Anda di halaman 1dari 17

A.

PENGERTIAN DAN MACAM-MACAM KECERDASAN


Menurut Mujib (2002), Kecerdasan (dalam bahasa Inggris disebut
intelligence dan bahasa Arab disebut al-dzaka) menurut arti bahasa
adalah pemahaman, kecepatan, dan kesempurnaan sesuatu. Dalam
arti, kemampuan (al-qudrah) dalam memahami sesuatu secara cepat
dan sempurna. Begitu cepat penangkapannya itu sehingga Ibnu Sina,
seorang psikolog falsafi, menyebut kecerdasan sebagai kekuatan
intuitif (al-hads).
Pada penelitian Binet dalam Mujib (2002) ketika mengadakan tes
kecerdasan individual menekankan pada masalah penalaran, imajinasi,
wawasan (insight), pertimbangan, dan daya penyesuaian sebagai
proses mental yang tercakup dalam tingkah laku kecerdasan. Dalam
pengertian yang lebih luas, Willian Stern, yang dikutip oleh Crow dan
Crow dalam Mujib (2002),

mengemukakan bahwa inteligensi berarti

kapasitas umum dari diri seseorang individu yang dapat dilihat dari
kesanggupan
kebutuhan

pikirannya

baru,

dalam

keadaan

mengatasi

ruhaniah

secara

tuntutan
umum

kebutuhanyang

dapat

disesuaikan dengan problema-problema dan kondisi-kondisi yang baru


di dalam kehidupan.
Pada mulanya, kecerdasan hanya berkaitan dengan kemampuan
struktur akal (intellect) dalam menangkap gejala sesuatu, sehingga
kecerdasan hanya bersentuhan dengan aspek-aspek kognitif (al-majal
al-marif). Namun pada perkembangan berikutnya, disadari bahwa
kehidupan manusia bukan semata-mata memenuhi stuktur akal,
melainkan terdapat struktur kalbu yang perlu mendapat tempat
tersendiri untuk menumbuhkan aspek-aspek afektif (al-majal alinfali), seperti kehidupan emosional, moral, spiritual, dan agama.
Karena itu, jenis-jenis kecerdasan pada diri seseorang sangat beragam
seiring dengan kemampuan atau potensi yang ada pada dirinya.
Topik ini lebih memfokuskan pada penelaahan kecerdasan qolbiah,
yaitu kecerdasan emosional (emotional intelligence), kecerdasan moral
(moral intelligence), kecerdasan spiritual (spiritual intelligence), dan
kecerdasan beragama, yang belumnya didahului oleh pembahasan
kecerdasan intelektual (intellectual intelligence).

Kecerdasan intelektual adalah kecerdasan yang berhubungan


dengan proses kognitif seperti berpikir, daya menghubungkan, dan
menilai atau mempertimbangkan sesuatu. Atau, kecerdasan yang
berhubungan

dengan

strategi

pemecahan

masalah

dengan

menggunakan logika. Menurut Thurstone dalam Mujib (2002), dengan


teori

multifaktornya,

menentukan

30

faktor

yang

menentukan

kecerdasan intelektual , tujuh diantaranya yang dianggap paling


utama untuk ebilitas-ebilitan mental, yaitu:
1. Mudah dalam mempergunakan bilangan
2. Baik ingatan
3. Mudah menangkap hubungan-hubungan percakapan
4. Tajam pengelihatan
5. Mudah menarik kesimpulan dari data yang ada
6. Cepat mengamati dan
7. Cakap dalam memecahkan berbagai problem
Kecerdasan diatas disebut juga kecerdasan rasional

