Oleh :
Ronisius Otu (21107251008)
Irlani (21107251009)
TEKNOLOGI PEMBELAJARAN
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
2021
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala nikmat yang
telah diberikan-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini sebagai salah satu tugas
mata kuliah Teori Pembelajaran.
Makalah ini membahas tentang teori belajar behaviorisme beserta pandangan yang
menerapakan teori belajar behaviorisme. Mahasiswa teknologi pembelajaran perlu
memahami teori-teori belajar untuk meningkatkan keilmuan dalam bidangnya.
Ucapan terimakasih kami sampaikan kepada Prof. Dr. C. Asri Budiningsih, selaku
dosen pembimbing mata kuliah juga teman-teman yang telah berpartisipasi dalam pembuatan
makalah ini. Penyusun menyadari bahwa dalam penulisan makalah masih banyak
kekurangan. Oleh sebab itu, penyusun sangat mengharapkan kritik dan saran yang
membangun dalam penyempurnaan makalah selanjutnya.
Penyusun
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Belajar dan pembelajaran merupakan topik yang tetap menarik ketika mengkaji ilmu-
ilmu perilaku. Bagaiman sebenernya proses belajar itu dapat berlangsung dan bagaimana
pembelajaran seharusnya dilakukan, ini merupakan hal yang menarik bagi pendidik, guru,
orang tua, konselor, dan orang-orang yang bergerak dalam pengelolaan perilaku. Jika belajar
merupakan suatu kegiatan yang bersifat rumit dan kompleks, maka pembelajaran menjadi
lebih kompleks dan rumit karena tujuan pembelajaran adalah untuk memacu (merangsang)
dan memicu (menumbuhkan) terjadi kegiatan belajar. Dengan demikian, hasil belajar
merupakan tujuan dan pembelajaran dari sarana untuk mencapai tujuan tersebut.
Belajar merupakan suatu proses usaha sadar yang dilakukan oleh individu untuk suatu
perubahan dari tidak tahu menjadi tahu, dari tidak memiliki sikap menjadi bersikap benar,
dari tidak terampil menjadi terampil melakukan sesuatu. Belajar tidak hanya sekedar
memetakan pengetahuan atau informasi yang disampaikan. Namun bagaimana melibatkan
individu secara aktif membuat atau pun merevisi hasil belajar yang diterimanya menjadi
suatu pengalamaan yang bermanfaat bagi pribadinya.
Pembelajaran merupakan suatu sistim yang membantu individu belajar dan
berinteraksi dengan sumber belajar dan lingkungan. Teori adalah seperangkat azaz yang
tersusun tentang kejadian-kejadian tertentu dalam dunia nyata. Teori merupakan seperangkat
preposisi yang didalamnya memuat tentang ide, konsep, prosedur dan prinsip yang terdiri dari
satu atau lebih variable yang saling berhubungan satu sama lainnya dan dapat dipelajari,
dianalisis dan diuji serta dibuktikan kebenarannya. Dari dua pendapat diatas Teori adalah
seperangkat azaz tentang kejadian-kejadian yang didalamnnya memuat ide, konsep, prosedur
dan prinsip yang dapat dipelajari, dianalisis dan diuji kebenarannya.
Teori belajar adalah suatu teori yang di dalamnya terdapat tata cara pengaplikasian
kegiatan belajar mengajar antara guru dan siswa, perancangan metode pembelajaran yang
akan dilaksanakan di kelas maupun di luar kelas. Teori belajar selalu bertolak dari sudut
pandang psikologi belajar. Untuk itu dalam pemahasan ini penyusun akan mengulas
mengenai teori belajar yang berhubungan dengan psikologi yang berpijak pada pandaangan
behaviorisme dan aplikasinya dalam pembelajaran.
Salah satu teori belajar yang metode pembelajarannya menghubungkan perilaku dan
konsekuensi, menggunakan reward serta punishment adalah teori belajar behavioristik. Teori
ini lalu berkembang menjadi aliran psikologi belajar yang berpengaruh terhadap arah
pengembangan teori dan praktek pendidikan dan pembelajaran yang dikenal sebagai aliran
behavioristik. Aliran ini menekankan pada terbentuknya perilaku yang tampak sebagai hasil
belajar.
Teori behavioristik dengan model hubungan stimulus-responnya, mendudukkan orang
yang belajar sebagai individu yang pasif. Respon atau perilaku tertentu dengan menggunakan
metode pelatihan atau pembiasaan semata. Munculnya perilaku akan semakin kuat bila
diberikan penguatan dan akan menghilang bila dikenai hukuman. Metode behavioristik ini
sangat cocok untuk perolehan kemampaun yang membuthkan praktek dan pembiasaan yang
mengandung unsur-unsur seperti : Kecepatan, spontanitas, kelenturan, reflek, daya tahan dan
sebagainya, contohnya: percakapan bahasa asing, mengetik, menari, menggunakan komputer,
berenang, olahraga dan sebagainya. Teori ini juga cocok diterapkan untuk melatih anak-anak
yang masih membutuhkan dominasi peran orang dewasa, suka mengulangi dan harus
dibiasakan, suka meniru dan senang dengan bentuk-bentuk penghargaan langsung seperti
diberi permen atau puji.
B. Rumusan Masalah
Adapun rumusalah masalah sebagai berikut :
1. Apa itu teori belajar behaviorisme?
2. Bagaimana pandangan teori belajar behaviorisme menurut Thorndike, Pavlov,
Guthrie, dan Skinner ?
