Anda di halaman 1dari 30

MAKALAH BELAJAR DAN

PEMBELAJARAN TEORI-TEORI

BELAJAR

OLEH :
KELOMPOK 2

Rizky Amelia 06111282227047


Tina Oktasari 06111182227037

DOSEN PENGAMPU:
Dr. Kistiono, M.T.

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN FISIKA

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SRIWIJAYA

TAHUN 2023
“Teori-teori Belajar”

Rizky Amelia*, Tina Oktasari**


*Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sriwijaya

Abstrak

Penulisan makalah ini bertujuan untuk menjelaskan tentang teori-teori


belajar behavioristik, kognitif, konstruktivistik, dan humanistik beserta implikasi
dalam pembelajaran. Dalam penulisan makalah ini, metode yang digunakan
adalah dengan cara mengumpulkan informasi dari beberapa sumber seperti buku,
artikel, jurnal maupun makalah yang ada di internet. Berdasarkan hasil
pembahasan, sedikitnya ada empat teori belajar yang diterapkan dalam proses
pembelajaran beserta implikasinya, yakni: teori belajar behavioristik, kognitif,
konstruktivistik, dan humanistik. Teori belajar merupakan teori yang di dalamnya
terdapat tata cara pengaplikasian kegiatan belajar mengajar antara guru dan siswa,
perancangan metode pembelajaran yang akan di laksanakan di kelas maupun di
luar kelas. Penguasan teori belajar dan pembelajaran sangat penting supaya guru
dapat mempertanggungjawabkan secara ilmiah prilaku belajarnya di kelas. Teori
belajar behavioristik merupakan teori yang mengedepankan perilaku sebagai
indikator atau hal utama yang diperhatikan dalam proses belajar, teori belajar
kognitif merupakan kemampuan berpikir yang dimiliki seorang individu untuk
memahami keterampilan dan konsep baru, maupun untuk menyelesaikan
permasalahan yang ada di sekitarnya, teori belajar konstruktivistik merupakan
proses penstrukturan atau pengorganisasian. dan teori belajar humanistik. Dari
keempat teori belajar tersebut jika diterapkan tentunya memiliki implikasi
(dampak) tersendiri dalam proses pembelajaran. Ada suatu teori yang secara
langsung dapat diaplikasi dalam proses pembelajaran namun, ada juga yang harus
menyesuaikan baik dalam konteks usia atau jenjang, karakteristik peserta didik
maupun situasi yang ada sehingga, para pendidik perlu menyesuaikan keadaan
para peserta didiknya tersebut saat mengimplikasi teori-teori belajar yang ada
dalam pelaksanaan proses pembelajaran. Dengan demikian, masing-masing teori
tersebut memiliki peran yang besar terhadap perkembangan belajar.

Kata Kunci: Teori, Belajar, Behavioristik, Kognitif, Konstruktivistik,


Humanistik.
PENDAHULUAN

Teori belajar adalah suatu teori yang di dalamnya terdapat tata cara
pengaplikasian kegiatan belajar mengajar antara guru dan siswa, perancangan
metode pembelajaran yang akan di laksanakan di kelas maupun di luar kelas.
Penguasan teori belajar dan pembelajaran sangat penting supaya guru dapat
mempertanggungjawabkan secara ilmiah prilaku belajarnya di kelas.

Suatu teori hanya dapat membantu dalam memahami fenomena pembelajaran.


Tetapi juga dapat menjelaskan dan memaknai setiap fenomena pembelajaran.
Fenomena pembelajaran dapat dijelaskan dan dimaknai oleh teori-teori belajar.
Teori yang di kuasai akan menjadi kerangka pikir dalam mengambil keputusan
pendidikan atau pembelajaran, pisau pemilah dalam pemecahan masalah, dan
bahkan sebagai bagian hidup yang integratif.

Teori-Teori Belajar Penting bagi seorang pendidik untuk menerapkan teori


belajar yang telah ia kuasai. Sedikitnya ada 2 yang mungkin terjadi jika pada diri
seorang guru mampu menerapkan teori belajar yang diyakininya dalam kognisi
nyata. Pertama, teori yang dikenalnya itu cenderung meningkat baik secara
kualitatif maupun kuantitatif sehingga pada suatu saat ia akan kaya dengan
khazanah teori belajar dan pembelajaran. Kedua, pembelajaran akan optimal
baik dilihat dari sudut pandang pengembangan peserta didik maupun aktualisasi
kemampuan guru itu sendiri.
Makalah ini akan membahas mengenai teori-teori belajar dan implikasinya
dalam pembelajaran, adapun beberapa teori-teori belajar, yaitu;
A. Teori belajar behavioristik
B. Teori belajar kognitif
C. Teori belajar konstruktivistik
D. Teori belajar humanistik
METODE

Makalah ini dibuat dengan cara mengumpulkan informasi dari beberapa


sumber artikel, referensi, jurnal dan makalah yang ada di internet. Makalah ini
juga dibuat dengan cara membaca dan mempelajari beberapa literatur yang
berkaitan dengan topik permasalahan yang menjadi objek pembahasan di
makalah.

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Teori Behavioristik serta implikasinya dalam pembelajaran

Teori behavioristik merupakan salah satu dari beberapa teori belajar yang
ada. Seperti namanya yang berasal dari kata “behavior” yang berarti “perilaku”
dalam bahasa Inggris, teori belajar ini mengedepankan perilaku sebagai indikator
atau hal utama yang diperhatikan dalam proses belajar. Menariknya, teori ini juga
mengatakan bahwa manusia dikendalikan oleh lingkungannya. Hal tersebut
karena lingkungan dianggap menjadi stimulus, dan tingkah laku kita adalah
respons terhadap stimulus tersebut.

Menurut Gamal Thabroni (2022) menjelaskan bahwa, teori belajar


behavioristik adalah teori belajar yang menekankan pada tingkah laku manusia
sebagai akibat dari interaksi stimulus dan respon. Behavioristik menekankan
pemahaman bahwa perilaku manusia pada dasarnya memiliki keterkaitan antara
stimulus dan respons. Respon atau perilaku tertentu dapat muncul akibat adanya
metode pembiasaan dan pelatihan (tindakan pendidik) yang menjadi stimulus.

Menurut linda sari (2012) dalam makalahnya menjelaskan bahwa tokoh


pelopor teori behavioristik antara lain adalah J.B. Watson, Thorndike, dan B.F.
Skinner. J.B Watson (1878-1958) mengemukakan bahwa perilaku manusia
disebabkan oleh pembentukan faktor lingkungan. Bagi Watson Lingkungan
adalah faktor dominan dan yang paling penting bagi tumbuh berkembang anak.
Bahkan ia mengemukakan pendapat untuk bayi Albert yang dinilai negatif oleh
masyarakat Amerika waktu itu “Beri aku bayi, selanjutnya terserah dapat
dibentuk mau jadi apa saja”. Begitulah pendapat Watson yang akhirnya membuat
para orang tua takut menyekolahkan anaknya karena khawatir anak mereka
dijadikan orang gila, pemabuk, dan sebagainya. Teori ini di sebut dengan teori
Stimulus-Respons.
Ditengah keresahan masyarakat akibat teori Watson munculah pendapat
Thorndike (1874-1974) yang mengemukakan bahwa belajar lebih bersifat
meningkat bertahap ketimbang karena hadirnya pemahaman. Teori ini berprinsip
hukum efek, hukum ini menyetakan bahwa prilaku yang diikuti kejadian yang
menyenangkan. Artinya, menurut teori Thorndike disini belajar melalui langkah-
langkah kecil yang sistematis dan bertahap daripada sebuah lompatan yang
besar. Teori ini disebut dengan teori Law of Effect. Thorndike pada tahun 1930-
an terkenal akan hukum-hukum belajarnya yaitu;
1) Hukum kesiapan

