Anda di halaman 1dari 14

Teori Belajar dan Pembelajaran Matematika

Riska Amelia Putri dan Aulia Nur Ahad Dini

Pendidikan Matematika, Universitas Muhammadiyah Prof. DR. Hamka

Riskaica0242@gmail.com , Aulnrad1662@gmail.com

Abstrak

Teori belajar merupakan upaya untuk mendeskripsikan bagaimana manusia


belajar, sehingga membantu kita semua memahami proses inhern yang kompleks dari
belajar. Ada empat perspektif utama dalam teori belajar, yaitu Behaviorisme, Kognitivisme,
Humanisme, dan Konstruktivisme. Dari keempat teori tersebut, salah satu teori yang sangat
erat hubungannya dengan pembelajaran disekolah adalah teori Konstruktivisme, dimana
teori tersebut menekankan kepada siswa bagaimana cara mengkonstruksi pengetahuan
yang sebelumnya sudah mereka dapatkan dan menghubungkannya dengan pengetahuan
yang lain. Pada saat dilakukan pembelajaran pun tidak semua siswa memiliki kemampuan
berfikir dan karakteristik yang sama. Kemampuan dan karakteristik yang berbeda tersebut
menjadi tantangan guru untuk memikirkan bagaimana langkah atau cara yang tepat untuk
menyatukan perbedaan yang ada menjadi satu tujuan yang pasti, yaitu menciptakan
suasana belajar yang efektif dan kondusif.
Keywords : Teori Belajar, Pembelajaran, Pembelajaran Matematika.

A. PENDAHULUAN

Belajar merupakan suatu proses usaha sadar yang dilakukan oleh individu untuk
suatu perubahan dari tidak tahu menjadi tahu, dari tidak memiliki sikap menjadi bersikap
benar, dari tidak terampil menjadi terampil melakukan sesuatu. Belajar tidak hanya
sekedar memetakan pengetahuan atau informasi yang disampaikan. Namun bagaimana
melibatkan individu secara aktif membuat atau pun merevisi hasil belajar yang
diterimanya menjadi suatu pengalamaan yang bermanfaat bagi pribadinya. Pembelajaran
merupakan suatu sistim yang membantu individu belajar dan berinteraksi dengan sumber
belajar dan lingkungan.
Teori adalah seperangkat azaz yang tersusun tentang kejadian-kejadian tertentu
dalam dunia nyata dinyatakan oleh McKeachie dalam grendel 1991 : 5 (Hamzah Uno,
2006:4). Sedangkan Hamzah (2003:26) menyatakan bahwa teori merupakan seperangkat
preposisi yang didalamnya memuat tentang ide, konsep, prosedur dan prinsip yang terdiri
dari satu atau lebih variable yang saling berhubungan satu sama lainnya dan dapat
dipelajari, dianalisis dan diuji serta dibuktikan kebenarannya. Dari dua pendapat diatas
Teori adalah seperangkat azaz tentang kejadian-kejadian yang didalamnnya memuat ide,
konsep, prosedur dan prinsip yang dapat dipelajari, dianalisis dan diuji kebenarannya.

1
Teori belajar adalah suatu teori yang di dalamnya terdapat tata cara pengaplikasian
kegiatan belajar mengajar antara guru dan siswa, perancangan metode pembelajaran
yang akan dilaksanakan di kelas maupun di luar kelas.

B. PEMBAHASAN
1. Teori belajar Behavioristik

Teori belajar behaviorisme merupakan teori belajar yang telah cukup lama dianut
oleh para pendidik. Teori ini dicetuskan oleh Gagne dan Berliner yang berisi tentang
perubahan tingkah laku sebagai hasil dari pengalaman. Teori ini mengutamakan
pengukuran, sebab pengukuran merupakan suatu hal penting untuk melihat terjadi
tidaknya perubahan tingkah laku.

Seseorang dikatakan telah belajar sesuatu apabila ia mampu menunjukan


perubahan pada tingkah lakunya, apabila dia belum menunjukkan perubahan tingkah laku
maka belum dikatakan bahwa ia telah melakukan proses belajar. Teori ini sangat
mementingkan adanya input yang berupa stimulus dan output yang berupa respons.
Dalam proses pembelajaran input ini bisa berupa alat peraga, gambar-gambar, atau cara-
cara tertentu untuk membantu proses belajar (Budiningsih, 2003). Menurut teori ini
dalam belajar yang penting adalah input yang berupa stimulus dan output yang berupa
respon. Stimulus adalah apa saja yang diberikan guru kepada siswa, sedangkan respon
berupa reaksi atau tanggapan siswa terhadap stimulus yang diberikan oleh guru tersebut.
(Nahar, 2016)

Contoh Penerapan Teori Behaviorisme dalam Pembelajaran Matematika

Contoh Penerapan Teori Behaviorisme dalam Pembelajaran Matematika adalah


materi Fungsi Kuadrat.

