Anda di halaman 1dari 42

MAKALAH

“Teori Belajar Behaviorisme”

Oleh :
Ronisius Otu (21107251008)
Irlani (21107251009)

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah


TEORI PEMBELAJARAN

TEKNOLOGI PEMBELAJARAN
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala nikmat yang
telah diberikan-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini sebagai salah satu tugas
mata kuliah Teori Pembelajaran.

Makalah ini membahas tentang teori belajar behaviorisme beserta pandangan yang
menerapakan teori belajar behaviorisme. Mahasiswa teknologi pembelajaran perlu
memahami teori-teori belajar untuk meningkatkan keilmuan dalam bidangnya.

Ucapan terimakasih kami sampaikan kepada Prof. Dr. C. Asri Budiningsih, selaku
dosen pembimbing mata kuliah juga teman-teman yang telah berpartisipasi dalam pembuatan
makalah ini. Penyusun menyadari bahwa dalam penulisan makalah masih banyak
kekurangan. Oleh sebab itu, penyusun sangat mengharapkan kritik dan saran yang
membangun dalam penyempurnaan makalah selanjutnya.

Penyusun
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Belajar dan pembelajaran merupakan topik yang tetap menarik ketika mengkaji ilmu-
ilmu perilaku. Bagaiman sebenernya proses belajar itu dapat berlangsung dan bagaimana
pembelajaran seharusnya dilakukan, ini merupakan hal yang menarik bagi pendidik, guru,
orang tua, konselor, dan orang-orang yang bergerak dalam pengelolaan perilaku. Jika belajar
merupakan suatu kegiatan yang bersifat rumit dan kompleks, maka pembelajaran menjadi
lebih kompleks dan rumit karena tujuan pembelajaran adalah untuk memacu (merangsang)
dan memicu (menumbuhkan) terjadi kegiatan belajar. Dengan demikian, hasil belajar
merupakan tujuan dan pembelajaran dari sarana untuk mencapai tujuan tersebut.
Belajar merupakan suatu proses usaha sadar yang dilakukan oleh individu untuk suatu
perubahan dari tidak tahu menjadi tahu, dari tidak memiliki sikap menjadi bersikap benar,
dari tidak terampil menjadi terampil melakukan sesuatu.  Belajar tidak hanya sekedar
memetakan pengetahuan atau informasi yang disampaikan.  Namun bagaimana melibatkan
individu secara aktif  membuat atau pun merevisi hasil belajar yang diterimanya menjadi
suatu pengalamaan yang bermanfaat bagi pribadinya.
Pembelajaran merupakan suatu sistim yang membantu individu belajar dan
berinteraksi dengan sumber belajar dan lingkungan. Teori adalah seperangkat azaz yang
tersusun tentang kejadian-kejadian tertentu dalam dunia nyata. Teori merupakan seperangkat
preposisi yang didalamnya memuat tentang ide, konsep, prosedur dan prinsip yang terdiri dari
satu atau lebih variable yang saling berhubungan satu sama lainnya dan dapat dipelajari,
dianalisis dan diuji serta dibuktikan kebenarannya. Dari dua pendapat diatas Teori adalah
seperangkat azaz tentang kejadian-kejadian yang didalamnnya memuat ide, konsep, prosedur
dan prinsip yang dapat dipelajari, dianalisis dan diuji kebenarannya.
Teori belajar adalah suatu teori yang di dalamnya terdapat tata cara pengaplikasian
kegiatan belajar mengajar antara guru dan siswa, perancangan metode pembelajaran yang
akan dilaksanakan di kelas maupun di luar kelas. Teori belajar selalu bertolak dari sudut
pandang psikologi belajar. Untuk itu dalam pemahasan ini penyusun akan mengulas
mengenai teori belajar yang berhubungan dengan psikologi yang berpijak pada pandaangan
behaviorisme dan aplikasinya dalam pembelajaran.
Salah satu teori belajar yang metode pembelajarannya menghubungkan perilaku dan
konsekuensi, menggunakan reward serta punishment adalah teori belajar behavioristik. Teori
ini lalu berkembang menjadi aliran psikologi belajar yang berpengaruh terhadap arah
pengembangan teori dan praktek pendidikan dan pembelajaran yang dikenal sebagai aliran
behavioristik. Aliran ini menekankan pada terbentuknya perilaku yang tampak sebagai hasil
belajar.
Teori behavioristik dengan model hubungan stimulus-responnya, mendudukkan orang
yang belajar sebagai individu yang pasif. Respon atau perilaku tertentu dengan menggunakan
metode pelatihan atau pembiasaan semata. Munculnya perilaku akan semakin kuat bila
diberikan penguatan dan akan menghilang bila dikenai hukuman. Metode behavioristik ini
sangat cocok untuk perolehan kemampaun yang membuthkan praktek dan pembiasaan yang
mengandung unsur-unsur seperti : Kecepatan, spontanitas, kelenturan, reflek, daya tahan dan
sebagainya, contohnya: percakapan bahasa asing, mengetik, menari, menggunakan komputer,
berenang, olahraga dan sebagainya. Teori ini juga cocok diterapkan untuk melatih anak-anak
yang masih membutuhkan dominasi peran orang dewasa, suka mengulangi dan harus
dibiasakan, suka meniru dan senang dengan bentuk-bentuk penghargaan langsung seperti
diberi permen atau puji.

B. Rumusan Masalah
Adapun rumusalah masalah sebagai berikut :
1. Apa itu teori belajar behaviorisme?
2. Bagaimana pandangan teori belajar behaviorisme menurut Thorndike, Pavlov,
Guthrie, dan Skinner ?
3. Bagaimana penerapan teori belajar behaviorisme dalam pembelajaran ?

C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan makalah ini sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui tentang teori belajar behaviorisme
2. Untuk mengetahui tentang pandangan teori belajar behaviorisme menurut
Thorndike, Pavlov, Guthrie, dan Skinner
3. Untuk mengetahui penerapan teori belajar behaviorisme dalam pembelajaran.
BAB II
ISI

A. Teori Belajar Behaviorisme


Behaviorisme adalah sebuah aliran dalam psikologi pendidikan yang didirikan oleh
John B. Watson pada tahun 1913 yang berpendapat bahwa perilaku harus merupakan unsur
subyek tunggal psikologi. Behaviorisme adalah suatu studi tentang kelakuan manusia.
Teori belajar behavioristik merupakan teori belajar memahami tingkah laku manusia
yang menggunakan pendekatan objektif, mekanistik, dan materialistik, sehingga perubahan
tingkah laku pada diri seseorang dapat dilakukan melalui upaya pengkondisian. Dengan kata
lain, mempelajari tingkah laku seseorang seharusnya dilakukan melalui pengujian dan
pengamatan atas tingkah laku yang terlihat, bukan dengan mengamati kegiatan bagian-bagian
dalam tubuh.
Teori ini mengutamakan pengamatan, sebab pengamatan merupakan suatu hal penting
untuk melihat terjadi atau tidaknya perubahan tingkah laku tersebut. Menurut aliran
behavioristik, belajar pada hakikatnya adalah pembentukan asosiasi antara kesan yang
ditangkap panca indra dengan kecenderungan untuk bertindak atau hubungan antara stimulus
dan respons (R-S). Teori behavioristik menekankan pada kajian ilmiah mengenai berbagai
respon perilaku yang dapat diamati dan penentu lingkungannya. Dengan kata lain, perilaku
memusatkan pada interaksi dengan lingkungannya yang dapat dilihat dan diukur.
Prinsip-prinsip perilaku diterapkan secara luas untuk membantu orang-orang
mengubah perilakunya ke arah yang lebih baik. Teori belajar behavioristik adalah teori
belajar yang menekankan pada tingkah laku manusia sebagai akibat dari interaksi antara
stimulus dan respon. Belajar adalah upaya untuk membentuk hubungan stimulus dan respons
sebanyak-banyaknya.
Teori belajar behavioristik berpengaruh terhadap pengembangan teori pendidikan dan
pembelajaran yang dikenal dengan aliran behavioristik. Aliran ini menekankan pada
terbentuknya perilaku yang tampak sebagai hasil belajar

B. Connectionism (Thorndike)
1. Pembelajaran Percobaan dan Kesalahan

Karya utama Thorndike adalah tiga volume seri Psikologi Pendidikan


(Thorndike, 1913a, 1913b, 1914). Dia mendalilkan bahwa jenis pembelajaran yang
paling mendasar melibatkan pembentukan asosiasi (koneksi) antara pengalaman sensorik
(persepsi terhadap rangsangan atau peristiwa) dan impuls saraf (tanggapan) yang
memanifestasikan dirinya secara perilaku. Dia percaya bahwa belajar sering terjadi
dengan coba-coba (memilih dan menghubungkan).
Thorndike mulai belajar belajar dengan serangkaian percobaan pada hewan
(Thorndike, 1911). Hewan dalam dihadapkan masalah mencoba untuk mencapai tujuan
(misalnya, mendapatkan makanan). Dari sekian banyak respons yang dapat mereka
lakukan, mereka memilih satu, melakukannya, dan mengalami konsekuensinya. Semakin
sering mereka membuat respons terhadap suatu stimulus, semakin kuat respons itu
terhubung dengan stimulus itu.
Dalam situasi eksperimental yang khas, seekor kucing ditempatkan di dalam
sangkar. Kucing dapat membuka kurungan dan kabur dengan mendorong tongkat atau
menarik rantai. Setelah serangkaian respons acak, kucing itu akhirnya melarikan diri
dengan membuat respons yang membuka palka. Kucing itu kemudian dimasukkan
kembali ke dalam kandang. Selama percobaan, kucing mencapai tujuan (melarikan diri)
lebih cepat dan membuat lebih sedikit kesalahan sebelum merespons dengan benar.
Sebuah plot khas hasil ditunjukkan pada Gambar 3.1.

Pembelajaran coba-coba (trial) terjadi secara bertahap ketika respons yang


berhasil ditetapkan dan yang tidak berhasil ditinggalkan. Koneksi terbentuk secara
mekanis melalui pengulangan; kesadaran sadar tidak diperlukan. Hewan tidak
"menangkap" atau "memiliki wawasan". Thorndike memahami bahwa pembelajaran
manusia lebih kompleks karena orang terlibat dalam jenis pembelajaran lain yang
melibatkan menghubungkan ide, menganalisis, dan menalar (Thorndike, 1913b).
Meskipun demikian, kesamaan hasil penelitian dari studi hewan dan manusia
membuat Thorndike menjelaskan pembelajaran kompleks dengan prinsip-prinsip
pembelajaran dasar. Orang dewasa memiliki jutaan koneksi stimulus-respons.

2. Hukum Latihan dan Efek

Ide dasar Thorndike tentang belajar diwujudkan dalam Law of exercise and
effect. Law of Exercise memiliki dua bagian: law of Use - respons terhadap stimulus
memperkuat koneksi, Law of diuse - ketika respons tidak dilakukan terhadap
stimulus, kekuatan koneksi melemah (terlupakan). Semakin lama interval waktu
sebelum respon dibuat, semakin besar penurunan kekuatan koneksi.

Law of effect adalah pusat teori Thorndike Thorndike, 1915b):

When a modifiable connection between situation and response is made ang is


accompanied or followed by satisfying state of affairs, that connection’s strength is
increased: When made and accompanied or followed by an annoying state of affairs,
its strength is decreased (p.4)

Law of effect menekankan konsekuensi dari perilaku: Respons yang


menghasilkan konsekuensi yang memuaskan (menghargai) dipelajari; tanggapan yang
menghasilkan konsekuensi yang mengganggu (menghukum) tidak dipelajari. Ini
adalah akun fungsional pembelajaran karena memuaskan (respon yang menghasilkan
hasil yang diinginkan) memungkinkan individu untuk beradaptasi dengan lingkungan
mereka.

3. Prinsip-prinsip yang relevan dengan pendidikan

Teori Thorndike (1913b) memasukkan prinsip-prinsip lain yang relevan


dengan pendidikan. Salah satu prinsipnya adalah law of Readiness atau Hukum
Kesiapan, yang menyatakan bahwa ketika seseorang bersiap untuk bertindak,
melakukannya adalah memberi penghargaan dan tidak melakukannya adalah
menghukum. Jika seseorang lapar, respons yang mengarah ke makanan berada dalam
kondisi siap, sedangkan respons lain yang tidak mengarah ke makanan tidak dalam
kondisi siap. Jika seseorang lelah, itu adalah hukuman untuk dipaksa berolahraga.
Menerapkan ide ini untuk belajar, kita dapat mengatakan bahwa ketika siswa siap
untuk mempelajari tindakan tertentu (dalam hal tingkat perkembangan atau perolehan
keterampilan sebelumnya), maka perilaku yang mendorong pembelajaran ini akan
bermanfaat. Ketika siswa tidak siap untuk belajar atau tidak memiliki keterampilan
prasyarat, maka upaya untuk belajar adalah hukuman dan buang-buang waktu.

