, karakteristik pebelajar, media dan fasilitas

pembelajaran yang tersedia. Pembelajaran yang dirancang dan berpijak pada teori behavioristik

memandang bahwa pengetahuan adalah obyektif, pasti, tetap, tidak berubah. Pengetahuan telah

terstruktur dengan rapi, sehingga belajar adalah perolehan pengetahuan, sedangkan mengajar

adalah memindahkan pengetahuan (transfer of knowledge) ke orang yang belajar atau pebelajar.

Fungsi mind atau pikiran adalah untuk menjiplak struktur pengetahuan yag sudah ada melalui

proses berpikir yang dapat dianalisis dan dipilah, sehingga makna yang dihasilkan dari proses

berpikir seperti ini ditentukan oleh karakteristik struktur pengetahuan tersebut. Pebelajar

diharapkan akan memiliki pemahaman yang sama terhadap pengetahuan yang diajarkan. Artinya,

apa yang dipahami oleh pengajar atau guru itulah yang harus dipahami oleh murid.

Demikian halnya dalam pembelajaran, pebelajar dianggap sebagai objek pasif yang selalu

membutuhkan motivasi dan penguatan dari pendidik. Oleh karena itu, para pendidik

mengembangkan kurikulum yang terstruktur dengan menggunakan standar-standar tertentu

dalam proses pembelajaran yang harus dicapai oleh para pebelajar. Begitu juga dalam proses

evaluasi belajar pebelajar diukur hanya pada hal-hal yang nyata dan dapat diamati sehingga hal-
hal yang bersifat tidak teramati kurang dijangkau dalam proses evaluasi.

Implikasi dari teori behavioristik dalam proses pembelajaran dirasakan kurang memberikan

ruang gerak yang bebas bagi pebelajar untuk berkreasi, bereksperimentasi dan mengembangkan

kemampuannya sendiri. Karena sistem pembelajaran tersebut bersifat otomatis-mekanis dalam

menghubungkan stimulus dan respon sehingga terkesan seperti kinerja mesin atau robot.

Akibatnya pebelajar kurang mampu untuk berkembang sesuai dengan potensi yang ada pada diri

mereka.

Karena teori behavioristik memandang bahwa pengetahuan telah terstruktur rapi dan teratur,

maka pebelajar atau orang yang belajar harus dihadapkan pada aturan-aturan yang jelas dan

ditetapkan terlebih dulu secara ketat. Pembiasaan dan disiplin menjadi sangat esensial dalam

belajar, sehingga pembelajaran lebih banyak dikaitkan dengan penegakan disiplin. Kegagalan

atau ketidakmampuan dalam penambahan pengetahuan dikategorikan sebagai kesalahan yang

perlu dihukum dan keberhasilan belajar atau kemampuan dikategorikan sebagai bentuk perilaku

yang pantas diberi hadiah. Demikian juga, ketaatan pada aturan dipandang sebagai penentu

keberhasilan belajar. Pebelajar atau peserta didik adalah objek yang berperilaku sesuai dengan

aturan, sehingga kontrol belajar harus dipegang oleh sistem yang berada di luar diri pebelajar.

Tujuan pembelajaran menurut teori behavioristik ditekankan pada penambahan pengetahuan,

sedangkan belajar sebagi aktivitas “mimetic”, yang menuntut pebelajar untuk mengungkapkan

kembali pengetahuan yang sudah dipelajari dalam bentuk laporan, kuis, atau tes. Penyajian isi

atau materi pelajaran menekankan pada ketrampian yang terisolasi atau akumulasi fakta

mengikuti urutan dari bagian ke keseluruhan. Pembelajaran mengikuti urutan kurikulum secara

ketat, sehingga aktivitas belajar lebih banyak didasarkan pada buku teks/buku wajib dengan

penekanan pada ketrampilan mengungkapkan kembali isi buku teks/buku wajib tersebut.
Pembelajaran dan evaluasi menekankan pada hasil belajar.

Evaluasi menekankan pada respon pasif, ketrampilan secara terpisah, dan biasanya menggunakan

paper and pencil test. Evaluasi hasil belajar menuntut jawaban yang benar. Maksudnya bila

pebelajar menjawab secara “benar” sesuai dengan keinginan guru, hal ini menunjukkan bahwa

pebelajar telah menyelesaikan tugas belajarnya. Evaluasi belajar dipandang sebagi bagian yang

terpisah dari kegiatan pembelajaran, dan biasanya dilakukan setelah selesai kegiatan

pembelajaran. Teori ini menekankan evaluasi pada kemampuan pebelajar secara individual.

Bagian 3
TEORI BELAJAR HUMANISTIK

A. Pendahulun

Menurut Teori humanistik, tujuan belajar adalah untuk memanusiakan manusia\proses belajar

dianggap berhasil jika si pelajar memahami lingkungannya dan dirinya sendiri. Siswa dalam

proses belajarnya harus berusaha agar lambatlaun ia mampu mencapai aktualisasi diri dengan

sebaik-baiknya. Teori belajar ini berusaha memahami perilaku belajar dari sudut pandang

pelakunya, bukan dari sudut pandang pengamatnya.

Tujuan utama para pendidik adalah membantu si siswa untuk mengembangkan dirinya, yaitu

membantu masing-masing individu untuk mengenal diri mereka sendiri sebagai manusia yang

unik dan membantu dalam mewujudkan potensi-potensi yang ada dalam diri mereka. Para ahli

humanistik melihat adanya dua bagian pada proses belajar, ialah :

1. Proses pemerolehan informasi baru

2. Personalia informasi ini pada individu.

B. Tokoh-tokoh Teori Behavioristik Humanistik

Tokoh penting dalam teori belajar humanistik secara teoritik antara lain adalah: Arthur W.

Combs, Abraham Maslow dan Carl Rogers.

1. Arthur Combs (1912-1999)

Bersama dengan Donald Snygg (1904-1967) mereka mencurahkan banyak perhatian pada dunia

pendidikan. Meaning (makna atau arti) adalah konsep dasar yang sering digunakan. Belajar

terjadi bila mempunyai arti bagi individu. Guru tidak bisa memaksakan materi yang tidak disukai

atau tidak relevan dengan kehidupan mereka. Anak tidak bisa matematika atau sejarah bukan

karena bodoh tetapi karena mereka enggan dan terpaksa dan merasa sebenarnya tidak ada alasan
penting mereka harus mempelajarinya. Perilaku buruk itu sebenarnya tak lain hanyalah dati

ketidakmampuan seseorang untuk melakukan sesuatu yang tidak akan memberikan kepuasan

baginya.

Untuk itu guru harus memahami perlaku siswa dengan mencoba memahami dunia persepsi siswa

tersebut sehingga apabila ingin merubah perilakunya, guru harus berusaha merubah keyakinan

atau pandangan siswa yang ada. Perilaku internal membedakan seseorang dari yang lain. Combs

berpendapat bahwa banyak guru membuat kesalahan dengan berasumsi bahwa siswa mau belajar

apabila materi pelajarannya disusun dan disajikan s ebagaimana mestinya. Padahal arti tidaklah

menyatu pada materi pelajaran itu. Sehingga yang penting ialah bagaimana membawa si siswa

untuk memperoleh arti bagi pribadinya dari materi pelajaran tersebut dan menghubungkannya

dengan kehidupannya.

Combs memberikan lukisan persepsi dir dan dunia seseorang seperti dua lingkaran (besar dan

kecil) yang bertitik pusat pada satu. Lingkaran kecil (1) adalah gambaran dari persepsi diri dan

lingkungan besar (2) adalah persepsi dunia. Makin jauh peristiwa-peristiwa itu dari persepsi diri

makin berkurang pengaruhnya terhadap perilakunya. Jadi, hal-hal yang mempunyai sedikit

hubungan dengan diri, makin mudah hal itu terlupakan.

2. Maslow

Teori Maslow didasarkan pada asumsi bahwa di dalam diri individu ada dua hal :

1. suatu usaha yang positif untuk berkembang

2. kekuatan untuk melawan atau menolak perkembangan itu.

Maslow mengemukakan bahwa individu berperilaku dalam upaya untuk memenuhi kebutuhan

yang bersifat hirarkis.

Pada diri masing-masing orang mempunyai berbagai perasaan takut seperti rasa takut untuk
berusaha atau berkembang, takut untuk mengambil kesempatan, takut membahayakan apa yang

sudah ia miliki dan sebagainya, tetapi di sisi lain seseorang juga memiliki dorongan untuk lebih

maju ke arah keutuhan, keunikan diri, ke arah berfungsinya semua kemampuan, ke arah

kepercayaan diri menghadapi dunia luar dan pada saat itu juga ia dapat menerima diri

sendiri(self).

Maslow membagi kebutuhan-kebutuhan (needs) manusia menjadi tujuh hirarki. Bila seseorang

telah dapat memenuhi kebutuhan pertama, seperti kebutuhan fisiologis, barulah ia dapat

menginginkan kebutuhan yang terletak di atasnya, ialah kebutuhan mendapatkan ras aman dan

seterusnya. Hierarki kebutuhan manusia menurut Maslow ini mempunyai implikasi yang penting

yang harus diperharikan oleh guru pada waktu ia mengajar anak-anak. Ia mengatakan bahwa

perhatian dan motivasi belajar ini mungkin berkembang kalau kebutuhan dasar si siswa belum

terpenuhi.

3. Carl Rogers

Carl Rogers lahir 8 Januari 1902 di Oak Park, Illinois Chicago, sebagai anak keempat dari enam

bersaudara. Semula Rogers menekuni bidang agama tetapi akhirnya pindah ke bidang psikologi.

Ia mempelajari psikologi klinis di Universitas Columbia dan mendapat gelar Ph.D pada tahun

1931, sebelumnya ia telah merintis kerja klinis di Rochester Society untuk mencegah kekerasan

pada anak.

Gelar profesor diterima di Ohio State tahun 1960. Tahun 1942, ia menulis buku pertamanya,

Counseling and Psychotherapy dan secara bertahap mengembangkan konsep Client-Centerd

Therapy.

Rogers membedakan dua tipe belajar, yaitu:

1. Kognitif (kebermaknaan)
2. experiential ( pengalaman atau signifikansi)

Guru menghubungan pengetahuan akademik ke dalam pengetahuan terpakai seperti

memperlajari mesin dengan tujuan untuk memperbaikai mobil. Experiential Learning menunjuk

pada pemenuhan kebutuhan dan keinginan siswa. Kualitas belajar experiential learning

mencakup : keterlibatan siswa secara personal, berinisiatif, evaluasi oleh siswa sendiri, dan

adanya efek yang membekas pada siswa.

Menurut Rogers yang terpenting dalam proses pembelajaran adalah pentingnya guru

memperhatikan prinsip pendidikan dan pembelajaran, yaitu:

Menjadi manusia berarti memiliki kekuatan yang wajar untuk belajar. Siswa tidak harus belajar

tentang hal-hal yang tidak ada artinya.

Siswa akan mempelajari hal-hal yang bermakna bagi dirinya. Pengorganisasian bahan pelajaran

berarti mengorganisasikan bahan dan ide baru sebagai bagian yang bermakna bagi siswa

Pengorganisasian bahan pengajaran berarti mengorganisasikan bahan dan ide baru sebagai

bagian yang bermakna bagi siswa.

Belajar yang bermakna dalam masyarakat modern berarti belajar tentang proses.

Dari bukunya Freedom To Learn, ia menunjukkan sejumlah prinsip-prinsip dasar humanistik

yang penting diantaranya ialah :

Manusia itu mempunyai kemampuan belajar secara alami.

Belajar yang signifikan terjadi apabila materi pelajaran dirasakan murid mempunyai relevansi

dengan maksud-maksud sendiri.

Belajar yang menyangkut perubahan di dalam persepsi mengenai dirinya sendiri diangap

mengancam dan cenderung untuk ditolaknya.

Tugas-tugas belajar yang mengancam diri ialah lebih mudah dirasakan dan diasimilasikan
apabila ancaman-ancaman dari luar itu semakin kecil.

Apabila ancaman terhadap diri siswa rendah, pengalaman dapat diperoleh dengan berbagai cara

yang berbeda-beda dan terjadilah proses belajar.

Belajar yang bermakna diperoleh siswa dengan melakukannya.

Belajar diperlancar bilamana siswa dilibatkan dalam proses belajar dan ikut bertanggungjawab

terhadap proses belajar itu.

Belajar inisiatif sendiri yang melibatkan pribadi siswa seutuhnya, baik perasaan maupun intelek,

merupakan cara yang dapat memberikan hasil yang mendalam dan lestari.

Kepercayaan terhadap diri sendiri, kemerdekaan, kreativitas, lebih mudah dicapai terutama jika

siswa dibiasakan untuk mawas diri dan mengritik dirinya sendiri dan penilaian dari orang lain

merupakan cara kedua yang penting.

Belajar yang paling berguna secara sosial di dalam dunia modern ini adalah belajar mengenai

proses belajar, suatu keterbukaan yang terus menerus terhadap pengalaman dan penyatuannya ke

dalam diri sendiri mengenai proses perubahan itu.

Salah satu model pendidikan terbuka mencakuo konsep mengajar guru yang fasilitatif yang

dikembangkan Rogers diteliti oleh Aspy dan Roebuck pada tahun 1975 mengenai kemampuan

para guru untuk menciptakan kondidi yang mendukung yaitu empati, penghargaan dan umpan

balik positif. Ciri-ciri guru yang fasilitatif adalah :

1. Merespon perasaan siswa

2. Menggunakan ide-ide siswa untuk melaksanakan interaksi yang sudah dirancang

3. Berdialog dan berdiskusi dengan siswa

4. Menghargai siswa

5. Kesesuaian antara perilaku dan perbuatan


6. Menyesuaikan isi kerangka berpikir siswa (penjelasan untuk mementapkan

7. kebutuhan segera dari siswa)

8. Tersenyum pada siswa

Dari penelitian itu diketahui guru yang fasilitatif mengurangi angka bolos siswa, meningkatkan

angka konsep diri siswa, meningkatkan upaya untuk meraih prestasi akademik termasuk

pelajaran bahasa dan matematika yang kurang disukai, mengurangi tingkat problem yang

berkaitan dengan disiplin dan mengurangi perusakan pada peralatan sekolah, serta siswa menjadi

lebih spontan dan menggunakan tingkat berpikir yang lebih tinggi.

C. Implikasi Teori Belajar Humanistik

1. Guru sebagai Fasilitator

Psikologi humanistik memberi perhatian atas guru sebagai fasilitator yang berikut ini adalah

berbagai cara untuk memberi kemudahan belajar dan berbagai kualitas sifasilitator. Ini

merupakan ikhtisar yang sangat singkat dari beberapa guidenes(petunjuk):

Fasilitator sebaiknya memberi perhatian kepada penciptaan suasana awal, situasi kelompok, atau

pengalaman kelas

Fasilitator membantu untuk memperoleh dan memperjelas tujuan-tujuan perorangan di dalam

kelas dan juga tujuan-tujuan kelompok yang bersifat umum.

Dia mempercayai adanya keinginan dari masing-masing siswa untuk melaksanakan tujuan-

tujuan yang bermakna bagi dirinya, sebagai kekuatan pendorong, yang tersembunyi di dalam

belajar yang bermakna tadi.

Dia mencoba mengatur dan menyediakan sumber-sumber untuk belajar yang paling luas dan

mudah dimanfaatkan para siswa untuk membantu mencapai tujuan mereka.

Dia menempatkan dirinya sendiri sebagai suatu sumber yang fleksibel untuk dapat dimanfaatkan
oleh kelompok.

Di dalam menanggapi ungkapan-ungkapan di dalam kelompok kelas, dan menerima baik isi

yang bersifat intelektual dan sikap-sikap perasaan dan mencoba untuk menanggapi dengan cara

yang sesuai, baik bagi individual ataupun bagi kelompok

Bilamana cuaca penerima kelas telah mantap, fasilitator berangsur-sngsur dapat berperanan

sebagai seorang siswa yang turut berpartisipasi, seorang anggota kelompok, dan turut

menyatakan pendangannya sebagai seorang individu, seperti siswa yang lain.

Dia mengambil prakarsa untuk ikut serta dalam kelompok, perasaannya dan juga pikirannya

dengan tidak menuntut dan juga tidak memaksakan, tetapi sebagai suatu andil secara pribadi

yang boleh saja digunakan atau ditolak oleh siswa

Dia harus tetap waspada terhadap ungkapan-ungkapan yang menandakan adanya perasaan yang

dalam dan kuat selama belajar

Di dalam berperan sebagai seorang fasilitator, pimpinan harus mencoba untuk menganali dan

menerima keterbatasan-keterbatasannya sendiri.

C. Aplikasi Teori Humanistik Terhadap Pembelajaran Siswa

Aplikasi teori humanistik lebih menunjuk pada ruh atau spirit selama proses pembelajaran yang

mewarnai metode-metode yang diterapkan. Peran guru dalam pembelajaran humanistik adalah

menjadi fasilitator bagi para siswa sedangkan guru memberikan motivasi, kesadaran mengenai

makna belajar dalam kehidupan siswa. Guru memfasilitasi pengalaman belajar kepada siswa dan

mendampingi siswa untuk memperoleh tujuan pembelajaran.

Siswa berperan sebagai pelaku utama (student center) yang memaknai proses pengalaman

belajarnya sendiri. Diharapkan siswa memahami potensi diri , mengembangkan potensi dirinya

secara positif dan meminimalkan potensi diri yang bersifat negatif.


Tujuan pembelajaran lebih kepada proses belajarnya daripada hasil belajar. Adapun proses yang

umumnya dilalui adalah :

1. Merumuskan tujuan belajar yang jelas

2. Mengusahakan partisipasi aktif siswa melalui kontrak belajar yang bersifat jelas , jujur dan

positif.

3. Mendorong siswa untuk mengembangkan kesanggupan siswa untuk belajar atas inisiatif

sendiri

4. Mendorong siswa untuk peka berpikir kritis, memaknai proses pembelajaran secara mandiri

5. Siswa di dorong untuk bebas mengemukakan pendapat, memilih pilihannya sendiri,

melakukkan apa yang diinginkan dan menanggung resiko dariperilaku yang ditunjukkan.

6. Guru menerima siswa apa adanya, berusaha memahami jalan pikiran siswa, tidak menilai

secara normatif tetapi mendorong siswa untuk bertanggungjawab atas segala resiko perbuatan

atau proses belajarnya.

7. Memberikan kesempatan murid untuk maju sesuai dengan kecepatannya

8. Evaluasi diberikan secara individual berdasarkan perolehan prestasi siswa

Pembelajaran berdasarkan teori humanistik ini cocok untuk diterpkan pada materi-materi

pembelajaran yang bersifat pembentukan kepribadian, hati nurani, perubahan sikap, dan analisis

terhadap fenomena sosial. Indikator dari keberhasilan aplikasi ini adalah siswa merasa senang

bergairah, berinisiatif dalam belajar dan terjaadi perubahan pola pikir, perilaku dan sikap atas

kemauan sendiri. Siswa diharapkan menjadi manusia yang bebas, berani, tidak terikat oleh

pendapat orang lain dan mengatur pribadinya sendiri secara bertanggungjawab tanpa mengurangi

hak-hak orang lain atau melanggar aturan , norma , disiplin atau etika yang berlaku.

Sumber:
1. Psikologi Belajar: Dr. Mulyati, M.Pd

2. Psikologi Belajar: Drs. H. Abu Ahmadi dan Drs. Widodo Supriyono

3. Psikologi Pendidikan: Sugihartono,dkk

4. Psikologi Pendidikan: Rochman Natawidjaya dan Moein


Bagian 4

TEORI BELAJAR KONSTRUKTIVISME

A. Teori Perkembangan Piaget

Salah satu teori atau pandangan yang sangat terkenal berkaitan dengan teori belajar

konstruktivisme adalah teori perkembangan mental Piaget. Teori ini biasa juga disebut teori

perkembangan intelektual atau teori perkembangan kognitif. Teori belajar tersebut berkenaan

dengan kesiapan anak untuk belajar, yang dikemas dalam tahap perkembangan intelektual dari

lahir hingga dewasa. Setiap tahap perkembangan intelektual yang dimaksud dilengkapi dengan

ciri-ciri tertentu dalam mengkonstruksi ilmu pengetahuan. Misalnya, pada tahap sensori motor

anak berpikir melalui gerakan atau perbuatan (Ruseffendi, 1988: 132).

Selanjutnya, Piaget yang dikenal sebagai konstruktivis pertama (Dahar, 1989: 159) menegaskan

bahwa pengetahuan tersebut dibangun dalam pikiran anak melalui asimilasi dan akomodasi.

Asimilasi adalah penyerapan informasi baru dalam pikiran. Sedangkan, akomodasi adalah

menyusun kembali struktur pikiran karena adanya informasi baru, sehingga informasi tersebut

mempunyai tempat (Ruseffendi 1988: 133). Pengertian tentang akomodasi yang lain adalah

proses mental yang meliputi pembentukan skema baru yang cocok dengan ransangan baru atau

memodifikasi skema yang sudah ada sehingga cocok dengan rangsangan itu (Suparno, 1996: 7)

Lebih jauh Piaget mengemukakan bahwa pengetahuan tidak diperoleh secara pasif oleh
seseorang, melainkan melalui tindakan. Bahkan, perkembangan kognitif anak bergantung pada

seberapa jauh mereka aktif memanipulasi dan berinteraksi dengan lingkungannya. Sedangkan,

perkembangan kognitif itu sendiri merupakan proses berkesinambungan tentang keadaan

ketidak-seimbangan dan keadaan keseimbangan (Poedjiadi, 1999: 61).

Dari pandangan Piaget tentang tahap perkembangan kognitif anak dapat dipahami bahwa pada

tahap tertentu cara maupun kemampuan anak mengkonstruksi ilmu berbeda-beda berdasarkan

kematangan intelektual anak.

Berkaitan dengan anak dan lingkungan belajarnya menurut pandangan konstruktivisme, Driver

dan Bell (dalam Susan, Marilyn dan Tony, 1995: 222) mengajukan karakteristik sebagai berikut:

(1) siswa tidak dipandang sebagai sesuatu yang pasif melainkan memiliki tujuan, (2) belajar

mempertimbangkan seoptimal mungkin proses keterlibatan siswa, (3) pengetahuan bukan

sesuatu yang datang dari luar melainkan dikonstruksi secara personal, (4) pembelajaran bukanlah

transmisi pengetahuan, melainkan melibatkan pengaturan situasi kelas, (5) kurikulum bukanlah

sekedar dipelajari, melainkan seperangkat pembelajaran, materi, dan sumber.

Pandangan tentang anak dari kalangan konstruktivistik yang lebih mutakhir yang dikembangkan

dari teori belajar kognitif Piaget menyatakan bahwa ilmu pengetahuan dibangun dalam pikiran

seorang anak dengan kegiatan asimilasi dan akomodasi sesuai dengan skemata yang dimilikinya.

Belajar merupakan proses aktif untuk mengembangkan skemata sehingga pengetahuan terkait

bagaikan jaring laba-laba dan bukan sekedar tersusun secara hirarkis (Hudoyo, 1998: 5).

Dari pengertian di atas, dapat dipahami bahwa belajar adalah suatu aktivitas yang berlangsung

secara interaktif antara faktor intern pada diri pebelajar dengan faktor ekstern atau lingkungan,

sehingga melahirkan perubahan tingkah laku.

Berikut adalah tiga dalil pokok Piaget dalam kaitannya dengan tahap perkembangan intelektual
atau tahap perkembangan kognitif atau biasa juga disebut tahap perkembagan mental. Ruseffendi

(1988: 133) mengemukakan; (1) perkembangan intelektual terjadi melalui tahap-tahap beruntun

yang selalu terjadi dengan urutan yang sama. Maksudnya, setiap manusia akan mengalami

urutan-urutan tersebut dan dengan urutan yang sama, (2) tahap-tahap tersebut didefinisikan

sebagai suatu cluster dari operasi mental (pengurutan, pengekalan, pengelompokan, pembuatan

hipotesis dan penarikan kesimpulan) yang menunjukkan adanya tingkah laku intelektual dan (3)

gerak melalui tahap-tahap tersebut dilengkapi oleh keseimbangan (equilibration), proses

pengembangan yang menguraikan tentang interaksi antara pengalaman (asimilasi) dan struktur

kognitif yang timbul (akomodasi).