2) Hukum latihan

3) Hukum akibat

4) Hukum berganda

5) Sikap

6) Elemen-elemen berpotensi

7) Respons dengan analogi, dan

8) Pergeseran asosiatif

Setelah tahun 1930-an Thorndike meralat teorinya tersebut. Hukum belajar


yang diralatnya yakni hukum latihan dan hukum akibat. Menurutnya, hukum
keterpakaian sebagai bagian dari hukum latihan yang menyatakana bahwa
pengulangan suatu perilaku pada praktiknya terkadang tidak akurat. Dalam revisi
hukum akibat, Thorndike mengemukakan bahwa reinforcement akan
menguatkan suatu hubungan sedangkan hukuman tidak berpengaruh pada
kekuatan hubungan. Sebagai contoh, murid yang diberi hukuman karena salah
mengerjakan tugas belum tentu membuatnya mengulangi tugas pelajaran
tersebut. Sebaliknya peserta didik yang betul mengerjakan tugas diberi
reinforcement berupa pujian sehingga ia semakin sungguh-sungguh dalam
belajarnya.
Adapun cara belajar menurut teori ini adalah dengan mengamati
perkembangan peserta didik. Perilaku terbentuk dengan adanya ikatan asosiatif
antara stimulus dan respon. Manusia pada dasarnya adalah makhluk yang
menghindari hal-hal yang menyakitkan dan berprilaku sesuai dengan pola
stimulus respon yang terjadi.
Belajar dimodifikasi oleh lingkungan. Dalam prosesnya mengandung tiga
pokok yakni stimulus, respon, dan akibat. Stimulus datang dari lingkungan yang
dapat membangkitkan tanggapan individu. Respon menimbulkan perilaku dari
stimulus yang diberikan sedangkan akibat terjadi setelah individu memberi
repsonpostif ataupun negatif.
Reinforcement (penguatan) menjadi prinsip utama dalam memperkuat
lekatnya hasil belajar pada individu. Suatu pemahaman yang tepat memberikan
kepuasan pada diri individu tetapi mereka cenderung menghindari sesuatu yang
tidak memberikan kepuasan. Pemberian penguatan jugaharus mewaspadai tricky
matter, yakni proses penguatan yang keliru, tidak sesuai dengan tujuan utamanya.
Misalnya, seorang ibu meminta anaknya untuk menyapu rumah dengan iming-
iming akan diberikan uang dengan tujuan anaknya mempunyai kebiasaan
menyapu lantai hingga bersih. Masalahnya apa kita yakin bahwa anak itu
menyapu kembali rumah di lain waktu dengan kesadaraan dirinya sendiri?
Ditengah keresahan masyarakat akibat teori Thorndike muncullah
pendapat B.F, Skinner yang menyatakan bahwa mengidentifikasi sejumlah
prinsip mendasar dari Operant Conditioning yang menjelaskan bagaimana
seseorang belajar perilaku baru atau mengubah perilaku yang telah ada. Teori ini
juga disebut dengan teori belajar Operant Conditioning. Prinsip-prinsip
utamanya adalah Reinforcement (penguatan kembali), punishment (hukuman),
shaping (pembentukan), extinction (penghapusan), dan discrimination
(pembedaan).
Teori ini didasari oleh asumsi bahwa;
1. Hasil belajar adalah berupa perubahan tingkah laku yang dapat diobservasi
2. Tingkah laku dan perubahan tungkah laku sebagai hasil belajar dimodifikasi
oleh kondisi-kondisi lingkungan.
3. Komponen teori behavioral ini adalah stimulus respond dan konsekuensi.
4. Faktor penentu yang penting sebagai kondisi lingkungan dalam belajar adalah
reinfircement.

* implikasi teori behavioristik dalam pembelajaran


Menurut Linda Sari (2012) dalam makalahnya menjelaskan bahwa, Proses
pembelajaran berpegang teguh pada prinsip dan pemahaman aliran behaviorisme
menekankan pada pentingnya keterampilan dan pengetahuan akademik maupun
perilaku sosial sebagai hasil belajar. Pendekatan akademik yang lebih
menekankan pada penguasaan secara tuntas terhadap apa saja yang dipelajari
menjadi langkah penting dalam pencapaian teori behaviorisme ini. Tujuan
pendidikan bersifat eksternal, artinya guru yang mengendalikan proses
pembelajaran tanpa campur tangan peseta didik.
Hasil belajar akan lebih bermakna jika prosesnya menyenangkan peserta
didik dan terjadi penguatan (reinforcement). Misalnya, peserta didik menjawab
benar maka diberi penguatan oleh guru/pendidik dengan mengucapkan
“Jawabanmu bagus” atau “tepat” dan sebagainya. Menurut William C. Crain
guru, orang tua, dan pendidik harus memberikan penguatan terutama yang
bersifat psikologis dan menghindari penguatan yang lebih bersifat kebendaan.
Sedangkan penghargaan (rewards) seharusnya diberikan hanya kepada perilaku
yang masuk akal (reasonable) dan tidak bersifat memanjakan. Hindari hukuman
(punishments) yang bersifat fisik.
Kurikulum yang berorientasi pada aliran behaviorisme harus sudah
menggambarkan perincian tentang apa-apa yang hendak disajikan kepada
peserta didik. Kurikulum harus dikristalisasikan dalam Rencana Pelaksanaan
Pembelajaran (RPP)—istilah dalam Kurikulum KTSP dan K13, yang dirancang
sedemikian rupa sebelum proses pembelajaran dimulai.
Menurut Syamsul Anam (2021) dalam makalahnya menjelaskan bahwa,
Aplikasi teori behavioristik dalam proses pembelajaran untuk memaksimalkan
tercapainya tujuan pembelajaran (siswa menunjukkan tingkah laku / kompetensi
sebagaimana telah dirumuskan), guru perlu menyiapkan dua hal, sebagai berikut:
(1) Menganalisis Kemampuan Awal dan Karakteristik Siswa Siswa sebagai
subjek yang akan diharapkan mampu memiliki sejumlah kompetensi
sebagaimana yang telah ditetapkan dalam standar kompetensi dan kompetensi
dasar, perlu kiranya dianalisis kemampuan awal dan karakteristiknya. Hal ini
dilakukan mengingat siswa yang belajar di sekolah tidak datang tanpa berbekal
apapun sama sekali (mereka sangat mungkin telah memiliki sejumlah
pengetahuan dan keterampilan yang di dapat di luar proses pembelajaran). Selain
itu, setiap siswa juga memiliki karakteristik sendiri-sendiri dalam hal mengakses
dan atau merespons sejumlah materi dalam pembelajaran. Ada beberapa manfaat
yang dapat diperoleh guru jika melakasanakan analisis terhadap kemampuan dan
karakteristik siswa, yaitu: (a) Akan memperoleh gambaran yang lengkap dan
terperinci tentang kemampuan awal para siswa, yang berfungsi sebagai prasyarat
(prerequisite) bagi bahan baru yang akan disampaikan. (b) Akan memperoleh
gambaran tentang luas dan jenis pengalaman yang telah dimiliki oleh siswa.
Dengan berdasar pengalaman tersebut, guru dapat memberikan bahan yang lebih
relevan dan memberi contoh serta ilustrasi yang tidak asing bagi siswa. (c) Akan
dapat mengetahui latar belakang sosio-kultural para siswa, termasuk latar
belakang keluarga, latar belakang sosial, ekonomi, pendidikan, dan lain-lain. (d)
Akan dapat mengetahui tingkat pertumbuhan dan perkembangan siswa, baik
jasmaniah maupun rohaniah. (e) Akan dapat mengetahui aspirasi dan kebutuhan
para siswa. (f) Dapat mengetahui tingkat penguasaan bahasa siswa. (g) Dapat
mengetahui tingkat penguasaan pengetahuan yang telah diperoleh siswa
sebelumnya. (h) Dapat mengetahui sikap dan nilai yang menjiwai pribadi para
siswa. (2) Merencanakan materi pembelajaran yang akan dibelajarkan Idealnya
proses pembelajaran yang dilaksanakan oleh guru benar-benar sesuai dengan apa
yang diharapkan oleh siswa dan juga sesuai dengan kondisi siswa, sehingga di
sini guru tidak akan over-estimate dan atau under-estimate terhadap siswa.
Namun kenyataan tidak demikian adanya. Sebagian siswa ada yang sudah tahu
dan sebagian yang lain belum tahu sama sekali tentang materi yang akan
dibelajarkan di dalam kelas. Untuk dapat memberi layanan pembelajaran kepada
semua kelompok siswa yang mendekati idealnya (sesuai dengan kemampuan
awal dan karakteristik masing-masing kelompok) kita dapat menggunakan dua
pendekatan yaitu siswa, (a) menyesuaikan diri dengan materi yang akan
dibelajarkan, yaitu dengan cara guru melakukan tes dan pengelompokkan (dalam
hal ini tes dilakukan sebelum siswa mengikuti pelajaran), atau (b) materi
pembelajaran disesuaikan dengan keadaan siswa.
Materi pembelajaran yang akan dibelajarkan, apakah disesuaikan dengan
keadaan siswa atau siswa menyesuaikan materi, keduanya dapat didahului
dengan mengadakan tes awal atau tes prasyarat (prerequisite test). Hasil dari
prerequisite test ini dapat menghasilkan dua keputusan, yaitu: siswa dapat
dikelompokkan dalam dua kategori, yakni: a) sudah cukup paham dan mengerti,
serta b) belum paham dan mengerti. Jika keputusan yang diambil siswa
dikelompokkan menjadi dua di atas, maka konsekuensinya: materi, guru dan
ruang belajar harus dipisah. Hal seperti ini tampaknya sangat susah untuk
diterapkan, karena berimplikasi pada penyediaan perangkat pembelajaran yang
lebih memadai, di samping memerlukan dana (budget) yang lebih besar. Cara
lain yang dapat dilakukan adalah, atas dasar hasil analisis kemampuan awal
siswa dimaksud, guru dapat menganalisis tingkat persentase penguasaan materi
pembelajaran. Hasil yang mungkin diketahui adalah bahwa pada pokok materi
pembelajaran tertentu sebagian besar siswa sudah banyak yang paham dan
mengerti, dan pada sebagian pokok materi pembalajaran yang lain sebagian
besar siswa belum atau tidak mengerti dan paham. Rencana strategi
pembelajaran yang dapat dilakukan oleh guru terhadap kondisi materi
pembelajaran yang sebagian besar siswa sudah mengetahuinya, materi ini bisa
dilakukan pembelajaran dalam bentuk ko-kurikuler (siswa diminta untuk
menelaah dan membahas di rumah atau dalam kelompok belajar, lalu diminta
melaporkan hasil diskusi kelompok dimaksud). Sedangkan terhadap sebagian
besar pokok materi pembelajaran yang tidak dan belum diketahui oleh siswa,
pada pokok materi inilah yang akan dibelajarkan secara penuh di dalam kelas.
Sedangkan langkah umum yang dapat dilakukan guru dalam menerapkan teori
behaviorisme dalam proses pembelajaran adalah:(1) Mengidentifikasi tujuan
pembelajaran. (2) Melakukan analisis pembelajaran. (3) Mengidentifikasi
karakteristik dan kemampuan awal pembelajar. (4) Menentukan indikator-
indikator keberhasilan belajar. (5) Mengembangkan bahan ajar (pokok bahasan,
topik, dll). (6) Mengembangkan strategi pembelajaran (kegiatan, metode, media
dan waktu). (7) Mengamati stimulus yang mungkin dapat diberikan (latihan,
tugas, tes dan sejenisnya). (8) Mengamati dan menganalisis respons pembelajar.
(9) Memberikan penguatan (reinfrocement) baik posistif maupun negatif, serta
(10) Merevisi kegiatan pembelajaran.

