Anda di halaman 1dari 8

TEORI KECERDASAN DALAM MODERASI BERAGAMA

Drs. Taufik Sakni M.Pd.I


Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah Yayasan Pendidikan Islam (STIT-YPI) Lahat
Jalan Letnan Munandar Talang Kapuk Lahat
E-mail: alfaqrtf2016@gmail.com

Abstract
Kecerdasan manusia adalah kombinasi dari berbagai kemampuan umum dan
spesifik. Menurut ahli psikologi Howard Gardner, ada sembilan aspek
kecerdasan yang berpotensi untuk dikembangkan oleh setiap anak yang lahir
tanpa disertai oleh cacat fisik di otaknya. Teori dari ahli ini menjadi pedoman
utama bahwa setiap anak memiliki kecerdasannya masing-masing sehingga
orang tua tidak berhak mendikte bahwa kecerdasan anak semata-mata dalam
bentuk keahlian dalam membaca, menulis serta berhitung. Manusia
sesungguhnya memiliki sisi spiritual yang berbeda dan tidak bisa selalu dirujuk
pada fungsi otak. Keyakinan pada aspek dan potensi spiritual ini sesungguhnya
merupakan sisi lain dari pengakuan atas kapasitas manusia yang majemuk, yang
berbeda dari aspek fisik dan psikis. Hal inilah yang perlu dibenahi dari cara
pandang pendidikan di era globalisasi ini. Setiap aktivitas pendidikan dan
komunikasi orang tua dan anak diharapkan dapat mengembangkan setiap aspek
kecerdasan anak, terutama kecerdasan spiritualnya dalam moderasi beragama.

Kata kunci : Teori kecerdasan, kecerdasan spiritual, moderasi beragama.

I. Pendahuluan
Secara garis besar pendidikan formal di Indonesia hanya menekankan
kecerdasan anak pada bidang akademik saja seperti matematika dan sains yang
hanya mencakup dua atau tiga aspek kecerdasan saja. Anak dituntut agar berhasil
secara maksimal di bidang tersebut, sehingga anak menjadi berambisi memiliki
nilai yang superior di kedua bidang tersebut. Mereka menjadi mengesampingkan
bidang-bidang lain yang mungkin sebetulnya sesuai dengan kecerdasan yang
dimilikinya. Sehingga kemampuan dan kecerdasan bidang lainnya tidak dapat
berkembang secara optimal, tenggelam, terintimidasi oleh kecerdasan yang hanya
mencakup dua atau tiga aspek kecerdasan saja. Fenomena ini bertentangan dengan
teori kecerdasan majemuk yang dikemukakan oleh Howard Gardner yang
berpendapat bahwa kecerdasan adalah kemampuan untuk menyelesaikan berbagai

1
masalah dalam kehidupan dan dapat menghasilkan produk atau jasa yang berguna
dalam berbagai aspek kehidupan.i

II. Landasan Teori


Kecerdasan manusia adalah kombinasi dari berbagai kemampuan umum
dan spesifik. Teori ini berbeda dengan konsep kecerdasan IQ yang hanya
melibatkan kemampuan bahasa, logika matematika, dan spasial.ii Menurut
Gardner, ada sembilan aspek kecerdasan dan indikatornya yang berpotensi untuk
dikembangkan oleh setiap anak yang lahir tanpa disertai oleh cacat fisik di
otaknya, yaitu :
1. Kecerdasan Gambar atau Spasial (Visual-Spatial Intelligence). Individu yang
memiliki tipe kecerdasan biasanya memiliki beberapa ciri berikut ini: mampu
memvisualisasikan fenomena dalam bentuk gambar, gemar menggambar,
menyenangi warna dan garis, menyusun balok, dan mampu memberikan arah
di mana suatu lokasi berada. Contoh orangorang yang memiliki kecerdasan ini
antara lain adalah arsitek, pelukis, desainer interior, dan pilot.
2. Kecerdasan Interpersonal (Interpersonal Intelligence). Indikatornya adalah:
mudah bergaul dengan orang lain, senang mencari teman, terlibat dalam
kegiatan kelompok, mampu membaca perasaan orang lain melalui nada bicara,
gerak tubuh, dan ekspresi wajah, mudah menyelesaikan konflik dengan orang
lain. Mereka adalah para psikolog, pemimpin, konselor, dan sebagainya.
3. Kecerdasan Kinestetik atau Fisik (Body-Kinesthetic). Cirinya antara lainnya:
cepat mempelajari dan menguasai kegiatan yang melibatkan fisik (motorik),
mampu menggunakan seluruh anggota tubuhnya dalam pekerjaan, pemecahan
masalah, keterampilan tangan, jari, atau lengan. Mereka cocok untuk berprofesi
sebagai atlet, artis film (drama), penari, dan sebagainya.
4. Kecerdasan Verbal – Bahasa (Verbal- linguistic), dengan ciri: mampu
mengekspresikan fikirannya secara verbal, mudah mengingat nama atau
sesuatu, mampu menulis dengan baik. Dan senang bertanya dan berdiskusi.
Contoh orang yang memiliki tipe kecerdasan ini adalah para pengajar,
mubaligh, intelektual, penulis, dan sebagainya.
5. Kecerdasan Intrapersonal – mengenal diri sendiri (Intrapersonal Intelligence).
Cirinya adalah : mudah mengenali perasaan diri, dapat menghayati puisi dan

