Anda di halaman 1dari 22

MAKALAH

“TEORI BEHAVIORISTIK”
Diselesaikan untuk memenuhi tugas mata kuliah Teori Belajar dan Pembelajaran
yang di ampu oleh:

DR, Kartika Hajati, M.Pd

Disusun Oleh: Kelompok 1 (Satu)

Yulisarah H0416009
Darmawan H0416011
Amiratu Assadia H0416317
Rahmawati H0416323
Arjun H0416501
Sucipto Adiwiharja H0416512

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN FISIKA


FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS SULAWESI BARAT
MAJENE
2017
KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT. Karena berkat rahmat
dan karunianyalah saya dapat menyelesaikan penyusunan makalah yang berjudul
“Teori Behavioristik” tepat pada waktunya. Salawat serta salam semoga tetap
tercurah kepada baginda Nabi besar Muhammad SAW. kepada keluarga, serta
para sahabatnya dan seluruh umatnya yang tetap berpegang teguh pada ajaran-
Nya dan yang selalu kita nantikan syafaatnya di yaumul kiyamah nanti.
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Teori Belajar dan
Pembelajaran yang di ampu oleh Ibu Dr. KARTIKA HAJATI, M.Pd.
Dalam penyusunan makalah ini, saya mengucapkan banyak terima kasih
kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian makalah ini.
Saya menyadari sepenuhnya bahwa tulisan ini masih banyak kekurangan,
sehingga adanya kritik dan saran yang bersifat membangun dari pihak manapun
sangat diharapkan demi kesempurnaan selanjutnya, saya juga berharap semoga
tulisan ini dapat memberikan sumbangan pemikiran kepada pihak-pihak yang
terkait dalam permasalahan ini.

Majene, 4 November 2017

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..............................................................................................i

DAFTAR ISI.............................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang............................................................................................1

B. Rumusan Masalah.......................................................................................1

C. Tujuan......................................................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN

A. Pengertian Belajar menurut teori Behavioristik......................................... 3

B. Prinsip-Prinsip dalam Teori Behavioristik..................................................3

C. Tokoh-tokoh aliran behavioristik................................................................4

D. 4 Landasan teori Behavioristik................................................................... 9

E. Kelebihan serta Kekurangan Teori Behavioristik....................................... 14

F. Aplikasi Teori Behavioristik dalam Kegiatan Pembelajaran...................... 15

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan ................................................................................................ 18

B. Saran ......................................................................................................... 18

DAFTAR PUSTAKA............................................................................................... 19

ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Belajar merupakan suatu proses usaha sadar yang dilakukan oleh individu
untuk suatu perubahan dari tidak tahu menjadi tahu, dari tidak memiliki sikap
menjadi bersikap benar, dari tidak terampil menjadi terampil melakukan
sesuatu. Belajar tidak hanya sekedar memetakan pengetahuan atau informasi
yang disampaikan. Namun bagaimana melibatkan individu secara
aktif membuat atau pun merevisi hasil belajar yang diterimanya menjadi suatu
pengalamaan yang bermanfaat bagi pribadinya. Pembelajaran merupakan
suatu sistim yang membantu individu belajar dan berinteraksi dengan sumber
belajar dan lingkungan.
Teori adalah seperangkat azaz yang tersusun tentang kejadian-kejadian
tertentu dalam dunia nyata. Teori merupakan seperangkat preposisi yang
didalamnya memuat tentang ide, konsep, prosedur dan prinsip yang terdiri dari
satu atau lebih variable yang saling berhubungan satu sama lainnya dan dapat
dipelajari, dianalisis dan diuji serta dibuktikan kebenarannya. Dari dua
pendapat diatas Teori adalah seperangkat azaz tentang kejadian-kejadian yang
didalamnnya memuat ide, konsep, prosedur dan prinsip yang dapat dipelajari,
dianalisis dan diuji kebenarannya. Teori belajar adalah suatu teori yang di
dalamnya terdapat tata cara pengaplikasian kegiatan belajar mengajar antara
guru dan siswa, perancangan metode pembelajaran yang akan dilaksanakan di
kelas maupun di luar kelas.

B. Rumusan Masalah
1. Apa itu teori Behavioristik?
2. Apa pengertian belajar menurut teori Behavioristik?
3. Apa saja landasan teori behavioristik?
4. Apa saja kekurangan dan kelebihan teori behavioristik?
5. Bagaimana aplikasi teori Behavioristik daam pembelajaran?

1
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui apa itu teori Behavioristik.
2. Untuk mengetahui apa pengertian belajar menurut teori Behavioristik.
3. Untuk mengetahui apa saja landasan teori behavioristik.
4. Untuk mengetahui apa saja kekurangan dan kelebihan teori behavioristik.
5. Untuk mengetahui bagaimana aplikasi teori Behavioristik daam
pembelajaran.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Belajar menurut teori Behavioristik