B. Teori Kognitif serta implikasinya dalam pembelajaran

Menurut Gamal Thabroni (2022) menjelaskan bahwa Kognitif berasal dari


kata cognition, yang memilki persamaan dengan knowing, yang berarti
mengetahui. Kognitif merupakan kemampuan berpikir yang dimiliki seorang
individu untuk memahami keterampilan dan konsep baru, maupun untuk
menyelesaikan permasalahan yang ada di sekitarnya. Setiap individu memiliki
tingkat kemampuan kognitif yang berbeda-beda. Menurut pandangan teori ini,
tingkah laku seseorang sangat ditentukan oleh pemahamannya terhadap situasi
yang berkaitan dengan tujuan. Dapat disimpulkan bahwa teori belajar kognitif
adalah teori belajar yang lebih menekankan pada suatu proses yang terjadi dalam
akal pikiran manusia secara utuh dalam semua situasi dan kondisi pembelajaran
yang sedang dilakukan.
Sementara itu Al-Hasan, mengemukakan bahwa kemampuan kognitif adalah
kemampuan untuk berpikir secara lebih kompleks dan melakukan penalaran serta
pemecahan masalah. Semakin berkembangnya kemampuan kognitif maka akan
mempermudah seseorang untuk menguasai pengetahuan umum yang lebih luas.
Sehingga dapat dikatakan bahwa teori belajar kognitif adalah teori belajar
yang ingin menekankan kemampuan berpikir lebih kompleks serta melakukan
pemecahan masalah dibandingkan dengan hanya sekedar menguasai pengetahuan
umum lewat hafalan atau latihan saja.
Menurut Linda Sari (2022) Tokoh pelopor teori belajar kognitif yang terkenal
antara lain Max Wertheimer, Wolfgang Kohler, Kurt Koffka, Kurt Lewin, dan
Jean Piaget. Max Wertheimer (1880-1943), Wolfgang Kohler (1887-1967), Kurt
Koffka (1886-1941) merupakan pionir teori gestalt. Teori ini menekankan bahwa
keseluruhan lebih berarti daripada bagian-bagian. Artinya proses belajar dalam
teori ini harus dimulai dari keseluruhan dahulu, baru menganalisa bagian-bagian
atau unsur-unsurnya. Misalnya, permulaan membaca untuk anak SD yang baik
adalah mengajarinya keseluruhan baru dianalisis/dipisahkan per kata, per suku
kata, dan per huruf. Contoh:
Ini – ibu – Budi
I – ini i – bu Bu – di
I–n–ii–b–uB–u–d–i
Kurt Lewin (1890-1947) merupakan pengembang teori motivasi di sekitar teori
medan. Teori ini mengemukakan bahwa semakin dekat peserta didik dengan
medan belajarnya, motivasi belajarnya cenderung lebih kuat dibandingkan peserta
yang jauh motivasinya dari medan belajar. Medan yang dimaksud ialah medan
psikologis sebagai arena belajar peserta didik. Sementara Jean Piaget yang
seorang ahli teori tahap mengemukakan bahwa perkembangan tahap kognitif
individu dimulai dari periode sensori motorik, periode praoperasional, periode
operasional konkret, dan periode operasional formal.
Adapun cara belajar menurut teori ini adalah dengan proses pengenalan yang
bersifat kognitif. Teori ini berpendapat bahwa cara belajar anak berbeda dengan
cara belajar orang dewasa. Orang dewasa menggunakan kemampuan kognitif yang
lebih tinggi dalam belajar dibandingkan dengan anak. Oleh karena itu, faktor
tahap perkembangan individu menjadi pertimbangan utama dalamberlangsungnya
proses belajar.
Jean Piaget seorang ilmuan Prancis yang merupakan salah satu tokoh aliran
kognitivisme melakukan penelitian tentang perkembangan kognitif individu sejak
tahun 1920 sampai 1964. Piglet akhirnya berkesimpulan bahwa perkembangan
kognitif seseorang melalui empat tahapan utama yang secara kualitatif setiap
tahapan memunculkan kualikatif yang berbeda. Tahapan kognitif Piaglet adalah
sebagai berikut:
1) Periode sensori motor (0; 0-2;0)
Periode ini ditandai oleh penggunaan sensori motorik (dalam
pengamatan dan pengindraan) yang intensif terhadap dunia di sekitarnya. Prestasi
yang dicapai dalam periode ini ialah perkembangan bahasa, hubungan tentang
objek, kontrol skema, kerangka berpikir, pembentukan pengertian, dan
pengenalan hubungan sebab akibat. Perilaku kognitif yang tampak, antara lain :
a) menyadari dirinya berbeda dari benda-benda lain di sekitarnya;
b) sensitif terhadap rangsangan suara dan cahaya;
c) mencoba bertahan pada pengalaman-pengalaman yang menarik;
d) mendefinisikan objek/benda dengan memanipulasinya;
e) mulai memahami ketepatan makna suatu objek meskipun lokasi
dan posisinya berubah.

