Anda di halaman 1dari 18

A.

Teori tentang Karakteristik Siswa


Dalam taksonomi variabel pembelajaran oleh Reigeluth, karakteristis siswa menjadi
salah satu bagian dari variabel kondisi pembelajaran. Variabel ini penting untuk diperhatikan
mengingat sifatnya yang tidak bisa dimanipulasi dalam proses pembelajaran. Karakteristik
masing-masing siswa berbeda dan faktor yang mempengaruhinya bisa beragam. Seorang
guru perlu memahami bagaimana karakteristik siswanya agar bisa menentukan strategi dalam
pembelajaran dengan harapan bahwa hasil pembelajaran bisa maksimal.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), karakteristik berarti mempunyai
sifat khas sesuai dengan perwatakan tertentu. Meriyati (2015) menyatakan bahwa
karakteristik siswa merupakan cerminan pola kelakuan dan kemampuan hasil dari
pembawaan dan lingkungan sosial sehingga menentukan pola dari kegiatan aktivitas.
Pendapat lain mengatakan bahwa karakteristik siswa adalah bagian-bagian pengalaman siswa
yang berpengaruh pada keefektifan proses belajar (Seels dan Richey, 1994, dalam
Budiningsih 2017).
Smaldino, dkk (2019) mengelompokkan karakteristik yang bersifat umum sebagai
salah satu faktor kunci dalam analisis pemelajar selain kompetensi dasar spesifik dan gaya
belajar. Karakteristik umum yang disebutkan mencakup usia, gender, kelas, dan faktor
budaya atau sosioekonomi. Kompetensi dasar spesifik merujuk pada pengetahuan dan
keterampilan yang telah atau belum dimiliki oleh pemelajar. Sementara gaya belajar meliputi
kecerdasan jamak, preferensi dan kekuatan perseptual, kebiasaan memproses informasi,
motivasi, dan faktor-faktor fisiologis.
Pembahasan terkait teori-teori yang berkaitan dengan karakteristik siswa dalam
makalah ini meliputi kecerdasan, kemampuan awal, gaya kognitif, gaya belajar, motivasi,
perkembangan emosi, perkembangan sosial, budaya, moral, etnik dan kultural, status sosial,
dan minat.
1. Teori kecerdasan menurut H. Gardner.

Budiningsih (2017) menjelaskan penelitian Gardner mengidentifikasi ada 8 macam


kecerdasan manusia dalam memahami dunia nyata, kemudian diikuti oleh tokoh-tokoh lain
dengan menambahkan dua kecerdasan lagi, sehingga menjadi 10 macam kecerdasan. Berikut
dijelaskan secara singkat kesepuluh kecerdasan tersebut, yaitu:
1. Kecerdasan verbal/bahasa (verbal/linguistic intelligence). Kecerdasan ini bertanggung
jawab terhadap semua hal tentang bahasa. Puisi, humor, cerita, tata bahasa, berpikir
simbolik, adalah ekspresi dari kecerdasan ini. Kecerdasan ini dapat diperkuat dengan
kegiatan-kegiatan berbahasa baik lisan maupun tertulis.
2. Kecerdasan logika/matematik (logical/mathematical intelligence). Kecerdasan
logika/matematik sering disebut berpikir ilmiah, termasuk berpikir deduktif dan induktif
Kecerdasan ini diaktifkan bila seseorang menghadapi masalah atau tantangan baru dan
berusaha menyelesaikannya.
3. Kecerdasan visual/ruang (visual/ spatial intelligence). Kecerdasan visual berkaitan
dengan misalnya senirupa, navigasi, kemampuan pandang ruang, arsitektur, permainan
catur. Kuncinya adalah kemampuan indera pandang dan berimajinasi. Cerita khayal pada
masa kecil seperti menghayal, mimpi terbang, mempunyai kekuatan ajaib, sebagai
pahlawan, sangat erat dengan perkembangan kecerdasan ini.
4. Kecerdasan tubuh/ gerak tubuh (body/kinesthetic intelligence). Kecerdasan tubuh
mengendalikan kegiatan tubuh untuk menyatakan perasaan. Menari, permainan olah-
raga, badut, pantomim, mengetik, dan lain-lain, merupakan bentuk-bentuk ekspresi dari
kecerdasan ini. Tubuh manusia mengetahui benar hal-hal yang tidak diketahui oleh
pikiran. Gerakan tubuh dapat untuk memahami dan berkomunikasi dan tidak jarang dapat
menyentuh sisijiwa manusia yang paling dalam.
5. Kecerdasan musikal/ritmik (musical/rhytmic intelligence). Kecerdasan ritmik melibatkan
kemampuan manusia untuk mengenali dan menggunakan ritme dan nada, serta kepekaan
terhadap bunyi-bunyian di lingkungan sekitar suara manusia. Dari semua kecerdasan di
atas, perubahan kesadaran manusia banyak disebabkan oleh musik dan ritme. Musik
dapat menenangkan pikiran, memacu kembali aktivitas, memperkuat semangat nasional
dan dapat meningkatkan keimanan serta rasa syukur.
6. Kecerdasan interpersonal (interpersonal intelligence). Kecerdasan interpersonal
berhubungan dengan kemampuan bekerja sama dan berkomunikasi baik verbal maupun
nonverbal dengan orang lain. Mampu mengenali perbedaan perasaan, temperamen,
maupun motivasi orang lain. Pada tingkat yang lebih tinggi, kecerdasan ini dapat
membaca konteks kehidupan orang lain, kecenderungannya, dan kemungkinan keputusan
yang akan diambil. Kecerdasan ini tampak pada para profesional seperti konselor, guru,
teraphis, politisi, pemuka agama.
7. Kecerdasan intrapersonal (intrapersonal intelligence). Kecerdasan intrapersonal
mengendalikan pemahaman terhadap aspek internal diri seperti, perasaan, proses berpikir,
refleksi diri, intuisi, dan spiritual. Identitas diri dan kemampuan mentransendenkan diri
merupakan bagian/bidang kecerdasan ini. Menurut H. Gardner, kecerdasan ini merupakan
jenis yang paling individual sifatnya, dan untuk menggunakannya diperlukan semua
kecerdasan yang lain.
8. Kecerdasan naturalis (naturalistic intelligence). Kecerdasan naturalis banyak dimiliki
oleh para pakar lingkungan. Seorang penduduk di daerah pedalaman dapat mengenali
tanda-tanda akan terjadi perubahan lingkungan, misalnya dengan melihat gejala-gejala
alam. Dengan melihat rumput/daun yang patah, ia dapat memastikan siapa yang baru saja
melintas, dan sebagainya.
9. Kecerdasan spiritual (spirituallist intelligence). Kecerdasan spiritual banyak dimiliki oleh
para rohaniwan. Kecerdasan ini berkaitan dengan bagaimana manusia berhubungan
dengan Tuhannya. Kecerdasan ini dapat dikembangkan pada setiap orang melalui
pendidikan agama.
10. Kecerdasan eksistensial (exsistensialist intelligence). Kecerdasan eksistensial banyak
dijumpai pada para filusuf. Mereka mampu menyadari dan menghayati dengan benar
keberadaan dirinya di dunia ini dan apa tujuan hidupnya. Melalui kontemplasi dan
refleksi diri kecerdasan ini dapat berkembang.