Prinsip pergeseran asosiatif (associate shifting) mengacu pada situasi di mana


tanggapan yang dibuat untuk stimulus tertentu akhirnya dibuat untuk stimulus yang
sama sekali berbeda jika, pada percobaan berulang, ada perubahan kecil dalam sifat
stimulus. Misalnya, untuk mengajari siswa membagi bilangan dua digit menjadi
bilangan empat digit, pertama-tama kita ajarkan mereka membagi bilangan satu digit
menjadi bilangan satu digit dan kemudian secara bertahap menambahkan lebih
banyak digit ke pembagi dan pembagian.

Prinsip elemen identik mempengaruhi transfer (generalisasi), atau sejauh mana


penguatan atau pelemahan satu koneksi menghasilkan perubahan serupa pada koneksi
lain (Hilgard, 1996; Thorndike, 1913b; lihat Bab 7). Transfer terjadi ketika situasi
memiliki elemen yang identik dan membutuhkan tanggapan yang serupa. Thorndike
dan Woodworth (1901) menemukan bahwa latihan atau pelatihan dalam suatu
keterampilan dalam konteks tertentu tidak meningkatkan kemampuan seseorang untuk
melaksanakan keterampilan itu secara umum. Dengan demikian, pelatihan menaksir
luas persegi panjang tidak meningkatkan kemampuan siswa dalam menaksir luas
segitiga, lingkaran, dan bangun tidak beraturan. Keterampilan harus diajarkan dengan
berbagai jenis konten pendidikan bagi siswa untuk memahami bagaimana
menerapkannya.

4. Revisi Teori Thorndike

Thorndike merevisi Hukum Latihan dan Efek (Law of Exerxise and Effect)
setelah bukti penelitian lain tidak mendukungnya (Thorndike, 1932). Thorndike
membuang Hukum Latihan ketika dia menemukan bahwa pengulangan sederhana dari
suatu situasi tidak selalu "mempercepat" tanggapan. Dalam satu percobaan, misalnya,
peserta menutup mata mereka dan menggambar garis yang mereka pikir panjangnya
2, 4, 6, dan 8 inci, ratusan kali selama beberapa hari, tanpa umpan balik tentang
keakuratan panjangnya (Thorndike, 1932). Jika Hukum Latihan benar, maka respons
yang paling sering dilakukan selama 100 atau lebih gambar pertama seharusnya
menjadi lebih sering sesudahnya; tetapi Thorndike tidak menemukan dukungan untuk
ide ini. Sebaliknya, panjang rata-rata berubah dari waktu ke waktu; orang tampaknya
bereksperimen dengan panjang yang berbeda karena mereka tidak yakin dengan
panjang yang benar. Dengan demikian, pengulangan situasi mungkin tidak
meningkatkan kemungkinan respon yang sama terjadi di masa depan.
Sehubungan dengan Hukum Efek, Thorndike awalnya berpikir bahwa efek
dari kepuasan (hadiah) dan pengganggu (hukuman) berlawanan tetapi sebanding,
tetapi penelitian menunjukkan ini tidak terjadi. Sebaliknya, penghargaan memperkuat
koneksi, tetapi hukuman tidak selalu melemahkan mereka (Thorndike, 1932).
Sebaliknya, koneksi melemah ketika koneksi alternatif diperkuat. Dalam satu
penelitian (Thorndike, 1932), celana peserta disajikan dengan kata-kata bahasa
Inggris yang tidak umum (misalnya, edacious, eidolon). Setiap kata diikuti oleh lima
kata bahasa Inggris umum, salah satunya adalah sinonim yang benar. Pada setiap
percobaan, peserta memilih sinonim dan menggarisbawahinya, setelah itu peneliti
mengatakan "benar" (hadiah) atau "salah" (hukuman). Menghargai pembelajaran yang
lebih baik, tetapi hukuman tidak mengurangi kemungkinan respons itu terjadi pada
kata stimulus itu.
Hukuman menekan tanggapan, tetapi mereka tidak dilupakan. Hukuman
bukanlah cara yang efektif untuk mengubah perilaku karena hukuman tidak
mengajarkan perilaku yang benar kepada siswa, melainkan memberi tahu mereka
tentang apa yang tidak boleh dilakukan. Hal ini juga berlaku dengan keterampilan
kognitif. Brown dan Burton (1978) menemukan bahwa siswa belajar algoritma kereta
(aturan yang salah) untuk memecahkan masalah (misalnya, kurangi angka yang lebih
kecil dari yang lebih besar, kolom demi kolom, 4371 – 2748= 2437). Ketika siswa
diberitahu bahwa metode ini salah dan diberikan umpan balik korektif dan latihan
dalam memecahkan masalah dengan benar, mereka mempelajari metode yang benar
tetapi tidak melupakan cara lama.

5. Thorndike dan Pendidikan

Sebagai profesor pendidikan di Teachers College, Columbia University,


Thorndike menulis buku yang membahas topik-topik seperti tujuan pendidikan,
proses pembelajaran, metode pengajaran, urutan kurikuler, dan teknik untuk menilai
hasil pendidikan (Hilgard, 1996, Mayer, 2003; Thorndike, 1906, 1912, Thomdike &
Gates, 1929). Beberapa dari banyak kontribusi Thorndike untuk pendidikan adalah
sebagai berikut.
C. Classical Conditioning (Pavlov)
Kita telah melihat bahwa di Amerika Serikat pada awal abad kedua puluh menetapkan
psikologi sebagai ilmu dan pembelajaran sebagai bidang studi yang sah. Pada saat yang sama,
ada perkembangan penting di negara lain. Salah satu yang paling signifikan adalah karya Ivan
Pavlov (1849-1936), seorang ahli fisiologi Rusia yang memenangkan Hadiah Nobel pada
tahun 1904 untuk karyanya pada Kesehatan khususnya pencernaan.
Warisan Pavlov untuk teori belajar adalah karyanya tentang pengkondisian klasik
(Cuny, 1965; Hunt, 1993; Windholz, 1997). Sementara Pavlov adalah direktur laboratorium
fisiologis di Institute of Experimental Medicine di Petrograd, dia memperhatikan bahwa
anjing sering mengeluarkan air liur saat melihat petugas membawakan mereka makanan atau
bahkan saat mendengar langkah bodoh petugas. Pavlov menyadari bahwa pelayan bukanlah
stimulus alami untuk refleks mengeluarkan air liur; sebaliknya, petugas memperoleh
kekuatan ini dengan dikaitkan dengan makanan.
1. Proses Dasar
Pengkondisian klasik adalah prosedur multilangkah yang awalnya melibatkan
penyajian stimulus tidak terkondisi (UCS), yang memunculkan respons tidak terkondisi
(UCR). Pavlov menghadiahkan anjing lapar dengan bubuk daging (UCS), yang akan
menyebabkan anjing mengeluarkan air liur (UCR). Untuk mengkondisikan hewan
memerlukan pemberian stimulus yang awalnya netral berulang kali untuk waktu yang
singkat sebelum memberikan UCS. Pavlov sering menggunakan metronom berdetik
sebagai stimulus netral. Pada percobaan awal, detak metronom tidak menghasilkan air
liur. Akhirnya, anjing itu mengeluarkan air liur sebagai respons terhadap metronom yang
berdetak sebelum penyajian bubuk daging. Metronom telah menjadi stimulus terkondisi
(CS) yang menimbulkan respons terkondisi (CR) mirip dengan UCR asli (Tabel 3.1).
Presentasi berulang dari CS (Le, tanpa UCS) menyebabkan CR berkurang intensitasnya
dan menghilang, sebuah fenomena yang dikenal sebagai kepunahan (Larrauri &
Schmajuk, 2008, Pavlov, 1932b).
Spontanous Recovery atau pemulihan spontan terjadi setelah selang waktu di
mana CS tidak muncul dan CR mungkin padam. Jika CS kemudian disajikan dan CR
kembali, kami mengatakan bahwa CR pulih secara spontan dari kepunahan. CR yang
pulih tidak akan bertahan kecuali CS disajikan lagi. Pemasangan CS dengan UCS
mengembalikan CR ke kekuatan penuh. Fakta bahwa pasangan CS-CR dapat dipasang
tanpa kesulitan besar menunjukkan bahwa kepunahan tidak melibatkan pelepasan
asosiasi (Redish, Jensen, Jolinson, & Kurth-Nelson, 2007).
Generalisasi berarti bahwa CR terjadi pada rangsangan yang mirip dengan CS
(Gambar 3.2), Setelah anjing dikondisikan untuk mengeluarkan air liur sebagai respons
terhadap metronom yang berdetak pada 70 denyut per menit, juga dapat mengeluarkan
air liur sebagai respons terhadap metronom yang berdetak lebih cepat atau lebih lambat,
seperti serta untuk berdetak jam atau timer. Semakin berbeda stimulus baru dengan CS
atau semakin sedikit elemen yang mereka bagikan, semakin sedikit generalisasi yang
terjadi (Harris, 2006).
Diskriminasi adalah proses pelengkap yang terjadi ketika anjing belajar
mengingat kembali merespon terhadap CS tetapi tidak terhadap rangsangan serupa
lainnya. Untuk melatih diskriminasi, seorang peneliti dapat memasangkan CS dengan
UCS dan juga menghadirkan rangsangan serupa lainnya tanpa UCS. JIKA CS adalah
metronom yang berdetak pada 70 denyut per menit, itu disajikan dengan UCS.
sedangkan irama lain (misalnya, 50 dan 90 denyut per menit) disajikan tetapi tidak
dipasangkan dengan UCS.

Setelah stimulus menjadi terkondisi, ia dapat berfungsi sebagai UCS dan


pengkondisian orde besar dapat (High Order Conditioning) terjadi (Pavlov, 1927). Jika
seekor anjing telah dikondisikan untuk mengeluarkan air liur pada suara metronom yang
berdetak pada 70 denyut per menit, metronom yang berdetak dapat berfungsi sebagai
UCS untuk pengkondisian tingkat tinggi. Stimulus netral baru (seperti bel) dapat
dibunyikan selama beberapa detik, diikuti oleh metronom yang berdetak. Jika, setelah
beberapa percobaan, anjing mulai mengeluarkan air liur pada suara bel, bel telah menjadi
CS detik dan urutan. Pengkondisian orde ketiga melibatkan CS orde kedua yang
berfungsi sebagai UCS dan stimulus netral baru dipasangkan dengannya. Pavlov (1927)
melaporkan bahwa mengkondisikan di luar urutan ketiga itu sulit.
Pengkondisian tingkat tinggi adalah proses kompleks yang tidak dipahami
dengan baik (Rescorla, 1972). Konsep ini secara teoritis menarik dan mungkin
membantu menjelaskan mengapa beberapa fenomena sosial (misalnya, kegagalan tes)
dapat menyebabkan reaksi emosional yang terkondisi, seperti stres dan kecemasan. Di
awal kehidupan, kegagalan mungkin merupakan peristiwa yang netral. Seringkali hal itu
dikaitkan dengan ketidaksetujuan dan ketidaksenangan dari orang tua dan guru.
Penolakan seperti itu mungkin merupakan UCS yang menimbulkan kecemasan. Melalui
pengkondisian, kegagalan dapat menimbulkan kecemasan. Isyarat-isyarat yang terkait
dengan situasi juga dapat menjadi rangsangan yang dikondisikan Dengan demikian,
siswa mungkin merasa cemas ketika mereka masuk ke ruangan tempat mereka akan
mengerjakan ujian atau ketika seorang guru mengedarkan ujian.
CS yang mampu menghasilkan CR disebut sinyal primer. Tidak seperti hewan,
manusia memiliki kapasitas untuk berbicara, yang sangat memperluas potensi
pengkondisian (Windholz, 1997). Bahasa merupakan sistem sinyal kedua. Kata-kata atau
pikiran adalah label yang menunjukkan peristiwa atau objek dan dapat menjadi CS. Jadi,
memikirkan ujian atau mendengarkan guru mendiskusikan ujian yang akan datang dapat
menimbulkan kecemasan. Bukan tes yang membuat siswa cemas melainkan kata-kata
atau pemikiran tentang tes, yaitu representasi linguistik atau maknanya.

