Anda di halaman 1dari 27

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Arti dan Maksud Metode Pengajaran

Salah satu tugas guru di sekolah adalah memberikan pengajaran kepada

peserta didik atau siswa. Pemberian kecakapan dan pengetahuan kepada murid-

murid merupakan proses pengajaran (proses belajar mengajar), itu dilakukan oleh

guru di sekolah dengan menggunakan cara-cara atau metode tertentu. Sehubungan

dengan hal ini menurut Winarno Surakhmad (B. Suryosubroto, 2002: 148)

menegaskan bahwa ’metode pengajaran adalah cara-cara pelaksanaan daripada

proses pengajaran atau soal bagaimana teknisnya suatu bahan pelajaran diberikan

kepada murid-murid di sekolah’. Guru harus selalu berusaha memilih metode

pengajaran yang setepat-tepatnya dan dipandang lebih efektif daripada metode

yang lainnya.

Jadi jelaslah bahwa metode adalah cara, yang dalam fungsinya merupakan

alat untuk mencapai tujuan. Semakin tepat metodenya, makin efektif pula

pencapaian tujuan sesuai dengan yang diharapkan.

B. Teori Belajar

Belajar bukanlah sekedar mengumpulkan pengetahuan. Belajar adalah

proses mental yang terjadi dalam diri seseorang, sehingga menyebabkan

munculnya perubahan perilaku. Banyak teori yang membahas tentang terjadinya

perubahan tingkah laku. Namun demikian, setiap teori itu berpangkal dari

10
11

pandangan tentang hakikat manusia, yaitu hakikat manusia menurut pandangan

John Locke dan hakikat manusia menurut Leibnitz.

Menurut John Locke (Wina Sanjaya, 2007: 111) menganggap bahwa

’manusia itu merupakan organisme yang pasif’. Dengan teori tabularasanya, John

Locke menganggap bahwa manusia itu seperti kertas putih, hendak ditulisi apa

kertas itu sangat tergantung pada orang yang menulisnya. Dari pandangan yang

mendasar tentang hakikat manusia itu, memunculkan aliran belajar behavioristik-

elementeristik.

Menurut Leibnitz (Wina Sanjaya, 2007: 111) menganggap bahwa ’manusia

adalah organisme yang aktif’. Manusia merupakan sumber daripada semua

kegiatan. Pada hakikatnya manusia bebas untuk berbuat, manusia bebas untuk

membuat suatu pilihan dalam setiap situasi. Titik pusat kebebasan ini adalah

kesadarannya sendiri. Pandangan hakikat manusia menurut pandangan Leibnitz

ini kemudian melahirkan aliran belajar kognitif-holistik. Perbedaan kedua aliran

tersebut dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

Tabel 2.1
Perbedaan Aliran Behavioristik dan Kognitif

Teori Belajar Behavioristik Teori Belajar Kognitif


Mementingkan pengaruh lingkungan Mementingkan apa yang ada dalam
diri
Mementingkan bagian-bagian Mementingkan keseluruhan
Mengutamakan peranan reaksi Mengutamakan fungsi kognitif
Hasil belajar terbentuk secara mekanis Terjadi keseimbangan dalam diri
Dipengaruhi oleh pengalaman masa Tergantung pada kondisi saat ini
lalu
Mementingkan pembentukan Mementingkan terbentuknya struktur
kebiasaan kognitif
Memecahkan masalah dilakukan Memecahkan masalah didasarkan
dengan cara trial and error kepada insight
(Wina Sanjaya, 2007: 112)
12

Menurut aliran behavioristik, belajar pada hakikatnya adalah pembentukan

asosiasi antara kesan yang ditangkap pancaindra dengan kecenderungan untuk

bertindak. Dalam teori ini manusia adalah sebagai produk lingkungan.

Kepribadian manusia dibentuk oleh lingkungan, teori ini selanjutnya dikenal

dengan nama teori belajar S-R karena dikatakan sebagai proses hubungan

langsung antara stimulus yang datang dengan respon yang ditampilkan oleh

individu.

Kerangka berfikir teori ini adalah sebagai berikut :

Hubungan langsung

S R

(koneksi)

Respon tertentu akan muncul dari individu jika diberi stimulus dari luar. S

adalah singkatan dari stimulus dan R adalah singkatan dari respon. Orang akan

bereaksi jika diberikan rangsangan oleh lingkungan luarnya. Demikian juga

stimulus dilakukan secara terus menerus dan dalam waktu yang lama, akan

berakibat pada berubahnya perilaku individu. Syarat terjadinya proses belajar

dalam pola hubungan S-R ini adalah adanya unsur: dorongan (drive), rangsangan

(stimulus), respons, dan penguatan (reinforcement).

Teori - teori belajar yang termasuk ke dalam kelompok behavioristik :

1. Teori Koneksionisme, dengan tokohnya Thordike.

2. Teori Classical conditioning, dengan tokohnya Pavlop.

3. Teori Operant conditioning, yang dikembangkan oleh Skinner.

4. Teori Systematic behavior, yang dikembangkan oleh Skinner.


13

5. Teori Countiguous conditioning, yang dikembangkan oleh Guthrie.

Adapun teori-teori yang termasuk ke dalam kelompok kognitif holistik :

1. Teori Gestalt, dengan tokohnya Kofka, Kohler, dan Wertheimer.

2. Teori Medan (Field Theory), dengan tokohnya Lewin.

3. Teori Organismik, yang dikembangkan oleh Wheeler.

4. Teori Humanistik, dengan tokohnya Maslow dan Rogers.

5. Teori Konstruktivitis, dengan tokohnya Jean Piaget.

Di bawah ini akan dijelaskan teori yang mendasari model pembelajaran

Experiential Learning.

a. Teori Humanistik

Menurut teori ini, tujuan belajar adalah untuk memanusiakan manusia.