2. Kemampuan awal siswa


Reigeluth (1983), Degeng (2013), dalam Budiningsih (2017) menjelaskan bahwa ada tujuh
jenis kepampuan awal yang dapat digunakan untuk memudahkan perolehan,
pengorganisasian, dan pengungkapan kembali pengetahuan baru, yaitu:
1. Pengetahuan bermakna tak terorganisasi (arbitrarily meaningful knowledge) sebagai tern
pat mengkaitkan pengetahuan hafalan (yang tak bermakna) untuk memudahkan retensi.
2. Pengetahuan analogis (analogic knowledge) yang mengkaitkan pengetahuan baru dengan
pengetahuan lain yang amat serupa, yang berada di luar isi yang sedang dibicarakan.
3. Pengetahuan tingkatyang lebih tinggi (superordinate knowledge), yang dapat berfungsi
sebagai kerangka cantolan bagi pengetahuan baru.
4. Pengetahuan setingkat (coordinate knowledge), yang dapat berfungsi sebagai
pengetahuan asosiatif dan/atau komparatif.
5. Pengetahuan tingkat yang lebih rendah (subordinate knowledge), berfungsi untuk
mengkonkritkan pengetahuan baru atau untuk memberikan contoh-contoh.
6. Pengetahuan pengalaman (experiential knowledge), memiliki fungsi sama dengan
pengetahuan tingkat yang lebih rendah yaitu untuk mengkonkritkan dan menyediakan
contoh-contoh bagi pengetahuann baru.
7. Strategi kognitif (cognitive strategy), yang menyediakan caracara mengolah pengetahuan
baru mulai dari penyandian, penyimpanan sampai pada pengungkapan kembali
pengetahuan yang telah tersimpan dalam ingatan.

Jika ditinjau dari tingkat penguasaannya, kernarnpuan awal dapat diklasifikasikan rnenjadi
tiga yaitu; 1) kernarnpuan awal siap pakai, 2) kernarnpuan awal siap ulang dan 3)
kernarnpuan awal pengenalan. Kernarnpuan awal siap pakai rnengacu kepada kernarnpuan
dan pengetahuan-pengetahuan awal dari ketujuh kernarnpuan awal di atas yang benar-benar
telah dikuasai siswa dan telah menjadi miliknya, serta dapat digunakan kapan saja dan dalam
situasi apa saja. Kemampuan awal siap ulang mengacu kepada kemampuan dan pengetahuan-
pengetahuan awal dari ketujuh kemampuan awal di atas, tetapi belum dikuasai sepenuhnya
oleh siswa dan belum siap digunakan ketika diperlukan. Kemampuan awal pengenalan
mengacu kepada kemampuan dan pengetahuan-pengetahuan awal dari ketujuh kemampuan
awal di atas yang baru dikenal (Budiningsih, 2017).