2
drama, senang bermeditasi, dan pandai bercerita. Contohnya para penyair,
pendongeng, sastrawan , dan sebagainya.
6. Kecerdasan Musik (Musical Intelligence), yaitu kemampuan sensitif terhadap
bunyi dan cepat mempelajari berbagai lagu, jenis music, dan alat musik.
Mereka adalah para komposer, penyanyi, dan para pemain music.
7. Kecerdasan Mempelajari Alam (Naturalist Intelligence), kapasitas untuk cepat
mempelajari fenomena alam, mengamati dan membaca kehidupan tumbuhan
dan binatang (biologi), dan gemar terhadap kegiatan pencinta alam. Mereka
adalah para petualang dan aktivis lingkungan hidup.
8. Kecerdasan Logika – Matematika (Mathematical – Logical Intelligence), yaitu
kemampuan yang ditandai dengan kecepatan dalam mempelajari angka, pandai
mengelompokkan, membuat hipotesis, dan berfikir logis. Mereka adalah para
ilmuwan, filosof, ahli matematika, dan programmer computer.
9. Kecerdasan Spiritual (Existensial Intelligence), yang ditandai oleh kemampuan
berpikir secara mendalam tentang makna hidup, hakikat diciptakannya
manusia, andil manusia dalam hidupnya serta menyadari bahwa dirinya adalah
bagian dari keseluruhan yang saling berkaitan, dan sebagainya.
Di samping ketiga ciri kecerdasan spiritual ini, Robert A. Emmons,
sebagaimana dikutip oleh Rakhmatiii, mengemukakan lima karakteristik
kecerdasan spiritual, yaitu:
a. Memiliki kemampuan untuk mentransendensikan yang fisik dan material
(the capacity to transcend the physical and material).
b. Memiliki kemampuan untuk mengalami tingkat kesadaran yang memuncak
(the ability to experience heightened states of consciousness).
c. Memiliki kemampuan untuk mensakralkan (menguduskan) pengalaman
sehari-hari (the ability to sanctify everyday experience).
d. Memiliki kemampuan untuk menggunakan sumber-sumber spiritual buat
menyelesaikan masalah (the ability to utilize spiritual resources to solve
problems).
e. Mampu berbuat baik (the capacity to be virtous).
Dua karakteristik yang pertama merupakan komponen inti kecerdasan
spiritual. Anak yang mampu merasakan kehadiran Tuhan atau makhluk