Berbeda dengan kontruktivisme kognitif ala Piaget, konstruktivisme sosial yang dikembangkan

oleh Vigotsky adalah bahwa belajar bagi anak dilakukan dalam interaksi dengan lingkungan

sosial maupun fisik. Penemuan atau discovery dalam belajar lebih mudah diperoleh dalam

konteks sosial budaya seseorang (Poedjiadi, 1999: 62). Dalam penjelasan lain Tanjung (1998: 7)

mengatakan bahwa inti konstruktivis Vigotsky adalah interaksi antara aspek internal dan ekternal

yang penekanannya pada lingkungan sosial dalam belajar.

Adapun implikasi dari teori belajar konstruktivisme dalam pendidikan anak (Poedjiadi, 1999: 63)

adalah sebagai berikut: (1) tujuan pendidikan menurut teori belajar konstruktivisme adalah

menghasilkan individu atau anak yang memiliki kemampuan berfikir untuk menyelesaikan setiap

persoalan yang dihadapi, (2) kurikulum dirancang sedemikian rupa sehingga terjadi situasi yang

memungkinkan pengetahuan dan keterampilan dapat dikonstruksi oleh peserta didik. Selain itu,

latihan memcahkan masalah seringkali dilakukan melalui belajar kelompok dengan menganalisis

masalah dalam kehidupan sehari-hari dan (3) peserta didik diharapkan selalu aktif dan dapat

menemukan cara belajar yang sesuai bagi dirinya. Guru hanyalah berfungsi sebagai mediator,
fasilitor, dan teman yang membuat situasi yang kondusif untuk terjadinya konstruksi

pengetahuan pada diri peserta didik.

B. Hakikat Pembelajaran Menurut Teori Belajar Konstruktivisme

Sebagaimana telah dikemukakan bahwa menurut teori belajar konstruktivisme, pengertahuan

tidak dapat dipindahkan begitu saja dari pikiran guru ke pikiran siswa. Artinya, bahwa siswa

harus aktif secara mental membangun struktur pengetahuannya berdasarkan kematangan kognitif

yang dimilikinya. Dengan kata lain, siswa tidak diharapkan sebagai botol-botol kecil yang siap

diisi dengan berbagai ilmu pengetahuan sesuai dengan kehendak guru.

Sehubungan dengan hal di atas, Tasker (1992: 30) mengemukakan tiga penekanan dalam teori

belajar konstruktivisme sebagai berikut. Pertama adalah peran aktif siswa dalam mengkonstruksi

pengetahuan secara bermakna. Kedua adalah pentingya membuat kaitan antara gagasan dalam

pengkonstruksian secara bermakna. Ketiga adalah mengaitkan antara gagasan dengan informasi

baru yang diterima.

Wheatley (1991: 12) mendukung pendapat di atas dengan mengajukan dua prinsip utama dalam

pembelajaran dengan teori belajar konstrukltivisme. Pertama, pengetahuan tidak dapat diperoleh

secara pasif, tetapi secara aktif oleh struktur kognitif siswa. Kedua, fungsi kognisi bersifat

adaptif dan membantu pengorganisasian melalui pengalaman nyata yang dimiliki anak.

Kedua pengertian di atas menekankan bagaimana pentingnya keterlibatan anak secara aktif

dalam proses pengaitan sejumlah gagasan dan pengkonstruksian ilmu pengetahuan melalui

lingkungannya. Bahkan secara spesifik Hudoyo (1990: 4) mengatakan bahwa seseorang akan

lebih mudah mempelajari sesuatu bila belajar itu didasari kepada apa yang telah diketahui orang

lain. Oleh karena itu, untuk mempelajari suatu materi yang baru, pengalaman belajar yang lalu

dari seseorang akan mempengaruhi terjadinya proses belajar tersebut.


Selain penekanan dan tahap-tahap tertentu yang perlu diperhatikan dalam teori belajar

konstruktivisme, Hanbury (1996: 3) mengemukakan sejumlah aspek dalam kaitannya dengan

pembelajaran, yaitu (1) siswa mengkonstruksi pengetahuan dengan cara mengintegrasikan ide

yang mereka miliki, (2) pembelajaran menjadi lebih bermakna karena siswa mengerti, (3)

strategi siswa lebih bernilai, dan (4) siswa mempunyai kesempatan untuk berdiskusi dan saling

bertukar pengalaman dan ilmu pengetahuan dengan temannya.

Dalam upaya mengimplementasikan teori belajar konstruktivisme, Tytler (1996: 20) mengajukan

beberapa saran yang berkaitan dengan rancangan pembelajaran, sebagai berikut: (1) memberi

kesempatan kepada siswa untuk mengemukakan gagasannya dengan bahasa sendiri, (2) memberi

kesempatan kepada siswa untuk berfikir tentang pengalamannya sehingga menjadi lebih kreatif

dan imajinatif, (3) memberi kesempatan kepada siswa untuk mencoba gagasan baru, (4) memberi

pengalaman yang berhubungan dengan gagasan yang telah dimiliki siswa, (5) mendorong siswa

untuk memikirkan perubahan gagasan mereka, dan (6) menciptakan lingkungan belajar yang

kondusif.

Dari beberapa pandangan di atas, dapat disimpulkan bahwa pembelajaran yang mengacu kepada

teori belajar konstruktivisme lebih menfokuskan pada kesuksesan siswa dalam

mengorganisasikan pengalaman mereka. Bukan kepatuhan siswa dalam refleksi atas apa yang

telah diperintahkan dan dilakukan oleh guru. Dengan kata lain, siswa lebih diutamakan untuk

mengkonstruksi sendiri pengetahuan mereka melalui asimilasi dan akomodasi.

Psikologi Gestalt bermula pada lapangan pengamatan ( persepsi ) dan mencapai sukses yang

terbesar juga dalam lapangan ini. Demonstrasinya mengenai peranan latar belakang dan

organisasinya terhadap proses-proses yang diamati secara fenomenal demikian meyakinkan

sehingga boleh dikatakan tidak dapat di bantah.


Ketika para ahli Psikologi Gestalt beralih dari masalah pengamatan ke masalah belajar, maka

hasil-hasil yang telah kuat / sukses dalam penelitian mengenai pengamatan itu dibawanya dalam

studi mengenai belajar . Karena asumsi bahwa hukum –hukum atau prinsip-prinsip yang berlaku

pada proses pengamatan dapat ditransfer kepada hal belajar, maka untuk memahami proses

belajar orang perlu memahami hukum-hukum yang menguasai proses pengamatan itu.

Pada pengamatan itu menekankan perhatian pada bentuk yang terorganisasi (organized form)

dan pola persepsi manusia . Pemahaman dan persepsi tentang hubungan-hubungan dalam

kebulatan (entities) adalah sangat esensial dalam belajar. Psikologi Gestalt ini terkenal juga

sebagai teori medan (field) atau lazim disebut cognitive field theory. Kelompok pemikiran ini

sependapat pada suatu hal yakni suatu prinsip dasar bahwa pengalaman manusia memiliki

kekayaan medan yang memuat fenomena keseluruhan lebuh dari pada bagian- bagiannya.

Teori medan ini mengibaratkan pengalaman manusia sebagai lagu atau melodi yang lebih

daripada kumpulan not, demikian pila pengalaman manusia tidak dapat dipersepsi sebagai

sesuatu yang terisolasi dari lingkungannya. Dengan kata lain berbeda dengan teori asosiasi maka

toeri medan ini melihat makna dari suatu fenomena yang relatif terhadap lingkungannya. Sesuatu

dipersepsi sebagai pendek jika objek lain lebih panjang. Warna abu-abu akan terlihat lebih cerah

pada bidang berlaatr belakang hitam pekat. Warna abu-abu akan terliaht biru pada latar berwarna

kuning.

Belajar melibatkanproses mengorganisasikan pengalaman-pengalaman kedalam pola-pola yang

sistematis dan bermakna. Belajar bukan merupakan penjumalahan (aditif), sebaliknya belajar

mulai dengan mempersepsi keseluruhan, lambat laun terjadi proses diferensiasi, yakni

menangkapbagian bagian dan detail suatu objek pengalaman. Dengan memahami bagian / detail,

maka persepsi awalakan keseluruhan objek yang semula masih agak kabur menjadi semakin
jelas. Belajar menurut paham ini merupakan bagian dari masalah yang lebih besar yakni

mengorganisasikan persepsi kedalam suatu struktur yang lebih kompleks yang makin menambah

pemahaman akan medan. Medan diartikan sebagaikeseluruhan dunia yang bersifat psikologis.

Seseorang meraksi terhadap lingkungan seauai dengan persepsinya terhadap lingkungan pada

saat tersebut. Manusia mempersepsi lingkungan secara selektif, tidak semua objek masuk

kedalam fokus persepsi individu, sebagian berfungsi hanya sebagai latar.

Tekanan ke-2 pada psikologi medan ini adalah sifat bertujuandari prilaku manusia. Individu

menetaokan tujuan berdasarkan tilikan (insight) terhadap situasi yang dihadapinya. Prilakunya

akan dinilai cerdas atau dungu tergantung kepada memdai atau tidaknya pemahamanya akan

situasi

Dalam hukum-hukum belajar Gestalt ini ada satu hukum pokok , yaitu hukum Pragnaz, dan

empat hukum tambahan (subsider) yang tunduk kepada hukum yang pokok itu,yaitu hukum –

hukum keterdekatan , ketertutupan, kesamaan , dan kontinuitas.

Pengetahuan dan pengertian dikonstruksi bila seseorang terlibat secara social dalam dialog dan

aktif dalam percobaan-percobaan dan pengalaman. Pembentukan makna adalah dialog antar

pribadi.dalam hal ini pebelajar tidak hanya memerlukan akses pengalaman fisik tetapi juga

interaksi dengan pengalaman yang dimiliki oleh individu lain. Pembelajaran yang sifatnya

kooperatif (cooperative learning) ini muncul ketika siswa bekerja sama untuk mencapai tujuan

belajar yang diinginka oleh siswa. Pengelolaan kelas menurut cooperative learning bertujuan

membantu siswa untuk mengembangkan niat dan kiat bekerja sama dan berinteraksi dengna

siswa yang lain. Ada tiga hal penting yang perlu diperhatikan dalam pengelolaan kelas yaitu:

pengelompokan, semangar kooperatif dan penataan kelas. (Pranata,


http://puslit.petra.ac.id/journals/interior/.

Pengetahuan berjenjang tersebut dapat digambarkan seperti pada skema berikut:

Secara singkat teori Peaget dan Vygotsky dapat dikemukakan dalam table berikut ini.

Pembelajaran konstruktivistik dan pembelajaran behavioristik yang dikemukakan oleh Degeng

dapat dilihat pada table-tabel berikut.

Table 2

Pandangan Konstruktivistik dan behavioristik tentang belajar dan pembelajaran.

Konstruktivistik Behavioristik

Pengtahuan adalah non-objective, bersifat temporer, selalu berubah dan tidak menentu.

Pengetahuan adalah objektif, pasti, dan tetap , tidak berubah. Pengetahuan telah terstruktur

dengan rapi.

Belajar adalah penyusunan pengetahuan dari pengalaman konkrit, aktivitas kolaboratif, dan

refleksi serta interpretasi. Mengajar adalah menata lingkungan agar si belajar termotivasi dalam

menggali makna seta menghargai ketidakmenentuan. Belajar adalah perolehan pengetahuan,

sedangkan mengajar adalah memindahkan pengetahuan ke orang yang belajar.

Si belajar akan memiliki pemahaman yang berbeda terhadap pengetahuan tergantung pada

pengalamannya, dan perspektif yang dipakai dalam menginterpretasikannya. Si belajar akan

memiliki pemahaman yang sama terhadap pengetahuan yang diajarkan. Artinya, apa yang

dipahami oleh pengajar itulah yang harus dipahami oleh si belajar.

Mind berfungsi sebagai alat untuk menginterpretasi peristiwa, objek, atau perspektif yang ada

dalam dunia nyata sehingga makna yang dihasilkan bersifat unik dan individualistic. Fungsi

mind adalah menjiplak struktur pengetahuan melalui proses berpikir yang dapat dianalisis dan
dipilah sehingga makna yang dihasilkan dari proses berpikir seperti ini ditentukan oleh

karakteristik struktur pengetahuan.

Table 3

Pandangan Konstruktivistik dan Behavioristik tentang

Penataan Lingkungan Belajar

Konstruktivistik Behavioristik

Ketidakteraturan, ketidakpastian, kesemrawutan, Keteraturan, kepastian, ketertiban

Si belajar harus bebas. Kebebasan menjadi unsure yang esensial dalam lingkungna belajar. Si

belajar harus dihadapkan pada aturan-aturan yang jelas dan ditetapkan lebih dahulu secara ketat.

Pembiasaan dan disiplin menjadi sangat esensial. Pembelajaran lebih banyak dikaitkan dengan

penegakan disiplin.

Kegagalan atau keberhasilan, kemampuan atau ketidakmampuan dilihat sebagai interpretasi yang

berbeda yang perlu dihargai. Kegagalan atau ketidakmampuan dalam penambahan pengetahuan

dikategorikan sebagai kesalahan yang perlu dihukum, dan keberhasilan atau kemampuan

dikategorikan sebagai bentuk perilaku yang pantas diberi hadiah.

Kebebasan dipandang sebagai penentu keberhasilan belajar. Si belajar adalah subjek yang harus

memapu menggunakan kebebasan untuk melakukan pengaturan diri dalam belajar. Ketaatan

pada aturan dipandang sebagai penentu keberhasilan belajar. Si belajar adalah objek yang harus

berperilaku sesuai dengan aturan.


Control belajar dipegang oleh si belajar. Control belajar dipegang oleh system yang berada di

luar diri si belajar.

Table 4 Pandangan Konstruktivistik dan behavioristik tentang Tujuan Pembelajaran

Konstruktivistik Behavioristik

Tujuan pembelajaran ditekankan pada belajar bagaimana belajar (learn how to learn) Tujuan

belajar ditekankan pada penambahan pengetahuan.

Tabe 5 pandangan Konstruktivistik dan behavioristik tentang strategi pembelajaran

Konstruktivistik Behavioristik

Penyejian isi menekankan pada penggunaan pengetahuan secara bermakna mengikuti urutan dari

keseluruhan-ke-bagian.

Pembelajaran lebih banyak diarahkan untuk meladeni pertanyaan atau pandangan si belajar.

Aktivitas belajar lebih banyak didasarkan pada data primer dan bahan manipulatif dengan

penekanan pada keterampilan berpikir kritis.

Pembelajaran menekankan pada proses. Penyajian isi menekankan pada keterampilan yang

terisolasi dan akumulasi fakta mengikuti urutan dari bagian-ke-keseluruhan.

Pembelajaran mengikuti urutan kurikulum secara ketat.


Aktivitas belajar lebih banyak didasarkan pada buku teks dengan penekanan pada keterampilan

mengungkapkan kembali isi buku teks.

Pembelajaran menekankan pada hasil

Tabe 6 Pandangan Konstruktivistik dan Behavioristik tentang evaluasi

Konstruktivistik Behavioristik

Evaluasi menekankan pada penyusunan makna secara aktif yang melibatkan keterampilan

terintegrasi, dengan menggunakan masalah dalam konsteks nyata.

Evaluasi yang menggali munculnya berpikir divergent, pemecahan ganda, bukan hanya satu

jawaban benar

Evaluasi merupakan bagian utuh dari belajar dengan cara memberikan tugas-tugas yang

menuntut aktivitas belajar yang bermkana serta menerapkan apa yang dipelajari dalam konteks

nyata. evaluasi menekankan pad aketerampilan proses dalam kelompok. Evaluasi menekankan

pada respon pasif, keterampilan secara terpisah, dan biasanya menggunakan ‘paper and pencil

test’
Evaluasi yang menuntu satu jawaban benar. Jawaban benar menunjukkan bahwa si-belajar telah

menyelesaikan tugas belajar.

Evaluasi belajar dipandang sebagai bagian terpisah dari kegiatan pembelajaran, dan biasnaya

dilakukan setelah kegiatan belajar dengan penekanan pada evaluasi individual.

Bagian 5

TEORI KOGNITIF
1. Teori Belajar Piaget

Piaget merupakan salah satu pioner konstruktivis, ia berpendapat bahwa anak membangun

sendiri pengetahuannya dari pengalamannya sendiri dengan lingkungan. Dalam pandangan

Piaget, pengetahuan datang dari tindakan, perkembangan kognitif sebagian besar bergantung

kepada seberapa jauh anak aktif memanipulasi dan aktif berinteraksi dengan lingkungannya.

Dalam hal ini peran guru adalah sebagai fasilitator dan buku sebagai pemberi informasi.

Piaget menjabarkan implikasi teori kognitif pada pendidikan yaitu 1) memusatkan perhatian

kepada cara berpikir atau proses mental anak, tidak sekedar kepada hasilnya. Guru harus

memahami proses yang digunakan anak sehingga sampai pada hasil tersebut. Pengalaman –

pengalaman belajar yang sesuai dikembangkan dengan memperhatikan tahap fungsi kognitif dan

jika guru penuh perhatian terhadap Pendekatan yang digunakan siswa untuk sampai pada

kesimpulan tertentu, barulah dapat dikatakan guru berada dalam posisi memberikan pengalaman

yang dimaksud, 2) mengutamakan peran siswa dalam berinisiatif sendiri dan keterlibatan aktif

dalam kegiatan belajar. Dalam kelas, Piaget menekankan bahwa pengajaran pengetahuan jadi

( ready made knowledge ) anak didorong menentukan sendiri pengetahuan itu melalui interaksi

spontan dengan lingkungan, 3) memaklumi akan adanya perbedaan individual dalam hal

kemajuan perkembangan. Teori Piaget mengasumsikan bahwa seluruh siswa tumbuh dan

melewati urutan perkembangan yang sama, namun pertumbungan itu berlangsung pada

kecepatan berbeda. Oleh karena itu guru harus melakukan upaya untuk mengatur aktivitas di

dalam kelas yang terdiri dari individu – individu ke dalam bentuk kelompok – kelompok kecil

siswa daripada aktivitas dalam bentuk klasikal, 4) mengutamakan peran siswa untuk saling

berinteraksi. Menurut Piaget, pertukaran gagasan – gagasan tidak dapat dihindari untuk

perkembangan penalaran. Walaupun penalaran tidak dapat diajarkan secara langsung,


perkembangannya dapat disimulasi.

2. Teori Belajar Vygostky

Tokoh kontruktivis lain adalah Vygotsky. Sumbangan penting teori Vygotsky adalah penekanan

pada hakekatnya pembelajaran sosiokultural. Inti teori Vygotsky adalah menekankan interaksi

antara aspek “internal” dan “eksternal” dari pebelajaran dan penekanannya pada lingkungan

sosial pebelajaran. Menurut teori Vygotsky, fungsi kognitif berasal dari interaksi sosial masing –

masing individu dalam konsep budaya. Vygotsky juga yakin bahwa pembelajaran terjadi saat

siswa bekerja menangani tugas – tugas yang belum dipelajari namun tugas- tugas itu berada

dalam “zone of proximal development” mereka. Zone of proximal development adalah jarak

antara tingkat perkembangan sesungguhnya yang ditunjukkan dalam kemampuan pemecahan

masalah secara mandiri dan tingkat kemampuan perkembangan potensial yang ditunjukkan

dalam kemampuan pemecahan masalah di bawah bimbingan orang dewasa atau teman sebaya

yang lebih mampu.

Teori Vygotsky yang lain adalah “scaffolding“. Scaffolding adalah memberikan kepada

seseorang anak sejumlah besar bantuan selama tahap – tahap awal pembelajaran dan kemudian

mengurangi bantuan tersebut dan memberikan kesempatan kepada anak tersebut mengambil alih

tanggung jawab yang semakin besar segera setelah ia mampu mengerjakan sendiri. Bantuan yang

diberikan guru dapat berupa petunjuk, peringatan, dorongan menguraikan masalah ke dalam

bentuk lain yang memungkinkan siswa dapat mandiri.

Vygotsky menjabarkan implikasi utama teori pembelajarannya yaitu 1) menghendaki setting

kelas kooperatif, sehingga siswa dapat saling berinteraksi dan saling memunculkan strategi –

strategi pemecahan masalah yang efektif dalam masing – masing zone of proximal development
mereka; 2) Pendekatan Vygotsky dalam pembelajaran menekankan scaffolding. Jadi teori belajar

Vygotsky adalah salah satu teori belajar sosial sehingga sangat sesuai dengan model

pembelajaran kooperatif karena dalam model pembelajaran kooperatif terjadi interaktif sosial

yaitu interaksi antara siswa dengan siswa dan antara siswa dengan guru dalam usaha menemukan

konsep – konsep dan pemecahan masalah.

A. Pengertian Perilaku

Perilaku dapat diartikan suatu respons organisme atau seseorang terhadap rangsangan dari luar

subjek tersebut. Perilaku diartikan sebagai suatu aksi-reaksi organisme terhadap lingkungannya.

Perilaku baru terjadi apabila ada sesuatu yang diperlukan untuk menimbulkan reaksi, yakni yang

disebut rangsangan. Berarti rangsangan tertentu akan menghasilkan reaksi atau perilaku tertentu.

Perilaku manusia adalah aktivitas yang timbul karena adanya stimulus dan respons serta dapat

diamati secara langsung maupun tidak langsung.

Perbedaan-perbedaan Perilaku Individu

Mengapa manusia itu berbeda dalam bertindak diantaranya adalah:

1. Manusia berbeda karena berbeda kemampuannya.

Setiap manusia memiliki perbedaan dalam berperilaku karena proses penyerapan informasi yang

berbeda dari setiap individu tersebut yang kemudian mempangaruhi perilaku seseorang dalam

bertindak.

2. Manusia berbeda perilakunya karena adanya perbedaan kebutuhan.

Hal ini merupakan bagian dari teori motivasi yang ditemukan oleh para ilmuwan psikologi
seperti, Maslow, Mcleland, McGregor, dll. Kebutuhan manusia menjadi motif secara intrinsik

individu tersebut dalam berperilaku.

3. Manusia berbeda karena mempunyai lingkungan yang berbeda dalam mempengaruhinya.

Faktor lingkungan sangat berpengaruh pada manusia, suatu keputusan yang dibuat oleh individu

dapat dipengaruhi dengan apa yang terjadi diluar dari dirinya dengan kata lain motivasi eksternal

berperan disini. Lingkungan membentuk manusia menjadi lebih baik atau menjadi jahat, ramah,

atau sombong.

4. Faktor Like or Dislike with Something

Percaya atau tidak faktor ini juga mempengaruhi seseorang dalam berperilaku, apabila seseorang

tidak suka pada atasannya dalam memimpin, maka apapun yang dikatakan atasan hanya

merupakan masukan tidak langsung dilakukan.

Variabel – Variabel yang Mempengaruhi Perilaku Individu

Kelompok variable individu terdiri dari variable kemampuan dan keterampilan, latar belakang

pribadi dan demografis.

Menurut Gibson ( 1987 ) : Variabel kemampuan dan ketrampilan merupakan factor utama yang

mempegaruhi perilaku kerja dan kinerja individu . Sedangkan variabel demografis mempunyai

pegaruh yang tidak langsung .

Kelompok variabel psikologis terdiri dari variabel persepsi , sikap, kepribadian , belajar , dan
motivasi.

Variabel ini menurut Gibson ( 1987 ) : banyak di pengaruhi oleh keluarga, tingkat sosial,

pengalaman kerja sebelumnya dan variabel demografis.

