Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH

“ GEJALA KEJIWAAN DAN ASPEK PSIKOLOGI BELAJAR“


Untuk memenuhi tugas mata kuliah “Psikologi Belajar “

Dosen Pengampu :

AGUS SULTHONI IMAMI, S.Psi, M.Pd.I.

Disusun Oleh:

Andi Wulan Purnama (2110700064)


Siti Ainun Rhomadona (2110700090)

KELOMPOK 2

PRODI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS NURUL JADID
PAITON PROBOLINGGO
2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena berkat
rahmat, karunia, serta hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan makalah “Gejala
Kejiwaan dan Aspek Psikologi Belajar”. Makalah ini disusun guna memenuhi tugas
Mata Kuliah Psikologi Belajar.

Penulis berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah


wawasan serta pengetahuan kita mengenai psikologi belajar. Kami juga menyadari
sepenuhnya bahwa di dalam tugas ini terdapat kekurangan-kekurangan dan jauh dari
apa yang kami harapkan. Untuk itu, kami berharap adanya kritik, saran dan usulan
demi perbaikan di masa yang akan datang, mengingat tidak ada sesuatu yang
sempurna tanpa sarana yang membangun.

Semoga makalah ini dapat berguna bagi kami sendiri maupun orang yang
membacanya. Kami mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata yang kurang
berkenan dihati para pembaca.

Probolinggo, 15 Oktober 2023

Penulis

i
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL

KATA PENGANTAR .............................................................................................i

DAFTAR ISI.............................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar belakang................................................................................................1
B. Rumusan Masalah..........................................................................................1
C. Tujuan Masalah..............................................................................................1

BAB II PEMBAHASAN

A. Kecerdasan Manusia Dalam Belajar...............................................................2

B. Ranah Belajar B.S Bloom Kematangan dan Perkembangan...........................3

C. Teori-Teori Belajar..........................................................................................6

BAB III PENUTUP

Kesimpulan................................................................................................................8

DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang
Setiap individu dilahirkan di dunia dengan membawa hereditas tertentu yang
diperoleh melalui warisan dari pihak orang tuanya yang menyangkut
karakteristik fisik dan psikis atau sifat-sifat mental. Lingkungan (environment)
merupakan factor penting di samping hereditas yang menentukan perkembangan
individu yang meliputi fisik, psikis, social dan relegius. Manusia adalah
makhluk-makhluk hidup yang lebih sempurna bila dibandingkan dengan
makhluk-makhluk hidup yang lain. Akibat dari unsur kehidupan yang ada pada
manusia, manusia berkembang dan mengalami perubahan-perubahan, baik
perubahan-perubahan dalam segi fisologik maupun perubahan-perubahan dalam
segi psikologik.
Bahwa setiap anak secara kodrat membawa variasi danirama
perkembangannya sendiri, perlu diketahui setiap orangtua, agar ia tidak
bertanya-tanya bahkan bingung atau bereaksi negatif yang lain dalam
menghadapi perkembangan anaknya. Bahkan ia harus bersikap tenang sambil
mengikuti terus-menerus pertumbuhan anak, agar pertumbuhan itu sendiri
terhindar dari gangguan apappun, yang tentu saja akan merugikan. Dalam
kesempatan ini akan kami paparkan mengenai pengertian perkembangan, faktor-
faktor yang akan menentukan dalam perkembangan manusia, dan teori
perkembangan manusia menurut para ahli.

B. Rumusan Masalah
1. Apa saja jenis-jenis kecerdasan manusia dalam belajar?
2. Apa saja ranah belajar menurut B.S. Bloom?
3. Apa saja teori psikologi belajar?