Guru memberikan contoh soal yaitu gambarkan grafik fungsi dari persamaan kurva.
Siswa merespon dengan memperhatikan penjelasan dari guru. Lalu guru menjelaskan
jawabannya yaitu cara yang digunakan untuk menggambarkan grafik fungsi kuadrat adalah
: pertama buat tabel nilai, kedua letakkan koordinat yang diperoleh pada bidang cartesius,
ketiga hubungkan titik-titik tersebut sehingga terbentuk sebuah kurva yang mulus. Setelah
guru selesai menyampaikan materi, siswa diberi latihan soal oleh guru sebagai tolak ukur
dari materi yang sudah disampaikan.
Latihan soal yang diberikan yaitu menggambarkan grafik fungsi kuadrat pada bidang
cartesius dan siswa menjelaskan jawaban yang dikerjakannya. Jika siswa mampu menjawab
soal dengan benar maka akan ada penghargaan yang diberikan oleh guru misalnya nilai
tambahan. Sedangkan siswa yang belum bisa menjawab dengan benar maka harus
memperbaiki dengan memberikan hukuman yaitu latihan tambahan atau PR agar siswa

2
terbiasa dan dapat memahami materi yang telah disampaikan.

Tokoh-tokoh Aliran Behaviorisme

a. Edward Lee Thorndike

Thorndike mengemukakan bahwa terjadinya asosiasi antara stimulus dan respon


ini mengikuti hukum-hukum berikut:

1) Hukum kesiapan (law of readiness), yaitu semakin siap suatu organisme memperoleh
suatu perubahan tingkah laku, maka pelaksanaan tingkah laku tersebut akan
menimbulkan kepuasan individu sehingga asosiasi cenderung diperkuat.

2) Hukum latihan (law of exercise), yaitu semakin sering suatu tingkah laku
diulang/dilatih (digunakan), maka asosiasi tersebut akan semakin kuat.

3) Hukum akibat (law of effect), yaitu hubungan stimulus respon cenderung diperkuat
bila akibatnya menyenangkan dan cenderung diperlemah jika akibatnya tidak
memuaskan.

b. John Watson

John Watson merupakan pendiri aliran behaviorisme di Amerika Serikat. Watson


berpendapat bahwa psikologi harus dipelajari seperti orang mempelajari ilmu pasti atau
ilmu alam. Ia menekankan pentingnya pendidikan dalam perkembangan tingkah laku.

c. Clark Leonard Hull

Teori belajar Hull mengutamakan penguatan atas pengetahuan yang telah dimiliki
seseorang.

Prinsip- prinsip utama teorinya Hull adalah:

1. Reinforcement adalah faktor penting dalam belajar yang harus ada. Namun fungsi
reinforcement bagi Hull lebih sebagai drive reduction daripada satisfied factor.

2. Dalam mempelajari hubungan S - R yang diperlu dikaji adalah faktor O yang mana
merupakan suatu kondisi internal dan sesuatu yang disimpulkan (inferred), efeknya dapat
dilihat pada faktor R yang berupa output.

3. Proses belajar baru terjadi setelah keseimbangan biologis terjadi.

d. Edwin Guthrie

Edwin Ray Guthrie lahir di Lincoln Nebrazka, Guthrie merupakah ahli behavioristik
yang percaya bahwa hukuman (punishment) memegang peranan penting dalam proses
belajar. Hukuman yang diberikan pada saat yang tepat akan mampu mengubah tingkah

3
laku seseorang. Begitu halnya dalam proses belajar mengajar. Namun, teori pemberian
hukuman ini mendapat kritikan dari beberapa ahli, alasannya ialah :

1. Perubahan tingkah laku yang disebabkan oleh pemberian hukuman bersifat


sementara.

2. Dikhawatirkan ada dampak psikologis yang terjadi kepada sipenerima hukuman

e. Burrhus Frederic Skinner

Skinner berpendapat bahwa ada dua bentuk penguatan, yaitu penguat positif
(positive reinforcers), danpenguat negatif (negative reinforcers). Penguat negatif
merupakan stimulus yang digerakkan melalui penginderaan seseorang. Penguat negatif
merupakan hal-hal yang akan dihindari oleh individu.