Menurut teori behavioristik, belajar adalah perubahan tingkah laku sebagai
akibat adanya interaksi antara stimulus (rangsangan) dan respon (tanggapan).
Dengan kata lain, belajar merupakan bentuk perubahan yang dialami siswa
dalam hal kemampuannya untuk bertingkah laku dengan cara yang baru
sebagai hasil interaksi antara stimulus dan respon. Seseorang dianggap telah
belajar sesuatu jika ia dapat menunjukkan perubahan pada tingkah lakunya.
Menurut teori ini hal yang paling penting adalah input (masukan) yang
berupa stimulus dan output (keluaran) yang berupa respon. Menurut toeri ini,
apa yang tejadi diantara stimulus dan respon dianggap tidak penting
diperhatikan karena tidak dapat diamati dan tidak dapat diukur. Yang dapat
diamati hanyalah stimulus dan respon. Oleh sebab itu, apa saja yang diberikan
guru (stimulus) dan apa yang dihasilkan siswa (respon), semuanya harus dapat
diamati dan diukur. Teori ini lebih mengutamakan pengukuran, sebab
pengukuran merupakan suatu hal yang penting untuk melihat terjadinya
perubahan tungkah laku tersebut. Faktor lain yang juga dianggap penting
adalah faktor penguatan. Penguatan adalah apa saja yang dapat memperkuat
timbulnya respon. Bila penguatan diitambahkan maka respon akan semakin
kuat. Begitu juga bila penguatan dikurangi maka responpun akan dikuatkan.
Jadi, penguatan merupakan suatu bentuk stimulus yang penting diberikan
(ditambahkan) atau dihilangkan (dikurangi) untuk memungkinkan terjadinya
respon.

B. Prinsip-Prinsip dalam Teori Behavioristik


1. Perilaku nyata dan terukur memiliki makna tersendiri, bukan sebagai
perwujudan dari jiwa atau mental yang abstrak.
2. Aspek mental dari kesadaran yang tidak memiliki bentuk fisik adalah
pseudo problem untuk sciene, harus dihindari.
3. Penganjur utama adalah Watson : overt, observable behavior, adalah satu-
satunya subyek yang sah dari ilmu psikologi yang benar.

3
4. Dalam perkembangannya, pandangan Watson yang ekstrem ini
dikembangkan lagi oleh para behaviorist dengan memperluas ruang lingkup
studi behaviorisme dan akhirnya pandangan behaviorisme juga menjadi
tidak seekstrem Watson, dengan mengikutsertakan faktor-faktor internal
juga, meskipun fokus pada overt behavior tetap terjadi.
5. Aliran behaviorisme juga menyumbangkan metodenya yang terkontrol dan
bersifat positivistik dalam perkembangan ilmu psikologi.
6. Banyak ahli membagi behaviorisme ke dalam dua periode, yaitu
behaviorisme awal dan yang lebih belakangan.

C. Tokoh-tokoh aliran behavioristik


1. Edward Lee Thorndike (1874 – 1949)
Menurut Thorndike, belajar merupakan proses interaksi antara stimulus
dan respon. Stimulus adalah apa yang merangsang terjadinya kegiatan
belajar seperti pikiran, perasaan atau hal-hal lain yang dapat ditangkap
melalui alat indera. Respon adalah reaksi yang dimunculkan peserta didik
ketika belajar, juga dapat berupa pikiran, perasaan, gerakan atau tindakan.
Teori Thorndike ini sering disebut teori koneksionisme.
Prinsip pertama teori koneksionisme adalah belajar suatu kegiatan
membentuk asosiasi (connection) antara kesan panca indera dengan
kecenderungan bertindak. Misalnya, jika anak merasa senang atau tertarik
pada kegiatan jahit-menjahit, maka ia akan cenderung mengerjakannya.
Apabila hal ini dilaksanakan, ia merasa puas dan belajar menjahit akan
menghasilkan prestasi memuaskan.
Dengan adanya pandangan-pandangan Thorndike yang memberikan
sumbangan cukup besar di dunia pendidikan tersebut, maka ia dinobatkan
sebagai salah satu tokoh pelopor dalam psikologi pendidikan. Selain itu,
bentuk belajar yang paling khas baik pada hewan maupun pada manusia
menurutnya adalah “trial and error learning atau selecting and connecting
learning” dan berlangsung menurut hukum-hukum tertentu.

4
Menurut Thorndike terdapat tiga hukum belajar yang utama yaitu :
a. The Law of Effect (Hukum Akibat).
Hukum akibat yaitu hubungan stimulus respon yang cenderung
diperkuat bila akibatnya menyenangkan dan cenderung diperlemah jika
akibatnya tidak memuaskan. Hukum ini menunjuk pada makin kuat atau
makin lemahnya koneksi sebagai hasil perbuatan. Suatu perbuatan yang
disertai akibat menyenangkan cenderung dipertahankan dan lain kali
akan diulangi. Sebaliknya, suatu perbuatan yang diikuti akibat tidak
menyenangkan cenderung dihentikan dan tidak akan diulangi.
Koneksi antara kesan panca indera dengan kecenderungan
bertindak dapat menguat atau melemah, tergantung pada “buah” hasil
perbuatan yang pernah dilakukan. Misalnya, bila anak mengerjakan PR,
ia mendapatkan muka manis gurunya. Namun, jika sebaliknya, ia akan
dihukum. Kecenderungan mengerjakan PR akan membentuk sikapnya.
b. The Law of Exercise (Hukum Latihan)
Hukum latihan yaitu semakin sering tingkah laku diulang/dilatih
(digunakan), maka asosiasi tersebut akan semakin kuat. Dalam hal ini,
hukum latihan mengandung dua hal: The Law of Use : hubungan-
hubungan atau koneksi-koneksi akan menjadi bertambah kuat, kalau ada
latihan yang sifatnya lebih memperkuat hubungan itu. The Law of Disue :
hubungan-hubungan atau koneksi-koneksi akan menjadi bertambah
lemah atau terlupa kalau latihan-latihan dihentikan, karena sifatnya yang
melemahkan hubungan tersebut.
c. The Law of Readiness (Hukum Kesiapan).
Hukum kesiapan yaitu semakin siap suatu organisme memperoleh
suatu perubahan tingkah laku, maka pelaksanaan tingkah laku tersebut
akan menimbulkan kepuasan individu sehingga asosiasi cenderung
diperkuat.
Prinsip pertama teori koneksionisme adalah belajar merupakan
suatu kegiatan membentuk asosiasi (connection) antara kesan panca
indera dengan kecenderungan bertindak. Misalnya, jika anak merasa
senang atau tertarik pada kegiatan jahit-menjahit, maka ia akan