C. Tujuan masalah
1. Untuk mengetahui jenis-jenis kecerdasan manusia dalam belajar.

1
2. Untuk mengetahui ranah belajar menurut B.S. Bloom.
3. Untuk mengetahui teori-teori psikologi belajar.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Kecerdasan Manusia Dalam Belajar


Kecerdasan merupakan salah satu anugerah besar dari Allah SWT kepada
manusia dan menjadikannya sebagai salah satu kelebihan manusia dibandingkan
dengan makhluk lainnya. Karena dengan kecerdasannya, manusia dapat terus
menerus mempertahankan dan meningkatkan kualitas hidupnya yang semakin
kompleks, melalui proses berfikir dan belajar secara terus menerus. Pada
umumnya kecerdasan dihubungkan dengan akal (intelektual), akan tetapi
kecerdasan intelektual ternyata belum cukup untuk menjamin ketepatan
keputusan, sehingga dewasa ini orang mulai membicarakan tentang kecerdasan
lain, yaitu kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual (Mubarok 2001).
Pada mulanya kecerdasan hanya berkaitan dengan kemampuan struktur akal
dalam menangkap gejala sesuatu,sehingga kecerdasan hanya bersentuhan
dengan aspek-aspek kognitif, namun pada perkembangan berikutnya bukan
semata-mata hanya mengenai struktur akal. Melainkan terdapat struktur qalbu
yang perlu mendapat tempat tersendiri untuk menumbuhkan aspek-aspek afektif,
seperti kehidupan moral, emosional, spiritual dan agama. Karena itu jenis
kecerdasan seseorang sangat bermacam-macam, diantaranya adalah (Abdul
Mujib 2002); IQ (intelligence quotion), IE (intelligence emotional), IS
(intelligence spiritual), ketiganya membentuk hierarki kecerdasan yang dimiliki
secara utuh oleh setiap individu.
 Kecerdasan Intelektual (IQ)
Kata akal dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa arab (‫( العق??ل‬yang
mengandung arti mengikat atau menahan, tetapi secara umum akal difahami
sebagai potensi yang disiapkan untuk menerima ilmu pengetahuan. Dalam
psikologi modern akal dipahami sebagai kecakapan memecahkan masalah
(problem solving capasity), (Yaumi 2012). Dalam Lisanul Arab, disebutkan
pengertian akal sebagai berikut. Akal: kekangan atau larangan, merupakan lawan
dari kata kebodohan. Jamaknya adalah ‫عقول‬Uquul, Al-‘aql ( ‫ )العقل‬juga berarti

3
teliti dalam berbagai urusan. Al aql (‫ ) العقل‬juga berarti qolb ‫القلب‬, dan qolb ‫قلب‬
juga berarti aql (‫( )عقل‬Az-Zabalani 2007).
Sedangkan dalam istilah psikologi, IQ adalah kemampuan seseorang untuk
mengenal dan merespon alam semesta, yang tercermin dalam matematika, fisika,
kimia, biologi, dan bidang eksakta serta teknik, tetapi belum merupakan
pengetahuan untuk mengenal dan memahami diri sendiri dan sesamanya. IQ
lebih mengarahkan pada objek-objek di luar manusia, IQ dapat diibaratkan
sebagai kuda. Yang perlu kita perhatikan adalah bahwa IQ merupakan kadar
kemampuan seseorang atau anak dalam memahami hal-hal yang sifatnya
fenomenal, faktual data dan hitungan. IQ adalah cermin kemampuan seseorang
dalam memahami dunia luar (Suharsono 2005).
Inti kecerdasan intelektual ialah aktifitas otak. Tingkat kecerdasan seorang
anak yang ditentukan secara metodik oleh IQ (Intellegentia Quotient) memegang
peranan penting untuk suksesnya anak dalam belajar. Menurut penyelidikan, IQ
atau daya tangkap seseorang mulai dapat ditentukan sekitar umur 3 tahun. Daya
tangkap sangat dipengaruhi oleh garis keturunan (genetic) yang dibawanya dari
keluarga ayah dan ibu di samping faktor gizi makanan yang cukup.
Kecerdasan intelektual merupakan suatu kemampuan seseorang dalam
menalar, merancang, memecahkan suatu masalah, berfikir secara abstrak,
memahami gagasan, penggunaan bahasa, daya tangkap, dan belajar.1
 Kecerdasan Emosi (EQ)
Emosi lahir dari peristiwa-peristiwa yang dialami manusia dan dapat
merespon jiwa. Bentuk emosi tersebut menyenangkan kalau peristiwanya
menyenangkan, dan memurungkan kalau peristiwanya memurungkan (Az-
Zabalani 2007). Tahun 1995 Daniel Golemen mempopulerkan kecerdasan
emosional, yang lebih dikenal dengan istilah EQ. EQ (Emotional Quotient)
merupakan persyaratan dasar untuk menggunakan potensi IQ secara efektif,
dalam bukunya Working With Emotional Intelligence, ia menyebutkan bahwa
EQ terdiri atas kecakapan pribadi dan kecakapan sosial.
Goleman mengemukakan bahwa kecerdasan emosi merujuk pada kemampuan
mengenali perasaan kita sendiri dan perasaan orang lain, kemampuan
1
https://id.m.wikipedia.org diakses pada 2 Desember 2019 pukul 14.10 WIB.