Hukum-hukum belajar Skinner:

1) Law of operant conditining yaitu jika timbulnya perilaku diiringi dengan stimulus
penguat, maka kekuatan perilaku tersebut akan meningkat.

2) Law of operant extinction yaitu jika timbulnya perilaku operant telah diperkuat melalui
proses conditioning namun tidak diiringi stimulus penguat, maka kekuatan perilaku
tersebut akan menurun bahkan musnah.

2. Teori Kognitivisme

Teori kognitivisme berpandangan bahwa belajar merupakan proses penemuan


dan transformasi informasiinformasi yang didapat. Teori kognitivisme memiliki
pandangan bahwa seseoarng yang menerima informasi akan menyusun, menyimpan dan
menemukan hubungan antara pengetahuan yang baru dengan pengetahuan yang telah
ada. (Widyati, 2014)

Teori ini menyatakan bahwa proses lebih penting dari pada hasil, seperti berikut:
1. Belajar tidak sekedar melibatkan stimulus dan respon tetapi juga melibatkan proses
berfikir. Ilmu pengetahuan dibangun dalam diri seseorang melalui proses interaksi yang
terus menerus dengan lingkungan

Contoh Penerapan Teori Kognitivisme dalam Pembelajaran Matematika


Contoh Penerapan Teori Kognitivisme dalam Pembelajaran Matematika adalah
materi Segitiga.
Misalkan anak sudah diajarkan cara mencari panjang sisi miring dari suatu segitiga
PQR. Ketika anak disuruh untuk menentukan panjang sisi AB pada segitiga ABC, pada
segitiga ABC, dimana gambar segitiganya berbeda segitiga dengan segitiga PQR, pada
4
segitiga ABC sisi miringnya diketahui, dan letak sudut sikusiku berbeda dengan segitiga PQR,
bila anak dapat menentukan panjang sisi AB, maka pada diri anak tidak terjadi konflik
kognitif, tetapi bila pada pikiran anak muncul keanehan, keganjilan ketika melihat segitiga
tersebut, dan anak tidak dapat menyelesaikan soal dengan baik , maka kita katakan bahwa
pada anak telah terjadi konflik kognitif, untuk mengakhiri atau menghilangkan konflik
kognitif itu, maka anak perlu diberi scafolding, atau metakognisi, sehingga anak paham dan
mengerti cara menentukan panjang AB, dan segitiga siku-siku tidak harus berbentuk
segitiga PQR

Beberapa teori dalam aliran kognitivisme

a. Teori Gestalt

Proses pembelajaran mengutamakan belajar yang bermakna, sehingga tidak


menimbulkan ambiguitas.

b. Teori Schemata Piaget

Teori ini mengatakan bahwa pengalaman kependidikan harus dibangun di sekitar


struktur kognitif peserta didik. Struktur kognitif ini bisa dilihat dari usia serta budaya yang
dimiliki oleh peserta didik.

c. Teori Belajar Sosial Bandura

Bandura mempercayai bahwa model akan mempunyai pengaruh yang paling


efektif apabila mereka dianggap atau dilihat sebagai orang yang mempunyai kehormatan,
kemampuan, status tinggi, dan juga kekuatan, sehingga dalambanyak hal seorang pendidik
bisa menjadi model yang paling berpengaruh.

d. Pengolahan Informas Norman

Norman berpendapat bahwa seorang individu akan menghubungkan materi yang


baru ia temui dengan yang sudah pernah diketahuinya, yang dalam teorinya disebut
learning by analogy. Pengajaran yang efektif memerlukan pendidik yang mengetahui
struktur kognitif peserta didik.

3. Teori Humanistik

Teori belajar humanistik adalah teori yang menyatakan bahwa manusia berhak
mengenali dirinya sendiri sebagai langkah untuk belajar, sehingga diharapkan mampu
mencapai aktualisasi diri. Itulah mengapa, teori ini beranggapan bahwa proses belajar
dinilai lebih penting daripada hasil belajar itu sendiri.

