Anda di halaman 1dari 8

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Istilah belajar sebenarnya sudah lama dan banyak dikenal oleh masyarakat dunia, terlebih
pada era sekarang ini, hampir semua orang mengetahui istilah belajar. Akan tetapi, apa
sebenarnya itu belajar ?. Mungkin setiap orang mempunyai persepsi yang berbeda akan hal ini,
maka dari itu diperlukan adanya pemahaman tentang makna belajar. Sejak manusia ada, pada
dasarnya manusia itu telah melakukan aktivitas belajar itu sendiri. Karena di dalam diri manusia
terdapat potensi untuk diajar.
Untuk bertahan hidup, manusia perlu mengetahui kebutuhan – kebutuhan yang harus
dipenuhi baik makanan, minuman, tempat tinggal, seks, dan lainnya. Manusia juga perlu
berinteraksi dengan sekitarnya untuk memenuhi kebutuhan itu. Maka, belajar bukan hanya
dalam konteks yang mengarah pada perubahan perilaku saja, tetapi bisa juga dikaitkan dengan
interaksi yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari manusia. Pada masa sekarang ini, belajar
menjadi hal yang tidak terpisahkan dari manusia. Hampir di setiap waktu, manusia belajar.
Namun apakah arti atau makna sebenarnya dari belajar?. Para ahli banyak memberikan Batasan
akan hal ini.
Winkle (dalam Oktiani, 2017), belajar adalah aktivitas mental atau psikis, yang
berlangsung dalam interaksi aktif dengan lingkungan yang menghasilkan perubahan dalam
pengetahuan, pemahaman, keterampilan, nilai, dan sikap. Ngalim Purwanto (dalam Oktiani,
2017) belajar adalah perubahan yang relatif permanen dalam perilaku yang terjadi sebagai
hasil dari pelatihan atau pengalaman. Hilhard Bower dalam buku Theories of Learning Belajar
(dalam Festiawan, 2020) berhubungan dengan perubahan tingkah laku seseorang terhadap
sesuatu situasi yang disebabkan oleh pengalamannya yang berulang-ulang dalam situasi itu,
dimana perubahan tingkah laku itu tidak dapat dijelaskan atau dasar kecendrungan respon
pembawaan kematangan. Dari penjelasan tersebut, maka bisa disimpulkan bahwa Belajar
merupakan aktivitas mental yang berhubungan dengan perubahan tingkah laku yang merupakan
hasil dari sebuah pelatihan atau pengalaman baik dalam keterampilan, pengetahuan, sikap.
Belajar merupakan kegiatan yang berfokus pada setiap proses yang terjadi ketika kegiatan
ini berlangsung. Penjelasan tentang apa yang terjadi pada proses tersebut merupakan teori
belajar. Dalam dunia pendidikan dikenal beberapa teori belajar yang dikemukakan oleh para
ahli. Teori belajar ini digunakan untuk mengantarkan individu belajar sesuai dengan tahap
perkembangan individu tersebut. Adapun beberapa teori belajar yang akan dibahas dalam
makalah ini yaitu Teori belajar behavioristik, teori belajar humanistic, teori belajar kognitif, dan
teori belajar kontruktivisme.

B. Rumusan Masalah
 Apa itu teori belajar behaviouristik ?
 Apa itu teori belajar humanistic?
 Apa itu teori belajar kognitif?
 Apa itu teori belajar kontruktivisme ?

C. Tujuan
 Untuk mengetahui teori belajar behaviouristik
 Untuk mengetahui teori belajar humanistic
 Untuk mengetahui teori belajar kognitif
 Untuk mengetahui teori belajar kontruktivisme