5
cenderung mengerjakannya. Apabila hal ini dilaksanakan, ia merasa puas
dan belajar menjahit akan menghasilkan prestasi memuaskan.
2. John Watson (1878 – 1958)
Watson adalah seorang behavioris murni, kajiannya tentang belajar
disejajarkan dengan ilmu-ilmu lain seperi Fisika atau Biologi yang sangat
berorientasi pada pengalaman empirik semata, yaitu sejauh mana dapat
diamati dan diukur.
Menurut Watson, belajar merupakan proses interaksi antara stimulus
dan respon, namun stimulus dan respon tersebut harus dapat diamati dan
diukur. Jadi perubahan-perubahan mental dalam diri seseorang selama
proses belajar, tidak perlu diperhitungkan karena tidak dapat diamati.
Pandangan utama Watson:
a. Psikologi mempelajari stimulus dan respons (S-R Psychology). Yang
dimaksud dgn stimulus adalah semua obyek di lingkungan, termasuk
juga perubahan jaringan dalam tubuh. Respon adalah apapun yang
dilakukan sebagai jawaban terhadap stimulus, mulai dari tingkat
sederhana hingga tingkat tinggi, juga termasuk pengeluaran kelenjar.
Respon ada yang overt dan covert, learned dan unlearned.
b. Tidak mempercayai unsur herediter (keturunan) sebagai penentu perilaku.
Perilaku manusia adalah hasil belajar sehingga unsur lingkungan sangat
penting (lihat pandangannya yang sangat ekstrim menggambarkan hal ini
pada Lundin, 1991 p.173). Dengan demikian pandangan Watson bersifat
deterministik, perilaku manusia ditentukan oleh faktor eksternal, bukan
berdasarkan free will.
c. Dalam kerangka mind-body, pandangan Watson sederhana saja. Baginya,
mind mungkin saja ada, tetapi bukan sesuatu yang dipelajari ataupun
akan dijelaskan melalui pendekatan ilmiah. Jadi bukan berarti bahwa
Watson menolak mind secara total. Ia hanya mengakui body sebagai
obyek studi ilmiah. Penolakan dari consciousness, soul atau mind ini
adalah ciri utama behaviorisme dan kelak dipegang kuat oleh para tokoh
aliran ini, meskipun dalam derajat yang berbeda-beda. [Pada titik ini
sejarah psikologi mencatat pertama kalinya sejak jaman filsafat Yunani

6
terjadi penolakan total terhadap konsep soul dan mind. Tidak heran bila
pandangan ini di awal mendapat banyak reaksi keras, namun dengan
berjalannya waktu behaviorisme justru menjadi populer.]
d. Sejalan dengan fokusnya terhadap ilmu yang obyektif, maka psikologi
harus menggunakan metode empiris. Dalam hal ini metode psikologi
adalah observation, conditioning, testing, dan verbal reports.
e. Secara bertahap Watson menolak konsep insting, mulai dari
karakteristiknya sebagai refleks yang unlearned, hanya milik anak-anak
yang tergantikan oleh habits, dan akhirnya ditolak sama sekali kecuali
simple reflex seperti bersin, merangkak, dan lain-lain.
f. Sebaliknya, konsep learning adalah sesuatu yang vital dalam pandangan
Watson, juga bagi tokoh behaviorisme lainnya. Habits yang merupakan
dasar perilaku adalah hasil belajar yang ditentukan oleh dua hukum
utama, recency dan frequency. Watson mendukung conditioning respon
Pavlov dan menolak law of effect dari Thorndike. Maka habits adalah
proses conditioning yang kompleks. Ia menerapkannya pada percobaan
phobia (subyek Albert). Kelak terbukti bahwa teori belajar dari Watson
punya banyak kekurangan dan pandangannya yang menolak Thorndike
salah.
g. Pandangannya tentang memory membawanya pada pertentangan dengan
William James. Menurut Watson apa yang diingat dan dilupakan
ditentukan oleh seringnya sesuatu digunakan/dilakukan. Dengan kata lain,
sejauh smana sesuatu dijadikan habits. Faktor yang menentukan adalah
kebutuhan.
h. Proses thinking and speech terkait erat. Thinking adalah subvocal talking.
Artinya proses berpikir didasarkan pada keterampilan berbicara dan
dapat disamakan dengan proses bicara yang ‘tidak terlihat’, masih dapat
diidentifikasi melalui gerakan halus seperti gerak bibir atau gesture
lainnya.
i. Sumbangan utama Watson adalah ketegasan pendapatnya bahwa perilaku
dapat dikontrol dan ada hukum yang mengaturnya. Jadi psikologi adlaah
ilmu yang bertujuan meramalkan perilaku. Pandangan ini dipegang terus

