Anda di halaman 1dari 24

MAKALAH BELAJAR DAN PEMBELAJARAN

“Teori Belajar Behavioristik”

Dosen Pembimbing:

Novitawati S.Psi., M.Pd.

Drs. Muhammad Kusasi M.Pd.

Disusun oleh :

Helda Sasmita 1810120220012

Mir’atil Ulfa 18101202

Wafiyah 1810120220028

Syifa Hayati 1810120220002

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN KIMIA


JURUSAN PENDIDIKAN MATEMATIKA DAN IPA
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT
BANJARMASIN
2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat karunia-
Nya kami dapat menyelesaikan maklah kami yang bejudul “Teori Belajar
Behavioristik” untuk memenuhi tugas mata kuliah Belajar dan Pembelajaran.
Kami juga mengucapkan terima kasih kepada ibu Novitawati S.Psi., M.Pd. dan
bapak Drs. Muhammad Kusasi M.Pd.selaku dosen pembimbing kami.

Kami berharap semoga makalah ini bermanfaat bagi para pembaca dan bagi
masyarakat luas. Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata
sempurana, tapi kami sudah menuangkan semua semampu kami.

Kami memohon maaf jika pada makalah kami terdapat banyak kekurangan,
kerana sejatinya kesempurnaan hanya milik Tuhan Yang Maha Esa.

Banjarmasin, 09 September 2019

Penulis

ii
Daftar Isi
KATA PENGANTAR.............................................................................................................. iii
DAFTAR ISI........................................................................................................................... 1
BAB I .................................................................................................................................... 2
PENDAHULUAN ................................................................................................................... 2
1.1 Latar Belakang ........................................................................................................... 2
1.2 Rumusan Masalah ..................................................................................................... 2
1.3 Tujuan ....................................................................................................................... 3
1.4 Manfaat ..................................................................................................................... 3
BAB II ................................................................................................................................... 4
PEMBAHASAN ..................................................................................................................... 4
2.1 Hakekat Teori Belajar Behavioristik .......................................................................... 4
2.1.1 Pengertian Teori Belajar Behavioristik ............................................................. 4
2.1.2 Ciri-Ciri Teori Belajar Behavioristik................................................................... 5
2.2 Tokoh-Tokoh Teori Belajar Behavioristik .................................................................. 5
2.2.1 Ivan Pavlov (Classical Conditioning) ................................................................. 5
2.2.2 Thorndike (Koneksionisme/Asosiasi)................................................................ 7
2.2.3 Skinner (Operant Conditioning) ..................................................................... 10
2.2.4 John B. Watson (SARBON) .............................................................................. 12
2.2.5 Clark Hull (Systematic Behavior) .................................................................... 14
2.2.6 Edwin R. Guthrie (Contiguous Conditioning).................................................. 18
2.3 Pengaplikasian Teori Belajar Behavioristik ............................................................. 19
BAB III ................................................................................................................................ 21
PENUTUP ........................................................................................................................... 21
3.1 Kesimpulan .............................................................................................................. 21
3.2 Saran ...................................................................................................................... 21
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................. 22

1
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Sejak dilahirkan, manusia telah begitu banyak mengalami proses
belajar. Itu berarti bahwa aktivitas belajar sangat akrab dengan kehidupan
manusia. Banyak ahli pendidikan, pembelajaran, dan psikologi yang telah
mencoba mendefinisikan “belajar”. Seringkali perumusan dan penafsiran
yang dihasilkan berbeda satu sama lain sesuai sudut pandang masing –
masing. Namun demikian, pada bagian ini kita hanya akan melihat
beberapa pendapat ahli yang relatip lebih mirip dan lebih sederhana
sehingga memudahkan untuk menarik definisi sendiri. Teori pembelajaran
merupakan prinsip dan konsep dasar yang berhubungan dengan teori
pembelajaran behavioristic, kognitif, pembelajaran social, psikodinamika,
dan humanistik. (Husamah, Yuni, dkk. 2018)

Teori belajar Behavioristik merupakan teori dengan pandangan


tentang belajar sebagai perubahan dalam tingkah laku sebagai akibat dari
interaksi antara stimulus (rangsangan) dan respon (perilaku reaktif).
Menurut Behavioristik, perubahan tingkah laku itu harus dapat diamati,
diukur, dan dinilai secara konkret.

Penganut ini berpendapat bahwa bagi siswa untuk mengasosiasikan


stimulus-stimulus dan respon yang diberi reinforcement apabila
memberikan respon yang benar. Behavioris berkeyakinan bahwa setiap
anak manusia lahir tanpa warisan kecerdasan, warisan bakat, warisan
perasaan dan warisan yang abstrak lainnya dan mengaggap manusia
bersifat mekanistik, yaitu merespon terhadap lingkungan dengan control
yang terbatas dan mempunyai peran yang sedikit terhadap. (Husamah,
Yuni, dkk. 2018)

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimakah pandangan belajar teori Behavioristik?
2. Bagaimana pandangan para ahli dalam teori Behavioristik?
3. Bagaimana pengaplikasian teori Behavior dalam proses pembelajaran?

2
1.3 Tujuan
1. Menjelaskan bagaimana pandangan pembelajaran teori Behavioristik.
2. Mengetahui konsep menurut pandangan para ahli dalam teori
Behavioristik
3. Mengetahui bagaimana cara mengaplikasikan teori Behavioristik
dalam proses pembelajaran.

1.4 Manfaat
1. Dapat mengetahui dan memahami bagaimana pandangan
pembelajaran teori Behavioristik.
2. Dapat mengetahui konsep dari pandangan para ahli dalam teori
Behavioristik
3. Dapat memberikan informasi kepada pembaca khususnya bagi guru
dan peserta didik tentang cara mengaplikasikan teori Behavioristik
dalam proses pembelajaran.