(rational

intelligence), sebab ia menggunakan potensi rasio dalam memecahkan


masalah.
Salovey dan Mayer dalam Mujib (2002), menggunakan istilah
kecerdasan

emosi

untuk

menggambarkan

sejumlah

kemampuan

mengenali emosi diri sendiri, mengelola, dan mengekspresikan emosi


diri sendiri dengan tepat, memotivasi diri sendiri, mengenali orang
lain, dan membina hubungan dengan orang lain. Ciri utama pikiran
emosional adalah respons yang cepat tetapi ceroboh, mendahulukan
perasaan daripada pemikiran, realitas simbolik yang seperti kanakkanak, masa lampau diposisikan sebagai masa sekarang, dan realitas
yang ditentukan oleh keadaan.
Kecerdasaan emosional merupakan hasil kerja dari otak kanan,
sedang kecerdasan intelektual merupakan hasil kerja otak kiri.
Menurut DePorter dan Hernacki dalam Mujib (2002), otak kanan
manusia memiliki cara kerja yang acak, tidak teratur, intuitif, dan
holistic, sedangkan otak kiri memiliki cara kerja yang logis, sekuensial,
rasional, dan linier. Kedua belahan otak ini harus diperankan sesuai
dengan fungsinya, sebab jika tidak maka masing-masing belahan akan
menggangu pada belahan yang lain. Menurut Joseph LeDoux dalam
Mujib (2002), seorang ahli syaraf di Centre for Neural Science di New

York University mengungkapkan bahwa pusat emosi berada di


amigdala, yaitu sel yang bertumpuh di batang otak. Ia memproses halhal yang berkaitan dengan emosi, seperti sedih, marah, nafsu, kasih
sayang.

Rusaknya

amigdala

dalam

tubuh

akan

mengakibatkan

hilangnya emosi dalam kehidupan manusia. Kendala yang sering


menghalangi kecerdasan emosi adalah rasa malu, tidak mampu
mengekspresikan perasaan, terlalu emosional, perasaan yang mendua,
frustasi, tidak ada motivasi diri, sulit berempati dan sulit berteman.
Robert Coles adalah seorang psikiater anak dan peneliti tentang
ilmu-limu kemanusiaan medis pada Harvard Medical School, terkhusus
mengenai

kecerdasan

moral.

Coles

secara

tegas

tidak

pernah

mendefinisikan term moral secara khusus dalam karyanya. Namun ia


menemukan bahwa kecedasan moral seolah-olah bidang ketiga dari
kegiatan otak (setengah kecerdasan intelektual dan kecerdasan
emosional) yang berhubungan dengan kemampuan yang tumbuh
perlahan-lahan untuk merenungkan mana yang benar mana yang
salah, dengan menggunakan sumber emosional dan intelektual pikiran
manusia. Indikator kecerdasan moral adalah bagaimana seseorang
memiliki pengetahuan tentang moral yang benar dan yang buruk,
kemudian ia mampu menginternalisasikan moral yang benar ke dalam
kehidupan nyata, dan menghindarkan diri dari moral yang buruk
(Mujib,2002). Menurut Mujib (2002), Kecerdasan moral tidak dapat
dicapai dengan menghafal atau mengingat kaidah atau aturan yang
dipelajari di dalam kelas, melainkan membutuhkan interaksi dengna
lingkungan luar. Ketika anak telah berinteraksi dengan lingkungan luar,
maka dapat diperhatikan bagaimana sikap yang diperankan, apakah ia
sopan, penuh belas kasih, adanya atensi, tidak sombong atau angkuh,
egois, atau mementingkan diri sendiri, dan sejumlah sikap lainnya.
Tokoh yang menghadirkan konsep kecerdasan spiritual adalah
Donah Zohar dan Ian Marshall. Mereka mendakwahkan kecerdasan
spiritual

sebagai

puncak

dasar

kecerdasan,

setelah

kecerdasan

intelektual, kecerdasan emosional, dan kecerdasan moral. Kecerdasan


spiritual bukanlah doktrin agama yang mengajak unruk cerdas dalam

memlilih atau memeluk salah satu agama yang dianggap benar,


namun

lebih

merupakan

konsep

yang

berhubungan

dengan

bagaimana seseorang cerdas dalam mengelola nilai-nilai dan kualitas


kehidupan spiritualnya. Kehidupan spiritual di sini meliputi hasrat
untuk hidup bermakna (the will to meaning)

