Anda di halaman 1dari 10

Tugas Rutin

PEMBELAJARAN BEHAVIOUR DAN KOGNITIF

NAMA DOSEN : Dra. Rosdiana, M. Pd.

DISUSUN OLEH :

KELOMPOK 9

1 . Areigi Doanta Sembiring (4193311026)


2 . Agatha Gabriela Simamora (4193111066)
3 . Tharisya Annida Radani (4193311037)
4 . Vida Gresiana Dachi (4193111085)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA


FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS NEGERI MEDAN
2020
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Teori belajar merupakan landasan terjadinya suatu proses belajar yang menuntun
terbentuknya kondisi untuk belajar. Teori belajar dapat didefenisikan sebagai integrasi prinsip-
prinsip yang menuntun di dalam merancang kondisi demi tercapainya tujuan pendidikan. Teori
belajar akan memberikan kemudahan bagi guru dalam menjalankan model-model pembelajaran
yang akan dilaksanakan. Banyak ditemukan teori belajar yang menitik beratkan pada perubahan
tingkah laku setelah proses pembelajaran.
Pembelajaran adalah proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar
pada suatu lingkungan belajar. Pembelajaran merupakan bantuan yang diberikan pendidik agar
dapat terjadi proses perolehan ilmu dan pengetahuan, penguasaan kemahiran dan tabiat, serta
pembentukan sikap dan kepercayaan pada peserta didik. Dengan kata lain, pembelajaran adalah
proses untuk membantu peserta didik agar dapat belajar dengan baik.
Kita dapat menyimpulkan bahwa pembelajaran telah terjadi ketika seorang individu
berperilaku, bereaksi, dan merespon sebagai hasil dari pengalaman dengan satu cara yang
berbeda dari caranya berperilaku sebelumnya.
1.2. Perumusan Masalah
Karena pembahasan tentang teori behaviorisme sangat luas, maka pada pembahasan makalah
ini penulis akan menitik beratkan pada poin-poin dibawah ini:
1. Apa perbedaan dari kedua teori tersebut?
2. Apa pengertian teori belajar behavior dan kognitif?
3. Apa saja ciri-ciri teori belajar behaviorisme dan kognitif?
4. Siapakah tokoh-tokoh yang mendukung teori belajar behavior dan kognitif?
BAB II
PEMBAHASAN
1.      Teori Behaviorisme
Teori belajar behaviorisme menjelaskan belajar itu adalah perubahan perilaku yang dapat
diamati, diukur dan dinilai secara konkret. Perubahan terjadi melalui rangsangan (stimulus) yang
menimbulkan hubungan perilaku reaktif (respon) berdasarkan hukum-hukum mekanistik.
Stimulus tidak lain adalah lingkungan belajar anak, baik yang internal maupun eksternal yang
menjadi penyebab belajar. Sedangkan respons adalah akibat atau dampak, berupa reaksi fisik
terhadap stimulus. Belajar berarti penguatan ikatan, asosiasi, sifat dan kecenderungan perilaku S-
R (Stimulus-Respon).

Teori Behaviorisme:

1.     Mementingkan faktor lingkungan


2.     Menekankan pada faktor bagian
3.     Menekankan pada tingkah laku yang nampak dengan mempergunakan metode obyektif.
4.     Sifatnya mekanis
5.     Mementingkan masa lalu
2.3 Tokoh-tokoh dalam Teori Behaviorisme
2.3.1 Ivan Petrovich Pavlov
Classic conditioning (pengkondisian atau persyaratan klasik) adalah proses yang
ditemukan Pavlov melalui percobaannya terhadap anjing, dimana perangsang asli dan netral
dipasangkan dengan stimulus bersyarat secara berulang-ulang sehingga memunculkan reaksi
yang diinginkan.
Teori ini menunjukkan bahwa tingkah laku tertentu dapat dibentuk melalui proses
conditioning. Anak dapat takut pada kucing, dan sebaliknya dapat pula kita buat menjadi sayang
kepada kucing.[3]
Ia menemukan bahwa ia dapat menggunakan stimulus netral, seperti sebuah nada atau
sinar untuk membentuk perilaku (respons). Eksperimen-eksperimen yang dilakukan Pavlov dan
ahli lain tampaknya sangat terpengaruh pandangan behaviorisme, dimana gejala-gejala kejiwaan
seseorang dilihat dari perilakunya. Hal ini sesuai dengan pendapat Bakker bahwa yang paling
sentral dalam hidup manusia bukan hanya pikiran, peranan maupun bicara, melainkan tingkah
lakunya. Pikiran mengenai tugas atau rencana baru akan mendapatkan arti yang benar jika ia
berbuat sesuatu.
2.3.2 John Watson
Watson menyatakan bahwa hanya tingkah laku yang teramati saja yang dapat dipelajari
dengan valid dan reliable. Dengan demikian stimulus dan respon harus berbentuk tingkah laku
yang dapat diamati (observable).
Watson berpendapat bahwa introspeksi merupakan pendekatan yang tidak ada gunanya.
Alasannya adalah jika psikologi dianggap sebagai suatu ilmu, maka datanya harus dapat diamati
dan diukur. Watson mempertahankan pendapatnya bahwa hanya dengan mempelajari apa yang
dilakukan manusia (perilaku mereka) memungkinkan psikologi menjadi ilmu yang objektif.
Watson menolak pikiran sebagai subjek dalam psikologi dan mempertahankan pelaku sebagai
subjek psikologi. Khususnya perilaku yang observabel atau yang berpotensi untuk dapat diamati
dengan berbagai cara baik pada aktivitas manusia dan hewan. 3 prinsip dalam aliran
behaviorisme:
1. Menekankan respon terkondisi sebagai elemen atau pembangun pelaku. Kondisi adalah
lingkungan external yang hadir dikehidupan. Perilaku muncul sebagai respon dari kondisi yang
mengelilingi manusia dan hewan.
2. Perilaku adalah dipelajari sebagai konsekuensi dari pengaruh lingkungan maka
sesungguhnya perilaku terbentuk karena dipelajari.
3. Memusatkan pada perilaku hewan. Manusia dan hewan sama, jadi mempelajari perilaku
hewan dapat digunakan untuk menjelaskan perilaku manusia.
2.3.3 Edward Edward Lee Thorndike (1874-1949): Teori Koneksionisme
Menurut Thorndike, belajar merupakan peristiwa terbentuknya asosiasi-asosiasi antara
peristiwa-peristiwa yang disebut stimulus (S) dengan respon (R). Stimulus adalah suatu
perubahan dari lingkungan eksternal yang menjadi tanda untuk mengaktifkan organisme untuk
beraksi atau berbuat sedangkan respon diri adalah sembarang tingkah laku yang dimunculkan
karena adanya perangsang. Dari eksperimen kucing lapar yang dimasukkan dalam sangkar
(puzzle box) diketahui bahwa supaya tercapai hubungan antara stimulus dan respons,  perlu
adanya kemampuan untuk memilih respons yang tepat serta melalui usaha –usaha atau
percobaan-percobaan (trials) dan kegagalan-kegagalan (error)  terlebih dahulu.
Bentuk paling dasar dari belajar adalah “trial and error learning atau selecting and
connecting learning”dan berlangsung menurut hukum-hukum tertentu. Oleh karena itu teori
belajar yang dikemukakan oleh Thorndike ini sering disebut dengan teori belajar koneksionisme
atau teori asosiasi. Percobaan Thorndike yang terkenal dengan binatang coba kucing yang telah
dilaparkan dan diletakkan di dalam sangkar yang tertutup dan pintunya dapat dibuka secara
otomatis apabila kenop yang terletak di dalam sangkar tersebut tersentuh. Percobaan tersebut
menghasilkan teori “trial and error” atau “selecting and conecting”, yaitu bahwa belajar itu
terjadi dengan cara mencoba-coba dan membuat salah. Dalam melaksanakan coba-coba ini,
kucing tersebut cenderung untuk meninggalkan perbuatan-perbuatan yang tidak mempunyai
hasil. Setiap response menimbulkan stimulus yang baru, selanjutnya stimulus baru ini akan
menimbulkan response lagi, demikian selanjutnya.
Dari percobaan ini Thorndike menemukan hukum-hukum belajar sebagai berikut:
1.        Hukum Kesiapan (law of readiness), yaitu semakin siap suatu organisme memperoleh
suatu perubahan tingkah laku.
2.        Hukum Latihan (law of exercise), yaitu semakin sering tingkah laku diulang/ dilatih
(digunakan) , maka asosiasi tersebut akan semakin kuat.
3.        Hukum akibat (law of effect), yaitu hubungan stimulus respon cenderung diperkuat bila akibatnya
menyenangkan dan cenderung diperlemah  jika akibatnya tidak memuaskan.
2.3.4 B.F Skinner
Skinner meyakini bahwa perilaku individu dikontrol melalui proses operant conditioning dimana
seseorang dapat mengontrol tingkah laku organisme melalui pemberian reinforcement yang
bijaksana dalam lingkungan yang relatif besar.
Operant Conditioning adalah suatu proses perilaku operant (penguatan positif atau negatif) yang
dapat mengakibatkan perilaku tersebut dapat berulang kembali atau menghilang sesuai dengan
keinginan.