3
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Hakikat Teori Belajar Behaavioristik

2.1.1. Pengertian Teori Belajar Behavioristik

Teori belajar behavioristik adalah sebuah teori yang mempelajari tingkah


laku manusia. Dengan kata lain, mempelajari tingkah laku seseorang seharusnya
dilakukan melalui pengujian dan pengamatan atas tingkah laku yang terlihat,
bukan dengan mengamati kegiatan bagian-bagian dalam tubuh. Teori ini
mengutamakan pengamatan, sebab pengamatan merupakan suatu hal penting
untuk melihat terjadi atau tidaknya perubahan tingkah laku tersebut. ( Nahar,
2016 ).

Teori Behavioristik adalah teori yang menerapkan prinsip penguatan


stimulus respon. Maksudnya adalah pengetahuab yang terbentuk melalui ikatan
stimulus respon akan semakin kuat apabila diberi penguatan. Penguatan tersebut
terbagi atas penguatan positif dan penguatan negatif. Penguatan positif sebagai
stimulus dapat meningkatkan terjadinya pengulangan tingkah laku itu, sedangkan
penguatan negatif dapat mengakibatkan perilaku berkurang atau menghilang. (
lefudin, 2017 )

Teori belajar behavioristik merupakan teori dengan pandangan tentang


belajar sebagai perubahan dalam tingkah laku sebagai akibat dari interaksi antara
stimulus ( rangsangan) dan respon(perilaku reaktif). Belajar adalah perubahan
yang dialami siswa dalam hal kemampuannya dalam bertingkah laku dengan cara
yang baru sebagai hasil interaksi antara stimulus dan respon. (Uno, 2006 dalam
buku Husamah, Pantiwati, dkk 2018).

Teori ini memandang anak manusia lahir tanpa warisan kecerdasan, bakat,
minat yang bersifat abstrak lainnya. Pengetahuan keterampilan, dan kecakapan
lain didapatkan anak setelah anak mengadakan kontak dengan lingkungannya.

4
Para behavioristik sangat menyakini penekanan “ refleks “ yaitu reaksi jasmaniah
yang terjadi tanpa kesadaran mental yang diakibatkan oleh rangsangan setiap saat.
Bila refleks – refleks dilatih terus menerus akan berubah menjadi keterampilan
dan kebiasaan yang dimiliki manusia. ( Usman, 2015 ).

2.1.2 Ciri-Ciri Teori Belajar Behavioristik

Teori belajar behavioristik mempunyai ciri-ciri, yaitu

1. Pertama, aliran ini mempelajari.perbuatan manusia bukan dari


kesadarannya, melainkan mengamati perbuatan dan tingkah laku yang
berdasarkan kenyataan. Pengalamanpengalaman batin di kesampingkan
serta gerak-gerak pada badan yang dipelajari. Oleh sebab itu, behaviorisme
adalah ilmu jiwa tanpa jiwa.
2. Kedua, segala perbuatan dikembalikan kepada refleks. Behaviorisme
mencari unsur-unsur yang paling sederhana yakni perbuatan-perbuatan
bukan kesadaran yang dinamakan refleks. Refleks adalah reaksi yang tidak
disadari terhadap suatu pengarang. Manusia dianggap sesuatu yang
kompleks refleks atau suatu mesin.
3. Ketiga, behaviorisme berpendapat bahwa pada waktu dilahirkan semua
orang adalah sama. Menurut behaviorisme pendidikan adalah maha kuasa,
manusia hanya makhluk yang berkembang karena kebiasaan-kebiasaan,
dan pendidikan dapat mempengaruhi reflek keinginan hati.(Ahmadi dalam
Nahar, 2016)

2.2 Tokoh – Tokoh Teori Belajar Behavioristik

2.2.1 Ivan Pavlov (Classical Conditioning )


Pavlov lahir di Rusia pada 1849 dan meninggal disana pada 1936. Seperti
Thorndike, dia memandang ilmuan diwajibkan untuk mengubah pandangan
mereka ketika data mengharuskannya. Ini merupakan karakteristik penting dari
pekerjaan ilmiah. Melalui Pavlov, kita melihat pentingnya penemuan tidak

5
sengaja, atau penemuan aksidental, dalam ilmu pengetahuan. ( Hergenhahn,
Olson, 2016 )

Pada saat Thorndike mengerjakan riset utamanya, Pavlov juga sedang


meneliti proses belajar. Dia juga tidak suka dengan psikologi subjektif dan
hamper saja tidak mau mempelajari refleks yang dikondisikan karena bersifat “
psikis “. Meskipun Pavlov ( 1928 ) tidak terlalu menghargai para psikolog, dia
cukup menghormati Thorndike dan mengakuinya sebagai orang pertama yang
melakukan riset sistematis terhadap proses belajar pada binatang. Thorndike dan
Pavlov, meskipun menempuh jalur yang berbeda dalam banyak hal, sama – sama
menyukai sains dan percaya pada kemampuan sains untuk memecahkan banyak
problem manusia. ( Hergenhahn, Olson, 2016 )

Adapun eksperimen yang dilakukan Pavlov terhadap seekor anjing dan


berikut ini penjelasan tahap – tahap eksperimen Pavlov :

1. Before Conditioning ( sebelum pengkondisian ); (1) Bila anjing


diberikan sebuah makanan (Unconditioned Stimulus / UCS) maka secara
otonom anjing akan mengeluarkan air liur Unconditioned response (
UCR ). (2) Jika anjing dibunyikan sebuah bel ( Neutral Stimulus ) maka
dia tidak merespon atau mengeluarkan air liur ( No Conditioned
Response ).
2. During Contioning ( selama pengkondisian ); (3) Anjing diberikan
sebuah makanan ( Unconditioned Stimulus / UCS ) setelah diberikan
bunyi bel ( Conditioned Stimulus / CS ) terlebih dahulu, sehingga anjing
akan mengeluarkan air liur (Unconditioned Response / UCR ) akibat
pemberian makanan.
3. After Conditioning ( setelah pengkondisian ); (4) setelah perlakuan ini
dilakukan secara berulang – ulang, maka ketika anjing mendengar bunyi
bel ( Unconditioned Stimulus / UCS ) tanpa diberikan makanan, secara
otonom anjing akan memberikan respon berupa keluarnya air liur (
Conditioned Response/ CR).