2) Periode praoperasional (2; 0-7; 0)


Periode ini terbagi dua tahapan, yaitu prakonseptual (2;0-4;0) dan intuitif
(4:0-7;0). Periode konseptual ditandai dengan cara berpikir yang transuktif
(menarik kesimpulan) tentang sesuatu yang khusus atas dasar hal khusus (contoh,
sapi disebut juga kerbau). Periode intuitif ditandai oleh dominasi pengamatan
yang bersifat egosentris ( belum memahami cara orang lain memandang objek
sama), sepertisearah (selancar). Perilaku kognitif yang tampak, antara lain:
a) self-centered dalam memandang dunianya;
b) dapat mengklafikasikan objek-objek atas dasar satu ciri yang sama
mungkin pula memiliki perbedaan dalam hal yang lainnya;
c) dapat melakukan koleksi benda-benda berdasarkan suatu ciri atau
kriteria tertentu;
d) dapat menyusun benda-benda, tetapi belum dapat menarik inferensi dua
benda yang tidak bersentuhan meskipun terdapat dalam susunan yang
sama.

3) Periode operasional konkret (7; 0-11 atau 12;0)


Tiga kemampuan dan kecakapan baru yang menandai periode ini adalah
mengklasifikasikan angka-angka atau bilangan. Dalam periode ini anak mulai
pula mengkonservasi pengetahuan tertentu. Perilaku kognitif yang tampak pada
periode ini ialah kemampuan dalam proses berpikir untuk mengoperasikan
kaidah-kaidah logika meskipun masih terikat dengan objek-objek yang bersifat
konkret .

4) Periode operasional formal (1;0 atau 12; 0-14 atau 15;0)


Periode ini ditandai dengan kemampuan untuk mengoperasikan kaidah-
kaidah logika formal yang tidak terikat lagi oleh objek-objek yang bersifat
konkret. Perilaku kognitif yang tampak, antara lain;
a) kemampuan berpikir hipotetik-deduktif;
b) kemampuan mengembangkan suatu kemungkinan;
c) kemampuan mengembangkan suatu proporsi atas dasar proporsi-proporsi yang
diketahui;
d) kemampuan menarik generalisasi dan inferensi dari berbagai kategori
objek yang beragam.

*Implikasi teori Kognitif dalam pembelajaran


Menurut Linda Sari (2012) dalam makalahnya menjelaskan bahwa, Dari
aliran psikologi kognitif, teori Piaget tampak lebih banyak digunakan dalam
praktik pendidikan atau proses pembelajar meskipun teori ini bukanlah teori
mengajar. Dalam teori Piaget peserta didik harus dibimbing agar aktif
menemukan sesuatu yang dipelajarinya, tidak harus berpusat
pada guru. Diusahakan agar materi yang diajarkan harus dapat menarik minat
anak dan menantang sehingga mereka merasa senang dan akhirnya terlibat dalam
proses pembelajaran. Dalam teorinya, Piaget mengemukakan bahwa kemampuan
berfikir anak dengan orang dewasa itu berbeda. Artinya urutan bahan
pembelajaran harus menjadi perhatian utama. Anak akan sulit memahami bahan
pelajaran jika urutan bahan pelajaran itu loncat-loncat. Bagi anak SD
pengoperasian suatu penjumlahan harus menggunakan benda-benda nyata,
terutama di kelas-kelas awal karena tahap perkembangan berpikir mereka baru
mencapai tahap operasi konkret. Contohnya, untuk menjelaskan operasi
penjumlahan 4+2 lebih baik guru memperagakannya dengan memperlihatkan 4
benda dan 2 benda. Jadi, caranya: “Empat buah jeruk ini ditambah dengan dua
buah jeruk yang itu, berapa jumlahnya anak-anak?”
Dalam proses pembelajaran guru/pendidik harus memperhatikan tahapan
perkembangan kognitif peserta didik. Materi harus sesuai dengan tahapan
perkembangan kognitif dan harus merangsang kemampuan berpikir mereka.Tahap
kemampuan berpikir sensori motorik mengimplikasikan bahwa bagi proses belajar
harus mencapai kerangka dasar kemampuan berbahasa, hubungan tentang objek,
kontrol skema, kerangka berpikir, pembentukan pengertian, dan pengenalan
hubungan sebab akibat. Ini berarti bahwa orang tua atau lingkungan harus dapat
memberikan rangsangan yang banyak terhadap bayi. Rangsangan tersebut dapat
dilakukan dengan cara selalu mengajak bicara pada bayi, membawa jalan-jalan
kepada bayi untuk mengenalkan objek yang ada disekelilingnya, memberi
keleluasaan gerak, dan memangku bayi dengan posisi kepala selalu menghadap
depan. Tahap kemampuan berpikir pra-operasional ditandai dengan berpikir anak
yang bersifat egosentrik-simbolik. Implikasi dalam proses belajarnya ialah belajar
harus berpusat pada anak karena anak melihat sesuatu berdasarkan dirinya sendiri.
Untuk terjadinya proses belajar harus tidak ada proses paksaan agar sifat
egosentrisnya tidak terbunuh. Oleh karena itu, metode pembelajaran yang paling
tepat ialah metode bermain. Metode ini selain tidak mengubur sifat egosentris
anak juga merupakan dunia anak, buktinya anak senang bermain dan ia akrab
dengan bermain. Begitu pun penggunaan benda-benda konkret sebagai simbol
harus digunakan dalam merangsang pemikiran anak ketika proses belajar
berlangsung. Tahapan perkembangan berpikir praoperasional ini terutama terjadi
pada anak usia TK. Tahap kemampuan berpikir operasional konkret ditandai oleh
kemampuan anak untuk mengoperasikan kaidah-kaidah logika meskipun masih
terikat oleh objek-objek yang bersifat konkret. Tahap ini umumnya dialami anak
SD. Ini berarti proses belajar di SD kelas-kelas bawah harus disertai dengan
benda-benda konkret. Kemampuan mengoperasikan kaidah penjumlahan,
pengurangan, perkalian dan pembagian mulai tampak. Akan tetapi, pada
kelas-kelas awal (kelas 1 dan 2) masih terbatas pada operasi penjumlahan dan
pengurangan sederhana. Tahap kemapuan berpikir formal mengimplikasikan
bahwa anak melalui proses belajar mengajar harus mampu menemukan sendiri,
memecahkan masalah sendiri, bahkan berpikir menurut konsep sendiri. Pada
tahap ini anak sudah mampu berpikir logis dan abstrak mengenai situasi-situasi
aktual maupun hipotetik. Ini berarti bahwa guru harus menciptakan suatu situasi
yang memungkinkan anak berinteraksi dengan yang lainnya dan juga guru. Anak
dikondisikan untuk belajar mengeksplorasi, mencari dan menemukan
(inquirydiscovery). Metode inquiry-discovery dengan logika yang tinggi sudah
bisa digunakan dalam proses belajar mengajar.
Menurut Novelti (2021) dalam artikelnya dijelaskan bahwa, Implikasi teori
belajar kognitif dalam pembelajaran, di antaranya guru harus memahami bahwa
siswa bukan sebagai orang dewasa yang mudah dalam proses berpikirnya.
Kepekaan orang tua, guru, serta masyarakat sekitar sangatmembantu dalam
mendeteksi hambatan belajar anak, sehingga anak dapat memperoleh penanganan
dari tenaga profesional sedini dan seoptimal mungkin. Anak usia prasekolah dan
awal sekolah dasar, belajar menggunakan benda-benda konkret, keaktifan siswa
sangat dipentingkan, guru menyusun materi dengan menggunakan pola atau
logika tertentu dari sederhana ke kompleks. Guru menciptakan pembelajaran yang
bermakna, memperhatikan perbedaan individual siswa untuk mencapai
keberhasilannya. Pendidikan mempunyai peran yang amat menentukan bagi
perkembangan dan perwujudan diri individu dan masyarakat. Sebagai seorang
pendidik kita harus menyadari bahwa pembelajaran adalah suatu kegiatan
penyampaian informasi kepada peserta didik. Informasi tersebut diolah oleh alat-
alat kognisi yang dimiliki oleh peserta didik. Oleh karena itu, pelaksanaan
pembelajaran harus memberi ruang yang bebas dan luas kepada siswanya untuk
mengembangkan kualitas intelektualnya. Pada dasarnya proses pembelajaran
adalah suatu sistem, artinya keberhasilan proses pembelajaran tidak hanya
ditentukan oleh salah satu faktor saja, tetapi lebih ditentukan secara simultan dan
komprehensif dari berbagai faktor yang ada. Pendekatan perilaku kognitif
merupakan salah satu bentuk konseling yang bertujuan membantu konseling agar
dapat menjadi lebih sehat, memperoleh pengalaman yang memuaskan, dan dapat
memenuhi gaya hidup tertentu, dengan cara memodifikasi pola pikir dan perilaku.
Dalam melaksanakan kegiatan pembelajaran, seorang guru harus menciptakan
pembelajaran yang natural, tidak perlu ada suatu rekaan atau paksaan kepada
siswanya. Dalam kegiatan pembelajaran, pengembangan materi harus benar-benar
dilakukan secara kontekstual dan relevan dengan realitas kehidupan peserta didik.
Pelaksanaan kegiatan pembelajaran tidak hanya bisa dilakukan di dalam ruangan,
tetapi juga bisa dilakukan di luar ruangan dengan cara memanfaatkan alam sekitar
sebagai wahana tempat pembelajaran. Metode yang dapat digunakan juga tidak
harus selalu monoton, metode yang bervariasi merupakan tuntutan mutlak dalam
pembelajaran.Keterlibatan siswa secara aktif dalam kegiatan pembelajaran amat
penting karena hanya dengan mengaktifkan siswa maka proses asimilasi dan
akomodasi pengetahuan serta pengalaman dapat terjadi dengan baik. Selain itu,
seorang guru juga harus mampu memahami dan memperhatikan perbedaan
individual anak. Karena hal ini merupakan faktor penentu keberhasilan dalam
pembelajaran.
Implikasi teori perkembangan kognitif Jean Piaget dalam proses pembelajaran
adalah:
1. Bahasa dan cara berpikir peserta didik berbeda dengan orang dewasa. Oleh
karena itu, guru mengajar menggunakan bahasa yang sesuai dengan cara berpikir
peserta didik.
2. Peserta didik akan belajar lebih baik apabila dapat menghadapi lingkungan
dengan baik. Guru harus membantu peserta didik agar dapat berinteraksi dengan
lingkungan sebaik-baiknya.
3. Bahan yang harus dipelajari peserta didik hendaknya dirasakan baru tetapi
tidak asing.
4. Berikan peluang agar peserta didik belajar sesuai tahap perkembangannya.
5. Di dalam kelas, peserta didik hendaknya diberi peluang untuk saling berbicara
dan diskusi dengan teman-temanya.
C. Teori Konstuktivistik serta implikasinya dalam pembelajaran