4
memotivasi diri sendiri dan kemampuan mengelola emosi dengan baik pada diri
sendiri dan dalam hubungan dengan orang lain. Kecerdasan emosional sangat
dipengaruhi oleh lingkungan, tidak bersifat menetap, dapat berubah-ubah setiap
saat. Untuk itu, peranan lingkungan terutama orang tua pada masa kanak-kanak
sangat mempengaruhi dalam pembentukan kecerdasan emosional.
Kecerdasan emosional adalah kemampuan untuk merasa.2
 Kecerdasan Spiritual (SQ)
Kecerdasan spiritual adalah kecerdasan jiwa. Ia adalah kecerdasan yang dapat
membantu kita menyembuhkan dan membangun diri kita secara utuh.
Kecerdasan spiritual adalah kesadaran yang dengannya kita tidak hanya
mengakui nilai-nilai yang ada, tetapi secara kreatif menemukan nilai-nilai baru.
Kecerdasan spiritual bukan doktrin agama yang mengajak umat manusia untuk
cerdas dalam memilih atau memeluk salah satu agama yang dianggap benar.
Kecerdasan spiritual lebih merupakan konsep yang berhubungan dengan
bagaimana seseorang cerdas dalam mengelola dan mendayagunakan makna-
makna, nilai-nilai, dan kualitas-kualitas kehidupan spiritualnya. Kehidupan-
kehidupan spiritual ini meliputi hasrat untuk hidup bermakna (The Will To
Meaning), yang memotivasi kehidupan manusia untuk senantiasa mencari
makna hidup (The Meaning Of Life), dan mendambakan hidup bermakna (The
Meaningfull Life), (Abdul Mujib 2002).
Kecerdasan spiritual merupakan kemampuan seseorang dalam menghadapi
persoalan makna yakni kemampuan seseorang dalam menempatkan perilaku
dalam konteks yang lebih luas.3
Spiritual Quetion berfungsi mengembangkan diri kita secara utuh karena kita
memiliki potensi. SQ dapat dijadikan pedoman saat kita berada diujung masalah
eksistensial yang paling menantang dalam hidup berada diluar yang diharapkan
dan dikenal, di luar aturan-aturan yang telah diberikan, melampaui pengalaman
masa lalu, dan melampaui sesuatu yang kita hadapi.

2
Ary ginanjar agustian. Rahasia sukses membangun kecerdasan emosi dan spiritual ESQ
emotional spiritual quotient the ESQ way 165. (jakarta: PT AGRA TILANTA, 2001) hal.11
3
Ibid, hal.14