6
Ada empat komponen dasar yang membangun teori pengkondisian Pavlov.
Keempatnya adalah unconditioned stimulus ( UCS ), unconditioned response (
UCR ), conditioned stimulus ( CS ), dan conditioned response ( CR ). ( Husamah,
Pantiwati, dkk, 2018 )

2.2.2 Thorndike ( Koneksionisme/Asosiasi )


Thorndike berprofesi sebagai seorang pendidik dan psikolog yang
berkebangsaan Amerika. Thorndike mengemukakan belajar merupakan peristiwa
terbentuknya asosiasi – asosiasi antara peristiwa – peristiwa yang disebut stimulus
(S) dengan respon (R). Stimulus adalah suatu perubahan dari lingkungan eksternal
yang menjadi tanda untuk meaktifkan organisme untuk beraksi atau berbuat,
sedangkan respon adalah sembarang tingkah laku yang dimunculkan karena
adanya perangsang. Stimulus dapat berupa sesuatu yang merangsang terjadinya
kegiatan belajar seperti perasaan maupun pikiran, dan hal – hal lain yang dapat
ditangkap melalui panca indera. Respon adalah aksi yang ditimbulkan dari pelajar
ketika dalam proses belajar yang bisa juga berupa perasaan, pikiran, atau gerakan.
( Lefudin, 2014 ).

Thorndike melakukan eksperimen terhadap kucing lapar yang dimasukkan


dalam sangkar ( puzzle box ). Eksperimen ini memberikan pengetahuan bahwa
agar tercapai hubungan antara stimulus dan respon perlu adanya kemampuan
untuk memilih respon yang tepat serta melalui usaha – usaha atau percobaan –
percobaan ( trials ) dan kegagalan – kegagalan ( error ) terlebih dahulu. Kucing
cenderung meninggalkan perbuatan – perbuatan yang tidak mempunyai hasil
dalam melakukan coba – coba ini. Setiap respon menimbulkan stimulus baru dan
selanjutnya akan menimbulkan response lagi demikian selanjutnya. ( Husamah,
Pantiwati, dkk, 2018 )

Percobaan Thorndike yang terkenal dengan binatang uji coba kucing yang
telah dilaparkan dan diletakkan didalam sangkar yang tertutup dan pintunya dapat
dibuka secara otomatis apabila kenop yang terletak didalam sangkar tersebut
tersentuh. ( Lefudin, 2014 ). Thorndike menyimpulkan bahwa bentuk paling dasar

7
dari belajar adalah trial and error learning atau selecting and connecting learning
dan berlangsung menurut hukum – hukum tertentu. Oleh karena itu, teori belajar
yang dikemukaan oleh Thorndike ini sering disebut dengan Teori Belajar
Koneksionisme atau Teori Asosiasi. Menurut Suryobroto ( 1984 ) Thorndike
berkenyakinan bahwa prinsip proses belajar binatang pada dasarnya sama dengan
yang berlaku pada manusia, walaupun hubungan antara situasi dan perbuatan pada
binatang tanpa diperantarai pengertian. Binatang melakukan respon – respon
langsung dari apa yang diamati dan terjadi secara mekanis. ( Husamah, Pantiwati,
dkk, 2018 ).

Atas dasar percobaan dengan kucing Thorndike mengemukakan ciri – ciri


belajar dengan metode trial and error, yaitu (1) ada motif pendorong aktivitas, (2)
ada berbagai respon terhadap situasi, (3) ada asimilasi respon – respon yang gagal
atau salah, dan (4) ada kemajuan reaksi – reaksi untuk mencapai tujuan itu. (
Gandhi, 2011 dalam buku Husamah, Pantiwati, dkk, 2018 ).

Dari percobaan tersebut Thorndike menemukan hukum – hukum belajar


utama/primer, sebagai berikut :

a. Hukum Kesiapan ( law of readiness )


Yaitu semakin siap suatu organisme memperoleh suatu perubahan
tingkah laku, maka perasan tingkah laku tersebut akan menimbulkan
kepuasan individu sehingga asosiasi cenderung diperkuat.
b. Hukum Latihan ( law of exercise )
Yaitu semakin sering tingkah laku diulang/ dilatih ( digunakan ),
maka asosiasi tersebut akan semakin kuat.
c. Hukum Akibat ( law of effect )
Yaitu hubungan stimulus respon cenderung diperkuat bila
akibatnya menyenangkan dan cenderung diperlemah jika akibatnya tidak
memuaskan.

( Lefudin, 2014 ).

8
Selanjutnya Thorndike menmbahkan hukum tambahan/ sekunder sebagai
berikut :
a. Hukum Reaksi Bervariasi ( multiple response )
Hukum ini mengatakan bahwa pada individu diawali oleh proses trial
dan error yang mengajukan adanya bermacam –macam respon
sebelum memperoleh respon yang tepat dalam memecahkan masalah
yang dihadapi.
b. Hukum Sikap ( set/attitude )
Hukum ini menjelaskan bahwa perilaku belajar seseorang tidak hanya
ditentukan oleh hubungan stimulus dengan respon saja, tetapi juga
ditentukan keadaan yang ada dalam diri individu baik koknitif, emosi,
social, maupun psikomotornya.
c. Hukum Aktivitas Berat Sebelah ( prepptency of element )
Hukum ini mengatakan bahwa individu dalam proses belajar
memberikan respon pada stimulus tertentu saja sesuai dengan
persepsinya terhadap keseluruhan situasi ( respon selektif )
d. Hukum Respon by Analogy
Hukum ini mengatakan bahwa individu dalam melakukan respon pada
situasi yang belum pernah dialami karena individu sesungguhnya dapat
menghubungkan situasi yang belum pernah dialami dengan situasi
lama yang pernah dialami sehingga terjadi transfer atau perpindahan
unsur – unsur yang telah dikenal kesituasi baru. Makin banyak unsur
yang sama maka transfer akan makin mudah.
e. Hukum Perpindahan Asosiasi ( associative Shifting )
Hukum ini mengatakan bahwa proses peralihan dari situasi yang
dikenal kesituasi yang belum dikenal dilakukan secara bertahap
dengan cara menambahkan sedikit demi sedikit unsur lama.
Thorndike juga mengemukakan revisi hukum belajar antara lain :
1. Hukum latihan ditinggalkan karena ditemukan pengulangan saja
tidak cukup untuk memperkuat hubungan stimulus respon,

9
sebaliknya tanpa pengulanganpun stimulus respon belum tentu
diperlemah.
2. Hukum akibat direvisi. Menurut Thorndike, yang berakibat positif
untuk perubahan tingkah laku adalah hadiah, sedangkan hukuman
tidak berakibat apa – apa.
3. Syarat utama terjadinya hubungan stimulus respon bukan
bedekatan, tetapi adanya saling sesuai antara stimulus dan respon.
4. Akibat suatu perbuatan dapat menular baik pada bidang lain atau
pada individu lain.
( Husamah, Pantiwati, dkk, 2018 ).