Menurut Devy Widyatama Putri (2015) dalam makalahnya menjelaskan


bahwa, Istilah constructivism (yang dalam Bahasa Indonesia diserap menjadi
konstruksivisme) berasal dari kata kerja Inggris "to Construct". Kata ini
merupakan serapan dari bahasa Latin "construere" yang berarti menyusun atau
membuat struktur. Dengan demikian, konsep inti konstruktivistik adalah proses
penstrukturan atau pengorganisasian. Konstruktivis melihat belajar sebagai proses
aktif pelajar mengkonstruksi arti baik dalam bentuk teks, dialog, pengalaman fisis,
ataupun bentuk lainnya. Belajar adalah kegiatan aktif siswa, yang harus
membangun sendiri pengetahuannya. Hanya dengan keaktifannya mengolah
bahan, bertanya secara aktif, dan mencerna bahan dengan kritis, siswa dapat
menguasai bahan dengan lebih baik. Oleh karena itu, kegiatan aktif dalam proses
belajar perlu ditekankan. Ini merupakan proses penyesuaian konsep dan ide-ide
baru dengan kerangka berpikir yang telah ada dalam pikiran mereka.

Dalam perspektif konstruktivis, belajar bukan suatu perwujudan hubungan


stimulus-respons, namun belajar memerlukan pengaturan diri. Tujuan belajar
lebih difokuskan pada pengembangan konsep dan pemahaman yang mendalam
daripada sekedar pembentukan perilaku atau keterampilan. Dalam paradigma ini,
belajar lebih menekankan proses daripada hasil. Siswa harus punya pengalaman
dengan membuat hipotesis, menguji hipotesis, memanipulasi objek, memecahkan
persoalan, mencari jawaban, menggambarkan, meneliti, berdialog. mengadakan
refleksi, mengungkapkan pertanyaan, mengekspresikan gagasan, dan lain-lain
untuk membentuk konstruksi yang baru.

Konstruktivistik merupakan salah satu pendekatan dalam belajar yang


menekankan bahwa proses belajar terbaik seorang individu terjadi ketika individu
secara aktif mengonstruksikan pengetahuan dan pemahamannya. Jadi, siswa harus
membentuk pengetahuan mereka sendiri dan guru membantu sebagai mediator
fasilitator dalam proses pembentukan itu.
* Teori Belajar konstruktivistik menurut para ahli

1. Jean Piaget

Piaget, seorang tokoh konstruktivistik, menyatakan bahwa proses


pengkonstruksian pengetahuan berlangsung melalui proses asimilasi dan
akomodasi. Asimilasi adalah proses kognitif yang dengannya seseorang
mengintegrasikan persepsi, konsep, ataupun pengalaman baru ke dalam struktur
atau skema yang sudah ada di dalam pikirannya. Asimilasi dapat dipandang
sebagai suatu proses kognitif yang menempatkan dan mengklasifikasikan kejadian
atau rangsangan yang baru dalam struktur yang telah ada. Asimilasi ini tidak
menyebabkan perubahan/pergantian struktur/skema yang telah ada, melainkan
mengembangkannya. Proses asimilasi ini berjalan terus. Setiap orang selalu secara
terus menerus mengembangkan proses ini. Sedangkan akomodasi, adalah
membentuk struktur/ skema baru yang dapat cocok dengan rangsangan yang baru.
atau memodifikasi struktur/skema yang ada sehingga cocok dengan rangsangan
itu. Proses akomodasi ini terjadi karena seseorang itu menghadapi rangsangan
atau pengalaman yang baru dan orang tersebut tidak dapat mengasimilasikan
pengalaman yang baru itu dengan skema yang telah dipunyai. Maka di sini
diperlukan pembentukan skema yang baru atau memodifikasi skema yang telah
ada sehingga cocok dengan rangsangan atau pengalaman baru tersebut.
Equilibrasi adalah keseimbangan antara asimilasi dan akomodasi sehingga
seseorang dapat menyatukan pengalaman luar dengan struktur dalamya (skemata).
Proses perkembangan intelek seseorang berjalan dari disequilibrium menuju
equilibrium melalui asimilasi dan akomodasi.