5
Menurut Danah (Danah 2002), SQ memungkinkan kita untuk menyatukan
hal-hal yang bersifat intrapersonal dan interpersonal serta menjembatani
kesenjangan antara diri sendiri dan orang lain, dan kita menggunakan kecerdasan
spiritual seperti contoh: (1) Kita berhadapan dengan masalah eksistensial seperti
saat kita merasa terpuruk, khawatir, dan masalah masa lalu akibat penyakit dan
kesedihan. SQ menjadikan kita sadar bahwa kita mempunyai masalah
eksistensial yang membuat kita mampu mengatasinya, atau setidak-tidaknya kita
dapat berdamai dengan masalah tersebut, SQ memberikan kita rasa yang dalam
menyangkut perjuangan hidup. (2) Kita menggunakannya untuk menjadi kreatif,
kita menghadirkannya ketika ingin menjadi luwees, berwawasan luas, atau
spontan kreatif. (3) Kita dapat menggunakan SQ untuk menjadi cerdas secara
spiritual dalam beragama, SQ membawa kita kejantung segala sesuatu, ke
kesatuan di balik perbedaan, ke potensi di balik ekspresi nyata. (4) Kita
menggunakan SQ untuk mencapai perkembangan diri yang lebih utuh karena
kita memiliki potensi untuk itu. (5) Kecerdasan spiritual memberi kita suatu rasa
yang dapat menyangkut perjuangan hidup.
Kecerdasan spiritual akan mengajak pelakunya untuk mampu mengenal betul
jati dirinya di tengah masyarakat. Pola hidup tidak hanya memikirkan tentang
keduniawian, namun juga bagaimana adanya keseimbangan dengan ukhrawi
yang tercermin dalam bentuk peribadatan dan ibadah lainnya yang berupaya
mendekatkan diri dengan Sang Khaliq. Kehidupan yang berbagi dan saling
memberi menjadi bentuk tersendiri di era modern dimana individualis tak
terbantahkan lagi. Kecerdasan spiritual membutuhkan rasa yang peka terhadap
lingkungan dan agama yang dianutnya.
 Kecerdasan Adversitas (AQ)
AQ adalah kecerdasan yang dimiliki seseorang dalam mengatasi kesulitan
dan sanggup untuk bertahan hidup.4 Dengan ini seseorang akan diukur
kemampuannya dalam megatasi suatu masalah yang dihadapi. Pada saat ini AQ
seseorang mulai banyak digali dan di teliti, terkusus pada pendidikan karena
pentingnya adversity quotient pada peserta didik sebagai seseorang yang

4
Paul G Stoltz, Adversity Quation,(jakarta: PT Grafindo, 2007 cetakan ke tujuh), h. 16

6
diharapkan menjadi sumber daya manusia yang tetap kuat, berkualitas, dan
selalu berprestasi di masa depan.5
Menurut Stolz dalam jurnal wahyu hidayat bahwa adversity quotient
merupakan suatu kemampuan seseorang dalam melihat dan mengolah kesulitan
yang ia hadapi sehingga menjadi suatu tantangan yang butuh diselesaikan.6

B. Ranah Belajar Bloom


Taksonomi Bloom merupakan teori pembelajaran yang digunakan dalam
bidang pendidikan. Taksonomi ini dihasilkan dari karya pemikiran Bloom yang
dijadikan sebagai acuan berpikir yang dapat meningkat karena mudah dalam
penerapan dan pemahamannya.
Kata taksonomi sendiri berasal dari bahasa Yunani yang terdiri dari dua kata,
yaitu tassein yang berarti menggolongkan, dan nomos artinya aturan. Jadi,
apabila diterjemahkan berdasarkan dua kata tersebut, taksonomi memiliki arti
kegiatan yang menggolongkan suatu aturan-aturan. Adapun pengertian
taksonomi secara istilah adalah suatu proses menggolongkan tingkatan derajat
berpikir yang dapat meningkat dari yang terendah ke tingkat yang lebih tinggi
dan memuat keseluruhan potensi daya pikir manusia.7
Pada awalnya taksonomi hanya memuat ranah kognitif saja, tetapi kemudian
para ahli terutama Kratwohl dan Anderson mengembangkannya menjadi tiga
ranah yaitu ranah kognitif, afektif, dan psikomotorik. Bloom berpendapat bahwa
tujuan pendidikan harus mampu mencapai ketiga domain (aspek atau ranah)
tersebut. Hakikatnya Taksonomi Bloom adalah pengembangan sistem