Pembelajaran aliran Humanisme meletakkan peserta didik sebagai central dalam


aktivitas pembelajaran. Peserta didik menemukan pengalamannya sendiri dalam belajar

5
dan menggali potensi diri secara mandiri semaksimal mungkin. Sehingga peserta didik
tidak sekedar hanya menerima informasi yang disampaikan pendidik. Pendidik berperan
menjadi fasilitator dengan memberi motivasi dan memfasilitasi peserta didik dalam
menemukan pengalaman belajar. (Qodir, 2017)

Contoh Penerapan Teori Humanistik dalam Pembelajaran Matematika


Contoh Penerapan Teori Humanistik dalam Pembelajaran Matematika adalah
materi Bangun Ruang.
Sebagai contoh, Ketika seorang siswa sedang melakukan pembelajaran
matematika materi bangun ruang, dan saat diberi tugas untuk menghitung luas permukaan
suatu bangun ruang tersebut, maka siswa tersebut memiliki dua pilihan, yaitu langsung
menggunakan rumus mencari luas permukaan yang sudah ada atau mengolahnya sendiri
dengan cara memisahkan komponen bangun ruang menjadi beberapa bangun datar,
setelah itu luas permukaanya dihitung manual satu persatu kemudian dijumlahkan.
Kasus seperti ini mencerminkan adanya Teori Humanistik (manusia berhak
mengenali dirinya sendiri sebagai langkah untuk belajar), apakah siswa tersebut lebih
tertarik untuk menjawab langsung untuk mengefisiensikan waktu, atau lebih tertarik
membangun konsep sendiri agar mudah diingat.

a. Teori belajar Arthur Combs


Teori ini berpandangan bahwa belajar akan terasa berarti bagi pembelajar itu
sendiri. Oleh sebab itu, pendidik tidak memiliki wewenang untuk mengatur materi yang
relevan dengan kehidupan individu pembelajar. Kepekaan pendidik menjadi kunci
terlaksananya teori belajar ini di sekolah.
Pendidik juga harus memberikan pemahaman bahwa nilai bukan hal utama yang
ingin dicapai pada pembelajaran, melainkan proses untuk mendapatkan
pengetahuannya.
b. Teori belajar Bloom dan Krathwohl
Teori belajar yang dikemukakan Bloom dan Krathwohl ini fokus pada hal- hal yang
pasti bisa dikuasai oleh seseorang setelah melalui proses belajar. Teori ini juga menjadi
latar belakang ditemukannya Taksonomi Bloom yang kini dikenal di dunia pendidikan
Indonesia.
c. Teori belajar Carl Rogers
Teori ini dikemukakan oleh tokoh psikologi humanistik dari Illinois, Amerika
Serikat. Menurut Carl Rogers, belajar harus melibatkan sisi intelektualitas dan emosional
peserta didik. Oleh karena itu, motivasi belajar wajib dimiliki oleh individu yang sedang
belajar.
d. Teori belajar Maslow
Teori yang dikemukakan oleh Abraham Harold Maslow ini berpandangan bahwa
setiap individu akan berupaya memenuhi kebutuhan hierarkis hidupnya. Oleh karena itu,
penting adanya dorongan untuk maju ke arah yang lebih baik.

6
4. Teori Belajar Konstruktivisme
Teori Konstruktivisme memiliki perspektif bahwa belajar merupakan konstruksi
informasi yang masuk ke otak. Teori ini mengatakan bahwa peserta didik yang menerima
informasi baru akan selalu memeriksa kebenaran dari informasi tersebut dan merevisi
prinsip-prinsip tersebut apabila sudah dianggap tidak dapat digunakan lagi. Hal ini
memberikan implikasi bahwa peserta didik harus terlibat aktif dalam kegiatan
pembelajaran.
Maka dari itu, teori konstruktivisme tidak hanya menerima konsep, tetapi terjadi
proses konstruksi pengetahuan melalui pengalaman karena pengetahuan bukan bersifat
pemberian, namun berasal dari proses konstruksi pengetahuan setiap peserta didik
sehingga pengetahuan yang didapat lebih dikuasai dan lama melekat dalam memori
peserta didik. (Sugrah, 2020)

Contoh Penerapan Teori Konstruktivisme dalam Pembelajaran Matematika


Contoh Penerapan Teori Konstruktivisme dalam Pembelajaran Matematika
adalah materi Perpangkatan.
Jika ada seorang guru bertanya kepada siswa hasil dari 103 lalu siswa tersebut
menjawab 1.000 maka jawabannya adalah benar. Namun ketika ditanya 100 lalu ia bingung,
maka guru menjelaskan bahwa perpangkatan 10 menurun satu persatu. Jika 101 adalah 10,
maka 101 adalah 1
Dari dialog guru dan siswa tersebut dapat disimpulkan bahwa dengan
menggunakan pendekatan konstruktivisme guru mengajak siswa untuk mengemukakan
pendapat, mencari solusi atau jawaban atas pertanyaan yang diajukan oleh guru
sehingga siswa diharapkan dapat mengaplikasikan pemahaman dan mengkonstruksi
sendiri tentang konsep bilangan pangkat n .