yang memotivasi

kehidupan manusia untuk senantiasa mencari makna hidup (the


meaning of life) dan mendambakan hidup bermkana (the meaningful
life). Kecerdasan spiritual seseorang yang taat agama belum tentu
memiliki kecerdasan spiritual. Namun sebaliknya, bisa jadi orang yang
humanis non-agamis memiliki kecerdasan spiritual tinggi, sehingga
hidupnya inklusif, setuju dalam perbedaan dan penuh toleran. Hal ini
menunjukkan bahwa makna kecerdasan spiritual di sini tidak selalu
berarti agama atau bertuhan.
Menurut Wipperman (2006), Kecerdasan emosional juga sangat
diperlukan dalam kehidupan manusia. EQ adalah penjelmaan dari
suatu tolak ukur kekuatan otak yaitu IQ. IQ dan EQ adalah dua sumber
yang sinergis: tanpa yang satu, maka yang lainnya menjadi tidak
lengkap dan tidak efektif. Keberadaan EQ seorang individu penting
karena jika sesoerang hanya mendapatkan nilai A tanpa adanya rasa
tanggung jawab atas dirinya dan kesadaran diri, maka ia tidak
mendapatkan kebermaknaan dalam hidupnya. Ketika IQ tinggi maka
akan merasakan seluruh perasaan siapa sejatinya seorang individu,
dapat menjaga alur komunikasi antar sesame individu
B. ISLAM DAN KECERDASAN QOLBIAH
Menurut Mujib (2002), Sebagaimana

dalam

uraian

struktur

kepribadian, struktur nafsani manusia terbagi atas tiga komponen


yaitu kalbu, akal, dan nafsu (syahwah dan ghadhab). Jika stuktur itu
tetap dalam kendali kalbu maka masing-masing komponen memiliki
potensi positif, yang apabila dikembangkan secara maksimal akan
mendatangkan

kecerdasan.

Penggunaan

daya

qalbiah

disini

dimaksudkan adalah menggambarkan sejumlah kemampuan diri


secara cepat dan sempurna, untuk mengenali kalbu dan aktivitasaktivitasnya, mengelola dan mengekspresikan jenis-jenis kalbu secara

benar, memotivasi kalbu untuk membina hubungan moralitas dengan


orang lain dan hubungan ubudiyah dengan Tuhan. Menurut Mujib
2002,

Pengertian

tersebut

dapat

dijabarkan

dalam

jenis-jenis

kecerdasan qalbiah sebagai berikut:


1. Kecerdasan intelektual (intuitif), yaitu kecerdasan kalbu yang
berkaitan dengan penerimaan dan pembenaran pengetahuan yang
bersifat intitif-ilahiah, seperti wahyu (untuk pada rasul dan nabi)
dan ilham atau firasat (untuk manusia biasa yang salih). Adanya
sifat intuitif-ilahiah ini sebagai pembeda dengan kecerdasan
intelektual yang ditimbulkan oleh akal pikiran yang bersifat
rasional-insaniah.
2. Kecerdasan emosional, yaitu kecerdasan kalbu yang berkaitan
dengan

pengembalian

nafsu-nafsu

impulsive

dan

agresif.

Kecerdasan ini mengarahakan sesoerang untuk bertindak secara


berhati-hati, waspada, tenang, sabar dan tabah ketika mendapat
musibah, dan berterimakasih ketika mendapat kenikmatan.
3. Kecerdasan moral, yaitu kecerdasan kalbu yang berkaitan dengan
hubungan kepada sesame manusia dan alam semesta. Kecerdasan
ini mengarahkan seseorang untuk bertindak dengan baik, sehingga
orang lain merasa senang dan gembira kepada-Nya tanpa ada rasa
sakit, iri hati, dengki, dendam, dan angkuh.
4. Kecerdasan spiritual, adalah kecerdasan kalbu yang berhubungan
dengan kualitas batin seseorang. Kecerdasan ini mengarahkan
seseorang