2. Pengaruh Biologis

Pavlov (1927, 1928) percaya bahwa setiap stimulus yang dirasakan dapat
dikondisikan untuk setiap respon yang dibuat. Penelitian selanjutnya telah menunjukkan
bahwa pengkondisian adalah terbatas. Dalam spesies apa pun, respons dapat
dikondisikan untuk beberapa rangsangan tetapi tidak untuk yang lain. Pengkondisian
tergantung pada kompatibilitas stimulus dan respons dengan reaksi spesifik spesies
(Hollis, 1997). Semua makhluk hidup pada dasarnya memiliki pola perilaku dasar yang
membantu mereka bertahan hidup, tetapi pembelajaran memberikan cara penyesuaian
diri terhadap lingkungan dengan baik (Garcia & Garcia pada pada Robertson 1985).
3. Pengkondisian Reaksi Emosional

Pavlov (1932a, 1934) menerapkan prinsip-prinsip pengkondisian klasik untuk


perilaku abnormal dan membahas bagaimana neurosis dan keadaan patologis lainnya
mungkin berkembang. Pandangannya spekulatif dan tidak berdasar, tetapi prinsip-prinsip
pengkondisian klasik telah diterapkan oleh orang lain untuk mengkondisikan reaksi
emosional yang diklaim Watson untuk menunjukkan kekuatan pengkondisian emosional
dalam eksperimen Little Albert yang terkenal (Watson & Rayner, 1920). Albert adalah
seorang penggemar berusia 11 bulan yang tidak menunjukkan rasa takut pada tikus putih.
Selama pengkondisian, palu dipukul melawan batang baja di belakang Albert saat dia
meraih tikus itu. "Bayi itu melompat dengan keras, dan menyembunyikan wajahnya pada
matras” (hal 4). Urutan ini segera diulang. Satu minggu kemudian ketika tikus itu
disajikan, Albert mulai mengulurkan tangan tetapi kemudian menarik tangannya.
Pengkondisian minggu sebelumnya terlihat jelas. Pengujian selama beberapa hari
berikutnya menunjukkan bahwa Albert bereaksi secara emosional terhadap kehadiran
tikus. Ada juga generalisasi ketakutan pada kelinci, anjing, dan mantel bulu. Ketika
Albert diuji ulang sebulan kemudian dengan tikus itu, dia menunjukkan reaksi emosional
yang ringan.

D. Contiguous Conditioning atau pengkondisian keterhubungan (Guthrie)


Individu lain yang memajukan perspektif perilaku belajar adalah Edwin R. Guthrie
(1886-1959), yang mendalilkan prinsip-prinsip belajar berdasarkan asosiasi (Guthrie, 1940).
Bagi Guthrie, perilaku kuncinya adalah tindakan dan gerakan.
1. Tindakan dan Gerakan
Prinsip dasar Guthrie mencerminkan gagasan kedekatan rangsangan dan
tanggapan.
Kombinasi rangsangan yang telah menyelesaikan suatu gerakan akan pada
pengulangannya cenderung diikuti oleh gerakan itu. (Guthrie, 1952, hlm. 23)
Dan sebagai alternatif,
Pola-pola stimulus yang aktif pada saat suatu respons cenderung, jika diulang-ulang,
untuk memperoleh respons itu. (Guthrie, 1938, hal. 37)
Gerakan adalah perilaku diskrit yang dihasilkan dari kontraksi otot. Guthrie
membedakan gerakan dari tindakan, atau kelas gerakan berskala besar yang
menghasilkan hasil. Bermain piano dan menggunakan komputer adalah tindakan yang
mencakup banyak gerakan. Suatu tindakan tertentu dapat disertai dengan berbagai
gerakan, tindakan tersebut mungkin tidak merinci gerakan secara tepat. Dalam bola
basket, misalnya, menembak keranjang (suatu tindakan) dapat dilakukan dengan
berbagai gerakan.
Contiguity learning mengimplikasikan bahwa perilaku dalam suatu situasi akan
diulang Pembelajaran kedekatan menyiratkan bahwa ketika situasi itu berulang (Guthrie,
1959), bagaimanapun, pembelajaran keterhubungan/kedekatan bersifat selektif. Pada saat
tertentu, seseorang dihadapkan dengan banyak rangsangan, dan asosiasi tidak dapat
dibuat untuk semuanya. Sebaliknya, hanya sejumlah kecil rangsangan yang dipilih, dan
asosiasi terbentuk di antara mereka dan tanggapan. Prinsip kedekatan juga berlaku untuk
memori. Isyarat verbal dikaitkan dengan kondisi atau peristiwa stimulus pada saat belajar
(Guthrie, 1952). Melupakan melibatkan pembelajaran baru dan karena gangguan di mana
respons alternatif dibuat untuk stimulus lama.

2. Kekuatan Asosiatif
Teori Guthrie berpendapat bahwa belajar terjadi melalui pasangan stimulus dan
respon. Guthrie (1942) juga membahas kekuatan pasangan, atau kekuatan asosiatif :
Sebuah pola stimulus memperoleh kekuatan asosiatif sepenuhnya pada kesempatan
pasangan pertamanya dengan respon.
Dia menolak gagasan asosiasi melalui frekuensi, seperti yang terkandung dalam
Hukum Latihan asli Thorndike (Guthrie, 1930). Meskipun Guthrie tidak menyarankan
agar orang mempelajari perilaku kompleks dengan melakukannya sekali, dia percaya
bahwa pada awalnya satu atau lebih gerakan menjadi terkait. Pengulangan situasi
menambah gerakan, menggabungkan gerakan menjadi tindakan, dan menetapkan
tindakan di bawah kondisi lingkungan yang berbeda.
Percobaan Guthrie dan Horton (1946) dengan kucing ditafsirkan sebagai
mendukung prinsip belajar semua atau tidak sama sekali ini. Guthrie dan Horton
menggunakan kotak teka-teki yang mirip dengan Thorndike. Menyentuh tiang di tengah
memicu mekanisme yang membuka pintu, memungkinkan kucing untuk melarikan diri.
Ketika kucing awalnya ditempatkan di dalam kotak, mereka menjelajahinya dan
membuat serangkaian gerakan acak. Akhirnya mereka membuat respons yang
melepaskan mekanisme, dan mereka melarikan diri. Mereka mungkin membentur tiang
dengan cakarnya; disikat melawannya; atau didukung ke dalamnya. Tanggapan terakhir
kucing (memukul tiang) berhasil karena membuka pintu, dan kucing mengulangi
tanggapan terakhirnya ketika dimasukkan kembali ke dalam kotak. Gerakan terakhir
dikaitkan dengan kotak teka-teki, karena memungkinkan hewan itu untuk melarikan diri.
Posisi Guthrie tidak menyiratkan bahwa begitu siswa berhasil memecahkan
persamaan kuadrat atau menulis makalah penelitian, mereka telah menguasai
keterampilan yang diperlukan. Latihan menghubungkan berbagai gerakan yang terlibat
dalam tindakan memecahkan persamaan dan menulis makalah. Tindakan itu sendiri
mungkin memiliki banyak variasi (jenis persamaan dan makalah) dan idealnya siswa
pindahan harus dapat menyelesaikan persamaan dan menulis makalah dalam konteks
yang berbeda. Guthrie menerima gagasan Thorndike tentang elemen identik. Untuk
menghasilkan perilaku harus dipraktekkan dalam situasi yang tepat di mana mereka akan
dipanggil, seperti di meja, dalam kelompok kecil, dan di rumah.
3. Hadiah dan Hukuman
Guthrie percaya bahwa tanggapan tidak perlu dihargai untuk dipelajari.
Mekanisme kuncinya adalah kedekatan, atau pasangan dekat dalam waktu antara
stimulus dan respons. Responsnya tidak harus memuaskan; pasangan tanpa konsekuensi
dapat mengarah pada pembelajaran.
Guthrie (1952) membantah Hukum Efek Thorndike karena pemuas dan
pengganggu adalah efek dari tindakan; oleh karena itu, mereka tidak dapat memengaruhi
pembelajaran koneksi sebelumnya tetapi hanya koneksi berikutnya. Hadiah mungkin
membantu mencegah unlearning (melupakan) karena mereka mencegah respons baru
dikaitkan dengan isyarat stimulus. Dalam percobaan Guthrie dan Horton (1946), hadiah
(melarikan diri dari kotak) mengeluarkan hewan dari konteks pembelajaran dan
mencegah perolehan asosiasi baru ke dalam kotak. Demikian pula, hukuman akan
menghasilkan unlearning hanya jika menyebabkan hewan belajar sesuatu yang lain.
Kedekatan adalah fitur utama dari pembelajaran sekolah. Flashcards membantu
siswa mempelajari fakta aritmatika. Siswa belajar mengasosiasikan stimulus (misalnya, 4
X 4) dengan respon (16). Kata-kata bahasa asing dikaitkan dengan padanan bahasa
Inggrisnya, dan simbol kimia dikaitkan dengan nama elemennya.
4. Pembentukan dan Perubahan Kebiasaan
Kebiasaan adalah kecenderungan yang dipelajari untuk mengulangi respons masa
lalu (Wood & Neal, 2007). Karena kebiasaan adalah perilaku yang dibentuk untuk
banyak isyarat, guru yang menginginkan siswa untuk berperilaku baik di sekolah harus
menghubungkan aturan sekolah dengan banyak isyarat. "Perlakukan orang lain dengan
hormat," perlu dikaitkan dengan ruang kelas, lab komputer, aula, kafetaria, gimnasium,
auditorium, dan taman bermain. Dengan menerapkan aturan ini dalam setiap pengaturan
ini, perilaku hormat siswa terhadap orang lain menjadi kebiasaan. Jika siswa percaya
bahwa mereka harus mempraktikkan rasa hormat hanya di dalam kelas, menghormati
orang lain tidak akan menjadi kebiasaan.
Kunci untuk mengubah perilaku adalah "menemukan isyarat yang memulai
tindakan dan mempraktikkan respons lain terhadap isyarat ini" (Guthrie, 1952, hlm. 115).
Guthrie mengidentifikasi tiga metode untuk mengubah kebiasaan: ambang batas,
kelelahan, dan respons yang tidak sesuai (Tabel 3.2). Meskipun metode ini memiliki
perbedaan, mereka semua memberikan isyarat untuk tindakan kebiasaan tetapi mengatur
agar tidak dilakukan.

Dalam metode ambang batas (threshold), isyarat (stimulus) untuk mengubah


kebiasaan (respons yang tidak diinginkan) diperkenalkan pada tingkat yang lemah
sehingga tidak menimbulkan respons; itu di bawah tingkat ambang respons. Secara
bertahap stimulus diperkenalkan pada intensitas yang lebih besar sampai disajikan
dengan kekuatan penuh. Jika stimulus diperkenalkan pada intensitas terbesarnya,
responsnya adalah perilaku yang harus diubah (kebiasaan). Misalnya, beberapa anak
bereaksi terhadap rasa bayam dengan menolak untuk memakannya. Untuk mengubah
kebiasaan ini, orang tua dapat memperkenalkan bayam dalam gigitan kecil atau dicampur
dengan makanan yang disukai anak. Seiring waktu, jumlah bayam yang dimakan anak
dapat ditingkatkan.
Dalam metode kelelahan (fatigue), isyarat untuk terlibat dalam perilaku diubah
menjadi isyarat untuk menghindarinya. Di sini stimulus diperkenalkan dengan kekuatan
penuh dan individu melakukan respons yang tidak diinginkan sampai dia kelelahan.
Stimulus menjadi isyarat untuk tidak melakukan respon. Untuk mengubah perilaku anak
yang berulang kali melempar mainan, orang tua dapat membuat anak melempar mainan
sampai tidak lagi menyenangkan.
Dalam metode respons yang tidak sesuai (incompatible response), isyarat untuk
perilaku yang tidak diinginkan dipasangkan dengan respons yang tidak sesuai dengan
respons yang tidak diinginkan; yaitu, dua tanggapan tidak dapat dilakukan secara
bersamaan. Respon yang dipasangkan dengan isyarat harus lebih menarik bagi individu
daripada respons yang tidak diinginkan. Stimulus menjadi isyarat untuk melakukan
respon alternatif. Untuk berhenti ngemil sambil nonton TV, orang harus membuat tangan
mereka sibuk (misalnya, menjahit, melukis, mengerjakan teka-teki silang). Seiring
waktu, menonton TV menjadi isyarat untuk melakukan aktivitas selain ngemil.
Desensitisasi sistematis (dijelaskan sebelumnya) juga menggunakan respons yang tidak
sesuai.
Hukuman tidak efektif dalam mengubah kebiasaan (Guthrie, 1952). Hukuman
yang mengikuti suatu respon tidak dapat mempengaruhi asosiasi stimulus-respons.
Hukuman yang diberikan saat perilaku sedang dilakukan dapat mengganggu atau
menekan kebiasaan tetapi tidak mengubahnya. Hukuman tidak membentuk respon
alternatif terhadap stimulus. Ancaman hukuman bahkan bisa terbukti menggairahkan dan
memperkuat kebiasaan tersebut. Lebih baik untuk mengubah kebiasaan negatif dengan
menggantinya dengan yang diinginkan (yaitu, tanggapan yang tidak sesuai).
Teori Guthrie tidak memasukkan proses kognitif dan dengan demikian tidak
dianggap sebagai teori pembelajaran yang layak saat ini. Meskipun demikian,
penekanannya pada kedekatan tepat waktu menyebabkan teori saat ini menekankan
kedekatan. Dalam teori kognitif, poin kuncinya adalah bahwa orang harus memahami
hubungan antara stimulus (situasi, peristiwa) dan respons yang sesuai. Gagasan Guthrie
tentang mengubah kebiasaan juga menggugah pikiran dan memberikan panduan umum
yang baik bagi siapa saja yang ingin mengembangkan kebiasaan yang lebih baik.