1. TEORI BELAJAR BEHAVIOURISTIK


1.1 Pengertian Teori Behaviouristik
Dalam dunia pendidikan, banyak teori belajar yang dikemukakan oleh ahli. Teori ini
dipakai sebagai pedoman individu belajar. Salah satu teori belajar yaitu Behaviour. Teori
belajar ini dicetuskan oleh Gaeg dan Berliner yang menyatakan bahwa perubahan tingkah laku
adalah hasil dari pengalaman. Teori behaviouristik menjadi aliran psikologi belajar yang
berpengaruh terhadap pengembangan teori dan praktik pendidikan serta dalam
pembelajarannya.
Menurut teori ini, belajar adalah perubahan tingkah laku sebagai akibat dari adanya
interaksi antara stimulus dan respon. Dengan kata lain, belajar merupakan bentuk perubahan
yang dialami individu dalam hal kemampuannya untuk bertingkah laku dengan cara yang baru
sebagai hasil interaksi stimulus dan respon. Seseorang dianggap telah belajar sesuatu jika ia
dapat menunjukkan perubahan tingkah laku.
Menurut Jordan,Stack & Carlile (2009) (dalam Amsari, 2018) inti dari behaviorisme
adalah :
1) Behaviorisme berfokus pada peristiwa pembelajaran yang diamati seperti yang
ditunjukkan oleh hubungan stimulus dan respon,
2) Belajar selalu melibatkan perubahan perilaku,
3) Proses mental harus dikeluarkan dari studi ilmiah tentang belajar,
4) Hukum yang mengatur pembelajaran berlaku untuk semua mahluk hidup, termasuk
manusia,
5) Mahluk hidup memulai hidup sebagai papan tulis kosong: tidak ada bawaan perilaku,
6) Hasil Belajar dari peristiwa eksternal di lingkungan,
7) Behaviorisme adalah teori deterministic : subjek tidak memiliki pilihan selain
untuk menanggapi rangsangan yang tepat.

1.2 Tokoh-tokoh teori belajar Behaviouristik


 Edward Thorndike (1874-1949)
Thorndike dengan teorinya connectionisme yang disebut juga dengan trial and error. Pada
tahun 1980, Thorndike melakukan eksperimen dengan kucing sebagai subyeknya. Menurutnya,
belajar adalah pembentukan hubungan (koneksi) antara stimulus dengan respon yang diberikan
oleh organisme terhadap stimulus tadi. Cara belajar yang khas yang ditunjukkannya adalah trial
dan error). Di samping itu, Thorndike juga menggunakan pedoman ”pembawa kepuasan
(satisfier)” apabila subyek melakukan hal-hal yang mendatangkan kesenangan, dan ”pembawa
kebosanan (annoyer)” apabila subyek menghindari keadaan yang tidak menyenangkan (Winkel,
1991: 380). Dari eksperimen Thorndike ini, bisa diambil tiga hukum dalam belajar, yaitu:
a) Law of readiness (hukum kesiapan).
Belajar akan berhasil apabila subyek memiliki kesiapan untuk belajar (Sukmadinata,
2003: 169).
b) Law of exercise (hukum latihan),
Merupakan generalisasi dari law of use dan law of disuse, yaitu jika perilaku itu
sering dilatih atau digunakan, maka eksistensi perilaku tersebut akan semakin kuat (Law
of use). Sebaliknya, jika perilaku tadi tidak dilatih, maka perilaku tersebut akan menjadi
bertambah lemah atau tidak digunakan sama sekali (law of disuse). Dengan kata lain,
belajar akan berhasil apabila banyak latihan atau ulangan.

Proses belajar pada diri siswa akan terjadi jika si anak berada dalam kondisi siap
untuk belajar (berinteraksi dengan lingkungan). Di antara indikator anak dalam kondisi
siap belajar adalah :
1) Anak dapat mengerti dan memahami orang lain (guru, teman, dan orang lain yang
ada di sekolah). Dalam kondisi seperti ini, anak tidak akan merasa asing, atau tidak
punya teman untuk meminta tolong, sebagaimana jika dia berada di rumah dekat
dengan orang tuanya.
2) Anak berani mengutarakan apa yang ada dalam benak pikiran atau keinginannya
(karena ada orang yang akan melindungi dan melayaninya, misalnya mau kencing
ke belakang, tidak punya alat tulis, bukunya ketinggalan, dan sejenisnya)
3) Anak dapat memahami dan mampu melakukan apa yang diperintahkan atau
diajarkan oleh gurunya.