3. Gaya Kognitif
Gaya kognitif merupakan kecenderungan seseorang dalam menerima, mengolah dan
menyusun informasi serta menyajikan kembali informasi tersebut berdasarkan pengalaman-
pengalaman yang dimiliki (Budiningsih, 2017). Dalam Budiningsih (2017) juga dijelaskan
pengertian gaya kognitif menurut para ahli diantaranya J. W. Keefe menjelaskan gaya
kognitif sebagai cara seseorang yang khas dalam belajar yang berkaitan dengan cara
penerimaan dan pengolahan informasi, sikap terhadap informasi, maupun kebiasaan yang
berhubungan dengan lingkungan belajar. H. A. Witkin mengatakan gaya kognitif sebagai
cara yang berfungsi untuk mengungkapkan keseluruhan perseptual dan aktifitas intelektual
dalam konsistensi yang tinggi dan cara yang menyebar.
Dalam Budiningsih (2017) memaparkan pula macam-macam gaya kognitif yang
diklasifikasikan oleh para ahli diantaranya sebagai berikut.
- gaya kognitif focussing dan scanning oleh J. Bruner, Goodnow dan Austin (Degeng,
1991)
- gaya kognitif reflektif dan gaya kognitif impulsive oleh J. Kagan.
- proses berpikir algoritmik dan proses berpikir heuristik oleh Landa yang dibagi
berdasarkan cara seseorang memproses informasi.
- cara berpikir serialis dan cara berpikir wholist atau menyeluruh. Merupakan pembagian
oleh Pask dan Scott terkait dengan cara bagaimana seseorang memproses atau mengolah
informasi.
- gaya kognitif field-dependent (global) dan gaya kognitif field-independent (articulated)
oleh H. A. Witkin
Berikut dijelaskan maksud dari contoh gaya kognitif tersebut.
- Seseorang yang termasuk gaya kognitif focussing jikadihadapkan padasuatu masalahakan
cenderung inenunda pemecahannya sampai memperoleh data yang cukup untuk
melakukan pemecahan masalah. Sedangkan seseorang yang termasuk gaya kognitif
scanning cenderung lebih cepat memecahkan masalah yang dihadapinya dengan cara
mengembangkan beberapa alternatif pemecahan.
- Mereka yang tergolong memiliki gaya kognitif reflektif memilki keinginan yang kuat
untuk bertindak benar sejak awal penyelesaian tugas-tugasnya. Sementara itu mereka
yang memiliki gaya kognitif impulsif cenderung membuat beberapa kemungkinan
jawaban terhadap suatu soal atau masalah terlebih dahulu, dengan harapan ada salah satu
kemungkinan jawaban yang benar.
- Proses berpikir algoritmik yaitu proses berpikir yang sistematis, tahap demi tahap, linier,
konvergen, lurus menuju ke satu target tujuan tertentu. Sedangkan cara berpikir heuristik
yaitu cara berpikir devergen, menuju ke beberapa target tujuan sekaligus.
- Pendekatan serialis yang dikemukakannya memiliki kesamaan dengan pendekatan
algoritmik. Namun apa yang dikatakan sebagai cara berpikir menyeluruh (wholist) tidak
sama dengan cara berpikir heuristik. Bedanya, cara berpikir menyeluruh adalah berpikir
yang cenderung melompat ke depan, langsung ke gambaran lengkap sebuah sistem
informasi. Ibaratnya melihat lukisan, bukan detail-detail yang diamati lebih dahulu
melainkan seluruh lukisan itu sekaligus baru sesudah itu ke bagian-bagian yang lebih
detail.
- Orang yang memiliki gaya kognitif field-dependent (global) kurang mampu memisahkan
hal-hal yang relevan dan yang tidak relevan dalam suatu situasi. Lebih menaruh perhatian
pada hubungan sosial dengan berkecimpung banyak pada bidang humaniora dan ilmu-
ilmu sosial lainnya. Ia cenderung menjauhkan diri dari ilmu-ilmu matematika dan sains.
Sedangkan orang yang memiliki gaya kognitif field-independent (articulated), cenderung
melakukan analisis dan sintesis terhadap informasi yang dihadapi. Mereka mampu
memisahkan antara hal-hal yang relevan dan yang tidak relevan dalam suatu situasi.

4. Gaya Belajar
Gaya belajar merujuk pada serangkaian sifat psikologis yang menentukan bagaimana
seorang individu merasa, berinteraksi dengan, dan merespons secara emosional terhadap
lngkungan belajar (Smaldino dkk, 2019). Gaya belajar menurut Masganti (2012: 49)
didefinisikan sebagai cara yang cenderung dipilih seseorang untuk menerima informasi dari
lingkungan dan memproses informasi tersebut.
Terdapat tiga gaya belajar yang umumnya dibahas yaitu visual, auditori, dan
kinestetik. Istilah gaya belajar ini juga dikenal dengan modalitas. Seseorang dengan gaya
belajar visual lebih menonjol dalam indera penglihatannya, ketika menerima dan memproses
informasi indera penglihatannya lebih sensitif sehingga memudahkannya membayangkan apa
yang dibicarakan. Hal-hal yang bisa dilihat berkaitan dengan warna, bentuk, hubungan ruang,
gambaran mental dan gambar-gambar visualisasi sangat menonjol dalam membantu proses
mental. Ciri-ciri seseorang yang memiliki gaya belajar visual cenderung teratur,
memperhatikan segala sesuatu, menjaga penampilan, mengingat dengan gambar, lebih suka
membaca dari pada dibacakan, memejamkan mata untuk mengingat (Budiningsih, 2017).
Selanjutnya ada gaya belajar auditori. Siswa dengan gaya belajar auditori
mengutamakan indera pendengaran untuk menerima informasi atau materi pelajaran, serta
mudah dan senang bercerita. Gaya belajar ini mengakses segala bunyi dan kata-kata baik
yang diciptakan maupun yang diingat. Musik, nada, irama, rima, dialog dan bentuk suara-
suara lain lebih menonjol pada gaya belajar auditori. Ciri-ciri yang tampak ialah perhatiannya
mudah terpecah, berbicara dengan pola berirama, lebih suka mendengarkan dari pada
membaca, keteka membaca dengan bersuara, lebih suka berdiskusi (Budiningsih, 2017).
Seseorang yang memiliki modalitas gaya belajar kinestetik menggunakan sensasi
sentuhan dan gerakan dalam belajar, sehingga sulit untuk duduk diam dalam waktu yang
relatif lama. Modalitas ini mengakses segala jenis gerak dan emosi yang diciptakan maupun
yang diingat. Gerakan, koordinasi, irama, tanggapan emosional dan kenyamanan fisik sangat
menonjol pada gaya belajar kinestetik. Siswa dengan gaya belajar kinestetik mempunyai ciri-
ciri banyak bergerak, ketika berbicara dengan menyentuh lawan bicranya, suka berdiri
berdekatan, belajar dengan melakukan (learning by doing), mengingat sambil berjalan
(Budiningsih, 2017).
Pada umumnya siswa menggunakan semua modalitas dalam menerima dan mengolah
informasi, namun ada modalitas gaya belajar yang berperan dominan. Gaya belajaryang
berperan dominan pada seseorang dapat digunakan sebagai cara terbaik untuk belajar.
Dikatakan bahwa gaya belajar adalah kunci untuk mengembangkan kinerja dalam pekerjaan,
dalam belajar di sekolah dan dalam situasi-situasi lain. Ketika seseorang menerima dan
mengolah informasi melalui kegiatan belajar dan berkomunikasi akan lebih mudah jika
sesuai dengan gaya belajarnya yang dominan tersebut. Namun ditemukan bahwa gaya belajar
tidak selalu sama dan konsisten untuk pekerjaan yang berbeda. Pada satu jenis pekerjaan
tertentu mungkin akan cocok dengan gaya belajar visual. Tetapi untuk jenis pekerjaan yang
lain kemungkinan kombinasi gaya belajar visual dan kinestetik akan lebih tepat.