2.2.3 Skinner ( Operant Conditioning )

Munculnya teori Operant Conditioning merupakan bentuk reaksi


ketidakpuasaan Skinner atas teori S-R yang kemudian dikenal dengan model
classical conditioning dari pavlov dan koneksionisme Thorndike yang pada saat
itu telah memberi pengaruh yang kuat dalam pelaksanaan penelitian.

B.F Skinner mengemukakan pendapatnya sendiri dengan memasukkan unsur


penguatan dalam hukum akibat tersebut, yakni perilaku dapat menguatkan
cenderung diulangi kemunculannya, sedangkan perilaku tidak dapat menguatkan
cenderung untuk menghilang atau terhapus. Oleh karena itu, Skinner dianggap
sebagai bapak operant conditioning.

Inti dari teori Skinner tentang operant conditioning adalah proses belajar dengan
mengendalikan semua atau sembarang respon yang muncul sesuai konsekuensi (
resiko ) yang mana organisme akan cenderung untuk mengulang respon-respon
yang diikuti oleh penguatan.

Skinner menggunakan seekor tikus yang ditempatkan dalam sebuah peti atau
kotak. Berdasarkan ekperimen itu Skinner menghasilkan hukum-hukum belajar, di
antaranya :

a) Law of operant conditioning

10
Yaitu jika timbulnya perilaku diiringi dengan stimulus penguat,
maka kekuatan perilaku tersebut akan meningkat.
b) Law of operant extinction
Yaitu jika timbulnya perilaku operan telah diperkuat melalui proses
conditioning itu tidak diiringi stimulus penguat, maka kekuatan perilaku
tersebut akan menurun bahkan musnah.

Ada 6 asumsi yang membentuk landasan untuk pengondisian operant. Asumsi-


asumsi itu adalah sebagai berikut :

1. Belajar itu adalah tingkah laku


2. Perubahan tingkah laku ( belajar ) secara fungsional berkaitan dengan
adanya perubahan dalam keajdian-kejadian di lingkungan kondisi-kondisi
lingkungan.
3. Hubungan yang berhukum antara tingkah laku dan lingkungan hanya
dapat di tentukan kalau sifat-sifat tingkah laku dan kondisi eksperimennya
didefinisikan menurut fisiknya dan diobservasi di bawah kondisi-kondisi
yang dikontrol secara seksama.
4. Data dari studi eksperimental tingkah laku merupakan satu-satunya
sumber informasi yang dapat diterima tentang penyebab terjadinya tingkah
laku.
5. Tingkah laku organisme secara individual merupakan sumber data yang
cocok.
6. Dinamika interaksi organisme dengan lingkungan itu sama untuk semua
jenis makhluk hidup.

Menurut Suryabrata ( 2007 ) Skinner membedakan 2 macam respon, yaitu:

1. Respondent response ( reflexive response )


Yaitu respon yang ditimbulkan oleh perangsang-perangsang
tertentu.
2. Operant response ( Instrumental respone )

11
Yaitu respon yang timbul dan berkembangnya diikuti oleh
perangsang-perangsang tertentu.

Menurut Skinner ( J.W. Santrock, 272 ) unsur yang terpenting dalam


belajar adalah adanya penguatan ( reinforcement ) dan hukuman ( punislment ).
Penguatan ( reinforcement ) adalah konsekuensi yang meningkatkan probabilitas
bahwa suatu perilaku akan terjadi. Sebaliknya, hukuman ( punislment ) adalah
konsekuensi yang menurunkan probabilitas terjadinya suatu perilaku. Penguatan
berarti memperkuat, penguatan dibagi menjadi dua bagian yaitu :

a. Penguatan positif adalah penguatan berdasarkan positif bahwa frekuensi


respons meningkat karena diikuti dengan stimulus yang mendukung.
Bentuk – bentuk penguatan positif adalah berupa hadiah ( permen, kado,
makanan, dll ), perilaku ( senyum, menganggukkan kepala untuk
menyetujui, bertepuk tangan, mengacungkan jempol ), atau penghargaan (
nilai A, Juara 1 dsb ).
b. Penguatan negatif adalah penguatan berdasarkan prinsif bahwa frekuensi
respons meningkat karena diikuti dengan menghilangkan stimulus yang
merugikan (tidak menyenangkan). Bentuk – bentuk penguatan negatif
antara lain : menunda/tidak memberi penghargaan, memberikan tugas
tambahan atau menunjukkan periaku tidak senang (menggeleng, kening
berkerut, muka kecewa, dll).
Satu cara untuk mengingat perbedaan antara penguat positif dan penguat
negatif adalah dalam penguat positif ada sesuatu yang ditambahkan atau
diperoleh. Dalam penguat negatif, ada sesuatu yang dikurangi atau dihilangkan.