c) Law of Effect
Yaitu jika respon menghasilkan efek yang memuaskan, maka hubungan antara
stimulus dan respon akan semakin kuat. Sebaliknya, jika respon menghasilkan efek yang
tidak memuaskan, maka semakin lemah hubungan antara stimulus dan respon tersebut
(Suryabrata, 1990: 271). Dengan kata lain, subyek akan bersemangat dalam belajar
apabila ia mengetahui atau mendapatkan hasil yang baik.
Thorndike, memandang bahwa yang menjadi dasar terjadinya belajar adalah adanya
asosiasi antara kesan panca indera (sense of impression) dengan dorongan yang muncul
untuk bertindak (impuls to action) (Mukminan, 1997 : 8). Ini artinya, teori behaviorisme
yang lebih dikenal dengan nama contemporary behaviorist ini memandang bahwa belajar
akan terjadi pada diri anak, jika anak mempunyai ketertarikan terhadap masalah yang
dihadapi. Siswa dalam konteks ini dihadapkan pada sikap untuk dapat memilih respons
yang tepat dari berbagai respons yang mungin bisa dilakukan. Teori ini menggambarkan
bahwa tingkah laku siswa dikontrol oleh kemungkinan mendapat hadiah external atau
reinforcement yang ada hubungannya antara respons tingkah laku dengan pengaruh
hadiah.
Bagi guru yang setuju dengan teori behaviorisme ini mengasumsikan bahwa tingkah
laku siswa pada hakikatnya merupakan suatu respons terhadap lingkungan yang lalu dan
sekarang, dan semua tingkah laku yang dipelajari (Sri Esti Wuryani Djiwandono, 1989:
51). Tugas utama guru yakni bagaimana guru mampu menciptakan lingkungan belajar
(lingkungan kelas atau sekolah) pada diri siswa yang dapat memungkinkan terjadinya
penguatan (reinforcement) bagi siswa. Lingkungan yang dimaksud di sini bisa berupa
benda, orang atau situasi tertentu yang semuanya dapat berdampak pada munculnya
tingkah laku anak yang dimaksud. Sebagai ilustrasi dapat digambarkan sebagai berikut :

Mencermati paparan gambar di atas, dapat dipahami bahwa siswa yang memiliki
perangai suka mengganggu (Jawa : usil) terhadap temannya pada setiap waktu (dan teman
tersebut juga bersikap kooperatif mau menanggapi obrolan dia, sehingga lingkungan
bersifat kondusif atau memberikan penguatan), maka kondisi semacam ini menjadikan
siswa tersebut memiliki sikap untuk senantiasa berperilaku sebagai pengacau. Sebaliknya,
pada contoh B, karena lingkungan tidak memberikan penguatan (reinforcement) terhadap
sikap atau tingkah laku siswa (sehingga dia bersikap suka), kondisi semacam ini
menjadikan siswa berperilaku sebagai seorang pendiam. Sedangkan pada contoh C, siswa
yang berada dalam lingkungan berupa ketersediaan sumber belajar (berupa buku, majalah,
komputer dan sejenisnya, sehingga hal ini memberikan penguatan pada diri siswa), maka
hal ini menjadikan siswa paham, mengerti dan terampil dalam menggunakan sumber
belajar tersebut).

 Ivan Pavlov (1849-1936)


Ivan Pavlov merupakan salah satu seorang psikologi dari Rusia yang mengembangkan
teori yang disebut Classical Conditioning. Teori ini dibuat berdasarkan percobaan Ivan Pavlov
terhadap anjing dan air liurnya. Proses yang dilakukan dapat dilihat pada gambar berikut ini :

Adapun eksperimen yang dilakukan pada seekor anjing yang telah dibedah sedemikian
rupa, sehingga saluran kelenjar ludahnya tersembul melalui pipinya, dimasukan kedalam
kamar gelap. Dikamar itu hanya ada sebuah lubang yang terletak di depan moncongnya,
tempat menyodorkan makanan atau menyorotkan cahaya pada waktu diadakan
percobaan. Pada moncongnya yang telah dibedah itu disambungkan sebuah pipa yang
dihubungkan dengan sebuah tabung diluar kamar. Dengan demikian dapat diketahui keluar
tidaknya air liur dari moncong anjing itu pada waktu diadakan percobaan, alat‐alat yang
digunakan dalam percobaan itu antara lain makanan, lampu senter, dan sebuah bunyi‐
bunyian.(Nasution & Casmini, 2020).
Dari hasil eksperimen-eksperimen yang dilakukan dengan anjing tersebut Pavlov
menyimpulkan Gerakan- Gerakan refleks dari anjing tersebut dapat dipelajari, dan dapat
berubah karena adanya latihan. Dengan demikian dapat dibedakan ada dua macam refleks yaitu
a) Refleks Wajar ( Unconditioned Refleks ),
b) Refleks Bersyarat/yang dipelajari ( Conditioned Refleks ) (Nurhidayati, 2012)