untuk

berbuat

lebih

manusawi,

sehingga

dapat

menjangkau nilai-nilai luhur yang mungkin belum tersentuh oleh


akal pikiran manusia
5. Kecerdasan beragama, adalah kecerdasan kalbu yang berhubungan
dengan kualitas beragama dan Tuhan. Kecerdasan ini mengarahkan
pada sesoerang untuk berperilaku secara benar, yang puncaknya
menghasilkan ketakwaan secara mendalam, dengan dilandasi oleh
6

kompetensi

keimanan,

lima

kompetensi

keislaman,

dan

multikompetensi keikhsanan.
Menurut Pasiak (2003), dalam Al-Qur'an, akal (aql) mendapat
kualifikasi religius sebagai keyakinan dan intelektualitas. Akal, menurut

Abi al-Baqa 'Ayyub Ibn Musa al-Kufi memiliki banyak nama. Tercatat
ada 4 (empat) nama yang menonjol yaitu:
1. Al-Lub, karena ia merupakan cerminan kesucian dan kemurnian.
TuhanAktivitasnya adalah berdzikir dan berfikir.
2. Al-Hujah, karena akal ini dapat menunjukkan bukti-bukti yang
kuat dan menguraikan hal-hal yang abstrak.
3. Al-Hijr, karena akal mampu mengikatkan keinginan seseorang
hingga membuatnya dapat menahan diri, dan
4. Al-Nuba, karena akal merupakan puncak kecerdasan,
pengetahuan dan penalaran
C. BENTUK-BENTUK KECERDASAN
Bentuk-bentuk kecerdasan qalbiah seperti kecerdasan intelektual
(intuitif), emosi, moral, spiritual, dan Bergama sulit dipisahkan, sebab
semuanya

merupakan

perilaku

kalbu.

Barangkali

yang

dapat

membedakannya niat atau motivasi yang mendorong perilaku qalbiah.


Berikut ini adalah bentuk-bentuk kecerdasan qalbiah (Mujib, 2002):
1. Kecerdasan Ikhbat, yaitu kondisi kalbu yang memiliki kerendahan
atau kelembutan hati, merasa tenang dan khusyuk di hadapan
Allah, dan tidak menganiaya pada orang lain. Kecerdasan ikhbat
juga dapat diartikan sebagai kondisi kalbu yang kembali dan
mengabdi dengan kerendahan hati kepada Allah merasa tenang
jika berzikir kepada-Nya, tunduk dan dekat kepada-Nya. Kondisi
Ikhbat merupakan dasar bagi terciptanya kondisi jiwa yang tenang

(sakinah), yakin, dan percaya kepada Allah. Firman Allah SWT :

Dan bagi tiap-tiap umat telah Kami syariatkan penyembelihan


(kurban), supaya mereka menyebut nama Allah terhadap binatang
ternak yang telah direzkikan Allah kepada mereka, maka Tuhanmu
ialah Tuhan Yang Maha Esa, karena itu berserah dirilah kamu
kepada-Nya. Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang
tunduk patuh (kepada Allah), (yaitu) orang-orang yang apabila
disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, orang-orang yang
sabar terhadap apa yang menimpa mereka, orang-orang yang
mendirikan sembahyang dan orang-orang yang menafkahkan
sebagian dari apa yang telah Kami rezkikan kepada mereka
Berdasarkan ayat di atas, al-Syairazi dalan tafsirannya, membagi
sifat-sifat mukhbit (orang yang memiliki kecerdasan ikhbat) atas
dua macam, yaitu Pertama, berkaitan dengan psikis, artinya
apabila disebutkan nama Allah, maka hatinya berdebar (karena
kagum) dan bersabar akan segala bencana yang menimpanya.
Kedua, berkaitan dengan aktivitas pisik (jasmani), artinya mau
mendirian shalat dan mau menafkahkan sebagian rejekinya.
2. Kecerdasan Zuhud, artinya berpaling, menganggap hina dan kecil,
serta tidak merasa butuh pada sesuatu. Indikator seseorang
dikatakan zuhud adalah meninggalkan perbuatan yang tidak
bermanfaat bagi kehidupan akhirat, meredam berangan-angan
yang panjang, tidak merasa gembira dengan keberadaan dunia,
serta tidak merasa menyesal apabila kehilangan dunia. Kecerdasan
ini dapat mengahantarkan seseorang pada kecintaan kepada Allah
SWT dan sesama manusia, sebab ia tidak berebut dan disibukkan
dengan hal-hal yang sekunder dalam kehidupan. Sabda Nabi SAW:

Zuhud terhadap dunia bukanlah mengahramkan yang halal atau


menyia-nyiakan harta benda, tetapi zuhud yang sesungguhnya
adalah engkau yang tidak merasa bahwa apa yang ada ditangan
anda itu lebih berat dari pada apa yang di hadapan Allah, dan
pahala musibah yang mengenai dirimu lebih engkau cintai jika ia
tetap ada di sisimu (HR. al-Turmuzi dari Abi Zar).
3. Kecerdasan Wara , artinya menjaga dari perbuatan yang maruf
yang dapat menurunkan derajat dan kewibawaan diri seseorang.
Maksud maruf dalam wara adalah tidak terkait dengan perbuatan
yang haram, melainkan pada perbuatan halal yang apabila
dilakukan kurang baik menurut ukuran agama dan tradisi setempat.
Kriteria wara di antaranya adalah membersihkan kalbu dari segala
kotoran dan najis fisik maupun psikis, meninggalkan perbuatan
yang sia-sia dan tidak ada gunanya, menjauhkan kalbu dari segala
perbuatan yang masih diragukan.
4. Kecerdasan dalam berharap baik(al-raja),

artinya

berharap

terhadap sesuatu kebaikan kepada Allah SWT, dengan disertai


usaha yang sungguh-sunguh dan tawakal. Hal ini tentunya berbeda
dengan al-tamanni (angan-angan), sebab merupakan harapan
dengan

bermalas-malasan

tanpa

disertai

usaha.

Dengan

menghantarkan kalbu seseorang pada jenjang kecintaan dan

kemurahaan Allah SWT. Allah berfirman:

Orang-orang yang mereka seru itu, mereka sendiri mencari jalan


kepada Tuhan mereka[857] siapa di antara mereka yang lebih dekat
(kepada Allah) dan mengharapkan rahmat-Nya dan takut akan

azab-Nya; sesungguhnya azab Tuhanmu adalah suatu yang (harus)


ditakuti
5. Kecerdasan Riayah, artinya memelihara pengetahuan yang pernah
diperoleh dan mengaplikasikannya dengan perilaku nyata, dengan
cara melakukan perbuatan baik dan ikhlas, dan menghindari
perbuatan yang merusak. Ilmu pengetahuan tidak hanya diketahui,
melainkan juga diaplikasikannya dalam dunia nyata. Ilmu tanpa
amal ibarat pohon tanpa buah, sebab amal merupakan buah ilmu.
Ilustasi ini menunjukkan bahwa pendekatan peroleh ilmu bukan
hanya melalui fakultas pikir belaka, tetapi juga harus menyertakan
fakultas zikir. Gabungan kedua fakultas ini akan menimbulkan
predikat ulu al-albab, yaitu orang-orang yang beriman dan beramal
salih. Kecerdasan riayah ini merupakan bentuk dari kecerdasan

intelektual-qalbiah. Allah berfirman:


Kemudian Kami iringi di belakang mereka dengan rasul-rasul Kami
dan Kami iringi (pula) dengan Isa putra Maryam; dan Kami berikan
kepadanya Injil dan Kami jadikan dalam hati orang- orang yang
mengikutinya

rasa

mengada-adakan

santun

dan

rahbaniyyah

kasih

[1460]

sayang.