2.2.4 John B. Watson (SARBON)

Pendiri aliran behaviorisme adalah John B. Watson (SARBON : Stimulus


and Response Bond Theory), mengatakan bahwa kesadaran hanya dapat dipelajari
melalui proses intropeksi, sebuah alat riset yang tidak bisa diandalkan. Karena
kesadaran tidak dapat dipelajari secara realiabel maka dia menyatakan bahwa
seharusnya kesadaran tidak usah dipelajari sama sekali. Watson menganggap
bahwa perhatian pertama psikolog seharusnya adalah perilaku dan bagaimana
perilaku bervariasi berdasarkan pengalaman yang beragam. Menurut Watson tidak

12
ada lagi intropeksi, tidak ada lagi pembicaraan soal perilaku naluriah, dan tidak
ada lagi usaha mempelajari kesadaran manusia atau pikiran bahwa sadar. Perilaku
adalah apa yang dapat kita lihat dan karenanya perilaku adalah apa yang kita
pelajari. Watson sangat bersemangat terhadap hasil karya dan implikasinya. Dia
memandang behaviorisme sebagai cara untuk menghilangkan kebodohan dan
tahayul dari eksistensi manusia dan karenanya membuka jalan bagi kehidupan
yang lebih rasional dan bermakna. (Hergenhahn & Olson, 2016)

Watson berpendapat bahwa belajar merupakan proses terjadinya refleks-


refleks atau respon-respon bersyarat melalui stimulus penganti. Menurutnya,
manusia dilahirkan dengan beberapa refleks dan reaksi-reaksi emosional berupa
takun, cinta, dan marah. Semua tinkah laku lainnya terbentuk oleh hubungan-
hubungan stimulus respon baru melalui “conditioning”. Jadi, menurut Watson
belajar dipandang sebagai cara menanamkan sejumlah ikatan antara perangsang
dan reaksi (asosiasi-asosiasi tunggal) dalam system susunan saraf. ( Rusuly, 2014)

Adapun beberapa pandangan utama Watson yang banyak menjadi rujukan


dan bahan kajian sampai saat ini pertama dalam bidang psikologi dan termasuk
juga pendidikan (belajar/pembelajaran) antara lain:

1. Psikologi mempelajari stimulus dan respon (S-R Pshicology). Stimulus


adalah semua obyek dilingkungan, termasuk juga perubahan jaringan
dalam tubuh. Respon adalah apapun yang dilakukan sebagai jawaban
terhadap stimulus, mulai dari tingkat sederhana hingga tingkat tinggi.
Respon ada yang overt dan convert, learned dan unlearned.
2. Watson tidak percayan unsur herediter sebagai penentu perilaku.
Pandangan Watson bersifat deterministik, perilaku manusia ditentukan
oleh faktor eksternal bukan berdasarkan free will.
3. Dalam kerangka mind-body, baginya mind mungkin saja ada, tapi
bukan sesuatu yang dipelajari atau akan dijelaskan melalui pendekatan
ilmiah. Ia hanya mengakui body sebagai obyek studi ilmiah. Penolakan
dari consciousness, soul atau mind ini adalah ciri utama behaviorisme
dan dipegang kuat oleh tokoh aliran ini, meskipun dalam derajat yang
berbeda.
4. Dengan fokusnya terhadap ilmu yang obyektif, maka psikologi
menggunakan metode empiris. Metode psikologi ini adalah
observation, conditioning, testing dan verbal reports.
5. Watson menolak konsep insting, mulai dari karakteristiknya sebagai
refleks yang unlearned.
6. Konsep learning adalah sesuatu yang vital dalam pandangan Watson,
juga tokoh behaviorisme laiinya. Habits yang merupakan dasar

13
perilaku adalah hasil belajar yang ditentukan oleh dua hokum utama,
yaitu recency dan frequency. Watson mendukung conditioning respon
Pavlov dan menolak law of effect dari Thorndike.
7. Menurut Watson apa yang diingat dan dilupakan ditentukan oleh
seringnya sesuatu digunakan atau dilakukan. Dengan kata lain faktor
yang menentukan adalah kebutuhan.
8. Proses thinking and speech terkait erat. Thinking adalah subvokal
talking,artinya proses berpikir didasarkan pada keterampilan berbicara
dan dapat disamakan dengan proses bicara yang ‘tidak terlihat’, masih
dapat diidentifikasi melalui gerakan halus seperti gerak bibir atau
gesture lainnya.

Peran Watson, ia menekankan pentingnya pendidikan dalam pekembangan


tingkah laku. Ia percaya dengan memberikan conditioning tertentu dalam proses
pendidikan, akan dapat membuat seorang anak mempunyai sifat-sifat tertentu. Ia
juga memberikan ucapan ekstrim untuk mendukung pendapat tersebut. (Husamah,
Yuni, dkk. 2018)

2.2.5 Clark Hull (Systematic Behavior)

Tujuan teori ini adalah menjelaskan perilaku adaptif dan untuk memahami
variable-variabel yang mempengaruhinya dapat dikatakan Hull tertarik untuk
menyusun sebuah teori yang menjelaskan bagaimana kebutuhan tubuh,
lingkungan dan perilaku saling benteraksi untuk meningkatkan probabilitas
survival organisme. (Hergenhahn & Olson, 2016)

A. Prinsip-prinsip utama teori Hull, yaitu:


a. Reinforcement, adalah faktor penting dalam belajar yang harus ada,
fungsinya bagi menurut Hull lebih sebagai drive reduction daripada
satisfied factor.
b. Dalam hubungan S-R yang perlu dikaji adalah peran intervening
variable (juga dikenal sebagai unsur O atau organisme). Faktor O
adalah kondisi internal dan sesuatu yang disimpulkan (inferred).
Efeknya pada faktor R berupa output karena pandangan ini Hull
dikritik karena bukan behaviorisme sejati.
c. Proses belajar baru terjadi setelah keseimbangan biologis terjadi
dengan disini tampak pengaruh teori Darwin yang mementingkan
adaptasi biologis organisme.
Beberapa persamaan teori belajar hull dengan teori sebelumnya sebagai
berikut:

14
a. Berdasarkan asosiasi S-R.
b. Berdasarkan cara melangsungkan hidup.
c. Berdasarkan kebutuhan biologis dan pemenuhannya.
d. Orientasinya pada teori Pavlov.
Hull mengembangkan beberapa definisi, yaitu:
1. Kebutuhan (Need) Kebutuhan merupakan keadaan organisme yang
menyimpang dari kondisi biologis optimum pada umumnya yang
digunakan untuk melangsungkan hidupnya. Jika kebutuhan
tersebut timbul maka organisme akan bertindak untuk memenuhi
kebutuhannya, hal tersebut dinamakan mereduksi kebutuhan dan
teori belajarnya disebut teori reduksi kebutuhan atau need
reduction theory.
2. Dorongan (Drive) Kondisi kekosongan ganda organisme sehingga
mendorong untuk melakukan sesuatu. Istilah lain dari dorongan
adalah motif Adakalanya seseorang merasa ingin melakukan
sesuatu namun ia tidak memiliki dorongan untuk melakukannya.
3. Penguatan (Reinforcement Sesuatu yang dapat memperkuat
hubungan S-R, dan respon terhadap stimulus tersebut dapat
mengurangi ketegangan kebutuhan. Penguatan blasanya berupa
hadiah. Kebutuhan yang timbul akanmenyebabkan terbentuknya
suatu perilaku yang akan mereduksi kebutuhan secara berangsur-
angsur yang dapat dipelajari responnya. Stimulus yang dapat
menimbulkan respon adalah stimulus yang mengenai saraf sensoris
atau reseptor kemudian menimbulkan impuls yang masuk afferent,
yaitu saraf gerak dan dapat mengaktifkan otot- otot maskuler. S
dengan huruf besar merupakan stimulus dan obyeknya. "s" dengan
huruf kecil merupakan stimulus dalam organisme, stimulus yang
sudah berupa impuls. Impuls merupakan perangsang atau stimulus
yang sudah ada dan bekerja dalam saraf Dalam teori kali ini yang
akan kita pakai S dengan huruf besar

B. Postulat Hull Hull mengajukan 16 postulat dalam cakupan enam hal


yakni sebagai berikut:
1. Tanda-tanda luar yang mendorong atau membimbing tingkah laku
dan representasi neuralnya atau saraf.
a. Postulat 1: Impuls saraf afferent dan bekas lanjutannya. Jika
suatu perangsang mengenai reseptor, maka timbullah impuls
saraf afferent dengan cepat mencapai puncak intensitasnya dan
kemudian berkurang secara berangsur-angsur. Sesaat saraf
afferent berisi impuls dan diteruskan kepada saraf sentral dala

15
beberapa detik dan seterusnya timbul respon S-R diubah
menjadi S-s-R atau S-s-r-R. Simbol s adalah impuls atau
stimulus trace dalam saraf sensoris, dan simbol r adalah impuls
respon yang masih dalam saraf afferent
b. Postulat 2 : Interaksi saraf afferent. Impuls dalam suatu saraf
afferent dapat dibteruskan ke satu atau lebih saraf afferent
lainnya. R timbul tidak hanya karena satu stimulus, tetapi lebih
dari satu S yang lalu terjadi kombinasi berbagal stimulus.
Rumusnya akan berubah menjadi S-r-R b.
2. Respon terhadap kebutuhan, hadiah dan kekuatan kebiasaan.
a. Postulat 3: Respon-respon bawaan terhadap kebutuhan
(tingkah laku yang tidak dipelajari). Sejak lahir organisme
mempunyai hierarki respon penentu kebutuhannya yang timbul
karena ada rangsangan-rangsangandan dorongan. Respon
terhadap kebutuhan tertentu bukan merupakan respon pilihan
secara random, tetapi respon yang memang ditentukan oleh
kebutuhannya, misalnya mata kena debu maka mata berkedip
dan keluar air mata.
b. Postulat 4 : Hadiah dan kekuatan kebiasaan kontiguitas dan
Reduksi Dorongan sebagai kondisi-kondisi untuk belajar.
Kekuatan kebiasaan akan bertambah jika kegiatan-kegiatan
reseptor dan efektor terjadi dalam persamaan waktu yang
menyebabkan hubungan kontiguitif dengan hadiah pertama
dan hadiah kedua. Simbol kekuatan kebiasaan adalah sHs.
3. Stimulus pengganti (ekuaivalen).
a. Postulat 5: Generalisasi (penyamarataan). Kekuatan kebiasaan
yang efektif timbul karena stimulus lain daripada stimulus
pertama yang menjadi persyaratan bergantung kepada
penindakan stimulus kedua dari yang pertama dalam kesatuan
yang terus menerus dari ambang perbedaan, dengan kata lain
yang ingin dibentuk merupakan hasil rata-rata persyaratan
stimulus berikutnya.
4. Dorongan-dorongan sebagai activator respon
a. Postulat 6 Stimulus dorongan. Hubungan dengan tiap-tiap
dorongan adalah stimulus dorongan karakteristik yang
intensitasnya meningkat dengan kekuatan dorongan.
b. Postulat 7: Potensi reaksi yang ditimbulkan oleh dorongan.
Kekuatan kebiasaan disintesiskan kedalam potensi reaksi
dengan dorongan-dorongan primer yang timbul pada saat
tertentu.

16
5. Faktor-faktor yang melawan respon-respon
a. Postulat 8 Pengekangan reaksi. Timbulnya suatu reaksi
menyebabkan pengekangan reaksi yang lain. Suatu kejemuan
untuk mengulangi respon. Pengekangan reaksi adalah
penghamburan waktu yang spontan.
b. Postulat 9: Pengekangan yang dikondisikan (diisyaratkan).
Stimuli yang dihubungkan dengan penghentian respon
menjadi pengekangan yang dikondisikan.
c. Postulat 10: Osilasi pengekangan. Potensial pengekangan
dihubungkan dengan potensial reaksi yang bergoyang terus
menerus pada waktu itu.
6. Bangkitnya respon
a. Postulat 11: Reaksi ambang perangsang. Poternsi reaksi
efektif yang momentum harus melampaui reaksi ambang
perangsang sebelum stimulus membangkitkan reaksi.
b. Postulat 12: Kemungkinan reaksi diatas ambang perangsang
Kemungkinan respon adalah fungsi normal dari potensi reaksi
efektif melampaui reaksi ambang perangsang.
c. Postulat 13: Latensi (keadaan diam atau berhenti). Makin
potensi reaksi efektif melampaui reaksi ambang perangsang
makin pendek latensi respon, artinya respon makin cepat
timbul
d. Postulat 14: Hambatan berhenti (ekstingsi). Makin besar
potensi reaksi efektif, makin besar respon yang timbul tanpa
perkuatan sebelum berhenti atau ekstingsi
e. Postulat 15: Amplitudo respon (besarnya respon). Besarnya
dorongan dilantari atau disebabkan oleh peningkatan kekuatan
potensi efektif reaksi dalam sistem saraf otonom
f. Postulat 16 : Respon-respon yang bertentangan. Jika potensi-
potensi reaksi kepada dua atau lebih respon-respon yang
bertentangan terjadi dalam organisme pada wakthu yang sama,
maka hanya reaksi yang mempunyai potensi reaksi yang lebih
besar akan terjadi responnya.