Teori – Teori yang Mempengaruhi Perilaku

1. Teori Kepemimpinan ( Leadership )

Kreiner menyatakan bahwa leadership adalah proses mempengaruhi orang lain yang mana

seorang pemimpin mengajak anak buahnya secara sukarela berpartisipasi guna mencapai tujuan

organisasi.Salah satu contoh teori kepemimpinan :

Teori LPC dari Fielder

Fielder mengembangkan suatu ukuran orientasi pemimpin yang disebut rekan sekerja yang

kurang disukai dan rekan kerja yang disukai ( LPC ).

• Pemimpin yang Memberi Nilai LPC Rendah

o Dianggap terutama berorientasi pada pekerjaan

o Pemimpin yang Memberi Nilai LPC Tinggi

 Dianggap terutama berorintasi terhadap hubungan.

Teori Kemungkinannya

• Pemimpin mempunyai hubungan yang baik dengan anggota – anggota kelompok, sebagaimana

dapat diukur dari tingkat penerimaan mereka terhadap pemimpin itu.

• Kekuasaan serta kedudukan pemimpin itu sedemikian tingginya sehingga bermenangu untuk

memberi imbalan ( Reward ) atau menghukum anggotanya.

• Tugasnya memiliki struktur yang baik sehingga ada tujuan yang jelas, beberapa cara untuk
menyelesaikan tugas dan kritera yang jelas mengenai keberhasilan.

Teori Behaviorisme

Dalam teori behaviorisme, ingin menganalisa hanya perilaku yang nampak saja, yang dapat

diukur, dilukiskan, dan diramalkan. Teori kaum behavoris lebih dikenal dengan nama teori

belajar, karena seluruh perilaku manusia adalah hasil belajar. Belajar artinya perbahan perilaku

organise sebagai pengaruh lingkungan. Behaviorisme tidak mau memperoalkan apakah manusia

baik atau jelek, rasional atau emosional; behaviorisme hanya ingin mengetahui bagaimana

perilakunya dikendalian oleh faktor-faktor lingkungan. Dalam arti teori belajar yang lebih

menekankan pada tingkah laku manusia. Memandang individu sebagai makhluk reaktif yang

memberirespon terhadap lingkungan. Pengalaman dan pemeliharaan akan membentuk perilaku

mereka. Dari hal ini, timbulah konsep ”manusia mesin” (Homo Mechanicus). Ciri dari teori ini

adalah mengutamakan unsur-unsur dan bagian kecil, bersifat mekanistis, menekankan peranan

lingkungan, mementingkan pembentukan reaksi atau respon, menekankan pentingnya latihan,

mementingkan mekanisme hasil belajar,mementingkan peranan kemampuan dan hasil belajar

yang diperoleh adalah munculnya perilaku yang diinginkan. Pada teori belajar ini sering disebut

S-R psikologis artinya bahwa tingkah laku manusia dikendalikan oleh ganjaran atau reward dan

penguatan atau reinforcement dari lingkungan. Dengan demikian dalam tingkah laku belajar

terdapat jalinan yang erat antara reaksi-reaksi behavioural dengan stimulusnya. Guru yang

menganut pandangan ini berpandapat bahwa tingkahlaku siswa merupakan reaksi terhadap

lingkungan dan tingkahl laku adalah hasil belajar.


Skinner (1904-1990)

Skinner menganggap reward dan rierforcement merupakan factor penting dalan belajar. Skinner

berpendapat bahwa tujuan psikologi adalah meramal mengontrol tingkah laku. Pda teori ini guru

memberi penghargaan hadiah atau nilai tinggi sehingga anak akan lebih rajin. Teori ini juga

disebut dengan operant conditioning. . Operans conditioning adalah suatu proses penguatan

perilaku operans yang dapat mengakibatkan perilaku tersebut dapat diulang kembali atau

menghilang sesuai keinginan.

Behaviorsime memang agak sukar menjelaskan motivasi. Motivasi terjadi dalam diri individu,

sedang kaum behavioris hanya melihat pada peristiwa-peristiwa eksternal. Perasaan dan pikiran

orang tidak menarik mereka. Behaviorisme muncul sebagai reaksi pada psikologi ”mentalistik”.

Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Manusia

Faktor Personal :

1. Faktor Biologis

Faktor biologis terlibat dalam seluruh kegiatan manusia, bahkan berpadu dengan faktor-faktor

sosiopsikologis. Menurut Wilson, perilaku sosial dibimbing oleh aturan-aturan yang sudah

diprogram secara genetis dalam jiwa manusia.

1. Faktor Sosiopsikologis

Kita dapat mengkalsifikasikannya ke dalam tiga komponen.


• Komponen Afektif

merupakan aspek emosional dari faktor sosiopsikologis, didahulukan karena erat kaitannya

dengan pembicaraan sebelumnya.

• Komponen Kognitif

Aspek intelektual yang berkaitan dengan apa yang diketahui manusia.

• Komponen Konatif

Aspek volisional, yang berhubungan dengan kebiasaan dan kemauan bertindak.

Faktor Situsional

Salah satu faktor yang mempengaruhi perilaku manusia adalah faktor situasional. Menurut

pendekatan ini, perilaku manusia dipengaruhi oleh lingkungan/situasi. Faktor-faktor situasional

ini berupa:

• faktor ekologis, misal kondisi alam atau iklim

• faktor rancangan dan arsitektural, misal penataan ruang

• faktor temporal, misal keadaan emosi

• suasana perilaku, misal cara berpakaian dan cara berbicara

• teknologi

o faktor sosial, mencakup sistem peran, struktur sosial dan karakteristik sosial individu

o lingkungan psikososial yaitu persepsi seseorang terhadap lingkungannya

o stimuli yang mendorong dan memperteguh perilaku

Kesimpulan

Dari penjelasan diatas dapat dikatakan bahwa manusia itu unik dan berbeda, dari perbedaan itu

pula yang menyebabkan adanya interaksi social diantara manusia.


Teori – teori diatas juga menunjukkan pada kita bahwa perilaku itu didorong dan diarahkan

ketujuan. Mereka juga menunjukkan pada kita bahwa perilaku yang ingin mencapai tujuan

cenderung untuk menetap.

Terkadang manusia merasa nyaman dengan perbedan tetapi ada juga yang tidak merasa nyaman

dalam perbedaan yang ada dikarenakan lingkungan tempat manusia tersebut.

Bagian 6

BELAJAR TUNTAS
A. Arti Belajar Tuntas (Matery Learning)

Konsep belajar tuntas adalah proses belajar yang bertujuan agar bahan ajaran dikuasai secara

tuntas, artinya cara menguasai materi secara penuh. Belajar tuntas ini merupakan strategi

pembelajaran yang diindividualisasikan dengan menggunakan pendekatan kelompok. Dengan

sistem belajar tuntas diharapkan proses belajar mengajar dapat dilaksanakan agar tujuan

instruksional yang akan dicapai dapat diperoleh secara optimal sehingga proses belajar lebih

efektif dan efisien. Tingkat ketuntasan bermacam-macam dan merupakan persyaratan yang harus

dicapai siswa. Persyaratan penguasaan bahan tersebut berkisar antara 75% sampai dengan 90%.

Bloom (1968) mengidentifikasi adanya lima variabel yang sangat penting dalam program

mastery learning, yaitu: kualitas pembelajaran, kecakapan untuk memahami pelajaran,

ketekunan, waktu, dan kecerdasan. Menurut Bloom (1968) didasarkan atas hasil kajiiannya

menunjukkan bahwa peserta didik yang memiliki kecerdasan yang tinggi dapat mengerjakan

secara baik setiap tugas yang diberikannya, bahkan ia dapat terlibat belajar walaupun untuk

bahan ajar yang sangat komplek, sedangkan peserta didik yang memiliki kecerdasan yang rendah

hanya dapat mempelajari bahan ajar yang sederhana sesuai dengan kemampuannya. Sedangkan

John Carroll (1963) menjelaskan bahwa jika kondisi peserta didik memiliki kecerdasan yang

berdistribusi normal dan mereka memperoleh kualitas pembelajaran dan jumlah waktu belajar

yang sama maka pengukuran hasil belajar akan menunjukan distribusi normal pula. Menurutnya,

bahwa kecerdasaan dan jumlah waktu belajar merupakan persyaratan bagi peserta didik untuk

dapat memperoleh hasil belajar secara tuntas.

Landasan konsep dan teori belajar tuntas ( Mastery Learning Theory ) adalah pandangan tentang

kemampuan siswa yang dikemukakan oleh John B. Carroll pada tahun 1963 berdasarkan

penemuannya yaitu “Model of School Learning” yang kemudian dirubah oleh Benyamin S.
Bloom menjadi model belajar yang lebih operasional. Selanjutnya oleh James H. Block model

tersebut lebih disempurnakan lagi. Sedangkan menurut Carroll bakat atau pembawaan bukanlah

kecerdasan alamiah, melainkan jumlah waktu yang diperlukan oleh siswa untuk menguasai suatu

materi pelajaran tertentu. Benyamin melaksanakan konsep belajar tuntas itu ke dalam kelas

melalui proses belajar mengajar pelaksanaaannya sebagai berikut :

1. Bagi satuan pelajaran disediakan waktu belajar yang tetap dan pasti

2. Tingkat penguasaan materi dirumuskan sebagai tingkat penguasaan tujuan pendidikan yang

essensial.

Untuk lebih menggalakkan konsep belajar tuntas James H. Block mencoba mengurangi waktu

yang diperlukan untuk mempelajari suatu materi pelajaran di dalam waktu yang tersedia, yaitu

dengan cara meningkatkan semaksimal mungkin kualitas pengajaran.

Jadi pelaksanaan oleh James H Block mengandung arti bahwa :

1. Waktu yang sebenarnya digunakan diusakan diperpanjang semaksimal mungkin.

2. Waktu yang tersedia diperpendek sampai semaksimal mungkin dengan cara memberikan

pelayanan yang optimal dan tepat

B. Ciri Belajar Tuntas

a. Siswa dapat belajar dengan baik dalam kondisi pengajaran yang tepat sesuai dengan harapan

pengajar.

b. Bakat seorang siswa dalam bidang pengajaran dapat diramalkan, baik tingkatannya maupun

waktu yang dibutuhkan untuk mempelajari bahan tersebut. Bakat berfungsi sebagai indeks

tingkatan belajar siswa dan sebagai suatu ukuran satuan waktu

c. Tingkat hasil belajar bergantung pada waktu yang digunakan secara nyata oleh siswa untuk
mempelajari sesuatu dibandingkan dengan waktu yang dibutuhkan untuk mempelajarinya.

d. Model Carroll, Tingkat belajar sama dengan ketentuan, kesempatan belajar bakat, kualitas

pengajaran, dan kemampuan memahami pelajaran.

e. Setiap siswa memperoleh kesempatan belajar yang berdiferensiasi dan kualitas pengajaran

yang berdiferensiaisi pula.

C. Prinsip Belajar Tuntas

Para pengembang konseb belajar tuntas mendasarkan pengembangan pengajarannya pada

prinsip-prinsip sebagai berikut:

a. Sebagian besar siswa dalam situasi dan kondisi belajar yang normal dapat menguasai sebagian

terbesar bahan yang diajarkan. Tugas guru untuk merancang pengajarannya sedemikian rupa

sehingga sebagian besar siswa dapat menguasai hampir seluruh bahan ajaran

b. Guru menyusun strategi pengajaran tuntan mulai dengan merumuskan tujuan-tujuan khusus

yang hendak dikuasai oleh siswa.

c. Sesuai dengan tujuan-tujuan khusus tersebut guru merinci bahan ajar menjadi satuan-satuan

bahan ajaran yang kecil yang medukung pencapaian sekelompok tujuan tersebut.

d. Selain disediakan bahan ajaran untuk kegiatan belajar utama, juga disusun bahan ajaran untuk

kegiatan perbaikan dan pengayaan. Konsep belajar tuntas sangat menekankan pentingnya

peranan umpan balik.

e. Penilaian hasil belajar tidak menggunakan acuan norma, tetapi menggunakan acuan patokan.

f. Konsep belajar tuntas juga memperhatikan adanya perbedaan-perbedaan individual. Prinsip ini

direalisasikan dengan memberikan keleluasaan waktu, yaitu siswa yang pandai atau cepat belajar

bisa maju lebih dahulu pada satuan pelajaran berikutnya, sedang siswa yang lambat dapat

menggunakan waktu lebih banyak atau lama sampai menguasai secara tuntas bahan yang
diberikan.

D. Pelakansanaan Belajar Tuntas

Dalam pelaksanaan konsep belajar tuntas apabila kelas itu belum biasa mengguanaakan strategi

belajara tuntas, maka guru terlebih dahulu memperkenalkan prosedur belajar tuntas kepada siswa

dengan maksud memberikan motivasi, menumbuhkan kepercayaan diri, dan memberikan

petunjuk awal.

Pelaksanaan belajar tuntas terdiri atas langkah-langkah sebagai berikut:

Kegiatan orientasi Kegiatan ini megorientasikan setiap siswa terhadap belajar tunta yang

berkenaan terhadpa orientasi tentang apa yang akan dipelajari oleh siswa dalam jangka waktu

satu semester dan cara belajar yang harus dilakukan oleh siswa. Guru menjelaskan keseluruhan

bahan yang telah dirancang, lalu melanjutkan dengan pra test. Kegiatan belajar mengajar? Guru

mengenalkan TIK pada satuan pelajaran yang akan dipelajari dengan cara: Memperkenalkan

tabel spesifikasi tentang arati dan car mempergunakannya untuk kepentingan belajar.

Mengajukan pertanyaan yang menonjolkan isi bahan yang disajikan. Mengajukan topik

umum/konsep umum yang akan dipelajari.

Penyajian rencana kegiatan belajar berdasarkan standar kelompok. Tujuannya adalah

menjelaskan apa yang akan dilakuakan siswa dalam kegoiatan kelompok.

penyajian pelajaran dalam situasi kelompok berdasarkan satuan pelajaran. Guru menyampaikan

pelajaran sambil memberi peringatan secara periodik untuk menarik perhatian siswa.?

Mengidentifikasikan kemajuan belajar siswa yang telah memuaskan dan yang belum. Tes

dilakukan setelah satu satuan pelajaran selesai diajarkan. Menetapkan siswa yang hasil

pelajarannya telah memuaskan. Mereka diminta untuk membantu temen-temannya sebagai tutor

atau diberi tugas pengayaan bahan baginya sendiri.Memberikan kegiatan kolektif kepada siswa
ang hasil belajarnya belum memuaskan. Menetapkan siswa yang hasil belajaranya memuaskan.

Penentuan tingkat penguasaan bahanSetelah satuan pengajaran selesai diberikan, diadakan tes

sumatif, dan diperiksa oleh temannya sendiri berdasarkan petunjuk guru. Mereka sendiri yang

menentukan tingkat penguasaan bahan berdasarkan kriteria penguasaan yang telah ditetapkan

sebelumnya. Memberikan atau melaporkan tingkat penguasaan setiap siswa yang bertujuan

untuk mengetahui tingkat pengayaan mereka, bahan yang sudah dikuasai ditandai dengan M

(mastery) dan yang belum dikuasai ditandai dengan NM (non mastery)? Pengecekan keefektifan

seluruh programKeefektifan strategi belajar tuntas ditandai dengan hasil yang dicapai siswa,

yakni persen siswa yang mampu tingkat mastery (standar A). Ada dua cara untuk menetukannya

yang dapat dilakukan oleh guru:

• Membandingkan hasil yag dicapaioleh kelas yang menggunakan strategi belajar tuntas dengan

kelas yang menggunakan strategi lain.

• Membuat hipotesis tentang hasil belajar, lalu dibuktikan berdasar hasil belajar kelas

(membandingkan tes awal dan tes akhir).

E. Keunggulan dan Kelemahan Belajar Tuntas

Keunggulan belajar tuntas

Strategi belajar tuntas memiliki beberapa keunggulan sebagai berikut:

1. Memungkinkan siswa belajar lebih aktif, karena memberikan kesempatan mengembangakn

diri, dan memecahkan masalah sendiri dengan menemukan dan bekerja sendiri.

2. Sesuai dengan psikologi belajra modern yang berpegang pada prinsip perbedaan individual

dan belajar kelompok.

3. Berorientasi pada peningkatan produktivitas hasil belajar, yakni menguasai bahan ajar secara

tuntas.
4. Guru dan siswa bekerjasama secara partisipatif dan persuasif.

5. Penilaian yang dilakukan mengandung nilai obyektifitas yang tinggi karena penilaian

dilakukan oleh guru, teman dan diri sendiri.

6. Strategi ini tidak mengenal kegagalan siswa, karena siswa yang kurang mampu dibantu oleh

guru dan temannya.

7. Berdasarkan perencanaan yang sistematik.

8. Menyediakan waktu berdasarkan kebutuhan masing-masing iindividu.

9. Berusaha menutupi kelemahan-kelemahan strategi belajr yang lain

10. Mengaktifkan para guru sebagai regu yang harus bekerjasama secara efektif sehingga proses

belajar mengajar dapat dilaksanakan secara optimal.

Kelemahan belajar tuntas:

1. Sulit dalam pelaksanaan karena melibatkan berbagai kegiatan.

2. Guru-guru masih kesulitan membuat perencanaan karena dibuat dalam satu semester.

3. Guru-guru yang sudah terlanjur menggunakan teknik lama sulit beradaptasi

4. Memerlukan berbagai fasilitas, dan dana yang cukup besar.

5. Menuntut para guru untuk lebih menguasai materi lebih luas lagi dari standar yang ditetapkan.

6. Diberlakukannya sistem ujian (EBTA atau EBTANAS) yang menuntut penyelenggaraan

program bidang studi pada waktu yang telah ditetapkan dan usaha persiapan siswa untuk

menempuh ujian.

F. Variabel Mastery Learning

Bakat siswa (aptitude) : Hasil penelitian menunjukan bahwa ada korelasi yang cukup tinggi
antara bakat dengan hasil pelajaran

Ketekunan belajar (perseverance) : Ketekunan erat kaitannya dengan dorongan yang timbul

dalam diri siswa untuk belajar dan mengolah informasi secara efektif dan efisien serta

pengembangan minat dan sikap yang diwujudkan dalam setiap langkah instruksional.

Kualitas pembelajaran (quality of instruction) : Kualitas pembelajaran merupakan keadaan yang

mendorong siswa untuk aktif belajar belajar dan mempertahankan kondisinya agar tetap dalam

keadaan siap menerima pelajaran.Kualitas pembelajaran ditentukan oleh kualitas penyajian,

penjelasan, dan pemanfaatan media pembelajran. Dan unsur-unsur tugas belajar. Kesempatan

waktu yang tersedia (time allowed for learning) : Penyediaan waktu yang cukup untuk belajar

dalam rangka mencapai tujuan instruksional yang ditetapkan dalam suatu mata pelajaran, bidang

studi atu pokok bahasan yang berbeda-beda sesuai dengan bobot bahan pelajaran dan tujuan

yang ditetapkan.

G. Prinsip-prinsip Utama Belajar Tuntas

1. Kompetensi yang harus dicapai peserta didik dirumuskan dengan urutan yang hirarkis

2. Evaluasi yang digunakan adalah penilaian acuan patokan, dan setiap kompetensi harus

diberikan feedback,

3. Pemberian pembelajaran remedial serta bimbingan yang diperlukan,

4. Pemberian program pengayaan bagi peserta didik yang mencapai ketuntasan

belajar lebih awal. (Gentile & Lalley: 2003)


Bagian 7

PEMBELAJARAN PROSES

A. PENDAHULUAN

Kurikulum yang digunakan sekarang ini yang berorientasi pada materi dan tujuan nampaknya

sudah tidak sesuai lagi. Perlu ditambahkan suatu pemikiran yang berbeda, yaitu bagaimana

memproses hasil belajar berupa konsep dan fakta yang diperoleh oleh pembelajar untuk

mengembangkan dirinya, untuk menemukan sesuatu yang baru. Dengan fakta dan konsep yang

yang tidak banyak, tapi dipahami betul, dapat diproses untuk menguasai dan/atau menemukan

fakta dan konsep yang lebih banyak. Namun pemberian konsep dan fakta yang terlalu banyak

justru dapat menghambat kreatifitas siswa..

Dalam suatu proses pembelajaran, guru hendaknya menjadi seorang evaluator yang baik karena

proses belajar mengajar dan hasil belajar siswa sebagian besar dientukan oleh peran dan

kompetensi guru. Kegiatan ini dimaksudkan untuk mengetahui apakah tujuan yang telah

dirumuskan itu tercapai atau belum, dan apakah materi yang diajarkan sudah cukup tepat. Semua

pertanyaan tersebut akan dapat dijawab melalui kegiatan evaluasi atau penilaian. Dengan

penlaian, guru dapat mengetahui keberhasilan pencapaian tujuan, penguasaan siswa terhadap
pelajaran, serta ketepatan atau keefektifan metode mengajar. Tujuan lain dari penilaian

diantaranya adalah untuk mengetahui kedudukan siswa, di dalam kelas ataupun kelompoknya.

Dengan penilaian, guru dapat mengklasifikasikan apakah seorang siswa termasuk siswa yang

pandai, sedang kurang, atau cukup baik di kelasnya jika dibandingkan dengan teman-temannya.

Penelaahan pencapaian tujuan pembelajaran yang dilakukan oleh guru dapat diketahui, apakah

proses belajar mengajar yang dilakukan cukup efektif memberikan hasil yang baik dan

memuaskan, atau sebaliknya.

Jadi, jelas bahwa guru hendaknya mampu dan terampil melaksanakan penilaian, karena dengan

penilaian guru dapat mengetahui prestasi yang dicapai oleh siswa setelah ia melaksanakan proses

belajar. Salah satu penilaian yang dapat dilakukan oleh guru dalam pelaksanaan proses belajar

mengajar adalah penilaian keterampilan proses atau pendekatan ketrampilan proses. Dalam

fungsinya sebagai penilaian hasil belajar siswa, guru hendaknya terus menerus mengikuti hasil

belajar yang telah dicapai oleh siswa dari waktu ke waktu. Informasi yang diperoleh melalui

evaluasi ini merupakan umpan balik (feedback) terhadap proses belajar mengajar. Umpan balik

ini akan dijadikan titik tolak untuk memperbaiki dan meningkatkan proses belajar mengajar

selanjutnya. Dengan demikian, proses belajar mengajar akan terus menerus ditingakatkan untuk

memperoleh hasil yang optimal.

B. PEMAHAMAN PENDEKATAN KETERAMPILAN PROSES

Keterampilan proses adalah keterampilan yang diperoleh dari latihan kemampuan-kemampuan

mental, fisik,dan social yang mendasar sebagai penggerak kemampuan-kemampuan yang lebih

tinggi. Kemampuan-kemampuan mendasar yang telah dikembangkan dan telah terlatih lama-

kelamaan akan menjadi suatu keterampilan, sedangkan pendekatan keterampilan proses adalah
cara memandang anak didik sebagai manusia seutuhnya. Cara memandang ini dijabarkan dalam

kegiatan belajar mengajar memperhatikan pengembangan pengetahuan, sikap, nilai, serta

keterampilan. Ketiga unsure itu menyatu dalam satu individu dan terampil dalam bentuk

kreatifitas.

Pendekatan pembelajaran proses adalah pendekatan pembelajaranyang menekankan pada

kegiatan ketrampilan proses yang digunakan untukmengungkap dan menemukan fakta dan

konsep serta menumbuhkan sikap dan nilaiyang dilakukan oleh murid dalam proses

pembelajaran.

Jadi, pendekatan keterampilan proses menekankan pada bagaimana siswa belajar, bagaimana

mengelola perolehannya, sehingga dipahami dan dapat dipakai sebagai bekal untuk memenuhi

kebutuhan dalam kehidupannya di masyarakat.