3. Bagaimana penerapan teori belajar behaviorisme dalam pembelajaran ?
C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan makalah ini sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui tentang teori belajar behaviorisme
2. Untuk mengetahui tentang pandangan teori belajar behaviorisme menurut
Thorndike, Pavlov, Guthrie, dan Skinner
3. Untuk mengetahui penerapan teori belajar behaviorisme dalam pembelajaran.
BAB II
ISI
B. Connectionism (Thorndike)
1. Pembelajaran Percobaan dan Kesalahan
Ide dasar Thorndike tentang belajar diwujudkan dalam Law of exercise and
effect. Law of Exercise memiliki dua bagian: law of Use - respons terhadap stimulus
memperkuat koneksi, Law of diuse - ketika respons tidak dilakukan terhadap
stimulus, kekuatan koneksi melemah (terlupakan). Semakin lama interval waktu
sebelum respon dibuat, semakin besar penurunan kekuatan koneksi.
Thorndike merevisi Hukum Latihan dan Efek (Law of Exerxise and Effect)
setelah bukti penelitian lain tidak mendukungnya (Thorndike, 1932). Thorndike
membuang Hukum Latihan ketika dia menemukan bahwa pengulangan sederhana dari
suatu situasi tidak selalu "mempercepat" tanggapan. Dalam satu percobaan, misalnya,
peserta menutup mata mereka dan menggambar garis yang mereka pikir panjangnya
2, 4, 6, dan 8 inci, ratusan kali selama beberapa hari, tanpa umpan balik tentang
keakuratan panjangnya (Thorndike, 1932). Jika Hukum Latihan benar, maka respons
yang paling sering dilakukan selama 100 atau lebih gambar pertama seharusnya
menjadi lebih sering sesudahnya; tetapi Thorndike tidak menemukan dukungan untuk
ide ini. Sebaliknya, panjang rata-rata berubah dari waktu ke waktu; orang tampaknya
bereksperimen dengan panjang yang berbeda karena mereka tidak yakin dengan
panjang yang benar. Dengan demikian, pengulangan situasi mungkin tidak
meningkatkan kemungkinan respon yang sama terjadi di masa depan.
Sehubungan dengan Hukum Efek, Thorndike awalnya berpikir bahwa efek
dari kepuasan (hadiah) dan pengganggu (hukuman) berlawanan tetapi sebanding,
tetapi penelitian menunjukkan ini tidak terjadi. Sebaliknya, penghargaan memperkuat
koneksi, tetapi hukuman tidak selalu melemahkan mereka (Thorndike, 1932).
Sebaliknya, koneksi melemah ketika koneksi alternatif diperkuat. Dalam satu
penelitian (Thorndike, 1932), celana peserta disajikan dengan kata-kata bahasa
Inggris yang tidak umum (misalnya, edacious, eidolon). Setiap kata diikuti oleh lima
kata bahasa Inggris umum, salah satunya adalah sinonim yang benar. Pada setiap
percobaan, peserta memilih sinonim dan menggarisbawahinya, setelah itu peneliti
mengatakan "benar" (hadiah) atau "salah" (hukuman). Menghargai pembelajaran yang
lebih baik, tetapi hukuman tidak mengurangi kemungkinan respons itu terjadi pada
kata stimulus itu.
Hukuman menekan tanggapan, tetapi mereka tidak dilupakan. Hukuman
bukanlah cara yang efektif untuk mengubah perilaku karena hukuman tidak
mengajarkan perilaku yang benar kepada siswa, melainkan memberi tahu mereka
tentang apa yang tidak boleh dilakukan. Hal ini juga berlaku dengan keterampilan
kognitif. Brown dan Burton (1978) menemukan bahwa siswa belajar algoritma kereta
(aturan yang salah) untuk memecahkan masalah (misalnya, kurangi angka yang lebih
kecil dari yang lebih besar, kolom demi kolom, 4371 – 2748= 2437). Ketika siswa
diberitahu bahwa metode ini salah dan diberikan umpan balik korektif dan latihan
dalam memecahkan masalah dengan benar, mereka mempelajari metode yang benar
tetapi tidak melupakan cara lama.
2. Pengaruh Biologis
Pavlov (1927, 1928) percaya bahwa setiap stimulus yang dirasakan dapat
dikondisikan untuk setiap respon yang dibuat. Penelitian selanjutnya telah menunjukkan
bahwa pengkondisian adalah terbatas. Dalam spesies apa pun, respons dapat
dikondisikan untuk beberapa rangsangan tetapi tidak untuk yang lain. Pengkondisian
tergantung pada kompatibilitas stimulus dan respons dengan reaksi spesifik spesies
(Hollis, 1997). Semua makhluk hidup pada dasarnya memiliki pola perilaku dasar yang
membantu mereka bertahan hidup, tetapi pembelajaran memberikan cara penyesuaian
diri terhadap lingkungan dengan baik (Garcia & Garcia pada pada Robertson 1985).
3. Pengkondisian Reaksi Emosional
2. Kekuatan Asosiatif
Teori Guthrie berpendapat bahwa belajar terjadi melalui pasangan stimulus dan
respon. Guthrie (1942) juga membahas kekuatan pasangan, atau kekuatan asosiatif :
Sebuah pola stimulus memperoleh kekuatan asosiatif sepenuhnya pada kesempatan
pasangan pertamanya dengan respon.
Dia menolak gagasan asosiasi melalui frekuensi, seperti yang terkandung dalam
Hukum Latihan asli Thorndike (Guthrie, 1930). Meskipun Guthrie tidak menyarankan
agar orang mempelajari perilaku kompleks dengan melakukannya sekali, dia percaya
bahwa pada awalnya satu atau lebih gerakan menjadi terkait. Pengulangan situasi
menambah gerakan, menggabungkan gerakan menjadi tindakan, dan menetapkan
tindakan di bawah kondisi lingkungan yang berbeda.