C. Hypothetico-deductive Theory
Teori belajar ini dikembangkan Hull dengan menggunakan metode
deduktif. Sumbangan utama Hull adalah pada ketajaman dan
kedetailan teorinya, ditunjang hasil-hasil eksperimen yang cermat dan
intens. Teori Hull sistematis ini menghasilkan banyak sekali penelitian
dan dirujuk serta dikembangkan oleh para ahli behavioristik lainnya.

17
Walaupun demikian Hull juga mendapatkan banyak kritikan,
diantaranya sebagai berikut:
a. Teorinya dianggap terlalu kompleks dan sulit dimengerti.
Dalam setiap penelitiannya Hull selalu mengembangkan sistem
yang rumit dan sangat bergantung kepada matematika
elaborasi.
b. Idenya tentang proses internal dianggap abstrak dan sulit
dibuktikan melalui eksperimen empiris.
c. Partikularistik, usaha untuk menggeneralisasi hasil eksperimen
secara berlebihan.

2.2.6 Edwin R. Guthie (Contiguous Conditioning)

Teori Belajar Menurut Guthrie (Contiguous Conditioning) Edwin R.


Guthrie menegaskan kembali pendapat Thorndike dan Pavlov, dimana ia
menyatakan bahwa gabungan atau kombinasi suatu kelas stimulus yang menyertai
atau mengikuti suatu gerakan tertentu maka ada kecenderungan bahwa gerakan itu
akan diulangi lagi pada situasi/stimulus yang sama. Asal belajar Guthrie yang
utama adalah hukum kontiguitas, yaitu gabungan stimulus-stimulus yang disertai
suatu gerakan, pada waktu timbul kembali cenderung akan dikuti oleh gerakan
yang sama (Gredier, 1991).

Guthrie juga menggunakan variabel hubungan stimulus dan respon untuk


menjelaskan terjadinya proses belajar. Proses belajar terjadi karena gerakan
terakhir yang dilakukan mengubah situasi stimulus dan tidak ada respon lain yang
dapat terjadi (Gandhi, 2011) Guthrie dengan teorinya Contiguous Conditioning
(Pembiasaan Asosiasi Dekat) mengasumsikan terjadinya peristiwa belajar
berdasarkan kedekatan hubungan antara stimulus dengan respon yang relevan
Terdapat prinsip kontiguitas (contiguity) di dalamnya yang berarti kedekatan
antara stimulus dan respon. Oleh karena itu, peningkatan hasil belajar itu
bukanlah hasil berbagai respon kompleks terhadap stimulus-stimulus yang ada,
melainkan karena dekatnya asosiasi antara stimulus dan respon yang diperlukan
(Syah, 2004).

Walaupun demikian dalam proses belajar tetap memerlukan rard,


sedangkan hukuman akan lebih efcktif apabila menyebabkan siswa itu belajar
(Soemanto 1990, Rusuli, 2014) Azas belajar Guthrie yang utama adalah hukum
kontiguiti, yaitu gabungan stimulus-stimulus yang disertai suatu gerakan, pada
waktu timbul kembali cenderung diikuti oleh gerakan yang sama. Penguatan
sekedar hanya melindungi hasil belajar yang baru agar tidak hilang dengan jalan
mencegah perolehan respon yang baru. Hubungan antara stimulus dan respon

18
bersifat sementara, oleh karena dalam kegiatan belajar siswa perlu sesering
mungkin diberi stimulus agar hubungan stimulus dan respon bersifat lebih kuat
dan menetap. Guthrie juga percaya bahwa hukuman (punishment) memegang
peranan penting dalam proses belajar. Hukuman yang diberikan pada saat yang
tepat akan mampu mengubah tingkah laku seseorang. Saran utama dari teori ini
adalah guru harus dapat mengasosiasi stimulus respon secara tepat. Siswa harus
dibimbing melakukan apa yang harus dipelajari. Dalam mengelola kelas guru
tidak boleh memberikan tugas yang mungkin diabaikan oleh anak (Gredler, 1991).
(Hergenhahn & Olson, 2016)

2.3 Pengaplikasian Teori Belajar Behavioristik

Teori belajar behavioristik dengan model hubungan stimulus respon,


menekankan siswa yang belajar sebagai individu yang pasif. munculnya perilaku
siswa yang kuat apabila diberikan penguatan dan akan menghilang jika dikenai
hukuman. Teori belajar behavioristik berpengaruh terhadap masalah belajar,
karena belajar ditafsirkan sebagai latihan-latihan untuk pembentukan hubungan
antara stimulus dan respons. Dengan memberikan rangsangan, siswa akan
bereaksi dan menanggapi rangsangan tersebut. Hubungan stimulus respon
menimbulkan kebiasaan-kebiasaan otomatis belajar. Dengan demikian kelakuan
anak sendiri atas respon respon tertentu terhadap stimulus stimulus tertentu.
Penerapan teori behavioristik dalam kegiatan pembelajaran tergantung dari
beberapa komponen seperti tujuan pembelajaran, materi pembelajaran,
karakteristik siswa, media, fasilitas pembelajaran, lingkungan, dan penguatan.

Teori belajar behavioristik cenderung mengarahkan siswa untuk berpikir.