Tokoh – Tokoh yang Menganut Teori Konstruktivisme

a. Hill
Tindakan mencipta suatu makna dari apa yang sudah dipelajari seseorang.
b. Shymansky
Aktivitas yang aktif, ketika peserta didik melatih sendiri pengetahuannya, mencari
tahu apa yang sudah dipelajari, dan merupakan proses menyelesaikan konsep dan ide
baru dengan kerangka berpikir sendiri.
c. Karli dan Margareta
Proses belajar yang diawali dengan adanya konflik kognitif, sehingga akhirnya
pengetahuan dibangun sendiri oleh peserta didik lewat pengalaman dan interaksi dengan
lingkungan sekitarnya.
d. Tobin dan Timmons
Pembelajaran berlandaskan pandangan konstruktivisme yang harus
memperhatikan empat hal, yakni pengetahuan awal seseorang, belajar lewat
7
pengalaman, interaksi sosial, dan tingkat kepahaman.
e. Samsul Hadi
Peserta didik mencari arti sendiri dari yang mereka pelajari, ini merupakan proses
menyesuaikan konsep-konsep dan ide-ide baru dengan kerangka berfikir yang telah ada
dalam pikiran mereka. Dalam hal ini peserta didik membentuk pengetahuan mereka
sendiri dan pendidik membantu sebagai mediator dalam proses pembentukan itu. Oleh
karena itu, pandangan konstruktivisme lebih memfokuskan pada kesuksesan peserta
didik dalam mengorganisasikan pengalaman mereka dengan kata lain peserta didik lebih
berpengalaman untuk mengonstruksikan sendiri pengetahuan mereka melalui asimilasi
dan akomodasi. (Puri, 2013)

5. Cara Mengkonstruksi Pengetahuan


Konstruksi pengetahuan adalah kegiatan atau proses mental seorang siswa dalam
menemukan dan mengubah informasi yang diperoleh sehingga terbentuk pemahaman
atau tafsiran secara menyeluruh tentang suatu pengetahuan. Proses konstruksi
pengetahuan adalah suatu cara atau langkah-langkah yang dilakukan seorang siswa
untuk membangun pengetahuannya. (Abidin, 2016)

(Ormrod, 2008:324). Ada beberapa proses konstruksi dalam pembelajaran yang harus
dilalui, diantaranya :

a. Konstruksi dalam Proses Penyimpanan

Perlu diperhatikan bahwa siswa sering mengkontruksi makna dan tafsiran mereka
yang unik di setiap materi pelajaran yang mereka ikuti. Ada pendapat yang mengatakan
bahwa pengetahuan dan harapan (ekspektasi) sebelumnya secara khusus mungkin
mempengaruhi proses belajar ketika informasi baru bersifat ambigu. Komunikasi yang
baik dengan para siswa dalam proses pembelajaran sangat perlu diperhatikan baik
tentang akademis atupun non akademis. Sehingga para siswa dapat dengan cepat
mengkontruksi untuk menuju ke proses penyimpanan.

b. Konstruksi dalam Proses Pemanggilan

Dalam suatu peristiwa yang menarik, terkadang orang langsung bisa menjelaskan
dengan detail hanya dengan dipanggil dengan beberapa kata saja. Bahkan peristiwa itu
bisa mengkontruksi dalam memori orang dengan menambahkan beberapa hal yang
menarik. Karena dirasa peristiwa tersebut sangat menarik, sehingga tersimpan dengan
baik dalam ingatan. Dalam situasi yang menarik, orang bisa saja mengkontruksi memori
dalam dirinya terhadap suatu peristiwa dengan mengkombinasikan bagian-bagian yang
menarik yang dapat dipanggil dengan pengetahuan dan asumsi masing-masing orang
mengenai dunia (Roediger & McDermott, 2000 ;D, L. Schacter, 1999 ).

Dalam proses konstruksi, hubungan sosial juga diperhatikan karena para siswa
juga perlu bekerja sama. Kerjasama ini dimaksudkan agar jika ada siswa yang bingung

8
terhadap materi dan malu untuk bertanya bisa bertanya kepada teman dan bisa
melakukan belajar kelompok dengan teman. Dalam beberapa kesempatan, makna
dikonstruksi secara bersama-sama oleh dua orang atau lebih serentak dalam satu waktu,
contohnya ketika salah satu siswa ada yang kebingungan dengan sebuah materimaka
siswa tersebut bertanya pada teman lain atau mengajak temannya untuk belajar
kelompok.