D. Pengkondisian Operan

Pengkondisian operan dipelopori oleh Skinner. Skiner mengembangkan suatu


penjelasan mengenai belajar yang memberikan penekanan kepada konsekuensi perilaku. Apa
yang akan terjadi setelah kita melakukan semua hal penting. Penguatan telah memberikan
bukti menjadi alat yang kuat dalam membentuk dan mengendalikan perilaku baik di luar
maupun di dalam kelas. Pengkondisian operan dinamakan juga Pengkondisian instrumental
adalah bentuk pembelajaran dimana konsekwensi-konsekwensi dari perilaku menghasilkan
perubahan dalam probabilitas perilaku itu akan diulang. Pelopor utama dari Pengkondisian
operan adalah B.F Skinner, yang pandangannya didasarkan pada Pandangan E.L. Thorndike.
B.F. Skinner dalam karya-karyanya, the behavior of organisme (1938), science and
human behaviour (1953), Verbal bahavior (1957), The technology of teaching (1968),
Beyond freedom and dignity(1971) mengemukakan pendapatnya bahwa lingkungan ( orang
tua, guru, dan teman sebaya) memberikan reaksi terhadap perilaku kita baik dengan cara
menguatkan atau menghapus perilaku tersebut. Lingkungan mempunyai pengaruh yang jauh
lebih besar dalam belajar dan perilaku kita. Lingkungan memegang peranan kunci untuk
memahami perilaku ( Bales,1990).
Bagi Skinner perilaku adalah satu rangkain sebab musabab dari tiga mata rantai (1)
suatu operasi yang dilakukan atau dilaksanakan terhadap organisme dari luar. Contoh:
Seorang anak datang ke sekolah tanpa sarapan; (2) beberapa keadaan tersembunyi, misalnya:
Dia merasa lapar;(3) Sejenis tingkah laku, misalnya: dia nampak kelesuan di kelas.
Guru semestinya tidak berspekulasi mengenai siswanya ketika dia tidak memiliki
informasi yang cukup mengenai keadaan yang tersembunyi atau batiniah siswanya. Contoh:
ketika guru melihat siswa hanya lesu dan tidak perhatian selama dalam kelas, jangan
diartikan sebagai bentuk tidak adanya perhatian siswa terhadap pelajaran yang sedang
disampaikan guru. Skinner akan mengejek orang-orang yang mengatakan bahwa anak itu
tidak termotivasi. Skinner akan bertanya “Apakah maksudnya itu ?” “Bagaimana anda dapat
menjelaskannya secara perilaku?”. Guru atau konselor menelusuri penyebab berhenti secara
keliru pada mata rantai kedua yaitu beberapa keadaan batin (yang tersembunyi), seperti anak
merasa lapar atau juga siswa mungkin memiliki kesulitan secara fisik atau masalah dengan
orang tuanya.

1. Penguatan
Bila dianalisis keseluruhan sistem Skinner, kita akan menemukan secara
konsisten istilah penguatan yang oleh Skinner dianggap sebagai satu unsur kunci untuk
menjelaskan bagaimana dan mengapa pembelajaran muncul. Penguatan digunakan
secara khas sebagai berikut :

1. Penguat (reinforce) adalah satu peristiwa stimulus yang cenderung mempertahankan


atau meningkatkan kekuatan dari suatu respon, satu hubungan stimulus respon, atau
satu hubungan stimulus-stimulus ( Hulse dkk, 1980, p.23). Dalam mempelajari karya
Skinner, sangat penting untuk membedakan antara prinsip-prinsip dasar perilaku dan
prosedur perubahan perilaku yang beragam. Penguatan adalah suatu prinsip perilaku,
di dalamnya tergambar suatu hubungan fungsional antara perilaku dan variable-
variable yang mengontrol. Sebaliknya, prosedur perubahan perilaku adalah suatu
metode yang digunakan untuk menerapkan prinsip-prinsip kedalam praktek. Sebagai
contoh, pujian adalah suatu prosedur yang dapat sebagai penguat yang berpengaruh
(kuat). Jika seorang guru memuji respon yang benar dari siswa dengan segera dan
siswa meningkatkan responnya yang benar, maka pujian dapat diidentifikasi sebagai
satu prosedur perubahan perilaku yang berfungsi sebagai penguat.
2. Istilah prinsip penguatan mengacu pada suatu peningkatan frekuensi dari suatu respon
ketika konsekuensi tertentu segera mengikutinya. Kensekuensi yang mengikuti
perilaku harus tergantung pada perilaku. Suatu peristiwa yang mungkin terjadi yang
meningkatkan frekuensi perilaku dianggap sebagi penguat ( Kazdin, 1989,p.105).
Suatu ketika anda memuji respon yang benar dari seorang siswa, maka anda
meningkatkan kemungkinan siswa akan menunjukan respon tersebut pada masa
mendatang, dengan situasi yang mirip.
3. Penguatan (reinforcement) tidak sinonim dengan hadiah (reward). Orang tua boleh
saja membelikan anak es krim sebagai hadiah untuk “menjadi baik”. Hal ini
merupakan pernyataan yang luas yang mana tak ada perilaku spesifik yang
teridentifikasi. Bagaimanapun para psikolog memandang penguatan agak bersifak
khas. Mereka yakin bahwa penguatan menjadi effectif ketika diterapkan pada perilaku
yang spesifik. Seorang siswa menerima pujian seorang guru sebagi sebuah solusi dari
suatu masalah atau atau jawaban yang benar bagi suatu jawaban

Penguatan negatif melibatkan menghilangkan stimulus, atau mengambil sesuatu


dari situasi respon berikut, yang meningkatkan kemungkinan masa depan bahwa respon
akan terjadi dalam situasi itu. Penguat negatif adalah stimulus yang ketika dihilangkan
oleh suatu respons, meningkatkan kemungkinan respons di masa depan yang terjadi
dalam situasi itu. Beberapa rangsangan yang sering berfungsi sebagai penguat negatif
adalah cahaya terang, suara keras, kritik, orang yang mengganggu, dan nilai rendah,
karena perilaku yang menghilangkannya cenderung memperkuat. Penguatan positif dan
negatif memiliki efek yang sama: Mereka meningkatkan kemungkinan bahwa respons
akan dibuat di masa depan dengan adanya stimulus.
Bayangkan seorang anak yang baru berumur 10 tahun. Selama liburan sekolah
diperintahkan bapaknya untuk membersihkan rumput yang ada di kebun. Namun
beberapa hari berjalan si Anak sama sekali tak menyentuh pekerjaan tersebut. Hal yang
demikian dengan cepat dipahami oleh ibunya. Si Ibu membujuk anak tersebut untuk
melakukan pekerjaan yang diperintahkan ayahnya dengan iming-iming akan dibelikan
sepatu, tas dan baju baru. Dengan janji tersebut selama musim libur si anak memotong
rumput dikebunnya dengan penuh riang dan gembira dan tanpa rasa taku, paksaan, dan
makian.
Pada contoh tersebut di atas, tak satupun mampu mengenali stimulus yang
menyebabkan si anak sudi memotong rumput selama liburan sekolah. Hanya hal-hal
yang pasti (yang dapat diraba) yang menyebabkan si anak mau bekerja dengan
perilakunya (faktanya anak memotong rumput) dan penguat (sepatu, tas dan baju baru).
Ingat Bapaknya menyuruhnya untuk memotong rumput juga dan si anak menghindari
tugas tersebut. Kita dapat meringkaskan pikiran Skinner dengan mengatakan begini
“kendalikan penguat (kendalikan sepatu, tas dan baju baru), kendalikan perilaku
(kendalikan pemotongan rumput).
Istilah ini seringkali membingungkan. Mungkin cukup membantu, ketika anda
mengingat bahwa penguatan selalu merujuk kepada proses yang meningkatkan perilaku.
Penguat “positif” berarti sesuatu yang mengikuti perilaku dipresentasikan, dan perilaku
meningkat. Penguat negatif berarti sesuatu yang mengikuti perilaku dihilangkan, dan
perilaku meningkat. (Kazdin,1989). Pikirkanlah mengenai istilah “positif” dan “negatif”
sebagai sesuatu yang mirip dengan istilah “positif” dan “negatif” yang mendiskripsikan
angka. Penguatan positif (seperti angka positif) memiliki penambahan atau penampakan
stimulus. Penguatan negatif (seperti angka negatif) memiliki pengurangan atau
penghilangan stimulus. Dalam kedua kasus ini, perilaku biasanya muncul kembali dalam
situasi yang mirip. Skinner (1953) mencatat bahwa suatu peristiwa negatif adalah
penguat negatif yang terjadi hanya ketika penghapusannya meningkatkan kinerja suatu
respon. Contoh, jika anda sedang berbicara dengan telepon dan anda menutup pintu
untuk mengurangi kebisingan yang ditimbulkan oleh bunyi CD player saudara anda,
stimulus (kebisingan) dihilangkan dengan adanya respon (menutup pintu).
Ada kemungkinan yang meningkat pada masa mendatang, anda akan melakukan
perilaku hal yang sama (menutup pintu lagi). Dalam analisis Skinner (1974.p.46)
bahawa” penguat negatif mengokohkan perilaku yang dapat mengurangi atau
membatasinya”. Penguat positif maupun negatif berfungsi meningkatkan perilaku.
Penguat negatif tidak semestinya disalah tafsirkan dengan hukuman, namun
bagaimana juga hal itu dapat mengurangi perilaku negatif. Penguatan negatif dapat
terjadi dalam berbagai keadaan. Penting adanya beberapa peristiwa agar prinsip ini
bekerja. Karena anda ingin menghindari membangun peristiwa penting dalam ruangan
kelas. Prosedur ini semestinya sering digunakan dalam program pendidikan nasional.
Namun bagaimanapun juga sangatlah penting memahami konsep dan dampaknya secara
potensial kuat terhadapa perilaku.
a. Kategori Penguat
Skinner mengakatagorikan penguat sebagai berikut;
1. Penguat utama (Primary reinforcers) adalah penguat yang mempengarhui perilaku
tanpa perlu belajar: makanan, minuman, seks. Ini disebut penguat alami
2. Penguat sekunder (Secondar reinforcers ). Adalah penguat yang membutuhkan tenaga
penguat karena sudah diasosiasikan dengan penguat utama. Contoh: jika seekor
burung merpati mematuk cakram, lampu hijau akan nyala, diikuti oleh yang kedua
dengan kedatangan sepotong jagung. Tambahkan penjelasan!
3. Penguat secara umum (Generalized reinforcers ) merupakan bentuk penguat sekunder
yang menghendaki tenaga penguat sebab penguat ini telah dibarengi beberapa penguat
utama. Uang termasuk dalam kategori ini karena uang memandu untuk memiliki
makanan, cairan, dan barang-barang yang bermanfaat lainnya. Uang kemudian
menjadi penguat secara umum untuk berbagai perilaku, perhatikan table di bawah ini.
b. Jadwal penguatan
Skinner mengidentifikasi dua macam penguatan yaitu penguatan berjangka
(Interval reinforcement) dan penguatan berbanding (ratio reinforcement ). Interval
reinforcement adalah penguatan yang dijadwalkan atau yang muncul pada interval waktu
yang telah ditentukan. Contoh : anda memutuskan untuk memuji seorang siswa yang
berbicara dengan seksama hanya jika siswa tersebut tetap diam selama lima menit.
Setelah itu baru diberikan pujian, tidak ada penguatan tambahan ang diberikan sampai
berlalu lima menit berikutnya. Ratio penguatan adalah penguatan yang muncul setelah
sejumlah respon tertentu. Contoh : anda mendesak seorang siswa melengkapi empat soal
matematika sebelum bermain game. Jika rasio perlahan-lahan berubah, maka
sejumlah respon yang menakjubkan muncul dari sejumlah penguatan yang sangat
rendah.Skinner juga mengembangkan jadwal yang dapat dirubah-rubah untuk interval
dan ratio penguatan, diaman penguatan dapat muncul setelah beberapa interval waktu
dan sejumlah respon ( Ferster&Skinner,1957)
2. Hukuman