padahal

Dan
kami

mereka
tidak

mewajibkannya kepada mereka tetapi (mereka sendirilah yang


mengada-adakannya) untuk mencari keridhaan Allah, lalu mereka
tidak memeliharanya dengan pemeliharaan yang semestinya. Maka
Kami berikan kepada orang-orang yang beriman di antara mereka
pahalanya dan banyak di antara mereka orang-orang fasik

6. Kecerdasan Muqarabah, artinya kesadaran seseorang bahwa Allah


SWT mengetahui dan mengawasi apa yang dipikirkan, dirasakan,
dan diperbuatnya, baik lahir maupun batin. Karenanya, tak sedikit
pun waktu yang terlewat untuk mengingat hukum-hukum dan
aturan-aturan-Nya. Muraqabah dapat menghantarkan seseorang
pada sikap waspada, mawas diri dan berhati-hati, baik dalam
bentuk pikikran, perasaan, maupun tindakan, sebab kapan saja dan

di mana ia berada selalu dalam pengawasan-Nya, Allah berfirman:


Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu [148]
dengan

sindiran[149]

atau

kamu

menyembunyikan

(keinginan

mengawini mereka) dalam hatimu. Allah mengetahui bahwa kamu


akan menyebut-nyebut mereka, dalam pada itu janganlah kamu
mengadakan janji kawin dengan mereka secara rahasia, kecuali
sekedar mengucapkan (kepada mereka) perkataan yang ma'ruf [150].
Dan janganlah kamu ber'azam (bertetap hati) untuk beraqad nikah,
sebelum habis 'iddahnya.

Dan ketahuilah bahwasanya Allah

mengetahui apa yang ada dalam hatimu; maka takutlah kepadaNya, dan ketahuilah bahwa Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyantun
7. Kecerdasan Ikhlas, artinya ketaatan yang ditujukan kepada Allah
semata, dengan membersihkan perbuatan baik lahir maupun batin
sehingga seseorang tidak terasa bahwa amal perbuatannya telah
disadari rasa ikhlas. Menurut Ibnu Qayyim dalam Mujib (2002),

ikhlas

dibagi

dalam

tiga

tingkatan

yaitu

Pertama,

tidak

menganggap bernilai lebih terhadap perbuatan yang dilakukan,


sehingga tidak menghendaki imbalan dan tidak puas berhenti di
situ saja, Kedua, merasa malu terhadap perbuatan yang telah
dilakukan
sambil
berusaha
sekuat

tenaga

untuk

memperbaikinya

dan

berharap

agar

perbuatannya dalam cahaya tawfq pertolongan-Nya, dan Ketiga,


melalui keikhlasan dapat berbuat yang didasarkan atas ilmu dan
hukum-hukum-Nya. Allah berfirman:

"Sesungguhnya

aku

diperintahkan

supaya

menyembah

Allah

dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan)


agama
8. Kecerdasan Istiqamah, artinya melakukan sesuatu perbuatan baik
melalui prinsip kontinuitas dan keabadian. Istiqamah membutuhkan
niat yang benar dan jalan yang lurus dalam menunaikan perintah,
artinya terdapat konsistensi perilaku seseorang baik lahir maupun
batin, dalam menempuh suatu jalan yang benar tanpa disertai

anomali. Allah berfirman:


Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: "Tuhan kami ialah
Allah" kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, maka
malaikat
"Janganlah

akan

turun

kamu

kepada

takut

dan

mereka
janganlah

dengan
merasa

mengatakan:
sedih;

dan

gembirakanlah mereka dengan jannah yang telah dijanjikan Allah


kepadamu."
9. Kecerdasan Tawakkal, artinya menyerahkan diri sepenuh hati,
sehingga tiada beban psikologis yang dirasakan. Tawakkal juga
berarti

bersandar

dan

percaya

pada

orang

lain

dalam

menyelesaikan urusan, karena ia tidak lagi memiliki kemampuan


lagi.