5. Motivasi
Motivasi adalah keadaan dalam diri yang mendefinisikan apa yang orang-orang akan
lakukan ketimbang apa yang dapat mereka lakukan (Keller 1987, dalam Smaldino, 2019).
Faktor motivasi mempengaruhi apa yang diperhatikan siswa, berapa lama mereka
memperhatikan, dan berapa banyak usaha yang mereka kerahkan dalam belajar. Keller
menjelaskan empat hal dari motivasi yang bisa dipertimbangkan guru dalam merancang
pembelajaran yaitu perhatian, relevansi, percaya diri, dan kepuasan. Perhatian siswa dapat
diperoleh dengan mengembangkan pembelajaran yang dianggap menarik dan berharga. Guru
juga perlu memastikan bahwa pembelajaran bermakna dan sesuai dengan kebutuhan belajar
siswa. Selain itu pembelajaran juga diharapkan mampu membangun pemikiran siswa untuk
sukses berdasarkan usaha mereka sendiri. Adapun faktor kepuasan dengan menyertakan
ganjaran intrinsik maupun ekstrinsik bagi siswa selama pembelajaran.
Menurut pandangan psikologi kognitif, peristiwa-peristiwa pada diri seseorang yang
berpengaruh kuat terhadap motivasi adalah adanya pikiran yang bimbang atau tidak ada
kepastian, adanya pilihan terhadap penyebab keberhasilan atau kegagalan, perasaan atau
emosi, harapan untuk berhasil, dan ingatan atau kenangan terhadap perilaku orang lain dalam
menyelesaikan tugas.

6. Perkembangan emosi

Emosi adalah keadaan yang kuat dan kompleks yang diikuti oleh ekspresi motorik
serta mengandung unsur afeksi dan pikiran yang khas, yang mempengaruhi perilaku.
Keadaan afeksi yang disadari dapat berupa kegembiraan, ketakutan, kebencian, cinta dan
sebagainya (Susanti, 2004). Faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan emosi adalah
faktor kematangan dan faktor belajar. Peran faktor kematangan, meliputi perkembangan
intelektual yang menghasilkan kemampuan untuk memahami makna yang sebelumnya tidak
dimengerti. Perkembangan kelenjar endokrin penting untuk mematangkan perilaku
emosional. Kelenjar adrenalin yang memainkan peran utama pada energi, mengecil secara
tajam pada saat bayi lahir. Kemudian kembali membesar dengan pesat sampai anak berusia 5
tahun, dan selanjutnya pembesarannya melambat pada usia 5-11 tahun, dan Kembali
membesar dengan pesat sampai usia 16 tahun.

Perkembangan emosi manusia berbeda pada masing-masing rentang umur. Para ahli
mengelompokkannya ke dalam beberapa tahap sebagaimana disarikan Budiningsih (2017)
dalam tulisannya. Pertama, perkembangan emosi pada masa bayi (0-2 tahun) yang awalnya
tampak melalui tangisan yang sulit dibedakan penyebabnya dan seiring berjalannya waktu
lebih bervariasi dan dapat dibedakan. Pada masa kanak-kanak awal atau pra sekolah (2-5
tahun) ditandai dengan bentuk-bentuk perilaku yang lebih agresif. Emosi-emosi yang
berkembang pada masa pra sekolah atas lebih tampak dalam bentuk rasa senang, marah,
susah, takut, sedih, malu, rasa bersalah, dan bangga. Selain menunjukkannya juga sudah bisa
mengendalikannya, bahkan bisa memahami emosi orang lain.
Selanjutnya emosi pada masa kanak-kanak akhir atau usia sekolah dasar (6-12 tahun)
yang dipengaruhi oleh pengalamannya yang semakin luas. Ciri-ciri emosi pada masa ini
berlangsung relatif lebih singkat, lebih kuat atau hebat, mudah berubah, tampak berulang-
ulang, responnya berbeda-beda, emosi dapat diketahui dari gejala tingkah lakunya, kekuatan
emosi tidak stabil dan perubahan emosi yang kuat sebagai bentuk emosional. Adapun pada
masa remaja usia 13-18 tahun sering ditandai dengan ketegangan emosi yang sifatnya khas
disebut sebagai masa badai dan topan (storm and stress). Masa remaja merupakan masa
transisi dari masa kanak-kanak ke masa dewasa. Pada masa ini remaja mengalami
perkembangan yang pesat pada bentuk fisiknya, sosial dan emosionalnya.