Kazdin (1989) mendefenisikan hukuman secara formal sebagai “ keberadaan


suatu peristiwa yang bersifat penolakan atau menghilangnya suatu peristiwa positif
setelah suatu respon yang mengakibatkan dapat mengurangi frekuensi respon. Catatan
bahwa Kazdim menyinggung dua hal aspek hukuman adalah sebagai berikut:
1. Sesuatu yang tidak menyenangkan yang muncul setelah respon. Hal ini disebut
(stimulus yang tidak menyenangkan (aversive stimulus). Contoh: orang tua
mungkin menampar anaknya ketika seorang anak berteriak pada orang tuanya;
guru menegur siswanya yang mengobrol dalam kelas ketika pelajaran sedang
berlangsung. Pada kedua kasus tersebut sesuatu yang tidak menyenangkan setelah
respon.
2. Sesuatu yang positif (menyenangkan) menghilang setelah suatu respon. Seorang
anak yang menendang seorang anak perempuan yang lebih muda ketika bermain
mungkin akan diusir keluar rumah. Seorang anak remaja yang keluyuran pada
malam hari mungkin dapat sanksi dari orang tuanya berupa tidak akan diajak
tamasya atau tidak boleh membawa motor. Pada kedua contoh tersebut sesuatu
yang tidak menyenangkan setelah perilaku yang tidak diinginkan.

a. Kategori Hukuman
Hukuman mengacu pada kehadiran atau menghilangnya beberapa peristiwa yang
mengakibatkan berkurangnya frekuensi perilaku. Ada tiga kategori hukuman. 1) adanya
peristiwa yang tidak menyenangkan, 2) menghilangnya kensekuensi positif, 3)
konsekuensi didasarkan pada aktivitas (Kazdin,1989).
Yang paling umum dikenal bentuk hukuman yang mencakup peristiwa yang tidak
mengenakkan setelah adanya suatu tindakan atau respon dari individu. Jika peristiwa
kehadirinnya dapat mengurangi frekuensi perilaku, secara fungsional didefenisikan
dengan hukuman. Perlu dicatat bahwa peristiwa tertentu yang tidak menyenangkan ,
seperti perteriak, mungkin secara aktual meningkatkan perilaku, karena itu dapat
didefenisikan sebagai penguat, bahkan jika intensi seseorang berteriak adalah untuk
mengurangi perilaku ofensive. Pernyataan verbal seperti: menampar umumnya berfungsi
sebagai hukuman, akan tetapi mungkin akan hilang effektivitasnya jika dilakukan
berkali-kali. Sebaliknya peristiwa yang tidak menyenangkan, seperti intervensi secara
fisik diidentifikasi mempunyai efek hukum yang fungsional, tapi mereka seharusnya
tidak melakukanya kecuali dalam kondisi yang sangat terpaksa atau darurat, dan bahkan
hal tersebut akan menjadi sesuatu yang kontroversial.
Menghilangnya kensekuensi positif dapat juga mengurangi frekuensi beberapa
perilaku dan dapat dianggap sebagai hukuman. Dua bentuk utama menghilangnya
konsekuensi positif adalah jeda (time out) dari penguatan dan biaya respon (respon
cost).
Jeda (time out) dari penguatan positif mangacu pada berpindahnya semua penguat
positif pada periode waktu tertentu. Jeda sering tidak efektif sebab tidak semua sumber
penguatan hilang. Secara singkat jeda (time out) dijumpai dapat menjadi efektif tapi
dapat membawa kerugian dalam bidang pendidikan. Pertama, guru dan yang lainnya
cenderung menggunakan jeda sebagai satu-satunya metode untuk mendisiplinkan siswa.
Selama tahapan ini, anak sering diluar aktivitas belajar, kedua, Bahayanya bahwa guru
dapat kembali memperlama-lama jeda tanpa adanya manfaat bagi siswa.
Biaya respon (respon cost) menyebabkan hilangnya suatu penguat positif dan
tidak memerlukan sebuah periode selama peristiwa-peristiwa positif tidak tersedia.
Respon cost kebanyakan sering melibatkan suatu hukuman. Contohnya siswa diberi
akses ke penguat yang sudah dijaukah dari perilaku yang tak pantas. Respon cost
seharusnya digunakan dengan prosedur positif. Sungguh, Respon cost tergantung pada
peristiwa positif yang ada untuk dapat bekerja secara efektive.
Agak relative baru suatu teknik hukuman didasarkan pada ketidaksenangan
setelah beberapa respon. Contoh : meminta seseorang untuk melakukan sesutu agar
terlibat dalam usaha atau kerja untuk mengurangi respon dan karena itu berfungsi sebagai
hukuman.
Overcorrection adalah suatu prosedur yang termasuk dalam kategori ini ;
Overcorrection meliputi suatu hukuman yang masuk dalam dua komponen. Pertama,
ganti rugi (restitusi) termasuk dalam hal ini. Karena seseorang mengoreksi efek aksi
negatif. Contohnya seorang siswa yang menghancurkan pensil siswa yang lain diminta
untuk menggantinya. Kedua, Kegiatan positif. Prosedur ini terdiri dari praktek perilaku
yang pantas secara berulang-ulang. Contoh, siswa yang sama diminta untuk
mendemonstrasikan penggunaan pensil yang benar dengan cara menulis. Tentu tidak
semua perilaku yang dicoba oleh guru untuk mengurangi dapat digunakan dengan kedua
komponen overcorrection.

b. Bagaimana suatu hukuman dilakukan


Kazdin (1989) dalam Elliot (2000,216) menjelaskan kajian mekanisme psikologi
menggaris bawahi hukuman, peneliti mengidentifikasi beberapa elemen penting yang
mempengaruhi effektifitas suatu hukuman yaitu:
1. Jadwal hukuman. Pada nya hukuman lebih efektif ketika dilakukan setiap saat, dari
pada jika hanya dilakukan sewaktu-waktu. Bagaimanapun juga jika anda tidak
melanjutkan hukuman, hidupkan respon yang pada mulanya merupakan hasil dari
hukuman yang dilakukan lebih keras sebelumnya. Seorang guru yang mengomeli
seorang siswa yang melanggar peraturan dinasehati untuk menegur setiap kali siswa
tersebut melanggar aturan.
2. Intensitas hukuman. Diyakini bahwa meningkatnya intensitas dapat meningkatkan
efektifitas hukuman. Bagaimanapun juga tidaklah masalah jika hukuman dianggap
perlu maka gunakanlah hukuman yang ringan.
3. Sumber penguatan. Hukuman biasanya meningkat ketika sumber-sumber penguatan
yang mempertahankan perilaku menghilang. Sangat penting untuk mengenali bahwa
perilaku (baik positif maupun negatif) dipertahankan dengan kemungkinan
penguatan yang beragam. Karena itu hukuman akan lebih efektif ketika perilaku
tertentu tidak diperkuat bersamaan dengan hukuman itu dilakukan. Contoh ketika
seorang guru mencoba menggunakan hukuman di kelas, umumnya temannya yang
lain akan memperkuat perilaku siswa yang tidak pantas tersebut dengan cara
mentertawakan atau bertepuk tangan. Hukuman akan menjadi kurang efektif ketika
teman sebayanya menyokong siswa tersebut.
4. Pemilihan waktu penguatan. Kebanyakan perilaku siswa terdiri dari serangkaian aksi
yang membangkitkan respon atau perilaku. Hukuman biasanya lebih effektif ketika
dilaksanakan lebih awal dari perilaku yang membentuk suatu respon. Pertimbangkan
siswa yang meludahi ruangan atau melemparkan kertas di kelas sebagai respon
hukuman tersebut. Melempar baik dengan gulungan kertas maupun dengan dengan
sebuah bola, batu atau kapur di ruangan kelas sebenarnya merupakan rangkaian aksi
yang akhirnya mendorong untuk melakukan pelemparan tersebut. Hukuman yang
diberikan mendahului sebelum munculnya perilaku yang tidak menyenangkan
tersebut akan lebih efektif untuk mencarikan solusi terhadap perilaku siswa yang tak
mengenakkan. Misalnya sebelum pelajaran dimulai guru mengingat dengan tegas
bahwa selama pelajaran berlangsung tidak ada yang boleh mengobrol, bercanda,
rebut dan lain-lain.
5. Pengunduran hukuman. Semakin lama interval waktu antara perilaku dan hukuman,
maka semakin kurang fektif hukuman tersebut. Konsekuensi dari suatu perilaku,
kesenangan, atau kepedihan menjadi paling fektif jika dilakukan dengan segera
setelah perilaku tersebut muncul. Penjelasan effektif tidaknya suatu hukuman
terletak pada interval anatar perilaku dan hukuman. Jika intervalnya cukup panjang
maka perilaku yang tidak diinginkan akan muncul boleh jadi akan diperkuat oleh
seseuatu atau seseorang pada suatu lingkungan. Penggunaan waktu untuk
mendisiplin siswa, siswa akan mendapat perhatian dari teman-temannya. Mereka
mungkin saja akan mentertawakan atau melempari anak dengan sesuatu atau
bentuk-bentuk lain yang yang menyebabkan anak tersebut terdorong untuk
melakukan lagi perilaku yang tidak baik.
6. Variasi hukuman. Kazdin (1980) mencatat bahwa walaupun hukuman biasanya
dilakukan setelah suatu perilaku, variasi hukuman setelah suatu perilaku
sebenarnya dapat meningkatkan effek suatu hukuman. Bagaimanapun juga hati-hati
bahwa variasi hukuman bukanlah kombinasi bermacam hukuman.
Mengkombinasikan hukuman akan mendapat tantangan baik secara moral maupun
secara praktis.
7. Penguatan dari perilaku alternatif. Kazdim membuat dua hal penting yang harus
dipertimbangkan dalam menggunakan teknik hukuman. Pertama, peristiwa-peristiwa
yang tidak menyenangkan dengan intensitas yang jarang (hukuman ringan) mampu
menekan perilaku jika Penguatan juga tersedia untuk respon positif. Kedua,
hukuman biasanya melatih seseorang mengenai apa yang tak perlu dilakukan, dari
pada mengenai apa yang perlu dilakukan. Dengan demikian penting sekali bahwa
anda mengikutinya dengan penguatan yang positif ketika digunakan, sebab hal itu
akan meningkatkan efektifitas hukuman sebagai suatu prosedur, fokuslah
mengajarkan perilaku positif untuk menggantikan perilaku negatif yang anda usahan
untuk menghilangkannya, kurangilah efek negatif penggunaan strategi ayng tidak
menyenangkan.