Percobaan Guthrie dan Horton (1946) dengan kucing ditafsirkan sebagai
mendukung prinsip belajar semua atau tidak sama sekali ini. Guthrie dan Horton
menggunakan kotak teka-teki yang mirip dengan Thorndike. Menyentuh tiang di tengah
memicu mekanisme yang membuka pintu, memungkinkan kucing untuk melarikan diri.
Ketika kucing awalnya ditempatkan di dalam kotak, mereka menjelajahinya dan
membuat serangkaian gerakan acak. Akhirnya mereka membuat respons yang
melepaskan mekanisme, dan mereka melarikan diri. Mereka mungkin membentur tiang
dengan cakarnya; disikat melawannya; atau didukung ke dalamnya. Tanggapan terakhir
kucing (memukul tiang) berhasil karena membuka pintu, dan kucing mengulangi
tanggapan terakhirnya ketika dimasukkan kembali ke dalam kotak. Gerakan terakhir
dikaitkan dengan kotak teka-teki, karena memungkinkan hewan itu untuk melarikan diri.
Posisi Guthrie tidak menyiratkan bahwa begitu siswa berhasil memecahkan
persamaan kuadrat atau menulis makalah penelitian, mereka telah menguasai
keterampilan yang diperlukan. Latihan menghubungkan berbagai gerakan yang terlibat
dalam tindakan memecahkan persamaan dan menulis makalah. Tindakan itu sendiri
mungkin memiliki banyak variasi (jenis persamaan dan makalah) dan idealnya siswa
pindahan harus dapat menyelesaikan persamaan dan menulis makalah dalam konteks
yang berbeda. Guthrie menerima gagasan Thorndike tentang elemen identik. Untuk
menghasilkan perilaku harus dipraktekkan dalam situasi yang tepat di mana mereka akan
dipanggil, seperti di meja, dalam kelompok kecil, dan di rumah.
3. Hadiah dan Hukuman
Guthrie percaya bahwa tanggapan tidak perlu dihargai untuk dipelajari.
Mekanisme kuncinya adalah kedekatan, atau pasangan dekat dalam waktu antara
stimulus dan respons. Responsnya tidak harus memuaskan; pasangan tanpa konsekuensi
dapat mengarah pada pembelajaran.
Guthrie (1952) membantah Hukum Efek Thorndike karena pemuas dan
pengganggu adalah efek dari tindakan; oleh karena itu, mereka tidak dapat memengaruhi
pembelajaran koneksi sebelumnya tetapi hanya koneksi berikutnya. Hadiah mungkin
membantu mencegah unlearning (melupakan) karena mereka mencegah respons baru
dikaitkan dengan isyarat stimulus. Dalam percobaan Guthrie dan Horton (1946), hadiah
(melarikan diri dari kotak) mengeluarkan hewan dari konteks pembelajaran dan
mencegah perolehan asosiasi baru ke dalam kotak. Demikian pula, hukuman akan
menghasilkan unlearning hanya jika menyebabkan hewan belajar sesuatu yang lain.
Kedekatan adalah fitur utama dari pembelajaran sekolah. Flashcards membantu
siswa mempelajari fakta aritmatika. Siswa belajar mengasosiasikan stimulus (misalnya, 4
X 4) dengan respon (16). Kata-kata bahasa asing dikaitkan dengan padanan bahasa
Inggrisnya, dan simbol kimia dikaitkan dengan nama elemennya.
4. Pembentukan dan Perubahan Kebiasaan
Kebiasaan adalah kecenderungan yang dipelajari untuk mengulangi respons masa
lalu (Wood & Neal, 2007). Karena kebiasaan adalah perilaku yang dibentuk untuk
banyak isyarat, guru yang menginginkan siswa untuk berperilaku baik di sekolah harus
menghubungkan aturan sekolah dengan banyak isyarat. "Perlakukan orang lain dengan
hormat," perlu dikaitkan dengan ruang kelas, lab komputer, aula, kafetaria, gimnasium,
auditorium, dan taman bermain. Dengan menerapkan aturan ini dalam setiap pengaturan
ini, perilaku hormat siswa terhadap orang lain menjadi kebiasaan. Jika siswa percaya
bahwa mereka harus mempraktikkan rasa hormat hanya di dalam kelas, menghormati
orang lain tidak akan menjadi kebiasaan.
Kunci untuk mengubah perilaku adalah "menemukan isyarat yang memulai
tindakan dan mempraktikkan respons lain terhadap isyarat ini" (Guthrie, 1952, hlm. 115).
Guthrie mengidentifikasi tiga metode untuk mengubah kebiasaan: ambang batas,
kelelahan, dan respons yang tidak sesuai (Tabel 3.2). Meskipun metode ini memiliki
perbedaan, mereka semua memberikan isyarat untuk tindakan kebiasaan tetapi mengatur
agar tidak dilakukan.
D. Pengkondisian Operan
1. Penguatan
Bila dianalisis keseluruhan sistem Skinner, kita akan menemukan secara
konsisten istilah penguatan yang oleh Skinner dianggap sebagai satu unsur kunci untuk
menjelaskan bagaimana dan mengapa pembelajaran muncul. Penguatan digunakan
secara khas sebagai berikut :
a. Kategori Hukuman
Hukuman mengacu pada kehadiran atau menghilangnya beberapa peristiwa yang
mengakibatkan berkurangnya frekuensi perilaku. Ada tiga kategori hukuman. 1) adanya
peristiwa yang tidak menyenangkan, 2) menghilangnya kensekuensi positif, 3)
konsekuensi didasarkan pada aktivitas (Kazdin,1989).