5
Hikmatussyarifah dkk, Pengaruh Kelekatan Keluarga Terhadap Adversity Quotient Pada
Mahasiswa Bidik Misi, JKKP: Jurnal Kesejahteraan, E-ISSN: 2597-4521, Keluarga dan
Pendidikan, Vol.03 No.02, hal 95
6
Wahyu Hidayat dan Ratna Sariningsih, Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis Dan
Adversity Quotient Siswa Smp Melalui Pembelajaran Open Ended, JNPM (Jurnal Nasional
Pendidikan Matematika) Vol. 2, No. 1, Hal. 109-118 p-ISSN 2549-8495, e-ISSN 2549-4937,
Maret 2018, Hal. 112
7
Dominikus Tulasi, “Meruntut Pemahaman Taksonomi Bloom: Suatu Kontemplasi
Filosofis”, Jurnal Humaniora, vol. 1, no. 2 (2010): 360 diakses pada 05 Januari, 2019,
https://www.google.com/url?sa=t&source=web&rct=j&url=https://media.neliti.com/media/
publications/167113-ID-merunut-pemahaman-taksonomi-
bloomsuatu.pdf&ved=2ahUKEwic6_DXt53AhVBuY8KHSTnBQAQFjAAegQIAhAB&usg
=AoVawAGcy5oyy96ctP_IcAH0ftA

7
pengelompokan perilaku belajar peserta didik yang terukur, dapat diamati, yang
berrtujuan untuk membantu perencanaan dan penilaian hasil belajar.
Adapun klasifikasi dari taksonomi adalah sebagai berikut.
o Ranah Kognitif (Cognition)
Ranah kognitif berasal dari kata cognition yang dapat disamakan dengan
knowing yang memiliki arti mengetahui. Berdasarkan arti yang luas, cognition
atau kognisi ialah peroleh, penataan, dan penggunaan pengetahuan. Dalam ranah
psikologis hasil belajar peserta didik yang meliputi setiap perilaku mental yang
memiliki hubungan dengan pemahaman, pertimbangan, pengolahan, informasi,
pemecah masalah, kesengajaan dan keyakinan.8
Menurut Bloom, ranah kognitif terdiri atas enam tingkatan yang disusun
secara urutan tingkatan dari rendah ke tingkatan tinggi, yaitu: pengetahuan
(knowledge), pemahaman (comprehension), penerapan (application), analisis
(analysis), sintesis atau membandingkan (synthesis), dan evaluasi (evaluation).
Ciri khas belajar kognitif terletak pada proses belajar yang memperoleh dan
menggunkan bentuk-bentuk keadaan yang mewakili obyek-obyek yang
dihadapi. Bahwa semakin banyak pikiran dan gagasan yang dimiliki oleh peserta
didik, maka semakin kaya dan luas alam pikiran kognitif peserta didik. Di
samping itu, semakin besar kemampuan berbahasa peserta didik untuk
mengungkapkan gagasan dan pikiran, maka semakin meningkat pula kemahiran
untuk menggunakan kemampuan kognitif secara efektif dan efisien.9
o Ranah Afektif (Affective)
Ranah afektif diperoleh dari suatu proses dan hasil belajar yang menekankan
pada bagaimana peseta didik dalam bersikap dan bertingkah laku di dalam
lingkungannya. Terdapat dua kategori mengenai ranah afektif, yakni (1) perilaku
melibatkan perasaan dan emosi seseorang, (2) perilaku merupakan sesuatu yang
8
Supardi, Penilaian Auntetik Pembelajaran Afektif, Kognitif, dan Psikomotor: Konsep dan
Aplikasi (Jakarta: Rajawali Pers, 2016), h. 152.
9
Ahmad Fauzi, “Daya Serap Siswa Terhadap Pembelajaran Taksonomi Pendidikan Agama
Islam”, 58 diakses pada 05 Januari, 2019, https://www.google.com/url?
sa=t&source=web&rct=j&url=http://ejournal.alqolam.ac.id/index.php/jurnal_pusaka/
article/download/daya-serap-siswa-pembelajaran-taksonomi-pai/88/
&ved=2ahUKEwjVhd38t53hAhUQ73MBHXEJDrkQFjAAegQIAhAB&usg=AOvVaw1oW
dpmj4D-2YYY_RL0-9Sb