C. TUJUAN KETRAMPILAN PROSES

Tujuan pembelajaran proses adalah untuk meningkatkan keterampilan berpikir siswa, sehingga

siswa bukan hanya mampu dan terampil dalam bidang psikomotorik, melainkan juga bukan

sekedar ahli menghafal. Berdasarkan penjelasan di atas, pada keterampilan proses, guru tidak

mengharapkan setiap siswa akan menjadi ilmuwan, melainkan dapat mengemukakan ide bahwa

memahami sains sebagian bergantung pada kemampuan memandang dan bergaul dengan alam

menurut cara-cara seperti yang diperbuat oleh ilmuwan.

Selain itu, melalui proses belajar mengajar dengan pendekatan keterampilan proses dilakukan

dengan keyakinan bahwa sains adalah alat yang potensial untuk membantu mengembangkan

kepribadian siswa, di mana kepribadian siswa yang berkembang ini merupakan prasyarat untuk

melanjutkan ke jalur profesi apapun yang diminatinya.

D. RASIONAL KETRRAMPILAN PROSES


Pendekatan pembelajaran proses karena dengan pendekatan pembelajaran proses diharapkan

siswa dapat mengalami sendiri tentang materi yang disampaikan dengan berinteraksi langsung

dengan obyek nyata atau sebenarnya sehingga siswa dapat membuat kesimpulan sendiri. Conny

Setiawan mengemukakan empat alasan mengapa pendekatan keterampilan proses harus

diwujudkan dalam proses belajar dan pembelajaran, yaitu:

1. Dengan kemajuan yang sangat pesat dalam ilmu pengetahuan dan teknologi, guru tidak

mungkin lagi mengajarkan semua fakta dan konsep dari sekian mata pelajaran, karena waktunya

tidak akan cukup.

2. Siswa-siswa, khususnya dalam usia perkembangan anak, secara psikologis lebih mudah

memahami konsep,apalagi yang sulit, bila disertai dengan contoh-contoh kongkrit, dialami

sendiri, sesuai dengan lingkungan yang dihadapi. J. Piaget mengatakan bahwa intisari

pengetahuan adalah kegiatan atau aktivitas, baik fisik maupun mental.

3. Ilmu pengetahuan boleh dikatakan bersifat relative, artinya, suatu kebenaran teori pada suatu

saat berikutnya bukan kebenaran lagi, tidak sesuai lagi dengan situasi. Suatu teori bias gugur bila

ditemukan teori-teori yang lebih baru dan lebih jitu. Jadi, suatu teori masih dapat dipertanyakan

dan diperbaiki. Oleh karena I tu, perlu orang-orang yang kritis, mempunyai sikap ilmiah. Wajar

kiranya kalau anak-anak atau siswa sejak dini sudah ditanamkan dalam dirinya sikap ilmiah dan

sikap kritis ini. Dengan menggunakan keterampilan proses, maksud tersebut untuk saat ini pantas

diterima.

4. Proses belajar dan pembelajaran bertujuan membentuk manusia yang utuh artinya cerdas,

terampil dan memiliki sikap dan nilai yang diharapkan. Jadi, pengembangan pengetahuan dan

sikap harus menyatu. Dengan keterampilan memproses ilmu, diharapkan berlanjut kepemilikan

sikap dan mental.


E. KEMAMPUAN DASAR DALAM KETRAMPILAN PROSES

Ilmuwan-ilmuwan yang menemukan suatu yang baru, menurut pengamatan, tidak menguasai

semua konsep dan fakta dalam suatu bidang ilmu, namun mereka mempunyai kemampuan dasar

untuk mengembangkan konsep dan fakta yang terbatas itu, sehingga mereka mampu

menciptakan dan menemukan sesuatu yang baru.

Kemampuan-kemampuan dasar yang dimaksud antara lain mengobservasi, menghitung,

mengukur, mengklasifikasi, mencari hubungan ruang waktu, membuat hipotesis, merencanakan

penelitian atau eksperimen, mengendalikan verbal, menafsirkan data, membuat kesimpulan

sementara, meramalkan, menerapkan, mengkomunikasikan(Conny Setiawan, 1987:17-18).

Senada dengan kemampuan dasar yang diajukan di atas, Sriyono membuat suatu daftar

keterampilan proses yang diikuti oleh indicator-indikator.

Ketrampilan Proses INDIKATOR

1. Mengajukan pertanyaan Bertanya mengapa, apa, dan bagaimana Bertanya untuk meminta

penjelasan

2. Bertanya yang berlatar belakang hipotesis

3. Mengamati Menemukan fakta yang relevan dan memadaI

4. Menggunakan sebanyak mungkin indrA

5. Menafsirkan/pengamatan

6. Mencatat setiap pengamatan secara terpisah

7. Menghubungkan pengamatan-pengamatan yang terpisah

8. Menemukan suatu pola dalam satu seri pengamatan


9. Meramalkan dengan menggunakan pola-pola (hubungan-hubungan) mengemukakan apa yang

mungkin terjadi pada keadaan yang belum diamat

10. Mengatur alat/bahan.

11. Menggunakan alat dan bahan untuk memperoleh pengalaman langsung.

12. Merencanakan penelitian 1 Menentukan alat, bahan, dan sumber yang akan dipakai untuk

digunakan dalam penelitian.

13. Menentukan variable-variabel

14. Menentukan variable yang harus dibuat tetap sama, dan mana yang berubah

15. Menentukan apa yang harus diamati, diukur, dan ditulis.

16. Menentukan cara dan langkah-langkah kerja

17. Menentukan bagaimana mengolah pengamatan

18. Menerapkan Konsep,

19. Menggunakan konsep-konsep yang telah dipelajari dalamsuatu situasi baru

20. Menerapkan konsep pada pengalaman baru untuk menjelaskan apa yang sedang terjadi

21. Berkomunakasi

22. Menyusun dan menyampaikan laporan secara sistematis

23. Menjelaskan hasil penelitian

24. Mendiskusikan hasil penelitian

25. Menggambarkan data dengan grafik, table, atau diagram

Berikut ini akan diuraikan mengenai pengertian dari setiap kemampuan atau keterampilan

beserta kata kerja operasional dari masing-masing kemampuan atau keterampilan tersebut.

1. Mengamati

Yaitu keterampilan mengumpulkan data atau informasi melalui penerapan dengan panca indera.
Kata kerja operasional : melihat, mendengar, merasa, meraba, membau, mencicipi, mengecap,

menyimak, mengukur, membaca

2. Menggolongkan ( mengklasifikasikan )

Yaitu keterampilan menggolongkan benda, kenyataan, konsep, nilai, atau kepentingan tertentu.

Untuk membuat penggolongan, perlu ditinjau persamaan dan perbedaan antara benda, kenyataan,

atau konsep yang akan digolongkn sebagai dasar penggolongan.

Kata kerja operasional : mencari persamaan, menyamakan, membedakan, membandingkan,

mengontraskan, mencari dasar penggolongan.

3. Menafsirkan ( menginterpretasikan )

Yaitu keterampilan proses menafsiran sesuatu berupa benda, kenyataan, peristiwa, konsep, atau

informasi yang telah dikumpulkan melalui pengamatan, perhitungan, penelitian, atau eksperimen

yang telah kita lakukan.

Kata kerja operasional : menafsir, memberi arti, mengartikan, memposisikan, mencari hubungan

ruang waktu, menentukan pola, menarik kesimpulan, menggeneralisasikan.

4. Meramalkan ( memprediksi )

Yaitu mengantisipasi atau menyimpulkan suatu hal yang akan terjadi pada waktu yang akan

datang berdasarkan perkiraan atas kecenderungan atau pola tertentu atau hubungan antar data

atau informasi yang ada.

Kata kerja operasional : mengantisipasi berdasarkan kecenderungan, pola atau hubungan antar

data atau informasi.

5. Menerapkan

Yaitu menggunakan hasil belajar berupa informasi, kesimpulan, konsep, hokum, teori,

keterampilan. Melalui penerapan, hasil belajar dapat dimanfaatkan, diperkuat, dikembangkan,


atau dihayati.

Kata kerja operasional : menggunakan ( informasi, kesimpulan, konsep, hokum, teori, sikap,

nilai, atau keterampilan dalam situasi ), menghitung, menentukan variable, mengendalikan

variable, menghubungkan konsep, merumuskan konsep, pertanyaan penelitian, menyusun

hipotesis, membuat modul.

6. Merencanakan penelitian

Yaitu keterampilan yang amat penting karena menentuken berhasil tidaknya penelitian.

Keterampilan ini perlu dilatih, karena selama ini pada umumnya kurang diperhatikan dan kurang

terbina. Pada tahap ini ditentukan masalah atau objek yang akan diteliti, tujuan, dan ruang

lingkup penelitian, sumber dat atau informasi, cara analisis, alat dan bahan atau sumber

kepustakaan yang diperlukan. Jumlah orang yang terlibat, langkah-langkah pengumpulan dan

pengolahan data atau informasi, serta tata cara melakukan penelitian.

Kata kerja operasional : menentukan massalah atau objek yang akan diteliti, menentukan tujuan

penelitian, menentukan ruang lingkup penelitian, menentukan sumber data, menentukan alat,

bahan, dan sumber kepustakaan, menentukan cara penelitian.

7. Mengkomunikasikan

Yaitu menyampaikan perolehan atau hasil belajar kepada orang lain dalam bentuk tulisan,

gambar, gerak, tindakan, atau penampilan.

Kata kerja operasonal : berdiskusi, mendeklamasikan, mendramakan, bertanya, merenungkan,

meragakan, mengungkapkan, melaporkan ( dalam bentuk lisan, tulisan, gerak atau penampilan ).

Keterampilan proses memerlukan latihan atau penggunaan secara terus menerus agar dapat

dimiliki oleh siswa. Perkembangannya berlangsung sedikit demi sedikit dan memerlukan waktu
lama. Oleh karana itu, penelitian kemampuan keterampilan proses tidak perlu dilakukan pada

tiap pembelajaran, tetapi bias sekali atau dua kali dalam satu semester untuk melihat

perkembangannya.

F. PENILAIN KETRAMPILAN PROSES

Penilaian merupakan suatu usaha untuk memperoleh informasi tentang perolehan hasil belajar

yang telah dilakukan oleh siswa secara keseluruhan, baik dalam bidang pengetahuan, konsep,

sikap, nilai maupun keterampilan proses. Hal ini dapat digunakan oleh guru sebagai tolak ukur

maupun pengambilan keputusan yang sangat diperlukan dalam menentukan strategi belajar.

Untuk maksud tersebut, guru perlu mengadakan penilaian, baik terhadap proses maupun

terhadap hasil belajar siswa. Penilaian proses ( Usman, 1999 ) dapat diartikan penilaian terhadap

proses belajar yang sedang berlangsung, yang dilakukan oleh guru dengan memberikan umpan

balik secara langsung kepada seorang siswa atau kelompok siswa. Dalam melatih keterampilan

proses sekaligus dikembangkan sikap-sikap yang dikehendaki seperti kreatif, kerjasama,

bertanggung jawab, dan berdisiplin sesuai dengan penekanan bidang studi yang bersangkutan.

Untuk menilai keterampilan proses dapat digunakan cara non tes dengan menggunakan lembar

pengamatan. Agar tidak memberatkan guru, pelaksanaanya dapat dilakukan secara bertahap lima

orang siswa, begitu seterusnya sampai seluruh siswa mendapat giliran. Hal ini dilakukan oleh

guru pada waktu siswa sedang belajar.

Dalam menentukan atau membuat lembar pengamatan, perlu memperhatikan hal-hal berikut.

1. Menentukan keterampilan yang akan diamati

2. Membuat criteria penilaian untuk masing masing keterampilan.


Penilaian terhadap keterampilan proses dapat pula dilakukan dengan tes tertulis, namun tidak

menjangkau semua kemampuan, karena menggunakan indera pendengaran dan perabaan tidak

mungkin diliai dengan tes tertulis. Di samping itu, penilaian keterampilan proses dapat dilakukan

dengan tes perbuatan, tetapi dalam hal ini diperlukan lembar pengamatan yang lebih rinci untuk

menilai tingkah laku yang diharapkan.

C. PENUTUP

Jadi pendekatan keterampilan proses merupakan pendekatan belajar mengajar yang mengarah

kepada pengembangan kemampuan kemampuan mental, fisik, dan social yang mendasar sebagai

penggerak kemampuan yang lebih tinggi dalam diri individu siswa.Yang sebelumnya harus telah

memiliki kemampuan-kemampuan dasar.Kemampuan-kemampuan dasar yang perlu dimiliki

oleh siswa diantaranya adalah mengamati, menggolongkan, menafsirkan, meramalkan

menerapkan, merencanakan penelitian, dan mengkomunikasikan.

Dan proses yang tidak kalah pentingnya dalam pendekatan proses adalah penilaian.Dengan

melakukan penilaian, guru dapat mengetahui keberhasilan pencapaian tujuan dalam proses

pembelajaran yang kemudian dapat digunakan sebagai tolak ukur. Peran guru dalam pelaksanaan

penilaian keterampilan proses adalah selaku pengamat yang menentukan penilaian selama proses

pembelajaran berlangsung ( untuk alat ukur non tes ) baik siswa perindividu maupun untuk

seluruh siswa dalam satu kelas. Guru dapat melakukan penilaian keterampilan proses sebanyak

dua atau tiga kali dalam satu semester.


Bagian 8

TEORI BELAJAR AKTIF DALAM PEMBELAJARAN PAK

A. Pendahuluan

Pembelajaran dapat diartikan sebagai kegiatan dimana guru (pengajar) dan murid (pembelajar)

berinteraksi, membicarakan suatu bahan atau melakukan suatu aktivitas, guna mencapai tujuan

yang dikehendaki. Dr Oemar Hamalik mengartikan pembelajaran sebagai “suatu kombinasi yang

tersusun, meliputi unsur-unsur manusiawi, material, fasilitas, perlengkapan, dan prosedur, yang

saling mempengaruhi untuk mencapai tujuan pembelajaran”. Juga dikemukakan bahwa

pembelajaran merupakan “upaya mengorganisasi lingkungan untuk menciptakan kondisi belajar


bagi peserta didik”.

Dalam kesempatan ini diperbincangkan sebuah teori pembelajaran aktif dari Dave Meier.

B. Tentang belajar aktif

Belajar aktif itu apa? Apakah ada kegiatan belajar tidak aktif atau pasif? Sebenarnya semua

kegiatan belajar merupakan kegiatan aktif. Tetapi mungkin saja di kelas seringkali ketika

mengajar, guru hanya berbicara, bercerita, dan muridnya mendengar dan mencatat. Komunikasi

satu arah yang terjadi. Guru PAK seringkali bahkan bertindak seperti pengkotbah yang

menyampaikan firman Tuhan di jemaat pada ibadah hari minggu. Pendeta atau pengkotbath

membacakan firman Tuhan lalu menguraikannya kepada jemaat. Jemaat dalam kondisi itu hanya

sebagai penerima, yang merenung dan mencermati serta mengolah pesan yang didengar bagi

dirinya sendiri. Tidak terlihat apa yang terjadi dalam diri warga jemaat itu. Tetapi kegiatan itu

pun masih dapat dikatakan aktif, setidaknya dalam diri warga jemaat itu sendiri! Kecuali bila

anggota jemaat tertidur. Sebab tidak sedikit juga kegiatan kotbah yang justru membuat jemaat

pulas tertidur.

Kegiatan belajar PAK di sekolah harusnya tidak demikian. Tidak membuat murid tertidur.

Seharusnya kegiatan itu membuat siswa aktif, seperti: mendengar dan berbicara, melihat dan

membaca, bahkan melakukan peragaan atau melakukan suatu aktifitas. Diantara guru dan murid

terjadi komunikasi multi arah. Prof. Mohamad Surya mengemukakan pengajaran akan bersifat

efektif jika:

(1) berpusat kepada siswa yang aktif, bukan hanya guru;

(2) terjadi interaksi edukatif diantara guru dengan murid;

(3) berkembang suasana demokratis;

(4) metode mengajar bervariasi;


(5) gurunya profesional;

(6) apa yang dipelajari bermakna bagi siswa;

(7) lingkungan belajar kondusif serta

(8) sarana dan prasarana belajar sangat menunjang

Sekarang, pertanyaannya ialah: Kegiatan apa sajakah yang termasuk ke dalam pembelajaran

secara aktif? Mengutip gagasan Paul D. Dierich, Dr Oemar Hamalik mengemukakan delapan

kelompok perbuatan belajar aktif.

1 – Kegiatan-kegiatan visual: membaca, melihat gambar-gambar, mengamati eksperimen,

demonstrasi, pameran, mengamati orang lain bekerja, atau bermain.

2 – Kegiatan-kegiatan lisan (oral): mengemukakan suatu fakta atau prinsip, menghubungkan

suatu kejadian, mengajukan pertanyaan, memberi saran, mengemukakan pendapat,

berwawancara, diskusi.

3 – Kegiatan-kegiatan mendengarkan: mendengarkan penyajian bahan, mendengarkan

percakapan atau diskusi kelompok, mendengarkan suatu permainan instrumen musik,

mendengarkan siaran radio.

4 – Kegiatan-kegiatan menulis: menulis cerita, menulis laporan, memeriksa karangan, bahan-

bahan kopi, membuat sketsa, atau rangkuman, mengerjakan tes, mengisi angket.

5 – Kegiatan-kegiatan menggambar: menggambar, membuat grafik, diagram, peta, pola.

6 – Kegiatan-kegiatan metrik: melakukan percobaan, memilih alat-alat, melaksanakan pameran,

membuat model, menyelenggarakan permainan (simulasi), menari, berkebun.

7 – Kegiatan-kegiatan mental: merenungkan, mengingat, memecahkan masalah, menganalisis

faktor-faktor, menemukan hubungan-hubungan, membuat keputusan.

8 – Kegiatan-kegiatan emosional: minat, membedakan, berani, tenang dan sebagainya.


(Hamalik, 1995:90)

C. Mengapa harus kegiatan belajar aktif?

Bahwa guru PAK harus berusaha mengelola kegiatan belajar aktif bersama muridnya ialah

pertama, karena hakekat manusia sebagai pribadi yang dinamis. Alkitab mengemukakan bahwa

Tuhan Allah menciptakan manusia sebagai pribadi multidimensi, memiliki roh, hati/jiwa

(pikiran, perasaan/emosi, dan kehendak/kemauan), serta fisik (pancaindera) (bd. Kej 2:7; Ibr

4:12; 1 Tes 5:23). Ketika anak didik berkumpul di kelas, berarti guru harus melayaninya dalam

kegiatan belajar dengan mengaktifkan pontesi dirinya – pancainderanya, pikiran, perasaan,

kemauan bahkan rohnya. Para murid juga harus mengalami kegiatan belajar itu sebagai

kelompok (komunitas) umat beriman kepada Tuhan Yesus Kristus. Dimana dua, tiga orang

berkumpul, di situ kehadiran Allah sangat nyata (bd Mat 18:19-20). Sikap kesatuan dan

persatuan harus ditingkatkan, supaya kegiatan kebersamaan itu bermakna.

Landasan kedua, Tuhan Yesus sendiri sebagai Guru Agung, mengajari dan melatih murid-murid-

Nya dengan kegiatan aktif. Ada banyak kegiatan yang dilakukan Yesus termasuk: memberikan

kotbah atau ceramah, mengemukakan perumpamaan, melakukan perbuatan kasih, menyatakan

perbuatan kuasa dan mujizat, mengutus murid melakukan tugas tertentu, mendengarkan dan

menjawab pertanyaan, bermain-main dengan anak kecil dan memberkati mereka, berdialog

dengan tokoh-tokoh agama Yahudi. Yesus mengajar murid-Nya tidak hanya pada satu lokasi

seperti di sebuah rumah saja. Ia mengajari mereka ketika di danau, di perahu, di perjalanan, di

bukit, di Bait Allah dan di sinagog, atau di tempat orang menderita (kusta, dirasuk setan Gerasa),

termasuk di taman Getsemane, di pengadilan Pilatus dan di Golgota. Dia mengajar di malam

hari, di pagi, di siang dan sore hari. Dia mengajar secara individual juga secara kelompok kecil,

kelompok sedang (tujuhpuluh murid) dan masa besar (4000 dan 5000 orang). Jika demikian,
kalau guru PAK ingin membimbing murid lebih mengenal siapa Yesus Kristus, agar menjadi

murid-Nya (bd Mat 28:19-20), maka keteladanan-Nya dalam mengajar harus terus menerus kita

renungkan berdasarkan informasi keempat Injil!

Landasan ketiga ialah sifat remaja yang kita layani, sebagai pribadi-pribadi yang bertumbuh dan

berubah dalam segi fisik, kognitif, emosional dan sosial. Siswa remaja di tingkat SLTP yang

berusia sekitar 13/14-15/16 tahun, menginginkan kegiatan aktif secara fisik, belajar dengan

gerakan tubuh atau melakukan sesuatu. Mereka menyukai kegiatan yang ceria dan

menyenangkan (fun activities). Karena tengah berkembang dalam segi pola pikir dan

pemahaman, remaja menginginkan diskusi, tanya jawab, dialog dengan guru atau diantara

sesama rekannya. Didorong oleh rasa ingin tahu (curiosity), remaja biasanya ingin mencari

jawaban atas masalahnya sendiri, melalui penyelidikannya. Kegiatan belajar aktif melalui

penyelidikan sendiri atau bersama rekan-rekan, cocok bagi mereka. Karena sifat mereka yang

labil secara emosional, remaja membutuhkan variasi kegiatan belajar, termasuk suasana

keakraban dan persahabatan. Seturut dengan perkembangan sosialnya, siswa SLTP

membutuhkan kegiatan kebersamaan dengan rekan-rekannya. Remaja cenderung lebih banyak

menerima masukan dari teman sebayanya.

Akhirnya, pandangan ahli-ahli pendidikan yang dikembangkan berdasarkan ilmu-ilmu sosial

juga patut kita dengarkan. Oemar Hamalik misalnya, mengemukakan ada sejumlah manfaat atau

kegunaan dari kegiatan pembelajaran aktif, antara lain:

1 – Siswa mencari pengalaman sendiri dan langsung mengalami sendiri.

2 – Berbuat sendiri akan mengembangkan seluruh aspek kepribadian siswa.

3 – Memupuk kerjasama yang harmonis di kalangan para siswa yang pada gilirannya dapat

memperlancar kerja kelompok.


4 – Siswa belajar dan bekerja berdasarkan minat dan kemampuan sendiri, sehingga sangat

bermanfaat dalam rangka pelayanan perbedaan individual.

5 – Memupuk disiplin belajar dan suasana belajar yang demokratis dan kekeluargaan,

musyawarah dan mufakat.

6 – Membina dan memupuku kerjasama antara sekolah dan masyarakat, dan hubungan antara

guru dan orangtua siswa, yang bermanfaat dalam pendidikan siswa.

7 – Pembelajaran dan belajar dilaksanakan secara realistik dan konkrit, sehingga

mengembangkan pemahaman dan berpikir kritis serta menghindarkan terjadinya verbalisme.

8 – Pembelajaran dan kegiatan belajar menjadi hidup sebagaimana halnya kehidupan dalam

masyarakat yang penuh dinamika. (1995: 91).

D. Pembelajaranr Aktif kreatif dan menyenangkan (Pakem).

Pembelajaran dapat diartikan sebagai kegiatan dimana guru (pengajar) dan murid (pembelajar)

berinteraksi, membicarakan suatu bahan atau melakukan

1. J.M.Price, Yesus Guru Agung, lembaga Literatus Baoptis, Bandung hlm, 94

suatu aktivitas, guna mencapai tujuan yang dikehendaki. Dr Oemar Hamalik mengartikan

pembelajaran sebagai “suatu kombinasi yang tersusun, meliputi unsur-unsur manusiawi,

material, fasilitas, perlengkapan, dan prosedur, yang saling mempengaruhi untuk mencapai

tujuan pembelajaran”. Juga dikemukakan bahwa pembelajaran merupakan “upaya

mengorganisasi lingkungan untuk menciptakan kondisi belajar bagi peserta didik”.