Proses belajar dianggap berhasil jika si pelajar telah memahami lingkungannya

dan dirinya sendiri. Siswa dalam proses belajarnya harus berusaha agar lambat

laun ia mampu mencapai aktualisasi diri dengan sebaik-baiknya. Teori belajar ini

berusaha memahami perilaku belajar dari sudut pandang pelakunya, bukan sudut

pandang pengamatnya.

Tujuan utama para pendidik ialah membantu siswa untuk mengembangkan

dirinya, yaitu membantu masing-masing individu untuk mengenal diri mereka

sendiri sebagai manusia yang unik dan membantu dalam mewujudkan potensi-

potensi yang ada dalam diri mereka. Para ahli humanistik melihat adanya dua

bagian pada proses belajar, yaitu:

1. Proses pemerolehan informasi baru.

2. Personalisasi informasi ini pada individu.


14

Tokoh penting dalam teori belajar humanistik secara teoritik antara lain,

adalah Arthur W.Combs, Abraham Maslow dan Carl Rogers.

1. Arthur Combs

Belajar terjadi bila mempunyai arti bagi individu. Guru tidak bisa

memaksakan materi yang tidak disukai atau tidak relevan dengan kehidupan

mereka. Anak tidak bisa matematika atau sejarah bukan karena bodoh tetapi

karena mereka enggan dan terpaksa dan merasa sebenarnya tidak ada alasan

penting mereka harus mempelajarinya. Perilaku buruk itu sesungguhnya tak lain

hanyalah dari ketidakmauan untuk melakukan sesuatu yang tidak akan

memberikan kepuasan baginya.

2. Abraham Maslow

Teori Maslow didasarkan atas asumsi bahwa di dalam diri individu ada dua

potensi yaitu :

1. Suatu usaha yang positif untuk berkembang.

2. Kekuatan untuk melawan atau menolak perkembangan itu.

Pada diri masing-masing, orang mempunyai berbagai perasaan takut seperti

rasa takut untuk berusaha atau berkembang, takut untuk mengambil keputusan,

takut membahayakan apa yang sudah ia miliki dan sebagainya. Tetapi di sisi lain

sesorang juga memiliki dorongan untuk lebih maju ke arah keutuhan, keunikan

diri ke arah berfungsinya semua kemampuan, ke arah kepercayaan diri

menghadapi dunia luar dan pada saat itu juga ia dapat menerima diri sendiri (self).

3. Carl Rogers

Rogers membedakan dua tipe belajar, yaitu :


15

1. Kognitif ( kebermaknaan ).

2. Experiental ( pengalaman atau signifikansi ).

Guru menghubungkan pengetahuan akademik ke dalam pengetahuan

terpakai seperti mempelajari mesin dengan tujuan untuk memperbaiki mobil.

Experiential Learning menunjuk pada pemenuhan kebutuhan dan keinginan

siswa. Kualitas belajar Experiential Learning mencakup : keterlibatan siswa

secara personal, berinisiatif, evaluasi oleh siswa sendiri dan adanya efek yang

membekas pada siswa.

b. Aplikasi Teori Humanistik terhadap Pembelajaran Siswa

Aplikasi teori humanistik lebih menunjuk pada ruh atau spirit selama proses

pembelajaran yang mewarnai metode-metode yang diterapkan. Peran guru dalam

pembelajaran humanistik adalah menjadi fasilitator bagi para siswa sedangkan

guru memberikan motivasi, kesadaran mengenai makna belajar dalam kehidupan

siswa. Guru memfasilitasi pengalaman belajar kepada siswa dan mendampingi

siswa untuk memperoleh tujuan pembelajaran.

Siswa berperan sebagai pelaku utama (student center) yang memaknai

proses pengalaman belajarnya sendiri. Diharapkan siswa memahami potensi diri,

mengembangkan potensi dirinya secara positif dan meminimalkan potensi diri

yang bersifat negatif.

c. Kelebihan Teori Humanistik

Pembelajaran dengan menggunakan teori ini sangat cocok untuk diterapkan

untuk materi-materi pembelajaran yang bersifat pembentukan kepribadian, hati

nurani, perubahan sikap, dan analisis terhadap fenomena sosial. Indikator dari
16

keberhasilan aplikasi ini adalah siswa merasa senang bergairah, berinisiatif dalam

belajar dan terjadi perubahan pola pikir, perilaku dan sikap atas kemauan sendiri.

Siswa diharapkan menjadi manusia yang bebas, berani, tidak terikat oleh pendapat

orang lain dan mengatur pribadinya sendiri secara bertanggung jawab tanpa

mengurangi hak-hak orang lain atau melanggar aturan, norma, disiplin atau etika

yang berlaku.

d. Kelemahan Teori Humanistik

Karena dalam teori ini guru adalah sebagai fasilitator maka kurang cocok

diterapkan yang pola pikirnya kurang aktif atau pasif. Karena bagi siswa yang

kurang aktif dia akan takut atau malu untuk bertanya pada gurunya sehingga dia

akan tertinggal oleh teman-temanya yang aktif dalam kegiatan pembelajaran,

padahal dalam teori ini guru akan memberikan respons bila murid yang diajar juga

aktif dalam menanggapi respons yang diberikan oleh guru. Karena siswa berperan

sebagai pelaku utama (student center) maka, keberhasilan proses belajar lebih

banyak ditentukan oleh siswa itu sendiri, peran guru dalam proses pembentukan

dan pendewasaan kepribadian siswa menjadi berkurang.