Bentuk-bentuk emosi pada masa dewasa awal (18-40 tahun) antara lain sudah
mampu memecahkan masalah dengan stabil dan tenang. Pada masa dewasa awal ini
seseorang akan mencari dan menemukan pola perilaku dan sikap yang sesuai serta relatif
permanen sebagai kekhasan dalam kehidupannya sebagai jati dirinya. Perkembangan emosi
pada masa dewasa madya (4o-6o tahun) menekanka11 pada per~embangan sosial dan moral
yang menjadi titik perhatiannya. Pernikahan dan cinta pada fase kehidupan keluarganya
mempengaruhi . bentuk perkembangan emosinya. Terakhir perkembangan emosi pada masa
lanjut usia (di atas 6o tahun) dimana keluaga merupakan sumber utama terpenuhinya
kebutuhan emosional. Semakin besar dukungan emosional dalam keluarga semakin
menimbulkan rasa senang, begitu pula sebaliknya.

Para guru perlu mencermati perkembangan emosi pada masing-masing rentang umur.
Dengan memahami hal ini diharapkan dapat menyusun strategi yang tepat agar pembelajaran
menjadi menyenangkan dan bermakna. Suasana emosi yang positif atau menyenangkan atau
tidak menyenangkan membawa pengaruh pada cara kerja struktur otak manusia dan akan
berpengaruh pula pada proses dan hasil belajar. Atas dasar hal ini pendidik dalam melakukan
proses pembelajaran perlu membawa suasana emosi yang senang/gembira dan tidak memberi
rasa takut pada peserta didik.

7. Perkembangan sosial
Elizabeth B. Hurlock (dalam Budiningsih, 2017) menyatakan bahwa perkembangan sosial
merupakan kemampuan seseorang dalam bersikap dan berperilaku serta berinteraksi dengan
unsur-unsur sosial yang ada di masyarakat. Salah satu tokoh psikologi perkembangan yang
merumuskan teori perkembangan sosial adalah Erik Erison yang disebut teori perkembangan
psikososial. Tahap-tahap perkembangan sosial dalam teorinya dibagi menjadi 8 yaitu tahap
perkembangan trust vs mistrust (umur o-1 infancy), tahap perkembangan autonomy vs shame
(umur 2-3 early childhood), tahap perkembangan inisiative vs guilt (umur 4-5 pre-school
age), tahap perkembangan industry vs inferiority (umur 6-11 school age), tahap
perkembangan ego-indentity vs role on fusion ( umur 12- 20 adolescense), tahap
perkembangan intimacy vs isolation (umur2o-3o young adulthood), tahap perkembangan
generation vs stagnation (umur 31-60 adulthood), dan tahap perkembangan ego integrity vs.
putus asa ( umur >6o senescence).
1. Tahap perkembangan Trust vs Mistrust (umur 0-1 infancy). Pada tahap ini dialami oleh
anak yang baru lahir hingga umur 1 tahun. Perkembangan hubungan sosialnya ditandai
dengan adanya rasa percaya (trust) kepada orang-orang yang selalu dekat dengan dirinya
seperti ibu dan pengasuhnya. Sedangkan anak akan merasa takut atau tidak percaya
(mistrust) kepada orang asing dan orang yang tidak pernah ia jumpai sebelumnya. Pada
tahap ini anak akan sangat memerlukan sentuhan dan perilaku dekat dari orang-orang
yang dipercayai.
2. Tahap perkembangan Autonomy vs Shame (umur 2-3 early childhood). Tahap ini sering
disebut sebagai masa pembrontakan anak. Orang lain sering menyebutnya sebagai anak
nakal karena jarang mau berkompromi dengan orang lain, sekalipun dengan orang
terdekatnya. Pada tahap ini anak sedang mengembangkan kamampuan motorik dan
mentalnya, sehingga aktivitasnya sulit dicegah. Bagi anak yang diperlukan adalah
pemberian dorongan dan fasilitasi untuk mengembangkan motorik dan mentalnya. Pada
tahap ini anak mudah terpengaruh oleh orang-orang di sekitarnya seperti orang tua atau
guru jika dihadapkan pada sesuatu yang sesuai dengan minatnya.
3. Tahap perkembangan Inisiative vs Guilt (umur 4-5 pre-school age). Pada tahap ini
ditandai dengan anak mulai banyak bertanya tentang segala sesuatu. Anak tampak aktif
dan banyak bicara tentang hal-hal yang menarik perhatian di sekitarnya. Inisiatif dan
idenya mulai berkembang sampai pada hal-hal yang berbau fantastis.
4. Tahap perkembangan Industry vs Inferiority (umur 6-11 school age). Tahap dimana anak
sudahdapat mengerjakan tugas-tugas sekolah dan ia termotivasi untuk belajar. Dalam
melakukan aktifitasnya anak masih kurang berhati-hati, sehingga sering melakukan
kesalahan. Pada tahap ini anak masih memerlukan cukup perhatian dari orang dewasa.
5. Tahap perkembangan Ego-indentity vs Role on fusion (umur 12- 20 adolescense). Tahap
ini merupakan proses peralihan dari masa kanak-kanak kepada masa remaja dan dewasa.
Pada tahap ini manusia ingin mencari indentitas dirinya. Mereka ingin terlibat dan tampil
untuk memegang pera-peran sosial di masyarakat. Namun mereka masih belum dapat
mengatur dan memisahkan antara tugas-tugas dalam peran yang berbeda-beda.
6. Tahap perkembangan Intimacy vs Isolation (umur20-30 young adulthood). Ketika
memasuki tahap ini seseorang sudah siap untuk menjalani hubungan intim dengan orang
lain. Ia mulai menginginkan untuk membangun bahtera rumah tangga bersama dengan
calon pilihan hidupnya.
7. Tahap perkembangan Generation vs Stagnation (umur 31-60 adulthood). Tahap ini
terjadi saat seseorang telah memasuki usia dewasa. Tahap dimana ditandai dengan
munculnya kepedulian yang tulus terhadap sesama. Peran-peran sosial berkembang dan
mencapai kematangannya.
8. Tahap perkembangan Ego Integrity vs. putus asa (umur >6o senescence). Masa ini terjadi
pada usia 6o-an ke atas, dimana man usia telah berkembang integritas dirinya. Pergaulan
sosialnya sudah matang, sehingga seringkali dijadikan penasehat bagi mereka yang lebih
muda usianya.