Salah satu unsur penting bagi guru PAK untuk meningkatkan kualitas dan kompetensi

pembelajaran yang direncanakan dan dikelolanya ialah pemahaman tentang konsep atau teori
belajar. Kalau guru memahami bagaimana individu dapat belajar secara lebih efektif, maka ia

dapat membantu peserta didiknya mengalami kegiatan belajar dengan hasil optimal. Kalau guru

hanya menguasai bahan pengajarannya namun kurang mengerti cara efektif anak didik belajar,

maka hasil kegiatan yang dikelolanya tentu bisa kurang memuaskan. Untuk tujuan itu, guru perlu

terus belajar dari berbagai teori belajar, dan meninjau secara kritis dan konstruktif manfaatnya

dalam pembelajaran PAK.

Kegiatan belajar PAK di sekolah harusnya dalam suasana kelas yang aktif, kreatif dan

menyengkan (Pakem) sehingga tidak membuat murid tertidur. Seharusnya kegiatan itu membuat

siswa aktif, seperti: mendengar dan berbicara, melihat dan membaca, bahkan melakukan

peragaan atau melakukan suatu aktifitas. Diantara guru dan murid terjadi komunikasi multi arah.

Prof. Mohamad Surya mengemukakan pengajaran akan bersifat efektif jika (1) berpusat kepada

siswa yang aktif, bukan hanya guru; (2) terjadi interaksi edukatif diantara guru dengan murid; (3)

berkembang suasana demokratis; (4) metode mengajar bervariasi; (5) gurunya profesional; (6)

apa yang dipelajari bermakna bagi siswa; (7) lingkungan belajar kondusif serta (8) sarana dan

prasarana belajar sangat menunjang

Mengapa harus kegiatan belajar aktif?

Bahwa guru PAK harus berusaha mengelola kegiatan belajar aktif bersama muridnya ialah

pertama, karena hakekat manusia sebagai pribadi yang dinamis. Alkitab mengemukakan bahwa

Tuhan Allah menciptakan manusia sebagai pribadi multidimensi, memiliki roh, hati/jiwa

(pikiran, perasaan/emosi, dan kehendak/kemauan), serta fisik (pancaindera) (bd. Kej 2:7; Ibr

4:12; 1 Tes 5:23). Ketika anak didik berkumpul di kelas, berarti guru harus melayaninya dalam

kegiatan belajar dengan mengaktifkan pontesi dirinya – pancainderanya, pikiran, perasaan,

kemauan bahkan rohnya. Para murid juga harus mengalami kegiatan belajar itu sebagai
kelompok (komunitas) umat beriman kepada Tuhan Yesus Kristus. Dimana dua, tiga orang

berkumpul, di situ kehadiran Allah sangat nyata (bd Mat 18:19-20). Sikap kesatuan dan

persatuan harus ditingkatkan, supaya kegiatan kebersamaan itu bermakna.

Landasan kedua, Tuhan Yesus sendiri sebagai Guru Agung, mengajari dan melatih murid-murid-

Nya dengan kegiatan aktif. Ada banyak kegiatan yang dilakukan Yesus termasuk: memberikan

kotbah atau ceramah (Luk.6 ), mengemukakan perumpamaan (Luk. 14, 15, 16, 18, 20 dll),

melakukan perbuatan kasih (Luk. 19: 10), menyatakan perbuatan kuasa dan mujizat (Luk. ,

mengutus murid melakukan tugas tertentu (Luk. 9), mendengarkan dan menjawab pertanyaan

(Luk. 18: 18-26), bermain-main dengan anak kecil dan memberkati mereka (Luk. 18: 15-17),

berdialog dengan tokoh-tokoh agama Yahudi (Luk. 20: 1- 8). Yesus mengajar murid-Nya tidak

hanya pada satu lokasi seperti di sebuah rumah saja. Ia mengajari mereka ketika di danau, di

perahu, di perjalanan, di bukit, di Bait Allah dan di sinagog, atau di tempat orang menderita

(kusta, buta, dirasuk roh jahat), termasuk di taman Getsemane, di pengadilan Pilatus dan di

Golgota. Dia mengajar di malam hari, di pagi, di siang dan sore hari. Dia mengajar secara

individual juga secara kelompok kecil, kelompok sedang (tujuh puluh murid) dan masa besar

(4000 dan 5000 orang).

Jika guru PAK ingin membimbing murid lebih mengenal siapa Yesus Kristus, agar menjadi

murid-Nya (bd Mat 28:19-20), maka keteladanan Yesus dalam mengajar harus terus menerus

kita renungkan berdasarkan informasi dari Injil Lukas serta ketiga Injil yang lain (Matius,

Markus dan Yohanes)

Cara belajar siswa aktif adalah merupakan tantangan selanjutnya bagi para pendidik. Sebab ruh

dari KTSP yang diberlakukan sekarang ini adalah pembelajaran aktif. Dalam pembelajaran aktif

baik guru dan siswa sama-sama menjadi mengambil peran yang penting.
Guru sebagai pihak yang;

• merencanakan dan mendesain tahap skenario pembelajaran yang akan dilaksanakan di dalam

kelas.

• membuat strategi pembelajaran apa yang ingin dipakai (strategi yang umum dipakai adalah

belajar dengan bekerja sama)

• membayangkan interaksi apa yang mungkin akan terjadi antara guru dan siswa selama

pembelajaran berlangsung.

• Mencari keunikan siswa, dalam hal ini berusaha mencari sisi cerdas dan modalitas belajar siswa

dengan demikian sisi kuat dan sisi lemah siswa menjadi perhatian yang setara dan seimbang

• Menilai siswa dengan cara yang tranparan dan adil dan harus merupakan penilaian kinerja serta

proses dalam bentuk kognitif, afektif, dan skill (biasa disebut psikomotorik)

• Melakukan macam-macam penilaian misalnya tes tertulis, performa (penampilan saat

presentasi, debat dll) dan penugasan atau proyek

• Membuat portfolio pekerjaan siswa.

Siswa menjadi pihak yang;

• menggunakan kemampuan bertanya dan berpikir

• melakukan riset sederhana

• mempelajari ide-ide serta konsep-konsep baru dan menantang.

• memecahkan masalah (problem solving),

• belajar mengatur waktu dengan baik,

• melakukan kegiatan pembelajaran secara sendiri atau berkelompok (belajar menerima pendapat

orang lain, siswa belajar menjadi team player)


• mengaplikasikan hasil pembelajaran lewat tindakan atau action.

• Melakukan interaksi sosial (melakukan wawancara, survey, terjun ke lapangan, mendengarkan

guest speaker)

• Banyak kegiatan yang dilakukan dengan berkelompok.

4.2.3. Keteladanan dalam menggunakan Metode

Metode belajar aktif atau sekarang lumrah disebut sebagai metode PAKEM (pembelajaran

kreatif, aktif dan menyenangkan) saat ini mulai dirasakan pentingnya dikalangan praktisi

pendidik. Dikarenakan metode ini agaknya menjadi jawaban bagi suasana kelas yang kaku,

membosankan, menakutkan, menjadi beban dan tidak membuat betah dan tidak menumbuhkan

perasaan senang belajar bagi anak didik. Alih-alih membuat anak mau menjadi pembelajar

sepanjang hayat yang terjadi malah kelas dan sekolah menjadi momok yang menakutkan bagi

siswa.

Ada contoh-contoh tentang cara Yesus dalam pemakaian metode, misalnya Diskusi, kita lihat

dalam contoh Yesus diurapi oleh perempuan bedosa (Luk. 7:1-50), Metode Ceramah dipakai

dalam kotbah di Bukit (Luk. 6:20-26), Ada metode cerita seperti terdapat dalam Lukas 15 dan

masih ada cara lain yang memakai alat peraga, seperti menaruh seorang anak kecil di tengah-

tengah mereka (Luk. 18:15-17 ) Metode Tanya jawab seperti pada waktu percakapan dengan ahli

taurat (Luk. 15)

Dari contoh-contoh di atas, ada banyak hal yang bisa dipakai dalam pembelajaran aktif dan

kreatif serta inovatif. Yesus ahli sekali dalam hal memakai metode-metode dalam pengajaraNya.

J.M Price, dalam Buku Yesus Guru Agung mengatakan bahwa tentang pengajaran, metode-

metode itu rupanya hal yang biasa bagiNya, dan tumbuh dari keadaan dan kebutuhan1 Dan

metode-metode yang kita pakai sekarang semuanya telah dipakai Yesus walaupun saat itu dalam
bentuk yang sederhana. Metode pengajaran Tuhan Yesus merupakan sumbanngan yang besar

bagi pembelajaran di masa kini dan yang akan datang.

4.2.4. Keteladanan dalam Evaluasi

Dalam proses pembelajaran, sepertinya belum sempurna jika belum ada Evaluasi atau penilaian.

Sebab Evaluasi adalah sauatu alat untuk melihat apakah program yang direncanakann telah

tercapai, berharga atau tidak dan untuk melihat efisiensi pelaksanaan pembelajaran. Evaluasi

dilaksanakan dengan tujuan untuk memberikan umpan balik bagi guru untuk mengukur

kompetensi serta profesionalitas diri sendiri sebagai Guru PAK 1

Evaluasi atau menguji hasil merupakan bagian dari kegiatan mengajar. Oleh sebab itu

pelaksanaannya harus dipersiapkan sedemikian rupa, sehingga hasilnya dapat

dipertanggungjawabkan. Ada beberapa macam cara mengevaluasi, salah satu cara yang kuno

yang dipakai Yesus dalam pengajaranNya ialah dengan tanya jawab, dengan memilih jawaban

benar diantara dua atau tiga jawaban yang telah disediakan (Lukas 10: 36).

1. J.M.Price, Yesus Guru Agung, lembaga Literatus Baoptis, Bandung hlm, 99

2. Janse Belandina Non Serrano, Profesionalisme Guru dan Bingkai materi Pendidikan Agama

Kristen ( Bandung, Bina Media Informasi, 2005) hlm. 19

Walaupun tidak begitu jelas dalam Yesus menggunakan evaluasi, namun Yesus juga mencari

jalan bagaimana untuk mengetahui hasil pengajaranNya. Dalam Injil Lukas kita menemukan satu

perikop, yaitu Lukas 10:1-12,17. Yesus menerima laporan tentang perjalanan pengutusan Injil

ke-70 muridNya ketika mereka kembali.

Menurut Janse Belandina Non-Serrano, dalam Buku Profesionalisme Guru dan Bingkai materi

memberikan gambaran atau bentuk evaluasi, yaitu : Pertama Elavuasi dilakukan dengan cara
kerja mandiri dengan mengambil contoh dari beberapa bagian teks Alkitab, dan yang kedua

mengisi kota potensi dan kelemahan yang berkaitan dengan kopetensi dan karakter guru. 1

Sedangkan Prinsip penilaian dalam KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan), antara lain

harus valid, obyektif, tranfaran/terbuka, adil, terpadu, menyeluruh dan kberkesinambungan,

bernakna, sistematis, akutanbel serta beracuan kriteria.

Jenis penilaian hasil belajarnya berdasarkan cakupan kompetensi yang diukur, yaitu melalui:

Ulangan Harian, Ulangan Tengah Semester, Ulangan Akhir Semester dan Ulangan kenaikkan

Kelas. Berdasarkan sasaran, yaitu penilaian individu dan kelompok. Untuk lebih jelasnya

mengenai teknik penilaian, skala sikap dan angket, lihat lampiran yang telah penyusun

lampirkan.

Singkat kata, kita tidak boleh mengambaikan penilaian atau evaluasi, karena Evaluasi atau

penilaian itu sebagai umpan balik bagi peserta didik agar mengetahui kemampuan dan

kekurangan. Evaluasi juga untuk memantau kemajuan dan mendiagnosa kesulitan belajar siswa.

Sedangkan bagi guru, Evaluasi juga sebagai umpan balik untuk memperbaiki Proses Belajar

Mengajar (PBM), sebagai informasi untuk orang tua, komite sekolah tentang efektifitas

pendidikan. Evaluasi juga berfungsi sebagai alat untuk menetapkan penguasaan siswa, sebagai

bimbingan, alat diagnosa, alat predisi dan alat seleksi.

E. Teori belajar aktif Dave Meier

Belakangan ini ada sebuah teori belajar aktif yang dinamakan teori holistik. Dave Meier dalam

bukunya The Accelerated Learning Handbook (Kaifa, 2002), mengemukakan bahwa konsep

guru mengenai siapa manusia yang diajarinya (murid) menentukan sekali terhadap kegiatan

belajar yang direncanakan dan dikelolanya. Meier mengkritik kecenderungan pendidikan di

Barat yang memandang manusia hanya sebagai tubuh dan pikiran. Aktivitas tubuh dan pikiran
dipisahkan dalam kegiatan belajar. Pembelajaran sangat kaku. Selain itu pembelajaran individual

amat ditekankan. Cara berpikir ilmiah pun sangat diutamakan. Peranan media cetak dalam

belajar seperti buku sumber utama sangat ditekankan.

Dari penelitiannya, Dave Meier berpendapat bahwa manusia memiliki empat dimensi yakni:

tubuh atau somatis (S), pendengaran atau auditori (A), penglihatan atau visual (V), dan

pemikiran atau intelek (I). Bertolak dari pandangan ini ia mengajukan model pembelajaran aktif

yang disingkat SAVI – somatis, auditori, visual dan intelektual. Dengan pemahaman ini beliau

mengajukan sejumlah prinsip pokok dalam belajar, yakni:

1 – Belajar melibatkan seluruh tubuh dan pikiran

2 – Belajar adalah berkreasi, bukan mengkonsumsi.

3 – Kerjasama membantu proses belajar.

4 – Pembelajaran berlangsung pada banyak tingkatan secara simultan.

5 – Belajar berasal dari mengerjakan pekerjaan itu sendiri.

6 – Emosi positif sangat membantu pembelajaran.

7 – Otak-citra menyerap informasi secara langsung dan otomatis.

Sekarang, marilah kita simak pokok-pokok pikiran Meier, bagaimana prinsip kegiatan belajar

berdasarkan prinsip SAVI itu.

Pertama, belajar somatis, belajar dengan bergerak dan berbuat. Apa sajakah yang dapat

dilakukan? Jawabnya ialah:

* Membuat model dalam suatu proses.

* Secara fisik menggerakkan berbagai komponen dalam suatu proses atau sistem

* Menciptakan bagan, diagram, piktogram.

* Memeragakan suatu proses, sistem, atau seperangkat konsep.


* Mendapatkan pengalaman, lalu membicarakannya dan merefleksikannya.

* Melengkapi suatu proyek yang memerlukan kegiatan fisik.

* Menjalankan pelatihan belajar aktif (simulasi, permainan belajar, dan lain-lain)

* Melakukan tinjauan lapangan. Lalu menuliskan, menggembar dan membicarakan apa yang

dipelajari.

* Mewawancarai orang di luar kelas.

* Dalam tim, menciptakan pelatihan pembelajaran aktif bagi seluruh kelas.

Kedua, belajar auditori (A), kegiatan mendengar dan berbicara. Apa saja yang dilakukan dalam

kegiatan?

* Membaca keras dari bahan sumber.

* Membaca paragraf dan memberikan maknanya.

* Membuat rekaman suara sendiri.

* Menceritakan buku yang dibaca.

* Membicarakan apa yang dipelajari dan bagaimana menerapkannya.

* Meminta pelajar memperagakan sesuatu dan menjelaskan apa yang dilakukan.

* Bersama-sama membaca puisi, menyanyi.

Ketiga, belajar visual (V), kegiatan melihat, mengamati, memperhatikan. Apa sajakah kegiatan

dalam pendekatan ini?

* Mengamati gambar dan memaknainya.

* Memperhatikan grafik atau membuatnya

* Melihat benda tiga dimensi.

* Menonton video, film.

* Kreasi piktogram
* Pengamatan lapangan

* Dekorasi warna-warni

Keempat, belajar intelektual (I), kegiatan mencipta, merenungkan, memaknai, memecahkan

masalah. Ada sejumlah kegiatan terkait dengan pendekatan ini, antara lain:

* Pemecahan masalah

* Menganalisis pengalaman, kasus

* Mengerjakan rencana strategis

* Melahirkan gagasan kreatif

* Mencari dan menjaring informasi

* Merumuskan pertanyaan

* Menciptakan model mental

* Menerapkan gagasan bagus pada pekerjaan.

* Menciptakan makna pribadi

* Meramalkan implikasi suatu gagasan.

F. Manfaat Pembelajaran Aktif bagi guru PAK

Teori dan prinsip belajar aktif di atas, perlu kita responi secara positif. Adalah benar bahwa

dalam kegiatan belajar berbagai aspek kedirian (persona) manusia harus dilibatkan. Allah sendiri

berbicara (mengajari) manusia dengan berbagai cara dan dalam pelbagai kesempatan (bd. Ibr

1:1-2; Ul 6:6-9). Allah menghendaki kita kreatif dalam merencanakan dan mengelola kegiatan

pembelajaran. Menilai hasil kegiatan itu tentunya juga jangan hanya dari satu aspek, seperti dari

segi intelektual anak didik.

Karena PAK terkait dengan masalah kerohanian atau spiritualitas, maka ia sedikit berbeda

dengan kegiatan pembelajaran mata pelajaran lainya. Alkitab mengajarkan manusia juga
memiliki roh, hati dan suara hati dalam dirinya. Jika roh manusia “dijamah” Allah yang adalah

Roh (bd Yoh 4:24), maka kegiatan belajar menjadi sangat aktif dan penuh makna. Kegiatan

belajar menjadi transformatoris, membawa perubahan dari dalam keluar (proses inside out). Jika

tidak demikian, yang terjadi ialah proses outside in atau dari luar ke dalam. Anak didik hanya

bersifat konformis terhadap apa yang diajarkan oleh guru kepadanya, dalam arti menerima

supaya mendapat nilai (angka) bagus! Bagaimana caranya supaya murid mengalami kehadiran

Roh Allah? Jawabnya, jika mereka menyambut Yesus ke dalam kehidupannya, karena

mendengarkan berita Injil secara jelas (bd Ef 1:13,14; 1 Kor 15:3,4; Rom 8:9-11). Karena itu

PAK perlu terus menjelaskan berita pengampunan dosa, berita anugerah kepada para siswa.

Kegiatan belajar PAK bersifat spiritual. Karena itu bersama murid, guru harus giat berdoa,

beribadah, memuji dan menyembah Dia. Guru PAK hanyalah hamba Tuhan. Dia hanya perantara

(imam) Sang Raja Kristus dengan murid (1 Ptr 2:9,10). Roh Kuduslah menjadi pengajar

sesungguhnya dalam diri orang percaya (Yoh 16:11-13; 1 Yoh 2:20,27). Pengakuan kita sebagai

guru, kepada Pribadi Roh Tuhan ini sangat penting. Kita juga berdoa supaya dipenuhi oleh-Nya

(Ef 5:18), dipimpin dan berjalan menunaikan karya bersama Dia (Gal 5:16-18). Kita juga harus

menjaga diri supaya tidak mendukakan Dia (Ef 4:30). Atau supaya tidak menghambat pekerjaan-

Nya (1 Tes 5:20). Kitab Kisah Para Rasul menyatakan bahwa ketika Roh Kudus hadir dan

bekerja dalam hidup komunitas orang percaya, maka proses pembelajaran berlangsung dengan

baik dan membawa perubahan hidup.

Guru PAK hendaknya jangan memandang rendah pengalaman spiritual siswanya juga

pergumulan yang dihadapinya. Iman Kristen yang diperlukan oleh siswa remaja dewasa ini ialah

yang sifatnya praktis, termasuk bagaimana menghadapi krisis dan konflik kehidupan di rumah, di

sekolah dan diantara kawan-kawan. Guru harus bersedia mendengar apa yang mereka alami dan
pergumulkan. Bahkan bersedia menyimak masalah mereka lebih dari yang diucapkan.

Selanjutnya guru menuntun mereka menemukan jawaban dari firman Tuhan. Mengajak murid

berdoa dengan sungguh-sungguh kepada Tuhan, mendoakan mereka, juga membukakan hati

mereka kepada Dia.

Menjadikan diri teladan iman, adalah menjadi kerinduan siswa remaja yang kita layani. Siswa di

usia ini sangat gemar mengamati kehidupan tokoh-tokoh di sekitarnya, menilai apakah layak

didengar, diikuti atau tidak. Firman Tuhan sendiri mengatakan bahwa dalam melayani kaum

muda, para pelayan harus menjadi teladan, model kehidupan (live model) (bd. Ti 2:6,7). Guru

PAK harus menanamkan pengaruh melalui keteladanan hidupnya baik dalam perkataan dan

perbuatan mengajar.

Penutup :

Mempelajari teori belajar menurut konsep-konsep keilmuan dan teori pendidikan adalah penting.

Memahmi kebiasaan belajar yang kita amati dan terima dari masyarakat dan budaya juga harus

kita cermati. Budaya kita menekankan pengamatan dan peniruan dalam kegiatan belajar. Begitu

pula dengan pentingnya kelompok atau peran orang lain. Kita banyak belajar di dalam

kelompok.

Namun, hal itu jangan membuat kita meremehkan peran Roh Tuhan yang datang ke dunia

menyaksikan pekerjaan dan pribadi Yesus Kristus. Roh Kudus yang membuat orang mengerti

pengajaran Alkitab, yang kita perbincangkan bersama anak didik. Dimana Roh Kudus bekerja di

situ terdapat aktivitas pembaruan (2 Kor 3:17,18). (SAM)


Bagian 9

MOTIVASI DAN PRESTASI

Bagian 10

PANGGILAN UNTUK BELAJAR TEORI DARI TUHAN YESUS

"Marilah kepada-Ku, semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberi kelegaan

kepadamu. Pikullah kuk yang Kupasang dan belajarlah pada-Ku, karena Aku lemah lembut dan

rendah hati dan jiwamu akan mendapat ketenangan. Sebab kuk yang Kupasang itu enak dan

beban-Kupun ringan." Yesus


Ada panggilan dari hati Yesus kepada setiap orang untuk datang kepada-Nya dan belajar dari

pada-Nya. Yesus tidak hanya datang untuk orang-orang tertentu di Timur Tengah tetapi Dia

datang untuk semua orang di dunia. Dia juga tidak datang untuk mendirikan suatu agama tetapi

membawa gaya hidup Kerajaan di dunia ini seperti di Surga. Jadi Dia memanggil kita untuk

belajar dari pengalaman-Nya akan suatu gaya hidup yang mengubah dunia.

Tuhan mau kita belajar dari Yesus yang datang untuk memanifestasikan gaya hidup Tuhan

kepada manusia. Kenapa kita harus belajar dari Yesus? Karena Yesus adalah seorang pembelajar

atau murid yang baik dan dalam proses pembelajaran-Nya, Dia telah menunjukkan kemampuan

untuk menjadi taat, mau dan rela untuk mengerjakan kehendak Tuhan, anugerah dibawah

penderitaan dan dengan kasih memanifestasikan Bapa kepada dunia yang Dia kasihi.

Untuk belajar dari Yesus kita perlu untuk meresponi panggilan-Nya PERTAMA-TAMA dan

membiarkan Dia membawa damai dalam saudara mempunyai arti bahwa saudara perlu berdamai

dengan Tuhan, diri saudara sendiri dan dengan yang lain BARU KEMUDIAN saudara bisa

masuk ke dalam proses pembelajaran yang alami tapi penuh kuasa. Hal ini dimulai dengan

memikul kuk-Nya yang punya arti bahwa kita perlu mendisiplinkan diri kita untuk jalan dalam

suatu kehidupan yang membawa beban yang sama dengan Yesus. Artinya ada proses

penyesuaian dari hidup kita kepada hidup Yesus melalui perjanjian atau covenant kita dengan

Dia. Kita tidak dapat belajar dari Dia kecuali kita hidup dalam covenant dengan Dia. Marilah

kita memeluk Salib itu dan memikulnya setiap hari. Hal inilah yang mendasari dasar panggilan

kita yang sesungguhnya.