Yang paling umum dikenal bentuk hukuman yang mencakup peristiwa yang tidak
mengenakkan setelah adanya suatu tindakan atau respon dari individu. Jika peristiwa
kehadirinnya dapat mengurangi frekuensi perilaku, secara fungsional didefenisikan
dengan hukuman. Perlu dicatat bahwa peristiwa tertentu yang tidak menyenangkan ,
seperti perteriak, mungkin secara aktual meningkatkan perilaku, karena itu dapat
didefenisikan sebagai penguat, bahkan jika intensi seseorang berteriak adalah untuk
mengurangi perilaku ofensive. Pernyataan verbal seperti: menampar umumnya berfungsi
sebagai hukuman, akan tetapi mungkin akan hilang effektivitasnya jika dilakukan
berkali-kali. Sebaliknya peristiwa yang tidak menyenangkan, seperti intervensi secara
fisik diidentifikasi mempunyai efek hukum yang fungsional, tapi mereka seharusnya
tidak melakukanya kecuali dalam kondisi yang sangat terpaksa atau darurat, dan bahkan
hal tersebut akan menjadi sesuatu yang kontroversial.
Menghilangnya kensekuensi positif dapat juga mengurangi frekuensi beberapa
perilaku dan dapat dianggap sebagai hukuman. Dua bentuk utama menghilangnya
konsekuensi positif adalah jeda (time out) dari penguatan dan biaya respon (respon
cost).
Jeda (time out) dari penguatan positif mangacu pada berpindahnya semua penguat
positif pada periode waktu tertentu. Jeda sering tidak efektif sebab tidak semua sumber
penguatan hilang. Secara singkat jeda (time out) dijumpai dapat menjadi efektif tapi
dapat membawa kerugian dalam bidang pendidikan. Pertama, guru dan yang lainnya
cenderung menggunakan jeda sebagai satu-satunya metode untuk mendisiplinkan siswa.
Selama tahapan ini, anak sering diluar aktivitas belajar, kedua, Bahayanya bahwa guru
dapat kembali memperlama-lama jeda tanpa adanya manfaat bagi siswa.
Biaya respon (respon cost) menyebabkan hilangnya suatu penguat positif dan
tidak memerlukan sebuah periode selama peristiwa-peristiwa positif tidak tersedia.
Respon cost kebanyakan sering melibatkan suatu hukuman. Contohnya siswa diberi
akses ke penguat yang sudah dijaukah dari perilaku yang tak pantas. Respon cost
seharusnya digunakan dengan prosedur positif. Sungguh, Respon cost tergantung pada
peristiwa positif yang ada untuk dapat bekerja secara efektive.
Agak relative baru suatu teknik hukuman didasarkan pada ketidaksenangan
setelah beberapa respon. Contoh : meminta seseorang untuk melakukan sesutu agar
terlibat dalam usaha atau kerja untuk mengurangi respon dan karena itu berfungsi sebagai
hukuman.
Overcorrection adalah suatu prosedur yang termasuk dalam kategori ini ;
Overcorrection meliputi suatu hukuman yang masuk dalam dua komponen. Pertama,
ganti rugi (restitusi) termasuk dalam hal ini. Karena seseorang mengoreksi efek aksi
negatif. Contohnya seorang siswa yang menghancurkan pensil siswa yang lain diminta
untuk menggantinya. Kedua, Kegiatan positif. Prosedur ini terdiri dari praktek perilaku
yang pantas secara berulang-ulang. Contoh, siswa yang sama diminta untuk
mendemonstrasikan penggunaan pensil yang benar dengan cara menulis. Tentu tidak
semua perilaku yang dicoba oleh guru untuk mengurangi dapat digunakan dengan kedua
komponen overcorrection.
Skinner (1954, 1961, 1968, 1984) banyak menulis tentang bagaimana ide-idenya
dapat diterapkan untuk memecahkan masalah pendidikan. Dia percaya bahwa ada terlalu
banyak kontrol permusuhan. Meskipun siswa jarang menerima hukuman fisik, mereka sering
mengerjakan tugas bukan karena mereka ingin belajar atau karena mereka menikmatinya
tetapi lebih untuk menghindari hukuman seperti kritik guru, kehilangan hak istimewa, dan
perjalanan ke kantor kepala sekolah.
Kekhawatiran kedua adalah bahwa penguatan jarang terjadi dan seringkali tidak pada
waktu yang tepat. Guru hadir untuk setiap siswa hanya beberapa menit setiap hari. Sementara
siswa terlibat dalam pekerjaan kursi, beberapa menit dapat berlalu antara saat mereka
menyelesaikan tugas dan saat mereka menerima umpan balik dari guru. Akibatnya, siswa
dapat belajar salah, yang berarti bahwa guru harus menghabiskan waktu tambahan untuk
memberikan umpan balik korektif. Poin ketiga adalah bahwa cakupan dan urutan kurikulum
tidak memastikan bahwa semua siswa memperoleh keterampilan. Siswa tidak belajar dengan
kecepatan yang sama. Untuk menutupi semua materi, guru dapat pindah ke pelajaran
berikutnya sebelum semua siswa menguasai pelajaran sebelumnya. Skinner berpendapat
bahwa ini dan masalah lainnya tidak dapat diselesaikan dengan membayar lebih banyak uang
kepada guru (walaupun mereka menginginkannya!), Memperpanjang hari dan tahun sekolah,
menaikkan standar, atau memperketat persyaratan sertifikasi guru. Sebaliknya, ia
merekomendasikan penggunaan waktu pembelajaran yang lebih baik. Karena tidak realistis
untuk mengharapkan siswa untuk bergerak melalui kurikulum pada tingkat yang sama,
instruksi individual akan meningkatkan efisiensi.