Menilai pemahaman siswa juga penting setelah akhir pelajaran, hal tersebut
sering dilupakan oleh beberapa guru. Evaluasi ini berguna jika ada siswa yang memahami
makna yang kurang benar bisa langsung diarahkan. Beberapa mikonsepsi dan
pemahaman yang sebagian benar sebagian salah bisa saja tetap bertahan kendati kita
telah mengerahkan segala usaha untuk meluruskannya.

6. Berfikir Tingkat Rendah Menuju Tingkat Tinggi

Berpikir adalah memproses informasi secara mental atau secara kognitif. Secara
lebih formal, berpikir adalah penyusunan kembali atau manipulasi kognitif baik informasi
maupun simbol-simbol yang tersimpan dalam memori jangka panjang pada ingatan
seseorang. Namun, ketika informasi yang dibutuhkan untuk proses pemecahan masalah
belum dapat dihadirkan dalam pikiran kita, maka akan timbul masalah di dalam proses
pemecahan masalah tersebut.

Berdasarkan tingkatan proses, berpikir dibagi menjadi 2 tingkat yaitu berpikir


tingkat rendah (lower-order thinking) dan berpikir tingkat tinggi (higher- order thinking).
Pada dasarnya kedua tingkatan berpikir tersebut mengacu pada taksonomi bloom yang
terdiri dari 6 aspek. Tiga aspek pertama yaitu mengingat (remembering), memahami
(understanding), dan menerapkan (applying) merupakan kemampuan berpikir tingkat
rendah (LOT). Tiga aspek berikutnya yaitu menganalisis (analyzing), mengevaluasi
(evaluating), dan mengkreasi (creating) merupakan kemampuan berpikir tingkat tinggi
(HOT). (Febrina & Mukhidin, 2019)

Berpikir Tingkat Rendah (LOT)

1. Mengingat (Remembering)

Berdasarkan penjelasan sebelumnya, mengingat tentang perihal tertentu


merupakan tingkat keterampilan berpikir paling rendah/dasar. Sehingga dalam berpikir,
seseorang akan dituntut untuk memiliki aspek kognitif yang paling dasar ini. Dengan kata
lain, mengingat merupakan kebutuhan mendasar dalam berpikir.

Dalam mengingat, seseorang akan berusaha mengenali atau mendapatkan


kembali pengetahuan dari memori jangka panjang yang sesuai dengan sesuatu yang

9
dihadirkan dalam benaknya. Sehingga, terdapat dua hal yang berkaitan dengan proses
kognitif dasar ini yaitu mengenali (recognizing) dan memanggil kembali (recalling).

2. Mengerti (Understanding)

Jika sasaran utama berpikir adalah meningkatkan ingatan, maka semua proses
dalam berpikir akan terpusat hanya pada Mengingat (Remembering). Namun, ketika
sasaran utama dalam berpikir adalah meningkatkan transaksi antara sesuatu yang
dihadirkan dengan memori yang dimiliki.

Seseorang dapat dikatakan memahami terhadap sesuatu, jika mampu


membangun arti dari sesuatu tersebut, baik secara lisan, tulisan/gambar maupun
komunikasi yang sebenarnya. Dengan kata lain, mampu membangun hubungan antara
suatu pengetahuan baru yang diperoleh dengan pengetahuan yang telah dimiliki
sebelumnya.

3. Menerapkan (Applying)
Menerapkan terkait dengan memainkan penggunaan prosedur dalam
memecahkan masalah. Sehingga, dalam menerapkan harus memenuhi persyaratan
mendasar yakni memahami pengetahuan dari suatu prosedur. Suatu latihan adalah suatu
tugas yang telah diketahui prosedur yang tepat untuk digunakan, sedangkan suatu
masalah adalah suatu tugas yang pada awalnya tidak tahu prosedur apa yang akan
digunakan, sehingga siswa harus menemukan suatu prosedur untuk memecahkan
masalah tersebut.

Berpikir Tingkat Sedang (MOT)

1. Melaksanakan (Executing)

Dalam melaksanakan, tugas yang dikenal sering cukup petunjuk untuk menuntun
pilihan terhadap prosedur yang tepat untuk digunakan. Karena dalam tugas yang dikenal
tersebut telah diketahui prosedur apa yang harus digunakan untuk menyelesaikan tugas
tersebut. Sehingga dengan mudah membawa keluar suatu prosedur pengetahuan untuk
menyelesaikan tugas.

2. Mengimplementasikan (Implementing)

Mengimplementasikan terjadi ketika seseorang memilih dan menggunakan suatu


prosedur untuk menyelesaikan sebuah tugas yang tidak dikenal. Karena pilihan prosedur
yang akan digunakan merupakan langkah awal dalam menyelesaikan tugas tersebut,
maka seseorang harus menggali maksud yang diinginkan dari tugas tersebut.
Dikarenakan dihadapkan dengan tugas yang tidak dikenal, maka tidak secara langsung
tahu prosedur mana yang ada untuk digunakan.