Dalam

hal

ini,

tawakkal

yang

dimaksudkaan

adalah

mewakilkan atau menyerahkan semua urusan kepada Allah SWT,


sebagai Zat yang mampu menyelesaikan semua urusan, setelah
manusia

tidak

memiliki

lagi

daya

dan

kemampuan

untuk

menyelesaikannya. Allah berfirman:

Dan memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya.


Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah
akan

mencukupkan

(keperluan)nya.

Sesungguhnya

Allah

melaksanakan urusan yang (dikehendaki)Nya. Sesungguhnya Allah


telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu

10.Kecerdasan sabar, artinya menahan diri dari hal-hal yang dibenci


dan menahan menahan lisan agar tidak mengeluh. Sabar dapat
menghindarkan seseorang dari perasaan resah, cemas, marah dan
kekacauan. Sabar juga merupakan sikap yang tenang untuk
menghindari maksiat, melaksanakan perintah, dan menerima

cobaan. Allah berfirman:


Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah
kesabaranmu dan tetaplah bersiap siaga (di perbatasan negerimu)
dan bertakwalah kepada Allah, supaya kamu beruntung
11.Kecerdasan Ridha, artinya kedudukan spiritual seseorang yang
diusahakan setelah ia melaksanakan tawakkal, karena ridha menjai
puncak dari tawakal. Ridha hanya terkait pada kelapangan dan
kesabaran jiwa atas apa yang diberikan kepada Allah tanpa rasa
mengeluh atau menderita karenanya
12.Kecerdasan syukur, artinya menampakkan nikmat Allah SWT, yang
dilakukan oleh hambanya. Syukur juga dapat diartikan sebagai
kesadaran diri bahwa apa yang diperbuat dianggap tidak/belum
bernilai apa-apa, meskipun hal itu sudah diupayakan secara
maksimal. Sebaliknya, apa yang diterima dianggap banyak sekali,
meskipun kenyataannya sedikit.
13.Kecerdasan malu. Malu berarti kepekaan diri yang mendorong
untuk meninggalkan keburukan dan menunaikan kewajiban. Malu
merupak pertanda bagi kehidupan kalbu seseorang. Sabda Nabi
SAW:
Rasa malu tidak mendatangkan apa apa kecuali kebaikan, Busyair
bin Kaab yang tertulis dalam al-hikmah berkata: sesungguhnya
dalam malu itu terdapat ketenangan (HR. al-Bukhari dari Imran ibn
Hushain)
14.Kecerdasan jujur, artinya orang yang jujur akan mendapatkan
balasan yang baik dari Allah, sedangkan orang yang tidak jujur

(pendusta) tergolong orang yang munafik (bermuka dua) yang


nantinya sebagai penghuni kerak api neraka. Allah berfirman:
supaya Allah memberikan balasan kepada orang-orang yang

benar itu karena kebenarannya, dan menyiksa orang munafk jika


dikehendaki-Nya, atau menerima taubat mereka. Sesungguhnya
Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang
15.Kecerdasan mementingkan dan mendahulukan orang lain, artinya
bukan

yang

berkaitan

dengan

ibadah

melainkan

dengan

muamalah. Dalam soal ibadah, setiap hambanya harus berlomba


untuk mencapai derajat yang paling tinggi di hadapan Allah, tetapi
soal muamalah, mendahulukan kepentingan orang laindari pada
kepentingan pribadi merupakan kecerdasan emosioanl yang baik.
16.Kecerdasan tawadhu. Tawadhu berarti sikap kalbu yang tenang,
berwibawa, rendah hati, lemah lembut, tanpa disertai rasa jahat,
congkak, dan sombong. Tawadhu merupakan lawan dari angkuh
dan sombong. Dengan tawadhu seseorang tidak dituntut untuk
melakukan sesuatu yang lebih dari apa yang dimiliki dan yang
dimampui.
17.Kecerdasan muruah, artinya bersikap keprwiraan dan menjunjung
tinggi sifat-sifat kemanusiaan yang agung. Kecerdasan muruah
meliputi pengalaman perilaku yang baik dan meninggalkan perilaku
yang buruk dan menghindarkan diri dari perbuatan yang hina dan
rendah.
18.Kecerdasan dalam menerima apa adanya atau seadanya, artinya
individu seseungguhnya telah mengerahkan segala daya upayanya
seoptimal