Skinner percaya bahwa mengajar membutuhkan pengaturan kontinjensi penguatan
yang tepat. Tidak ada prinsip baru yang diperlukan dalam menerapkan pengkondisian operan
untuk pendidikan. Pengajaran lebih efektif ketika (1) guru menyajikan materi dalam langkah-
langkah kecil, (2) peserta didik secara aktif menanggapi daripada mendengarkan secara pasif,
(3) guru memberikan umpan balik segera setelah tanggapan peserta didik, dan (4) peserta
didik bergerak melalui materi di mereka sendiri. kecepatan sendiri. Proses dasar instruksi
melibatkan pembentukan. Tujuan instruksi (perilaku yang diinginkan) dan perilaku awal
siswa diidentifikasi. Sublangkah (perilaku) yang mengarah dari perilaku awal ke perilaku
yang diinginkan dirumuskan. Setiap sublangkah mewakili modifikasi kecil dari yang
sebelumnya. Siswa digerakkan melalui urutan menggunakan berbagai pendekatan termasuk
demonstrasi, kerja kelompok kecil, dan kerja kursi individu. Siswa secara aktif menanggapi
materi dan menerima umpan balik segera.
Pendekatan instruksional ini melibatkan penentuan pengetahuan peserta didik saat ini
dan tujuan yang diinginkan dalam hal apa yang peserta didik lakukan. Perilaku yang
diinginkan sering kali ditetapkan sebagai tujuan perilaku, yang akan segera dibahas.
Perbedaan individu diperhitungkan dengan memulai instruksi pada tingkat kinerja pelajar saat
ini dan memungkinkan mereka untuk maju dengan kecepatan mereka sendiri. Mengingat
metode pengajaran yang berlaku dalam sistem pendidikan kita, tujuan ini tampaknya tidak
praktis: Guru harus memulai pengajaran pada titik yang berbeda dan mencakup materi pada
tingkat yang berbeda untuk masing-masing siswa. Instruksi terprogram menghindari masalah
ini: Peserta didik mulai pada titik materi yang sesuai dengan tingkat kinerja mereka, dan
mereka maju dengan kecepatan mereka sendiri. Sisa dari bagian ini menjelaskan beberapa
aplikasi instruksional yang menggabungkan prinsip-prinsip behavioristik. Tidak semua
aplikasi ini diturunkan dari teori Skinner atau teori lain yang dibahas dalam bab ini, tetapi
semuanya mencerminkan sampai batas tertentu ide-ide kunci behaviorisme.
1. Tujuan Perilaku
Tujuan dapat berkisar dari umum ke khusus. Tujuan umum seperti
"meningkatkan kesadaran siswa" dapat dipenuhi oleh hampir semua jenis instruksi.
Sebaliknya, tujuan yang terlalu spesifik dan mendokumentasikan setiap perubahan menit
dalam perilaku siswa menghabiskan waktu untuk menulis dan dapat menyebabkan guru
melupakan hasil belajar yang paling penting.
Sebuah tujuan perilaku menggambarkan apa yang siswa lakukan ketika
menunjukkan prestasi mereka dan bagaimana guru mengetahui apa yang siswa lakukan
(Mager, 1962). Empat bagian dari tujuan yang baik adalah:
Kelompok spesifik siswa
Perilaku yang sebenarnya siswa untuk melakukan sebagai konsekuensi dari kegiatan
pembelajaran
Kondisi atau konteks dimana siswa melakukan perilaku
Kriteria untuk menilai perilaku siswa untuk menentukan apakah tujuan telah tercapai
Contoh tujuan dengan bagian-bagian yang diidentifikasi adalah:
Diberikan delapan soal penjumlahan dengan pecahan yang penyebutnya berbeda (3),
siswa matematika kelas empat (1) akan menulis jumlah yang benar (2) untuk
setidaknya tujuh dari mereka (4).
Tujuan perilaku dapat membantu menentukan hasil belajar yang penting, yang
membantu dalam perencanaan pelajaran dan pengujian untuk menilai pembelajaran.
Merumuskan tujuan juga membantu guru memutuskan konten apa yang dapat dikuasai
siswa. Mengingat tujuan pengajaran unit dan jumlah waktu yang tetap untuk
mencakupnya, guru dapat memutuskan tujuan mana yang penting dan fokus pada tujuan
tersebut. Meskipun tujuan untuk hasil belajar tingkat rendah (pengetahuan, pemahaman)
umumnya lebih mudah untuk ditentukan, tujuan perilaku yang baik dapat ditulis untuk
menilai hasil tingkat tinggi (aplikasi, analisis, sintesis, evaluasi) juga.
Penelitian menunjukkan bahwa siswa yang diberi tujuan perilaku memiliki
ingatan kata demi kata yang lebih baik dari informasi verbal dibandingkan dengan siswa
yang tidak diberikan tujuan (Faw & Waller, 1976; Hamilton, 1985). Tujuan dapat
memberi isyarat kepada siswa untuk memproses informasi pada tingkat yang sesuai;
dengan demikian, ketika siswa diberi tujuan yang membutuhkan ingatan, mereka terlibat
dalam latihan dan strategi lain yang memfasilitasi jenis ingatan itu. Penelitian juga
menunjukkan bahwa memberikan siswa tujuan tidak meningkatkan pembelajaran materi
yang tidak terkait dengan tujuan (Duchastel & Brown, 1974), yang menunjukkan bahwa
siswa dapat berkonsentrasi pada materi pembelajaran yang relevan dengan tujuan dan
mengabaikan materi lainnya.
Pengaruh tujuan pada pembelajaran tergantung pada pengalaman siswa
sebelumnya dengan mereka dan seberapa penting mereka memandang informasi itu.
Pelatihan dalam menggunakan tujuan atau keakraban dengan instruksi berbasis kriteria
mengarah pada pembelajaran yang lebih baik dibandingkan dengan tidak adanya
pelatihan atau keakraban tersebut. Ketika siswa dapat menentukan sendiri materi apa
yang penting untuk dipelajari, memberikan tujuan tidak memfasilitasi pembelajaran.