C. Model Experiential Learning

a. Pengertian Model Experiential Learning

Model Experiential Learning adalah suatu model proses belajar mengajar

yang mengaktifkan pembelajar untuk membangun pengetahuan dan keterampilan

serta nilai-nilai juga sikap melalui pengalamannya secara langsung. Oleh karena

itu, model ini akan bermakna tatkala pembelajar berperan serta dalam melakukan
17

kegiatan. Setelah itu, mereka memandang kritis kegiatan tersebut. Kemudian,

mereka mendapatkan pemahaman serta menuangkannya dalam bentuk lisan atau

tulisan sesuai dengan tujuan pembelajaran. Dalam hal ini, Experiential Learning

menggunakan pengalaman sebagai katalisator untuk menolong pembelajar

mengembangkan kapasitas dan kemampuannya dalam proses pembelajaran.

Perbedaan mendasar antara Experiential Learning dengan cara tradisional dapat

dilihat pada tabel di bawah ini.

Tabel 2.2
Perbedaan antara Experiential Learning dengan Cara Tradisional
Experiential Learning Tradisional Content-based Learning

Aktif Pasif
Bersandar pada penemuan individu Bersandar pada keahlian mengajar
Partisipatif, berbagai arah Otokratis, satu arah
Dinamis dan belajar dengan Terstruktur dan belajar dengan
melakukan mendengar
Bersifat terbuka Cakupan terbatas dengan sesuatu yang
baku
Mendorong untuk menemukan Terfokus pada tujuan belajar yang
sesuatu khusus
(Sumber : Isah Cahyani, 2002)

Model Experiential Learning tidak hanya memberikan wawasan

pengetahuan konsep-konsep saja. Namun, juga memberikan pengalaman yang

nyata yang akan membangun keterampilan melalui penugasan-penugasan nyata.

Selanjutnya, metode ini akan mengakomodasi dan memberikan proses umpan

balik serta evaluasi antara hasil penerapan dengan apa yang seharusnya dilakukan.

b. Dasar Pemikiran Penggunaan Experiential Learning

Model Experiential Learning didasarkan pada beberapa pendapat (Isah

Cahyani, 2002: 3) sebagai berikut:


18

1. pembelajar dalam belajar akan lebih baik ketika mereka terlibat secara
langsung dalam pengalaman belajar,
2. adanya perbedaan-perbedaan secara individu dalam hal gaya yang disukai,
3. ide-ide dan prinsip-prinsip yang dialami dan ditemukan pembelajar lebih
efektif dalam pemerolehan bahan ajar,
4. komitmen peserta dalam belajar akan lebih baik ketika mereka mengambil
tanggung jawab dalam proses belajar mereka sendiri, dan
5. belajar pada hakekatnya melalui suatu proses.

c. Keuntungan Experiential Learning

Apabila model Experiential Learning dilakukan dengan baik dan benar,

maka ada beberapa keuntungan yang akan didapat (Isah Cahyani, 2002: 3), antara

lain:

1. meningkatkan semangat dan gairah pembelajar,


2. membantu terciptanya suasana belajar yang kondusif,
3. memunculkan kegembiraan dalam proses belajar,
4. mendorong dan mengembangkan proses berpikir kreatif,
5. menolong pembelajar untuk dapat melihat dalam perspektif yang berbeda,
6. memunculkan kesadaran akan kebutuhan untuk berubah, dan
7. memperkuat kesadaran diri.

d. Tahapan Pelaksanaan Experiential Learning

Briefing Activity Review

Briefing adalah tahap proses pengarahan pada individu atau kelompok

sebelum melakukan aktivitas pembelajaran.

Teknik-teknik yang perlu dikuasai antara lain:

1. Setting dan conditioning (pengaturan dan pengkondisian).

Experiential Learning menggunakan prinsip belajar yang menekankan pada

perubahan aspek pemahaman akan hasil belajar tersebut. Salah satu cara untuk

memunculkan pemahaman adalah pengaturan situasi. Dalam hal ini, seorang

pengajar harus menyiapkan segala sesuatu yang akan dilakukan sehingga tercipta
19

suasana yang mendukung. Oleh karena itu, hal utama yang perlu diperhatikan

adalah pemahaman yang mendalam tentang kegiatan yang akan digunakan. Hal-

hal yang dapat dikatakan sebagai pengaturan situasi antara lain:

a. lokasi yang akan digunakan,

b. sarana yang akan dipakai,

c. tata letak,

d. aturan main, dan

e. kata-kata, intonasi, dan tempo yang digunakan saat penjelasan.

2. Directing

Directing adalah proses pengarahan pada pembelajar tentang materi kegiatan

yang akan dilakukan. Hal-hal yang perlu diperhatikan saat melakukan pengarahan

yaitu:

a. tempo berbicara harus disesuaikan dengan kondisi peserta dan juga situasi

yang akan dimunculkan,

b. gunakan alat bantu untuk memudahkan pembelajar memahami tujuan

kegiatan,

c. definisikan kata-kata penting untuk menyamakan persepsi,

d. demonstrasikan kegiatan yang harus dilakukan,

e. jelaskan secara rinci prosedur kegiatan,

f. metode penjelasan dapat dilakukan dengan cara dari umum ke khusus atau

dari khusus ke umum,

g. tanyakan kepada peserta apakah penjelasan dapat diterima/difahami.


20

3. Motivating

Pemberian motivasi dilakukan ketika pembelajar mengalami penurunan

semangat. Untuk mengatasi hal tersebut, pengajar dapat melakukan beberapa cara

berikut ini:

a. jelaskan tujuan yang akan dijalankan,

b. ungkapkan keuntungan yang akan diperoleh apabila melakukan kegiatan

tersebut,

c. tunjukkan hubungan antara yang akan dijalankan dengan aktivitas

sebelumnya,

d. tunjukkan kepercayaan kita bahwa mereka sanggup dan mampu melakukan

kegiatan,

e. tunjukkan antusiasme kita, baik dengan gerakan, lisan, maupun bahasa

tubuh.

f. bila dianggap perlu ungkapkan pengalaman kita,

g. beri tantangan yang realistik sesuai dengan kemampuan mereka.