8. Budaya
Menurut Vygotsky (dalam Budiningsih, 2017), agar pembelajaran bermakna secara
kontekstual salah satu prinsip dasar teori konstruktivisme yang dikemukakannya adalah
bahwa belajar harus didasarkan pada pengalaman siswa sebagai anggota komunitas budaya.
Pembelajaran yang berpijak pada budaya mempersyaratkan adanya interaksi aktif siswa
maupun guru serta penggunaan berbagai sumber bela jar dalam suatu komunitas budaya. Hal
ini akan memungkinkan terjadinya perubahan pola interaksi antara siswa dengan siswa lain,
interaksi dengan guru, dengan sumber-sumber belajar yang tersedia dalam komunitas
budayanya. Pembelajaran tidak lagi didominasi oleh ceramah guru dan siswa hanya sebagai
pendengar, pencatat, dan penghafal informasi dari guru atau dari buku teks semata,
melainkan siswalah yang menciptakan makna dari berbagai konsep, prinsip, dan teori-teori
yang dipelajari dengan berbagai fenomena kehidupan nyata.
Pernbelajaran berbasis budaya rnengakui bahwa budaya rnerupakan bagian penting
dan rnendasar dari pendidikan, sebagai wahana untuk rnengekspresikan dan
rnengkornunikasikan suatu gagasan, ternpat berkernbangnya pengetahuan, sebagai arena
bereksplorasi, dan konteks di mana ilrnu pengetahuan dipelajari serta diterapkan dalarn
kehidupan. Menurut Paulina Panen (2003), pernbelajaran berbasis budaya rnerupakan
strategi pernbelajaran yang mendorong terjadinya proses irnaginatif, rnetaforik, berpikir
kreatif dan juga sadar budaya (dalam Budiningsih, 2017).

9. Perkembangan Moral
Tahap-tahap perkembangan penalaran moral menurut Kohlberg (dalam Budiningsih, 2017)
dibagi menjadi tiga tingkatan di mana masing-masing tingkat dibagi menjadi dua tahap.
Tingkat pra-konvensional
Pada tingkat ini seseorang san gat tanggap terhadap aturan -aturan kebudayaan dan penilaian
baik atau buruk, tetapi ia menafsirkan baik atau buruk ini dalam rangka maksimalisasi
kenikmatan atau akibat-akibat fisik dari tindakannya (hukuman fisik, penghargaan, tukar-
menukar kebaikan). Kecenderungan utamanya dalam interaksi dengan orang lain adalah
menghindari hukuman atau mencapai maksimalisasi kenikmatan (hedonistis). Tingkat ini
dibagi 2 tahap:
Tahap 1. Orientasi hukuman dan kepatuhan.
Pada tahap ini, baik atau buruknya suatu tindakan ditentukan oleh akibat-akibat fisik yang
akan dialami, sedangkan arti atau nilai manusiawi tidak diperhatikan. Menghindari hukuman
dan kepatuhan buta terhadap penguasa dinilai baik pada dirinya.
Tahap 2. Orientasi instrumentalistis
Pada tahap ini tindakan seseorang selalu diarahkan untuk memenuhi kebutuhannya sendiri
dengan memperalat orang lain. Hubungan an tara manusia dipandang seperti hubungan
dagang. Unsur-unsur keterbukaan, kesalingan dan tukar-menukar merupakan prinsip
tindakannya dan hal-hal itu ditafsirkan dengan cara fisik dan pragmatis. Prinsip
kesalingannya adalah, "kamu mencakar punggungku dan aku akan ganti mencakar
punggungmu".
Tingkat konvensional
Pada tingkat ini seseorang menyadari dirinya sebagai seorang individu di tengah-tengah
keluarga, masyarakat dan bangsanya. Keluarga, masyarakat, bangsa dinilai memiliki
kebenarannya sendiri, karena jika menyimpang dari kelompok ini akan terisolasi. Maka itu,
kecenderungan orang pada tahap ini adalah menyesuaikan diri dengan aturan-aturan
masyarakat dan mengidentifikasikan dirinya terhadap kelompok sosialnya. Kalau pada
tingkat prakonvensional perasaan dominan adalah takut, pada tingkat ini perasaan dominan
adalah malu. Tingkat ini terdiri dari 2 tahap:
Tahap 3. Orientasi kerukunan atau orientasi good boy-nice girl.
Pada tahap ini orang berpandangan bahwa tingkah laku yang baik adalah yang
menyenangkan atau menolong orang-orang lain serta diakui oleh orang-orang lain. Orang
cenderung bertindak menurut harapan-harapan lingkungan sosialnya, hingga mendapat
pengakuan sebagai "orang baik''. Tujuan utamanya, demi hubungan sosial yang memuaskan,
- maka ia pun harus berperan sesuai dengan harapan-harapan keluarga, masyarakat atau
bangsanya.
Tahap 4· Orientasi ketertiban masyarakat.
Pada tahap ini tindakan seseorang didorong oleh keinginannya untukmenjaga tertib legal.
Orientasi seseorang adalah otoritas, peraturan-peraturan yang ketat dan ketertiban sosial.
Tingkah laku yang baik adalah memenuhi kewajiban, mematuhi hukum, menghormati
otoritas dan menjaga tertib sosial merupakan tindakan moral yang baik pada dirinya.