Menginformasikan siswa tentang tujuan tampaknya lebih penting ketika siswa tidak tahu
materi apa yang penting. Juga, Muth, Glynn, Britton, dan Graves (1988) menemukan
bahwa struktur teks dapat memoderasi pengaruh tujuan pada pembelajaran. Informasi
yang dibuat menonjol dengan berada di posisi yang menonjol (misalnya, di awal teks
atau disorot) diingat dengan baik, bahkan ketika tujuan tidak diberikan.
2. Waktu Belajar
Teori Operant memprediksi bahwa variabel lingkungan mempengaruhi proses
belajar siswa. Salah satu kunci variabel lingkungan adalah waktu belajar.
Carroll (1963, 1965) merumuskan model pembelajaran sekolah yang
menempatkan penekanan utama pada variabel instruksional dari waktu yang dihabiskan
untuk belajar. Siswa berhasil belajar sejauh mereka menghabiskan jumlah waktu yang
mereka butuhkan untuk belajar. Waktu berarti waktu yang terlibat secara akademis, atau
waktu yang dihabiskan untuk memperhatikan dan mencoba belajar. Meskipun waktu
adalah variabel lingkungan (dapat diamati), definisi ini bersifat kognitif karena
melampaui indikator perilaku sederhana dari waktu jam. Dalam kerangka ini, Carroll
mendalilkan faktor-faktor yang mempengaruhi berapa banyak waktu yang dibutuhkan
untuk belajar dan berapa banyak waktu yang benar-benar dihabiskan untuk belajar.
Waktu yang dibutuhkan untuk Belajar. Salah satu pengaruh pada faktor ini adalah
bakat untuk mempelajari tugas. Bakat belajar tergantung pada jumlah pembelajaran yang
relevan dengan tugas sebelumnya dan pada karakteristik pribadi seperti kemampuan dan
sikap. Faktor kedua yang terkait adalah kemampuan untuk memahami instruksi. Variabel
ini berinteraksi dengan metode pembelajaran; misalnya, beberapa pelajar memahami
instruksi verbal dengan baik, sedangkan yang lain lebih diuntungkan dari presentasi
visual. Kualitas pengajaran mengacu pada seberapa baik tugas diatur dan disajikan
kepada peserta didik.
Kualitas mencakup apa yang diberitahukan kepada peserta didik tentang apa yang
akan mereka pelajari dan bagaimana mereka akan mempelajarinya, sejauh mana mereka
memiliki kontak yang memadai dengan materi pembelajaran, dan seberapa banyak
pengetahuan prasyarat yang diperoleh sebelum mempelajari tugas tersebut. Semakin
rendah kualitas pengajaran, semakin banyak waktu yang dibutuhkan pembelajar untuk
belajar.
Pengaruh kedua adalah waktu pelajar bersedia untuk menghabiskan belajar.
Bahkan ketika pelajar diberi waktu yang cukup untuk belajar, mereka mungkin tidak
menggunakan waktu itu untuk bekerja secara produktif. Apakah karena minat yang
rendah, kesulitan tugas yang dirasakan tinggi, atau faktor lain, siswa mungkin tidak
termotivasi untuk bertahan pada tugas selama waktu yang mereka butuhkan untuk
mempelajarinya. Carroll memasukkan faktor-faktor ini ke dalam rumus untuk
memperkirakan tingkat pembelajaran untuk setiap siswa pada tugas yang diberikan:
3. Penguasaan Pembelajaran
Model Carroll memprediksi bahwa jika siswa bervariasi dalam bakat untuk
mempelajari suatu mata pelajaran dan jika semua menerima jumlah dan jenis instruksi
yang sama, prestasi mereka akan berbeda. Jika jumlah dan jenis pengajaran bervariasi
tergantung pada perbedaan individu di antara peserta didik, maka setiap siswa memiliki
potensi untuk menunjukkan penguasaan; hubungan positif antara bakat dan prestasi akan
hilang karena semua siswa akan menunjukkan prestasi yang sama terlepas dari bakat.
Ide-ide ini membentuk dasar penguasaan pembelajaran (Anderson, 2003; Bloom,
1976; Bloom, Hastings, & Madaus, 1971). Pembelajaran penguasaan menggabungkan
ide-ide Carroll ke dalam rencana instruksional sistematis yang mencakup pendefinisian
penguasaan, perencanaan penguasaan, pengajaran untuk penguasaan, dan penilaian untuk
penguasaan (Block & Burns, 1977). Pembelajaran penguasaan mengandung unsur-unsur
kognitif, meskipun perumusannya tampaknya lebih bersifat perilaku dibandingkan
dengan banyak teori kognitif saat ini.
Untuk menentukan penguasaan, guru menyiapkan seperangkat tujuan dan ujian
akhir (sumatif). Tingkat penguasaan ditetapkan (misalnya, di mana siswa A biasanya
tampil di bawah instruksi tradisional). Guru memecah kursus menjadi unit pembelajaran
yang dipetakan terhadap tujuan kursus.
Perencanaan untuk penguasaan berarti guru merencanakan prosedur instruksional
untuk diri mereka sendiri dan siswa untuk memasukkan prosedur umpan balik korektif
(evaluasi formatif). Evaluasi tersebut biasanya berbentuk tes penguasaan unit yang
menetapkan penguasaan pada tingkat tertentu (misalnya, 90%). Instruksi korektif, yang
digunakan dengan siswa yang gagal menguasai aspek tujuan unit, diberikan dalam sesi
belajar kelompok kecil, tutorial individu, dan materi tambahan.