Kita perlu untuk mengerti bahwa tidak ada seorang pun yang dapat hidup melebihi

kedisiplinannya dan covenant dengan Tuhan adalah suatu disiplin untuk fokus dalam melakukan

bagian kita sebagai tanggungjawab kita sehingga Tuhan akan melakukan bagian-Nya dengan
yang terbaik dari pada-Nya. Jika saudara tidak bisa menerapkan kedisiplinan dari dalam melalui

salib maka yang saudara perlukan adalah kedisiplinan dari luar. Lebih baik menyerah pada

proses salib yang datang dari dalam sehingga saudara mati pada diri saudara sendiri dan mulai

hidup dalam kesesuaian dengan Yesus dari pada mencoba tanpa hasil untuk menyembunyikan

keangkuhan dan kenyamanan hidup kita di dalam. Karena jika kita memberi hidup kita pada

Tuhan, maka ini berarti tidak seorang pun yang akan dapat mengambilnya dari kita. Hukumnya

adalah ini bahwa tidak seorang pun akan dapat mengambil sesuatu dari apa yang saudara telah

beri. Lagi, kita perlu untuk membiarkan salib mengerjakan hidup kita sampai tuntas supaya kita

bisa belajar dari pada-Nya.

Yesus datang untuk mambagi hidup. Ini adalah pokok mendasar yang kita perlu untuk belajar:

BAGAIMANA HIDUP. Jadi ini tentang belajar kehidupan dan bukan belajar pengetahuan. Jadi

untuk belajar bagaimana hidup adalah dengan cara hidup dengan orang lain. Dan hidup dengan

orang lain kita perlu punya sikap hati yang benar dan hanya Yesus yang dapat mengajar kita

tentang kelemah-lembutan dan kerendahan-hati, Dia tidak hanya menjelaskan arti katanya dalam

teori tetapi melalui praktek kehidupan dalam cara yang sangat alamiah tentang kelemah-

lembutan dan kerendahan-hati yang keluar dari dalam.

Mencoba untuk mendefinisikan kelemah-lembutan dan kerendahan-hati diluar komunitas atau

hidup bersama adalah sama sekali salah sebab kelemah-lembutan dan kerendahan-hati hanya

datang secara alamiah melalui hubungan dengan sesama. Jadi kelemah-lembutan adalah

kemampuan untuk membawa kuasa dibawah kendali sehingga kita tidak akan memaksa apa yang

kita mau untuk orang lain tapi membiarkan Tuhan mengerjakan jalan-Nya sendiri dalam segala

sesuatu yang terjadi. Dan kerendahan-hati adalah kemampuan untuk menerima apa yang Tuhan

ijinkan terjadi dalam hidup kita, dalam aspek horisontal adalah kemampuan untuk menerima dan
mengakomodasi kesalahan orang lain tanpa menghakimi orang tersebut.

Saya kira tidak akan ada orang yang akan memandang rendah apa yang Yesus berikan karena

kita semua rindu untuk hidup dalam hubungan yang damai satu dengan yang lain.

Yesus memanggil setiap orang tanpa melihat agama, kebangsaan, bahasa dan suku untuk datang

dan belajar dari Dia. Saya pun ingin menyatakan undangan-Nya kepada semua orang tanpa

melihat agama dan falsafah yang dianutnya, ataupun latar belakangnya, dan bahkan Generasi X

untuk datang pada Yesus dan belajar dari Dia. Saudara punya hak untuk datang sebab Yesus

memanggil semua untuk belajar dari Dia gaya hidup Kerajaan. Selamat datang pada Pemuridan.
Bagian 4

KONSTRUKTIVISTIK

1. Pendahuluan

Kemajuan teknologi komunikasi dan informasi yang berkembang begitu pesat pada era

globalisasi, membawa perubahan yang sangat radikal. Perubahan itu telah berdampak pada setiap

aspek kehidupan, termasuk pada system pendidikan dan pembelajaran. Dampak dari perubahan
yang luar biasa itu terbentuknya suatu ‘kumonitas global’, lebih parah lagi karena komunitas

global itu ternyata tiba jauh lebih cepat dari yang diperhitungkan: revulusi informasi telah

menghadirkan dunia baru yang benar-benar hyper-reality.

Akibat dari perubahan yang begitu cepatnya, manusia tidak bias lagi hanya bergantung pada

seperangkat nilai, keyakinan, dan pola aktivitas social yang konstan. Manusia dipaksa secara

berkelanjutan untuk menilai kembali posisi sehubungan dengan factor-faktor tersebut dalam

rangka membangu sebuah konstruksi social-personal yang memungkin atau yang tampaknya

memungkinkan. Jika masyarakat mampu bertahan dalam menghadapi tantangan perubahan di

dalam dunia pengetahuan, teknologi, komunikasi serta konstruksi social budaya ini, maka kita

hasrus mengembangkan proses-proses baru untuk menghadapi masalah-masalah baru ini. Kita

tidak dapat lagi bergantung pada jawaban-jawaban masa lalu karena jawaban-jawaban tersebut

begitu cepatnya tidak berlaku seiring dengan perubahan yang terjadi. Pengetahuan, metode-

metode, dan keterampilan-keterampilan menjadi suatu hal yang ketinggalan zaman hamper

bersamaan dengan saat hal-hal ini memberikan hasilnya. Degeng (1998) menyatakan bahwa kita

telah memasuki era kesemrawutan. Era yang datangnya begitu tiba-tiba dan tak seorang pun

mampu menolaknya. Kita harus masuk di dalamnya dan diobok-obok. Era kesemrawutan tidak

dapat dijawab dengan paradigma keteraturan, kepastian, dan ketertiban. Era kesemrawutan harus

dijawab dengan paradigma kesemrawutan. Era kesemrawutan ini dilandasi oleh teori dan konsep

konstruktivistik; suatu teori pembelajaran yang kini banyak dianut di kalangan pendidikan di AS.

Unsure terpenting dalam konstruktivistik adalah kebebasan dan keberagaman. Kebebasan yang

dimaksud ialah kebebasan untuk melakukan pilihan-pilihan sesuai dengan pa yang mampu dan

mau dilakukan oleh si belajar. Keberagaman yang dimaksud adalah si belajar menyadari bahwa

individunya berbeda dengan orang/kelompok lain, dan orang/kelompok lain berbeda dengan
individunya.

Alternative pendekatan pembelajaran ini bagi Indonesia yang sedang menempatkan reformasi

sebagai wacana kehidupan berbangsa dan bernegara, bukan hanya di bidang pendidikan,

melainkan juga di segala bidang. Selama ini, wacana kita adalah behavioristik yang berorientasi

pada penyeragaman yang pada akhirnya membentuk manusia Indonesia yang sangat sulit

menghargai perbedaan. Perilaku yang berbeda lebih dilihat sebagai kesalahan yang harus

dihukum. Perilaku manusia Indonesia selama ini sudah terjangkit virus kesamaan, virus

keteraturan, dan lebih jauh virus inilah yang mengendalikan perilaku kita dalam berbangsa dan

bernegara.

Longworth (1999) meringkas fenomenan ini dengan menyatakan: ‘Kita perlu mengubah focus

kita dan apa yang perlu dipelajari menjadi bagaimana caranya untuk mempelajari. Perubahan

yang harus terjadi adalah perubahan dari isi menjadi proses. Belajar bagaimana cara belajar

untuk mempelajari sesuatu menjadi suatu hal yang lebih penting daripada fakta-fakta dan

konsep-konsep yang dipelajari itu sendiri’.

Oleh karena itu, pendidikan harus mempersiapkan para individu untuk siap hidup dalam sebuah

dunia di mana masalah-masalah muncul jauh lebih cepat daripada jawaban dari masalah tersebut,

di mana ketidakpastian dan ambiguitas dari perubahan dapat dihadapi secara terbuka, di mana

para individu memiliki keterampilan-keterampilan yang diperlukannya untuk secara

berkelanjutan menyesuaikan hubungan mereka dengan sebuah dunia yang terus berubah, dan di

mana tiap-tiap dan kita menjadi pemberi arti dari keberadaan kita. Beare & Slaughter (1993)

menagaskan, ‘Hal ini tidak hanya berarti teknik-teknik baru dalam pendidikan, tetapi juga tujuan

baru. Tujuan pendidikan haruslah unutk mengembangkan suatu masyarakat di mana orang-orang

dapat hidup secara lebih nyaman dengan adanya perubahan daripada dengan adanya kepastian.
Dalam dunia yang akan datang, kemampuan untuk menghadapi hal-hal baru secara tepat lebih

penting daripada kemampuan untuk mengetahui dang mengulangi hal-hal lama.

Kebutuhan akan orientasi baru dalam pendidikan ini terasa begitu kuat dan nyata dalam berbagai

bidang studi, baik dalam bidang studi eksakta maupun ilmu-ilmu social. Para pendidik, praktisi

pendidikan dan kita semua, mau tidak mau harus merespon perubahan yang terjadi dengan

mengubah paradigma pendidikan. Untuk menjawab dan mengatasi perubahan yang terjadi secara

terus-menerus, alternative yang dapat digunakan adalah paradigmna konstruktivistik.

2. Hakikat Pembelajaran Behavioristik dan Pembelajaran Konstruktivistik

a. Hakikat Pembelajaran Behavioristik

Thornike, salah seorang penganut paham behavioristik, menyatakan bahwa belajar merupakan

peristiwa terbentuknya asosiasi-asosiasi antara peristiwa-peristiwa yang sisebut stimulus (S)

dengan respon ® yang diberikan atas stimulus tersebut. Pernyataan Thorndike ini didasarkan

pada hasil eksperimennya di laboratorium yang menggunakan beberapa jenis hewan seperti

kucing, anjing, monyet, dan ayam. Menurutnya, dari berbeagai situasi yang diberikan seekor

hewan akan memberikan sejumlah respon, dan tindakan yang dapat terbentuk bergantung pada

kekuatan keneksi atau ikatan-ikatan antara situasi dan respon tertentu. Kemudian ia

menyimpulkan bahwa semua tingkah laku manusia baik pikiran maupun tindakan dapat

dianalisis dalam bagian-bagian dari dua struktur yang sederhana, yaitu stimulus dan respon.

Dengan demikian, menurut pandangan ini dasar terjadinya belajar adalah pembentukan asosiasi

antara stimulus dan respon. Oleh karena itu, menurut Hudojo (1990:14) teori Thondike ini

disebut teori asosiasi.


Selanjutnya, Thorndike (dalam Orton, 1991:39-40; Resnick, 1981:13) mengemukakan bahwa

terjadinya asosiasi antara stimulus dan respon ini mengikuti hokum-hukum berikut: (1) Hukum

latihan (law of exercise), yaitu apabila asosiasi antara stimulus dan respon serting terjadi, maka

asosiasi itu akan terbentuk semakin kuat. Interpretasi dari hokum ini adalah semakin sering suatu

pengetahuan – yang telah terbentuk akibat tejadinya asosiasi antara stimulus dan respon – dilatih

(digunakan), maka asosiasi tersebut akan semakin kuat; (2) Hukum akibat (law of effect), yaitu

apabila asosiasi yang terbentuk antara stimulus dan respon diikuti oleh suatu kepuasan maka

asosiasi akan semakin meningkat. Hal ini berarti (idealnya), jika suatu respon yang diberikan

oleh seseorang terhadap suatu stimulus adalah benar dan ia mengetahuinya, maka kepuasan akan

tercapai dan asosiasi akan diperkuat.

Penganut paham psikologi behavior yang lain yaitu Skinner, berpendapat hamper senada dengan

hokum akibat dari Thorndike. Ia mengemukakan bahwa unsur terpenting dalam belajar adalah

penguatan (reinforcement). Maksudnya adalah pengetahuan yang terbentuk melalui ikatan

stimulus – respon akan semakin kuat bila diberi penguatan. Skinner membagi penguatan ini

menjadi dua, yaitu penguatan positif dan penguatan negative. Penguatan positif sebagai stimulus,

apabila representasinya mengiringi suatu tingkah laku yang cenderung dapat meningkatkan

terjadinya pengulangan tingkah laku itu. Sedangkan penguatan negative adalah stimulus yang

dihilangkan/dihapuskan karena cenderung menguatkan tingkah laku (Bell, 1981:151).

b. Hakikat pembelajaran Konstruktivisme

Pembentukan pengetahuan menurut konstruktivistik memandang subyek aktif menciptakan

struktur-struktur kognitif dalam interaksinya dengan lingkungan. Dengan bantuan struktur

kognitifnya ini, subyek menyusun pengertian realitasnya. Interaksi kognitif akan terjadi sejauh

realitas tersebut disusun melalui struktur kognitif yang diciptakan oleh subyek itu sendiri.
Struktur kognitif senantiasa harus diubah dan disesuaikan berdasarkan tuntutan lingkungan dan

organisme yang sedang berubah. Proses penyesuaian diri terjadi secara terus menerus melalui

proses rekonstruksi.

Yang terpenting dalam teori konstruktivisme adalah bahwa dalam proses pembelajaran, si

belajarlah yang harus mendapatkan penekanan. Merekalah yang harus aktif mengembangkan

pengetahuan mereka, bukan pembelajar atau orang lain. Mereka yang harus bertanggung jawab

terhadap hasil belajarnya. Penekanan belajar siswa secara aktif ini perlu dikembangkan.

Kreativitas dan keaktifan siswa akan membantu mereka untuk berdiri sendiri dalam kehidupan

kognitif siswa.

Belajar lebih diarahkan pada experimental learning yaitu merupakan adaptasi kemanusiaan

berdasarkan pengalaman konkrit di laboratorium, diskusi dengan teman sekelas, yang kemudian

dikontemplasikan dan dijadikan ide dan pengembangan konsep baru. Karenanya aksentuasi dari

mendidik dan mengajar tidak terfokus pada si pendidik melainkan pada pebelajar.

Beberapa hal yang mendapat perhatian pembelajaran konstruktivistik, yaitu: (1) mengutamakan

pembelajaran yang bersifat nyata dalam kontek yang relevan, (2) mengutamakan proses, (3)

menanamkan pembelajran dalam konteks pengalaman social, (4) pembelajaran dilakukan dalam

upaya mengkonstruksi pengalaman (Pranata, http://puslit.petra.ac.id/journals/interior/.).

Hakikat pembelajaran konstruktivistik oleh Brooks & Brooks dalam Degeng mengatakan bahwa

pengetahuan adalah non-objective, bersifat temporer, selalu berubah, dan tidak menentu. Belajar

dilihat sebagai penyusunan pengetahuan dari pengalaman konkrit, aktivitas kolaboratif, dan

refleksi serta interpretasi. Mengajar berarti menata lingkungan agar si belajar termotivasi dalam

menggali makna serta menghargai ketidakmenentuan. Atas dasar ini maka si belajar akan

memiliki pemahaman yang berbeda terhadap pengetahuan tergentung pada pengalamannya, dan
perspektif yang dipakai dalam menginterpretasikannya.

3. Aspek-aspek Pembelajaran Konstruktivistik

Fornot mengemukakan aspek-aspek konstruktivitik sebagai berikut: adaptasi (adaptation),

konsep pada lingkungan (the concept of envieronmet), dan pembentukan makna (the

construction of meaning). Dari ketiga aspek tersebut oleh J. Piaget bermakna yaitu adaptasi

terhadap lingkungan dilakukan melalui dua proses yaitu asimilasi dan akomodasi.

Asimilasi adalah proses kognitif dimana seseorang mengintegrasikan persepsi, konsep ataupun

pengalaman baru ke dalam skema atau pola yang sudah ada dalam pikirannya. Asimilasi

dipandang sebagai suatu proses kognitif yang menempatkan dan mengklasifikasikan kejadian

atau rangsangan baru dalam skema yang telah ada. Proses asimilasi ini berjalan terus. Asimilasi

tidak akan menyebabkan perubahan/pergantian skemata melainkan perkembangan skemata.

Asimilasi adalah salah satu proses individu dalam mengadaptasikan dan mengorganisasikan diri

dengan lingkungan baru perngertian orang itu berkembang.

Akomodasi, dalam menghadapi rangsangan atau pengalaman baru seseorang tidak dapat

mengasimilasikan pengalaman yang baru dengan skemata yang telah dipunyai. Pengalaman yang

baru itu bias jadi sama sekali tidak cocok dengan skema yang telah ada. Dalam keadaan

demikian orang akan mengadakan akomodasi. Akomodasi terjadi untuk membentuk skema baru

yang cocok dengan rangsangan yang baru atau memodifikasi skema yang telah ada sehingga

cocok dengan rangsangan itu. Bagi Piaget adaptasi merupakan suatu kesetimbangan antara

asimilasi dan akomodasi. Bila dalam proses asimilasi seseorang tidak dapat mengadakan adaptasi

terhadap lingkungannya maka terjadilah ketidaksetimbangan (disequilibrium). Akibat

ketidaksetimbangan itu maka tercapailah akomodasi dan struktur kognitif yang ada yang akan
mengalami atau munculnya struktur yang baru. Pertumbuhan intelektual ini merupakan proses

terus menerus tentang keadaan ketidaksetimbangan dan keadaan setimbang (disequilibrium-

equilibrium). Tetapi bila terjadi kesetimbangan maka individu akan berada pada tingkat yang

lebih tinggi daripada sebelumnya.

Tingkatan pengetahuan atau pengetahuan berjenjang ini oleh Vygotskian disebutnya sebagai

scaffolding. Scaffolding, berarti membrikan kepada seorang individu sejumlah besar bantuan

selama tahap-tahap awal pembelajaran dan kemudian mengurangi bantuan tersebut dan

memberikan kesempatan kepada anak tersebut mengambil alih tanggung jawab yang semakin

besar segera setelah mampu mengerjakan sendiri. Bantuan yang diberikan pembelajar dapat

berupa petunjuk, peringatan, dorongan, menguraikan masalah ke dalam bentuk lain yang

memungkinkan siswa dapat mandiri. Vygotsky mengemukakan tiga kategori pencapaian siswa

dalam upayanya memecahkan permasalahan, yaitu (1) siswa mencapai keberhasilan dengan baik,

(2) siswa mencapai keberhasilan dengan bantuan, (3) siswa gagal meraih keberhasilan.

Scaffolding, berarti upaya pembelajar untuk membimbing siswa dalam upayanya mencapai

keberhasilan. Dorongan guru sangat dibutuhkan agar pencapaian siswa ke jenjang yang lebih

tinggi menjadi optimum.

Konstruktivisme Vygotskian memandang bahwa pengetahuan dikonstruksi secara kolaboratif

antar individual dan keadaan tersebut dapat disesuaikan oleh setiap individu. Proses dalam

kognisi diarahkan memalui adaptasi intelektual dalam konteks social budaya. Proses penyesuaian

itu equivalent dengan pengkonstruksian pengetahuan secara intra individual yakni melalui proses

regulasi diri internal. Dalam hubungan ini, para konstruktivis Vygotskian lebih menekankan

pada penerapan teknik saling tukar gagasan antar individual.

Dua prinsip penting yang diturunkan dari teori Vygotsky adalah: (1), mengenai fungsi dan
pentingnya bahasa dalam komunikasi social yang dimulai proses pencanderaan terhadap tanda

(sign) sampai kepada tukar menukar informasi dan pengetahuan, (2) zona of proximal

development. Pembelajar sebagai mediator memiliki peran mendorong dan menjembatani siswa

dalam upayanya membangun pengetahuan, pengertian dan kompetensi.

Sumbangan penting teori Vygotsky adalah penekanan pada hakikat pembelajaran sosiakultural.

Inti teori Vygotsky adalah menekankan interaksi antara aspek internal dan eksternal dari

pembelajaran dan penekanannya pada lingkungan social pembelajaran. Menurut teori Vygotsky,

funsi kognitif manusia berasal dari interaksi social masing-masing individu dalam konteks

budaya. Vygotsky juga yakin bahwa pembelajaran terjadi saat siswa bekerja menangani tugas-

tugas yang belum dipelajari namun tugas-tugas tersebut masih dalam jangkauan kemampuannya

atau tugas-tugas itu berada dalam zona of proximal development mereka. Zona of proximal

development adalah daerah antar tingkat perkembangan sesungguhnya yang didefinisikan

sebagai kemampuan memecahkan masalah secara mandiri dan tingkat perkembangan potensial

yang didefinisikan sebagai kemampuan pemecahan masalah di bawah bimbingan orang dewasa

atau teman sebaya yang lebih mampu. Pengetahuan berjenjang tersebut seperti pada sekema

berikut.
4. Rancangan Pembelajaran Konstruktivistik

Berdasarkan teori J. Peaget dan Vygotsky yang telah dikemukakan di atas maka pembelajaran

dapat dirancang/didesain model pembelajaran konstruktivis di kelas sebagai berikut:

Pertama, identifikasi prior knowledge dan miskonsepsi. Identifikasi awal terhadap gagasan

intuitif yang mereka miliki terhadap lingkungannya dijaring untuk mengetahui kemungkinan-

kemungkinan akan munculnya miskonsepsi yang menghinggapi struktur kognitif siswa.

Identifikasi ini dilakukan dengan tes awal, interview

Kedua, penyusunan program pembelajaran. Program pembelajaran dijabarkan dalam bentuk

satuan pelajaran.

Ketiga orientasi dan elicitasi, situasi pembelajaran yang kondusif dan mengasyikkan sangatlah

perlu diciptakan pada awal-awal pembelajaran untuk membangkitkan minat mereka terhadap

topic yang akan dibahas. Siswa dituntun agar mereka mau mengemukakan gagasan intuitifnya

sebanyak mungkin tentang gejala-gejala fisika yang mereka amati dalam lingkungan hidupnya

sehari-hari. Oengungkapan gagasan tersebut dapat memalui diskusi, menulis, ilustrasi gambar

dan sebagainya. Gagasan-gagasan tersebut kemudian dipertimbangkan bersama. Suasana


pembelajaran dibuat santai dan tidak menakutkan agar siswa tidak khawatir dicemooh dan

ditertawakan bila gagasan-gagasannya salah. Guru harus menahan diri untuk tidak

menghakiminya. Kebenaran akan gagasan siswa akan terjawab dan terungkap dengan sendirinya

melalui penalarannya dalam tahap konflik kognitif.

Keempat, refleksi. Dalam tahap ini, berbagai macam gagasan-gagasan yang bersifat miskonsepsi

yang muncul pada tahap orientasi dan elicitasi direflesikan dengan miskonsepsi yang telah

dijaring pada tahap awal. Miskonsepsi ini diklasifikasi berdasarkan tingkat kesalahan dan

kekonsistenannya untuk memudahkan merestrukturisasikannya.

Kelima, resrtukturisasi ide, (a) tantangan, siswa diberikan pertanyaan-pertanyaan tentang gejala-

gejala yang kemudian dapat diperagakan atau diselidiki dalam praktikum. Mereka diminta untuk

meramalkan hasil percobaan dan memberikan alas an untuk mendukung ramalannya itu. (b)

konflik kognitif dan diskusi kelas. Siswa akan daapt melihat sendiri apakah ramalan mereka

benar atau salah. Mereka didorong untuk menguji keyakinan dengan melakukan percobaan. Bila

ramalan mereka meleset, mereka akan mengalami konflik kognitif dan mulai tidak puas dengan

gagasan mereka. Kemudian mereka didorong untuk memikirkan penjelasan paling sederhana

yang dapat menerangkan sebanyak mungkin gejala yang telah mereka lihat. Usaha untuk

mencari penjelasan ini dilakukan dengan proses konfrontasi melalui diskusi dengan teman atau

guru yang pada kapasistasnya sebagai fasilitator dan mediator. (c) membangun ulang kerangka

konseptual. Siswa dituntun untuk menemukan sendiri bahwa konsep-konsep yang baru itu

memiliki konsistensi internal. Menunjukkan bahwa konsep ilmiah yang baru itu memiliki

keunggulan dari gagasan yang lama.

Keenam, aplikasi. Menyakinkan siswa akan manfaat untuk beralih konsepsi dari miskonsepsi

menuju konsepsi ilmiah. Menganjurkan mereka untuk menerapkan konsep ilmiahnya tersebut
dalam berbagai macam situasi untuk memecahkan masalah yang instruktif dan kemudia menguji

penyelesaian secara empiris. Mereka akan mampu membandingkan secara eksplisit miskonsepsi

mereka dengan penjelasa secara keilmuan.