8
menjadikan seseorang memiliki kekhasan dari dalam dirinya. Para ahli
menekankan ranah afektif ini pada perkembangan kematangan moral dan sosial
peserta didik.10
Pembelajaran ranah afektif berkaitan dengan sikap yang terdiri dari bagian,
yakni: penerimaan, menerima dan menanggapi, penilaian atau penentuan sikap,
organisasi, dan karakterisasi.
Ciri belajar afektif akan nampak pada peserta didik dalam berbagai tingkah
laku, misalnya peserta didik memusatkan perhatiannya pada mata pelajaran,
kedisiplinan peserta didik dalam mengikuti mata pelajaran di sekolah, motivasi
ptinggi yang dimiliki peserta didik sebagai keinginan untuk mengetahui lebih
banyak mengenai pelajaran yang diterimanya, perhargaan atau rasa hormatnya
terhadap guru dan sebagainya.11
o Ranah Psikomotorik (Psychomotor)
Ranah psikomotorik sebagai proses dan hasil belajar peserta didik yang
merupakan pemberian pengalaman untuk terampil mengerjakan sesuatu dengan
menggunakan motor yang dimiliki peserta didik. Motor pada peserta didik
digunakan sebagai istilah yang merujuk pada hal, keadaan, dan kegiatan yang
melibatkan otot-otot dan gerakan-gerakannya. Bloom berpendapat bahwa ranah
psikomotorik berhubungan dengan hasil belajar yang pencapaiannya melalui
keterampilan manipulasi yang melibatkan otot dan kekuatan fisik.12
Ada tujuh kategori dalam ranah psikomotorik mulai dari tingkat sederhana
hingga tingkat yang rumit, yaitu: persepsi, kesiapan, gerakan terbimbing,
gerakan yang terbiasa, gerakan kompleks, penyesuaian pola gerakan, dan
kreativitas.13

C. Teori-Teori Psikologi Belajar


10
Supardi, Penilaian Auntetik Pembelajaran Afektif, Kognitif, dan Psikomotor, 152.
11
Ahmad Fauzi, “Daya Serap Siswa Terhadap Pembelajaran Taksonomi Pendidikan Agama
Islam”, 59 diakses pada 05 Januari, 2019, https://www.google.com/url?
sa=t&source=web&rct=j&url=http://ejournal.alqolam.ac.id/index.php/jurnal_pusaka/
article/download/daya-serap-siswa-pembelajaran-taksonomi-pai/88/
&ved=2ahUKEwjVhd38t53hAhUQ73MBHXEJDrkQFjAAegQIAhAB&usg=AOvVaw1oW
dpmj4D-2YYY_RL0-9Sb
12
Supardi, Penilaian Auntetik Pembelajaran Afektif, Kognitif, dan Psikomotor, h.178.
13
W. S. Winkel, Psikologi Pengajaran, h.287-288

9
a. Teori Perilaku Sosial
Perilaku sosial merupakan perilaku yang alami atau natural dan timbul secara
spontan dalam interaksi.14 Sementara itu, Skinner sebagai Bapak Perilaku Sosial
(Behaviorisme) menyatakan bahwa perilaku sosial adalah perilaku yang dapat
diamati dan determinan dari lingkungannya.15
Dari beberapa pengertian yang disampaikan oleh ahli di atas dapat diambil
kesimpulan bahwa perilaku sosial merupakan suatu hubungan timbal balik
antara dua individu atau lebih akibat adanya stimulus atau pengaruh dari
lingkungan untuk bertingkah laku sesuai dengan harapan lingkungan, di mana
melibatkan faktor kognisi untuk menentukan individu tersebut menerima atau
menolak pengaruh dari lingkungannya. Perilaku sosial anak dapat dilihat dalam
bentuk kerjasama, menghormati/menghargai, jujur, maupun dalam situasi
pertentangan.
b. Teori Kognitif
Saam (2010:59) menyatakan bahwa Teori kognitif menekankan bahwa
peristiwa belajar merupakan proses internal atau mental manusia. Teori kognitif
menyatakan bahwa tingkah laku manusia yang tampak tidak bisa diukur dan
diterangkan tanpa melibatkan proses mental yang lain seperti motivasi, sikap,
minat, dan kemauan.
Gredler dalam Uno (2006:10) menyatakan bahwa Teori belajar kognitif
merupakan suatu teori belajar yang lebih mementingkan proses belajar daripada
hasil belajar itu sendiri. Bagi penganut aliran ini, 8 belajar tidak sekedar
melibatkan hubungan antara stimulus dan respons. Namun lebih erat dari itu,
belajar melibatkan proses berpikir yang sangat kompleks.
c. Teori Behavior
Teori belajar behavioristik merupakan teori yang mempelajari tingkah laku
manusia. Menurut Desmita (2009:44) teori belajar behavioristik adalah teori
belajar untuk mengerti tingkah laku manusia menggunakan pendekatan
mekanistik, objektif, dan materialistik, sehingga perubahan tingkah laku pada
diri seseorang dapat dilakukan melalui upaya pengkondisian. Dengan kata lain,