Activity adalah tahap individu/kelompok melaksanakan kegiatan sesuai

dengan briefing yang telah diberikan.

Teknik-teknik yang perlu dikuasai pengajar yaitu:

1. Observation

Observasi atau pengamatan yang dimaksud di sini adalah tahap memberikan

perhatian yang intensif kepada kelompok untuk mengamati proses kelompok

selama melaksanakan kegiatan. Tahap ini menjadi sangat penting sebagai bahan

untuk review. Hal-hal yang perlu diperhatikan:


21

1) Mengamati segala perilaku individu yang muncul selama kegiatan

berlangsung.

a. Apa yang dilakukan individu dan apa reaksi individu lainnya atas reaksi

tersebut.

b. Sebab-akibat/aksi-reaksi yang positif maupun negatif.

2) Mengamati dinamika kelompok dalam menyelesaikan tugas, masalah, dll.

a. Pola interaksi antar individu.

b. Proses penyelesaian tugas (pemanfaatan waktu, sumber daya, dll.).

3) Mencatat hasil pengamatan tersebut sebagai bahan untuk review.

4) Bila perlu ingatkan perkembangan waktu.

2. Safety Control (Pengamatan Keamanan)

Fasilitator wajib memperhatikan dan menjaga keamanan pembelajar dari

hal-hal yang sekiranya akan membahayakan mereka, baik secara fisik, mental,

emosional, sosial, dan rohani.

Hal-hal yang bisa dilakukan untuk pencegahan antara lain:

a. Perhatikan lingkungan fisik dari lokasi yang akan digunakan.

1. Amankan dari benda-benda yang membahayakan.

b. Perhatikan kondisi perserta dari:

1. kata-katanya,

2. intonasinya,

3. bahasa tubuhnya,

4. raut mukanya,

5. tatapan matanya.
22

3. Intervention (intervensi)

Intervensi adalah kondisi pengajar ikut campur dalam proses kelompok,

yang disebabkan antara lain;

a. individu/kelompok salah mempersepsi kegiatan yang harus dilakukan,

b. individu/kelompok tidak menemukan alternatif pemecahan masalah atas

persoalan yang sedang dihadapi,

c. konflik yang berkepanjangan dalam kelompok,

d. adanya indikasi ancaman yang membahayakan individu/kelompok.

Review adalah tahap pembelajar dibantu pengajar melihat dan memandang

secara kritis (apa, mengapa, dampak yang terjadi). Lalu menarik insight/pelajaran

dari pengalaman tersebut untuk diterapkan dalam kehidupannya. Pada tahap ini

diharapkan terjadi proses Experiential Learning pada individu maupun kelompok.

Terdapat beberapa fase dan teknik yang harus dilakukan oleh seorang

fasilitator/guru dalam menggali makna pembelajar dari suatu pengalaman. Empat

fase dan teknik menggunakan model Experiential Learning, menurut David Kolb

dan Roger Greenway (Teno Eko S, 2008) adalah sebagai berikut:

1. Concrete experience/specific experience (facts: what happened?)

Pengalaman spesifik yang dialami individu secara langsung maupun tidak

langsung, berupa kejadian atau simulasi.

2. Reflective observation/review (feeling: what did I experience?)

Melihat kembali pengalaman yang telah dialami untuk meninjau hal-hal

atau proses yang menyebabkan keberhasilan atau kegagalan.


23

3. Abstract conceptualization/evaluation (finding: why did this happened?)

Mengevaluasi dari hasil pengalaman, apakah berhasil atau gagal, faktor-

faktor apa yang berpengaruh terhadap keberhasilan atau kegagalan.

4. Active experimentation/planning of change (future: what will I do next?)

Merencanakan perubahan berdasarkan informasi/pelajaran yang didapatkan

dari tahapan sebelumnya. Di bawah ini tahapan review dalam pembelajaran

Experiential Learning :

Concrete Experience
Facts

Active Reflective
Experimentation Observation
futures feelings

Abstract
Conceptualization
findings

Gambar 2.1
Experiential Learning Cycle
(http:// www. eltaps.com)

D. Prestasi Belajar

Hasil belajar atau achievement merupakan realisasi atau pemekaran dari

kecakapan-kecakapan potensial atau kapasitas yang dimiliki seseorang.

Penguasaan hasil belajar oleh seseorang dilihat dari perilakunya, baik perilaku
24

dalam bentuk pengusaan pengetahuan, keterampilan berpikir maupun

keterampilan motorik. Hampir sebagian terbesar dari kegiatan atau perilaku yang

diperlihatkan seseorang merupakan hasil belajar. Hasil belajar dan prestasi belajar

merupakan dua hal yang erat kaitannya. Menurut kamus besar bahasa Indonesia

(1993:700) bahwa “Prestasi belajar adalah sebagai tingkat penguasaan

keterampilan yang dikembangkan oleh mata pelajaran, lazimnya ditunjukan oleh

nilai tes atau kerangka nilai yang diberikan”.

Menurut Abin Syamsudin Makmun (1995 : 7) menyatakan bahwa :

Prestasi belajar merupakan indikator dari perubahan dan perkembangan


perilaku dalam term-term pengetahuan (penalaran), sikap (penghayatan), dan
keterampilan (pengalaman). Perubahan dalam perkembangan ini mempunyai
arah yang positif atau negatif, dan kualifikasinya pun akan terbagi-bagi, tinggi,
sedang, rendah atau berhasil, tidak berhasil dan lulus atau tidak lulus. Kriteria
tersebut akan tergantung pada diri siswa itu sendiri.

Dari pendapat-pendapat di atas penulis menarik kesimpulan bahwa prestasi

belajar merupakan hasil belajar yang didapat setelah proses belajar mengajar

berlangsung, prestasi belajar itu diperoleh atau diukur dengan tes hasil belajar.