Pada awal pengajaran untuk penguasaan, guru mengorientasikan siswa pada
prosedur penguasaan dan memberikan instruksi menggunakan seluruh kelas, kelompok
kecil, atau aktivitas kerja kursi individu. Guru memberikan tes formatif dan mengesahkan
siswa mana yang mencapai ketuntasan. Siswa yang gagal mungkin bekerja dalam
kelompok kecil meninjau materi yang bermasalah, seringkali dengan bantuan tutor
sebaya yang telah menguasai materi. Guru memberikan waktu kepada siswa untuk
mengerjakan materi remedial bersama dengan pekerjaan rumah. Penilaian untuk
penguasaan mencakup tes sumatif (akhir kursus). Siswa yang mendapat nilai pada atau di
atas tingkat kinerja penguasaan kursus menerima nilai A; skor yang lebih rendah dinilai
sesuai.
Penekanan pada kemampuan siswa sebagai penentu pembelajaran mungkin
tampak tidak menarik mengingat kemampuan umumnya tidak banyak berubah sebagai
akibat dari intervensi instruksional. Bloom (1976) juga menekankan pentingnya variabel
yang dapat diubah dari sekolah: perilaku masuk kognitif (misalnya, keterampilan siswa
dan strategi pemrosesan kognitif pada awal pengajaran), karakteristik afektif (misalnya,
minat, motivasi), dan faktor-faktor spesifik yang mempengaruhi kualitas pembelajaran.
instruksi (misalnya, partisipasi siswa, jenis umpan balik korektif). Intervensi
instruksional dapat meningkatkan variabel-variabel ini.
Ulasan tentang pengaruh ketuntasan belajar terhadap prestasi belajar siswa
beragam. Block dan Burns (1977) umumnya menemukan penguasaan pembelajaran lebih
efektif daripada bentuk instruksi tradisional. Dengan mahasiswa, Péladeau, Forget, dan
Gagné (2003) memperoleh hasil yang menunjukkan bahwa penguasaan pembelajaran
meningkatkan prestasi siswa, retensi jangka panjang, dan sikap terhadap mata pelajaran
dan materi pelajaran. Kulik, Kulik, dan Bangert-Drowns (1990) meneliti lebih dari 100
evaluasi program pembelajaran penguasaan dan menemukan efek positif pada kinerja
akademik dan sikap kursus di antara pelajar perguruan tinggi, sekolah menengah, dan
sekolah dasar kelas atas. Mereka juga menemukan bahwa penguasaan pembelajaran
dapat meningkatkan waktu yang dihabiskan siswa untuk tugas-tugas instruksional.
Sebaliknya, Bangert, Kulik, dan Kulik (1983) menemukan dukungan yang lebih lemah
untuk program penguasaan pembelajaran. Mereka mencatat bahwa instruksi berbasis
penguasaan lebih efektif di tingkat perguruan tinggi daripada di tingkat yang lebih
rendah. Efektivitasnya tidak diragukan lagi tergantung pada kondisi instruksional yang
tepat (misalnya, perencanaan, pengajaran, penilaian) yang ditetapkan (Kulik et al., 1990).
Siswa yang berpartisipasi dalam instruksi penguasaan sering menghabiskan lebih
banyak waktu dalam belajar dibandingkan dengan siswa di kelas tradisional (Block &
Burns, 1977). Mengingat bahwa waktu sangat berharga di sekolah, banyak pekerjaan
penguasaan—terutama upaya perbaikan—harus diselesaikan di luar jam sekolah biasa.
Sebagian besar studi menunjukkan efek yang lebih kecil dari instruksi penguasaan pada
hasil afektif (misalnya, minat dan sikap terhadap materi pelajaran) daripada hasil
akademik.
Sebuah premis penting dari penguasaan pembelajaran adalah bahwa perbedaan
individu dalam belajar siswa berkurang dari waktu ke waktu. Anderson (1976)
menemukan bahwa ketika siswa remedial memperoleh pengalaman dengan instruksi
penguasaan, mereka secara bertahap membutuhkan lebih sedikit waktu ekstra untuk
mencapai penguasaan karena keterampilan tingkat awal mereka meningkat. Hasil ini
menyiratkan manfaat kumulatif dari ketuntasan belajar. Namun, masih ada pertanyaan
tentang seberapa banyak latihan yang cukup (Péladeau et al., 2003). Terlalu banyak
latihan berulang dapat berdampak negatif pada motivasi, yang tidak akan mendorong
pembelajaran.
4. Instruksi Terprogram
Instruksi terprogram (PI) mengacu pada bahan ajar yang dikembangkan sesuai
dengan prinsip pengkondisian operan pembelajaran (O'Day, Kulhavy, Anderson, &
Malczynski, 1971). Pada 1920-an, Sidney Pressey merancang mesin untuk digunakan
terutama untuk pengujian. Siswa disajikan dengan pertanyaan pilihan ganda, dan mereka
menekan tombol yang sesuai dengan pilihan mereka. Jika siswa menjawab dengan benar,
mesin menyajikan pilihan berikutnya; jika mereka menjawab salah, kesalahan dicatat
dan mereka terus merespons item tersebut.
Skinner menghidupkan kembali mesin Pressey pada 1950-an dan
memodifikasinya untuk memasukkan instruksi (Skinner, 1958). Mesin pengajaran ini
menyajikan materi kepada siswa dalam langkah-langkah kecil (bingkai).
Setiap frame menuntut pembelajar untuk membuat respon terbuka. Bahan
diurutkan dengan hati-hati dan dipecah menjadi unit-unit kecil untuk meminimalkan
kesalahan. Siswa menerima umpan balik langsung pada akurasi setiap respon. Mereka
pindah ke frame berikutnya ketika jawaban mereka benar. Jika salah, diberikan materi
tambahan. Meskipun kesalahan terjadi, program dirancang untuk meminimalkan
kesalahan dan memastikan bahwa peserta didik biasanya berhasil (Benjamin, 1988).