14
Bimo Walgito. Teori-teori Sosial. Yogyakarta : CV. Andi Offset. 2011. h. 27
15
Santrock, John W. Life Span Development. Jakarta: Erlangga, 2002, h. 45

10
mempelajari tingkah laku seseorang seharusnya dilakukan melalui pengujian dan
pengamatan atas tingkah laku yang terlihat, bukan dengan mengamati kegiatan
bagian-bagian dalam tubuh. Teori ini mengutamakan pengamatan, karena
pengamatan adalah suatu hal penting untuk melihat terjadi atau tidaknya
perubahan tingkah laku tersebut. Teori behavioristik menekankan pada kajian
ilmiah mengenai berbagai respon perilaku yang dapat diamati dan penentu
lingkungannya. Teori ini menekankan pada tingkah laku manusia sebagai akibat
dari interaksi antara stimulus dan respon. Aliran ini menekankan pada
terbentuknya perilaku yang tampak sebagai hasil belajar.
d. Teori Humanistik
Menurut teori humanisme, belajar adalah memanusiakan manusia yaitu
mencapai aktualisasi diri, pemahaman diri, serta realisasi diri secara optimal.
Teori humanistik berasumsi bahwa teori belajar apapun baik dan dapat
dimanfaatkan, asal tujuannya untuk memanusiakan manusia yaitu pemcapaian
aktualisasi diri, pemahaman diri, serta realisasi diri orang belajar secara optimal
(Assegaf, 2011). Suatu teori belajar dikatakan humanistik jika memiliki ciri-ciri
sebagai berikut. Menekankan pada aktualisasi diri individu (manusia sebagai
sosok individu yang bisa mengeksplorasi dirinya). Proses merupakan hal penting
yang menjadi fokus belajar. Tidak ada yang berhak mengatur proses belajar
setiap individu. Penerapan teori humanisme dalam pembelajaran adalah peserta
didik perlu di hindarkan dari tekanan pada lingkungan sehingga mereka merasa
aman untuk belajar lebih mudah dan bermakna. Berikan kesempatan kepada
peserta didik untuk mengembangkan kemampuanya agar peserta didik
mendapatkan pengalaman belajar yang bermakna
e. Teori Konstruktivistik
Konstruktivisme merupakan landasan berpikir pendekatan kontekstual, yaitu
bahwa pengetahuan dibangun bukanlah seperangkat fakta-fakta, konsep, atau
kaidah yang siap untuk diingat. Dalam proses pembelajaran, siswa membangun
sendiri pengetahuan mereka melalui keterlibatan aktif dalam proses belajar dan
mengajar.
Tujuan konstruktivisme(Thobroni, 2015:95). Yaitu:

11
o Mengembangkan kemampuan siswa untuk mengajukan pertanyaan dan
mencari sendiri pertanyanya
o Membantu siswa untuk mengembangkan pengertian dan pemahaman
konsep secara lengkap
o Mengembangkan kemampuan siswa untuk menjadi pemikir yang mandiri