Hasil belajar merupakan perilaku dan pribadi siswa, tercermin dalam ciri-ciri

kemampuan yang dirumuskan dalam indikator pembelajaran.

E. Pembelajaran

a. Pengertian Pembelajaran

Menurut Oemar Hamalik (Hikmat Nugraha, 2007: 12) mengemukakan

bahwa ‘Pembelajaran adalah suatu kombinasi yang tersusun meliputi unsur-unsur

manusiawi, material, fasilitas, perlengkapan, dan prosedur yang saling

mempengaruhi mencapai tujuan mencapai tujuan pembelajaran’. Manusia terlibat


25

dalam sistem pengajaran terdiri dari siswa, guru, dan tenaga lainnya, misalnya

tenaga laboratorium. Material, meliputi buku-buku, papan tulis, dan kapur,

fotografi, slide dan film, audio dan vidio tape. Fasilitas dan perlengkapan terdiri

dari ruang kelas, perlengkapan audio visual, juga komputer. Prosedur meliputi

jadwal dan metode penyampaian informasi, praktik, belajar, ujian dan sebagainya.

Rumusan tersebut tidak terbatas dalam ruangan saja. Sistem pembelajaran

dapat dilaksanakan dengan cara membaca buku, belajar di kelas atau di sekolah,

karena diwarnai oleh organisasi dan interaksi antara berbagai komponen yang

saling berkaitan, untuk membelajarkan peserta didik.

b. Ciri-ciri Pembelajaran

Ada tiga ciri khas yang terkandung dalam sistem pembelajaran, Oemar

Hamalik (Hikmat Nugraha, 2007: 12) mengemukakan :

1) Rencana, ialah penataan keterangan, material, dan prosedur, yang merupakan


unsur-unsur sistem pembelajaran, dalam suatu rencana khusus.
2) Kesalingtergantungan (interdependence), antara unsur-unsur sistem
pembelajaran yang serasi dalam suatu keseluruhan. Tiap unsur bersifat
esensial, dan masing-masing memberikan sumbangannya kepada sistem
pembelajaran.
3) Tujuan, sistem pembelajaran mempunyai tujuan tertentu yang hendak dicapai.
Ciri ini menjadi dasar perbedaan antara sistem yang dibuat oleh manusia,
seperti: sistem transportasi, sistem komunikasi, sistem pemerintahan,
semuanya memiliki tujuan. Sistem komunikasi, sistem pemerintahan,
semuanya memiliki tujuan. Sistem alami (natural) seperti: sistem ekologi,
sistem kehidupan hewan, memiliki unsur-unsur yang memiliki ketergantungan
satu sama lain, disusun sesuai dengan rencana tertentu tetapi tidak mempunyai
tujuan tertentu. Tujuan sistem menuntut proses merancang sistem. tujuan
sistem pembelajaran agar siswa belajar. Tugas seorang perancang sistem ialah
mengorganisasi tenaga, material, dan prosedur agar siswa belajar secara
efisien dan efektif.
26

F. Keaktifan Belajar

Pengertian keaktifan yang dikemukakan oleh Sardiman A.M (2001: 94)

adalah :

Suatu tindakan atau perbuatan dalam suatu kegiatan untuk mencapai tujuan
tertentu. Keaktifan juga merupakan proses berfikir dan berbuat dalam suatu
kegiatan untuk mengubah tingkah laku, sehingga diperoleh pengalaman
belajar.

Secara alami siswa mempunyai suatu kekuatan untuk memotivasi dirinya

dalam upaya melakukan kegiatan, karena anak merupakan suatu organisme yang

mampu berkembang dari dalam. Peserta didik harus dikondisikan untuk

melakukan suatu aktifitas belajar, dalam kegiatan belajar mengajar, kegiatan

berfikir dan berbuat merupakan suatu rangkaian yang tidak dapat dipisahkan.

Proses berpikir dan berbuat jika tidak dilakukan oleh anak sebagai siswa,

maka hal ini merupakan suatu faktor penghambat atas kemajuan pribadi yang

menjadi tinjauan dalam proses pendidikan. Hal ini memberikan suatu penekanan

bahwa seharusnya yang lebih banyak melakukan aktifitas anak itu sendiri,

sedangkan guru sebagai pendidik hanya membimbing dan merencanakan kegiatan

yang akan dilakukan oleh siswanya.

Pengalaman belajar merupakan tujuan yang ingin dicapai siswa, hal tersebut

dapat dicapai maksimal jika siswa benar-benar mengalami suatu proses belajar

mengajar. Mereka akan terkondisi untuk memecahkan setiap persoalan yang

dihadapinya sesuai dengan kemauan dan kemampuan masing-masing. Sedangkan

proses belajar dapat dicapai bila siswa berkemauan dan berkemampuan

melakukan aktivitas.
27

a. Prinsip-prinsip Keaktifan

Untuk melakukan suatu kegiatan, siswa akan mempertimbangkan berbagai

kebutuhan yang berkaitan dengan kegiatan tersebut. Setiap siswa mempunyai

keinginan untuk melakukan kegiatan yang akan menunjang proses belajarnya.

Keaktifan siswa dapat dipandag dari segi kejiwaan, karena dari segi pandang

kejiwaan akan diketahui prinsip keaktifan seorang subyek belajar, bila dipandang

dari ilmu jiwa, maka yang akan menjadi perhatian adalah komponen manusia

yang akan melakukan aktivitas dalam kegiatan belajar, dalam hal ini siswa dan

guru. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Sardiman A.M (2001:96) bahwa

‘Dengan melihat unsur kejiwaan seorang subjek belajar/subjek didik, dapatlah

diketahui sebagaimana prinsip aktivitas yang terjadi dalam belajar itu’.