Ada banyak manfaat ketika siswa umumnya berkinerja baik, tetapi seperti yang
disebutkan sebelumnya, penelitian menunjukkan bahwa mencegah kesalahan mungkin
tidak diinginkan. Dweck (1975) menemukan bahwa kegagalan sesekali meningkatkan
ketekunan pada tugas-tugas sulit lebih dari keberhasilan konstan. Lebih lanjut,
kesuksesan yang konstan tidak seinformatif kemampuan seseorang seperti yang kadang-
kadang mengalami kesulitan karena yang terakhir menyoroti apa yang bisa dan tidak bisa
dilakukan. Ini bukan untuk menyarankan bahwa guru harus membiarkan siswa gagal,
melainkan bahwa dalam keadaan yang tepat siswa dapat mengambil manfaat dari tugas-
tugas terstruktur sehingga mereka kadang-kadang menghadapi kesulitan.
PI tidak memerlukan penggunaan mesin; buku oleh Holland dan Skinner (1961)
adalah contoh PI. Hari ini, bagaimanapun, kebanyakan PI terkomputerisasi dan banyak
program instruksional komputer menggabungkan prinsip-prinsip instruksi perilaku.
PI menggabungkan beberapa prinsip pembelajaran (O'Day et al., 1971). Tujuan
perilaku menentukan apa yang harus dilakukan siswa pada penyelesaian instruksi. Unit
ini dibagi lagi menjadi bingkai berurutan, yang masing-masing menyajikan sedikit
informasi dan item tes yang ditanggapi peserta didik. Meskipun banyak materi dapat
dimasukkan dalam program, peningkatan frame-to-frame kecil. Peserta didik bekerja
dengan kecepatan mereka sendiri dan menanggapi pertanyaan saat mereka bekerja
melalui program. Tanggapan mungkin mengharuskan pembelajar untuk memberikan
kata-kata, memberikan jawaban numerik, atau memilih yang mana dari beberapa
pernyataan yang paling menggambarkan ide yang disajikan. Umpan balik tergantung
pada respon pembelajar. Jika pembelajar benar, item berikutnya diberikan. Jika
pembelajar menjawab salah, informasi remedial tambahan disajikan dan item diuji dalam
bentuk yang sedikit berbeda.
Karena PI mencerminkan pembentukan, peningkatan kinerja kecil dan pelajar
hampir selalu merespons dengan benar. Program linier dan percabangan dibedakan
menurut cara mereka menangani kesalahan pembelajar. Program linier terstruktur
sedemikian rupa sehingga semua siswa melanjutkan melalui mereka dalam urutan yang
sama (tetapi tidak harus pada tingkat yang sama). Terlepas dari apakah siswa merespons
dengan benar atau salah ke suatu bingkai, mereka pindah ke bingkai berikutnya di mana
mereka menerima umpan balik tentang keakuratan jawaban mereka. Program
meminimalkan kesalahan dengan mencakup materi yang sama di lebih dari satu bingkai
dan dengan mendorong tanggapan siswa (Gambar 3.4).
5. Kontrak Kontingensi
Kontrak kontingensi adalah kesepakatan antara guru dan siswa yang menentukan
pekerjaan apa yang akan diselesaikan siswa dan hasil yang diharapkan (penguatan) untuk
kinerja yang sukses (Homme, Csanyi, Gonzales, & Rechs, 1970). Sebuah kontrak dapat
dibuat secara lisan, meskipun biasanya tertulis. Guru dapat merancang kontrak dan
menanyakan apakah siswa menyetujuinya, tetapi biasanya guru dan siswa
merumuskannya bersama. Keuntungan dari partisipasi bersama adalah bahwa siswa
mungkin merasa lebih berkomitmen untuk memenuhi persyaratan kontrak. Ketika orang
berpartisipasi dalam pemilihan tujuan, mereka sering lebih berkomitmen untuk mencapai
tujuan daripada ketika mereka dikeluarkan dari proses seleksi (Locke & Latham, 1990).
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Behaviorisme adalah sebuah aliran dalam psikologi pendidikan yang didirikan oleh
John B. Watson pada tahun 1913 yang berpendapat bahwa perilaku harus merupakan unsur
subyek tunggal psikologi. Behaviorisme merupakan suatu suatu aliran psikologi yang
memandang individu hanya dari sisi jasmaniah, dan mengabaikan aspek-aspek mental.
Dengan kata lain behaviorisme tidak mengkui adanya kecerdasan, bakat, minat dan perasaan
individu dalam suatu belajar. Teori pembelajaran Thorndike, Pavlov, dan Guthrie
memandang belajar sebagai proses pembentukan asosiasi antara stimulus dan reaksi.
Menurut teori ini peristiwa belajar semata-mata melatih refleks-refleks sedemikian
rupa sehingga menjadi kebiasaan yang dikuasai individu. Refleks yang memberikan respons
kepada peserta didik dalam proses pembelajaran. Belajar membutuhkan organisasi tanggapan
terhadap rangsangan diskriminatif. Implikasi terhadap pembelajaran adalah: latihan
diperlukan untuk memperkuat tanggapan, keterampilan kompleks dapat dibentuk dengan
membentuk pendekatan kecil yang progresif terhadap perilaku yang diinginkan, instruksi
harus memiliki tujuan yang jelas dan terukur, dilanjutkan dalam langkah-langkah kecil, dan
memberikan penguatan.
B. Saran
DAFTAR PUSTAKA
Shunck, Dale H. 2012. Learning Theories An Educational Perspective. The University of North
Carolina at Greensboro : Boston
Dalyono. 2009. Psikologi Pendidikan. Jakarta : PT. Rineka Cipta
Islamuddin, Haryu. 2011. Psikologi Pendidikan. Jember : STAIN Jember Press.
Rumini. 1995. Psikologi Pendidikan.Yogyakarta : UPP UNY.