3
spiritual di sekitarnya berarti telah mengalami transendensi secara fisikal dan
material. Ia memasuki dunia spiritual. Ia mencapai kesadaran kosmis yang
menggabungkan dirinya dengan seluruh alam semesta. Ciri yang ketiga,
pengudusan pengalaman sehari-hari, terjadi ketika seorang anak mampu
meletakkan pekerjaan biasa dalam tujuan yang lebih agung. Ciri yang keempat,
manusia yang cerdas spiritualnya tidak akan memecahkan persoalan hidup
hanya dengan cara rasional atau emosional. Akan tetapi menghubungkannya
dengan makna kehidupan yang lebih tinggi. Hal ini dirujuk pada warisan
spiritual-seperti kitab suci dan petuah orang suci, untuk menafsirkan situasi
yang dihadapinya. Karakteristik yang kelima dapat dilihat pada seorang anak
yang memiliki rasa kasih sayang yang tinggi pada sesama makhluk. Perilaku
memberi maaf, bersyukur, atau mengungkapkan terima kasih, bersikap rendah
hati, menunjukkan kasih sayang, dan bersikap arif adalah contoh-contoh
kebajikan lainnya.
Pada buku karangan Kementrian Agama RI, dijelaskan bahwa
kedamaian didapatkan dengan moderasi beragama yang berarti cara beragama
jalan tengah (Kementrian Agama RI 2019). Kata jalan tengah dapat dipahami
bahwa tidak ada pola pikir yang membenarkan salah satu agama atau
keyakinan dan menyalahkan agama atau keyakinan yang lain. Sebagai contoh
melakukan jihad karena alasan membela umat dengan melakukan pengeboman
di tempat ibadah umat lain sebagai salah satu tindakan yang tidak
mencerminkan moderasi beragama. Masih dengan referensi yang sama, dalam
buku saku kemenag RI (Kementrian Agama RI 2019, 4) dijelaskan bahwa
proses moderasi beragama dapat dilakukan melalui tahap memahami ajaran
agama, sekaligus mengamalkannya dengan adil dan seimbang. Hal ini
dilakukan untuk menghindari perilaku yang berlebihan dalam mengamalkan
suatu hal. Pemahaman yang kurang tepat adalah mengartikan moderasi
beragama sebagai memoderasi agama. Hal tersebut dianggap kurang sesuai
karena dalam agama sudah mengandung prinsip moderasi melalui ajaran untuk
berlaku adil dan seimbang. Karena sejatinya setiap agama pasti mengajarkan
kebaikan pada umatnya. Sehingga apa yang dimaksud dengan moderasi
beragama bukanlah memoderasikan agamanya, namun lebih pada perilaku

4
beragamanya. Perilaku tersebut dapat dilakukan dengan menghindari perkataan
atau perbuatan yang ekstrem, tidak adil, dan berlebih-lebihan. Kodratnya,
manusia adalah makhluk yang memiliki pengetahuan yang terbatas dan
memerlukan esensi kebenaran pengetahuan Tuhan yang luas sehingga tidak
terkurung dalam pola pikir yang sempit. Keragaman tafsir terkait suatu hal,
termasuk tafsir tentang ajaran agama, biasanya muncul sebagai dampak dari
upaya manusia untuk memahami teks ajaran agama. Pada hakikatnya,
kebenaran yang sesungguhnya hanyalah milik Allah, sedangkan kebenaran dari
penafsiran manusia sifatnya hanya relatif (Kementrian Agama RI 2019, ii-iii).
Hal itu menjadi alasan kuat untuk mengajarkan moderasi beragama pada setiap
individu terutama anak-anak, karena mereka masih belajar bagaimana cara
menghargai teman sejawat yang berbeda agama, berbeda mazhab bahkan
berbeda pola pikir tentang penafsiran dari sebuah agama.
Berdasarkan latar belakang tersebut maka tulisan ini mengkaji tentang
teori kecerdasan dalam moderasi beragama. Fokus pembahasannya adalah
urgensi dalam pencegahan pengaksesan radikalisme pada anak dan tahapan
mengajarkan nilai-nilai pancasila yang sesuai dengan moderasi keberagamaan
di lingkungan tempat tinggal.
Beberapa penelitian sebelumnya yang relevan dengan penelitian ini salah
satunya dilakukan oleh Edi Sutrisno, yang hasilnya menyatakan moderasi
membawa keadilan bagi umat beragama dan menjaga persatuan dan kesatuan
(Edy 2019). Sedangkan apabila dikaji dari segi pendidikan, penelitian Edy
Sutrisno yang berjudul “Aktualisasi Moderasi Beragama di Lembaga
Pendidikan” menunjukkan hasil dalam upaya mewujudkan moderasi beragama
di masyarakat multikultural, yang perlu dilakukan adalah menjadikan lembaga
pendidikan sebagai basis laboratorium moderasi beragama dan melakukan
pendekatan sosio-religius dalam beragama dan bernegara. Kemudian,
penelitian selanjutnya yang dilakukan oleh M Fahri dan A Zainuri pada tahun
2020 dengan fokus penelitian “Moderasi Beragama di Indonesia” (M Fahri dan
Zainuri 2020, 95-100). Penelitian tersebut menunjukkan bahwa radikalisme
atas nama agama dapat diberantas melalui pendidikan Islam yang moderat dan
inklusif. Moderasi beragama dapat ditunjukkan melalui sikap tawazun

5
(berkeseimbangan), i’tidal (lurus tegas), tasamuh (toleransi), musawah
(egaliter), syura (musyawarah), islah (reformasi), aulawiyah (mendahulukan
yang prioritas), dan tathawwur wa ibtikar (dinamis dan inovatif). Penelitian
lain dengan judul “peran ibu dalam mengajarkan moderasi beragama pada anak
di masa pandemi covid 19” menyebutkan bahwa pencegahan mengakses
literasi yang mengandung radikalisme pada anak adalah dengan cara
mengajarkan nilai-nilai pancasila yang sesuai dengan moderasi keberagamaan
di lingkungan tempat tinggal (Kusmawati & Surachman, 2021).