 Burhus Frederic Skinner (lahir tahun 1904)


Burhus Frederic Skinner mempelopori Operant Conditioning, dimana ia yang
mengadakan eksperimen terhadap tikus (Muhibbin Syah, 2004: 99). Skinner meletakkan
seekor tikus yang lapar dalam sebuah kotak, yang disebut kotak Skinner. Di dalam
kotak tersebut, tikus dibiarkan melakukan aktivitas, berjalan dan menjelajahi
keadaan sekitar. Dalam aktivitas itu, tikus tanpa sengaja menyentuh suatu tuas dan
menyebabkan keluarnya makanan. Tikus akan melakukan lagi aktivitas yang sama
untuk memperoleh makanan, yakni dengan menekan tuas. Semakin lama semakin
sedikit aktivitas yang dilakukan untuk menyentuh tuas dan memperoleh makanan.
Disini tikus mempelajari hubungan antara tuas dan makanan. Hubungan ini akan
terbentuk apabila makanan tetap merupakan hadiah bagi kegiatan yang dilakukan
tikus (Desmita. 2005:57).

Respon dalam operant conditioning terjadi tanpa didahului oleh stimulus,


melainkan oleh efek yang ditimbulkan oleh reinforcer.Reinforcer adalah stimulus
yang meningkatkan kemungkinan timbulnya sejumlah respon tertentu.
Berdasarkan teori ini dapat disimpulkan bahwa proses belajar tunduk kepada dua
hukum, yaitu:

1) Law of operant conditioning, yaitu jika timbulnya tingkah laku operant diiringi
dengan stimulus reinforcer, maka kekuatan tingkah laku tersebut akan
meningkat. Artinya tingkah laku yang ingin dibiasakan akan meningkat dan
bertahan apabila ada reinforcer.
2) Law of operant extinction, yaitu jika timbulnya tingkah laku operant tidak
diiringi dengan stimulus respon, maka kekuatan tingkah laku tersebut akan
menurun bahkan musnah. Ini bermakna bahwa tingkah laku yang ingin
dibiasakan tidak akan eksis, apabila tidak ada reinforcer. Selain itu, Skinner
juga memberikan konsekuensi tingkah laku yaitu ada yang menyenangkan
(reward) dan tidak menyenangkan (punishment).
Amsari, D. (2018). Implikasi Teori Belajar E.Thorndike (Behavioristik) Dalam Pembelajaran
Matematika. Jurnal Basicedu, 2(2), 52–60. https://doi.org/10.31004/basicedu.v2i2.168

Festiawan, R. (2020). Belajar dan pendekatan pembelajaran. 2020, 1–17.


Muflihin, M. H. (n.d.). APLIKASI DAN IMPLIKASI TEORI BEHAVIORISME DALAM
PEMBELAJARAN (Analisis Strategis Inovasi Pembelajaran).

Nasution, U., & Casmini, C. (2020). Integrasi Pemikiran Imam Al-Ghazali & Ivan Pavlov
Dalam Membentuk Prilaku Peserta Didik. INSANIA : Jurnal Pemikiran Alternatif

Kependidikan, 25(1), 103–113. https://doi.org/10.24090/insania.v25i1.3651

Nurhidayati, T. (2012). Implementasi Teori Belajar Ivan Petrovich Pavlov (Classical


Conditioning) dalam Pendidikan. Jurnal Falasifa, 3(1), 23–43.

Oktiani, I. (2017). Kreativitas Guru dalam Meningkatkan Motivasi Belajar Peserta Didik.
Jurnal Kependidikan, 5(2), 216–232. https://doi.org/10.24090/jk.v5i2.1939

Anda mungkin juga menyukai