2. Vigotsky

Konstruktivistik sosial yang dikembangkan oleh Vigotsky adalah bahwa


belajar bagi anak dilakukan dalam interaksi dengan lingkungan sosial maupun
fisik. Vigotsky menekankan pentingnya memanfaatkan lingkungan dalam
pembelajaran. Lingkungan sekitar siswa meliputi orang-orang, kebudayaan,
termasuk pengalaman dalam lingkungan tersebut. Orang lain merupakan bagian
dari lingkungan.pemerolehan pengetahuan siswa bermula dari lingkup sosial.
antar orang, dan kemudian pada lingkup individu sebagai peristiwa internalisasi,
Konstruktivistik menurut pandangan Vigotsky menekankan pada pengaruh budaya.
Berkaitan dengan pembelajaran. Vigotsky mengemukakan 4 prinsip, yaitu:

1. Pembelajaran sosial (social learning). Vigotsky menyatakan bahwa siswa


belajar melalui interaksi bersama dengan orang dewasa/teman yang lebih cakap

2. ZPD (zone of proximal development). Siswa akan dapat mempelajari konsep-


konsep dengan baik jika berada dalam ZPD. Siswa bekerja dalam ZPD jika siswa
tidak dapat memecahkan masalah sendiri, tetapi dapat memecahkan masalah itu
setelah mendapat bantuan orang dewasa atau temannya.

3. Masa Magang Kognitif (cognitif apprenticeship). Suatu proses yang


menjadikan siswa sedikit demi sedikit memperoleh kecakapan intelektual melalui
interaksi dengan orang yang lebih ahli, orang dewasa, atau teman yang lebih
pandai;

4. Pembelajaran Termediasi (mediated learning). Vigostky menekankan pada


scaffolding Siswa diberi masalah yang kompleks, sulit, dan realistik, dan
kemudian diberi bantuan secukupnya dalam memecahkan masalah siswa. Inti
teori Vigotsky adalah menekankan interaksi antara aspek internal dan ekstemal
dari pembelajaran dan penekanannya pada lingkungan sosial pembelajaran.
Menurut teori Vigotsky, fungsi kognitif manusia berasal dari interaksi social
masing-masing individu dalam konteks budaya.

3. John Dewey

John Dewey menguatkan lagi teori konstruktivistik dengan mengatakan


bahwa pendidik yang cakap harus melaksanakan pengajaran dan pembelajaran
sebagai proses menyusun atau membina pengalaman secara berterusan. Beliau
juga menekankan kepentingan penyertaan murid di dalam setiap aktiviti
pengajaran dan pembelajaran.
* Implikasi teori Konstuktrivistik dalam pembelajaran
Aliran konstruktivistik, sebagaimana dijelaskan pada bagian terdahulu, lebih
menekankan bagaimana siswa belajar bukan bagaimana guru mengajar. Sebagai
fasilitator guru bertanggung jawab terhadap kegiatan pembelajaran di kelas.
Diantara tanggung jawab guru dalam pembelajaran adalah menstimulasi dan
memotivasi siswa. Mendiagnosis dan mengatasi kesulitan siswa serta
menyediakan pengalaman untuk menumbuhkan pemahaman siswa. Berkenaan
dengan hal tersebut, guru harus menyediakan dan memberikan kesempatan
sebanyak mungkin kepada siswa untuk belajar secara aktif. Sedemikian rupa
sehingga para siswa dapat menciptakan, membangun, mendiskusikan,
membandingkan, bekerja sama, dan melakukan eksperimentasi dalam kegiatan
belajarnya. Kegiatan inilah yang dapat memberikan pengalaman berlajar bagi
siswa sehingga siswa mampu mengingat pengetahuan yang didapatnya lebih
lama dari pada belajar yang dilakukan dengan menghafal.
Adapun implikasi dari teori belajar konstruktivisme dalam pendidikan anak
adalah sebagai berikut:
1. Tujuan pendidikan menurut teori belajar konstruktivisme
adalah menghasilkan individu atau anak yang memiliki kemampuan berfikir
untuk menyelesaikan setiap persoalan yang dihadapi;
2. Kurikulum dirancang sedemikian rupa sehingga terjadi situasi yang
memungkinkan pengetahuan dan keterampilan dapat dikonstruksi oleh peserta
didik. Selain itu, latihan memcahkan masalah seringkali dilakukan melalui
belajar kelompok dengan menganalisis masalah dalam kehidupan sehari-hari;
dan
3. Peserta didik diharapkan selalu aktif dan dapat menemukan cara belajar yang
sesuai bagi dirinya. Guru hanyalah berfungsi sebagai mediator, fasilitor, dan
teman yang membuat situasi yang kondusif untuk terjadinya konstruksi
pengetahuan pada diri peserta didik.
Pengetahuan tidak bisa ditransfer dari guru kepada orang lain, karena setiap
orang mempunyai skema sendiri tentang apa yang diketahuinya. Pembentukan
pengetahuan merupakan proses kognitif dimana terjadi proses asimilasi dan
akomodasi untuk mencapai suatu keseimbangan sehingga terbentuk suatu skema
yang baru. Teori konstruktivisme juga mempunyai pemahaman tentang belajar
yang lebih menekankan pada proses daripada hasil. Hasil belajar sebagai tujuan
dinilai penting, tetapi proses yang melibatkan cara dan strategi dalam belajar
juga dinilai penting.
Menurut Devy Widyatama Putri (2015), bahwa Penerapan teori belajar
konstruktivistik meliputi 4 tahapan, yaitu;
1. Apersepsi. Pada tahap ini, siswa didorong untuk mengemukakan
pengetahuan awalnya tentang konsep yang akan dibahas. Bila perlu guru
memancing dan memberikan pertanyaan-pertanyaan tentang fenomena yang
sering terjadi dalam kehidupan sehari sehari dengan mengaitkan konsep yang
akan dibahas. Siswa diberi kesempatan untuk mengkomunikasikan,
mengilustrasikan pemahamannya tentang suatu konsep.
2. Eksplorasi. Pada tahap ini siswa diberi kesempatan untuk menyelidiki
kegiatan dan menemukan konsep melalui pengmpulan data dalam suatu kegiatan
yang telah dirancang oleh guru kemudian secara kelompok didiskusikan.
3. Diskusi dan penjelasan konsep. Pada tahap ini siswa memberikan
penjelasan dan solusi yang didasarkan pada hasil observasinya ditambah dengan
penjelasan guru, sehingga siswa tidak ragu-ragu lagi tentang konsepnya.
4.Pengembangan dan aplikasi. Pada tahap ini guru berusaha menciptakan
iklim pembelajaran, yang memungkinkan siswa dapat mengaplikasikan
pemahaman konseptualnya, baik melalui kegiatan ataupun pemunculan dan
pemecahan masalah-masalah yang berkaitan dengan isu-isu yang ada.