7
oleh banyak ahli dan diterapkan pada situasi praktis. Dengan
penolakannya pada mind dan kesadaran, Watson juga membangkitkan
kembali semangat obyektivitas dalam psikologi yang membuka jalan
bagi riset-riset empiris pada eksperimen terkontrol.
3. Clark L. Hull (1884 – 1952)
Clark Hull juga menggunakan variable hubungan antara stimulus dan
respon untuk menjelaskan pengertian belajar. Menurut Clark Hull, semua
fungsi tingkah laku bermanfaat terutama untuk menjaga agar organisme
tetap bertahan hidup. Oleh sebab itu Hull mengatakan kebutuhan biologis
(drive) dan pemuasan kebutuhan biologis (drive reduction) adalah penting
dan menempati posisi sentral dalam seluruh kegiatan manusia, sehingga
stimulus (stimulus dorongan) dalam belajarpun hampir selalu dikaitkan
dengan kebutuhan biologis, walaupun respon yang akan muncul mungkin
dapat berwujud macam-macam.
Prinsip-prinsip utama teorinya :
Reinforcement adalah faktor penting dalam belajar yang harus ada.
Namun fungsi reinforcement bagi Hull lebih sebagai drive reduction
daripada satisfied factor.
Dalam mempelajari hubungan S-R yang diperlu dikaji adalah peranan
dari intervening variable (atau yang juga dikenal sebagai unsure O
(organisma)). Faktor O adalah kondisi internal dan sesuatu yang
disimpulkan (inferred), efeknya dapat dilihat pada faktor R yang berupa
output. Karena pandangan ini Hull dikritik karena bukan behaviorisme sejati.
Proses belajar baru terjadi setelah keseimbangan biologis terjadi. Di sini
tampak pengaruh teori Darwin yang mementingkan adaptasi biologis
organism.
4. Edwin Guthrie.
Azas belajar Guthrie yang utama adalah hukum kontiguiti. Yaitu
gabungan stimulus-stimulus yang disertai suatu gerakan. Guthrie juga
menggunakan variabel hubungan stimulus dan respon untuk menjelaskan
terjadinya proses belajar. Belajar terjadi karena gerakan terakhir yang

8
dilakukan mengubah situasi stimulus sedangkan tidak ada respon lain yang
dapat terjadi.
Hubungan antara stimulus dan respon bersifat sementara, sehingga
dalam kegiatan belajar peserta didik perlu diberi stimulus dengan sering
agar hubungan stimulus dan respon bersifat lebih kuat dan menetap. Guthrie
juga percaya bahwa hukuman (punishment) memegang peranan penting
dalam proses belajar. Hukuman yang diberikan pada saat yang tepat akan
mampu mengubah tingkah laku seseorang.
5. Burrhus Frederic Skinner (1904 – 1990).
Konsep-konsep yang dikemukanan Skinner tentang belajar lebih
mengungguli konsep para tokoh sebelumnya. Ia mampu menjelaskan
konsep belajar secara sederhana, namun lebih komprehensif. Menurut
Skinner hubungan antara stimulus dan respon yang terjadi melalui interaksi
dengan lingkungannya, yang kemudian menimbulkan perubahan tingkah
laku, tidaklah sesederhana yang dikemukakan oleh tokoh tokoh sebelumnya.
Menurutnya respon yang diterima seseorang tidak sesederhana itu, karena
stimulus-stimulus yang diberikan akan saling berinteraksi dan interaksi
antar stimulus itu akan mempengaruhi respon yang dihasilkan. Respon yang
diberikan ini memiliki konsekuensi-konsekuensi. Konsekuensi-konsekuensi
inilah yang nantinya mempengaruhi munculnya perilaku.
Oleh karena itu dalam memahami tingkah laku seseorang secara benar
harus memahami hubungan antara stimulus yang satu dengan lainnya, serta
memahami konsep yang mungkin dimunculkan dan berbagai konsekuensi
yang mungkin timbul akibat respon tersebut. Skinner juga mengemukakan
bahwa dengan menggunakan perubahan-perubahan mental sebagai alat
untuk menjelaskan tingkah laku hanya akan menambah rumitnya masalah
karena perlu penjelasan lagi.