2.4 Tokoh Tokoh Teori Kognitivisme


2.4.1. Jean Piaget
Teorinya disebut “Cognitive Developmental” dalam teorinya, Piaget memandang bahwa proses
berpikir sebagai aktivitas gradual dan fungsi intelektual dari konkret menuju abstrak. Piaget
adalah ahli psikolog development karena penelitiannya mengenai tahap tahap perkembangan
pribadi serta perubahan umur yang memengaruhi kemampuan belajar individu. Menurut Piaget,
pertumbuhan kapasitas mental memberikan kemampuan-kemapuan mental yang sebelumnya
tidak ada. Pertumbuhan intelektual adalah tidak kuantitatif, melainkan kualitatif. Dengan kata
lain, daya berpikir atau kekuatan mental anak yang berbeda usia akan berbeda pula secara
kualitatif. Menurut Suhaidi JeanPiaget mengklasifikasikan perkembangan kognitif anak menjadi
empat tahap:
 Tahap sensory – motor, yakni perkembangan ranah kognitif yang terjadi pada usia 0-2
tahun, Tahap inidiidentikkan dengan kegiatan motorik dan persepsi yang masih
sederhana.
 Tahap pre – operational, yakni perkembangan ranah kognitif yang terjadi pada usia 2-7
tahun. Tahap inidiidentikkan dengan mulai digunakannya symbol atau bahasa tanda, dan
telahdapat memperoleh pengetahuan berdasarkan pada kesan yang agak abstrak.
 Tahap concrete – operational,yang terjadi pada usia 7-11 tahun. Tahap ini dicirikan
dengan anak sudah mulaimenggunakan aturan-aturan yang jelas dan logis. Anak sudah
tidak memusatkan diri pada karakteristik perseptual pasif. 4. Tahap concrete –
operational, yakni perkembangan ranah kognitif yang terjadi pada usia 11-15 tahun. Ciri
pokok tahapyang terahir ini adalah anak sudah mampu berpikir abstrak dan logis dengan
menggunakan pola pikir “kemungkinan”. Dalam pandangan Piaget, proses
adaptasiseseorang dengan lingkungannya terjadi secara simultan melalui dua
bentukproses, asimilasi dan akomodasi. Asimilasi terjadi jika pengetahuan baru yang
diterima seseorang cocok dengan struktur kognitif yang telah dimiliki seseorang tersebut.
Sebaliknya, akomodasi terjadi jika struktur kognitif yang telahdimiliki seseorang harus
direkonstruksi/di kode ulang disesuaikan dengan informasi yang baru diterima.Dalam
teori perkembangan kognitif ini Piaget jugamenekankan pentingnya penyeimbangan
(equilibrasi) agar seseorang dapat terus mengembangkan dan menambah pengetahuan
sekaligus menjaga stabilitas mentalnya. Equilibrasiini dapat dimaknai sebagai sebuah
keseimbangan antara asimilasi dan akomodasi sehingga seseorang dapat menyatukan
pengalaman luar dengan struktur dalamya.Proses perkembangan intelek seseorang
berjalan dari disequilibrium menuju equilibrium melalui asimilasi dan akomodasi.
2.4.2. Taxonomy SOLO

Teori belajar Piaget memberikan pengaruh yang luar biasa terhadap perkembangan teori

pembelajaran kognitif. Hal ini terbukti dengan banyaknya peneliti yang tertarik melakukan

analisis serta memperluas teori tersebut. Salah satu kritik yang cukup tajam terhadap teori Piaget

adalah berkenaan dengan asumsi bahwa pengertian akan suatu struktur yang sama akan diperoleh

pada usia yang sama dalam berbagai domain intelektual. Implikasi dari hal ini adalah ketika

seorang anak sudah dapat mengawetkan besaran suatu unsur dengan mengenali bahwa besaran

dari benda tersebut sama terlepas dari bentuknya anak secara rasional dapat diduga akan

mengawetkan konsep berat, karena struktur antara konsep besaran dan berat sama.

Ternyata bersadar pada studi eksperimental yang dilakukan oleh para peneliti hal ini

tidak sepenuhnya benar. Hal ini dianggap sebagai sebuah penyimpangan. Penyimpangan yang

dimaksud adalah terjadinya perbedaan cara dalam memperoleh sebuah struktur yang sama oleh

seorang individu. Biggs dan Collis adalah peneliti yang turut melakukan dan analisis teori belajar

Piaget. Salah satu isu utama yang dikaji oleh kedua peneliti ini berkaitan dengan struktur

kognitif. Teori mereka dikenal dengan Structure of Observed Learning Outcomes (SOLO). Biggs

dan Collis (1982: 22) membedakan antara “generalized cognitive structure” atau struktur

kognitif umum anak dengan “actual respon” atau respon langsung anak ketika diberikan

perintah-perintah. Mereka menerima kebeadaan konsep struktur kognitif umum namun mereka

menyakini bahwa hal tersebut tidak dapat diukur langsung sehingga perlu mengacu pada sebuah