D. Teori Belajar Humanistik serta implikasinya dalam pembelajaran

Secara luas definisi teori belajar humanisitk ialah sebagai aktivitas jasmani
dan rohani guna memaksimalkan proses perkembangan. Sedangkan secara sempit
pembelajaran diartikan sebagai upaya menguasai khazanah ilmu pengetahuan
sebagai rangkaian pembentukan kepribadian secara menyeluruh. Pertumbuhan
yang bersifat jasmaniyah tidak memberikan perkembangan tingkah laku.
Perubahan atau perkembangan hanya disebabkan oleh proses pembelajaran seperti
perubahan habit atau kebiasaan, berbagai kemampuan dalam hal pengetahuan,
sikap maupun keterampilan. Dalam pandangan humanism, manusia memegang
kendali terhadap kehidupan dan perilaku mereka, serta berhak untuk
mengembangkan sikap dan kepribadian mereka. Masih dalam pandangan
humanism, belajar bertujuan untuk menjadikan manusia selayaknya manusia,
keberhasilan belajar ditandai bila peserta didik mengenali dirinya dan lingkungan
sekitarnya dengan baik. Peserta didik dihadapkan pada target untuk mencapai
tingkat aktualisasi diri semaksimal mungkin. Teori humanistic berupaya mengerti
tingkah laku belajar menurut pandangan peserta didik dan bukan dari pandangan
pengamat.
Humanisme meyakini pusat belajar ada pada peserta didik dan pendidik
berperan hanya sebagai fasilitator. Sikap serta pengetahuan merupakan syarat
untuk mencapai tujuan pengaktualisasian diri dalam lingkungan yang mendukung.
Pada dasarnya manusia adalah makhluk yang spesial, mereka mempunyai potensi

dan motivasi dalam pengembangan diri maupun perilaku, oleh karenanya setiap
individu adalah merdeka dalam upaya pengembangan diri serta
pengaktualisasiannya.

Penerapan teori humanistic pada kegiatan belajar hendaknya pendidik


menuntun peserta didik berpikir induktif, mengutamakan praktik serta
menekankan pentingnya partisipasi peserta didik dalam pembelajaran. Hal
tersebut dapat diaplikasikan dengan diskusi sehingga peserta didik mampu
mengungkapkan pemikiran mereka di hadapan audience. Pendidik mempersilakan
peserta didik menanyakan materi pelajaran yang kurang dimengerti. Proses belajar
menurut pandangan humanistic bersifat pengembangan kepribadian, kerohanian,
perkembangan tingkah laku serta mampu memahami fenomena di masyarakat.
Tanda kesuksesan penerapan tersebut yaitu peserta didik merasa nyaman dan
bersemangat dalam proses pembelajaran serta adanya perubahan positif cara
berpikir, tingkah laku serta pengendalian diri.
Tokoh pelopor teori belajar Humanisme antara lain Abraham Maslow dan
Carl Rogers. Maslow meyakini bahwa belajar merupakan kebutuhan akan
perkembangan motivasi. Dalam mencapai sesuatu manusia tidak akan pernah
puas, rasa puas hanya terjadi sesaat saja sehingga manusia mencari peluang lain
untuk menutupi kebutuhannya. Menurut Maslow, puncak kebutuhan yang
sekaligus sebagai ukuran keberhasilan individu ialah berhasil dalam
mengaktualisasikan diri dalam dunianya.
Sementara Carl Rogers seorang ahli bimbingan konseling dengan teori client
centered-nya berpendapat bahwa manusia adalah makhluk yang rasional,
sosialis, ingin maju dan realistis sehingga manusia memiliki potensi untuk tumbuh
dengan aktual serta memiliki martabat yang tinggi. Rogers menempatkan manusia
secara manusiawi dalam martabat kemanusiannya. Bagi Rogers, guru merupakan
fasilitator yang memungkinkan peserta didik paham akan sesuatu hal. Selain itu,
dalam membimbing perlu diberinya kebebasan. Prinsip learning to be free adalah
ide Rogers untuk mengkonsepsikan pembelajaran berbasis becoming a person,
freedom to be, dan courage to be. Menurutnya, pembelajaran berbasis learning to
be free mampu membuat peserta didik bersikap lebih otonom, lebih spontan, dan
lebih meyakini dirinya sendiri. Senada dengan pengalaman Rogers ini, sampai
kepada suatu ungkapan yang menyatakan bahwa learning to be free merupakan
perkembangan yang berarti untuk menjadi manusia yang “menjadi” becoming
human.
Adapun cara belajar menurut teori ini adalah dengan mengembangkan
aktualisasi diri untuk mencapai puncak perkembangan individu. Apabila
seseorang mampu mengembangkan potensinya serta merasa dirinya utuh,
bermakna dan berfungsi (fully functioning person) maka orang itu bukan hanya
akan berguna bagi dirinya sendiri tapi juga berguna bagi lingkungan sekitarnya.
Teori ini berpendapat bahwa motivasi belajar harus datang dari dalam diri
individu, intelektual dan emosional sama sekali tidak ada pengaruhnya dalam
proses pembelajaran. Proses belajar harus melibatkan pengalaman langsung,
berfikir serta merasakan kehendak sendiri dan melibatkan seluruh pribadi peserta
didik. sehingga hasil belajar dapat dirasakan diri individu. Belajar yang bermakna
tidak lain hanyalah belajar yang dapat memenuhi kebutuhan nyata individu.
Carl Rogers mengemukakan prinsip-prinsip belajar sebagai berikut
ini. Manusia mempunyai dorongan alamiah untuk belajar; dorongan ingin
tahu, melakukan eksplorasi dan mengasimilasikan pengalaman baru, yaitu;
1. Manusia mempunyai dorongan alamiah untuk belajar, dorongan ingin tahu,
melakukan eksplorasi dan mengasimilasikan pengalaman baru.
2. Belajar akan bermakna apabila materi yang dipelajari relevan dengan
kebutuhan anak.
3. Belajar harus diperkuat dengan jelas mengurangi ancaman eksternal, seperti
hukuman, penilaian, sikap merendahkan murid, mencemoohkan dan
sebagainya.
4. Belajar atas inisiatif sendiri akan melibatkan keseluruhan pribadi, baik
faktor internal maupun personal.
5. Sikap mandiri, kreativitas, dan percaya diri diperkuat dengan penilaian
atas diri sendiri.
Menurut teori ini salah satu karakteristik yang harus ada pada diri pendidik
adalah memiliki kemampuan memotivasi belajar peserta didiknya. Selain itu guru
harus memiliki sikap empati (emphatic), terbuka (open mindedness), keaslian
(genuineness), kekonkretan (concreteness), dan kehangatan (warmth). Sikap
empati (emphatic) merujuk kepada sikap guru yang mau memposisikan dirinya
pada kerangka berfikir peserta didik sehingga guru dapat merasakan apa yang
peserta didik rasakan dan alami. Keterbukaan (open mindedness) merujuk pada
kemampuan guru untuk membuka diri, siap dikritik,
siap diberi masukan, siap dinilai, dan diberi pujian. Keaslian (genuineness)
merujuk kepada penampilan apa adanya dan tidak dibuat-buat. Kekonkretan
(concreteness) merujuk pada kejelasan dalam menyatakan sesuatu, memberikan
tanggung jawab sesuai dengan kemampuan peserta didik dan realistis. Kehangatan
(warmth) merujuk pada jalinan komunikasi yang secara psikologis terasa nyaman
dan aman bagi peserta didik disertai ketulusan dalam memberikan pelayanan
Pendidikan.
*Implikasi teori Humanistik dalam pembelajaran
Menurut Avisha (2013) menyatakan bahwa, Penerapan teori humanistik lebih
menunjuk pada ruh atau spirit selama proses pembelajaran yang mewarnai
metode-metode yang diterapkan. Peran guru dalam pembelajaran humanistik
adalah menjadi fasilitator bagi para peserta didik sedangkan guru memberikan
motivasi, kesadaran mengenai makna belajar dalam kehidupan peserta didik. Guru
memfasilitasi pengalaman belajar kepada peserta didik dan mendampingi peserta
didik untuk memperoleh tujuan pembelajaran.
Peserta didik berperan sebagai pelaku utama (stundent center) yang memaknai
proses pengalaman belajarnya sendiri. Diharapkan peserta didik memahami
potensi diri, mengembangkan potensi dirinya secara positif dan meminimalkan
potensi diri yang bersifat negatif.
Psikologi humanistik memberi perhatian atas guru sebagai fasilitator.
Berikut ini adalah berbagai cara untuk memberi kemudahan belajar dan berbagai
kualitas fasilitator, yaitu:
1. Fasilitator sebaiknya memberi perhatian kepada penciptaan suasana awal,
situasi kelompok, atau pengalaman kelas
2. Fasilitator membantu untuk memperoleh dan memperjelas tujuan-tujuan
perorangan di dalam kelas dan juga tujuan-tujuan kelompok yang bersifat umum.
3. Dia mempercayai adanya keinginan dari masing-masing peserta didik untuk
melaksanakan tujuan-tujuan yang bermakna bagi dirinya, sebagai kekuatan
pendorong, yang tersembunyi di dalam belajar yang bermakna tadi.
4. Dia mencoba mengatur dan menyediakan sumber-sumber untuk belajar yang
paling luas dan mudah dimanfaatkan para peserta didik untuk membantu
mencapai tujuan mereka.
5. Dia menempatkan dirinya sendiri sebagai suatu sumber yang fleksibel untuk
dapat dimanfaatkan oleh kelompok.
6. Di dalam menanggapi ungkapan-ungkapan di dalam kelompok kelas, dan
menerima baik isi yang bersifat intelektual dan sikap-sikap perasaan dan mencoba
untuk menanggapi dengan cara yang sesuai, baik bagi individual ataupun bagi
kelompok
7. Bilamana cuaca penerima kelas telah mantap, fasilitator berangsur-sngsur dapat
berperanan sebagai seorang peserta didik yang turut berpartisipasi, seorang
anggota kelompok, dan turut menyatakan pendangannya sebagai seorang individu,
seperti peserta didik yang lain.
8. Dia mengambil prakarsa untuk ikut serta dalam kelompok, perasaannya dan
juga pikirannya dengan tidak menuntut dan juga tidak memaksakan, tetapi sebagai
suatu andil secara pribadi yang boleh saja digunakan atau ditolak oleh peserta
didik
9. Dia harus tetap waspada terhadap ungkapan-ungkapan yang menandakan
adanya perasaan yang dalam dan kuat selama belajar
10. Di dalam berperan sebagai seorang fasilitator, pimpinan harus mencoba untuk
menganali dan menerima keterbatasan-keterbatasannya sendiri.