Prinsip keaktifan siswa dalam kegiatan belajar dapat dilihat dari dua konsep

ilmu jiwa, yaitu ilmu jiwa lama dan ilmu modern. Pandangan ilmu jiwa lama,

melihat bahwa peranan guru diklat sebagai pendidik mempunyai hak sepenuhnya

untuk membentuk siswa sebagai peserta didik menurut cara dan materi yang

ditentukannya. Siswa dituntut untuk menerima segala yang diberikan oleh guru

diklat yang dianggap sebagai panutan ideal dan mutlak kebenarannya. Keaktifan

dalam kegiatan siswa didominasi oleh guru, sedangkan siswa bersifat pasif.

Mereka hanya sebatas mendengarkan, mencatat, menjawab pertanyaan yang

diajukan guru.

Menurut Oemar Hamalik (1999: 90) menyatakan bahwa “pendidikan

modern lebih menitik beratkan pada aktivitas sejati, dimana siswa belajar sambil

bekerja”. Dampak dari bekerja, siswa memperoleh pengetahuan, pemahaman, dan


28

keterampilan serta perilaku lainnya, termasuk sikap dan nilai. Sehubungan dengan

hal tersebut, sistem pembelajaran dewasa ini sangat menekankan pada

pendayagunaan asas keaktifan (aktivitas) dalam proses belajar dan pembelajaran

untuk mencapai tujuan yang ditentukan.

b. Jenis–jenis Keaktifan

Sekolah adalah suatu pusat kegiatan belajar, yang didalamnya terjadi proses

dari berbagai jenis kegiatan belajar. Banyak jenis keaktifan yang dapat dilakukan

siswa sebagai proses belajar.

Jenis-jenis keaktifan belajar tersebut menurut Paul D. Dierich (Oemar

Hamalik, 1999: 90) dapat digolongkan menjadi :

1) Kegiatan-kegiatan visual, misalnya: membaca, memperhatikan gambar,


demonstrasi, dan percobaan.
2) Kegiatan-kegiatan lisan, seperti: mengemukakan suatu fakta atau prinsip,
merumuskan, bertanya, memberi saran, mengeluarkan pendapat, wawancara,
diskusi, dan interupsi.
3) Kegiatan-kegiatan mendengarkan: mendengarkan penyajian, percakapan,
diskusi, musik, dan pidato.
4) Kegiatan-kegiatan menulis: menulis cerita, menulis laporan, memeriksa
karangan, laporan, angket,membuat sketsa.
5) Kegiatan-kegiatan menggambar, misalnya menggambar, membuat grafik,
peta, dan diagram.
6) Kegiatan-kegiatan metrik: melakukan percobaan, memilih alat,
melaksanakan pameran, membuat model, menari, berkebun.
7) Kegiatan-kegiatan mental: merenungkan, mengingat, memecahkan masalah,
menganalisa, melihat hubungan, dan mengambil keputusan.
8) Kegiatan-kegiatan emosional: minat, membedakan, berani, tenang dan
sebagainya.

G. Kompetensi dan Tujuan Pembelajaran

Kurikulum yang berorientasi pada pencapaian kompetensi, tujuan yang

harus dicapai oleh siswa dirumuskan dalam bentuk kompetensi. Dalam konteks

pengembangan kurikulum, kompetensi adalah perpaduan dari pengetahuan,


29

keterampilan, nilai, dan sikap yang direfleksikan dalam kebiasaan berpikir dan

bertindak. Seseorang yang telah memiliki kompetensi dalam bidang tertentu

bukan hanya mengetahui, tetapi juga dapat memahami dan menghayati bidang

tersebut yang tercermin dalam pola perilaku sehari-hari.

Di dalam kurikulum, kompetensi sebagai tujuan pembelajaran itu

dideskripsikan secara eksplisit, sehingga dijadikan standar dalam pencapaian

tujuan kurikulum. Baik guru maupun siswa perlu memahami kompetensi yang

harus dicapai dalam proses pendidikan dan pembelajaran. Pemahaman ini

diperlukan untuk memudahkan dalam merancang strategi dan indikator

keberhasilan.

Kompetensi sebagai tujuan, di dalamnya terdapat beberapa aspek (Wina

Sanjaya, 2007: 68), yaitu :

1. Pengetahuan (knowledge), yaitu kemampuan dalam bidang kognitif.


2. Pemahaman (understanding), yaitu kedalaman pengetahuan yang dimiliki
setiap individu.
3. Kemahiran (skill), yaitu kemampuan individu untuk melaksanakan secara
praktik tentang tugas atau pekerjaan yang diberikan kepadanya.
4. Nilai (value), yaitu norma-norma yang dianggap baik oleh setiap individu.
Nilai inilah yang selanjutnya akan menuntun setiap individu dalam
melaksanakan tugas-tugasnya.
5. Sikap (attitude), yaitu pandangan individu terhadap sesuatu. Sikap erat
kaitannya dengan nilai yang dimiliki individu, artinya mengapa individu
bersikap demikian?Itu disebabkan nilai yang dimilikinya.
6. Minat (interest), yaitu kecenderungan individu untuk melakukan suatu
perbuatan. Minat adalah aspek yang menentukan motivasi seseorang
melakukan aktivitas tertentu.

Sesuai dengan aspek-aspek di atas, maka tampak bahwa kompetensi sebagai

tujuan dalam kurikulum itu bersifat kompleks. Artinya, kurikulum berdasarkan

kompetensi bertujuan untuk mengembangkan pengetahuan, pemahaman,

kecakapan, nilai, sikap, dan minat siswa agar dapat melakukan sesuatu dalam
30

bentuk kemahiran yang disertai rasa tanggung jawab. Dengan demikian, tujuan

yang ingin dicapai dalam kompetensi bukan hanya sekedar pemahaman akan

materi pelajaran, akan tetapi bagaimana pemahaman dan penguasaan materi itu

dapat mempengaruhi cara bertindak dan berperilaku dalam kehidupan sehari-hari.