Tingkat pasca- konvensional atau tingkat otonom


Pada tingkat ini, orang bertindak sebagai subjek hukum dengan mengatasi hukum yang ada.
Orang pada tahap ini sadar bahwa hukum merupakan kontrak so sial demi ketertiban dan
kesejahteraan umum, maka jika hukum tidak sesuai dengan martabat manusia, hukum dapat
dirumuskan kembali. Perasaan yang muncul pada tahap ini adalah rasa bersalah dan yang
menjadi ukuran keputusan moral adalah hati nurani. Tingkat ini terdiri dari 2 tahap:
Tahap 5. Orientasi Kontrak Sosial
Tindakan yang benar pada tahap ini cenderung ditafsirkan sebagai tindakan yang sesuai
dengan kesepakatan umum. Dengan demikian orang ini menyadari relativitas nilai-nilai
pribadi dan pendapat-pendapat pribadi. Ada kesadaran yang jelas untuk mencapai konsensus
lewat peraturan-peraturan prosedural. Di samping menekankan persetujuan demokratis dan
konstitusional, tindakan benar juga merupakan nilai-nilai atau pendapat pribadi. Akibatnya,
orang pada tahapan ini menekankan pandangan legal tapi juga menekankan kemungkinan
mengubah hukum lewat pertimbangan rasional. Ia menyadari ada yang mengatasi hukum,
yaitu persetujuan bebas antara pribadi. Jika hukum menghalangi kemanusiaan, maka hukum
dapat diubah.
Tahap 6: Orientasi prinsip etis universal.
Pada tahap ini orang tidak hanya memandang dirinya sebagai subjek hukum, tetapi juga
sebagai pribadi yang harus dihormati. Respect for person adalah nilai pada tahap ini.
Tindakan yang benar adalah tindakan yang berdasarkan keputusan yang sesuai dengan suara
hati dan prinsip moral universal. Prinsip moral ini abstrak, misalnya; cintailah sesamamu
seperti dirimu sendiri, dan tidak kongkrit. Di dasar lubuk hati terdapat prinsip universal yaitu
keadilan, kesamaan hak-hak dasar manusia, dan hormat terhadap martabat manusia sebagai
pribadi (Hardiman, 1987, dalam Budiningsih, 2017).

10. Etnik dan Kultural


Negara Indonesia merupakan negara yang luas wilayahnya dan kaya akan etniknya.
Namun berkat perkembangan alat transpotasi yang semakin modern, maka seolah tidak ada
batas antar daerah/suku dan juga tidak ada kesulitan menuju daerah lain untuk bersekolah,
sehingga dalam sekolah dan kelas tertentu terdapat multi etnik/suku bangsa, seperti dalam
satu kelas kadang terdiri dari peserta didik etnik Jawa, Sunda, Madura, Minang, dan Bali,
maupun etnik lainnya.
Implikasi dari etnik ini, pendidik dalam melakukan proses pembelajaran perlu
memperhatikan jenis etnik apa saja yang terdapat dalam kelasnya. Data tentang keberagaman
etnis di kelasnya menjadi informasi yang sangat berharga bagi pendidik dalam
menyelenggarakan proses pembelajaran. Seorang pendidik yang menghadapi peserta didik
hanya satu etnik di kelasnya, tentunya tidak sesulit yang multi etnik.
Contoh Pak Ardi seorang pendidik di kelas 6 Sekolah Dasar yang peserta didiknya
terdiri dari etnik Jawa semua atau Sunda semua, tentunya tidak sesulit ketika menghadapi
peserta didik dalam satu kelas yang multi etnik.
Ragam karakteristik peserta didik berdasarkan etnik, Jika Pak Ardi melakukan proses
pembelajaran dengan peserta didik yang multi etnik maka dalam melakukan interaksi dengan
peserta didik di kelas tersebut perlu menggunakan bahasa yang dapat dimengerti oleh semua
peserta didiknya. Kemudian ketika memberikan contoh-contoh untuk memperjelas tema yang
sedang dibahasnya juga contoh yang dapat dimengerti dan dipahami oleh semuanya.
Dalam aspek kultural peserta didik kita sebagai anggota suatu masyarakat memiliki
budaya tertentu dan sudah barang tentu menjadi pendukung budaya tersebut. Budaya yang
ada di masyarakat kita sangatlah beragam, seperti kesenian, kepercayaan, norma, kebiasaan,
dan adat istiadat. Peserta didik yang kita hadapi mungkin berasal dari berbagai daerah yang
tentunya memiliki budaya yang berbeda-beda sehingga kelas yang kita hadapi kelas yang
multikultural.

