PENDAHULUAN
B. Rumusan Masalah
Apa itu teori belajar behaviouristik ?
Apa itu teori belajar humanistic?
Apa itu teori belajar kognitif?
Apa itu teori belajar kontruktivisme ?
C. Tujuan
Untuk mengetahui teori belajar behaviouristik
Untuk mengetahui teori belajar humanistic
Untuk mengetahui teori belajar kognitif
Untuk mengetahui teori belajar kontruktivisme
Proses belajar pada diri siswa akan terjadi jika si anak berada dalam kondisi siap
untuk belajar (berinteraksi dengan lingkungan). Di antara indikator anak dalam kondisi
siap belajar adalah :
1) Anak dapat mengerti dan memahami orang lain (guru, teman, dan orang lain yang
ada di sekolah). Dalam kondisi seperti ini, anak tidak akan merasa asing, atau tidak
punya teman untuk meminta tolong, sebagaimana jika dia berada di rumah dekat
dengan orang tuanya.
2) Anak berani mengutarakan apa yang ada dalam benak pikiran atau keinginannya
(karena ada orang yang akan melindungi dan melayaninya, misalnya mau kencing
ke belakang, tidak punya alat tulis, bukunya ketinggalan, dan sejenisnya)
3) Anak dapat memahami dan mampu melakukan apa yang diperintahkan atau
diajarkan oleh gurunya.
c) Law of Effect
Yaitu jika respon menghasilkan efek yang memuaskan, maka hubungan antara
stimulus dan respon akan semakin kuat. Sebaliknya, jika respon menghasilkan efek yang
tidak memuaskan, maka semakin lemah hubungan antara stimulus dan respon tersebut
(Suryabrata, 1990: 271). Dengan kata lain, subyek akan bersemangat dalam belajar
apabila ia mengetahui atau mendapatkan hasil yang baik.
Thorndike, memandang bahwa yang menjadi dasar terjadinya belajar adalah adanya
asosiasi antara kesan panca indera (sense of impression) dengan dorongan yang muncul
untuk bertindak (impuls to action) (Mukminan, 1997 : 8). Ini artinya, teori behaviorisme
yang lebih dikenal dengan nama contemporary behaviorist ini memandang bahwa belajar
akan terjadi pada diri anak, jika anak mempunyai ketertarikan terhadap masalah yang
dihadapi. Siswa dalam konteks ini dihadapkan pada sikap untuk dapat memilih respons
yang tepat dari berbagai respons yang mungin bisa dilakukan. Teori ini menggambarkan
bahwa tingkah laku siswa dikontrol oleh kemungkinan mendapat hadiah external atau
reinforcement yang ada hubungannya antara respons tingkah laku dengan pengaruh
hadiah.
Bagi guru yang setuju dengan teori behaviorisme ini mengasumsikan bahwa tingkah
laku siswa pada hakikatnya merupakan suatu respons terhadap lingkungan yang lalu dan
sekarang, dan semua tingkah laku yang dipelajari (Sri Esti Wuryani Djiwandono, 1989:
51). Tugas utama guru yakni bagaimana guru mampu menciptakan lingkungan belajar
(lingkungan kelas atau sekolah) pada diri siswa yang dapat memungkinkan terjadinya
penguatan (reinforcement) bagi siswa. Lingkungan yang dimaksud di sini bisa berupa
benda, orang atau situasi tertentu yang semuanya dapat berdampak pada munculnya
tingkah laku anak yang dimaksud. Sebagai ilustrasi dapat digambarkan sebagai berikut :
Mencermati paparan gambar di atas, dapat dipahami bahwa siswa yang memiliki
perangai suka mengganggu (Jawa : usil) terhadap temannya pada setiap waktu (dan teman
tersebut juga bersikap kooperatif mau menanggapi obrolan dia, sehingga lingkungan
bersifat kondusif atau memberikan penguatan), maka kondisi semacam ini menjadikan
siswa tersebut memiliki sikap untuk senantiasa berperilaku sebagai pengacau. Sebaliknya,
pada contoh B, karena lingkungan tidak memberikan penguatan (reinforcement) terhadap
sikap atau tingkah laku siswa (sehingga dia bersikap suka), kondisi semacam ini
menjadikan siswa berperilaku sebagai seorang pendiam. Sedangkan pada contoh C, siswa
yang berada dalam lingkungan berupa ketersediaan sumber belajar (berupa buku, majalah,
komputer dan sejenisnya, sehingga hal ini memberikan penguatan pada diri siswa), maka
hal ini menjadikan siswa paham, mengerti dan terampil dalam menggunakan sumber
belajar tersebut).
Adapun eksperimen yang dilakukan pada seekor anjing yang telah dibedah sedemikian
rupa, sehingga saluran kelenjar ludahnya tersembul melalui pipinya, dimasukan kedalam
kamar gelap. Dikamar itu hanya ada sebuah lubang yang terletak di depan moncongnya,
tempat menyodorkan makanan atau menyorotkan cahaya pada waktu diadakan
percobaan. Pada moncongnya yang telah dibedah itu disambungkan sebuah pipa yang
dihubungkan dengan sebuah tabung diluar kamar. Dengan demikian dapat diketahui keluar
tidaknya air liur dari moncong anjing itu pada waktu diadakan percobaan, alat‐alat yang
digunakan dalam percobaan itu antara lain makanan, lampu senter, dan sebuah bunyi‐
bunyian.(Nasution & Casmini, 2020).
Dari hasil eksperimen-eksperimen yang dilakukan dengan anjing tersebut Pavlov
menyimpulkan Gerakan- Gerakan refleks dari anjing tersebut dapat dipelajari, dan dapat
berubah karena adanya latihan. Dengan demikian dapat dibedakan ada dua macam refleks yaitu
a) Refleks Wajar ( Unconditioned Refleks ),
b) Refleks Bersyarat/yang dipelajari ( Conditioned Refleks ) (Nurhidayati, 2012)
1) Law of operant conditioning, yaitu jika timbulnya tingkah laku operant diiringi
dengan stimulus reinforcer, maka kekuatan tingkah laku tersebut akan
meningkat. Artinya tingkah laku yang ingin dibiasakan akan meningkat dan
bertahan apabila ada reinforcer.
2) Law of operant extinction, yaitu jika timbulnya tingkah laku operant tidak
diiringi dengan stimulus respon, maka kekuatan tingkah laku tersebut akan
menurun bahkan musnah. Ini bermakna bahwa tingkah laku yang ingin
dibiasakan tidak akan eksis, apabila tidak ada reinforcer. Selain itu, Skinner
juga memberikan konsekuensi tingkah laku yaitu ada yang menyenangkan
(reward) dan tidak menyenangkan (punishment).
Amsari, D. (2018). Implikasi Teori Belajar E.Thorndike (Behavioristik) Dalam Pembelajaran
Matematika. Jurnal Basicedu, 2(2), 52–60. https://doi.org/10.31004/basicedu.v2i2.168
Nasution, U., & Casmini, C. (2020). Integrasi Pemikiran Imam Al-Ghazali & Ivan Pavlov
Dalam Membentuk Prilaku Peserta Didik. INSANIA : Jurnal Pemikiran Alternatif
Oktiani, I. (2017). Kreativitas Guru dalam Meningkatkan Motivasi Belajar Peserta Didik.
Jurnal Kependidikan, 5(2), 216–232. https://doi.org/10.24090/jk.v5i2.1939