10
Berpikir Tingkat Tinggi (HOT)

1. Menganalisis (Analyzing)

Menganalisis terkait dengan menguraikan materi ke dalam bagian utama materi


tersebut dan menentukan begaimana bagian tersebut berhubungan satu bagian yang lain
dan dengan keseluruhan struktur. (Usmaedi, 2017)

2. Mengevaluasi (Evaluating)

Proses kognitif ini menegaskan tentang membuat suatu pendapat dalam kriteria
dan standar. Dalam kriteria yang sering digunakan adalah mutu, keefektifan, dan
konsisten. Sedangkan dalam standar yang digunakan adalah kuantitatif (jumlah) dan
kualitatif (kualitas). Kategori dalam mengevaluasi adalah mengecek (checking) –
pendapat tentang ketetapan internal – dan meninju (critiquing) – pendapat berdasar
pada kriteria eksternal.

3. Mengkreasi (Creating)

Proses kognitif ini terkait dengan mengajukan beberapa elemen secara


bersamaan pada keseluruhan bentuk yang logis atau masuk akal. Dalam proses ini,
seseorang mampu membuat suatu produk baru yang berasal dari penyusunan kembali
beberapa elemen atau bagian menjadi suatu pola atau struktur yang tidak secara jelas
dihadirkan sebelumnya.

7. Karakteristik Siswa Berdasarkan Tahapan Kognitif

Tahap-tahap perkembangan kemampuan kognitif manusia terbagi dalam


beberapa fase. Piaget membagi perkembangan kemampuan kognitif manusia menurut
usia menjadi 4 tahapan. Yaitu:

a. Tahap sensori (sensori motor)

Perkembangan kognitif tahap ini terjadi pada usia 0-2 tahun. Tahap ini pemikiran
anak mulai melibatkan penglihatan, pendengaran, pergeseran dan persentuhan serta
selera. Artinya anak memiliki kemampuan untuk menangkap segala sesuatu melalui
inderanya. Bagi Piaget masa ini sangat penting untuk pembinaan perkembangan
pemikiran sebagai dasar untuk mengembangkan intelegensinya. (Khiyarusoleh, 2016)

b. Tahap praoperasional (preoperational)

Fase perkembangan kemampuan kognitif ini terjadi para rentang usia 2-7 tahun.
Pada tahap ini, anak mulai merepresentasikan dunia dengan kata-kata dan gambar-
gambar. Kata-kata dan gambar-gambar ini menunjukkan adanya peningkatan pemikiran

11
simbolis dan melampaui hubungan informasi inderawi dan tindakan fisik. Cara berpikir
anak pada pertingkat ini bersifat tidak sistematis, tidak konsisten, dan tidak logis.

c. Tahap operasi konkrit (concreteoperational)

Tahap operasi konkrit terjadi pada rentang usia 7-11 tahun. Tahap ini dimulai
dengan tahap progressive decentring di usia tujuh tahun. Sebagian besar anak telah
memiliki kemampuan untuk mempertahankan ingatan tentang ukuran, panjang atau
jumlah benda cair. Maksud ingatan yang dipertahankan di sini adalah gagasan bahwa satu
kuantitas akan tetap sama walaupun penampakan luarnya terlihat berubah.

d. Tahap operasi formal (formal operational)

Tahap operasi formal ada pada rentang usia 11 tahun-dewasa. Pada fase ini dikenal
juga dengan masa remaja. Remaja berpikir dengan cara lebih abstrak, logis, dan lebih
idealistic. Tahap operasional formal, usia sebelas sampai lima belas tahun. Pada tahap ini
individu sudah mulai memikirkan pengalaman konkret, dan memikirkannya secara lebih
abstrak, idealis dan logis.

Selain memiliki kemampuan abstraksi, pemikir operasional formal juga memiliki


kemampuan untuk melakukan idealisasi dan membayangkan kemungkinankemungkinan.
Pada tahap ini, anak mulai melakukan pemikiran spekulasi tentang kualitas ideal yang
mereka inginkan dalam diri mereka dan diri orang lain.