11. Status Sosial


Manusia diciptakan Tuhan dengan diberi rizki seperti berupa pekerjaan, kesehatan,
kekayaan, kedudukan, dan penghasilan yang berbeda- beda. Kondisi seperti ini juga melatar
belakangi peserta didik yang ada pada suatu kelas atau sekolah kita. Peserta didik pada suatu
kelas biasanya berasal dari status sosialekonomi yang berbeda-beda. Dilihat dari latar
belakang pekerjaan orang tua, di kelas kita terdapat peserta didik yang orang tuanya wira
usahawan, pegawai negeri, pedagang, petani, dan juga mungkin menjadi buruh.
Dilihat dari sisi jabatan orang tua, ada peserta didik yang orang tuanya menjadi
pejabat seperti presiden, menteri, gubernur, bupati, camat, kepala desa, kepala kantor atau
kepala perusahaan, dan Ketua RT. Di samping itu ada peserta didik yang berasal dari
keluarga ekonomi mampu, ada yang berasal dari keluarga yang cukup mampu, dan ada juga
peserta didik yang berasal dari keluarga yang kurang mampu.
Peserta didik dengan bervariasi status ekonomi dan sosialnya menyatu untuk saling
berinteraksi dan saling melakukan proses pembelajaran. Perbedaan ini hendaknya tidak
menjadi penghambat dalam melakukan proses pembelajaran. Namun tidak dapat dipungkiri
kadang dijumpai status sosial ekonomi ini menjadi penghambat peserta didik dalam belajar
secara kelompok.
12. Minat
Minat dapat diartikan suatu rasa lebih suka, rasa ketertarikan pada suatu hal atau
aktivitas. Hurlock (1990: 114) menyatakan bahwa minat merupakan suatu sumber
motivasi yang mendorong seseorang untuk melakukan kegiatan yang dipilihnya. Apabila
seseorang melihat sesuatu yang memberikan manfaat, maka dirinya akan memperoleh
kepuasan dan akan berminat pada hal tersebut.
Lebih lanjut Sardiman, (2011: 76) menjelaskan bahwa minat sebagai suatu
kondisi yang terjadi apabila seseorang melihat ciri-ciri atau arti sementara situasi yang
dihubungkan dengan keinginan-keinginan atau kebutuhan-kebutuhannya sendiri. Oleh
karena itu apa yang dilihat seseorang sudah tentu akan membangkitkan minatnya sejauh
apa yang dilihat itu mempunyai hubungan dengan kepentingan orang tersebut.
Atas dasar hal tersebut sebenarnya minat seseorang khususnya minat belajar
peserta didik memegang peran yang sangat penting. Sehingga perlu untuk terus ditumbuh
kembangkan sesuai dengan minat yang dimiliki seorang peserta didik. Namun
sebagaimana kita ketahui bahwa minat belajar peserta didik tidaklah sama, ada peserta
didik yang memiliki minat belajarnya tinggi, ada yang sedang, dan bahkan rendah.
Untuk mengetahui apakah peserta didik memiliki minat belajar yang tinggi atau
tidak sebenarnya dapat dilihat dari indikator minat itu sendiri. Indikator minat meliputi:
perasaan senang, ketertarikan peserta didik, perhatian dalam belajar, keterlibatan siswa
dalam kegiatan pembelajaran, manfaat dan fungsi mata pelajaran. Agar diperoleh
gambaran yang lebih jelas maka akan diuraikan dalam paparan berikut.

B. Mengapa guru perlu memahami karakteristik pemelajar

Di antara hal-hal yang menyebabkan rendahnya kualitas pembelajaran adalah proses


pembelajaran yang kurang memberikan perhatian terhadap keberagaman siswa dan kondisi
lingkungan tempat siswa berada. Pembelajaran seperti ini kurang bermanfaat bagi siswa.
Pendidik harus berusaha membuat pembelajaran menjadi bermakna, dengan cara merancang dan
mengembangkan berdasarkan pada kondisi siswa sebagai subjek belajar dan komunitas budaya
di mana siswa berada. Siswa adalah manusia yang memiliki sejarah, makhluk dengan ciri
keunikannya (individualitas). Pemahaman akan subjek belajar inilah yang harus dimiliki oleh
para guru atau tenaga kependidikan lainnya, untuk dijadikan pijakan dalam mengembangkan
teori ataupun praksis-praksis pendidikan dan pembelajaran (Budiningsih, 2017).

Meriyati (2015) memaparkan tujuan perlunya mengidentifikasi kemampuan awal dan


karakteristik siswa yaitu: a) memperoleh informasi yang lengkap dan akurat berkenaan dengan
kemampuan serta karakteristik awal siswa sebelum mengikuti program pembelajaran tertentu, b)
menyeleksi tuntutan, bakat, minat, kemampuan, serta kecenderungan peserta didik berkaitan
dengan pemilihan program-program pembelajaran tertentu yang akan diikuti mereka, dan c)
menentukan desain program pembelajaran dan atau pelatihan tertentu yang perlu dikembangkan
sesuai dengan kemampuan awal peserta didik.

Menurut Janawi (2019) memahami anak didik perlu dilakukan secara komprehensif.
Menjadi guru berarti bersedia dan mampu mengenali anak didiknya. Itu sebabnya, mengenal
anak merupakan hal yang penting, karena setiap anak memiliki keunikan (Pearsons & Sardo,
2006 dalam Janawi, 2019). Realitasnya, kemampuan tenaga pendidik termasuk tenaga pendidik
yang telah masuk kategori professional, kadangkala bertolak belakang dengan harapan ideal.
Umumnya, tenaga pendidik kurang optimal dalam memperhatikan keunikan anak. Guru
cenderung memberikan proses pendidikan yang lebih mengarah pada konsep uniformitas
kognitif. Pemaparan tentang beberapa karakteristik di atas cukup untuk mengatakan bahwa setiap
siswa berbeda, oleh karenanya perlu pemahaman terhadap hal ini agar tujuan pembelajaran
secara khusus maupun tujuan Pendidikan secara umum bisa tercapai.

Sumber:

Budiningsih, Asri. 2017. Karakteristik Siswa Sebagai Pijakan Pembelajaran. Yogyakarta: UNY
Press.

https://buguruku.com/karakteristik-peserta-didik-berdasarkan-status-sosial/

https://buguruku.com/ragam-karakteristik-peserta-didik-berdasarkan-etnik/

Janawi. Memahami Karakteristik Peserta Didik dalam Proses Pembelajaran. Jurnal Pendidikan
Islam Vol. 6, No. 2, 2019, Hal. 68 – 79.

Meriyati. 2015. Memahami Karakteristik Anak Didik. Lampung: Fakta Press IAIN Raden Intan.
Susanti, Rini. Perkembangan Emosi Manusia, Jurnal Teknodik Vol. 8 No. 15, Desember 2004.

Anda mungkin juga menyukai