c. Penerapannya Dalam Kelas


B. F. Skinner secara konstan dan mengobservasi secara kritis praktek pendidikan
sekarang. Misalnya praktek pengajaran Aritmatik, Skinner mencatat bahwa siswa harus
mempelajari respon verbal khusus (misalnya kata-kata, tanda- tanda, gambar-gambar)
yang menunjukkan fungsi aritmatik. Akibatnya, guru harus membantu siswanya untuk
membawa perilaku ini dibawah kendali stimulus. Siswa harus belajar berhitung,
menambah, membagi, mengurangi sebelum mereka dapat memecahkan masalah.
Mengajari prosedur ini menjamin penggunaan penguatan yang pantas, yang harus
disegerakan dan sering (terutama pada tahap awal pengajaran). Contoh, Skinner
memperkirakan selama empat tahun pertama sekolah, guru dapat menyusun hanya
ribuan kemungkinan penguatan perilaku, akan tetapi perilaku matematis yang efisien
menghendaki sedikitnya dua puluh lima ribu kemungkinan selama tahun-tahun
(Skinner,1968). Lalu bagaimana kemungkinan- kemungkinan dapat ditingkatkan?
Skinner sebagaimana dalam Elliot (2000,21) percaya bahwa sekolah seharusnya:
Pertama menelusuri penguat-penguat positif yang mereka buang. Seperti karangan,
lukisan, teka-teki silang dan aktivitas yang disenangi siswa. Kedua, Tahapan berikutnya
adalah menjadikan mereka menggunakan kemungkinan tersebut untuk perilaku yang
mereka inginkan. Salah satu caranya yaitu dengan mengkombinasikan hal tersebut di atas
melalui penggunaan mesin dalam pengajaran (teaching machine, komputer).
Berhubungan pada masa sekarang kita sudah memiliki komputer maka material dapat
dibagi menjadi bagian yang kecil yang dapat dipejari dan dapat meningkat kegiatan
belajar yang berhasil. Peralatan komputer merupakan hal yang disukai oleh setiap orang
dan komputer juga dapat meningkatkan penguatan positif. Komputer juga dapat
mengurangi atau menghilangkan stimulus yang tidak menyenangkan.
Ada beberapa keuntungan dalam menggunakan mesin (computer) dalam
pengajaran yaitu :
 Penguatan untuk jawaban yang benar didapatkan dengan segera; hanya dengan
menggunakan mesin ini dapat dilakukan penguatan.
 Mesin memungkinkan presentasi materi terawasi dengan baik yang mana suatu
masalah dapat tergantung pada jawaban atas masalah sebelumnya. Yang pada
akhirnya mengarah pada pengembangan perilaku yang kompleks.
 Jika suatu material kurang memiliki karakter yang dapat meningkat rangsangan, maka
penguat yang lain dapat diambil sebagai alternative untuk melengkapi suatu program
(Skinner,1986).
Dengan memperhatikan sejarah penggunaan mesin dalam pengajaran, Skinner
(1986) mencatat bahwa penggunaan mesin dalam pengajaran adalah langkah yang besar
untuk meningkatkan motivasi, perhatian, dan apresiasi. Motivasi dapat ditingkatkan
karena program yang bagus dapat “memaksimalkan efek keberhasilan” dengan
mendorong siswa melakukannya secara bertahap dan membantu mereka melakukan nya
hingga berhasil (Skinner,1986,p.108). Perhatian siswa akan meningkat karena siswa
(seperti kita semua) akan mengikuti hal tersebut di atas yang juga akan menguatkan
kita. Apresiasi seni, musik atau suatu disiplin ilmu dikuatkan melalui serangkaian
penguatan yang disusun dengan hati- hati.Pendidikan dapat menjadi lebih effisien jika
menggunakan teknologi yang ada. Sekarang sudah ada beragam teknologi mesin yang
dapat dipergunakan untuk pengajaran, disamping computer, ada juga dekstek dan laptob
yang dapat ditenteng kemana-mana.
Kesimpulannya, adapun pengaruh karya-karya Skinner terhadap pendidik (guru)
sebagai berikut:
1) Penguatan tetap sebagai suatu alat yang mempunyai kekuatan untuk mengendalikan
perilaku yang perlu disadari oleh guru untuk diberikan secara terus menerus.
2) Penerapan prinsip Premack. Prinsip ini ditemukan oleh David Premack ( (1965)
menyatakan bahwa menyatakan bahwa aktivitas berprobabilitas tinggi dapat berfungsi
sebagai penguat aktivitas berprobabilitas rendah. Atau akses ke perilaku yang
berfrekuensi tinggi berperan sebagai penguat untuk terjadnya perilaku yang
berfrekwensi rendah. Catatlah aktivitas yang lebih disukai siswa, kemudian anda dapat
menggunakan ini sebagai penguat positif. Contoh. beberapa anak laki-laki yang
menghindari pelajaran matematika dan menyukai bermain bola, maka seorang guru
yang cerdik bisa menjanjikan kepada mereka bahwa mereka dibiarkan main bola bila
mereka telah menyelesaikan tugas mereka.
Prinsip Premack akan bekerja ketika guru murid SD berkata kepada muridnya, Jika
kamu selesai mengerjakan tugas menulis, kamu bisa main game di komputer atau
seorang guru berkata kepada anak didiknya, "Jika kamu mau mengambil bata itu,
maka kamu bisa membantu Bu Weni untuk menyiapkan cemilan. Penggunaan prinsip
Premack tidak dibatasi hanya pada satu anak saja. Prinsip ini juga bisa digunakan
untuk seluruh kelas. Guru bisa mengatakan kepada semua muridnya di kelas, Jika
kelas ini bisa menyerahkan PR pada hari Jumat, kita ikan mengadakan wisata minggu
depan."
3) Stimulasi yang tidak menyenangkan (hukuman) dapat menimbulkan banyak masalah
dari pada pemecahkannya. Gunakan hukuman sangat sedikit dan hati- hati, sadari
bahwa banyak kesempatan diwaktu lowong. Jika anda harus menghukum, cobalah
menerima siswa yang melakukan kesalahan untuk melakukan sesuatu yang dapat anda
perkuat secara positif, lakukanlah sesegra mungkin.
4) Guru seharusnya selalu siap siaga terhadap pemilihan waktu penguatan. Gagasan
pemilihat waktu untuk melakukan penguatan tidak mungkin untuk menguatkan semua
perilaku yang diinginkan, ketika anda memutuskan bahwa perilaku tertentu penting,
maka perkuatlah dengan segera, jangan biarkan berlalu.
5) Guru seharusnya memustuskan dengan tepat apa yang mereka inginkan untuk
dipelajari siswa kemudian susun bahan sehingga mereka siswa hanya membuat sedikit
mungkin kesalahan.

E. Penerapan Teori Behavioristik Dalam Pembelajaran

Skinner (1954, 1961, 1968, 1984) banyak menulis tentang bagaimana ide-idenya
dapat diterapkan untuk memecahkan masalah pendidikan. Dia percaya bahwa ada terlalu
banyak kontrol permusuhan. Meskipun siswa jarang menerima hukuman fisik, mereka sering
mengerjakan tugas bukan karena mereka ingin belajar atau karena mereka menikmatinya
tetapi lebih untuk menghindari hukuman seperti kritik guru, kehilangan hak istimewa, dan
perjalanan ke kantor kepala sekolah.
Kekhawatiran kedua adalah bahwa penguatan jarang terjadi dan seringkali tidak pada
waktu yang tepat. Guru hadir untuk setiap siswa hanya beberapa menit setiap hari. Sementara
siswa terlibat dalam pekerjaan kursi, beberapa menit dapat berlalu antara saat mereka
menyelesaikan tugas dan saat mereka menerima umpan balik dari guru. Akibatnya, siswa
dapat belajar salah, yang berarti bahwa guru harus menghabiskan waktu tambahan untuk
memberikan umpan balik korektif. Poin ketiga adalah bahwa cakupan dan urutan kurikulum
tidak memastikan bahwa semua siswa memperoleh keterampilan. Siswa tidak belajar dengan
kecepatan yang sama. Untuk menutupi semua materi, guru dapat pindah ke pelajaran
berikutnya sebelum semua siswa menguasai pelajaran sebelumnya. Skinner berpendapat
bahwa ini dan masalah lainnya tidak dapat diselesaikan dengan membayar lebih banyak uang
kepada guru (walaupun mereka menginginkannya!), Memperpanjang hari dan tahun sekolah,
menaikkan standar, atau memperketat persyaratan sertifikasi guru. Sebaliknya, ia
merekomendasikan penggunaan waktu pembelajaran yang lebih baik. Karena tidak realistis
untuk mengharapkan siswa untuk bergerak melalui kurikulum pada tingkat yang sama,
instruksi individual akan meningkatkan efisiensi.
Skinner percaya bahwa mengajar membutuhkan pengaturan kontinjensi penguatan
yang tepat. Tidak ada prinsip baru yang diperlukan dalam menerapkan pengkondisian operan
untuk pendidikan. Pengajaran lebih efektif ketika (1) guru menyajikan materi dalam langkah-
langkah kecil, (2) peserta didik secara aktif menanggapi daripada mendengarkan secara pasif,
(3) guru memberikan umpan balik segera setelah tanggapan peserta didik, dan (4) peserta
didik bergerak melalui materi di mereka sendiri. kecepatan sendiri. Proses dasar instruksi
melibatkan pembentukan. Tujuan instruksi (perilaku yang diinginkan) dan perilaku awal
siswa diidentifikasi. Sublangkah (perilaku) yang mengarah dari perilaku awal ke perilaku
yang diinginkan dirumuskan. Setiap sublangkah mewakili modifikasi kecil dari yang
sebelumnya. Siswa digerakkan melalui urutan menggunakan berbagai pendekatan termasuk
demonstrasi, kerja kelompok kecil, dan kerja kursi individu. Siswa secara aktif menanggapi
materi dan menerima umpan balik segera.
Pendekatan instruksional ini melibatkan penentuan pengetahuan peserta didik saat ini
dan tujuan yang diinginkan dalam hal apa yang peserta didik lakukan. Perilaku yang
diinginkan sering kali ditetapkan sebagai tujuan perilaku, yang akan segera dibahas.
Perbedaan individu diperhitungkan dengan memulai instruksi pada tingkat kinerja pelajar saat
ini dan memungkinkan mereka untuk maju dengan kecepatan mereka sendiri. Mengingat
metode pengajaran yang berlaku dalam sistem pendidikan kita, tujuan ini tampaknya tidak
praktis: Guru harus memulai pengajaran pada titik yang berbeda dan mencakup materi pada
tingkat yang berbeda untuk masing-masing siswa. Instruksi terprogram menghindari masalah
ini: Peserta didik mulai pada titik materi yang sesuai dengan tingkat kinerja mereka, dan
mereka maju dengan kecepatan mereka sendiri. Sisa dari bagian ini menjelaskan beberapa
aplikasi instruksional yang menggabungkan prinsip-prinsip behavioristik. Tidak semua
aplikasi ini diturunkan dari teori Skinner atau teori lain yang dibahas dalam bab ini, tetapi
semuanya mencerminkan sampai batas tertentu ide-ide kunci behaviorisme.

1. Tujuan Perilaku
Tujuan dapat berkisar dari umum ke khusus. Tujuan umum seperti
"meningkatkan kesadaran siswa" dapat dipenuhi oleh hampir semua jenis instruksi.
Sebaliknya, tujuan yang terlalu spesifik dan mendokumentasikan setiap perubahan menit
dalam perilaku siswa menghabiskan waktu untuk menulis dan dapat menyebabkan guru
melupakan hasil belajar yang paling penting.
Sebuah tujuan perilaku menggambarkan apa yang siswa lakukan ketika
menunjukkan prestasi mereka dan bagaimana guru mengetahui apa yang siswa lakukan
(Mager, 1962). Empat bagian dari tujuan yang baik adalah:
 Kelompok spesifik siswa
 Perilaku yang sebenarnya siswa untuk melakukan sebagai konsekuensi dari kegiatan
pembelajaran
 Kondisi atau konteks dimana siswa melakukan perilaku
 Kriteria untuk menilai perilaku siswa untuk menentukan apakah tujuan telah tercapai
Contoh tujuan dengan bagian-bagian yang diidentifikasi adalah:
Diberikan delapan soal penjumlahan dengan pecahan yang penyebutnya berbeda (3),
siswa matematika kelas empat (1) akan menulis jumlah yang benar (2) untuk
setidaknya tujuh dari mereka (4).

Tujuan perilaku dapat membantu menentukan hasil belajar yang penting, yang
membantu dalam perencanaan pelajaran dan pengujian untuk menilai pembelajaran.
Merumuskan tujuan juga membantu guru memutuskan konten apa yang dapat dikuasai
siswa. Mengingat tujuan pengajaran unit dan jumlah waktu yang tetap untuk
mencakupnya, guru dapat memutuskan tujuan mana yang penting dan fokus pada tujuan
tersebut. Meskipun tujuan untuk hasil belajar tingkat rendah (pengetahuan, pemahaman)
umumnya lebih mudah untuk ditentukan, tujuan perilaku yang baik dapat ditulis untuk
menilai hasil tingkat tinggi (aplikasi, analisis, sintesis, evaluasi) juga.
Penelitian menunjukkan bahwa siswa yang diberi tujuan perilaku memiliki
ingatan kata demi kata yang lebih baik dari informasi verbal dibandingkan dengan siswa
yang tidak diberikan tujuan (Faw & Waller, 1976; Hamilton, 1985). Tujuan dapat
memberi isyarat kepada siswa untuk memproses informasi pada tingkat yang sesuai;
dengan demikian, ketika siswa diberi tujuan yang membutuhkan ingatan, mereka terlibat
dalam latihan dan strategi lain yang memfasilitasi jenis ingatan itu. Penelitian juga
menunjukkan bahwa memberikan siswa tujuan tidak meningkatkan pembelajaran materi
yang tidak terkait dengan tujuan (Duchastel & Brown, 1974), yang menunjukkan bahwa
siswa dapat berkonsentrasi pada materi pembelajaran yang relevan dengan tujuan dan
mengabaikan materi lainnya.
Pengaruh tujuan pada pembelajaran tergantung pada pengalaman siswa
sebelumnya dengan mereka dan seberapa penting mereka memandang informasi itu.
Pelatihan dalam menggunakan tujuan atau keakraban dengan instruksi berbasis kriteria
mengarah pada pembelajaran yang lebih baik dibandingkan dengan tidak adanya
pelatihan atau keakraban tersebut. Ketika siswa dapat menentukan sendiri materi apa
yang penting untuk dipelajari, memberikan tujuan tidak memfasilitasi pembelajaran.
Menginformasikan siswa tentang tujuan tampaknya lebih penting ketika siswa tidak tahu
materi apa yang penting. Juga, Muth, Glynn, Britton, dan Graves (1988) menemukan
bahwa struktur teks dapat memoderasi pengaruh tujuan pada pembelajaran. Informasi
yang dibuat menonjol dengan berada di posisi yang menonjol (misalnya, di awal teks
atau disorot) diingat dengan baik, bahkan ketika tujuan tidak diberikan.