D. 4 Landasan teori Behavioristik


1. Koneksionisme (connectionism)
Koneksionisme (connectionism), merupaakan rumpun yang paling
awal dari teori beavioristik. Menurut teori ini tingkah laku manusia tidak

9
lain dari suatu hubungan stimulus-respons. Siapa yang menguasai stimulus-
respons sebanyak-banyaknya ialah orang yang pandai dan berhasil dalam
belajar. Pembentukan hubungan stimulus-respons dilakukan melalui
ulangan-ulangan.
Tokoh yang terkenal mengembangkan teori ini adalah Thorndike
(1874-1949), dengan eksperimentnya belajar pada binatang yang juga
berlaku bagi manusia yang disebut Thorndike dengan trial and error.
Thorndike menghasilkan belajar Connectionism karena belajar merupakan
proses pembentukan koneksi-koneksi atara stimulus dan respons Stimulus
yaitu apa saja yang dapat merangsang terjadinya kegiatan belajar seperti
pikiran, perasaan atau hal-hal lain yang dapat ditangkap melalui alat indra.
Sedangkan respon yaitu reaksi yang dimunculkan peserta didik ketika
belajar, yang juga dapat berupa pikiran, perasaan atua gerakan/tindakan.
Thorndike mengemukakan tiga prinsip atau hukum dalam belajar, yaitu:
a. Law of readines, belajar akan berhasil apabila peserta didik memiliki
kesiapan untuk melakukan kegiatan tersebut karena individu yang siap
untuk merespon serta merespon akan menghasilkan respon yang
memuaskan
b. Law of exercise, belajar akan berhasil apabila banyak latihan serta
selalu mengulang apa yang telah didapat.
c. Law of effect, belajar akan menjadi bersemangat apabila mengetahui
dan mendapatkan hasil yang baik.
2. Pengkondisian (conditioning)
Pengkondisian (conditioning), merupakan perkembangan lanjut
dari koneksionisme. Teori ini didasari percobaan Ivan Pavlov (1849-1936)
menggunakan obyek yaitu anjing. Secara singkat adalah sebagai berikut:
Seekor anjing yang telah dibedah sedemikian rupa, sehingga saluran
kelenjar ludahnya tersembul melalui pipinya, dimasukan kedalam kamar
gelap. Dikamar itu hanya ada sebuah lubang yang terletak di depan
moncongnya, tempat menyodorkan makanan atau menyorotkan cahaya
pada waktu diadakan percobaan. Pada moncongnya yang telah dibedah itu
disambungkan sebuah pipa yang dihubungkan dengan sebuah tabung diluar

10
kamar. Dengan demikian dapat diketahui keluar tidaknya air liur dari
moncong anjing itu pada waktu diadakan percobaan, alat-alat yang
digunakan dalam percobaan itu antara lain makanan, lampu senter, dan
sebuah bunyi-bunyian.
Dari hasil percobaan yang dilakukan dengan anjing itu Pavlov
mendapat kesimpulan bahwa gerakan-gerakan reflek itu dapat dipelajari,
dapat berubah karena mendapat latihan latihan, sehingga dari hasil ini ia
membedakan 2 macam refleks, yaitu refleks bawaan dan refleks hasil
belajar. Sebenarnya hasil-hasil percobaan Pavlov dalam hubungannya
dengan belajar yang kita perlukan sekarang ini adalah tidak begitu penting.
Mungkin beberapa hal yang ada sangkut pautnya dengan belajar yang perlu
diperhatikan antara lain ialah bahwa dalam belajar perlu adanya latihan-
latihan dan kebiasaan-kebiasaan yang telah melekat pada diri dapat
mempengaruhi dan bahkan mengganggu proses belajar yang bersifat skill.
3. Penguatan (reinforcement)
Penguatan (reinforcement), merupakan pengembangan lebih lanjut
dari teori pengkondisian. Jika pada teori pengkondisian (conditioning)
yang diberi kondisi adalah perangsangnya (stimulus), maka pada teori
penguatan (reinforcement) yang dikondisikan atau diperkuat adalah
responsnya. Contohnya, soerang anak yang belajar dengan giat dan dia
dapat menjawab semua pertanyaan dalam ulangan atau ujian, maka guru
memberikan penghargaan pada anak itu misal dengan nilai yang tinggi,
pujian, atau hadiah. Berkat pemberian penghargaan ini, maka anak itu akan
belajar lebih rajin dan lebih bersemangat lagi untuk mengulang agar
mendapat penghargaan lagi.
4. Operant conditioning
Operant conditioning, Tokoh utamanya adalah Skinner. Skinner
memandang bahwa teori Pavlov tentang reflek berhasrat hanya tempat
untuk menyatakan tingkah laku respon .tingkah laku respon yang terjadi
dari suatu rangsangan.
Seperti Pavlov, Thorndike, dan Watson, Skinner juga menyakini
adanya pola hubungan stimulus-respons. Tetapi berbeda dengan para