8. Perbedaan Individu

Perbedaan individu yaitu perbedaan kemampuan dan karakteristik (kognitif,


kepribadian, keterampilan fisik, dan lain sebagainya) antar anak didik pada usia tertentu
dan dalam setiap kelompok. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi perbedaan
individu, antara lain (Turhusna & Solatun, 2020) :

a. Faktor Keturunan (Heriditas)

Menurut para ahli Biologi bahwa terjadinya individu adalah akibat bertemunya sel
jantan dan betina. Pada setiap spesies/jenis makhluk jumlah dan bentuk kromosomnya
selalu sama dan bila spesiesnya berbeda, akan berbeda pula jumlah dan bentuk
chromosomenya. Gen dari sel jantan saling berpasangan dengan gen dari gen betina
dengan cara yang berbeda beda. Cara yang berbeda- beda inilah yang menyebabkan
perbedaan sifat individu. Perbedaan sifat individu inilah yang menyebabkan terjadinya
perbedaan individu berdasarkan faktor keturunan.

b. Faktor Lingkungan/Keluarga

Lingkungan dalam arti luas meliputi lingkungan statis dan dinamis. Keadaan
tempat maupun alam lebih bersifat statis, sedangkan lingkungan sosial lebih bersifat
12
dinamis. Lingkungan statis memberi pengaruh/dampak yang tentunya berbeda dengan
individu di lingkungan tertentu. Demikian juga lingkungan dinamis/pengaruh lingkungan
sosial juga berpengaruh terhadap orang-orang yang tinggal di lingkungan tersebut. Hal-
hal semacam itu akan membuat perbedaan sifat/pembawaan satu sama lain.

c. Faktor Campuran

Dari uraian di atas ternyata bahwa baik keturunan/hereditass maupun faktor


lingkungan berpengaruh terhadap perbedaan massing-masing individu.

13
DAFTAR PUSTAKA

Abidin, Z. (2016). PENGEMBANGAN MODEL PEMBELAJARAN MATEMATIKA BERBASIS


PORTOFOLIO (PMBP) PADA SISWA SEKOLAH MENENGAH PERTAMA. Jurnal
Pendidikan Matematika (JPM), 2(1), 79–102.
http://riset.unisma.ac.id/index.php/jpm/article/view/209
Febrina, E., & Mukhidin, M. (2019). METAKOGNITIF SEBAGAI KETERAMPILAN BERFIKIR
TINGKAT TINGGI PADA PEMBELAJARAN ABAD 21. Edusentris, 6(1), 25–32.
https://doi.org/10.17509/EDUSENTRIS.V6I1.451
Khiyarusoleh, U. (2016). KONSEP DASAR PERKEMBANGAN KOGNITIF PADA ANAK
MENURUT JEAN PIAGET. DIALEKTIKA Jurnal Pemikiran Dan Penelitian Pendidikan Dasar,
5(1).

https://journal.peradaban.ac.id/index.php/jdpgsd/article/view/17
Nahar, N. I. (2016). PENERAPAN TEORI BELAJAR BEHAVIORISTIK DALAM PROSES
PEMBELAJARAN. NUSANTARA : Jurnal Ilmu Pengetahuan Sosial, 1(1).
http://jurnal.um-tapsel.ac.id/index.php/nusantara/article/view/94
Puri, R. I. I. (2013). PENGEMBANGAN MODUL EVALUASI PEMBELAJARAN
MENGGUNAKAN TEORI BELAJAR KONSTRUKTIVISME.

https://repository.unsri.ac.id/6780/
Qodir, A. (2017). TEORI BELAJAR HUMANISTIK DALAM MENINGKATKAN PRESTASI
BELAJAR SISWA. PEDAGOGIK: Jurnal Pendidikan, 4(2).
https://doi.org/10.33650/PJP.V4I2.17
Sugrah, N. U. (2020). Implementasi teori belajar konstruktivisme dalam pembelajaran sains.
Humanika, 19(2), 121–138.

https://doi.org/10.21831/hum.v19i2.29274
Turhusna, D., & Solatun, S. (2020). Perbedaan Individu dalam Proses Pembelajaran.
AS-SABIQUN, 2(1), 18–42.

https://doi.org/10.36088/ASSABIQUN.V2I1.613
Usmaedi, U. (2017). Menggagas Pembelajaran HOTS Pada Anak Usia Sekolah Dasar.
JPsd (Jurnal Pendidikan Sekolah Dasar), 3(1), 82–95.
https://doi.org/10.30870/JPSD.V3I1.1040
Widyati, W. (2014). BELAJAR DAN PEMBELAJARAN PERSPEKTIF TEORI KOGNITIVISME.
Biosel: Biology Science and Education, 3(2), 177–187.
https://doi.org/10.33477/BS.V3I2.521

14

Anda mungkin juga menyukai