2. Waktu Belajar
Teori Operant memprediksi bahwa variabel lingkungan mempengaruhi proses
belajar siswa. Salah satu kunci variabel lingkungan adalah waktu belajar.
Carroll (1963, 1965) merumuskan model pembelajaran sekolah yang
menempatkan penekanan utama pada variabel instruksional dari waktu yang dihabiskan
untuk belajar. Siswa berhasil belajar sejauh mereka menghabiskan jumlah waktu yang
mereka butuhkan untuk belajar. Waktu berarti waktu yang terlibat secara akademis, atau
waktu yang dihabiskan untuk memperhatikan dan mencoba belajar. Meskipun waktu
adalah variabel lingkungan (dapat diamati), definisi ini bersifat kognitif karena
melampaui indikator perilaku sederhana dari waktu jam. Dalam kerangka ini, Carroll
mendalilkan faktor-faktor yang mempengaruhi berapa banyak waktu yang dibutuhkan
untuk belajar dan berapa banyak waktu yang benar-benar dihabiskan untuk belajar.
Waktu yang dibutuhkan untuk Belajar. Salah satu pengaruh pada faktor ini adalah
bakat untuk mempelajari tugas. Bakat belajar tergantung pada jumlah pembelajaran yang
relevan dengan tugas sebelumnya dan pada karakteristik pribadi seperti kemampuan dan
sikap. Faktor kedua yang terkait adalah kemampuan untuk memahami instruksi. Variabel
ini berinteraksi dengan metode pembelajaran; misalnya, beberapa pelajar memahami
instruksi verbal dengan baik, sedangkan yang lain lebih diuntungkan dari presentasi
visual. Kualitas pengajaran mengacu pada seberapa baik tugas diatur dan disajikan
kepada peserta didik.
Kualitas mencakup apa yang diberitahukan kepada peserta didik tentang apa yang
akan mereka pelajari dan bagaimana mereka akan mempelajarinya, sejauh mana mereka
memiliki kontak yang memadai dengan materi pembelajaran, dan seberapa banyak
pengetahuan prasyarat yang diperoleh sebelum mempelajari tugas tersebut. Semakin
rendah kualitas pengajaran, semakin banyak waktu yang dibutuhkan pembelajar untuk
belajar.
Pengaruh kedua adalah waktu pelajar bersedia untuk menghabiskan belajar.
Bahkan ketika pelajar diberi waktu yang cukup untuk belajar, mereka mungkin tidak
menggunakan waktu itu untuk bekerja secara produktif. Apakah karena minat yang
rendah, kesulitan tugas yang dirasakan tinggi, atau faktor lain, siswa mungkin tidak
termotivasi untuk bertahan pada tugas selama waktu yang mereka butuhkan untuk
mempelajarinya. Carroll memasukkan faktor-faktor ini ke dalam rumus untuk
memperkirakan tingkat pembelajaran untuk setiap siswa pada tugas yang diberikan:

Tingkat pembelajaran = Waktu belajar yang dihabiskan/waktu yang dibutuhkan

Idealnya, siswa menghabiskan waktu sebanyak yang mereka butuhkan untuk


belajar (tingkat pembelajaran = 1,0), tetapi pembelajar biasanya menghabiskan lebih
banyak waktu (tingkat pembelajaran> 1,0) atau lebih sedikit waktu (tingkat pembelajaran
< 1,0) daripada yang mereka butuhkan.
Model Carroll menyoroti pentingnya waktu keterlibatan akademik yang
dibutuhkan untuk belajar dan faktor-faktor yang mempengaruhi waktu yang dihabiskan
dan waktu yang dibutuhkan untuk belajar. Model menggabungkan prinsip-prinsip
psikologis yang valid, tetapi hanya pada tingkat umum sebagai faktor instruksional atau
motivasi. Itu tidak mengeksplorasi keterlibatan kognitif secara mendalam. Carroll (1989)
mengakui bahwa diperlukan lebih banyak penelitian untuk melengkapi rinciannya.
Seperti dibahas di bagian berikutnya, peneliti penguasaan pembelajaran, yang secara
sistematis menyelidiki variabel waktu, telah memberikan kekhususan yang lebih besar.
Sejalan dengan apa yang dikatakan Skinner (1968), banyak pendidik mencela
cara waktu yang disalahgunakan (Zepeda & Mayers, 2006). Variabel waktu adalah pusat
diskusi saat ini tentang cara untuk memaksimalkan prestasi siswa. Misalnya, Undang-
Undang No Child Left Behind tahun 2001 sangat memperluas peran pemerintah federal
dalam pendidikan dasar dan menengah (Shaul & Ganson, 2005). Meskipun undang-
undang tersebut tidak merinci berapa banyak waktu yang harus dicurahkan untuk
pengajaran, persyaratannya untuk pencapaian siswa dan standar akuntabilitasnya,
dikombinasikan dengan berbagai penulis yang menyerukan penggunaan waktu yang
lebih baik, telah menyebabkan sistem sekolah memeriksa kembali penggunaan waktu
mereka untuk memastikan pembelajaran siswa yang lebih baik.
Salah satu konsekuensinya adalah banyak sekolah menengah telah meninggalkan
jadwal enam jam tradisional demi penjadwalan blok. Meskipun ada variasi, banyak yang
menggunakan blok A/B, di mana kelas-kelas bertemu pada hari-hari alternatif untuk
periode yang lebih lama per hari. Agaknya penjadwalan blok memungkinkan guru dan
siswa untuk mengeksplorasi konten secara lebih mendalam yang seringkali tidak
mungkin dilakukan dengan periode kelas tradisional yang lebih pendek (misalnya, 50
menit).
Mengingat penjadwalan blok masih tergolong baru, belum banyak penelitian
yang menilai efektivitasnya. Dalam ulasan mereka, Z epeda dan Mayers (2006)
menemukan bahwa penjadwalan blok dapat meningkatkan iklim sekolah dan nilai rata-
rata siswa, tetapi penelitian menunjukkan hasil yang tidak konsisten untuk kehadiran
siswa dan skor pada tes standar. Karena penjadwalan blok menjadi lebih umum, kita
dapat mengharapkan lebih banyak penelitian yang dapat mengklarifikasi
ketidakkonsistenan ini.
Cara lain untuk menambah waktu belajar adalah melalui program di luar sekolah,
seperti program sepulang sekolah dan sekolah musim panas. Dibandingkan dengan
penelitian tentang penjadwalan blok, penelitian tentang efek program di luar sekolah
menunjukkan konsistensi yang lebih besar. Dalam ulasan mereka, Lauer et al. (2006)
menemukan efek positif untuk program tersebut pada membaca siswa dan prestasi
matematika; efek yang lebih besar untuk program dengan perangkat tambahan (misalnya,
les). Mahoney, Lord, dan Carryl (2005) menemukan manfaat program setelah sekolah
pada prestasi akademik dan motivasi anak; hasilnya paling kuat untuk anak-anak yang
dinilai sangat terlibat dalam kegiatan program setelah sekolah. Konsisten dengan model
Carroll, kita dapat menyimpulkan bahwa program di luar sekolah berhasil sejauh mereka
fokus pada pembelajaran siswa dan memberikan dukungan untuk mendorongnya.

3. Penguasaan Pembelajaran
Model Carroll memprediksi bahwa jika siswa bervariasi dalam bakat untuk
mempelajari suatu mata pelajaran dan jika semua menerima jumlah dan jenis instruksi
yang sama, prestasi mereka akan berbeda. Jika jumlah dan jenis pengajaran bervariasi
tergantung pada perbedaan individu di antara peserta didik, maka setiap siswa memiliki
potensi untuk menunjukkan penguasaan; hubungan positif antara bakat dan prestasi akan
hilang karena semua siswa akan menunjukkan prestasi yang sama terlepas dari bakat.
Ide-ide ini membentuk dasar penguasaan pembelajaran (Anderson, 2003; Bloom,
1976; Bloom, Hastings, & Madaus, 1971). Pembelajaran penguasaan menggabungkan
ide-ide Carroll ke dalam rencana instruksional sistematis yang mencakup pendefinisian
penguasaan, perencanaan penguasaan, pengajaran untuk penguasaan, dan penilaian untuk
penguasaan (Block & Burns, 1977). Pembelajaran penguasaan mengandung unsur-unsur
kognitif, meskipun perumusannya tampaknya lebih bersifat perilaku dibandingkan
dengan banyak teori kognitif saat ini.
Untuk menentukan penguasaan, guru menyiapkan seperangkat tujuan dan ujian
akhir (sumatif). Tingkat penguasaan ditetapkan (misalnya, di mana siswa A biasanya
tampil di bawah instruksi tradisional). Guru memecah kursus menjadi unit pembelajaran
yang dipetakan terhadap tujuan kursus.
Perencanaan untuk penguasaan berarti guru merencanakan prosedur instruksional
untuk diri mereka sendiri dan siswa untuk memasukkan prosedur umpan balik korektif
(evaluasi formatif). Evaluasi tersebut biasanya berbentuk tes penguasaan unit yang
menetapkan penguasaan pada tingkat tertentu (misalnya, 90%). Instruksi korektif, yang
digunakan dengan siswa yang gagal menguasai aspek tujuan unit, diberikan dalam sesi
belajar kelompok kecil, tutorial individu, dan materi tambahan.
Pada awal pengajaran untuk penguasaan, guru mengorientasikan siswa pada
prosedur penguasaan dan memberikan instruksi menggunakan seluruh kelas, kelompok
kecil, atau aktivitas kerja kursi individu. Guru memberikan tes formatif dan mengesahkan
siswa mana yang mencapai ketuntasan. Siswa yang gagal mungkin bekerja dalam
kelompok kecil meninjau materi yang bermasalah, seringkali dengan bantuan tutor
sebaya yang telah menguasai materi. Guru memberikan waktu kepada siswa untuk
mengerjakan materi remedial bersama dengan pekerjaan rumah. Penilaian untuk
penguasaan mencakup tes sumatif (akhir kursus). Siswa yang mendapat nilai pada atau di
atas tingkat kinerja penguasaan kursus menerima nilai A; skor yang lebih rendah dinilai
sesuai.
Penekanan pada kemampuan siswa sebagai penentu pembelajaran mungkin
tampak tidak menarik mengingat kemampuan umumnya tidak banyak berubah sebagai
akibat dari intervensi instruksional. Bloom (1976) juga menekankan pentingnya variabel
yang dapat diubah dari sekolah: perilaku masuk kognitif (misalnya, keterampilan siswa
dan strategi pemrosesan kognitif pada awal pengajaran), karakteristik afektif (misalnya,
minat, motivasi), dan faktor-faktor spesifik yang mempengaruhi kualitas pembelajaran.
instruksi (misalnya, partisipasi siswa, jenis umpan balik korektif). Intervensi
instruksional dapat meningkatkan variabel-variabel ini.
Ulasan tentang pengaruh ketuntasan belajar terhadap prestasi belajar siswa
beragam. Block dan Burns (1977) umumnya menemukan penguasaan pembelajaran lebih
efektif daripada bentuk instruksi tradisional. Dengan mahasiswa, Péladeau, Forget, dan
Gagné (2003) memperoleh hasil yang menunjukkan bahwa penguasaan pembelajaran
meningkatkan prestasi siswa, retensi jangka panjang, dan sikap terhadap mata pelajaran
dan materi pelajaran. Kulik, Kulik, dan Bangert-Drowns (1990) meneliti lebih dari 100
evaluasi program pembelajaran penguasaan dan menemukan efek positif pada kinerja
akademik dan sikap kursus di antara pelajar perguruan tinggi, sekolah menengah, dan
sekolah dasar kelas atas. Mereka juga menemukan bahwa penguasaan pembelajaran
dapat meningkatkan waktu yang dihabiskan siswa untuk tugas-tugas instruksional.
Sebaliknya, Bangert, Kulik, dan Kulik (1983) menemukan dukungan yang lebih lemah
untuk program penguasaan pembelajaran. Mereka mencatat bahwa instruksi berbasis
penguasaan lebih efektif di tingkat perguruan tinggi daripada di tingkat yang lebih
rendah. Efektivitasnya tidak diragukan lagi tergantung pada kondisi instruksional yang
tepat (misalnya, perencanaan, pengajaran, penilaian) yang ditetapkan (Kulik et al., 1990).
Siswa yang berpartisipasi dalam instruksi penguasaan sering menghabiskan lebih
banyak waktu dalam belajar dibandingkan dengan siswa di kelas tradisional (Block &
Burns, 1977). Mengingat bahwa waktu sangat berharga di sekolah, banyak pekerjaan
penguasaan—terutama upaya perbaikan—harus diselesaikan di luar jam sekolah biasa.
Sebagian besar studi menunjukkan efek yang lebih kecil dari instruksi penguasaan pada
hasil afektif (misalnya, minat dan sikap terhadap materi pelajaran) daripada hasil
akademik.
Sebuah premis penting dari penguasaan pembelajaran adalah bahwa perbedaan
individu dalam belajar siswa berkurang dari waktu ke waktu. Anderson (1976)
menemukan bahwa ketika siswa remedial memperoleh pengalaman dengan instruksi
penguasaan, mereka secara bertahap membutuhkan lebih sedikit waktu ekstra untuk
mencapai penguasaan karena keterampilan tingkat awal mereka meningkat. Hasil ini
menyiratkan manfaat kumulatif dari ketuntasan belajar. Namun, masih ada pertanyaan
tentang seberapa banyak latihan yang cukup (Péladeau et al., 2003). Terlalu banyak
latihan berulang dapat berdampak negatif pada motivasi, yang tidak akan mendorong
pembelajaran.