III. Metodologi Penelitian


Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan kualitatif.
Pendekatan tersebut dilakukan dengan menelusuri informasi dan
mengumpulkan data untuk mendapatkan pemahaman yang mendalam dari
gejala sentral (Creswell dalam Raaco, 2010: 22-28).

IV. Kesimpulan
Teori yang di bawa oleh garner dan ditambahkan dengan teori emmons
dapat dijadikan pedoman bagi para orang tua untuk lebih menyadari bahwa
pada dasarnya anak memiliki keunikan dan kecerdasannya masing-masing.
Pendidik tak hanya guru di sekolah, orang tua pun adalah sebagai pendidik
yang harus secara proporsional dan adil dalam memperlakukan anak-anaknya.
Perlakuan ini sesuai pada metode pendidikan yang ramah terhadap otak dan
keberagaman potensi yang di miliki anak. Kita tidak diperkenankan menilai
bahwa kecerdasan hanya berasal dari otak. Manusia memiliki sisi kespiritualan
yang berbeda dan tidak bisa selalu dirujuk pada fungsi otak. Keyakinan kita
pada sisi dan potensi spiritual ini sesungguhnya merupakan sisi lain dari
pengakuan atas kapasitas manusia yang majemuk, yang berbeda dari aspek
fisik dan psikis. Hal inilah yang perlu di benahi dari dunia pendidikan,
termasuk dalam moderasi beragama. Cara pandang dan filosofi pendidikan
yang ada di kepala para orangtua, pendidik, dan pengambil kebijakan
pendidikan menjadi persoalan utama dan pertama untuk diatasi. Dengan
langkah ini, setiap aktivitas pendidikan dan komunikasi terhadap anak

6
diharapkan dapat mengembangkan aspek-aspek kecerdasan dimilikinya dan
menyentuh “sisi dalam” anak, yaitu kecerdasan spiritualnya.

ENDNOTE

7
i
Baca Rakhmat, Jalaluddin. 2007. SQ For Kids, Mengembangkan Kecerdasan Spiritual Anak Sejak Dini, Bandung : Mizan. Lihat juga Megawangi,
Character Parenting…., hlm. 54-58. Lihat juga Megawangi, Ratna, Pendidikan Karakter, Bogor : IHF, 2007, hlm. 125 atau Nggermanto, Agus ,
Quantum Quotient : Kecerdasan Quantum,Bandung : Nuansa, 2001, hlm. 49
ii
Ibid
iii
Ibid., hlm.65

DAFTAR PUSTAKA

Fuad, Muskinul. 2012. Teori Kecerdasan, Pendidikan Anak, dan Komunikasi dalam Keluarga.
Jurnal dakwah & komunikasi Komunika. Issn: 1978-1261 Vol.6 No.1 Januari - Juni 2012 Pp.
Kementrian Agama RI. 2019. Tanya Jawab Moderasi Beragama. Jakarta: Badan Litbang dan
Diklat Kemenag RI.
Kusmawati, Heny & Surachman., Anista., Ika. 2021. Peran Ibu Dalam Mengajarkan Moderasi
Beragama Pada Anak Di Masa Pandemi Covid 19. Jurnal eL-Tarbawi Volume 14 No.2, 2021.
Megawangi, Ratna. 2008. Character Parenting Space, Menjadi Orangtua Cerdas untuk
Membangun Karakter Anak. Bandung: Read Publishing House.
---------- 2007. Pendidikan Karakter. Bogor: IHF.
Megawangi, Ratna dkk. 2007. Pendidikan yang Patut dan Menyenangkan. Bogor: IHF.
Raaco, J. 2010. Metode Penelitian Kualitatif: Jenis, Karakteristik dan Keunggulannya. Jakarta:
PT. Grasindo.
Rakhmat, Jalaluddin. 2007. Belajar Cerdas : Belajar berbasiskan Otak. Bandung: Mizan.
-----------. 2007. SQ For Kids, Mengembangkan Kecerdasan Spiritual Anak Sejak Dini. Bandung:
Mizan.
Sutrisno, Edy. (2019). “Aktualisasi Moderasi Beragama di Lembaga Pendidikan”, Jurnal Bimas,
Vol. 12, No. 1. https://doi.org/10.37302/jbi.v12i2.113.

Anda mungkin juga menyukai