11
pendahulunya, teori skinner lebih menekankan pada perubahan prilaku
yang dapat diamati dengan mengabaikan kemungkinan yang terjadi dalam
proses berfikir pada otak seseorang.
Menurut Skinner, hubungan stimulus dan respons yang terjadi
melalui interksi dalam lingkungannya, yang kemudian akan menimbulkan
perubahan tingkah laku, tidaklah sesederhana yang digambarkan oleh
tokoh-tokoh sebelumnya. Sebab, pada dasarnya stimulus-stimulus yang
diberikan kepada sesorang akan saling berinteraksi dan interaksi antar
stimulus tersebut akan mempengaruhi bentuk respon yang diberikan.
Beberapa konsep yang berhubungan dengan operant conditioning:
a. Penguatan positiv (positeve reinforcement), ialah penguatan yang
menimbulkan kemungkinan untuk bertambah tingkah laku. Contoh
seorang siswa yang mencapai prestasi tinggi diberikan hadiah maka dia
akan mengulangi prestasi itu dengan harapan dapat hadiah
lagi. Penguatan bisa berupa benda, penguatan sosial (pujian, sanjungan)
atau token (seperti nilai ujian).
b. Penguatan negatif (negatif reinforcement), ialah penguatan yang
menimbulkan perasaan menyakitkan atau yang menimbulkan keadaan
tidak menyenangkan atau tidak mengenakan perasaan sehingga dapat
mengurangi terjadinya sesuatu tingkah laku. Contoh seorang siswa akan
meninggalkan kebiasaan terlambat mengumpulkan tugas/PR karena
tidak tahan selalu dicemooh oleh gurunya.
c. Hukuman (Punishment), respons yang diberi konsekuensi yang tidak
menyenangkan atau menyakitkan akan membuat seseorang tertekan.
Contoh seorang siswa yang tidak mengerjakan PR tidak dibolehkan
bermain bersama teman-temannya saat jam istirahat sebagai bentuk
hukuman.
Pandangan teori behavioristik telah cukup lama dianut oleh para
pendidik. Namun dari semua teori yang ada, teori Skinnerlah yang paling
besar pengaruhnya terhadap perkembangan teori belajar behavioristik.
Program-program pembelajaran seperti Teaching Machine, Pembelajaran
berprogram, modul dan program-program pembelajaran lain yang berpijak

12
pada konsep hubungan stimulus-respons serta mementingkan faktor-faktor
penguat (reinforcement), merupakan program pembelajaran yang
menerapkan teori belajar yang dikemukakan Skiner.
Teori behavioristik juga cenderung mengarahkan pebelajar untuk
berfikir linier, konvergen, tidak kreatif dan tidak produktif. Pandangan
teori ini bahwa belajar merupakan proses pembentukan atau shaping, yaitu
membawa pebelajar menuju atau mencapai target tertentu, sehingga
menjadikan peserta didik tidak bebas berkreasi dan berimajinasi. Padahal
banyak faktor yang mempengaruhi proses belajar, proses belajar tidak
sekedar pembentukan atau shaping.
Skinner dan tokoh-tokoh lain pendukung teori behavioristik
memang tidak menganjurkan digunakannya hukuman dalam kegiatan
pembelajaran. Namun apa yang mereka sebut dengan penguat negatif
(negative reinforcement) cenderung membatasi pebelajar untuk berpikir
dan berimajinasi.
Skinner lebih percaya kepada apa yang disebut sebagai penguat
negatif. Penguat negatif tidak sama dengan hukuman. Ketidaksamaannya
terletak pada bila hukuman harus diberikan (sebagai stimulus) agar respon
yang muncul berbeda dengan respon yang sudah ada, sedangkan penguat
negatif (sebagai stimulus) harus dikurangi agar respon yang sama menjadi
semakin kuat. Misalnya, seorang pebelajar perlu dihukum karena
melakukan kesalahan. Jika pebelajar tersebut masih saja melakukan
kesalahan, maka hukuman harus ditambahkan. Tetapi jika sesuatu tidak
mengenakkan pebelajar (sehingga ia melakukan kesalahan) dikurangi
(bukan malah ditambah) dan pengurangan ini mendorong pebelajar untuk
memperbaiki kesalahannya, maka inilah yang disebut penguatan negatif.
Lawan dari penguatan negatif adalah penguatan positif (positive
reinforcement). Keduanya bertujuan untuk memperkuat respon. Namun
bedanya adalah penguat positif menambah, sedangkan penguat negatif
adalah mengurangi agar memperkuat respons.

13
E. Kelebihan serta Kekurangan Teori Behavioristik
 Kelebihan Teori Behavioristik
1. Membisakan guru untuk bersikap jeli dan peka terhadap situasi dan
kondisi belajar.
2. Guru tidak membiasakan memberikan ceramah sehingga murid
dibiasakan belajar mandiri. Jika murid menemukan kesulitan baru
ditanyakan pada guru yang bersangkutan.
3. Mampu membentuk suatu prilaku yang diinginkan mendapatkan
pengakuan positif dan prilaku yang kurang sesuai mendapat penghargaan
negative yang didasari pada prilaku yang tampak.
4. Dengan melalui pengulangan dan pelatihan yang berkesinambungan,
dapat mengoptimalkan bakat dan kecerdasan siswa yang sudah terbentuk
sebelumnya. Jika anak sudha mahir dalam satu bidang tertentu, akan
lebih dapat dikuatkan lagi dengan pembiasaan dan pengulangan yang
berkesinambungan tersebut dan lebih optimal.
5. Bahan pelajaran yang telah disusun hierarkis dari yang sederhana sampai
pada yang kompleks dengan tujuan pembelajaran dibagi dalam bagian-
bagian kecil yang ditandai dengan pencapaian suatu ketrampilan tertentu
mampu menghasilakan suatu prilaku yang konsisten terhadap bidang
tertentu.
6. Dapat mengganti stimulus yang satu dengan stimuls yang lainnya dan
seterusnya sampai respons yang diinginkan muncul.
7. Teori ini cocok untuk memperoleh kemampuan yang membutuhkan
praktek dan pembiasaan yang mengandung unsure-unsur kecepatan,
spontanitas, dan daya tahan.
8. Teori behavioristik juga cocok diterapakan untuk anak yang masih
membutuhkan dominasi peran orang dewasa, suka mengulangi dan harus
dibiasakan, suka meniru, dan suka dengan bentuk-bentuk penghargaan
langsung
 Kekurangan Teori Behavioristik
1. Sebuah konsekwensi untuk menyusun bahan pelajaran dalam bentuk
yang sudah siap.