Klasifikasi kompetensi mencakup :

1. Kompetensi lulusan, yaitu kemampuan minimal yang harus dicapai oleh

peserta didik setelah tamat mengikuti pendidikan pada jenjang atau satuan

pendidikan tertentu.

2. Kompetensi standar, yaitu kemampuan minimal yang harus dicapai setelah

anak didik menyelesaikan suatu mata pelajaran tertentu setiap jenjang

pendidikan yang diikutinya.

3. Kompetensi dasar, yaitu kemampuan minimal yang harus dicapai peserta

didik dalam penguasaan konsep atau materi pelajaran yang diberikan dalam

kelas pada jenjang pendidikan tertentu.

H. Macam-macam Metode Pembelajaran

a. Metode Ceramah

Metode ceramah dapat diartikan sebagai cara menyajikan pelajaran melalui

penuturan secara lisan atau penjelasan langsung kepada sekelompok siswa.

Metode ceramah merupakan metode yang sampai saat ini sering digunakan oleh

setiap guru atau instruktur. Hal ini selain disebabkan oleh beberapa pertimbangan

tertentu, juga adanya faktor kebiasaan baik dari guru maupun dari siswa. Guru

biasanya belum merasa puas manakala dalam proses pengelolaan pembelajaran


31

tidak melakukan ceramah. Demikian juga dengan siswa, mereka akan belajar

manakala ada guru yang memberikan materi pelajaran melalui ceramah, sehingga

ada guru yang ceramah berarti ada proses belajar dan tidak ada guru berarti tidak

ada proses belajar.

1) Kelebihan metode ceramah:

• Guru mudah menguasai kelas


• Mudah mengorganisasikan tempat duduk/ kelas
• Dapat diikuti oleh jumlah siswa yang besar
• Mudah mempersiapkan dan melaksanakannya
• Guru mudah menerangkan pelajaran dengan baik
2) Kekurangan metode ceramah:

• Mudah menjadi verbalisme apabila tidak disertai peragaan (pengertian kata-


kata)
• Bila selalu digunakan dan terlalu lama, membosankan.
• Sangat sulit untuk mengetahui apakah seluruh siswa sudah mengerti tentang
materi yang dijelaskan oleh guru.
• Menyebabkan siswa menjadi pasif.
• Materi yang dapat dikuasai siswa sebagai hasil dari ceramah akan terbatas
pada apa yang dikuasai guru.

b. Metode Demonstrasi

Metode demonstrasi adalah metode penyajian pelajaran dengan

memperagakan dan mempertunjukkan kepada siswa tentang suatu proses, situasi

atau benda tertentu, baik sebenarnya atau hanya sekedar tiruan. Sebagai metode

penyajian, demonstrasi tidak terlepas dari penjelasan lisan oleh guru. Walaupun

dalam proses demonstrasi peran siswa hanya sekedar memperhatikan, akan tetapi

demonstrasi dapat menyajikan bahan pelajaran lebih konkret.


32

1) Kelebihan metode demonstrasi:

• Terjadinya verbalisme akan dapat dihindari, sebab siswa disuruh langsung


memperhatikan bahan pelajaran yang dijelaskan.
• Proses pembelajaran akan lebih menarik, sebab siswa tak hanya mendengar,
tetapi juga melihat peristiwa yang terjadi.
• Dengan cara mengamati secara langsung siswa akan memiliki kesempatan
untuk membandingkan antara teori dan kenyataan, dengan demikian siswa
akan lebih meyakini kebenaran materi pembelajaran.
2) Kelemahan metode demonstrasi:

• Memerlukan persiapan yang lebih matang, sebab tanpa persiapan yang


memadai demonstrasi bisa gagal sehingga dapat menyebabkan metode ini
tidak efektif lagi.
• Demonstrai memerlukan peralatan, bahan-bahan, dan tempat yang memadai
yang berarti penggunaan metode ini memerlukan pembiayaan yang lebih
mahal dibandingkan dengan ceramah.
• Memerlukan kemampuan dan keterampilan guru yang khusus, sehingga
guru dituntut untuk bekerja lebih profesional.

c. Metode Diskusi

Metode diskusi adalah metode pembelajaran yang menghadapkan siswa

pada suatu permasalahan. Tujuan utama metode ini adalah untuk memecahkan

suatu permasalahan, menjawab pertanyaan, menambah dan memahami

pengetahuan siswa, serta untuk membuat suatu keputusan (Killen, 1998; dikutip

Wina sanjaya, 2007:152). Karena itu, diskusi bukanlah debat yang bersifat

mengadu argumentasi. Diskusi lebih bersifat bertukar pengalaman untuk

menentukan keputusan tertentu secara bersama-sama. Selama ini banyak guru

yang merasa keberatan untuk menggunakan metode diskusi dalam prose


33

pengajarannya. Karena itu, biasanya timbul dari asumsi: pertama, diskusi

merupakan metode yang sulit diprediksi hasilnya oleh karena interaksi antar siswa

muncul secara spontan, sehingga hasil dan arah diskusi sulit untuk ditentukan;

kedua, diskusi biasanya memerlukan waktu yang cukup panjang, padahal waktu

pembelajaran di dalam kelas sangat terbatas, sehingga keterbatasan itu tidak

mungkin dapat menghasilkan sesuatu secara tuntas. Sebenarnya hal ini tidak perlu

dirisaukan oleh guru. Sebab, dengan perencanaan dan persiapan yang matang

kegiatan semacam itu bisa dihindari.