Penutup

Dari uraian pembahasan, dapat disimpulkan bahwa teori belajar adalah


suatu teori yang di dalamnya terdapat tata cara pengaplikasian kegiatan belajar
mengajar antara guru dan siswa, perancangan metode pembelajaran yang akan
dilaksanakan di kelas maupun di luar kelas. Penguasan teori belajar dan
pembelajaran sangat penting supaya guru dapat mempertanggungjawabkan secara
ilmiah prilaku belajarnya di kelas. Teori-teori belajar ini sangat berpengaruh besar
terhadap perkembangan pembelajaran. proses belajar terjadi dengan adanya tiga
komponen pokok yaitu stimulus, respons, dan akibat. Stimulus adalah sesuatu
yang datang dari lingkungan yang dapat membangkitkan respons individu.
Respons menimbulkan perilaku jawaban atas stimulus. Sedangkan akibat adalah
sesuatu yang terjadi setelah individu merespons baik yang bersifat positif ataupun
yang negatif. Pada teori belajar terdapat beberapa teori, yaitu;
1. teori belajar behavioristik merupakan teori yang mengedepankan perilaku
sebagai indikator atau hal utama yang diperhatikan dalam proses belajar. Ahli
yang mempengaruhi teori ini anatara lain, yaitu; J.B. Watson, Thorndike, dan B.F.
Skinner.
2. teori belajar kognitif merupakan kemampuan berpikir yang dimiliki
seorang individu untuk memahami keterampilan dan konsep baru, maupun untuk
menyelesaikan permasalahan yang ada di sekitarnya. Tokoh pelopor teori belajar
kognitif yang terkenal antara lain Max Wertheimer, Wolfgang Kohler, Kurt
Koffka, Kurt Lewin, dan Jean Piaget.
3. teori belajar konstruktivistik merupakan proses penstrukturan atau
pengorganisasian. merupakan salah satu pendekatan dalam belajar yang
menekankan bahwa proses belajar terbaik seorang individu terjadi ketika individu
secara aktif mengonstruksikan pengetahuan dan pemahamannya. ada beberapa
ahli yang mempengaruhi teori tersebut antara lain, Jean Piaget, Vigotsky, dan
John Dewey. Teori ini memiliki 4 tahapan yaitu, tahapan apresiasi, tahapan
eksplorasi, tahapan diskusi dan penjelasan, serta tahapan pengembangan dan
aplikasi.
4. teori belajar humanistik merupakan teori yang memanusiakan manusia,
dimana seorang individu dalam hal ini peserta didik dapat menggali
kemampuannya sendiri untuk di terapkan dalam lingkungannya. Tokoh pelopor
teori belajar Humanistik antara lain Abraham Maslow dan Carl Rogers.
Daftar Pustaka

Anam, S.(2021, maret). TEORI BELAJAR BEHAVIORISTIK DAN


IMPLIKASINYA DALAM PEMBELAJARAN. Diakses pada januari 21,
2023, Pukul 10.00 WIB, from cdn-gbelajar.simpkb.id:
https://cdn-gbelajar.simpkb.id/s3/p3k/Pedagogi/Artikel/TEORI_BELAJA
R_BEHAVIORISTIK_DAN_IMPLIKAS.pdf

Avisha. (2013, Desember 5). TEORI BELAJAR HUMANISTIK DAN


IMPLIKASINYA DALAM PEMBELAJARAN. Diakses Pada Januari 21,
2023, Pukul 16.00 WIB, from avisha.com:
http://abiavisha.blogspot.com/2013/12/teori-belajar-humanistik-dan.html?
m=1

Novelti. (2021, Juli). IMPLIKASI ALIRAN PSIKOLOGI KOGNITIF . Diakses


Pada Januari 21, 2023, Pukul 15.25 WIB, from eprints.umsb.ac.id:
http://eprints.umsb.ac.id/289/1/Artikel.pdf

Putri, D. W. (2015, April 10). Teori Belajar Konstruktivistik Dan


Penerapannya Dalam Pembelajaran.Diakses Pada Januari 21, 2023,
Pukul 15.37 WIB, from id.scribd.com:
https://id.scribd.com/doc/307664656/Teori-Belajar-Konstruktivistik-Dan-
Penerapannya-Dalam-Pembelajaran

Sari, L. (2012, juli 12). Makalah kelompok-teori belajar dan implikasinya dalam
pembelajaran. Diakses Pada Januari 21, 2023, pukul 15.02 WIB, from
id.scribd.com:
https://id.scribd.com/doc/99891336/Makalah-Kelompok-Teori-Belajar-Da
n-Implikasinya-Dalam-Pembelajaran

Thabroni, G. (2022, maret 7). Teori belajar


Behavioristik-pebgertian,ciri,kelebihan&kekurangan. Diakses Pada
Januari 21, 2023, Pukul 15.03 WIB, from serupa.id:
https://serupa.id/teori-belajar-behavioristik-pengertian-ciri-kelebihan-keku
rangan/#amp_ct=1674132597676&amp_tf=Dari%20%251%24s&aoh=16
741325144432&referrer=https%3A%2F%2Fwww.google.com

Thabroni, G. (2022, Maret 8). Teori belajar kognitif-pengertian,ciri,prinsip,dsb.


Diakses Pada Januari 21, 2023, Pukul 15.17 WIB, from serupa.id:
https://serupa.id/teori-belajar-kognitif-pengertian-ciri-prinsip-
dsb/

Anda mungkin juga menyukai