Ketujuh, review dilakukan untuk meninjau keberhasilan strategi pembelajaran yang telah

berlangsung dalam upaya mereduksi miskonsepsi yang muncul pada awal pembelajaran. Revisi

terhadap strategi pembelajaran dilakukan bila miskonsepsi yang muncul kembali bersifat sangar

resisten. Hal ini penting dilakukan agar miskonsepsi yang resisten tersebut tidak selamanya

menghinggapi struktur kognitif, yang pada akhirnya akan bermuara pada kesulitan belajar dan

rendahnya prestasi siswa bersangkutan.

5. Penutup

Berdasarkan uraian di atas maka untuk mengatasi beraneka ragam persoalan dalam pembelajaran

yang semakin rumit, maka pembelajaran behavioristik yang selama ini telah digunakan selama

bertahun-tahun, tampaknya tidak mampu lagi menjawab semua persoalan pembelajaran, maka

perlu mencari alternatif pembelajaran yang lebih mampu mengatasi semua persoalan

pembelajaran yang ada, salah satunya adalah pendekatan konstruktivistik yang telah diuraikan.

Pendekatan ini menghargai perbedaan, menghargai keunikan invidu, menghargai keberagaman

dalam menerima dan memaknai pengetahuan.

Alkitab seringkali menyebutkan berbagai cara Tuhan Yesus mengajar, ada khotbah di bukit,

berdialog dengan para ahli taurat di dalam bait Allah pada usia 12 tahun, berjalan bersama dua

orang murid ke Emaus, pada peristiwa perempuan yang melacurkan diri dan banyak lagi, semua

itu merupakan pembelajaran yang merupakan perwujudan dari pembelajaran konstruktivistik.

Pembelajaran yang membuat pebelajarnya membangun maknanya sendiri, bukan mentranfer


makna/pengetahuan.

Dina Gasong

Rujukan

G. ^ [Gage, N.L., & Berliner, D. 1979. Educational Psychology. Second Edition, Chicago: Rand

Mc. Nally]

Bell Gredler, E. Margaret. 1991. Belajar dan Membelajarkan. Jakarta: CV. Rajawali

Moll, L. C. (Ed.). 1994. Vygotsky and Education: Instructional Implications and Application of

Sociohistorycal Psychology. Cambridge: Univerity Press

Degeng, I Nyoman Sudana. 1989. Ilmu Pengajaran Taksonomi Variable. Jakarta: Depdikbud

Gagne, E.D., (1985). The Cognitive Psychology of School Learning. Boston, Toronto: Little,

Brown and Company

Light, G. and Cox, R. 2001. Learning and Teaching ini Higher Education. London: Paul

Chapman Publising

Slavin, R.E. 1991. Educational Psychology. Third Edition. Boston: Allyn and Bacon

Slavin, R.E. 2000. Educational Psychology: Theory and Practice. Sixth Edition. Boston: Allyn

and Bacon

• Model Mastery Learning - http://andieirfan.multiply.com/

• Rancang Bangun Konsep Teknologi Pendidikan – ttp://re-searchengines.com/ ishak1108.html

• Mastery learning - http://one.indoskripsi.com/node

• Block, James H. (1971) Mastery learning : Theory and practice. New York : Holt, Rinehart and
Winston, Inc.

• Suwatno, Dr, M.Si. 2008, Mengatasi kesulitan belajar melalui klinik pembelajaran :

Disampaikan pada Workshop Evaluasi dan Pengembangan Teaching Klinik bagi dosen Fakultas

Ekonomi Universitas Negeri Padang, Januari 2008

• Suratin GM, Drs. 2000. Pengaruh pendekatan andragogi mastery learning secara terpadu

terhadap prestasi belajar mahasiswa penyetaraan D II PGSD guru kelas pada mata kuliah

evaluasi pengajaran : Lemlit UT

Diperoleh dari "http://id.wikipedia.org/wiki/Teori_Belajar_Behavioristik"

Kategori tersembunyi: Artikel yang perlu dirapikan | Artikel yang belum dirapikan Juni 2009

[1] Bahan diskusi bersama Guru PAK tingkat SLTP Jawa Barat, di Bandung, Kamis, 6 April

2006.

Diposting oleh Guru PAK di 05.52


6 Bagian II LANDASAN TEORI I. Pengertian Pendidikan Agama Kristen Teori dan praktik Pendidikan

Agama Kristen berkaitan erat dengan pengembangan kreativitas dan kompetensi para guru PAK. Untuk

mengajarkan agama kristen terutama dalam lembaga sekolah dan jemaat (gereja) di era atau abad baru

dewasa ini. Ada tiga lembaga yang melaksanakan PAK yaitu keluarga, gereja dan sekolah. Dalam PAK,

tugas pendidik diserahkan kepada satu atau semua lembaga secara tersebar. Secara etimologis, istilah

pendidikan dalam bahasa Indonesia, diterjemahkan dari bahasa Inggris yakni Education, yang

sebenarnya dari bahasa Latin yaitu ducere yang berarti membimbing (to lead) dan di awali dengan kata

e berarti keluar.1 Oleh karena itu, pendidikan artinya suatu tindakan atau proses untuk membimbing

keluar dari suatu keadaan tertentu menuju ke keadaan yang lebih baik. Pengertian Pendidikan di lihat

berdasarkan perkembangan zaman dan sesuai dengan waktu, adapula perspektif masa lampau yakni

salah satu tugas penting pendidikan adalah menjamin pengetahuan sebagai warisan masa lampau yang

dapat terpelihara dan dimungkinkan tersedia bagi kehidupan masa kini, sedangkan perspektif masa kini

adalah proses atau aktivitas yang sedang berlangsung pada masa sekarang untuk mendapatkan dan atau

menemukan sesuatu. Pada hakikatnya, masa kini merupakan sumber pengetahuan pada dirinya sendiri.

Pada akhirnya perspektif masa depan adalah penunjuk arah ke mana usaha (pendidikan) akan di bawa

atau di tuju.2 Berdasarkan pandangan di atas, pendidikan memiliki tiga dimensi waktu yaitu perspektif

masa lampau, masa kini dan masa depan. Pada ketiga dimensi ini, saling berkaitan satu dengan lainnya

karena perspektif masa lampau menjadi bekal bagi perspektif masa kini dan perspektif masa kini bisa

menjadi pedoman untuk menuju ke perspektif masa depan. Tujuan pendidikan 1 Sumiyatiningsih,

Mengajar Dengan Kreatif dan Menarik, 2-4. 2 Sumiyatiningsih, Mengajar Dengan Kreatif dan Menarik, 6-

7. 7 berdasarkan perkembangan zaman dan waktu, pendidikan memiliki tujuan yang pasti, yaitu

membimbing keluar untuk menjadi lebih baik. Pendidikan dalam arti membimbing keluar memang

merupakan aktivitas yang di arahkan ke masa depan, menuju horizon yang melampaui keterbatasan

manusia masa kini. Sehingga asumsi penting untuk dimensi waktu ini adalah kita ingin dan hendak
mencapai masa depan yang berguna. Oleh karena itu, proses pendidikan yang kita lakukan merupakan

hal yang vital dan perlu dilakukan dalam aktivitas pendidikan, yakni transformasi atau pembaharuan dari

masa lampau ke masa kini menuju masa depan.3 Sementara itu pengertian pendidikan dari Groome

yang mengacu pada Lawrence Cremin yang mendefinisikan pendidikan sebagai usaha yang sadar,

sistematis dan berkesinambungan untuk mewariskan, membangkitkan atau memperoleh baik

pengetahuan, sikap-sikap, nilai-nilai, keterampilanketerampilan atau kepekaan-kepekaan maupun hasil

apapun dari usaha tersebut.4 Setelah kita memahami pengertian pendidikan kita akan membahas

kaitannya dengan agama. Sejauh pendidikan bertujuan untuk menggerakkan manusia untuk melampaui

keterbatasan masa kini menuju realisasi kemungkinan dan potensi secara penuh, kita dapat mengatakan

bahwa semua pendidikan, setidaknya secara implisit, adalah suatu pencarian atau upaya pencapaian

terhadap yang transenden. Seorang tokoh Kristen, David Tracy mengakui bahwa tidak ada satu definisi

tunggal mengenai fenomena manusia yang dapat dibuat dan mencakup isi yang umum yang dapat di

sepakati semua pihak yang disebut sebagai agama.5 Namun kita dapat mendefinisikan agama sebagai

upaya pencarian terhadap yang transenden, dimana hubungan seorang dengan suatu dasar keberadaan

yang mutlak dibawa ke dalam kesadaran sehingga agama di beri ekspresi (perwujudan). Pada

hakikatnya, setiap orang mempunyai kesadaran religius, yakni kesadaran akan adanya kodrat

supranatural. Kesadaran 3 Sumiyatiningsih, Mengajar Dengan Kreatif dan Menarik, 8. 4 Daniel

Nuhamara, Pembimbing PAK (Pendidikan Agama Kristen (Bandung: Jurnal Of Media, 2007), 16. 5

Sumiyatiningsih, Mengajar Dengan Kreatif dan Menarik, 8. 8 terhadap relasi dengan yang supranatural

tentunya di beri wujud dalam bentuk yang bermacam-macam.6 Dengan pemahaman seperti itu,

pendidikan agama dapat dikatakan sebagai suatu usaha yang sengaja untuk memahami dan menghayati

dimensi kehidupan yang transenden. Dengan adanya pendidikan, kata agama merujuk pada

kebersamaannya dengan semua usaha pendidikan yaitu suatu ikatan yang penting untuk dipertahankan.

Pendidikan yang baik perlu mempertahankan pendidikan yang mengutuhkan manusia (holistic) yang
mencakup aspek kognitif, afektif dan tingkah laku, karena dengan begitu kita akan menyadari bahwa arti

pendidikan itu sebetulnya jauh lebih luas daripada sekedar usaha persekolahan.7 Agama dapat

dibicarakan secara umum, namun dalam kenyataannya, agama mendapatkan ekspresi/perwujudan pada

manivestasi histori yang bersifat khusus karena secara harafiah tidak ada agama secara umum. Jika

pendidikan agama dilakukan oleh dan dari tradisi agama tertentu, tradisi agama itulah yang sebetulnya

menamai dan mencirikan pendidikan agama tersebut. Dengan demikian jika pendidikan agama

dilakukan oleh persekutuan agama Kristen dan dari perspektif agama Kristen, istilah yang tepat untuk

menyebutnya adalah pendidikan agama kristiani. Jadi makna kata Kristen dalam istilah Pendidikan

Agama Kristen (PAK) adalah pendidikan agama tersebut dilakukan oleh persekutuan iman Kristen dan

dari perspektif kristiani.8 Dari pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa Pendidikan Agama Kristen

adalah proses mendidik atau membimbing keluar dari masa lampau dan berproses pada masa kini

sehingga mampu menuju ke masa depan yang berguna dalam pembangunan dan pengembangan iman

kristiani dari pendidik maupun peserta didik. 6 Sumiyatiningsih, Mengajar Dengan Kreatif dan Menarik,

9. 7 Sumiyatiningsih, Mengajar Dengan Kreatif dan Menarik, 8-9. 8 Sumiyatiningsih, Mengajar Dengan

Kreatif dan Menarik, 12. 9 II. Pengertian Gereja Gereja secara umum adalah pedoman belajar rohani

bagi setiap orang yang berada di dalamnya. Di dalam gereja, setiap orang yang berada didalamnya

berproses bersama dalam pengembangan dan pertumbuhan spiritualitas pribadi mereka. Dalam bahasa

inggris, kata gereja adalah Church yang berasal dari bahasa Kuriakon yang berarti “Milik Tuhan”. Kata ini

biasa digunakan untuk menunjukkan hal-hal lainnya seperti tempat, orang-orang, atau denominasi yang

menjadi milik Tuhan.9 Dalam perspektif Perjanjian Baru, gereja memiliki kedudukan yang penting.

Menurut Yesus, gereja mendapat tempat yang utama. Yesus mengatakan bahwa kedatangan-Nya ke

dunia adalah untuk membangun gereja di atas dasar pengakuan bahwa Dia adalah Mesias Anak Allah

(Matius 16:18). Yesus juga mengungkapkan bahwa gereja berperan penting sebagai wadah restorasi

umat (perdamaian).10 Jika gereja berperan penting sebagai perdamaian, maka perlu di perhatikan lagi
arti misi sekular gereja. Persoalan mengenai peranan gereja dalam situasi sekarang ini adalah persoalan

misi. Tanpa misi gereja, tak akan pernah menjangkau peranan gereja didalam dunia dewasa ini. Yang

diungkapkan Colin Williams bahwa gereja harus keluar dari introvert dan memusatkan diri ke arah

perhatian terhadap pelayanan kepada dunia. Karena itu misi gereja yang relevan dalam situasi dunia

sekular adalah misi gereja yang bekerja dalam struktur dunia. Selain itu, misi gereja juga berjuang untuk

mentransformasikan struktur yang menindas kearah struktur yang adil dan membebaskan.11 Secara

sosiologis, gereja adalah suatu persekutuan sosial yang mempunyai ciri khas yang membedakannya

dengan persekutuan lainnya. Secarateologis, gereja sebagai persekutuan orang percaya. Yang

mempersekutukan mereka adalah kepercayaan dan imannya kepada Allah 9 Charles C Ryrie, Teologi

Dasar: Panduan Populer Untuk Memahami Kebenaran Alkitab ( Yogyakarta: Yayasan ANDI, 1986), 143.

10 Sumiyatiningsih, Mengajar Dengan Kreatif dan Menarik, 27-28. 11 Yusak B. Setyawan, Gereja, Politik

dan Etika (Salatiga: Fakultas Teologi UKSW,2013), 5-6. 10 yang menyatakan diri dalam Yesus Kristus.

Inilah yang kita sebut sebagai iman Kristen (iman kristiani).12 III. Pendidikan Agama Kristen dalam

Konteks Gereja PAK adalah salah satu tugas dan tanggungjawab gereja bagi perkembangan dan

pertumbuhan rohani jemaat. Dari sekian banyak tugas dan tanggungjawab gereja, secara khusus gereja

harus menitikiberatkan PAK sebagai tugas penting gereja karena Tuhan telah memberikan amanat

kepada gereja supaya mengajar. Oleh karena itu, PAK harus dikerjakan selayaknya dan sewajarnya

terhisap dalam tugas gereja yang sah, sehingga harus dilaksanakan bersama dan oleh seluruh anggota

jemaat.13 PAK menjadi keharusan bagi seluruh jemaat untuk mengikutsertakan diri dalam

perkembangan serta petumbuhan iman jemaat karena didalam PAK kita didik dan mendidik. Di dalam

pendidikan, ada proses belajar dan mengajar, ada peserta didik dan pendidik. Tentunya pendidikan yang

diadakan di gereja sebaiknya perkategori sehingga adanya efektifitas jemaat dalam melakukan proses

belajar serta mengajar dalam gereja. Dengan demikian dapat dikembangkan pelayanan-pelayanan baru

yang relevan berdasarkan kebutuhan, selama ini telah dikembangkan pelayanan kategorial berdasarkan
usia. Dalam perkembangan keadaan masa kini, pelayanan kategorial tersebut telah menjadi klasifikasi

tersendiri karena setiap kategori ternyata memiliki signifikan maupun kebutuhan yang sangat khas

berdasarkan usia mereka masing-masing. Misalnya pelayanan untuk anak-anak (sekolah minggu), untuk

pendidikan kaum remaja dan pemuda, relative lebih muda karena gereja menyadari adanya kekhasan

berdasarkan teori-teori perkembangan sehingga minat dan kebutuhannyapun berbeda-beda. Disamping

itu, masa remaja dan pemuda adalah masa perpindahan ke arah dewasa; suatu masa yang rawan dan

perlu pelayanan tersendiri. Dan 12 Nuhamara, Pembimbing PAK, 7. 13 Homroghausen dan I.H Enklaar,

Pendidikan Agama Kristen (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2015), 20-21. 11 selanjutnya pendidikan kristiani

untuk kaum dewasa yang merupakan pelayanan kategorial yang masih baru.14 Berdasarkan penjelasan

itu, penulis memfokuskan kepada tugas dan peran gereja dalam pelayanan kategorial terhadap remaja.

Oleh karena itu, penulis memilih psikologi perkembangan menjadi model pembelajaran sebagai

informasi bagi proses pendidikan di gereja. Berikut ini akan dijelaskan periode perkembangan psikologi

dari anak usia batita sampai remaja. 1. Periode Bayi (0-2 tahun) Secara umum dari beberapa penelitian

indra seorang bayi yang baru lahir telah berkembang sejak awal sehingga bayi telah memiliki

kemampuan sensoris dan persepsi walaupun masih terbatas dalam taraf tertentu. Kemampuan ini

sangat berkatian dengan informasi dan panca indera. Menurut pandangan Ekologi dari Gibson, individu

secara langsung mempersepsikan informasi yang ada didunia sekitarnya. Persepsi dirancang untuk

tindakan, misalnya memberikan informasi kepada individu seperti kapan dia harus mengulurkan tangan

untuk meraih sesuatu.15 Persepsi menyeluruh adalah kemampuan untuk mengaitkan dan

mengintegrasikan informasi dari dua atau lebih pengalaman sesnsoris seperti penglihatan dan

pendengaran. Berdasarkan penelitian dari Spelke menunjukan bahwa bayi berusia empat bulan sudah

memiliki persepsi menyeluruh. Secara umum kemampuan persepsi menyeluruh makin meningkat

seiring dengan bertambahnya usia dan pengalaman bayi.16 Untuk periode ini perkembangan kognitif

bayi ada pada tahap sensorimotorik. Pada tahap ini bayi membentuk pemahaman tentang sekitarnya
dengan mengkoordinasikan pengalaman sensoriknya, seperti melihat dan mendengar dengan tindakan

fisik motoriknya. Baru pada 14 Sumiyatiningsih, Mengajar Dengan Kreatif dan Menarik, 34-35. 15

Christiana Hari Soetjiningsih, Seri Psikologi Perkembangan: Perkembangan Anak – Sejak Pembuahan

Sampai dengan Kanak-Kanak Akhir (Jakarta: KENCANA, 2012), 129. 16 Christiana, Seri Psikologi

Perkembangan, 136. 12 akhirnya tahapan sensorimotor, anak usia dua tahun sudah mampu

menghasilkan pola-pola sensorimotor yang kompleks dan menggunakan symbol-simbol primitif dan

anak mulai memahami bahwa objek-objek terpisah dari dirinya dan bersifat permanen.17 Anak yang

sudah memiliki kemampuan untuk menghasilkan pola-pla sensorimotorik. Namun tidak hanya

perkembangan anak secara biologis dan kognitif yang diperhatikan, perkembangan sosial emosional juga

harus diperhatikan. Perkembangan sosial emosional merupakan dasar perkembangan kepribadian

individu kelak dengan berhubungan positif dengan perkembangan aspek-aspek lainnya. Emosi pada bayi

adalah sarana yang digunakan untuk berkomunikasi. Pengalaman ini sangat penting karena masa bayi

merupakan periode yang peka untuk perkembangan kepribadian.18 2. Periode Kanak-Kanak Awal (2-6

tahun) Umumnya orang tua menganggap masa ini sebagai usia bermasalah atau usia sulit karena pada

masa ini sering terjadi masalah perilaku sebagai akibat karena anak sedang dalam proses perkembangan

kepribadian yang unik dan menuntut kebebasan.19 Masa ini sangat rawan bagi orangtua dalam

mendidik anak karena proses perkembangan anak pada masa ini cukup sensitif bagi anak usia 2-6 tahun.

Pada usia ini, anak mengalami kemajuan yang sangat pesat dalam ketrampilan motorik, baik

ketrampilan motorik kasar yang melibatkan otot-otot besar seperti berlari, melompat, memanjat, dll.

Juga ketrampilan motorik halus sebagai hasil koordinasi otot-otot kecil dengan mata dan tangan seperti

menggambar, menggunting dll.20 Pada masa ini secara tidak langsung anak telah dilatih untuk

menentukan kemampuan mereka baik melalui ketrampilan motorik kasar maupun lembut. Dalam

perkembangan anak, perkembangan otak pada anak terus 17 Christiana, Seri Psikologi Perkembangan,

138-139. 18 Christiana, Seri Psikologi Perkembangan, 146-147. 19 Christiana, Seri Psikologi


Perkembangan, 181. 20 Christiana, Seri Psikologi Perkembangan, 185. 13 berjalan, meskipun tidak

sepesat masa bayi, namun pada masa kanakkanak awal otak terus bertumbuh. Pada usia ini, cara

berpikir anak ditandai dengan kreativitas, bebas dan penuh imaginasi/daya/khayal seperti menggambar

langit dengan warna hijau, pohon warna ungu, mobil berjalan diatas awan.21 Menurut Piaget, pada

tahap ini pemikiran anak makin kompleks dan mampu menggunakan pemikiran simbolis. Pada berpikir

simbolis, anak mengembangkan kemampuan untuk membayangkan secara mental suatu objek yang

tidak ada.22 Oleh karena itu, pada periode ini, anak ada dalam proses berpikir yang tinggi dan ditandai

dengan karya mereka melalui bagaimana mereka berimajinasi dengan cara mereka berpikir serta

membayangkan banyak hal. Dan ini adalah ciri mereka berkesistensi pada dirinya sendiri. Tidak hanya

perkembangan pola pikir anak yang diperhatikan, perkembangan sosial emosional anak juga perlu

diperhatikan. Perkembangan sosial dan emosional anak berkaitan dengan kapasitas anak untuk

mengembangkan self-confidence (percaya diri), trust (kepercayaan) dan empathy (empati).