14
2. Tidak setiap pelajaran dapat menggunakan metose ini.
3. Murid berperan sebagai pendengar dalam proses pembelajaran dan
menghafalkan apa di dengar dan di pandang sebagai cara belajar yang
efektif.
4. Penggunaan hukuman yang sangat dihindari oleh para tokoh
behavioristik justru dianggap sebagai metode yang paling efektif untuk
menertibkan siswa.
5. Murid dipandang pasif, perlu motifasi dari luar, dan sangat dipengaruhi
oleh penguatan yang diberikan oleh guru.
6. Murid hanya mendengarkan dengan tertib penjelsan dari guru dan
mendengarkan apa yang didengar dan dipandang sebagai cara belajar
yang efektif sehingga inisiatf siswa terhadap suatu permasalahan yang
muncul secara temporer tidak bisa diselesaikan oleh siswa.
7. Cenderung mengarahakan siswa untuk berfikir linier, konvergen, tidak
kreatif, tidak produktif, dan menundukkan siswa sebagai individu yang
pasif.
8. Pembelajaran siswa yang berpusat pada guru(teacher cenceredlearning)
bersifat mekanistik dan hanya berorientasi pada hasil yang dapat diamati
dan diukur.
9. Penerapan metode yang salah dalam pembelajaran mengakibatkan
terjadinya proses pembelajaran yang tidak menyenangkan bagi siswa,
yaitu guru sebagai center, otoriter, komunikasi berlangsung satu arah,
guru melatih, dan menentukan apa yang harus dipelajari murid.

F. Aplikasi Teori Behavioristik dalam Kegiatan Pembelajaran


Aliran psikologi belajar yang sangat besar pengaruhnya terhadap arah
pengembangan teori dan praktek pendidikan dan pembelajaran hingga kini
adalah aliran behavioristik. Aliran ini menekankan pada terbentuknya perilaku
yang tampak sebagai hasil belajar. Teori behavioristik dengan model hubungan
stimulus responnya, mendudukkan orang yang belajar sebagai individu yang
pasif. Respon atau perilaku tertentu dengan menggunakan metode drill atau

15
pembiasaan semata. Munculnya perilaku akan semakin kuat bila diberikan
reinforcement dan akan menghilang bila dikenai hukuman.
Aplikasi teori behavioristik dalam kegiatan pembelajaran tergantung dari
beberapa hal seperti: tujuan pembelajaran, sifat materi pelajaran, karakteristik
pebelajar, media dan fasilitas pembelajaran yang tersedia. Pembelajaran yang
dirancang dan berpijak pada teori behavioristik memandang bahwa
pengetahuan adalah obyektif, pasti, tetap, tidak berubah. Pengetahuan telah
terstruktur dengan rapi, sehingga belajar adalah perolehan pengetahuan,
sedangkan mengajar adalah memindahkan pengetahuan (transfer of knowledge)
ke orang yang belajar atau pebelajar. Fungsi mind atau pikiran adalah untuk
menjiplak struktur pengetahuan yag sudah ada melalui proses berpikir yang
dapat dianalisis dan dipilah, sehingga makna yang dihasilkan dari proses
berpikir seperti ini ditentukan oleh karakteristik struktur pengetahuan tersebut.
Pebelajar diharapkan akan memiliki pemahaman yang sama terhadap
pengetahuan yang diajarkan. Artinya, apa yang dipahami oleh pengajar atau
guru itulah yang harus dipahami oleh murid.
Demikian halnya dalam pembelajaran, pebelajar dianggap sebagai objek
pasif yang selalu membutuhkan motivasi dan penguatan dari pendidik. Oleh
karena itu, para pendidik mengembangkan kurikulum yang terstruktur dengan
menggunakan standar-standar tertentu dalam proses pembelajaran yang harus
dicapai oleh para pebelajar. Begitu juga dalam proses evaluasi belajar pebelajar
diukur hanya pada hal-hal yang nyata dan dapat diamati sehingga hal-hal yang
bersifat tidak teramati kurang dijangkau dalam proses evaluasi.
Implikasi dari teori behavioristik dalam proses pembelajaran dirasakan
kurang memberikan ruang gerak yang bebas bagi pebelajar untuk berkreasi,
bereksperimentasi dan mengembangkan kemampuannya sendiri. Karena sistem
pembelajaran tersebut bersifat otomatis-mekanis dalam menghubungkan
stimulus dan respon sehingga terkesan seperti kinerja mesin atau robot.
Akibatnya pebelajar kurang mampu untuk berkembang sesuai dengan potensi
yang ada pada diri mereka.
Karena teori behavioristik memandang bahwa pengetahuan telah
terstruktur rapi dan teratur, maka pebelajar atau orang yang belajar harus