12
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa:
1. Jenis kecerdasan seseorang sangat bermacam-macam, diantaranya adalah
(Abdul Mujib 2002); IQ (intelligence quotion), IE (intelligence emotional),
IS (intelligence spiritual), dan Kecerdasan Adversitas.
2. Adapun ranah belajar menurut B.S Blomm adalah; ranah kognitif, ranah
afektif, dan ranah psikomotorik.
3. Teori- Teori psikologi belajar;
 Perilaku sosial merupakan perilaku yang alami atau natural dan timbul
secara spontan dalam interaksi.
 Saam (2010:59) menyatakan bahwa Teori kognitif menekankan bahwa
peristiwa belajar merupakan proses internal atau mental manusia. Teori
kognitif menyatakan bahwa tingkah laku manusia yang tampak tidak bisa
diukur dan diterangkan tanpa melibatkan proses mental yang lain seperti
motivasi, sikap, minat, dan kemauan.
 Menurut Desmita (2009:44) teori belajar behavioristik adalah teori belajar
untuk mengerti tingkah laku manusia menggunakan pendekatan
mekanistik, objektif, dan materialistik.
 Menurut teori humanisme, belajar adalah memanusiakan manusia yaitu
mencapai aktualisasi diri, pemahaman diri, serta realisasi diri secara
optimal.
 Konstruktivisme merupakan landasan berpikir pendekatan kontekstual,
yaitu bahwa pengetahuan dibangun bukanlah seperangkat fakta-fakta,
konsep, atau kaidah yang siap untuk diingat. Dalam proses pembelajaran,
siswa membangun sendiri pengetahuan mereka melalui keterlibatan aktif
dalam proses belajar dan mengajar.

13
DAFTAR PUSTAKA

Fauzi, Ahmad “Daya Serap Siswa Terhadap Pembelajaran Taksonomi Pendidikan


Agama Islam”, 58 diakses pada 05 Januari, 2019, https://www.google.com/url?
sa=t&source=web&rct=j&url=http://ejournal.alqolam.ac.id/index.php/
jurnal_pusaka/article/download/daya-serap-siswa-pembelajaran-taksonomi-pai/
88/
&ved=2ahUKEwjVhd38t53hAhUQ73MBHXEJDrkQFjAAegQIAhAB&usg=A
OvVaw1oWdpmj4D-2YYY_RL0-9Sb
Ginanjar Agustian, Ary. Rahasia sukses membangun kecerdasan emosi dan spiritual
ESQ emotional spiritual quotient the ESQ way 165. (jakarta: PT AGRA
TILANTA, 2001).
Walgito, Bimo Teori-teori Sosial. Yogyakarta : CV. Andi Offset. 2011.
Tulasi, Dominikus. “Meruntut Pemahaman Taksonomi Bloom: Suatu Kontemplasi
Filosofis”, Jurnal Humaniora, vol. 1, no. 2 (2010): 360 diakses pada 05 Januari,
2019,
https://www.google.com/url?sa=t&source=web&rct=j&url=https://media.neliti.c
om/media/publications/167113-ID-merunut-pemahaman-taksonomi-
bloomsuatu.pdf&ved=2ahUKEwic6_DXt53AhVBuY8KHSTnBQAQFjAAegQI
AhAB&usg=AoVawAGcy5oyy96ctP_IcAH0ftA
Hikmatussyarifah dkk, Pengaruh Kelekatan Keluarga Terhadap Adversity Quotient
Pada Mahasiswa Bidik Misi, JKKP: Jurnal Kesejahteraan, E-ISSN: 2597-4521,
Keluarga dan Pendidikan, Vol.03 No.02.
G Stoltz, Paul. Adversity Quation,(jakarta: PT Grafindo, 2007 cetakan ke tujuh.
John W, Santrock. Life Span Development. Jakarta: Erlangga, 2002.
Supardi, Penilaian Auntetik Pembelajaran Afektif, Kognitif, dan Psikomotor: Konsep
dan Aplikasi (Jakarta: Rajawali Pers, 2016).
W. S. Winkel, Psikologi Pengajaran.
Hidayat, Wahyu dan Sariningsih Ratna, Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis
Dan Adversity Quotient Siswa Smp Melalui Pembelajaran Open Ended, JNPM

14
(Jurnal Nasional Pendidikan Matematika) Vol. 2, No. 109-118 p-ISSN 2549-
8495, e-ISSN 2549-4937, Maret 2018.

15

Anda mungkin juga menyukai