mungkin,

payahnya,

tetapi

kemudian
ia

belum

ia

menerima

mampu

hasil

dari

menggapai

jerih

puncak

keinginannya. Maka dari itu seseorang yang memiliki kecerdasan


tersebut dapat merasa lepas dari segala tuntutan yang berada di

luar kemampuannya dan dapat menikmati apa yang dimiliki,


meskipun menurut ukuran orang lain kenikmatan itu sangat minim.
Allah berfirman:
Jikalau

mereka

sungguh-sungguh

ridha

dengan

apa

yang

diberikan Allah dan RasulNya kepada mereka, dan berkata:


"Cukuplah Allah bagi kami, Allah akan memberikan sebagian dari
karunia-Nya dan demikian (pula) Rasul-Nya, sesungguhnya kami

adalah orang-orang yang berharap kepada Allah," (tentulah yang


demikian itu lebih baik bagi mereka)
19.Kecerdasan takwa artinya, takut terhadap murka dan siksaan Allah
SAW. Selain itu juga mengikuti semua perinta Allah SWT dan
menjahui larangannya. Allah berfirman:

Dan memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya.


Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan
mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan
urusan

yang

(dikehendaki)Nya.

Sesungguhnya

Allah

telah

mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu


D. METODE MENUMBUHKEMBANGKAN KECERDASAN QOLBIAH
Menurut Mujib (2002), kalbu merupakan struktur nafsani yang
paling dekat dengan fitrah al-ruh. Upaya menumbuh kecerdasan
qalbiah dengan cara menyediakan fasilitas dan peluang yang memadai
terhadap

kehidupan

al-ruh,

agar

ia

dapat

mengaktual

secara

sempurna, kebutuhan al-ruh yang paling esensial adalah kembali

kepada kesucian dan kefitrian, sebagiamana kondisi ketika ia baru


ditiupkan oleh Allah SWT kepada jasad manusia. Jika terpaksa
memenuhi kebutuhan jasmani dalam hidup itupun harus diniatkan
semata-mata

untuk

kelangsungan

kehidupan

al-ruh

dan

bukan

sebaliknya.
Para Nabi dan orang-orang yang salih memiliki kecerdasan qalbiah
melalui cara pensucian jiwa dan latihan-latihan spiritual. Mereka
menempuh cara-cara khusus sesuai dengan pengalaman spiritual
pribadinya, tetapi cara yang pertama dilakukan adalah dengan
melakukan taubat, dalam arti, kembali kepada fitrah al-ruh yang
terhindar dari segala dosa dan maksiat, sehingga memancarkan
cahaya

ilahiah.

Kecerdasan

qalbiah

bukan

hanya

semata-mata

diperoleh dari aktivitas yang diusahakan, yang ditempuh melalui


tahapan-tahapan spiritual, tetapi juga diperoleh dari anugerah yang
diberikan oleh Allah SWT. karena itu, perolehan kecerdasan qalbiah
sangat subjektif (Mujib,2002).

DAFTAR PUSTAKA
Mujib, Abdul & Mudzakir, Jusuf. (2002). Nuansa-nuansa Psikologi Islam.
PT. RajaGrafindo Persada: Jakarta

Pasiak, Taufik (2003). Revolusi IQ/EQ/S Antara Neurosains dan AlQuran. Mizan: Jakarta
Syaamil. (2010). Al-Quran & Terjemah dilengkapi dengan kajian Usul
Fiqih. PT Sygma Examedia Arkanleema:Bandung
Wipperman, Jean. (2006). Meningkatkan Kecerdasan Emosional.
Prestasi Pustaka Publisher: Jakarta

Anda mungkin juga menyukai