“hypothesized cognitive structure” (HCS) atau struktur kognitif hipotesis. Menurut mereka HCS

ini relative lebih stabil dari waktu ke waktu serta bebas dari pengaruh pembelajaran disaat anak

diukur menggunakan taxonomi SOLO dalam menyelesaikan suatu tugas tertentu. Penekan pada

suatu tugas tertentu sangat penting seperti yang diasumsikan dalam taksonomi SOLO bahwa
penampilan seseorang sangatlah beragam dalam menyelesaikan satu tugas dengan tugas lainnya,

hal ini berkaitan erat dengan logika yang mendasarinya, selanjutnya asumsi ini juga meliputi

penyimpangan yang dalam model ini dikatakan:[18]

Siswa dapat saja berada pada awal level formal dalam matematika namun berada pada

level awal konkrit dalam sejarah, atau bahkan dapat terjadi, suatu hari siswa berada pada level

formal di matematika namun dilain hari dia masih berada pada level yang konkrit pada topik

yyang berbeda. Hasil observasi seperti ini tidak dapat mengindikasikan terdapatnya “pertukaran”

dalam perkembangan kognitif yang berlangsung, tetapi sedikit pertukaran terjadi pada konstruksi

yang lebihproximal, pembelajaran, penampilan atau motivasi. Biggs & Collis (1991:60)

2.4.2 Bruner
Berbeda dengan Piaget, Burner melihat perkembangan kognitif manusia berkaitan dengan
kebudayaan. Bagi Bruner,perkembangan kognitif seseorang sangat dipengaruhi oleh lingkungan
kebudayaan,terutama bahasa yang biasanya digunakan.
Menurut Bruner untuk mengajar sesuatu tidak usah ditunggu sampai anak mancapai
tahap perkembangan tertentu. Yang penting bahan pelajaran harus ditata dengan baik maka dapat
diberikan padanya. Dengan lain perkataan perkembangan kognitif seseorang dapat ditingkatkan
dengan jalan mengatur bahan yang akan dipelajari dan menyajikannya sesuai dengan tingkat
perkembangannya. Penerapan teori Bruner yang terkenal dalam dunia pendidikan adalah
kurikulum spiral dimana materi pelajaran yang sama dapat diberikan mulai dari Sekolah Dasar
sampai Perguruan tinggi disesuaikan dengan tingkat perkembangan kognitif mereka. Cara belajar
yang terbaik menurut Bruner inia dalah dengan memahami konsep, arti dan hubungan melalui
proses intuitif kemudian dapat dihasilkan suatu kesimpulan. (discovery learning).
2.4.3 Ausebel
Yang memandang bahwa Proses belajar terjadi jika siswa mampu mengasimilasikan
pengetahuan yang dimilikinya dengan pengetahuan baru yang dimana Proses belajar terjadi
melaui tahap-tahap:
1). Memperhatikan stimulus yang diberikan
2). Memahami makna stimulus menyimpan dan menggunakaninformasi yang sudah dipahami.
Menurut Ausubel siswa akan belajar dengan baik jika isi pelajarannya didefinisikan dan
kemudian dipresentasikan dengan baik dan tepat kepada siswa (advanced organizer), dengan
demikian akan mempengaruhi pengaturan kemampuan belajar siswa. Advanced organizer adalah
konsep atau informasi umum yang mewadahi seluruh isi pelajaran yang akandipelajari oleh
siswa. Advanced organizer memberikan tiga manfaat yaitu :Menyediakan suatu kerangka
konseptual untuk materi yang akan dipelajari. Berfungsi sebagai jembatan yang menghubungkan
antara yang sedang dipelajari danyang akan dipelajari. Dapat membantu siswa untuk memahami
bahan belajar secaralebih mudah.
BAB. III
PENUTUP
3.1. KESIMPULAN
Menurut teori belajar behaviorisme, belajar didefinisikan sebagai perubahan dalam
tingkah laku sebagai akibat dari interaksi antara stimulus dan respon. Dimana perubahan tingkah
laku tersebut tergantung pada konsekuensi.
Teori belajar kognitifisme lebih mementingkan proses belajar dari pada hasil belajar itu
sendiri. Belajar tidak sekedar melibatkan hubungan antara stimulus dan respon, lebih dari itu
belajar melibatkan proses berpikir yang sangat kompleks. Belajar adalah perubahan persepsi dan
pemahaman.

3.2. SARAN
Dalam melakukan sebuah penilaian belajar, seorang pendidik sebaiknya dan seharusnya
mempertimbangkan keadaan mental peserta didiknya disamping tingkah laku yang diamati.
Karena seorang guru yang dikatakan sudah matang untuk mengajar harus mampu membaca
situasi pada murid dan situasi pada pembelajaran.

Anda mungkin juga menyukai