Psikologi Pendidikan
Dosen pengampu:
Disusun oleh
1.Aminah Tunjungningsih NIM.40222001
2.Khoerul Fuadhi NIM.40222004
3.Indah Pujilestari NIM.40222108
Pada kesempatan ini, kami mengucapkan terima kasih kepada pihak yang telah
memberikan kami semangat dan motivasi dalam pembuatan tugas makalah ini. Kepada dosen
pengampu Bpk.Ujang Khiyarusoleh M.Pd dan teman teman yang sudah membantu dalam
tugas makalah ini. Harapan kami informasi dan materi yang terdapat dalam makalah ini dapat
bermanfaat bagi pembaca. Tiada yang sempurna di dunia, melainkan Allah SWT. Tuhan
Yang Maha Sempurna, karena itu kami memohon kritik dan saran yang membangun bagi
perbaikan makalah kami selanjutnya.
Demikian makalah ini kami buat apabila terdapat kesalahan dalam penulisan, atau pun
ketidaksesuaian materi yang kami angkat pada makalah ini, kami mohon maaf. Kami
menerima kritik dan saran seluas-luasnya dari pembaca agar kami bisa membuat karya
makalah yang lebih baik pada kesempatan berikutnya.
PENYUSUN
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Konsep Intelligence Quotient yang dikenal dengan tolak ukur kecerdasan, tidak lagi
bersifat mutlak. Sejumlah penelitian menjelaskan bahwa kecerdasan emosional (EQ) lebih
berperan dalam menetukan keberhasilan. Kecerdasan ini membuat seseorang memiliki
ketangguhan dalam menghadapi frustasi dan mengatur suasana hati. Dengan begitu ia dapat
menjauhkan diri dari stress. Tetap berkonsentrasi dan berpikir secara jernih. Ini menjelaskan
mengapa anak dengan IQ tinggi tidak dengan sendirinya berprestasi tinggi. Disamping itu,
kecerdasan emosional menumbuhkan empati, mengerti perasaan orang lain, mengenal
lingkungan dengan lebih baik.
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Masalah
PEMBAHASAN
Konsep tes IQ ini mulai ada sejak akhir abad ke-19, tepatnya tahun 1890-an.
Konsep ini diciptakan dan terpikirkan pertama kali oleh Francis Galton. Galton mengambil
landasan dari Teori Darwin mengenai konsep survival individu dalam suatu spesies.
Sederhananya, yaitu teori mengenai cara bertahan hidup masing-masing orang, karena
keunggulan dari sifat-sifat tertentu yang dimilikinya dan merupakan turunan dari orang tua
mereka. Galton pun menyusun sebuah tes yang mengukur intelegensi manusia dari aspek
kegesitan dan refleks otot-ototnya. Baru lah di awal abad ke-20, Alfred Binet, seorang
psikolog dari Perancis, mengembangkan alat ukur intelegensi manusia yang sekarang telah
dipakai oleh banyak orang.
Di tahun 1983, penelitian mengenai konsep tes intelegensi manusia ini pun berlanjut
oleh psikolog Harvard, Howard Gardner. Ia menyebutkan, bahwa kecerdasan manusia
bukan merupakan sebuah konsep tunggal atau bersifat umum. Menurutnya, kecerdasan
tersebut merupakan beberapa set kemampuan yang spesifik dan berjumlah lebih dari satu.
Semua itu merupakan fungsi dari bagian-bagian dari otak yang terpisah, serta merupakan
hasil dari evolusi manusia selama jutaan tahun.
Faktor lain yang turut andil dan memiliki peran besar dalam membentuk kecerdasan
seseorang, yakni faktor genetik. Ini lah teori yang dimaksud oleh Galton. Maka, umumnya
tingkat IQ seseorang tidak jauh berbeda dengan saat mereka masih kecil hingga dewasa.
Namun, tidak menutup kemungkinan adanya hal-hal lain yang mempengaruhi tingkat
kecerdasan intelektual seseorang. Misalnya, seperti lingkungan dan ilmu pengetahuan yang
didapat selama proses akademik.
Mengutip Very Well Mind, menurut Howard Gardner ada delapan jenis kecerdasan
manusia antara lain, sebagai berikut:
Teori ini dipandang sebagai teori yang tertua yang dikembangkan oleh
William stern. Alfred Binet termasuk salah satu ahli psikologi yang mengatakan
bahwa inteligensi bersifat monogenetik, yaitu berkembang dari satu faktor satuan atau
faktor umum. Menurut Binet, inteligensi merupakan sisi tunggal dari karakteristik
yang terus berkembang sejalan dengan proses kematangan seseorang.
2. Teori dwifaktor
Teori ini dikembangkan oleh Charles Spearman seorang psikolog dan ahli
statistik dari Inggris. Spearman (1927) mengusulkan teori kecerdasan dua faktor
yang menurutnya dapat menjelaskan pola hubungan antara kelompok tes kognitif
yang ia analisis. Dalam bentuknya yang paling sederhana, teori ini menyatakan
bahwa kinerja pada setiap tugas kognitif tergantung pada faktor umum ditambah satu
atau faktor yang lebih spesifik dan unik untuk tugas tertentu.
3. Teori multifactor
a. Kemampuan spasial
b. Kecepatan perseptual
c. Penalaran numeric
d. Makna verbal
e. Kelancaran kata
f. Ingatan
g. Penalaran induktif.
Pada dasaranya setiap manusia merupakan makhluk yang diberi akal lebih
tinggi di banding makhluk yang lain. Akal tersebut dapat membentuk sebuah
kecerdasan yang biasa disebut dengan kecerdasan intelektual, beberapa fungsi adanya
kecerdasan spiritual adalah:
a. Menyimpan pengetahuan
Inteligensi orang satu dengan yang lain cenderung berbeda-beda. Hal ini karena
adanya beberapa faktor yang mempengaruhinya, antara lain:
a) Faktor pembawaan, dimana faktor ini ditentukan oleh sifat yang dibawa sejak lahir.
b) Faktor minat dan pembawaan yang khas, dimana minat mengarahkan perbuatan kepada
suatu tujuan dan merupakan dorongan bagi perbuatan itu.
c) Faktor pembentukan, dimana pembentukan adalah segala keadaan diluar diri seseorang
yang mempengaruhi perkembangan inteligensi.
d) Faktor kematangan, dimana tiap organ dalam tubuh manusia mengalami pertumbuhan
dan perkembangan. Setiap organ manusia baik fisik maupun psikis, dapat dikatakan telah
matang jika ia telah tumbuh atau berkembang hingga mencapai kesanggupan
menjalankan fungsinya masing-masing.
e) Faktor kebebasan, yang berarti manusia dapat memilih metode tertentu dalam
memecahkan masalah yang dihadapi. Di samping kebebasan memilih metode juga bebas
memilih masalah yang sesuai dengan kebutuhannya.
Kelima faktor itu saling terkait satu dengan yang lain. Jadi, untuk menentukan
kecerdasan seseorang, tidak dapat hanya berpedoman kepada salah satu faktor tersebut.