Perkembangan sosial-emosional yang positif serta baik merupakan predaktor untuk kesuksesan dalam

bidang akademik, kognitif, sosial dan emosional dalam kehidupan anak selanjutnya.23 Perkembangan

anak pada tahap ini adalah awal dalam proses pembentukan karakter anak karena berdasarkan

penjelasan diatas, proses perkembangan ini mencakup beberapa hal penting dalam tumbuh kembang

anak selanjutnya, sehingga peran orang tua, keluarga serta lingkungan sangat mempengaruhi

perkembangan anak. Oleh karena itu Menurut Santrock, perkembangan emosi dan sosial tidak terlepas

dari peran dan fator-faktor keluarga, relasi anak dengan teman sebayanya dan kualitas bermain yang

dilakukan bersama 21 Christiana, Seri Psikologi Perkembangan, 193. 22 Christiana, Seri Psikologi

Perkembangan,195. 23 Christiana, Seri Psikologi Perkembangan, 213. 14 dengan teman sebayanya.24

Namun yang menjadi kendala adalah banyak orang tua yang tidak memahami perkembangan sosial-

emosional anak diperngaruhi oleh pengalaman-pengalaman awal. Terlepas dari itu, pada masa ini,

menurut Hurlock, keingintahuan anak tentang masalah-masalah agama menjadi besar dan anak senang
mengajukan banyak pertanyaan dan anak akan menerima jawaban dari pertanyaan mereka tanpa ragu-

ragu. Hal ini membuat anak meminati agama lebih bersifat egosentris, contohnya: menurut anak, Santa

Klaus akan datang membawa hadiah setiap malam natal sesuai dengan apa yang mereka inginkan.25

Artinya, anak menerima semua keyakinannya dengan unsur yang tidak nyata. Cerita-cerita dongeng

dalam alkitab mampu menarik perhatian mereka sehingga anak-anak sangat senang jika dilibatkan

dalam hal-hal seperti mengikuti sekolah minggu. 3. Periode Kanak-Kanak Akhir (6-12 Tahun) Masa

kanak-kanak akhir dimulai dari usia enam tahun sampai kira-kira usia 12 tahun atau sampai tiba saatnya

individu menjadi matang secara seksual. Orang tua umumnya menganggap masa ini merupakan usia

yang menyulitkan karena anak tidak mau lagi menuruti perintah orang tua dan lebih banyak dipengaruhi

oleh teman sebayanya dan lingkungan.26 Pada masa ini, anak diperhadapkan dengan banyak pilihan

karena perlahan-lahan mereka mulai berada diluar pengawasan orangtua dan hal ini membuat orangtua

berpikir bahwa ini adalah masa sulit. Pada perkembangan ini, emosi dan sosial adalah proses

berkembanganya kemampuan anak untuk menyesuaikan diri terhadap dunia sosial yang lebih luas, pada

masa ini, anak menjadi lebih peka terhadap perasaannya sendiri dan perasaan orang lain. Mereka dapat

lebih baik mengatur ekspresi emosionalnya dalam situasi sosial dan mereka dapat merspons tekanan

emosional orang lain.27 24 Christiana, Seri Psikologi Perkembangan, 213. 25 Christiana, Seri Psikologi

Perkembangan, 246. 26 Christiana, Seri Psikologi Perkembangan, 247-248. 27 Christiana, Seri Psikologi

Perkembangan, 264. 15 Secara khusus, perkembangan minat terhadap agama, anak pada usia ini

ditandai melalui minat mengikuti upacara keagamaan makin kuat, kemampuan menalar makin

meningkat, mulai muncul kebingungan dan keraguan yang cenderung melemahkan kepercayaan dan

minat pada doa biasanya berkurang karena merasa sebagian besar doanya tidak terjawab. Keagamaan

anak dipengaruhi oleh tingkah laku keagamaan orangtua sehingga peran orang tua sangatlah penting

bagi pengembangan anak dalam keagamaan. 4. Periode Remaja Remaja sering disebut sebagai

adolescence yang berasal dari bahasa latin, yakni adolescere yang berarti “tumbuh” atau “tumbuh
menjadi dewasa”. Istilah adolescence mempunyai arti yang lebih luas mencakup kematangan mental,

emosional, sosial dan fisik.28 Masa ini tentunya mengalami banyak hal karena mencakup kematangan

dalam segala aspek. Sehingga masa ini sering disebut sebagai masa yang penting. Pada dasarnya semua

masa yang dilewati adalah masa yang penting namun pada tingkatannya memiliki perbedaan

kepentingan karena masa ini adalah masa transisi. Transisi merupakan tahap peralihan dari satu tahap

ke tahap berikutnya. Maksudnya, apa yang telah terjadi sebelumnya akan membekas pada apa yang

terjadi sekarang dan yang akan datang. Jika seorang anak beralih dari masa kanak-kanak ke masa

dewasa, dia harus meninggalkan segala hal yang bersifat kekanakkanakan dan mempelajari pola tingkah

laku dan sikap baru.29 Pada tahap ini, remaja diperhadapkan dengan suatu realita yang harus diterima

yakni berpindah dari masa kanak-kanak ke masa yang penting dan melewati masa transisi dengan semua

ingatan pada masa kanak-kanak namun harus beranjak ke masa yang bisa dikatakan masa dewasa awal.

28 Muhamad Al-Mighwar, Psikologi Remaja (Bandung: Pustaka Setia, 2006), 55. 29 Muhamad Al-

Mighwar, Psikologi Remaja, 63. 16 Pada masa ini juga sering disebut sebagai masa yang tidak realistik.

Pandangan subiektif cenderung mewarnai remaja. Mereka memandang diri sendiri dan orang lain

berdasarkan keinginannya dan bukan berdasarkan kenyataan yang sebenarnya, apalagi dalam hal

citacita. Selanjutnya, dia akan memandang diri sendiri, keluarga, temanteman dan kehidupan pada

umumnya secara realistik, sejalan dengan pengalaman pribadi dan sosial yang semakin meningkat serta

kemampuan untuk berpikir rasional. Sisi positif dari masa ini adalah, dia tidak mudah kecewa seperti

saat sebelumnya.30 Sepanjang masa remaja, minat yang dibawa dari masa kanakkanak cenderung

berkurang dan digantikan dengan minat yang lebih matang. Selain itu, mayoritas remaja memperoleh

nilai yang berbeda dan yang lebih matang. Hal ini Nampak dalam pertumbuhan dan perkembangan

mereka seperti cara pandangan subyektif dan pada umumnya secara realistik. Namun, minat pada

agama menjadi sesuatu yang tidak realistic dari awal tetapi pada umumnya semua remaja memiliki

minat pada agama mereka masing-masing. Hal ini membuat mereka lebih kritis relaistis dalam berpikir
dan memahami tentang keyakinan mereka karena hal ini bersifat pencarian terhadap yang

transenden.31 Seringkali dengan gampang, banyak orang mendefinisikan remaja sebagai periode/masa

transisi antara masa anak-anak ke masa dewasa. Konsep remaja berasal dari bidang ilmu sosial seperti

Antropologi, Sosiologi, Psikologi dan Paedagogi. Konsep remaja juga merupakan konsep yang relatif

baru. Remaja ditinjau dari sudut perkembangan fisik seorang anak. Dalam ilmu kedokteran dan ilmu-

ilmu terkait, remaja dikenal sebagai suatu tahap perkembangan fisik untuk mencapai kematangan. Masa

pematangan fisik ini berjalan kurang lebih 3-4 tahun. Berkisar pada anak usia 13-17 tahun.32 30

Muhamad Al-Mighwar, Psikologi Remaja, 67. 31 Muhamad Al-Mighwar, Psikologi Remaja, 107. 32 Sarlito

Wirawan Sarwono, Psikologi Remaja (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000), 2-6. 17 Seorang tokoh

psikolog, bernama F Neidhart melihat masa remaja sebagai masa peralihan ditinjau dari kedudukan

ketergantungannya dalam keluarga menuju ke kehidupan dengan kedudukan mandiri. Ada juga seorang

psikolog, E.H. Erikson mengemukakan bahwa timbulnya perasaan baru tentang identitas daripada masa

remaja. Terbentuknya gaya hidup tertentu sehubungan dengan penempatan dirinya, yang tetap dapat

dikenal oleh lingkungan walaupun mengalami perubahan pada dirinya maupun kehidupan seharihari.33

Oleh karena itu, jika dilihat berdasarkan psikologi perkembangan khususnya remaja, gereja sebaiknya

berperan penting dalam pendidikan anak usia remaja karena usia 13-17 tahun adalah masa dimana anak

mencari identitas. Pada usia ini, anak memasuki tahapan kematangan intelek. Dia mulai mampu berpikir

jauh melebihi dunia nyata dan keyakinannya sendiri, yaitu memasuki dunia ide-ide. Tahap ini merupakan

awal berpikir hipotesis-deduktif yang merupakan cara berpikir ilmiah.34 Remaja mulai berpikir lebih

umum ke khusus dengan begitu banyak pertanyaan karena pada masa ini remaja mulai memiliki

perasaan ingin tahu dan memiliki perasaan mencoba yang sangat tinggi. Berdasarkan teori psikologi

perkembangan anak, masing-masing anak memiliki perkembangan yang berbeda-beda baik dalam

perkembangan kognitif, afektif, motorik, sosio-emosional, dll. PAK perlu memmperhatikan agar

pengajaran setiap anak sebaiknya berbasis kategorial sehingga kebutuhan setiap anak memiliki cara
pemahaman mereka sesuai dengan kepentingan dan kebutuhan mereka pada usia perkembangan

mereka. Pada saat ini remaja berada dalam situasi: di satu sisi ingin memiliki identitas pribadi, namun

disisi lain dia juga ingin menyisihkan rasa kekaburan identitasnya. Mereka diperhadapkan dengan

banyak pilihan untuk dipilih menjadi identitas yang konsisten. Identitas tersebut 33 Singgih D. Gunarsa

dan Ny. Y. Singgih D. Gunarsa, Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja (Jakarta: BPK Gunung Mulia,

1983), 202-203. 34 Sumiyatiningsih, Mengajar Dengan Kreatif dan Menarik, 126. 18 meliputi tiga bidang

konsep diri yaitu seksualitas, pekerjaan/panggilan dan sosial. Implikasinya, mereka ingin tahu siapa

dirinya, kemana hidup diarahkan dan hubungan dengan orang lain.35 Pada tahap ini, remaja takut

mendefinisikan dirinya sendiri karena diperhadapkan dengan begitu banyak realitas yang ada. Menurut

Fowler, taraf iman remaja ini disebut sebagai sintesis konvensional. Disebut sintesis karena tidak

reflektif dan unsur-unsurnya tidak analitis, namun dipersatukan dalam keseluruhan struktur global.

Disebut konvensional karena barbagai unsur keyakinan religious didapatkan dari orang lain sehingga

bersifat solider dan comform dengan sistem masyarakat. Remaja membentuk sikapknya terhadap hidup

melalui apa yang dipercaya keluarganya sendiri, menuju kepada pandangan-pandangan diluar diri dan

keluarganya. Para pendidik, dalam hal ini gereja harus dapat menolong para remaja agar mereka dapat

memperoleh orientasi diberbagai bidang secara lebih luas dan mengintegrasikan berbagai informasi

maupun nilai-nilai untuk pembentukan kepribadian, identitas, maupun pandangan hidupnya.36 Oleh

karena itu, PAK menjadi lebih efektif jika proses pengajarannya berbasis kategorial sehingga

pemahaman anak sebagaimana yang diajarkan bisa memenuhi kemampuan anak dalam memahami

maupun ketika anak mencoba untuk mengerti apa yang diajarkan sesuai dengan kepentingan anak

dalam menangkap materi yang disampaikan guru. 35 Sumyatiningsih, Mengajar Dengan Kreatif dan

Menarik, 127. 36 Sumyatiningsih, Mengajar Dengan Kreatif dan Menarik, 128-129.


KONSEP BELAJAR; Pengertian, Teori, dan Jenis-Jenis Belajar
1. Belajar
a. Pegertian Belajar
Belajar merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam kehidupan manusia. Belajar tidak hanya
melibatkan penguasaan suatu kemampuan atau masalah akademik baru, tetapi juga perkembangan
emosi, interaksi sosial, dan perkembangan kepribadian. “Belajar adalah berusaha (berlatih dsb.) supaya
mendapat kepandaian”[1]. Belajar itu bukan hanya menghafal dan mengingat, melainkan berinteraksi
dengan lingkungannya. Dari sini, belajar berarti suatu proses yang ditandai dengan perubahan pada diri
seseorang, dengan ditunjukkan dalam berbagai bentuk seperti bertambah pengetahuannya, bertambah
daya penerimaannya dan aspek-aspek lain yang ada pada individu.
“Kata belajar dalam pengertian kata “mempelajari” berarti memperoleh pengetahuan melalui
pengalaman dan mempersiapkan secara langsung dengan indera. Adapun kata belajar dalam pengertian
kata “mengetahui” adalah untuk memiliki pemahaman praktis melalui pengalaman dengan suatu hal[2].”
“Perlu diketahui dalam pemakaian istilah belajar sekurang-kurangnya ada dua hal besar yang dapat
membedakannya, yaitu dalam pemakaian pertama: merujuk pada perubahan prilaku, sedangkan
pemakaian istilah kedua: merujuk pada bagaimana macam keadaan internal yang diperkirakan mejadi
dasar dari proses prilaku”[3].
Belajar selalau berkaitan dengan perubahan-perubahan pada diri orang yang belajar. Perubahan
ini bisa berupa pengetahuan, sikap atau afeksi, maupun keterampilan. Unsur lain yang terkait dengan
belajar adalah pengalaman yang merupakan hasil dari interaksi individu dengan lingkungannya.
Kedua unsur tersebut hampir selalau ditekankan dalam rumusan atau definisi tentang belajar. Ngalim
Purwanto dalam buku Psikologi Pendidikan mengemukakan pendapat beberapa tokoh pendidikan
mengenai pengertian belajar. Sebagai berikut:
a. Morgan dalam bukunya Introduction to Psychology (1978) mengemukakan belajar adalah perubahan
yang relative menetap (menyatu dalam pribadi individu) dalam tingah laku yang terjadi sebagai hasil dari
latihan atau pengalaman.
b. Witherington dalam bukunya Educatoin Psychology mengemukakan bahwa belajar adalah suatu
perubahan di dalam kepribadian yang menyatakan diri sebagai suatu pola baru dari reaksi berupa
kecakapan, sikap, kepandaian, kebiasaan, atau suatu pengertian[4].

Dari kedua pengertian tersebut diatas penulis dapat menyimpulkan:


a. Belajar merupakan suatu proses untuk memperoleh perubahan tingkah laku
b. Dalam belajar terjadi perubahan tingkah laku yang menetap dan menyatu dalam diri individu
c. Hasil perubahan belajar itu karena disengaja.
Berdasarkan beberapa definisi di atas, secara umum belajar dapat dipahami bahwa belajar
merupakan tahapan perubahan seluruh tingkah laku individu yang relatif menetap sebagai hasil dari
pengalaman dan interaksi dengan lingkungan yang melibatkan proses kognitif. Sebenarnya keberagaman
dalam mendefinisikan makna belajar baik secara eksplisit maupun implisit, pada akhirnya memiliki
kesamaan makna. “Salah satu definisi yang nyaris disepakati para psikolog adalah bahwa belajar
merupakan sebuah proses perubahan prilaku atau pribadi berdasarkan praktik atau pengalaman
tertentu”[5].
Untuk mengetahui bahwa seseorang telah menjalani proses belajar dan telah mengalami
perubahan-perubahan, baik perubahan dalam memiliki pengetahuan, penguasaan materi, sikap dan
keterampilan, maka dapat dilihat dari hasil belajar atau prestasi belajar sebagai salah satu
pengukurannya.

b. Beberapa Teori Belajar


Ngalim Purwanto mengemukakan 3 (tiga) teori belajar yang merupakan hasil penyelidikan para ahli
psikolog, yaitu: teori Conditioning, teori Connectionism, dan teori menurut psikologi Gestal.
1. Teori Conditioning
Teori Conditioning ini dipelopori oleh Ivan Pavlov (1849-1936), seorang fisiologi berkebangsaan
Rusia. Menurut teori ini, belajar adalah suatu proses perubahan yang terjadi karena adanya syarat-
syarat (conditionis) yang kemudian menimbulkan reaksi (response). Untuk menjadikan seorang itu belajar
haruslah kita berikan syarat-syarat tertentu. Yang terpenting menurut teori conditionig ialah adanya
latihan-latihan yang kontinu. Yang diutamakan dalam teori ini ialah hal belajar yang terjadi secara
otomatis.
Penganut teori ini mengatakan bahwa segala tingkah laku manusia juga tidak lain adalah hasil
daripada conditioning. Yakni hasil daripada latihan-latihan atau kebiasaan-kebiasaan mereaksi terhadap
syarat-syarat atau perangsang-perangsang tertentu yang dialaminya didalam kehidupannya.
Kelemahan dari teori ini ialah, teori ini menganggap bahwa belajar itu hanyalah terjadi secara
otomatis; keaktifan dan penentuan pribadi tidak dihiraukan. Peranan latihan/kebiasaan terlalu
ditonjolkan[6].
2.Teori Connectionism (Thorndike)
Edward Thorndike (1874-1949) adalah salah seorang psikolog kebangsaan Amerika. Ia merupakan
orang pertama yang melakukan eksperiment belajar dengan hewan. Menurut Thorndike belajar itu
melalui 2 (dua) proses:
a. Trial and eror (mencoba dan mengalami kegagalan), dan
b. Law of effect, yang berarti bahwa segala tingkah laku yang berakibatkan suatu keadaan yang
memuaskan (cocok dengan tuntunan situasi) akan diingat dan dipelajari dengan sebaik-baiknya.
Sedangkan segala sesuatu yang berakibatkan tidak menyenangkan akan dihilangkan atau
dilupakannya. Tingkah laku ini terjadi secara otomatis. Otomatis dalam belajar itu dapat dilihat dengan
syarat-syarat tertentu, pada binatang juga pada manusia[7].
Thorndike membuat suatu prinsip tentang belajar yaitu: belajar akan terjadi jika respon
mengandung efek tertentu terhadap lingkungan. Jika efek respon menyenangkan, maka belajar terjadi.
Jika efek respon tidak menyenangkan maka prilaku belajar semakin melemah. Hukum efek menyebutkan
bahwa belajar terdiri dari penguatan hubungan antara satu situasi stimulus dan respon. Hubungan ini
akan diperkuat jika respon mengandung efek yang menghasilkan kepuasan atau akan diperlemah jika
respon mengandung efek yang tidak menyenangkan[8].
Kelemahan dari teori ini ialah:
1.Terlalu memandang manusia sebagai mekanisme dan otomatisme belaka disamakan dengan
hewan. Meskipun banyak tingkah laku manusia yang otomatis, tetapi tidak selalu bahwa tingkah laku
manusia itu dapat dipengaruhi secara trial and eror. Trial and eror tidak berlaku mutlak bagi manusia
2. Memandang belajar hanya merupakan asosiasi belaka antara stimulus dan respon. Sehingga
yang yang dipentingkan dalam belajar ialah memperkuat asosiasi tersebut dengan latihan-
latihan, atau ulangan-ulangan yang terus menerus.
3. Karena belajar berlangsung secara mekanis, maka “pengertian” tidak dipandang sesuatu yang
pokok dalam belajar. Mereka mengabaikan “pengertian” sebagai unsur yang pokok dalam
belajar[9].

3. Teori menurut Psikologi Gestal


Teori ini sering kali disebut field theory atau insting full learning. Menurut para ahli psikologi Gestal,
manusia itu bukanlah sekedar makhluk reaksi yang hanya berbuat atau beraksi jika ada perangsang yang
mempengaruhinya. Manusia itu adalah individu yang merupakan kebulatan jasmani-rohani. Sebagai
individu manusia berinteraksi dengan dunia luar dengan kepribadiannya dan dengan cara yang unik pula.
Dengan demikian maka belajar menurut psikologi Gestal bukan hanya sekedar merupakan proses
asosiasi antara stimulus-respon yang makin lama makin kuat karena adanya latihan-latihan atau ulangan-
ulangan. Belajar menurut psikologi Gestal terjadi jika ada pengertian (insting). Pengertian atau insting ini
muncul apabila seseorang setelah beberapa saat mencoba memahami suatu masalah, tiba-tiba muncul
adanya kejelasan, terlihat olehnya hubungan adanya unsur-unsur yang satu dengan yang lain, kemudian
dipahami sangkut pautnya; dimengerti maknanya.
Dengan singkat belajar menurut psikologi Gestal dapat diterapkan sebagai berikut:
Pertama, dalam belajar faktor pemahaman atau pengertian (insting) merupakan faktor penting.
Dengan belajar dapat memahami/mengerti hubungan antara pengetahuan dengan pengalaman.
Kedua, dalam belajar, pribadi atau organisme memegang peranan yang paling sentral. Belajar
tidak hanya dilakukan secara reaktif-mekanistis belaka, tetapi dilakukan dengan sadar, bermotif dan
bertujuan[10].

c. Jenis-Jenias Belajar
Ada beberapa jenis kegiatan yang terdapat dalam proses belajar. Kegiatan ini memiliki corak yang
berbeda antara satu dengan yang lainnya, baik dalam aspek materi dan metodenya maupun aspek
tujuan dan perubahan tingkah laku yang diharapkan. Keanekaragaman jenis belajar ini muncul dalam
dunia pendidikan sejalan dengan kebutuhan manusia yang juga bermacam-macam.
Fadilah Suralaga dkk. dalam buku Psikologi Pendidikan Dalam Perspektif Islam membedakan jenis
belajar menjadi 8, diantaranya:
1. Belajar Abstrak
Jenis belajar ini merupakan kegiatan yang menggunakan cara berfikir abstrak, yang bertujuan
untuk memperoleh pemahaman dan pemecahan masalah-masalah yang tidak nyata. Untuk mempelajari
hal-hal yang abstrak ini diperlukan prinsip, konsep dan generalisasi seperti belajar matematika, kimia,
tauhid dan sebagainya.
2.Belajar Keterampilan
Jenis belajar yang satu ini menggunakan gerakan-gerakan motorik yakni berhubungan urat-urat
saraf dan neuromuscular dengan tujuan untuk memperoleh dan menguasai keterampilan jasmaniah
tertentu. Untuk memperoleh hasil yang maksimal, maka belajar keterampilan membutuhkan latihan-
latihan yang intensif dan teratur.
3.Belajar Sosial
Pada dasarnya belajar sosial ini belajar untuk memahami masalah-masalah dan teknik-teknik untuk
memecahkan masalah tersebut. Tujuannya untuk menguasai pemahaman dan kecakapan dalam
memecahkan masalah-msalah lain yang bersifat kemasyarakatan
4.Belajar Pemecahan Masalah
Belajar pemecahan masalah merupakan belajar yang menggunakan metode-metode ilmiah atau
berfikir secara sistematis, logis, teratur dan teliti. Tujuannya adalah untuk memperoleh kemampuan dan
kecakapan kognitif untuk memecahkan masalah secara rasional, lugas, dan tuntas.
5.Belajar Rasional
Belajar rasional adalah belajar dengan menggunakan kemampuan berfikir secara logis dan rasional
(sesuai dengan akal sehat). Tujuannya adalah untuk memperoleh aneka ragam kecakapan
menggunakan prinsip-prinsip dan konsep-konsep.

6.Belajar Kebiasaan
Belajar kebiasaan adalah proses pembentukan kebiasaan-kebiasaan baru atau perbaikan
kebiasaan-kebiasaan yang telah ada. Belajar kebiasaan, selain menggunakan perintah, suritauladan, dan
pengalaman khusus, juga menggunakan hukuman dan ganjaran.
7.Belajar Apresiasi
Belajar aspirasi adalah mempertimbangkan (judgement) arti penting atau nilai suatu objek.
Tujuannya adalah agar siswa memperoleh dan mengembangkan kecakapan ranah rasa (affective skill)
yang dalam hal ini kemampuan menghargai secara tepat terhadap nilai objek tertentu misalnya apresiasi
sastra, apresiasi musik, dan sebagainya.
8.Belajar Pengetahuan
Belajar pengetahuan (Knowledge) ialah belajar dengan cara melakukan penyelidikan mendalam
terhadap objek pengetahuan tertentulis[11].

DAFTAR PUSTAKA
Akyas Azhari, Psikologi Umum Dan Perkembangan, (Jakarta: Teraju PT. Mizan Publik, 2004), Cet. I.
Fadilah Suralaga, Dkk., Psikologi Pendidikan Dalam Perspektif Islam, (UIN Jkt. Press, 2005), Cet. I.
Netty Hartati, Dkk. Islam Dan…, h. 57.
Netty Hartati, Dkk. Islam Dan Psikologi, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004), Cet. I
Ngalim Purwanto, Psikologi Pendidikan, (Bandung, PT. Remaja Rosda Karya, 1995)
Pusat Pembinaan Dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, Kamu Umum
Bahasa Indonesia, (Jakarta, Balai Pustaka, 1984), Cet. I
[1] Pusat Pembinaan Dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan Dan
Kebudayaan, Kamu Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta, Balai Pustaka, 1984), Cet. I, h. 108.
[2] Netty Hartati, Dkk. Islam Dan Psikologi, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004), Cet. I, h.
55.
[3] Netty Hartati, Dkk. Islam Dan…, h. 57.
[4] Ngalim Purwanto, Psikologi Pendidikan, (Bandung, PT. Remaja Rosda Karya, 1995), h. 84.
[5] Publik, 2004), Cet. I, h. 122 Akyas Azhari, Psikologi Umum Dan Perkembangan, (Jakarta:
Teraju PT. Mizan.
[6] Ngalim Purwanto, Psikologi Pendidikan…, h. 91.
[7] Ngalim Purwanto, Psikologi Pendidikan…, h. 99.
[8] Netty Hartati, Dkk. Islam Dan…, h. 58-59.
[9] Ngalim Purwanto, Psikologi Pendidikan…, h. 100.
[10] Ngalim Purwanto, Psikologi Pendidikan…, h. 101.
[11] Fadilah

Anda mungkin juga menyukai