Dilihat dari pengorganisasian materi pembelajaran, ada perbedaan yang

sangat prinsip dibandingkan dengan metode sebelumnya, yaitu ceramah dan

demonstrasi. Kalau metode ceramah atau demonstrasi materi pelajaran sudah

diorganisir sedemikian rupa sehingga guru tinggal menyampaikannya, maka tidak

demikian halnya dengan metode diskusi. Pada metode ini bahan atau materi

pembelajaran tidak diorganisir sebelumnya serta tidak disajikan secara langsung

kepada siswa, materi pembelajaran ditemukan dan diorganisir oleh siswa itu

sendiri, oleh karena tujuan utama metode ini bukan hanya sekedar hasil belajar,

tetapi yang lebih penting adalah proses belajar.

Secara umum ada dua jenis diskusi yang biasa dilakukan dalam proses

pembelajaran. Pertama, diskusi kelompok. Diskusi ini dinamakan juga diskusi

kelas. Pada diskusi ini permasalah yang disajikan oleh guru dipecahkan oleh kelas

secara keseluruhan, yang mengatur jalannya diskusi adalah guru itu sendiri.

Kedua, diskusi kelompok kecil. Pada diskusi ini siswa dibagi dalam

beberapa kelompok. Setiap kelompok terdiri dari 3-7 orang. Proses pelaksanaan
34

diskusi ini dimulai dari guru menyajikan masalah dengan beberapa submasalah.

Setiap kelompok memecahkan submasalah yang disampaikan guru. Proses diskusi

diakhiri dengan laporan setiap kelompok.

Jenis apapun diskusi yang digunakan, menurut Bridges (1979), “dalam


proses pelaksanaannya, guru harus mengatur kondisi agar: (1) setiap siswa
dapat bicara mengeluarkan gagasan dan pendapatnya; (2) setiap siswa harus
saling mendengar pendapat orang lain; (3) setiap siswa harus saling
memberikan respons; (4) setiap siswa harus dapat mengumpulkan atau
mencatat ide-ide yang dianggap penting; dan (5) melalui diskusi setiap siswa
harus dapat mengembangkan pengetahuannya serta memahami isu-isu yang
dibicarakan dalam diskusi”. (Wina Sanjaya, 2007:154)

Kondisi tersebut ditekankan oleh Bridges, “ sebab diskusi merupakan


metode pembelajaran yang dapat digunakan untuk mengimplementasikan
strategi pembelajaran berbasis aktivitas siswa. Strategi ini diharapkan bisa
mendorong siswa untuk dapat aktif dalam proses belajar serta dapat
meningkatkan kemampuan berpikir ilmiah dan dapat mengembangkan
pengetahuan siswa”. (Wina Sanjaya, 2007:154)

1) Kelebihan metode diskusi :

• Dapat merangsang siswa untuk lebih kreatif, khususnya dalam memberikan


gagasan dan ide-ide.
• Dapat melatih untuk membiasakan diri bertukar pikiran dalam mengatasi
setiap permasalahan.
• Dapat melatih siswa untuk dapat mengemukakan pendapat atau gagasan
secara verbal. Disamping itu, diskusi juga bisa melatih siswa untuk
menghargai pendapat orang lain.
2) Kelemahan metode diskusi

• Sering terjadi pembicaraan dalam diskusi dikuasai oleh 2 atau 3 orang siswa
yang memiliki keterampilan berbicara.
• Kadang-kadang pembahasan dalam diskusi meluas, sehingga kesimpulan
menjadi kabur.
• Memerlukan waktu yang cukup panjang, yang kadang-kadang tidak sesuai
dengan yang direncanakan.
35

• Dalam diskusi sering terjadi perbedaan pendapat yang bersifat emosional


yang tidak terkontrol. Akhirnya, kadang-kadang ada pihak yang merasa
tersinggung, sehingga dapat mengganggu iklim pembelajaran.

d. Metode Simulasi

Simulasi beraal dari kata simulate yang artinya berpura-pura atau berbuat

seakan-akan. Sebagai metode mengajar, simulasi dapat diartikan sebgaai cara

penyajian pengalaman belajar dengan menggunakan situasi tiruan untuk

memahami tentang konsep, prinsip, atau keterampilan tertentu. Simulasi dapat

digunakan sebagai metode mengajar dengan asumsi tidak semua proses

pembelajaran dapat dilakukan secara langsung pada objek yang sebenarnya.

Belajar bagaimana cara mengoperasikan mesin yang mempunyai karkteristik

khusus misalnya, siswa sebelum menggunakan mesin yang sebenarnya akan lebih

bagus melalui simulasi terlebih dahulu. Demikian juga untuk mengembangkan

pemahaman dan penghayatan terhadap suatu peristiwa, penggunaan simulasi akan

sangat bermanfaat.

1) Kelebihan metode simulasi:

• Dapat dijadikan sebagai bekal bagi siswa dalam menghadapi situasi yang
sebenarnya kelak, baik dalam kehidupan keluarga, masyarakat, maupun
menghadapi dunia kerja.
• Dapat mengembangkan kreativitas siswa, karena melalui simulasi siswa
diberi kesempatan untuk memainkan peranan sesuai dengan topik yang
disimulasikan.
• Dapat memupuk keberanian dan percaya diri siswa.
• Memperkaya pengetahuan, sikap, dan keterampilan yang diperlukan dalam
menghadapi berbagai situasi sosial yang problematis.
36

• Dapat meningkatkan gairah siswa dalam proses pembelajaran.


2) Kelemahan metode simulasi:

• Pengalaman yang diperoleh melalui simulasi tidak selalu tepat dan sesuai

dengan kenyataan dilapangan.

• Pengelolaan yang kurang baik, sering simulasi dijadikan sebagai alat

hiburan, sehingga tujuan pembelajaran menjadi terabaikan.

• Faktor psikologis seperti rasa malu dan takut sering mempengaruhi sewa
dalam melakukan simulasi.

Anda mungkin juga menyukai