16
dihadapkan pada aturan-aturan yang jelas dan ditetapkan terlebih dulu secara
ketat. Pembiasaan dan disiplin menjadi sangat esensial dalam belajar, sehingga
pembelajaran lebih banyak dikaitkan dengan penegakan disiplin. Kegagalan
atau ketidakmampuan dalam penambahan pengetahuan dikategorikan sebagai
kesalahan yang perlu dihukum dan keberhasilan belajar atau kemampuan
dikategorikan sebagai bentuk perilaku yang pantas diberi hadiah. Demikian
juga, ketaatan pada aturan dipandang sebagai penentu keberhasilan belajar.
Pebelajar atau peserta didik adalah objek yang berperilaku sesuai dengan
aturan, sehingga kontrol belajar harus dipegang oleh sistem yang berada di luar
diri pebelajar.
Tujuan pembelajaran menurut teori behavioristik ditekankan pada
penambahan pengetahuan, sedangkan belajar sebagi aktivitas “mimetic”, yang
menuntut pebelajar untuk mengungkapkan kembali pengetahuan yang sudah
dipelajari dalam bentuk laporan, kuis, atau tes. Penyajian isi atau materi
pelajaran menekankan pada ketrampian yang terisolasi atau akumulasi fakta
mengikuti urutan dari bagian ke keseluruhan. Pembelajaran mengikuti urutan
kurikulum secara ketat, sehingga aktivitas belajar lebih banyak didasarkan pada
buku teks/buku wajib dengan penekanan pada ketrampilan mengungkapkan
kembali isi buku teks/buku wajib tersebut. Pembelajaran dan evaluasi
menekankan pada hasil belajar.
Evaluasi menekankan pada respon pasif, ketrampilan secara terpisah, dan
biasanya menggunakan paper and pencil test. Evaluasi hasil belajar menuntut
jawaban yang benar. Maksudnya bila pebelajar menjawab secara “benar”
sesuai dengan keinginan guru, hal ini menunjukkan bahwa pebelajar telah
menyelesaikan tugas belajarnya.
Evaluasi belajar dipandang sebagi bagian yang terpisah dari kegiatan
pembelajaran, dan biasanya dilakukan setelah selesai kegiatan pembelajaran.
Teori ini menekankan evaluasi pada kemampuan pebelajar secara individual.

17
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan maslah yang kita bahas, dapat diambil kesimpulan:
1. Teori behavioristik merupakan teori belajar yang lebih menekankan pada
perubahan tingkah laku serta sebagai akibat dari interaksi antara stimulus
dan respon.
2. Teori behaviristik terdiri dari dari 4 landasan: koneksionisme,
pengkondisian, penguatan, dan Operant conditioning.
3. Menurut teori belajar behavioristik, belajar merupakan suatu proses
perubahan tingkah laku sebagai akibat dari interaksi antara stimulus dan
respon. Seseorang dianggap telah belajar apabila ia bisa menunjukkan
perubahan tingkah lakunya.
4. Teori behavioristik tidak mampu menjelaskan situasi belajar yang kompleks,
sebab banyak variabel atau hal-hal yang berkaitan dengan pendidikan
dan/atau belajar yang dapat diubah menjadi sekedar hubungan stimulus dan
respon. Pandangan behavioristik juga kurang dapat menjelaskan adanya
variasi tingkat emosi pebelajar, walaupun mereka memiliki pengalaman
penguatan yang sama.
5. Aplikasi teori behavioristik dalam kegiatan pembelajaran tergantung dari
beberapa hal seperti: tujuan pembelajaran, sifat materi pelajaran,
karakteristik pebelajar, media dan fasilitas pembelajaran yang tersedia.
B. Saran
Kita sebagai calon guru harusnya mampu mendidik para peserta didik kita
dengan baik, dengan metode serta teori yang tepat sehingga proses belajar mengajar
berjalan dengan baik. Oleh karena itu pelajarilah teori-teori pembelajaran yang ada
agar kita mampu menemukan kecocokan dalam metode mengajar yang tepat.

18
DAFTAR PUSTAKA

Mulyana. 2017. Teori Belajar Behavioristik.https://sites.google.com/site


/mulyanabanten/home/teori-belajar-behavioristik. Diakses pada hari
Senin, 29 Oktober 2017 pada pukul 19:00 WITA.

Nudistaku. 2013. Makalah Teori Belajar Behavioristik. http://nudistaku.


blogspot.co.id/2013/11/makalah-teori-belajar-behavioristik_9.html.
Diakses pada hari Senin, 29 Oktober 2017 pada pukul 19:30 WITA.

Elyrahmawati. 2015. Teori Belajar Behavioristik. http://elyrahmawati.web.


unej.ac.id/2015/05/20/teori-belajar-behavioristik/. Diakses pada hari
Sabtu, 4 November 2017 pada pukul 06:00 WITA.

Teori Belajar. 2017. Teori Belajar Psikologi Behavioristik. http://teoribagus.com


/teori-belajar-psikologi-behavioristik. Diakses pada hari Sabtu, 4
November 2017 pada pukul 07:00 WITA.

19

Anda mungkin juga menyukai