4. Instruksi Terprogram
Instruksi terprogram (PI) mengacu pada bahan ajar yang dikembangkan sesuai
dengan prinsip pengkondisian operan pembelajaran (O'Day, Kulhavy, Anderson, &
Malczynski, 1971). Pada 1920-an, Sidney Pressey merancang mesin untuk digunakan
terutama untuk pengujian. Siswa disajikan dengan pertanyaan pilihan ganda, dan mereka
menekan tombol yang sesuai dengan pilihan mereka. Jika siswa menjawab dengan benar,
mesin menyajikan pilihan berikutnya; jika mereka menjawab salah, kesalahan dicatat
dan mereka terus merespons item tersebut.
Skinner menghidupkan kembali mesin Pressey pada 1950-an dan
memodifikasinya untuk memasukkan instruksi (Skinner, 1958). Mesin pengajaran ini
menyajikan materi kepada siswa dalam langkah-langkah kecil (bingkai).
Setiap frame menuntut pembelajar untuk membuat respon terbuka. Bahan
diurutkan dengan hati-hati dan dipecah menjadi unit-unit kecil untuk meminimalkan
kesalahan. Siswa menerima umpan balik langsung pada akurasi setiap respon. Mereka
pindah ke frame berikutnya ketika jawaban mereka benar. Jika salah, diberikan materi
tambahan. Meskipun kesalahan terjadi, program dirancang untuk meminimalkan
kesalahan dan memastikan bahwa peserta didik biasanya berhasil (Benjamin, 1988).
Ada banyak manfaat ketika siswa umumnya berkinerja baik, tetapi seperti yang
disebutkan sebelumnya, penelitian menunjukkan bahwa mencegah kesalahan mungkin
tidak diinginkan. Dweck (1975) menemukan bahwa kegagalan sesekali meningkatkan
ketekunan pada tugas-tugas sulit lebih dari keberhasilan konstan. Lebih lanjut,
kesuksesan yang konstan tidak seinformatif kemampuan seseorang seperti yang kadang-
kadang mengalami kesulitan karena yang terakhir menyoroti apa yang bisa dan tidak bisa
dilakukan. Ini bukan untuk menyarankan bahwa guru harus membiarkan siswa gagal,
melainkan bahwa dalam keadaan yang tepat siswa dapat mengambil manfaat dari tugas-
tugas terstruktur sehingga mereka kadang-kadang menghadapi kesulitan.
PI tidak memerlukan penggunaan mesin; buku oleh Holland dan Skinner (1961)
adalah contoh PI. Hari ini, bagaimanapun, kebanyakan PI terkomputerisasi dan banyak
program instruksional komputer menggabungkan prinsip-prinsip instruksi perilaku.
PI menggabungkan beberapa prinsip pembelajaran (O'Day et al., 1971). Tujuan
perilaku menentukan apa yang harus dilakukan siswa pada penyelesaian instruksi. Unit
ini dibagi lagi menjadi bingkai berurutan, yang masing-masing menyajikan sedikit
informasi dan item tes yang ditanggapi peserta didik. Meskipun banyak materi dapat
dimasukkan dalam program, peningkatan frame-to-frame kecil. Peserta didik bekerja
dengan kecepatan mereka sendiri dan menanggapi pertanyaan saat mereka bekerja
melalui program. Tanggapan mungkin mengharuskan pembelajar untuk memberikan
kata-kata, memberikan jawaban numerik, atau memilih yang mana dari beberapa
pernyataan yang paling menggambarkan ide yang disajikan. Umpan balik tergantung
pada respon pembelajar. Jika pembelajar benar, item berikutnya diberikan. Jika
pembelajar menjawab salah, informasi remedial tambahan disajikan dan item diuji dalam
bentuk yang sedikit berbeda.
Karena PI mencerminkan pembentukan, peningkatan kinerja kecil dan pelajar
hampir selalu merespons dengan benar. Program linier dan percabangan dibedakan
menurut cara mereka menangani kesalahan pembelajar. Program linier terstruktur
sedemikian rupa sehingga semua siswa melanjutkan melalui mereka dalam urutan yang
sama (tetapi tidak harus pada tingkat yang sama). Terlepas dari apakah siswa merespons
dengan benar atau salah ke suatu bingkai, mereka pindah ke bingkai berikutnya di mana
mereka menerima umpan balik tentang keakuratan jawaban mereka. Program
meminimalkan kesalahan dengan mencakup materi yang sama di lebih dari satu bingkai
dan dengan mendorong tanggapan siswa (Gambar 3.4).

Gambar 3.4 Program yang linear


Program percabangan diatur sehingga pergerakan siswa melaluinya tergantung pada
bagaimana mereka menjawab pertanyaan (Gambar 3.5). Siswa yang belajar dengan cepat
melewatkan frame dan melewati banyak pengulangan program linier, sedangkan pelajar yang
lebih lambat menerima instruksi tambahan. Kerugiannya adalah program percabangan
mungkin tidak memberikan pengulangan yang cukup untuk memastikan bahwa semua siswa
mempelajari konsep dengan baik.
Penelitian menunjukkan bahwa program linier dan bercabang mempromosikan
pembelajaran siswa sama baiknya dan bahwa PI sama efektifnya dengan pengajaran di kelas
konvensional (Bangert et al., 1983; Lange, 1972). Apakah PI digunakan sebagai pengganti
instruksi tradisional sebagian tergantung pada seberapa baik program yang ada mencakup
ruang lingkup dan urutan instruksi yang diperlukan. PI tampaknya sangat berguna bagi siswa
yang menunjukkan kekurangan keterampilan; bekerja melalui program memberikan instruksi
dan latihan perbaikan. PI juga berguna untuk studi mandiri tentang suatu topik. Instruksi
terprogram dalam format komputer adalah jenis instruksi berbasis komputer (CBI). Sampai
beberapa tahun yang lalu, CBI adalah aplikasi pembelajaran komputer yang paling umum di
sekolah (Jonassen, 1996; hari ini adalah Internet). CBI sering digunakan untuk latihan dan
tutorial. Sedangkan latihan meninjau informasi, tutorial bersifat interaktif: Mereka
menyajikan informasi dan umpan balik kepada siswa dan merespons berdasarkan jawaban
siswa (misalnya, program bercabang).

Gambar 3.5 Program yang bercabang


Studi menyelidiki CBI di program perguruan tinggi menghasilkan efek
menguntungkan pada prestasi siswa dan sikap (Kulik, Kulik, & Cohen, 1980). Beberapa
fitur CBI yang kuat didasarkan pada teori pembelajaran dan penelitian. Komputer
mengarahkan perhatian siswa dan memberikan umpan balik langsung, yang dapat berupa
jenis yang biasanya tidak diberikan di kelas (misalnya, bagaimana kinerja saat ini
dibandingkan dengan kinerja sebelumnya untuk menyoroti kemajuan). Komputer
mengindividualisasikan konten dan kecepatan presentasi.
Meskipun latihan dan tutorial menempatkan batasan ketat pada bagaimana siswa
berinteraksi dengan materi, satu keuntungan dari CBI adalah dapat dipersonalisasi: Siswa
memasukkan informasi tentang diri mereka sendiri, orang tua, dan teman, yang kemudian
dimasukkan dalam presentasi instruksional. Personalisasi dapat menghasilkan prestasi
yang lebih tinggi dibandingkan format lainnya (Anand & Ross, 1987; Ross, McCormick,
Krisak, & Anand, 1985). Anand dan Ross (1987) memberikan instruksi kepada anak-
anak SD dalam membagi pecahan menurut salah satu dari tiga format soal (abstrak,
konkret, personal)

5. Kontrak Kontingensi
Kontrak kontingensi adalah kesepakatan antara guru dan siswa yang menentukan
pekerjaan apa yang akan diselesaikan siswa dan hasil yang diharapkan (penguatan) untuk
kinerja yang sukses (Homme, Csanyi, Gonzales, & Rechs, 1970). Sebuah kontrak dapat
dibuat secara lisan, meskipun biasanya tertulis. Guru dapat merancang kontrak dan
menanyakan apakah siswa menyetujuinya, tetapi biasanya guru dan siswa
merumuskannya bersama. Keuntungan dari partisipasi bersama adalah bahwa siswa
mungkin merasa lebih berkomitmen untuk memenuhi persyaratan kontrak. Ketika orang
berpartisipasi dalam pemilihan tujuan, mereka sering lebih berkomitmen untuk mencapai
tujuan daripada ketika mereka dikeluarkan dari proses seleksi (Locke & Latham, 1990).
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Behaviorisme adalah sebuah aliran dalam psikologi pendidikan yang didirikan oleh
John B. Watson pada tahun 1913 yang berpendapat bahwa perilaku harus merupakan unsur
subyek tunggal psikologi. Behaviorisme merupakan suatu suatu aliran psikologi yang
memandang individu hanya dari sisi jasmaniah, dan mengabaikan aspek-aspek mental.
Dengan kata lain behaviorisme tidak mengkui adanya kecerdasan, bakat, minat dan perasaan
individu dalam suatu belajar. Teori pembelajaran Thorndike, Pavlov, dan Guthrie
memandang belajar sebagai proses pembentukan asosiasi antara stimulus dan reaksi.
Menurut teori ini peristiwa belajar semata-mata melatih refleks-refleks sedemikian
rupa sehingga menjadi kebiasaan yang dikuasai individu. Refleks yang memberikan respons
kepada peserta didik dalam proses pembelajaran. Belajar membutuhkan organisasi tanggapan
terhadap rangsangan diskriminatif. Implikasi terhadap pembelajaran adalah: latihan
diperlukan untuk memperkuat tanggapan, keterampilan kompleks dapat dibentuk dengan
membentuk pendekatan kecil yang progresif terhadap perilaku yang diinginkan, instruksi
harus memiliki tujuan yang jelas dan terukur, dilanjutkan dalam langkah-langkah kecil, dan
memberikan penguatan.

B. Saran
DAFTAR PUSTAKA

Shunck, Dale H. 2012. Learning Theories An Educational Perspective. The University of North
Carolina at Greensboro : Boston
Dalyono. 2009. Psikologi Pendidikan. Jakarta : PT. Rineka Cipta
Islamuddin, Haryu. 2011. Psikologi Pendidikan. Jember : STAIN Jember Press.
Rumini. 1995. Psikologi Pendidikan.Yogyakarta : UPP UNY.

Anda mungkin juga menyukai