Pandangan teori belajar behavioristik merupakan proses pembentukan, yaitu
membawa siswa untuk mencapai target tertentu, sehingga menjadikan siswa tidak
bebas berkreasi dan berimajinasi. pembelajaran yang dirancang pada teori belajar
behavioristik memandang pengetahuan adalah objektif, sehingga belajar
merupakan perolehan pengetahuan, sedangkan mengajar adalah memindahkan
pengetahuan kepada siswa. Oleh sebab itu siswa diharapkan memiliki
pemahaman yang sama terhadap pengetahuan yang diajarkan. Artinya apa yang
diterangkan oleh guru itulah yang harus dipahami oleh siswa. Hal yang paling
penting dalam teori belajar behavioristik adalah masukan dan keluaran yang
berupa respons. Menurut teori ini antara stimulus dan respons dianggap tidak
penting diperhatikan karena tidak dapat diamati dan diukur. Dengan demikian
yang dapat diamati hanyalah stimulus dan respons. Oleh sebab itu, apa saja yang
diberikan oleh guru dan apa saja yang dihasilkan oleh siswa semuanya harus dapat

19
diamati dan diukur yang bertujuan untuk melihat terjadinya perubahan tingkah
laku.

Faktor lain yang penting dalam teori belajar behavioristik adalah faktor
penguat dilihat dari pengertiannya penguatan adalah segala sesuatu yang dapat
memperkuat timbulnya respons. Pandangan behavioristik kurang dapat
menjelaskan adanya variasi tingkat emosi siswa, Walaupun siswa memiliki
pengalaman penguatan yang sama. pandangan behavioristik tidak dapat
menjelaskan 2 anak yang mempunyai kemampuan dan pengalaman penguatan
yang relatif sama. Dilihat dari kemampuannya, kedua anak tersebut mempunyai
perilaku dan tanggapan berbeda dalam memahami suatu pelajaran. Oleh sebab itu
teori belajar behavioristik hanya mengakui adanya stimulus dan respons yang
dapat diamat. Teori belajar behavioristik tidak memperhatikan adanya pengaruh
pikiran atau perasaan yang mempertemukan unsur-unsur yang diamati.
(Putrayasa, 2013)

Teori belajar behavioristik menekankan pada perubahan tingkah laku


sebagai akibat dari interaksi antara stimulus dan respon, sedangkan belajar
sebagai aktivitas yang menuntut siswa mengungkapkan kembali pengetahuan
yang sudah dipelajari.

Menurut Mukinan (1997), beberapa prinsip tersebut, yaitu:

a. teori belajar behavioristik beranggapan yang dinamakan belajar adalah


perubahan tingkah laku. Seseorang dikatakan telah belajar jika yang
bersangkutan dapat menunjukkan perubahan tingkah laku.
b. teori ini beranggapan yang terpenting dalam belajar adalah stimulus dan
respons, karena hal ini yang dapat kita amati, sedangkan apa yang terjadi
dianggap tidak penting karena tidak dapat diamati.
c. penguatan, yakni apa yang dapat menguatkan timbulnya response
merupakan faktor penting dalam belajar. Pendidikan berupaya
mengembangkan perilaku siswa ke arah yang lebih baik.

20
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Teori belajar Behavioristik merupakan teori dengan pandangan tentang


belajar sebagai perubahan dalam tingkah laku sebagai akibat dari interaksi antara
stimulus (rangsangan) dan respon (perilaku reaktif). Menurut Behavioristik,
perubahan tingkah laku itu harus dapat diamati, diukur, dan dinilai secara konkret

Tokoh aliran behavioristic ini yang sangat terkenal, yaitu Thorndike


(Koneksionisme/Asosiasi), menurut teori ini tingkah laku manusia tidak lain dari
suatu hubungan antara perangsang-jawaban atau stimulus-respons. John B.
Watson (SARBON), menurut teori ini belajar sebagai proses interaksi antara
stimulus dan respons, namus stimulus dan respon yang dimaksud harus dapat
diamati (observable) dan dapat diukur. Clark Hull (Systematic Behavior), menurut
teori ini semua fungsi tingkah laku bermanfaat terutama untuk menjaga agar
organisme tetap bertahan hidup, sama halnya dengan teori evolusi Charles
Darwin. Edwin R. Guthrie (Contiguous Conditioning), menurut teori ini yaitu
gabungan stimulus yang disertai suatu gerakan, pada waktu timbul kembali
cenderung akan diikuti oleh gerakan yang sama. Skinner (Operant Conditioning),
menurut teori ini hubungan antara stimulus dan respon yang terjadi melalui
interaksi dengan lingkungannya, yang kemudian menimbulkan perubahan tingkah
laku. Ivan Pavlov (Classical Conditioning), menurut teori ini perangsang asli dan
netral dipasangkan dengan stimulus bersyarat secara berulang-ulang sehingga
memunculkan reaksi yang diinginkan melalui eksperimennya terhadap anjing.

Aplikasi teori behavioristic sangat cocok untuk perolehan kemampuan


yang membutuhkan praktek dan pembiasaan yang mengandung unsur-unsur
seperti : kecepatan, spontanitas, kelenturan, reflek, daya tahan, dan sebagainya
sehingga model yang paling cocok adalah drill and practice. Untuk pendidikan
menengah dan tinggi teori behavioristik ini banyak digunakan antara lain : melatih
percakapan bahasa asing, mengetik, menari, menggunakan computer, berenang,
olahraga, dan lain sebagainya.

21
DAFTAR PUSTAKA

Hergenhahn B. R. & Olson M. H. (2016). An Introduction Theories of


Learning Ninth Edition. New York : Pearson Education, Inc.

Husamah & Yuni p. dkk. (2018). Belajar dan Pembelajaran. Malang :


Universitas Muhamadiyah Malang.

Nahar, Novi Irwan. (2016). Penerapan Belajar Teori Behavioristik dalam


Proses Pembelajaran. Nusantara (Jurnal Ilmu Pengetahuan Sosial). Vol. 1

Lefudin. (2017). Belajar & Pembelajaran. Yogyakarta : VC BUDI


UTAMA.

22

Anda mungkin juga menyukai